Tafsir Al-Waaqiah 77-79 Menyentuh Mushaf
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah swt. telah menurunkan
Al-Quran sebagai pedoman yang paling sempurna bagi umat manusia. Kesempurnaan
ini memang tidak dapat dilihat dengan kasat mata. namun perlu adanya penelitian
dan telaah khusus terhadap kalam ilahi tersebut. ini tidak bermaksud menggugat
keaslian dan kesempurnaan itu, namun lebih kepada pengungkapan di balik
keagungan Al-Quran yang dikatakan sebagai petunjuk dan kabar gembira bagi
orang yang beriman.
Namun ternyata tidak semua dalil
hukum yang terdapat di dalam Al-Quran dapat dipahami oleh semua orang.
sangat banyak kriteria dan prasyarat yang harus dicapai oleh seseorang untuk
meneliti apa yang tersirat dari sebuah dalail mutasyaabih. namun ini tidak
sedikitpun menyurutkan pengakuan bahwa Al-Quran adalah kitab suci yang paling sempurna
dan relevan untuk segala masa. Sebagaimana yang telah disepakati
bahwa hukum menyentuh dan atau membaca Al-Qur’an dalam keadaan tidak suci
adalah haram. Sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an dan beberapa hadits.
Agar lebih jelas disini pemakalah akan berusaha sedikit menerangkan tentang
hukum menyentuh dan atau membaca Al-Qur’an dalam keadaan tidak suci pada surat
Al-Waaqiah ayat 77-79.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana bunyi
ayat tentang menyentuh mushaf ?
2. Bagaimana terjemahan Q.S. Al-Waaqi’ah ayat 77-79 ?
3. Bagaimana mufrodat Q.S. Al-Waaqi’ah ayat 77-79 ?
4. Bagaimana munasabah Q.S. Al-Waaqi’ah ayat 77-79 ?
5. Bagaimana tafsir Q.S. Al-Waaqi’ah ayat 77-79 ?
6. Bagaimana hukum tentang menyentuh mushaf ?
7. Bagaimana hikmah larangan menyentuh mushaf ?
PEMBAHASAN
A.
Teks Al-Waaqi’ah
77-79
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ (٧٧) فِي
كِتَابٍ مَّكْنُونٍ (٧٨) لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا
الْمُطَهَّرُونَ (٧٩)
B.
Terjemahan
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat
mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh) tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Q.S al-Waqi’ah: 77-79).
C. Mufrodat
إِنَّهُ :
Sesungguhnya ia
لَقُرْءَانٌ : Sungguh
Al-Qur’an
كَرِيمٌ : Yang mulia
فِى : Pada
كِتَٰبٍ : Kitab
مَّكْنُونٍ : Terpelihara
dengan baik
لَّا : Tidak
يَمَسُّهُۥٓ : Menyentuhnya
إِلَّا : Kecuali
ٱلْمُطَهَّرُونَ : Orang-orang yang disucikan
D.
Munasabah
Abu Dawud meriwayatkan di dalam kitab Marasil bahwa
Zuhri berkata, “aku telah membaca dalam mushaf kecil kepunyaan Abdullah bin Abu
Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, bahwa Rasulullah saw. Bersabda yang
artinya “Dan tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (HR Abu
Dawud). Ini merupakan penemuan yang baik, yang telah dibaca
oleh Zuhri dan yang lain. Riwayat seperti ini layak untuk dijadikan hujjah.[1]
Juga beberapa riwayat yang ternukil dari salaf :
حَدَّثَنَا
ابْنُ نُمَيْرٍ، قَالَ: نَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ لَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إِلَّا وَهُوَ طَاهِرٌ
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Numair, ia berkata : Telah mengkabarkan kepada
kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dari Ibnu
‘Umar : Bahwasannya ia tidak pernah menyentuh mushhaf kecuali
dalam keadaaan suci.[2]
Dalam riwayat Ibnul-Mundzir
disebutkan dengan lafadh :
لا
يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إِلا مُتَوَضِّئٌ
“Tidaklah menyentuh mushhaf kecuali orang yang
berwudlu” ( Q.S Al-Ausath no. 629).
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah mengkhabarkan kepada kami
Al-Hasaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Wakii’ : Telah mengkhabarkan
kepada kami Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari ‘Abdurrahmaan bin Yaziid, ia berkata : Kami
pernah bersama Salmaan (Al-Faarisiy). Lalu ia keluar untuk menunaikan hajatnya.
Tidak lama kemudian ia kembali. Aku berkata : “Wahai Abu ‘Abdirrahmaan,
seandainya engkau berwudlu, karena barangkali kami akan bertanya kepadamu
tentang beberapa ayat Al-Quran”. Ia menjawab: “Sesungguhnya aku tidak
menyentuhnya, karena tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali hamba-hamba yang
disucikan”. Lalu ia membacakan kepada kami (beberapa ayat) sesuai yang kami
inginkan.[3]
Dari Ismaa’iil bin Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqaash, dari
Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqaash, ia berkata : Aku
pernah memegang mushhaf di hadapan Sa’d bin Abi Waqqaash, lalu
aku menggaruk-garuk (badanku). Sa’d berkata : “Barangkali engkau telah
menggaruk kemaluanmu ?”. Aku berkata : “Benar”. Ia berkata : “Berdiri dan
ambillah wudlu”. Aku pun berdiri, setelah itu aku kembali kepadanya.[4]
Telah
menceritakan kepada kami Haaruun bin Ishaaq dan ‘Aliy bin Muhammad bin
Abil-Khashiib, mereka berdua berkata : Telah berkata Wakii’ : “Sufyaan
(Ats-Tsauriy) membenci menyentuh mushhaf tanpa berwudlu”.[5]
Bahkan
dihikayatkan ijmaa’ tentang
larangan ini.
Ibnu
Qudaamah rahimahullah berkata
:
وَلَا يَمَسُّ
الْمُصْحَفَ إلَّا طَاهِرٌ يَعْنِي طَاهِرًا مِنْ الْحَدَثَيْنِ جَمِيعًا
.
“Tidak boleh
menyentuh mushhaf kecuali orang yang suci, yaitu suci dari dua macam hadats secara bersamaan (hadats kecil
dan besar). Telah diriwayatkan hal itu dari Ibnu ‘Umar, Al-Hasan, ‘Athaa’,
Thaawuus, Asy-Sya’biy, dan Al-Qaasim bin Muhammad. Pendapat itulah yang
dipegang oleh Maalik, Asy-Syaafi’iy, danashhaabur-ra’yi.
Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihi mereka kecuali Daawud
(Adh-Dhaaahiriy), karena ia membolehkan menyentuhnya (meski berhadats)” (Al-Mughniy, 1/256).
Ibnu Rajab
Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
“Pokok permasalahan ini
adalah : Larangan bagi orang yang berhadats menyentuh mushhaf, sama saja apakah hadats-nya adalah hadats besar yang diwajibkan padanya
mandi, ataukah hadats kecil
yang hanya diwajibkan padanya wudlu. Ini adalah perkataan jumhur ulama. Dan
diriwayatkan tentangnya dari ‘Aliy, Sa’d, Ibnu ‘Umar, dan Salmaan. Tidak
diketahui bagi mereka adanya orang yang menyelisihi dari kalangan shahabat.
Terdapat hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamyang muttashil dan mursal tentang hal tersebut. Dan kalangan
Dhahiriyyah menyelisihi mereka dalam masalah tersebut” (Fathul-Baariy, 2/81).[6]
E.
Tafsir
Para ulama di atas menafsirkan المُطَهَّرُونَ
sebagai orang-orang yang bersuci. Baik dengan berwudhu ataupun mandi jinabah. Jelas
bahwa ayat tersebut menerangkan bahwa Al-Qur’an tidak bolah disentuh kecuali
oleh orang-orang yang dalam keadaan suci. Orang yang suci disini bermakna bahwa
orang tersebut suci dari hadas kecil ataupun hadas besar. Dan orang yang suci
tersebut juga dapat diartikan orang mukmin. Dengan lebih diperkkuat lagi oleh
firman Allah dalam surat At-taubah : 28, yang Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka
mendekati Masjid ilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi
miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karuniaNya,
jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa janganlah
orang-orang yang musrik itu diberi peluang untuk memegang mushaf. Sebab dia
menyentuh dengan tanpa rasa hormat, tidak mengakui bahkan merendahkan mushaf
tersebut.[7]
Para ulama sendiri sependapat bahwa orang yang dalam
keadaan tidak suci boleh membawa Al-Qur’an yang mengandung banyak tafsir yang
diyakini lebih banyak tafsirnya.
Menurut ulama Syafi’I berdasarkan pendapat muktamad
tidak boleh membawa mushaf jika dia bertujuan membawanya bersama barang-barang.
Dari golongan ulama hanafi sendiri berpendapat bahwa
makruh hukumnya bagi orang-orang yang tidak suci memegang mushaf meskipun
menggunakan lengan baju karena ia menngikat mengikuti pakaian. Begitu juga
makruh hukumnya bagi seseorang yang tidak suci menyelak kertas dengan tangan
baju atau dengan tangan kecuali darurat. Perkaranya adalah jangan membuka
helaian tersebut kecuali dengan wudhu. Namun tidak makruh bagi seseorang yang
junub dan haid/nifas melihat Al-Qur’an.
Perlu dingat meskipun ulama-ulama di atas
melarang orang yang tidak suci memegang mushaf al-Qur'an, namun mereka
membolehkan jika dalam kondisi sebagai berikut:
1.
Menyelamatkan mushaf al-Quran, baik dari
hinaan orang lain, maupun jika mushaf itu ditemukan di tempat yang tidak layak
atau najis. Dalam kondisi seperti diperbolehkan orang yang tidak berwudhu (atau
tidak suci) untuk memegang mushaf.
2.
Ayat-ayat al-Qur'an yang tertulis di
buku-buku ilmu dan pengetahuan. Dalam kondisi ini diperbolehkan menyentuh
ayat-ayat yang terdapat pada buku-buku ilmu pengetahuan.
3.
Buku tafsir atau buku terjemah, dimana
kandungan tafsir atau terjemahnya lebih banyak dari isi al-Quran. Dalam kondisi
ini pun diperbolehkan memegang buku tafsir atau buku al-qur'an terjemah.
4.
Mushaf al-Qur'an yang ditulis dengan
selain bahasa Arab. Seperti buku Yasin yang banyak ditulis dengan tulisan
latin, maka hal ini pun diperbolehkan menyentuh atau memegangnya.
5.
Mushaf al-Quran yang digunakan untuk
belajar anak-anak yang belum baligh. Anak-anak yang belum mukallaf
diperbolehkan memegang mushaf. Namun orang tua/walinya dianjurkan
memperhatikannya agar tidak diperlakukan tidak baik oleh mereka.
6.
Diperbolehkan membawa mushaf al-Quran
dalam kantong yang terpisah dengan al-Quran (bukan sampul yang menempel
langsung dengan al-Quran), seperti kantong plastik, kantong belanja, tasdan
lain sebagainya. Adapun jika memegang al-Qur'an, meskipun disampul dengan bahan
tebal, sedangkan sampul itu menempel dengan al-Aquran, maka hal itu tidak
diperbolehkan.
7.
Ayat al-Quran yang tertulis di koin atau
lembaran uang (seperti mata uang di Negara-negara Arab) boleh dipegang karena
terdapat kesulitan menghindarinya.
F.
Hukum
Tidak dibolehkan
bagi seorang muslim menyentuh mushaf sedangkan ia dalam keadaaan tidak berwudhu
menurut pendapat jumhur ahli ilmu, dan inilah yang disepakati oleh imam madzhab
yang empat serta yang difatwakan oleh para sahabat Nabi SAW. Tentang hal ini telah
ada hadits shohih dengan derajat “La Ba’sa bihi” (tidak apa-apa) dari hadits
Amar bin Hazm: Bahwasannya Nabi SAW menulis kepada ahli Yaman: artinya “Agar
al-Quran tidak disentuh kecuali dalam keadaan suci.”
Merupakan hadits
jayid (baik sanadnya) memiliki banyak jalur yang saling menguatkan antara satu
dengan yang lainnya. Sebab itu dapat dipahami bahwa atidak boleh bagi seorang
muslim menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci dari dua hadats, hadas besar
dan hadas kecil, dan begitu pula memindahkannya dari satu tempat ke tempat yang
lain jika melakukannya tidak dalam keadaan suci. Akan tetapi kalau menyentuh
(memegang) atau meemindahkannya dengan perantara atau pelapis misalnya
membawanya dalam kain, kantong atau dalam saku pakaiannya maka tidak apa-apa,
namun apabila ia menyentuhnya secara langsung ddalam keadaan tidak suci maka
tidak boleh menurut pendapat yang benar yang dipegang oleh juhur ahli ilmu
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.[8]
G.
Hikmah
Hikmah dari
tidak diperbolehkannya memegang al-Quran adalah agar kita sebagai umat muslim
dapat lebih berhati-hati dalam melakukan sesuatu dan lebih menghargai al-Quran
beserta kesucian ayat-ayat di dalam nya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ayat 79 dari surat al-Waqiah itu
adalah larangan menyentuh mushaf,menurut para ulama jika diteliti melalui
pendekatan balaghah dia adalah khabar dengan shighat nahyu. larangan yang
dikandung dalam ayat tersebut secara umum adalah bagi orang berhadats
kecil dan besar. Namun bila kita membawanya dalam tas sedang kita berhadats itu
dibolehkan. Demikian juga dibolehkan jika tafsir yang ada lebih banyak
dari al-Quran. Selain menyentuh, yang tidak dibolehkan adalah membawa, karena
orang membawa al-Quran lebih berat hukumnya daripada menyentuh (yaitu dia
membawa dengan tangannya) walaupun yang dibawa itu hanya lembarannya saja.
Kecuali karena dharurat dimana dia menemukan kertas berisi ayat al-Quran di
tanah atau paret lalu dia mengambil dan meletakkan di tempat yg layak.
B. Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat
memenuhi mata kuliah Tafsir dengan baik dan benar. Di sisi lain, penulis
berharap makalah ini dapat dijadikan bahan bacaan yang barmutu, baik bagi
kalangan mahasiswa maupun kalangan akademika pada umumnya sebagai motivasi atau
inspirasi dalam mengembangkan kreatifitasnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini dan seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rifa’I Tafsir
Al Qodir Li Ikhtishori Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Press,
2000.
Yusuf al-qaradhawi,
fiqihthaharah, Jakarta: Pustaka al-kautsar,2007.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/07/menyentuh-mushhaf-al-quran-dalam.html
diakses minggu 7 juni pukul 10:54.
Zidnakhasyyatana.blogspot.com/2014/04/fatwa.html?m=1
diakses minggu, 7 juni 2015 pukul 10.28
[1]
Ar-Rifa’I Tafsir Al Qodir Li Ikhtishori Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000.hlm.579
[2]
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah 2/361 (5/138) no. 7506; shahih
[4]
Diriwayatkan oleh Maalik
1/297-298 no. 59, dan darinya Al-Mundziriy dalam Al-Ausath no.
86 dan Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif hal.
635 no. 733; shahih
[6]
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/07/menyentuh-mushhaf-al-quran-dalam.html
diakses minggu 7 juni pukul 10:54.
[7]
yusuf al-qaradhawi, fiqihthaharah, (Jakarta, pustaka al-kautsar,2007), hlm.224
[8]
Zidnakhasyyatana.blogspot.com/2014/04/fatwa.html?m=1 diakses minggu, 7 juni
2015 pukul 10.28
Apakah kamu sudah tau prediksi mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong
ReplyDeleteAdakah penjelasan tafsir lain selain ibnu katsir?. Misal dri mufasir kontemporer atau modern gthu?!
ReplyDelete