The Hunger Games indonesia bagian 16
Rue telah memutuskan untuk mempercayaiku sepenuh hati. Aku tahu karena ketika lagu kebangsaan selesai diputar, Rue bergelung di dekatku lalu langsung tertidur. Aku juga tidak punya perasaan waswas terhadapnya, hingga aku tidak merasa perlu berjaga-jaga. Kalau dia mau aku mati, dia hanya perlu menghilang dari pohon itu tanpa menunjukkan sarang tawon penjejak itu padaku. Ada hal yang mengusik benakku terus-menerus, suatu hal yang sudah jelas. Kami berdua tidak bisa sama-sama jadi pemenang Hunger Games. Tapi karena kemungkinan untuk kami bisa bertahan hidup tidak berpihak pada kami, aku berhasil mengabaikan pikiran tersebut.Selain itu pikiranku teralih dengan gagasan terbaruku tentang kawanan Karier dan persediaan makanan mereka. Aku yakin mereka pasti akan sulit mencari makanan untuk diri mereka sendiri. Biasanya, peserta-peserta Karier membuat strategi untuk menguasai makanan sejak awal, lalu baru membuat perencanaan dari sana. Tahun-tahun ketika mereka tidak menjaga makanan mereka dengan baik-sekali ketika kawanan reptil mengerikan menghabiskannya, sekali lagi ketika banjir buatan Juri Pertarungan menghancurkannya-dan biasanya pada tahun-tahun itulah peserta dari distrik lain jadi pemenangnya. Para peserta Karier yang biasanya mendapat makanan dengan baik justru tidak menguntungkan buat mereka, karena mereka tidak tahu bagaimana rasanya lapar. Mereka tidak kenal lapar seperti yang dikenal aku dan Rue.
Tapi aku terlalu lelah untuk menjelaskan rencana kami malam ini. Luka-lukaku mulai sembuh, pikiranku masih agak berkabut karena bisa tawon, dan kehangatan tubuh Rue disampingku, dengan kepalanya disandarkan ke bahuku membuatku merasa aman. Untuk pertama kalinya, aku sadar betapa kesepiannya aku di arena pertarungan ini. Betapa nyamannya arti kehadiran manusia lain di dekatku. Aku menyerah pada rasa kantukku, bertekad akan mengubah keadaan besok. Besok, para Karier-lah yang harus waspada.
Tembakan meriam membuatku terlompat bangun. Di langit ada kilatan cahaya, burung-burung sudah bernyanyi. Rue berjongkok di dahan pohon seberangku, kedua tangannya menutupi sesuatu. Kami menunggu, mendengarkan adanya tembakan lain, tapi ternyata tak ada lagi.
"Menurutmu siapa yang tewas?" Mau tidak mau aku teringat pada Peeta.
"Aku tidak tahu. Bisa saja selain mereka," jawab Rue. "Kurasa kita tidak bakal tahu jawabannya malam ini."
"Siapa saja yang tersisa?" tanyaku lagi.
"Anak lelaki dari Distrik Satu. Dua peserta dari Distrik Dua. Anak lelaki dari Distrik Tiga. Aku dan Thresh. Kau dan Peeta." jawab Rue. "Sudah delapan. Tunggu, ada anak lelaki dari Distrik Sepuluh, yang kakinya luka. Sudah sembilan."
Masih ada seorang lagi, tapi kami berdua tidak bisa mengingatnya. "Aku penasaran bagaimana yang tadi itu tewas ya?" tanya Rue.
"Entahlah. Tapi bagus buat kita. Ada yang tewas membuat penonton jadi menaruh perhatian. Mungkin kita bisa punya waktu melakukan sesuatu sebelum Juri Pertarungan memutuskan bahwa pertarungan berjalan terlalu lambat," kataku. "Apa yang ada di tanganmu?"
"Sarapan," jawab Rue. Dia mengulurkan tangannya dan memperlihatkan dua buah telur besar.
"Telur apa itu?" tanyaku.
"Tidak tahu. Ada daerah rawa di dekat sana. Mungkin semacam burung air," jawabnya.
Pasti enak bisa memasak telur-telur ini, tapi kami berdua tak ada yang berani mengambil risiko untuk menyalakan api. Perkiraanku adalah peserta yang tewas hari ini
adalah korban dari peserta Karier, dan itu berarti mereka sudah pulih sepenuhnya untuk
kembali bertarung. Kami masing-masing menyedot isi telur, menyantap daging paha kelinci, dan buah-buah berry. Sarapan yang menyenangkan.
"Sudah siap?" tanyaku, sambil memakai ranselku.
"Siap untuk apa?" tanya Rue, tapi melihat caranya melompat aku tahu dia siap melakukan apa pun usulanku.
"Hari ini kita akan menghabisi makanan peserta Karier," kataku.
"Sungguh? Bagaimana caranya?" Aku bisa melihat binar semangat di matanya. Dalam hal ini, dia berbeda jauh dari Prim yang menganggap petualangan adalah siksaan.
"Belum tahu. Ayo, kita akan pikirkan rencananya sambil berburu," kataku.
Namun, kami tidak bisa berburu banyak karena aku terlalu sibuk mengumpulkan semua informasi yang bisa kuperoleh dari Rue tentang markas peserta-peserta Karier. Rue hanya sebentar memata-matai mereka, tapi pengamatannya jeli. Mereka membuat kemah di samping danau. Persediaan makanan mereka jaraknya hanya sekitar tiga puluh meter. Pada siang hari, mereka meninggalkan anak lelaki dari Distrik 3 untuk mengawasi persediaan.
"Anak lelaki dari Distrik Tiga?" tanyaku. "Dia bekerja bersama mereka?"
"Ya, dia berjaga di kemah terus-menerus. Dia juga kena sengatan tawon saat mereka dikejar tawon penjejak sampai ke danau," kata Rue. "Kurasa mereka membiarkannya hidup jika dia kau jadi penjaga kemah. Tapi tubuhnya tidak terlalu besar."
"Senjata apa yang dimilikinya?" tanyaku.
"Tidak banyak yang bisa kulihat. Ada tombak. Dia mungkin bisa menahan beberapa orang dari kita dengan tombak itu, tapi Thresh bisa membunuhnya dengan mudah," ujar Rue.
"Dan makanan itu ada di tempat terbuka?" tanyaku. Rue mengangguk. "Ada yang tidak beres dengan seluruh pengaturan ini."
"Aku tahu. Tapi aku juga tidak tahu apa tepatnya," kata Rue. "Katniss, seandainya kau bisa menguasai makanan mereka, bagaimana kau menghabiskannya?"
"Bakar. Buang ke danau. Siram dengan minyak." Kucolek perut Rue, seperti yang sering kulakukan pada Prim. "Dimakan!"
Rue terkikik. "Jangan kuatir, akan kupikirkan caraya. Menghancurkan lebih mudah daripada membuatnya."
Selama beberapa saat, kami menggali umbi-umbian, mengumpulkan buah-buah berry dan sayuran hijau, dan menyusun rencana dengan suara berbisik-bisik. Dan aku jadi mengenal Rue, anak pertama dari enam bersaudara, mati-matian melindungi adik-adiknya, memberikan jatah makanannya pada anak-anak yang lebih kecil, berkelana mencari
makanan di padang rumput di distrik dengan tentara Penjaga Perdamaian yang tidak sepatuh di distrik kami. Saat aku menanyakan pada Rue apa yang paling disukainya di dunia ini, dia menjawab, "Musik."
"Musik?" tanyaku. Dalam dunia kami, aku menempatkan kegunaan musik antara pita rambut dan pelangi. Paling tidak, pelangi bisa memberikan petunjuk tentang cuaca. "Kau punya banyak waktu untuk melakukannya?"
"Kami bernyanyi di rumah. Saat bekerja juga. Itu sebabnya aku suka pinmu," kata Rue, menunjuk pin mockingjay yang nyaris tidak kuingat lagi.
"Kau punya mockingjay?" tanyaku.
"Oh, ya, bahkan ada yang jadi teman-teman istimewaku. Kami bisa bernyanyi bersama selama berjam-jam. Mereka menyampaikan pesan-pesan untukku," katanya.
"Apa maksudmu?" aku bertanya.
"Aku biasanya berada di puncak tertinggi, jadi aku yang pertama kali melihat bendera yang menandakan waktu bekerja usai. Ada lagu spesial yang kunyanyikan," kata Rue. Dia
membuka mulut dan terdengar suara bening dan manis melantunkan empat not singkat.
"Lalu burung-burung mockingjay menyebarkan lagunya di taman buah. Itulah cara semua orang tahu kapan saatnya berhenti bekerja," lanjutnya. "Tapi burung-burung itu bisa juga berbahaya, kalau kita berada terlalu dekat dengan sarang mereka. Tapi kau tidak bisa menyalahkan mereka karena itu."
Aku melepaskan pin dan mengulurkannya pada Rue. "Ini, ambil saja. Pin ini punya arti lebih untukmu daripada untukku."
"Oh, jangan," tukas Rue, mengatupkan lagi jemariku agar mengambil pin itu kembali. "Aku senang melihat pin itu kau pakai. Itulah caraku memutuskan bahwa aku bisa
memercayaimu. Lagi pula, aku punya ini." Rue mengeluarkan kalung berbahan semacam anyaman rumput dari balik bajunya. Dikalung itu tergantung bandul berbentuk bintang
kayu yang diukir kasar. Atau mungkin juga bentuknya bunga. "Ini jimat keberuntungan."
"Yah, sejauh ini jimatnya bekerja," kataku, sambil menjepitkan pin mockingjay ke bajuku. "Mungkin baiknya kau tetap memakai jimatmu."
Pada saat makan siang, kami sudah punya rencana. Selewat tengah hari, kami bersiap melaksanakannya. Aku membantu Rue mengumpulkan dan menaruh kayu bakar untuk salah satu dari dua api unggun yang harus kubuat, dan api unggun yang ketiga dibuat oleh Rue sendiri. Kami memutuskan untuk bertemu sesudahnya di tempat kami makan bersama pertama kali. Aliran air akan menuntunku ke sana. Sebelum pergi, kupastikan Rue memiliki cukup makanan dan korek api. Aku bahkan memaksanya mengambil kantong tidurku, berjaga-jaga seandainya kami tidak bisa bertemu saat malam tiba.
"Bagaimana denganmu? Kau bakal kedinginan," katanya.
"Tidak bakal, kalau aku bisa mengambil kantong tidur lain di dekat danau," jawabku. "Kau tahu kan, di sini mencuri bukan perbuatan ilegal," kataku sambil nyengir.
Di saat terakhir, Rue memutuskan untuk mengajariku sinyal mockingjay-nya. Sinyal yang menandakan hari kerja berakhir. "Mungkin tidak berguna. Tapi kalau kau mendengar mockingjay menyanyikannya, itu artinya aku baik-baik saja, tapi aku tidak bisa langsung menemuimu.
"Memangnya banyak burung mockingjay di hutan ini?" tanyaku.
"Kau tidak pernah melihatnya? Sarang mereka ada di mana-mana," jawabku. Aku terpaksa mengakui bahwa aku tidak memperhatikannya.
"Oke, kalau begitu. Jika semua berjalan sesuai rencana, kita akan bertemu pada saat makan malam," kataku.
Tanpa kuduga, Rue merangkulkan kedua lengannya memelukku. Aku hanya ragu sejenak sebelum balas memeluknya.
"Hati-hati ya," kata Rue padaku.
"Kau juga," balasku. Aku berbalik dan berjalan menuju sungai, entah kenapa merasa agak cemas. Aku mencemaskan Rue bakal tewas, mencemaskan Rue tidak terbunuh dan hanya kami berdua yang tersisa. Aku memikirkan meninggalkan Rue seorang diri, memikirkan meninggalkan Prim seorang diri di rumah. Tidak juga, Prim punya ibuku dan Gale serta tukanh roti yang sudah berjanji takkan membiarkannya kelaparan. Rue hanya
punya aku.
Saat tiba di sungai, aku hanya perlu menyusurinya hingga sampai ketempat aku pertama kali menemukan sungai setelah diserang tawon penjejak. Aku harus berhati-hati sepanjang perjalananku, karena otakku penuh dengan banyak pertanyaan tak terjawab, yang kebanyakan tentang Peeta. Meriam yang ditembakkan pagi-pagi tadi, apakah itu menandakan kematiannya? Jika benar begitu, bagaimana dia bisa tewas? Apakah dia dibunuh oleh para peserta Karier? Dan apakah dia tewas karena mereka ingin membalas dendam karena Peeta membiarkanku hidup? Aku berusaha lagi mengingat saat aku berada di dekat mayat Glimmer, ketika Peeta melesat keluar dari pepohonan. Tapi melihat kenyataan bahwa dia berkilauan air membuatku meragukan segala yang telah terjadi.
Aku pasti berjalan amat pelan kemarin karena aku tiba di bagian sungai yang dangkal tempatku mandi hanya dalam waktu beberapa jam. Aku berhenti untuk mengisi airku dan menambahkan selapis lumpur di ranselku. Rasanya berapa kalipun aku menutupi tetap saja ransel itu menunjukkan warna oranyenya.
Kedekatanku dengan kamp para peserta Karier mempertajam indra-indraku, dan semakin dekat aku dengan tempat mereka, semakin tinggi kewaspadaanku. Aku sering berhenti untuk mendengarkan suara-suara yang tak lazim, sebatang anak panah sudah dipaskan ke busurku. Aku tidak melihat peserta lain, tapi aku memperhatikan beberapa hal yang disebutkan Rue. Gerumbulan buah berry manis. Semak dengan dedaunan yang menyembuhkan luka sengatanku. Kerumunan sarang tawon penjejak di dekat pohon tempat aku terjebak. Dan di sana-sini, ada kilasan hitam-putih sayap mockingjay di dahan- dahan tinggi di atas kepalaku.
Saat aku tiba di pohon dengan sarang yang terbengkalai di bawahnya, aku berhenti sejenak untuk mengumpulkan keberanianku. Rue sudah memberikan instruksi-instruksi khusus agar bisa sampai ke tempat terbaik untuk memata-matai di dekat danau dari tempat ini. Jangan lupa, aku mengingatkan diriku. Kaulah pemburunya sekarang, bukan
mereka. Kugenggam busurku makin erat lalu terus berjalan. Aku akhirnya sampai ke
sesemakan dengan pohon-pohon kecil yang diberitahukan Rue padaku dan sekali lagi aku harus mengagumi kecerdasannya. Sesemakan itu ada di tepi hutan, tapi semak sangat tebal hingga dengan mudah aku bisa mengamati kamp peserta Karier tanpa ketahuan. Di antara kami terbentang tanah lapang luas tempat Hunger Games dimulai.
Ada empat peserta. Anak lelaki dari Distrik 1, Cato dan anak perempuan dari Distrik 2, dan bocah lekaki kurus kering berkulit pucat yang pasti dari Distrik 3. Anak lelaki itu nyaris tidak meninggalkan kesan padaku selama kami di Capitol. Aku nyaris tidak ingat apa pun tentang dia, kostumnya, atau nilai latihannya, bahkan wawancaranya. Bahkan saat ini, ketika dia berada di sana memegang semacam kotak plastik, keberadaannya di sana dengan mudah diabaikan oleh teman-temannya yang lebih besar dan dominan. Tapi anak lelaki itu pasti memiliki kemampuan, kalau tidak buat apa mereka repot-repot membiarkannya tetap hidup. Namun, melihatnya aku malah jadi tambah gelisah kenapa peserta Karier bisa menjadikannya sebagai penjaga, dan belum membunuhnya hingga sejauh ini.
Keempat peserta tampaknya sudah pulih dari serangan tawon penjejak. Bahkan dari jarak sejauh ini, aku bisa melihat bengkak-bengkak di tubuh mereka. Mereka pasti tidak terpikir untuk melepaskan sengat-sengat itu, atau jika mereka melepaskannya, mereka tidak tahu jenis daun apa yang bisa menyembuhkan mereka. Tampaknya, obat-obatan apa pun yang mereka temukan di Cornucopia tidak efektif.
Cornucopia berada di posisi asalnya, tapi segala isinya sudah disapu bersih. Sebagian besar persediaan, yang ditaruh di kotak-kotak, karung goni, dan wadah plastik, ditumpuk rapi dalam bentuk piramida dalam jarak yang tak wajar dari kamp. Barang-barang lain disebarkan begitu saja di sekitar piramida, hampir mirip dengan susunan sebaran persediaan di sekitar Cornucopia sewaktu dimulainya pertarungan ini. Kanopi berjaring, segala untuk menjauhkannya dari burung, tampak tidak ada gunanya untuk melindungi piramida.
Semua pengaturan ini membingungkan. Jaraknya, jaring, dan keberadaan anak lelaki dari Distrik 3. Satu hal yang pasti, menghancurkan persediaan mereka tidak semudah kelihatannya. Ada faktor lain yang bermain di sini, dan lebih baik aku berjaga-jaga sampai aku tahu apa jebakannya. Tebakanku adalah piramida itu dipasangi perangkap entah bagaimana caranya. Aku membayangkan lubang perangkap, jaring yang bisa jatuh dan mengurung korbannya, benang yang bila putus akan menembakkan panah beracun ke jantungnya. Ragam kemungkinannya tak terbatas.
Ketika aku sedang mempertimbangkan pilihan-pilihanku, aku mendengar Cato berteriak. Dia menunjuk ke hutan, jauh di belakangku, dan tanpa menoleh aku tahu Rue pasti sudah menyalakan api unggun. Kami memastikan agar daun-daun yang dibakar cukup banyak agar asapnya bisa kelihatan jelas. Para peserta Karier bergegas mempesenjatai diri.
Mendadak terdengar pertengkaran. Suara mereka cukup keras hingga bisa kudengar,
mereka berdebat apakah anak lelaki dari Distrik 3 sebaiknya ikut atau tinggal.
"Dia ikut kita. Kita butuh dia di hutan, lagi pula pekerjaannya di sini sudah selesai. Tak ada seorang pun yang bisa menyentuh persediaan kita." kata Cato.
"Bagaimana dengan Lover Boy?" tanya anak lelaki dari Distrik 1.
"Sudah kubilang berkali-kali, lupakan dia. Aku tahu di bagian mana kutusuk dia. Ajaib juga, dia belum mati kehabisan darah sampai sekarang. Dan dalam kondisinya sekarang dia tak bakal sanggup menjarah persediaan kita," sahut Cato.
Jadi Peeta ada di hutan, terluka parah. Tapi aku masih tidak memahami motivasinya mengkhianati para peserta Karier.
"Ayo," kata Cato. Dia menyodorkan tombak ke tangan anak lelaki dari Distrik 3, dan mereka berjalan menuju arah api. Kata-kata terakhir yang kudengar ketika mereka memasuki hutan adalah ucapan Cato, "Saat kita menemukannya, aku akan membunuhnya dengan caraku sendiri, dan tak ada seorang pun yang boleh ikut campur."
Entah bagaimana, aku merasa dia tidak bicara tentang Rue. Lagi pula, bukan dia yang menjatuhkan sarang tawon penjejak ke kepalanya.
Aku masih berdiam di posisiku selama sekitar setengah jam, berusaha mencari tahu apa yang harus kulakukan dengan persediaan mereka. Jarak adalah satu keuntungan yang kumiliki dengan busur dan panah. Dengan mudah aku bisa mengirimkan panah berapi ke piramida persediaan mereka-aku cukup hebat untuk bisa menembakkan panah masuk ke
celah antara jaring-tapi tak ada jaminan tembakanku akan berhasil membakar persediaan
mereka. Kemungkinan besar api di panah akan padam sendiri, lalu apa? Aku gagal dan memberi mereka terlalu banyak informasi tentang diriku. Bahwa aku ada di sini, punya kaki-tangan, dan aku pandai menggunakan busur panah.
Tidak ada jalan lain. Aku harus mendekat dan melihat apakah aku tidak dapat menemukan apa yang sebenarnya melindungi persediaan itu. Aku baru saja hendak keluar dari sesemakan ketika mataku menangkap gerakan. Beberapa ratus meter di sebelah kananku, aku melihat ada orang muncul dari dalam hutan. Sedetik kukira gadis itu Rue, tapi kemudian aku mengenali si Muka Rubah-dialah yang tidak bisa kami ingat tadi pagi-
mengendap-endap ke tanah lapang. Ketika dia menganggap situasi sudah aman, dia
berlari menuju piramida dengan langkah-langkah pendek dan cepat. Sebelum sampai ke lingkaran dengan persediaan yang berserakan di sekitar piramida, dia berhenti, melihat- lihat tanah, dan dengan hati-hati melangkah di suatu titik. Kemudian gadis itu mulai mendekati piramida sambil melompat-lompat aneh, kadang-kadang bahkan hanya berdiri dengan satu kaki, sesekali menyeimbangkan dirinya, terkadang dia melayang ke udara, melompati tong kecil dan mendarat dengan anggun dalam posisi berjinjit. Tapi lompatannya agak terlalu jauh. Aku mendengarnya memekik nyaring saat kedua tangannya menyentuh tanah, tapi tak terjadi apa-apa. Seketika, dia berdiri dan meluruskan langkahnya hingga dia tiba di timbunan persediaan.
Jadi, aku benar tentang adanya perangkap, tapi perangkap itu jauh lebih rumit daripada yang kubayangkan. Aku juga benar tentang gadis itu. Betapa cerdas dirinya bisa menemukan jalan menuju persediaan makanan dan mampu melewati perangkap dengan rapi. Dia mengisi ranselnya, mengambil beberapa barang dari berbagai tempat penyimpanan, biskuit dari kotak kayu, segenggam apel dari karung goni yang tergantung dengan tali di sebelah tempat makanan. Tapi dia hanya mengambil sedikit dari masing- masing barang yang dicurinya, jadi tidak menimbulkan kecurigaan bahwa makanan mereka dicuri. Selanjutnya dia membuat gerakan-gerakan aneh untuk bisa keluar dari lingkaran dan mengambil langkah seribu lari ke hutan dalam keadaan selamat tak kurang suatu apa pun.
Aku sadar aku menggertakan gigiku karena frustasi. Si Muka Rubah sudah memastikan apa yang sudah kuduga. Tapi perangkap seperti apa yang membutuhkan
ketangkasan semacam itu, dan memiliki banyak titik pemicu? Kenapa anak perempuan itu memekik ketika dua tangannya menyentuh tanah? Kau pasti berpikir... dan perlahan- lahan aku tahu jawabannya... kaupikir tanah itu akan meledak.
"Dipasangi ranjau," bisikku. Itu menjelaskan segalanya. Kerelaan kawanan Karier untuk meninggalkan persediaan mereka, reaksi si Muka Rubah, keterlibatan anak lelaki dari Distrik 3, di sana ada banyak pabrik, tempat mereka membuat televisi, mobil, dan bahan peledak. Tapi di mana mereka memperoleh ranjau? Di antara persediaan? Itu
bukan jenis senjata yang biasanya disediakan para juri, mengingat mereka senang melihat
para peserta saling menumpahkan darah. Aku menyelinap keluar dari sesemakan dan melintasi piringan logam bundar yang mengangkut para peserta ke arena. Tanah di sekitarnya telah digali dan ditutup lagi. Ranjau darat dimatikan setelah kami berdiri di atas piringan itu selama enam puluh detik, tapi anak lelaki dari Distrik 3 pasti berhasil mengaktifkannya lagi. Aku tidak pernah melihat siapa pun dalam Hunger Games yang pernah melakukannya. Aku yakin pasti keahliannya ini juga membuat para juri terkejut.
Well, aku bersorak untuk anak lelaki dari Distrik 3 itu karena berhasil membuat juri terperangah, tapi apa yang harus kulakukan sekarang? Tentu saja, aku tidak bisa berjalan- jalan diantara barang-barang yang berserakan itu tanpa meledakkan diriku. Ide untuk menembakkan panah berapi jadi makin konyol sekarang. Ranjau itu dipicu dengan tekanan. Tidak perlu tekanan berat. Pernah, seorang anak perempuan menjatuhkan tanda matanya-sebuah bola kayu kecil-saat dia masih berdiri di piringan logam, dan secara harfiah mereka bisa dibilang harus mengeruk sisa-sisa tubuhnya di tanah.
Kedua lenganku lumayan kuat, aku bisa melemparkan batu-batu kesana dan memicu apa? Mungkin meledakkan satu ranjau? Bisa saja ledakan itu memulai reaksi berantai.
Bisa tidak ya? Apakah anak lelaki dari Distrik 3 itu menempatkan ranjau-ranjau dengan posisi yang diatur agar ledakan satu ranjau tidak mengganggu ranjau-ranjau lain? Jadi dia
bisa tetap melindungi persediaan tapi memastikan penyusupnya tewas. Bahkan
seandainya aku hanya meledakkan satu ranjau, aku pasti akan menarik kawanan Karier untuk kembali kemari. Uh, apa sih yang kupikirkan? Ada jaring, yang jelas dibuat untuk menghalau serangan semacam itu. Selain itu, aku perlu melempar tiga puluh batu ke sana secara bersamaan, dan memicu reaksi berantai yang besar, meluluhlantakan semua tempat itu.
Aku menoleh ke hutan di belakangku. Asap dari api kedua Rue membubung di angkasa. Pada saat ini, kawanan Karier mungkin sudah menduga adanya semacam jebakan. Waktuku hampir habis.
Ada jalan keluar untuk semua ini. Aku tahu pasti ada, jika saja aku bisa memusatkan perhatian cukup keras. Aku melotot memandangi piramida, kotak-kotak penyimpanan, kotak-kotak kayu, yang terlalu berat untuk dijatuhkan dengan panah. Mungkin salah satunya berisi minyak goreng, dan ide untuk menembakkan panah berapi muncul lagi
ketika aku sadar aku bisa menghabiskan dua belas anak panah yang kumiliki dan tetap
tidak mengenai sasaran ke tempat penyimpanan minyak, karena aku cuma menebak- nebak. Aku mulai berpikir untuk berjalan mengikuti langkah si Muka Rubah menuju piramida, berharap bisa menemukan cara baru untuk menghancurkan tempat ini ketika mataku tertuju pada karung goni berisi apel. Aku bisa memutuskan tali yang mengikatnya
hanya dengan satu tembakan, bukankah itu yang kulakukan di Pusat Latihan? Karung itu akan jatuh bergedebuk, tapi paling hanya akan menimbulkan satu ledakan. Seandainya aku bisa melepaskan semua apel dari dalam karung....
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku bergerak di dalam jarak lingkaran dan menggunakan tiga anak panah untuk membereskan masalahku. Aku memasang kuda- kuda, memusatkan perhatian sepenuhnya ketika aku membidik dengan teliti. Panah pertama merobek bagian samping atas karung, membuat robekan di karung itu. Panah
kedua memperlebar robekan itu. Aku bisa melihat apel pertama mengintip hendak keluar
ketika aku melepaskan anak panah ketiga, menembus celah robek di karung, dan mengoyak karung tersebut hingga lepas.
Selama beberapa saat, waktu seakan berhenti berputar. Apel-apel itu berjatuhan ke tanah dan aku terlempar ke belakang, melayang di udara.
0 komentar:
Post a Comment