June 20, 2015

The Hunger Games indonesia bagian 7

Tidurku penuh dengan mimpi mengganggu. Wajah gadis berambut merah itu berkelebat dengan bayangan mengerikan dari kilasan Hunger Games yang dulu. Ibuku tampak meringkuk ngeri dan tak bisa kujangkau, sementara Prim tampak kurus dan ketakutan. Aku menerjang memekik memanggil ayahku agar berlari ketika tambang meledak memecah dalam jutaan cahaya mematikan.
Fajar merekah menembus jendela. Udara Capitol terasa berkabut dan menakutkan. Kepalaku sakit dan aku pasti menggigit bagian dalam pipiku ketika tidur. Lidahku meraba daging yang terbuka dan merasakan darah di sana.
Perlahan-lahan, aku menyeret tubuhku turun dari ranjang dan berjalan ke bawah pancuran kamar mandi. Dengan asal-asalan aku memencet tombol di papan kendali, akibatnya aku jadi melompat-lompat ketika semprotan air sedingin es dan panas menusuk menyerangku. Kemudian aku bermandikan busa berlimpah beraroma jeruk yang harus kusingkirkan dengan sikat berbulu. Oh, biarlah. Paling tidak darahku mengalir lancar.
Setelah mengeringkan tubuh dan melembapkannya dengan losion, aku menemukan pakaian yang sudah disediakan untukku di depan lemari. Celana panjang hitam ketat, tunik ungu  lengan panjang,  dan  sepatu  kulit.  Aku mengepang  rambutku  menjadi  satu kepangan besar yang dilepas di punggungku. Ini pertama kalinya sejak pagi hari pemilihan aku mirip dengan penampilanku yang biasa. Tidak ada pakaian mewah atau gaya rambut berlebihan,  tidak  ada  jubah  yang  berkobar.  Hanya  aku.  Penampilanku  seperti  hendak pergi ke hutan. Dan itu membuatku tenang.
Haymitch tidak bilang jam berapa kami harus bertemu untuk sarapan dan tak ada seorang pun yang menghubungiku pagi ini, tapi aku lapar jadi aku berjalan menuju ruang
makan, berharap ada makanan di sana.
Aku  tidak  kecewa.  Meja  makannya  memang  kosong,  tapi  meja  panjang  di  dekat dinding berisi paling tidak dua puluh jenis makanan. Seorang lelaki muda, kaum Avox, tampak berdiri siaga. Saat kubertanya apakah aku boleh menyiapkan makananku sendiri, dia  mengangguk  mengiyakan.  Aku  memenuhi  piringku  dengan  telur,  sosis,  kue  yang dilapisi selai jeruk, sepotong melon ungu muda. Saat aku mengisi perut dengan rakus, matahari terbit menyinari Capitol. Aku mengisi piring kedua dengan gandum panas yang disiram rebusan daging sapi. Akhirnya, aku memenuhi piring dengan roti dan duduk di meja, memecah-mecahkan roti dan mencelupkannya pada cokelat panas, seperti yang dilakukan Peeta di kereta.
Pikiranku melayang pada ibuku dan Prim. Mereka pasti sudah bangun. Ibuku menyiapkan  bubur  encer  untuk  sarapan.  Prim  memerah  susu  kambing  sebelum  ke sekolah. Dua pagi yang lalu aku masih ada di rumah. Benarkah! Ya, dua pagi lalu. Dan kini rumah itu terasa kosong, bahkan dalam jarak sejauh ini. Apa kata mereka tadi malam tentang  penampilan  perdanaku  yang  berapi-api  dalam  pembukaan  Hunger  Games? Apakah penampilanku memberi mereka harapan, atau hanya menambah ketakutan ketika mereka melihat kenyataan bahwa 24 peserta berkumpul bersama, dan sadar cuma satu orang yang bakal hidup?
Haymitch dan Peeta masuk, menyapaku selamat pagi, mengisi piring mereka. Aku kesal melihat Peeta memakai pakaian yang sama seperti yang kupakai. Aku harus bicara dengan  Cinna  tentang  ini.  Tampil  kembaran  seperti  ini  akan  jadi  masalah  bagi  kami setelah Hunger Games dimulai. Mereka pasti tahu soal ini. Kemudian aku ingat kata-kata Haymitch agar melakukan apa yang diperintahkan penata gaya. Kalau bukan Cinna yang jadi penata gaya, aku mungkin bakal tergoda untuk tidak memedulikannya. Tapi setelah kemenangan tadi malam, aku tidak punya alasan untuk mengkritik pilihan-pilihannya.
Aku tegang menghadapi latihan. Akan ada waktu tiga hari bagi semua peserta untuk berlatih  bersama.  Pada  sore  terakhir,  kami  berkesempatan  untuk  tampil  dalam  sesi pribadi di hadapan para juri Hunger Games. Membayangkan pertemuan langsung dengan peserta-peserta lain membuatku mual. Tanganku memutar-mutar roti yang kuambil dari keranjang, tapi nafsu makanku sudah hilang.
Setelah menghabiskan beberapa piring rebusan daging sapi, Haymitch mendorong
piringnya  sambil  mendesah.  Dia  mengambil  botol  kecil  dari  sakunya,  meminum  isi botolnya dengan lahap, lalu menyandarkan sikunya di meja. "Ayo, kita bereskan urusan kita. Latihan. Pertama-tama, kalau kalian mau aku bisa melatih kalian secara terpisah. Putuskan sekarang."
"Kenapa kau mau melatih kami secara terpisah?" tanyaku.
"Yah, siapa tahu kau punya keahlian tersembunyi yang tak ingin kauperlihatkan pada yang lain," kata Haymitch.
Aku bertukar pandang dengan Peeta.
"Aku tidak punya keahlian rahasia," ujar Peeta. "Dan aku sudah tau apa keahlianmu, kan? Maksudku, aku banyak makan tupai buruanmu."
Aku tak pernah membayangkan Peeta makan tupai yang kupanah. Entah bagaimana aku selalu membayangkan tukang roti diam-diam membersihkan dan menggoreng tupai-
tupai itu untuk dimakan sendiri. Bukan karena dia rakus, tapi karena keluarga-keluarga di
kota biasanya makan daging mahal yang dijual tukang daging. Daging sapi, ayam, dan kuda. "Kau bisa melatih kami bersama," kataku pada Haymitch.
"Aku tidak punya kemampuan apa-apa," sahut Peeta. "Kecuali kau menghitung kemampuanku memanggang roti."
"Maaf, itu tidak dihitung. Katniss, aku tahu kau mahir dengan pisau," kata Haymitch. "Tidak juga. Tapi aku bisa berburu," kataku. "Dengan busur dan panah."
"Apakah kau hebat?" tanya Haymitch.
Aku harus memikirkan jawabannya. Dengan berburu aku menyediakan makanan di rumah selama empat tahun. Itu bukan urusan kecil. Aku tidak sehebat ayahku, tapi dia memang lebih banyak latihan. Aku  lebih jitu memanah dibanding Gale, tapi aku lebih sering latihan dibanding dia. Gale piawai dalam membuat jerat dan perangkap.
"Ya, lumayanlah," jawabku.
"Dia hebat sekali," sambar Peeta. "Ayahku membeli tupai buruannya. Ayahku selalu berkomentar bahwa panahnya tak pernah menembus daging tupai. Dia selalu memanah matanya. Sama seperti kelinci yang dijualnya ke tukang daging. Dia bahkan bisa memburu rusa."
Aku terpana mendengar penilaian Peeta atas keahlian berburuku. Pertama, karena dia memperhatikannya. Kedua, dia sedang memujiku.
"Apa-apaan sih?" tanyaku curiga.
"Bagaimana kau ini? Kalau dia akan harus membantumu, dia perlu tahu apa saja keahlianmu. Jangan merendahkan dirimu sendiri," kata Peeta.
Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya ada yang salah.
"Bagaimana  denganmu?  Aku  pernah  melihatmu  di  pasar.  Kau  bisa  mengangkat seratus kilogram tepung terigu," aku membentaknya. "Katakan padanya. Itu bukannya tidak punya keahlian apa-apa."
"Ya, dan aku yakin arena pertarungan nanti bakal penuh dengan kantong tepung terigu yang bisa kujejalkan ke orang-orang. Itu kan bukannya keahlian menggunakan senjata. Kau pasti tahu," Peeta balas membentak.
"Dia bisa bergulat," aku memberitahu Haymitch. "Dia juara dua dalam pertandingan di sekolah kami tahun lalu, juara satunya adalah kakaknya."
"Apa  gunanya?  Berapa  kali  kau  melihat  ada  peserta  yang  bergulat  menghabisi
lawannya?" tanya Peeta mengejek.
"Biasanya selalu ada perkelahian satu lawan satu. Hanya dengan bersenjatakan pisau, kau masih punya kesempatan. Kalau aku disergap oleh lawan, aku pasti mampus!" aku bisa merasakan suaraku makin lama makin terisi kemarahan.
"Tapi kau takkan mati! Kau akan memanjat pohon makan tupai mentah dan menembaki  lawan  dengan  panah.  Kau  tahu  apa  kata  ibuku  ketika  dia  mengucapkan
selamat tinggal padaku, seakan dia ingin menghiburku, dia bilang mungkin Distrik Dua
Belas akhirnya akan punya pemenang. Kemudian aku sadar, yang dimaksud ibuku bukan aku, kaulah yang dimaksud ibuku!' Peeta menyemburkan amarahnya.
"Oh, maksudnya pasti kau," kataku sambil mengibaskan tangan tak peduli. "Ibuku bilang, 'Gadis itu sanggup bertahan hidup.' Gadis itu," kata Peeta.
Aku  terkesiap.  Apakah  ibunya  benar-benar  mengatakan  semua  hal  tentangku? Apakah dia menilaiku lebih hebat dibanding putranya? Aku melihat kepedihan di mata Peeta dan sadar dia tidak berbohong.
Mendadak aku seakan-akan berasa di belakang toko roti dan aku bisa merasakan
dinginnya air hujan yang mengalir di punggungku, kosongnya perutku yang belum diisi. Suaraku seperti anak berumur sebelas tahun ketika aku akhirnya bicara. "Tapi itu semua karena ada orang yang membantuku."
Mata  Peeta  mengerjap  lalu  tertuju  pada  roti  di  tanganku,  dan  aku  tahu  dia  juga teringat pada hari itu. Tapi Peeta hanya mengangkat bahu. "Orang-orang akan membantumu di arena. Mereka akan berebutan untuk menjadi sponsormu."
"Kau juga pasti diperebutkan," kataku.
Peeta   memutar   bola   matanya   memandang   Haymitch.   "Dia   sama   sekali   tidak menyadari pengaruh yang dimilikinya."
Kuku jemari Peeta menelusuri alur kayu di meja, matanya menolak memandangku. Apa sih maksud Peeta? Orang-orang membantuku? Saat kami hampir mati kelaparan,
tak   ada   seorangpun   membantuku!   Tak   seorang   pun   kecuali   Peeta.   Setelah   aku memperoleh barang-barang yang bisa kutukar dengan makanan, keadaan berubah. Aku
pedagang yang alot. Benarkah itu? Apa pengaruh yang kumiliki? Aku lemah dan butuh bantuan? Maksud Peeta aku memperoleh penawaran yang baik karena orang-orang kasihan padaku? Kurasa benar begitu. Mungkin ada beberapa pedagang yang agak loyal dalam  bertukar  barang  denganku,  tapi  aku  selalu  menganggapnya  karena  mereka memiliki hubungan baik dengan ayahku. Selain itu, hasil buruanku kelas satu. Tak ada seorang pun yang mengasihaniku.
Aku memandang tajam roti di tanganku, yakin Peeta bermaksud menghinaku.
Setelah lewat semenit, Haymitch berkata, "Hmm, begitu ya. Yah. Katniss, tidak ada jaminan bakal ada busur dan panah di arena, tapi pada sesi pribadi dengan juri, tunjukkan pada mereka apa yang bisa kaulakukan. Sebelum itu, jauhi semua kegiatan memanah. Apakah kau pandai membuat perangkap?"
"Aku tahu cara-cara dasar membuat jerat," aku bergumam.
"Itu mungkin penting dalam usaha mendapat makanan," kata Haymitch. "Dan Peeta, dia  benar,  jangan  pernah  meremehkan  kekuatan  di  arena.  Sering  kali  kekuatan    fisik
menjadi keuntungan bagi pemain. Di Pusat Latihan, akan ada angkat beban, tapi jangan
tunjukkan berapa berat yang bisa kauangkat di depan peserta lain. Rencananya sama untuk kalian berdua. Kalian ikut latihan kelompok. Pelajari apa yang tidak kalian ketahui. Melempar tombak. Mengayunkan tongkat. Belajar membuat simpul yang baik. Simpan kemampuan terbaikmu sampai pada sesi pribadi. Jelas?" tanya Haymitch.
Aku dan Peeta mengangguk.
"Satu  hal  lagi.  Di  depan  umum,  aku  ingin  kalian  berdua  selalu  bersama-sama sepanjang waktu," kata Haymitch.
Kami berdua hendak membantah, tapi Haymitch menghantamkan tangannya di meja. "Sepanjang waktu! Tidak boleh dibantah! Kalian akan berduaan, kalian akan tampil akrab
satu sama lain. Sekarang keluar. Jam sepuluh temui Effie di elevator untuk latihan."
Kugigit  bibirku dan  berjalan  kembali ke kamarku, kupastikan Peeta bisa mendengarku membanting pintu. Aku duduk di ranjang, benci pada Peeta, benci pada Haymitch, benci pada diriku sendiri karena menyinggung hari hujan yang sudah lama berlalu itu.
Konyol sekali! Aku dan Peeta akan berpura-pura bersahabat! Memuji kekuatan satu
sama lain, berkeras agar yang lain mau menerima kehebatan diri. Padahal kenyataannya, pada titik tertentu kami harus menyadarkan diri dan menerima kenyataan bahwa kami sebenarnya musuh. Aku sudah siap bersikap seperti musuh dengan Peeta jika saja Haymitch tidak memberi instruksi bodoh agar kami selalu bersama-sama saat latihan. Kurasa ini salahku juga, karena aku bilang padanya agar melatih secara terpisah. Tapi itu tidak berarti aku ingin selalu melakukan segalanya bersama Peeta. Lagi pula, dia juga jelas-jelas tidak mau berpasangan terus bersamaku.
Kata-kata Peeta bergaung dalam kepalaku. Dia sama sekali tidak menyadari pengaruh yang  dimilikinya.  Jelas  kata-kata  tersebut  bertujuan  merendahkanku.  Tapi  ada  bagian kecil dalam diriku yang bertanya-tanya apakah kata-kata tersebut mengandung pujian. Entah bagaimana dia mungkin saja menganggapku menarik. Aneh rasanya, menyadari bagaimana  dia  memperhatikanku.   Seperti  perhatiannya  pada  caraku  berburu.   Dan
ternyata, aku juga tidak semasa bodoh yang kubayangkan tentang dirinya. Tepung terigu. Gulat. Aku juga mengikuti kegiatan anak lelaki dengan roti itu.
Sudah hampir jam sepuluh. Aku menyikat gigi dan merapikan rambutku lagi. Untuk sementara kemarahan membuatku lupa pada kesedihanku bertemu dengan para peserta lain, tapi kini aku bisa merasakan kerisauanku muncul kembali. Saat bertemu Effie dan Peeta di elevator, aku sedang menggigiti kukuku. Aku segera menghentikan perbuatanku.
Ruang-ruang  latihan  berada  di  lantai  di  bawah  gedung  kami.  Dengan  elevator- elevator ini, kami sampai dalam waktu kurang dari satu menit. Pintu elevator terbuka menuju gymnasium besar yang penuh dengan berbagai senjata dan jalur-jalur rintangan. Meskipun belum jam sepuluh, kami ternyata pasangan terakhir yang tiba. Para peserta lain berkumpul dalam lingkaran kecil. Masing-masing memakai nomor distrik yang dijepitkan dipakaian mereka. Saat kain bernomor 12 dipasangkan ke punggungku, aku mengamati sekelilingku dengan cepat. Hanya aku dan Peeta yang berpakaian seragam.
Ketika kami bergabung dalam lingkaran, pelatih kepala, seorang wanita jangkung dan atletis bernama Atala melangkah maju dan menjelaskan jadwal latihan. Para ahli dalam masing-masing bidang keahlian akan tetap berada di pos mereka. Kami bebas berjalan dari satu tempat ke tempat lain yang kami pilih, sesuai dengan instruksi dari mentor kami. Beberapa pos mengajarkan teknik-teknik bertahan hidup, selain teknik-tenik perkelahian. Kami dilarang melakukan latihan pertarungan dengan peserta lain. Ada asisten yang siap sedia jika kami mau berlatih dengan lawan.
Ketika Atala mulai membicarakan daftar pos, mataku tidak bisa tidak melirik ke arah peserta lain. Inilah pertama kalinya kami berkumpul, di tempat yang sama, dalam pakaian sederhana. Hatiku mencelos. Hampir semua anak lelaki dan paling tidak setengah dari anak perempuan berukuran lebih besar daripada tubuhku, meskipun banyak dari peserta yang memperoleh makanan cukup. Kau bisa melihatnya dari tulang-tulang dan kulit mereka, serta tatapan kosong di mata mereka. Mungkin aku memang bertubuh kecil, tapi secara keseluruhan akal dan upayaku dalam keluarga memberikan keuntungan dalam hal itu.  Aku  berdiri tegak,  aku  kuat  meskipun kurus.  Daging dan tumbuh-tumbuhan yang kuperoleh dari hutan digabung dengan kerja keras yang harus kulakukan untuk memperolehnya  telah  memberiku  tubuh  yang  lebih  sehat  dibanding  sebagian  besar peserta yang kulihat di sekitarku.
Pengecualian terhadap anak-anak dari distrik yang lebih kaya, para peserta relawan, anak-anak yang diberi makan dan dilatih sepanjang hidup mereka untuk menjalani masa ini.  Para  peserta  distrik  1,  2,  dan  4  biasanya  memiliki  penampilan  ini.  Secara  teknis melatih peserta sebelum sampai  ke Capitol adalah pelanggaran, tapi itu terjadi setiap tahun. Di Distrik 12, kami menyebut mereka Peserta Karier, atau singkatnya Karier. Dan suka atau tidak, biasanya pemenangnya salah satu dari mereka.
Sedikit kelebihan yang kupunya ketika ke Pusat Latihan-penampilan perdanaku yang penuh api tadi malam-seakan lenyap dalam kehadiran pesaingku. Peserta-peserta lain cemburu pada kami, bukan karena kami hebat, tapi karena penata gaya kami. Aku bisa melihat penghinaan di mata para Peserta Karier sekarang. Masing-masing dari mereka dua puluh kilogram sampai lima puluh kilogram lebih berat daripadaku. Mereka menunjukkan  kebrutalan  dan  kesombongan.  Ketika  Atala  melepaskan  kami,  mereka
langsung menuju ke tempat senjata-senjata paling mematikan di gym dan memeganginya dengan santai.
Aku sedang berpikir bahwa aku  beruntung karena aku bisa berlari dengan cepat ketika Peeta menarik tanganku dan aku terlonjak. Dia masih berada di sampingku, sesuai instruksi Haymitch. Wajahnya tampak tenang. "Kau mau mulai dari mana?"
Aku melihat Peserta-Peserta Karier sedang pamer, berusaha untuk membuat takut peserta  lain.  Kemudian  di  sisi  lain,  anak-anak  yang  kurang  makan,  tidak  kompeten, tampak tegang belajar menggunakan pisau atau kapak untuk pertama kali.
"Bagaimana kalau kita belajar membuat simpul," kataku. "Aku ikut kau saja," sahut Peeta.
Kami menyeberang menuju pos kosong, yang pelatihnya tampak senang mendapat murid. Aku mendapat firasat bahwa kelas mengikat simpul tali bukanlah pilihan favorit Hunger Games. Ketika pelatihnya tahu bahwa aku mengerti sedikit tentang cara membuat jerat, dia menunjukkan cara sederhana yang hebat dalam membuat perangkap yang bisa membuat  manusia tergantung  di  pohon  dengan kaki  terikat  tali.  Kami  berkonsentrasi pada keahlian ini selama satu jam sampai kami berdua menguasainya. Kemudian kami berlanjut ke kamuflase. Tampaknya Peeta sungguh-sungguh menyukai pos ini, dia mengoleskan campuran lumpur, tanah liat, dan jus berry di kulitnya yang pucat, berusaha menyamar diantara tanaman rambat dan dedaunan. Pelatih yang mengajar di pos kamuflasi ini sangat antusias dengan pekerjaannya.
"Aku yang membuat kue," Peeta tiba-tiba mengaku padaku.
"Kue?"  tanyaku.  Aku  sedang  sibuk  melihat  anak  lelaki  dari  Distrik  2  melempar tombak menembus jantung boneka dari jarak lima belas meter. "Kue apa?"
"Di rumah. Kue yang ada lapisan gula, di toko roti," jawab Peeta.
Maksud Peeta adalah kue-kue yang dipajang di jendela. Kue-kue cantik dengan bunga dan hiasan-hiasan indah yang dibuat dengan lapisan gula. Kue-kue itu biasanya untuk ulang tahun dan Tahun Baru. Pada saat kami di kota, Prim selalu menyeretku ke sana untuk mengagumi kue-kue itu, meskipun kami tak pernah sanggup membelinya. Tidak banyak keindahan di Distrik 12, jadi aku tidak bisa melarang Prim menikmati semua itu.
Aku  mengamati  desain  di  bagian  lengan  Peeta.  Pola  berwarna  terang  dan  gelap seakan memperlihatkan cahaya matahari yang menembus dedaunan di hutan. Aku penasaran apakah dia tahu tentang hal ini, karena aku tidak yakin dia pernah berada di luar pagar distrik kami. Apakah dia bisa melihat semua ini dari pohon apel tua yang berdaun jarang di halaman belakang rumahnya? Entah bagaimana semua ini-keahliannya,
kue-kue yang tak sanggup kubeli, pujian dari ahli kamuflasi-membuatku kesal.
"Menyenangkan sekali. Seandainya kau bisa menghias orang dengan lapisan gula sampai mati," kataku.
"Jangan sok jago. Kau tak pernah tahu apa yang bisa kautemukan di arena nanti. Seandainya, siapa tahu bakal ada kue raksasa...," ujar Peeta.
"Seandainya kita jalan terus," aku memotong ucapannya.
Jadi selama tiga hari aku dan Peeta berpindah dari satu pos ke pos lain tanpa banyak bicara.   Kami   mempelajari   beberapa   keahlian   berharga,   mulai   dari   membuat   api, melempar pisau, dan membuat perlindungan. Walaupun Haymitch memberi perintah agar
kami tampil biasa-biasa saja, Peeta unjuk gigi dalam pertarungan satu lawan satu, dan aku lolos tes tentang tanaman-tanaman apa saja yang bisa dimakan dengan mudah. Tapi kami menjauh dari panahan dan angkat berat, karena ingin menyimpannya untuk sesi pribadi.
Juri Hunger Games datang awal pada hari pertama. Sekitar dua puluh pria dan wanita berpakaian jubah ungu. Mereka duduk di kursi di podium tinggi yang mengelilingi gym, kadang-kadang mengamati kami sambil berjalan-jalan, menuliskan catatan, di lain waktu menyantap makanan lezat yang tersedia tanpa henti untuk mereka, dan mengabaikan
kami. Tetapi mereka tampaknya terus mengawasi peserta dari Distrik 12. Beberapa kali
aku mendongak dan melihat salah satu dari mereka memperhatikanku. Mereka berkonsultasi dengan para pelatih saat kami istirahat makan. Kami melihat mereka berkumpul bersama ketika kami kembali.
Sarapan dan makan malam disajikan di lantai kami, tapi saat makan siang, dua puluh empat  peserta  makan  di  ruang  makan tidak jauh  dari  gymnasium. Makanan ditata  di kereta-kereta di sekitar ruangan dan para peserta mengambil sendiri makanan yang diinginkan. Para Peserta Karier biasanya perkumpul di dekat satu meja sambil bicara berbisik, seakan ingin membuktikan superioritas mereka, bahwa mereka tidak takut dan menganggap   kami-peserta-peserta   yang   lain-tidak   layak   diperhatikan.   Kebanyakan peserta lain duduk sendirian, seperti domba tersesat. Tak ada seorang pun yang bicara dengan kami. Aku dan Peeta makan bersama, dan karena Haymitch terus merongrong kami, maka kami berusaha mengobrol akrab selama makan.
Tidak mudah mencari topik pembicaraan. Bicara soal rumah rasanya menyakitkan. Bicara soal peristiwa yang terjadi sekarang rasanya tak tertahankan. Suatu hari, Peeta mengeluarkan semua roti dari keranjang dan memperlihatkan bagaimana mereka menyertakan semua ciri khas distrik dalam roti buatan Capitol. Roti tawar berbentuk ikan dengan bintik-bintik hijau dari ganggang laut dari Distrik 4. Roti berbentuk bulan sabit dengan biji-bijian dari Distrik 11. Entah bagaimana, meskipun dibuat dari bahan yang sama, roti-roti ini kelihatan lebih enak dibanding biskuit-biskuit jelek tanpa rasa yang jadi standar di rumah.
"Jadi kau tahu sekarang," kata Peeta, memasukkan kembali roti-roti itu ke dalam keranjang.
"Kau tahu banyak ya," kataku.
"Hanya tentang roti," katanya. "Oke, sekarang tertawa seolah-olah aku baru saja menceritakan sesuatu yang lucu."
Kami berdua tertawa dengan meyakinkan dan mengabaikan tatapan dari peserta- peserta lain di ruangan.
"Baiklah, sekarang aku akan tersenyum senang dan kau bicara," kata Peeta.
Perintah Haymitch untuk bersikap bersahabat membuat kami lelah. Karena sejak aku membanting pintu, ada ketegangan di antara kami. Tapi bagaimanapun kami sudah mendapat perintah.
"Pernah tidak aku cerita tentang kejadian ketika aku dikejar beruang?" tanyaku. "Belum, tapi kedengarannya seru," jawab Peeta.
Aku berusaha menampilkan mimik muka yang lucu ketika menceritakan kembali kejadian itu, cerita itu sungguhan terjadi, ketika aku dengan konyol menantang beruang
hitam demi mendapatkan sarang lebah. Peeta tertawa dan menanyakan pertanyaan- pertanyaan yang tepat. Dalam hal ini dia lebih jago daripada aku.
Pada hari kedua ketika kaki berlatih melempar tombak, Peeta berbisik, "kurasa kita dibuntuti."
Aku melempar tombakku, lemparanku lumayan bagus sebenarnya, kalau saja aku tidak harus melempar terlalu jauh. Saat itulah aku melihat gadis kecil dari Distrik 11 yang berada tidak jauh tapi tetap menjaga jarak, sedang mengawasi kami. Dia gadis dua belas
tahun, yang  sosoknya  mengingatkanku  pada Prim. Jika dilihat lebih dekat dia  tampak
seperti anak sepuluh tahun. Matanya hitam berkilau, dan kulitnya halus kecokelatan, dan dia berdiri sedikit berjinjit dengan bertolak pinggang, seakan siap-siap mengembangkan sayapnya jika terdengar aba-aba. Melihatnya menbuatku teringat pada burung.
Kuambil tombak yang lain sementara Peeta melemparkan tombaknya. "Kalau tidak salah namanya Rue," ujar Peeta pelan.
Kugigit bibirku. Rue adalah bunga kuning kecil yang tumbuh di Padang Rumput. Rue. Primrose. Dua-duanya tampak kurus, ringkih, dan rapuh.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku, dengan nada lebih kasar dari seharusnya. "Tidak ada," sahut Peeta. "Kita ngobrol saja."
Kini setelah aku mengetahui keberadaannya, sulit untuk mengabaikan dirinya. Dia menyelinap dan bergabung dengan kami di pos lain. Seperti aku, dia pandai dalam bidang tumbuh-tumbuhan, bisa memanjat dengan gesit, dan bidikannya jitu. Dia selalu bisa mengenai sasaran dengan ketapel. Tapi apa gunanya ketapel melawan lelaki berpedang
yang beratnya seratus kilogram?
Kembali ke lantai Distrik 12, sepanjang sarapan dan makan malam Haymitch dan Effie menanyai kami habis-habisan tentang kejadian sepanjang hari. Apa yang kami lakukan, siapa yang mengawasi kami, bagaimana persiapan peserta-peserta lain. Cinna dan Portia tidak ada di sana, jadi tidak ada yang membuat acara makan ini jadi lebih tenang. Haymitch dan Effie memang sudah tidak bertengkar lagi. Malahan mereka seperti punya visi bersama, bertekad membuat kami siap sedia. Mereka terus merempet memberi pengarahan  tentang  apa  yang  harus  kami  lakukan  dan  sebaiknya  tidak  kami  lakukan dalam latihan. Peeta lebih sabar mendengarkan, tapi aku muak dan menampilkan wajah masam.
Ketika kami akhirnya tidur pada malam kedua, Peeta menggerutu, "Harusnya ada yang memberi Haymitch minuman keras."
Aku mengeluarkan suara tidak jelas antara mendengus dan tertawa. Kemudian aku cepat-cepat menyadarkan diri. Otakku jadi tidak beres karena bingung aku harus bersikap bersahabat dan kapan tidak. Paling tidak, kami berada di arena, aku tahu di mana posisi kami. "Jangan. Tidak perlu berpura-pura saat tidak ada orang."
"Baiklah, Katniss," kata Peeta lelah.
Sehabis itu, kami hanya bicara di depan orang.
Pada hari ketiga latihan, mereka mulai memanggil kami saat makan siang untuk sesi pribadi dengan juri Hunger Games. Satu demi satu distrik, pertama peserta lelaki baru kemudian yang perempuan. Seperti biasa, Distrik 12 dipanggil terakhir. Kami tetap berada di ruang makan, tidak tahu harus pergi kemana. Tak ada seorangpun yang kembali setelah
mereka dipanggil. Ketika ruangan makin kosong, tekanan pun terasa makin ringan. Saat mereka memanggil Rue, kami hanya berduaan di ruangan ini. Kami duduk dalam keheningan sampai mereka memanggil Peeta. Dia bangkit berdiri.
"Ingat saran Haymitch agar percaya diri saat mengangkat beban." Kata-kata tersebut meluncur keluar dari mulutku tanpa rencana.
"Trims. Akan kulakukan," katanya. "Dan kau... memanah dengan lurus."
Aku mengangguk. Entah kenapa aku bicara sepeti itu. Jika aku harus kalah, lebih baik
Peeta yang menang daripada peserta lain. Lebih baik bagi distrik kami, ibuku dan Prim.
Setelah sekitar lima belas menit, mereka memanggil namaku. Kurapikan rambutku, kutegakkan punggungku, lalu berjalan memasuki gym. Seketika aku tahu aku dalam masalah. Para juri sudah terlalu lama berada di ruangan ini. Duduk memperhatikan 23 penampilan  dari  peserta-peserta  lain. Kebanyakan dari  mereka  juga  tidak sabar ingin buru-buru pulang.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain melanjutkan rencanaku. Aku berjalan ke pos panahan. Oh, senjata-senjata ini! Tanganku sudah gatal ingin memegang busur dan panah selama berhari-hari! Busurnya terbuat dari kayu, plastik, logam, dan bahan-bahan lain yang tak bisa kusebutkan namanya. Anak panahnya lengkap dengan bulu dipotong dalam bentuk  seragam.  Aku  memilih  busur,  menarik  talinya,  dan  menyandang  tempat  anak panah di bahuku. Di ruangan terdapat jalur tembak, tapi tempatnya terbatas. Ada sasaran tembak  standar  dan  siluet-siluet  manusia.  Aku  berjalan  ke  bagian  tengah  gym  dan memilih sasaran pertamaku. Orang-orangan yang digunakan untuk latihan melempar pisau. Saat menarik tali busur, aku tahu ada yang salah. Talinya lebih tegang daripada panah yang kugunakan di rumah. Anak panahnya lebih kaku. Tembakanku meleset beberapa sentimeter dari sasaran dan aku kehilangan perhatian yang kubutuhkan. Sesaat, aku merasa malu, kemudian aku kembali ke sasaran tembak. Aku memanah lagi dan lagi sampai aku bisa merasakan irama senjata baruku ini.
Aku kembali ke bagian tengah gym, mengambil ancang-ancang dan tembakanku menembus bagian jantung orang-orangan itu. Kemudian anak panahku memotong tali yang  menahan  kantong  pasir  untuk  tinju,  hingga  kantongnya  terbuka  dan  pasirnya tumpah ketika jatuh ke lantai. Tanpa berhenti, aku bersalto ke depan, sebelah kakiku berlutut, dan anak panahku mengenai lampu-lampu gantung di atas lantai gym. Percikan api menyembur dari lampu-lampu itu.
Tembakanku luar biasa. Aku menoleh memandang para juri. Beberapa juri mengangguk memberi pujian, tapi lebih banyak lagi yang tatapannya tertuju pada babi panggang yang baru tiba di meja mereka.
Tiba-tiba aku marah sekali, saat hidupku berada di ujung tanduk seperti ini, mereka bahkan tidak mau meluangkan waktu memperhatikanku.   Bahkan aku kalah pamor dibanding babi mati. Jantungku berdebar cepat, aku bisa merasakan wajahku terbakar amarah. Tanpa pikir panjang, aku menarik anak panah dari kantong dan mengarahkan ke meja juri. Kudengar teriakan kaget ketika orang-orang terjajar mundur. Panahku menembus apel yang berada di mulut babi dan menancapkan apel itu ke dinding yang berada di belakangnya. Semua orang memandangku tak percaya.
"Terima kasih atas perhatiannya," kataku. Lalu aku menunduk memberi hormat dan berjalan ke luar tanpa menunggu izin mereka.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates