June 20, 2015

The Hunger Games indonesia bagian 19

Aku  menutup  mulut  dengan  kedua  tanganku,  tapi  suaraku  sudah  keburu  keluar. Langit menggelap dan aku mendengar kodok-kodok mulai bernyanyi.
Bodoh! Aku memarahi diriku. Tindakan yang benar-benar bodoh!
Aku menunggu, terkesiap, menantikan hutan yang penuh dengan serangam. Lalu aku ingat bahwa peserta yang tersisa tinggal sedikit.
Peeta,  yang  kini  terluka,  sekarang  jadi  sekutuku.  Apapun keraguan yang  kumiliki tentang dirinya sekarang musnah karena jika salah satu dari kami membunuh yang lain, kami akan jadi orang terbuang saat kembali ke Distrik 12 nanti. Bahkan sesungguhnya,
jika aku sedang menonton acara ini sekarang aku akan merasa jijik pada peserta yang
tidak langsung bergabung dengan partner distriknya. Lagi pula, rasanya masuk akal bagi peserta dari distrik yang sama untuk saling melindungi. Dan dalam kasusku-menjadi sepasang kekasih yang bernasib malang dari Distrik 12-tindakan ini menjadi keharusan kalau aku ingin mendapat simpati sponsor.
Pasangan kekasih yang bernasib malang...
Peeta pasti sudah memainkan kartu sejak awal. Kenapa para Juri Pertarungan tanpa terduga mengubah peraturan? Dua peserta berkesempatan menang, "kisah asmara" kami pasti sangat populer di mata penonton sehingga menghukumnya bakal membahayakan kesuksesan   Hunger   Games.   Bukan   berkat   aku   tentunya.   Sejauh   ini   yang   berhasil kulakukan adalah tidak membunuh Peeta. Tapi apa pun yang dilakukannya di arena, dia pasti berhasil meyakinkan penonton bahwa apa yang dilakukannya adalah menjagaku tetap hidup. Menggeleng kepadaku agar tidak berlari ke arah Cornucopia. Bertarung melawan  Cato  agar  aku  bisa  lolos.  Bahkan  bergabung  dengan  kawanan  Karier  pasti menjadi  langkah  untuk  melindungiku.  Ternyata  Peeta  tidak  pernah  menjadi  bahaya bagiku.
Pemikiran itu membuatku tersenyum. Kuturunkan kedua tanganku dan kudongakkan wajahku di bawah sinar bulan agar kamera bisa menangkap wajahku dengan jelas.
Jadi siapa yang tersisa yang harus ditakuti? Si Muka Rubah? Peserta lelaki dari distriknya sudah tewas. Dia bekerja sendiri pada malam hari. Dan strateginya adalah menghindar, bukan menyerang. Bahkan jika dia mendengar teriakanku, menurutku dia
tak bakal melakukan apa-apa kecuali berharap ada orang lain yang membunuhku.
Lalu ada Thresh. Dia termasuk ancaman yang berbeda. Tapi aku tak pernah melihatnya sekali pun sejak Hunger Games dimulai. Aku teringat pada si Muka Rubah yang langsung waspada ketika dia mendengar bunyi di lokasi ledakan itu. Tapi dia tidak menoleh ke arah hutan, dia menoleh ke tempat yang ada di seberang hutan. Wilayah di arena pertarungan yang tak kuketahui apa bentuknya. Aku nyaris yakin seratus persen
bahwa  dia  lari  menjauh  dari  Thresh  dan  wilayah  kekuasaannya.  Dia  tidak  pernah
mendengarku di sana, bahkan jika dia pernah mendengarku, aku berada terlalu jauh tinggi di pohon untuk bisa digapai oleh seseorang yang tubuhnya sebesar Thresh.
Jadi tinggal Cato dan anak perempuan dari Distrik 2, yang sekarang pasti sedang merayakan  peraturan  baru  ini.  Selain  aku  dan  Peeta,  mereka  juga  pasangan  yang mendapat keuntungan dari perubahan peraturan ini. Apakah aku harus berlari menjauhi mereka sekarang, kalau-kalau mereka mendengarku memanggil nama Peeta? Tidak, pikirku.  Biar  saja  mereka  datang.  Biar  saja  mereka  datang  dengan  kacamata  malam mereka dan tubuh mereka yang berat dan berotot. Tepat ke jarak tembak panah-panahku. Tapi aku tahu mereka tidak mendatangi apiku, mereka tidak bakal mengambil risiko di malam hari yang bisa jadi adalah perangkap. Saat mereka datang, pasti itu atas kehendak mereka sendiri, bukan karena aku memberitahukan keberadaanku pada mereka.
Tetaplah di tempat dan cobalah tidur, Katniss, aku memberi perintah pada diriku sendiri, meskipun aku berharap bisa mencari jejak Peeta sekarang. Besok, kau akan menemukannya.
Aku tidur, tapi di pagi hari aku bersikap ekstra hati-hati, karena kawanan Karier mungkin  ragu  menyerangku  saat  aku  berada  di  pohon,  tapi  mereka  bisa  saja  sudah
menyiapkan jebakan untukku. Aku memastikan diriku sudah siap siaga untuk menghadapi
hari ini-makan sarapan sampai kenyang, mengamankan ranselku, menyiapkan senjata- senjataku-sebelum aku turun dari pohon. Tapi semua di tanah tampak tenang dan tidak terganggu.
Hari ini aku harus amat sangat berhati-hati. Kawanan Karier tahu aku akan berusaha menemukan   Peeta.   Mereka   mungkin   akan   menunggu   sampai   aku   menemukannya sebelum mereka menyerang. Jika dia memang terluka parah, seperti kata Cato, bisa jadi aku harus membela diri kami berdua tanpa bantuan dari Peeta. Tapi jika Peeta dalam keadaan tidak berdaya, bagaimana caranya dia bisa bertahan hidup? Dan bagaimana caranya aku bisa menemukan dia?
Aku berusaha memikirkan apa pun yang pernah dikatakan Peeta yang mungkin saja bisa menjadi petunjuk tempat persembunyiannya, tapi aku tak bisa mengingat apa pun. Jadi aku kembali ke saat terakhir aku melihatnya berkilau di bawah cahaya matahari, berteriak padaku agar aku lari. Kemudian Cato muncul dengan pedang terhunus. Dan setelah aku pergi, dia melukai Peeta. Tapi bagaimana cara Peeta meloloskan diri? Mungkin dia bertahan lebih baik dari sengatan tawon penjejak daripada Cato. Mungkin itulah faktor yang membuat dia bisa meloloskan diri. Tapi Peeta juga disengat. Jadi berapa jauh dia bisa pergi setelah ditusuk dan keracunan bisa? Dan bagaimana caranya dia bertahan hidup selama berhari-hari. Jika luka tusukan dan sengatan tawon belum membunuhnya, pasti rasa haus sudah membuatnya tewas sekarang.
Pada saat itulah aku punya petunjuk tentang keberadaannya. Dia tidak mungkin bertahan tanpa air. Aku tahu itu sejak hari-hari pertamaku di sini. Dia pasti bersembunyi tidak jauh dari sumber air. Ada danau, tapi menurutku itu bukan pilihan karena letaknya terlalu dekat kamp kawanan Karier. Ada beberapa kolam mata air. Tapi kau bakal jadi
sasaran empuk jika bersembunyi di sana. Dan ada sungai. Sungai yang dimulai dari kamp
yang kubuat bersama Rue yang mengalir hingga ke danau. Jika Peeta berada di sungai, dia bisa berpindah-pindah tempat dan selalu berada di dekat air. Dia bisa berjalan ke aliran sungai dan menghapus jejaknya. Mungkin dia bisa menangkap satu-dua ekor ikan.
Ya, ini bisa jadi tempat aku mulai mencarinya.
Untuk membuat bingung musuh-musuhku, aku mulai membuat api dengan banyak kayu yang baru dipotong. Bahkan jika mereka menganggap ini sebagai muslihat, kuharap mereka bakal memutuskan bahwa aku bersembunyi tidak jauh dari tempat api. Sementara kenyataannya, aku mencari Peeta.
Matahari nyaris seketika membakar kabut pagi dan aku tahu hari ini akan lebih panas daripada biasanya. Air sungai terasa sejuk dan menyenangkan di kakiku yang telanjang saat aku berjalan menuju hilir. Aku tergoda untuk memanggil nama Peeta sambil berjalan, tapi aku memutuskan untuk tidak melakukannya. Aku harus menemukannya dengan mataku dan satu telingaku yang masih bagus atau dia yang harus menemukanku. Tapi Peeta tahu aku akan mencarinya, kan? Dia pasti tak menganggapku sehina itu hingga berpikir aku mengabaikan peraturan baru itu dan hanya memikirkan diriku sendiri. Mungkinkah Peeta berpikir seperti itu? Dia sangat sulit ditebak, yang dalam beberapa keadaan berbeda bisa jadi menarik, tapi pada saat ini hanya menimbulkan penghalang tambahan.
Tidak butuh waktu lama hingga aku bisa tiba di tempat aku keluar menuju kamp Kawanan Karier.  Tidak  ada tanda  keberadaan Peeta, tapi aku tidak heran. Aku  sudah melalui jalan ini tiga kali sejak insiden tawon penjejak. Jika Peeta berada tidak jauh dari sini, tentu aku sudah curiga. Aliran sungai mulai berbelok ke kiri menuju bagian hutan yang baru bagiku. Tepi sungai yang berlumpur ditutupi tanaman air yang berbelit-belit hingga menuju bebatuan besar yang ukurannya makin besar hingga aku mulai merasa terperangkap. Keluar dari sungai sekarang bukan persoalan mudah. Menghindari Cato atau Thresh ketika memanjat wilayah berbatu-batu ini. Sesungguhnya, aku baru saja berpikir bahwa aku sudah salah jalan, dan berpikir bahwa anak lelaki yang terluka takkan bisa berjalan mondar-mandir ke sumber air ini, ketika aku melihat jejak berdarah di kelokan menuju ke balik batu besar. Jejak itu sudah lama kering, tapi corengan dari kiri ke kanan menunjukkan adanya seseorang-yang mungkin tidak bisa sepenuhnya mengontrol indra-indra pikirannya-berusaha menghapus jejak tersebut.
Sambil berjalan pada bebatuan, aku bergerak perlahan-lahan ke arah jejak berdarah, mencari keberadaan Peeta. Aku menemukan beberapa jejak berdarah lagi, ada robekan kain menempel di satu jejak darah, tapi tak ada tanda kehidupan. Aku langsung kalap dan memanggil namanya dengan suara berbisik. "Peeta! Peeta!" Kemudian seekor mockingjay hinggap di pohon dan mulai menirukan nadaku, membuatku berhenti melakukannya. Aku menyerah dan menanjak kembali menuju sungai sambil berpikir, Dia pasti terus bergerak. Terus menuju ke bawah.
Kakiku baru saja menginjak permukaan air ketika aku mendengar suara. "Kau di sini untuk menghabisiku, sweetheart?"
Aku berbalik cepat. Suaranya berasal dari sebelah kiri, jadi aku tidak bisa mendengarnya dengan baik. Juga suara itu terdengar serak dan lemah. Tapi aku yakin itu
suara  Peeta.  Siapa  lagi  di  arena  pertarungan  yang  memanggilku  sweerheart?  Mataku
tertuju  ke  tepi  sungai,  tapi  tidak  ada  apa-apa  di  sana.  Hanya  ada  lumpur,  tumbuh- tumbuhan, dasar batu-batuan.
"Peeta?" bisikku. "Di mana kau?" Tidak ada jawaban. Apakah aku sungguh membayangkannya? Tidak mungkin, aku yakin aku sungguh mendengar suara dan jaraknya juga tidak terlalu jauh. "Peeta?" Aku bergerak pelan-pelan di tepi sungai.
"Ya, jangan injak aku."
Aku  terlonjak.  Suaranya  tepat  di  bawah  kakiku.  Tapi  tak terlihat  apa-apa disana. Kemudian  matanya  terbuka,  tidak  salah  lagi  itu  matanya  yang  biru  di  antara  lumpur cokelat dan daun-daunan hijau. Aku terkesiap dan dibalas dengan deretan giginya yang putih ketika tertawa.
Dia hebat sekali dalam berkamuflase. Lupakan mengangkat beban. Seharusnya dalam sesi pribadi dengan Juri Pertarungan Peeta mengecat tubuhnya menjadi pohon. Atau batu besar. Atau tepi sungai berlumpur yang penuh tumbuh-tumbuhan.
"Tutup matamu lagi," perintahku. Dia melakukannya, dan dia juga menutup mulutnya sehingga semuanya tidak kelihatan. Sebagian besar tubuhnya berada di bawah lumpur dan tumbuh-tumbuhan. Wajah dan kedua lengannya tersamar sehingga tidak kelihatan. Aku   berlutut   di   sampingnya.   "Kurasa   waktu   berjam-jam   yang   kauhabiskan   untuk menghias kue terbayar sudah."
Peeta tersenyum. "Ya, menghias kue dengan gula. Pertahanan terakhir terhadap kematian."
"Kau takkan mati," kataku padanya dengan tegas. "Kata siapa?" Suaranya terdengar serak.
"Kataku. Kau tahu, kita ada di tim yang sama sekarang," aku memberitahunya. "Matanya membuka. "Ya, kudengar juga begitu. Baik sekali kau mau mencari apa yang
tersisa dariku."
Kukeluarkan botol airku dan kuberi dia minuman. "Apakah Cato melukaimu?" tanyaku.
"Kaki kiri. Di paha," jawabnya.
"Ayo ke sungai, kita bersihkan tubuhmu supaya aku bisa melihat lukamu," kataku. "Menunduk  dulu  sebentar,"  katanya.  "Aku  perlu  memberitahumu  sesuatu."  Aku
menunduk  dan  mendekatkan  telingaku  yang  bagus  ke  bibirnya,  terasa  geli ketika  dia berbisik.  "Ingat,  kita  sedang  kasmaran,  jadi  tidak  apa-apa  kalau  kau  mau  menciumku kapan pun kau mau."
Kepalaku langsung tersentak ke belakang tapi aku tertawa terbahak-bahak. "Terima kasih. Aku kuingat kata-katamu."
Paling tidak Peeta masih bisa bergurau. Tapi ketika aku membantunya ke sungai, semua  sikap  santaiku  lenyap.  Jaraknya  ke  sungai  kurang  dari  satu  meter,  apa  sih susahnya?  Sangat  sulit  ternyata  ketika  aku  sadar  dia  sama  sekali  tidak bisa  bergerak sendiri. Dia begitu lemah sehingga yang terbaik yang bisa dilakukannya adalah tidak menahan dirinya. Aku berusaha menyeretnya, tapi meskipun kenyataannya aku tahu dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak bersuara, jerit kesakitan terdengar dari mulutnya. Lumpur dan tumbuh-tumbuhan sepertinya memenjarakan tubuhnya dan akhirnya aku harus menariknya dengan keras untuk melepaskan Peeta dari cengkeraman lumpur. Tubuhnya masih setengah meter dari air, terbaring di sana, giginya bergemelutuk, air mata membentuk selokan kotor di wajahnya.
"Dengar, Peeta, aku akan menggulingkanmu ke sungai. Sungainya sangat dangkal kok. Oke?" tanyaku.
"Bagus sekali," katanya.
Aku berjongkok di sampingnya. Tak peduli apa pun yang terjadi, aku memerintahkan diriku agar aku tidak berhenti sebelum dia sampai di air. "Pada hitungan ketiga," kataku. "Satu, dua, tiga!"
Aku hanya berhasil menggulingkannya sekali sebelum aku harus berhenti karena
Peeta mengeluarkan suara mengerikan. Sekarang dia berada di tepi sungai. Mungkin ini lebih baik.
"Oke, kita ubah rencana. Aku tidak akan menarikmu hingga masuk sungai," kataku. Selain itu, jika aku berhasil mencemplungkannya ke sungai, siapa tahu aku malah tidak bisa mengeluarkannya?
"Tidak akan digulingkan lagi?" katanya.
"Sudah selesai. Kita bersihkan tubuhmu. Kau awasi hutan ya," kataku. Sulit bagiku untuk   tahu   dari   mana   kami   akan   mulai   membersihkannya.   Tubuhnya   tertutup sepenuhnya dengan lumpur dan daun-daun yang berjuntaian, aku bahkan tidak bisa melihat pakaiannya. Pikiran itu membuatku ragu sesaat, tapi aku menekatkan diri. Tubuh telanjang bukan masalah besar di arena pertarungan, kan?
Aku punya dua botol air dan tempat air dari kulit milik Rue. Kusandarkan semuanya di antara bebatuan di sungai sehingga dua wadah itu akan selalu terisi sementara aku menuang tempat air ketiga pada tubuh Peeta. Butuh waktu lumayan lama, tapi aku akhirnya berhasil menghilangkan lumpur dan melihat pakaiannya. Perlahan-lahan aku menarik risleting jaketnya, membuka kancing kemejanya, dan melepaskan semua pakaian itu dari tubuhnya. Pakaian dalamnya menempel pada luka-lukanya sehingga aku harus memotongnya dengan pisau dan membasahinya agar pakaian itu bisa lepas. Tubuhnya memar parah dengan luka bakar di dadanya serta ada bekas empat sengatan tawon di bawah telinganya. Tapi aku merasa lebih baik. Aku bisa mengobati semua ini. Aku memutuskan untuk mengurusi bagian atas tubunya lebih dulu untuk mengurangi sedikit rasa sakitnya, sebelum aku menghadapi kerusakan yang ditimbulkan Cato pada kakinya.
Kupikir percuma juga mengobati luka-luka Peeta saat dia berbaring di genangan lumpur, dan aku berhasil menariknya duduk bersandar di batu besar. Dia duduk di sana, tanpa protes, sementara aku membasuh semua jejak kotoran dari rambut dan kulitnya. Kulitnya sangat pucat di bawah sorotan sinar matahari dan dia tidak lagi kelihatan kuat dan  gempal.  Aku  harus  mengeluarkan  sengat  dari  luka  membengkak  akibat  sengatan
tawon penjejak dan membuatnya mengernyit. Tapi ketika aku mengoleskan daun-daunan
di sana, Peeta mendesah lega. Sementara dia berjemur di bawah sinar matahari, aku mencuci pakaian dan jaketnya yang kotor dan menjemurnya di atas batu-batu besar. Lalu aku mengoleskan salep luka bakar di dadanya. Pada saat itulah aku menyadari betapa panas  kulitnya. Lapisan  lumpur  dan  berbotol-botol  air telah  menyamarkan kenyataan bahwa dia demam tinggi. Aku mencari-cari di dalam tas P3K yang kuambil dari anak lelaki dari Distrik 1 dan menemukan pil penurun panas. Ibuku bahkan sempat menyerah dan membeli pil-pil ini ketika ramuan rumahannya gagal.
"Telan  ini,"  kataku  padanya,  dan  dengan  patuh  dia  menelan  obatnya.  "Kau  pasti lapar."
"Tidak juga. Lucunya, sudah berhari-hari aku tidak lapar," kata Peeta. Sesungguhnya ketika   kutawarkan   daging   groosling   padanya,   Peeta   mengernyitkan   hidung   dan membuang muka. Saat itulah aku tahu bahwa dia sakit parah.
"Peeta, kau harus makan sedikit," aku berkeras.
"Nanti bakal kumuntahkan juga," katanya. Aku hanya bisa membuatnya makan beberapa gigitan apel kering.
"Terima kasih. Aku merasa jauh lebih baik, sungguh. Boleh aku tidur sekarang, Katniss?" tanyanya.
"Sebentar lagi," aku berjanji. "Aku perlu melihat kakimu lebih dulu."
Dengan selembut mungkin, aku melepaskan sepatu bot dan kaus kakinya, lalu dengan amat perlahan aku melepaskan celana panjangnya. Aku bisa melihat robekan yang dibuat pedang Cato pada kain celana di atas pahanya, tapi aku tetap tidak siap ketika melihat luka yang ada di balik celananya. Luka terbuka yang meradang itu penuh darah dan nanah. Kakinya juga bengkak. Dan yang terburuk, tercium bau daging yang membusuk.
Aku ingin berlari. Menghilang ke balik hutan seperti yang kulakukan pada hari ketika mereka membawa pulang korban luka bakar ke rumahku. Pergi dan berburu sementara Prim dan ibuku melakukan sesuatu yang tak sanggup kulakukan karena memang tidak punya nyali dan keahlian untuk itu. Tapi di sini cuma ada aku. Aku berusaha menampilkan sikap tenang ibuku ketika menghadapi pasien-pasien yang datang dengan kondisi buruk.
"Lumayan buruk ya?" tanya Peeta. Dia mengamatiku lekat-lekat.
"Ya,  begitulah."  Aku  mengangkat  bagu  seolah-olah  lukanya  bukan  masalah  besar. "Kau harus melihat orang-orang dari tambang yang dibawa ke ibuku."
Aku menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa aku biasanya menjauh dari rumah setiap kali ibuku mengobati pasien yang penyakitnya lebih parah dibanding pilek. Kalau dipikir-pikir lagi, aku juga tidak suka berada di dekat orang batuk. "Pertama-tama kita
harus membersihkannya dengan baik."
Aku tidak melepaskan celana dalam Peeta karena tidak kotor dan aku tidak mau melepaskan celana itu melewati pahanya yang bengkak, dan mungkin membayangkannya telanjang membuatku tidak nyaman. Ada hal lain tentang ibuku dan Prim. Ketelanjangan tidak berpengaruh pada mereka, tidak membuat mereka merasa malu. Ironisnya, pada titik ini dalam Hunger Games, adik perempuanku akan lebih berguna bagi Peeta. Kuselipkan kotak plastikku di bawah tubuh Peeta agar aku bisa membasuh seluruh tubuhnya. Semakin banyak isi botol yang kutuang ke tubuhnya, lukanya kelihatan semakin buruk. Bagian bawah tubuhnya yang lain dalam kondisi lumayan baik, hanya ada satu sengatan  tawon  dan  beberapa  luka  bakar  kecil  yang  bisa  kuobati  dengan  cepat.  Tapi nanah di kakinya... apa yang bisa kulakukan untuk itu?
"Bagaimana kalau kita angin-anginkan lukamu lalu...," kataku tanpa bisa melanjutkan. "Lalu kau akan menjahitnya?" tanya Peeta. Dia tampak sedikit kasihan melihatku,
seakan dia tahu betapa bingungnya aku.
"Benar sekali," kataku. "Sementara itu, kau makab ini."
Aku  menaruh  potongan-potongan  buah  pir  kering  ke  tangannya,  lalu  kembali  ke sungai  untuk  mencuci  sisa  pakaiannya.  Setelah  pakaiannya  kering,  aku  memeriksa  isi peralatan P3K. Kebanyakan cuma barang-barang kebutuhan dasar. Perban, pil penurun panas, obat sakit perut. Tidak ada yang sekaliber yang kubutuhkan untuk mengobati Peeta. "Kita akan melakukan sedikit eksperimen," kataku mengakui.   Aku tahu daun-daun tawon penjejak bisa menarik keluar infeksi, jadi kumulai dengan daun-daun itu. Beberapa menit setelah kutempelkan daun-daun yang sudah kukunyah itu, nanah mulai mengalir ke bagian samping kakinya. Aku nengatakan pada diriku sendiri bahwa ini bagus dan aku
menggigit bagian dalam pipiku karena sarapanku nyaris keluar.
"Katniss?" tanya Peeta. Kutatap matanya, aku tahu wajahku pasti pucat. Peeta berkata tanpa suara, "Bagaimana kalau kita berciuman?"
Aku tertawa keras karena lukanya ini sangat menjijikan dan aku tak tahan lagi. "Ada yang salah?" tanyanya dengan wajah tak berdosa.
"Aku... aku tidak pandai dalam hal ini. Aku bukan ibuku. Aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan dan aku benci nanah," kataku. "Iuh!"
Aku mengerang ketika membuang daun-daun yang kutempelkan di kaki Peeta, lalu menempelkan daun-daun lain yang baru. "Iuuuuh!"
"Bagaimana kau bisa berburu?" tanyanya.
"Percayalah. Membunuh lebih mudah daripada ini," kataku. "Meskipun bisa saja aku sedang membunuhmu tanpa kusadari."
"Bisa lebih cepat sedikit melakukannya?" tanya Peeta. "Tidak. Diam dan makan buah pirmu," kataku.
Setelah tiga kali menempelkan daun-daunan dan menghasilkan sekitar seember nanah, lukanya tampak lebih baik. Sekarang setelah bengkaknya hilang, aku bisa melihat
seberapa dalamnya luka pedang Cato. Nyaris sampai ke tulang. "Selanjutnya apa, Dr. Everdeen?" tanyanya.
"Mungkin aku akan mengoleskan salep luka bakar di sini. Menurutku bisa menghilangkan infeksinya. Lalu kita tutup lukanya?" tanyaku. Aku mengerjakan semua itu dan  segalanya  tampak  lebih  bisa  diatasi,  kemudian membungkus  lukanya. Kain katun
putih bersih. Walaupun dalam balutan perban steril keliman celana dalamnya tampak
kotor dan penuh bakteri. Kukeluarkan ransel Rue. "Ini, tutup tubuhmu dengan ini dan akan kucuci celana dalammu."
"Oh, aku tidak peduli kalau kau melihatku," kata Peeta.
"Kau sama seperti anggota keluargaku yang lain," kataku. "Aku peduli, oke?"
Aku berbalik dan memandangi sungai sampai celana dalamnya tercebur ke arus sungai. Dia pasti merasa sedikit lebih baik jika bisa melempar.
"Kau tahu, kau kelihatannya terlalu pemilih untuk bisa jadi orang yang mematikan seperti itu," kata Peeta ketika aku memukulkan celana dalam itu di antara ke dua batu.
"Seharusnya kubiarkan kau memandikan Haymitch."
Hidungku mengernyit mengingatnya. "Sejauh ini apa yang sudah dikirmkan Haymitch untukmu?"
"Tidak ada apa-apa," kata Peeta. Lalu jeda di antara kami membuatnya menyadari sesuatu. "Kenapa? Kau dikirimi sesuatu?"
"Salep luka bakar," kataku nyaris malu-malu. "Oh, dan roti." "Aku selalu tahu kau memang favoritnya," kata Peeta.
"Tolong ya, dia bahkan tidak tahan berada seruangan denganku," kataku. "Karena kalian mirip," gumam Peeta.
Aku tidak menanggapinya karena sekarang bukanlah saat yang tepat untuk menghina
Haymitch, yang sesungguhnya merupakan dorongan hati pertamaku.
Kubiarkan Peeta tidur sambil menunggu pakaiannya kering, tapi menjelang sore, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Pelan-pelan aku mengguncabg bahunya. "Peeta, kita harus pergi sekarang."
"Pergi?" Dia tampak kebingungan. "Pergi ke mana?"
"Pergi dari sini. Mungkin ke arah hilir. Pergi ke tempat kita bisa menyembunyikanmu sampai kau lebih kuat," kataku.
Kubantu dia berpakaian, kubiarkan dia tanpa sepatu agar kami bisa berjalan di air, lalu  kutarik dia  berdiri.  Wajahnya  seperti  kehilangan  darah  ketika dia  menumpukkan
tubuhnya di kaki. "Ayo, kau bisa melakukannya."
Tapi dia ternyata tidak sanggup. Tidak bisa bertahan lama. Kami berhasil berjalan lima  puluh  meter  menuju  hilir,  dengan  kupapah  di  bahuku,  dan  kutahu  dia  bakalan pingsan. Kududukkan dia di tepi sungai, kutundukkan kepalanya di antara kedua lututnya, dan  kutepuk-tepuk  punggungnya  dengan  canggung  sembari  mengawasi  sekelilingku. Tentu saja, aku kepingin bisa menaikkannya ke pohon, tapi itu takkan terjadi. Bisa jadi keadaannya lebih buruk. Sebagian batu di sana membentuk semacam gua kecil. Aku memandang lekat-lekat sebuah gua dua puluh meter di atas sungai. Ketika Peeta sanggup berdiri, aku separuh memapah, separuh membimbingnya menuju gua. Sesungguhnya aku harus mencari tempat yang lebih baik, tapi aku terpaksa menggunakan tempat ini karena sekutuku dalam kondisi buruk. Wajahnya seputih kertas, terengah-engah, dan meskipun cuaca sejuk, dia menggigil.
Aku mengalasi lantai gua dengan lapisan semak pinus, melepaskan gulungan kantong tidur, dan menyelimuti Peeta di dalamnya. Aku mencekokkan dua butir pil dan air ke mulutnya saat dia tidak menyadarinya, tapi dia menolak makan buah. Lalu dia cuma terbaring di sana, matanya tertuju pada wajahku ketika aku membuat semacam tirai dari sulur-sulur  daun  untuk  menutup  mulut  gua.  Hasilnya  tidak  memuaskan.  Binatang mungkin takkan curiga, tapi manusia yang melihatnya pasti akan tahu bahwa tirai ini buatan manusia. Kucabut sulur-sulur itu dengan kesal.
"Katniss," katanya. Aku menghampiri Peeta dan menepiskan rambut dari matanya. "Terima kasih sudah mau mencariku."
"Kau juga akan mencariku jika kau bisa," kataku.
Dahinya terasa panas. Seakan-akan obat itu tidak ada efeknya sama sekali. Mendadak, entah dari mana, aku takut Peeta bakal mati.
"Ya. Dengar, jika aku tidak berhasil...," Peeta mulai bicara.
"Jangan bicara seperti itu. Aku tidak menguras semua nanah itu dengan sia-sia," kataku.
"Aku tahu. Tapi seandainya aku..." Peeta mencoba melanjutkan.
"Tidak, Peeta, aku tidak mau membahasnya," kataku, kutaruh jemariku di bibirnya untuk membuatnya diam.
"Tapi aku..." Dia masih berkeras.
Mengikuti dorongan hati, aku menunduk dan menicumnya, menghentikan kata-kata Peeta. Ciuman ini mungkin sudah terlambat karena dia benar, kami seharusnya sedang kasmaran. Ini pertama kalinya aku mencium anak lelaki, yang seharusnya bisa memberi semacam kesan tak terlupakan, tapi yang terekam dalam otakku adalah betapa bibirnya
terasa  panas  tidak  wajar.  Aku  melepaskan  diri  dan  menarik  ujung  kantong  tidur
menutupinya. "Kau takkan mati. Aku melarangnya. Oke?" "Baiklah," bisiknya.
Aku baru saja melangkah menuju udara malam yang sejuk ketika parasut melayang turun dari angkasa. Jemariku buru-buru melepas ikatannya, berharap bisa mendapat obat sungguhan untuk mengobati kaki Peeta. Ternyata aku mendapat sepanci kecil kuah daging hangat.
Haymitch tak bisa lagi mengirim pesan yang lebih jelas daripada ini. Satu ciuman sama dengan sepanci kuah daging. Aku nyaris bisa mendengar geramannya. "Kau seharusnya sedang kasmaran, sweetheart. Anak lelaki itu sekarat. Beri aku sesuatu yang bisa kujual!"
Dan dia benar. Jika aku ingin menjaga Peeta tetap hidup, aku harus memberikan sesuatu yang bisa membuat penonton terenyuh. Pasangan kekasih bernasib malang yang putus asa kepingin pulang. Dua hati bersatu. Kisah cinta.
Karena tidak pernah jatuh cinta, ini akan jadi sedikit sulit. Aku memikirkan orangtuaku.  Bagaimana  ayahku  tak  pernah  tidak  memberikan  hadiah  untuk  ibuku
sepulangnya  dari  hutan.  Bagaimana  wajah  ibuku  berbinar  mendengar  suara  langkah sepatu bot ayahku di pintu. Bagaimana dia nyaris berhenti hidup ketika ayahku meninggal.
"Peeta!" Aku berseru, mencoba memanggilnya dengan nada istimewa yang hanya
digunakan ibuku pada ayahku. Dia tertidur lagi, tapi aku menciumnya agar terbangun, dan membuatnya terkejut. Lalu dia tersenyum seakan dia amat bahagia bisa berbaring di sana dan memandangiku selamanya. Peeta jago untuk urusan semacam ini.
Kuangkat pancinya. "Peeta, lihat apa yang dikirimkan Haymitch untukmu."

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates