June 20, 2015

The Hunger Games indonesia bagian 18

ANAK lelaki dari Distrik 1 tewas sebelum dia sempat menarik tombaknya. Anak panahku langsung menghujam tepat di bagian tengah lehernya. Anak lelaki itu jatuh berlutut dan menghabiskan setengah dari hidupnya yang singkat dengan berusaha mencabut anak panah yang berkubang dalam genangan darahnya sendiri. Aku menarik anak panah, bersiap-siap menembak, mencari sasaran dari satu sisi ke sisi lain, sambil berteriak pada Rue, "Apa masih ada lagi? Masih ada lagi?"
Dia harus berkata beberapa kali sebelum aku bisa mendengarnya.
Rue berguling menyamping, tubuhnya bergelung membungkus tombak. Kudorong tubuh anak lelaki itu menjauh dari Rue dan kukeluarkan belatiku untuk membebaskannya dari jaring.
Sekali melihat lukanya, aku tahu luka itu jauh dari kemampuanku untuk bisa kuobati. Bahkan mungkin takkan bisa diobati oleh siapa pun juga. Mata tombaknya tertanam di ulu hati Rue. Aku berjongkok di hadapannya, memandang senjata yang menancap di tubuhnya tanpa sanggup berbuat apa-apa. Tidak ada gunanya mengucapkan kata-kata yang menenangkan, dengan mengatakan padanya bahwa dia akan baik-baik saja.
Rue tidak bodoh. Tangannya terulur dan aku menggenggamnya seperti berpegangan pada tali penyelamat. Seakan akulah yang sekarat, bukannya Rue.
"Kau meledakkan makanan mereka?" bisiknya. "Semuanya sampai habis," kataku.
"Kau harus menang," kata Rue.
"Aku akan menang. Sekarang aku akan menang demi kita berdua," aku berjanji.
Aku mendengar dentuman meriam dan mendongak. Pasti meriam untuk anak lelaki dari Distrik 1.
"Jangan pergi." Rue memperat genggamannya pada tanganku.
"Tidak akan. Aku tetap di sini," kataku. Aku bergerak mendekatinya, menaruh kepalanya di pangkuanku. Dengan lembut aku membelai rambutnya yang tebal dan berwarna gelap.
"Bernyanyilah," kata Rue, tapi aku nyaris tidak bisa menangkap ucapannya. Bernyanyi? pikirku. Lagu apa yang harus kunyanyikan?
Aku tahu beberapa lagu. Percaya atau tidak, di rumahku dulu juga pernah ada musik.
Musik   yang   ada   karena   keberadaanku.   Ayahku   menarikku   ikut   bernyanyi   dengan suaranya  yang  indah-tapi  aku  sudah  lama  tidak  bernyanyi  sejak  ayahku  meninggal. Kecuali ketika Prim sedang sakit berat. Biasanya aku menyanyikan lagu yang sama, yang suka didengarnya semasa dia masih bayi.
Bernyanyi. Tenggorokanku tercekat air mata, serak karena asap dan kelelahan. Tapi jika ini permintaan terakhir Prim, maksudku Rue, paling tidak aku harus berusaha bernyanyi. Lagu yang terlintas dalam benakku adalah lagu ninabobo sederhana, lagu yang kami nyanyikan untuk menidurkan bayi yang lapar dan gelisah. Kalau tidak salah, ini lagu yang sudah sangat lama. Diciptakan pada zaman dulu kala di perbukitan kami. Guru musikku    menyebutnya    udara    pegunungan.    Tapi    lirik    lagunya    sederhana    dan
menenangkan, menjanjikan hari esok yang lebih penuh harapan daripada sepotong waktu tidak menyenangkan yang kami jalani hari ini.
Aku terbatuk kecil, menelan ludah dengan susah payah, lalu mulai bernyanyi: Jauh di padang rumput, di bawah pohon willow
Tempat tidur dari rumput, yang hijau, lembut, dan kemilau Letakkan kepalamu, dan tutup mataku yang mengantuk Dan saat matamu kembali terbuka, fajar akan mengetuk
Di sini aman, di sini hangat
Di sini bunga-bunga aster menjagamu dari yang jahat
Di sini mimpi-mimpimu indah dan esok akan menjadikannya nyata
Di sini tempat aku membuatmu merasakan cinta.


Mata Rue lamat-lamat menutup. Dadanya bergerak amat perlahan. Tenggorokanku melepaskan air mata yang ditahan dan mengalir di kedua pipiku. Tapi aku harus menyelesaikan laguku untuknya.
Jauh di padang rumput, jauh tersembunyi
Satu jubah dari dedaunan, satu sinar bulan sunyi Lupakan sedihmu dan biarkan masalahmu terlelap sepi Dan bila pagi menjelang lagi, mereka akan hilang pergi Di sini aman, di sini hangat
Di sini bunga-bunga aster menjagamu dari yang jahat


Baris-baris terakhir nyaris tak terdengar.
Di sini mimpi-mimpimu indah dan esok akan menjadikannya nyata
Di sini tempat aku membuatmu merasakan cinta


Segalanya  tenang  dan  sunyi.  Kemudian,  nyaris  membuat  bulu  kuduk  bergidik, burung-burung mockingjay mengulang laguku.
Selama sesaat, aku duduk di sana, melihat air mataku menetes jauh ke wajahnya. Tembakan meriam untuk Rue berbunyi. Aku menunduk dan bibirku mengecup pelipisnya. Perlahan-lahan, seakan takut membangunkannya, aku menaruh kepala Rue ke tanah dan melepaskan tangannya.
Mereka pasti ingin aku menyingkir. Agar mereka bisa mengambil jenazahnya. Dan tak ada alasan bagiku untuk tetap tinggal. Kutelungkupkan mayat anak lelaki dari Distrik 1 lalu kuambil ranselnya, juga anak panah yang mengakhiri hidupnya. Kuambil juga ransel dari punggung Rue, karena aku tahu dia pasti mau aku mengambilnya, tapi kubiarkan tombak itu di perutnya. Senjata-senjata yang ada di jenazah akan ikut dibawa dengan pesawat ringan. Tombak tak ada gunanya buatku, jadi makin cepat tombak itu hilang dari arena, makin baik.
Aku tidak bisa berhenti memandang Rue, yang tampak lebih mungil, seperti bayi binatang meringkuk di sarang jalanya. Aku tidak bisa meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Sudah melewati bahaya, tapi tampak amat tak berdaya. Membenci anak lelaki
dari Distrik 1, yang juga tampak rapuh dalam kematiannya, seakan tidak cukup. Capitol- lah yang kubenci karena telah melakukan ini pada kami semua.
Suara Gale bergaung dalam kepalaku. Ocehan kemarahannya pada Capitol tidak lagi tak berguna, tak lagi bisa di abaikan. Kematian Rue telah memaksaku menghadapi kemarahanku sendiri terhadap kekejaman dan ketidakadilan yang mereka timpakan pada kami. Tapi di sini, jauh lebih kuat daripada yang kurasakan di kampung halaman, aku merasa tak berdaya. Tidak mungkin aku bisa membalas dendam pada Capitol. Atau mungkinkah aku melakukannya?
Lalu aku teringat pada kata-kata Peeta di atap. "Hanya saja aku terus berharap bisa menemukan cara untuk... menunjukkan pada Capitol mereka tidak memilikiku. Aku lebih dari sekedar pion dalam permainan mereka." Dan untuk pertama kalinya, aku memahami maksudnya.
Aku ingin melakukan sesuatu, di sini, sekarang, membuat mereka bertanggung jawab, menunjukkan pada Capitol bahwa apa pun yang mereka lakukan atau mereka paksakan
pada kami, ada bagian dari setiap peserta yang tak dapat mereka miliki. Bahwa Rue lebih
dari sekedar pion dalam permainan mereka. Dan aku juga bukan.
Beberapa  langkah  menuju  hutan  tumbuh  bunga-bunga  liar.  Mungkin  itu  cuma rumput-rumput liar, tapi tumbuh menjadi bunga-bunga indah berwarna ungu, kuning, dan putih.  Aku  memungut  segenggam  bunga  dan  kembali  ke  sisi  Rue.  Perlahan-lahan setangkai demi setangkai aku menghias jenazahnya dengan bunga-bunga. Menutupi lukanya yang buruk. Merangkaikan bunga di wajahnya. Menyelipkan warna-warni cerah
di rambutnya.
Mereka harus menunjukkan gambar ini di layar televisi. Atau, bahkan jika mereka memilih untuk mengalihkan kamera ke arah lain saat ini, mereka harus menyoroti lagi saat mereka mengambil jenazahnya dan semua orang akan melihatnya saat itu dan tahu akulah pelakunya. Aku melangkah mundur dan melihat Rue untuk terakhir kalinya. Bisa jadi dia sebenarnya hanya tidur di padang rumput itu.
"Selamat tinggal, Rue," bisikku. Aku menempelkan tiga jari tengah tangan kiriku dibibir, lalu melemparkan ciuman jauh ke arah Rue. Kemudian aku berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang.
Burung-burung  pun  terdiam.  Di  suatu  tempat,  seekor  mockingjay  bersiul melantunkan tanda peringatan yang menandai datangnya pesawat ringan. Aku tidak tahu bagaimana dia tahu. Dia pasti bisa mendengar apa yang tak bisa didengar melalui telinga manusia. Aku berhenti berjalan, mataku tertuju pada apa yang ada di depanku, bukan apa yang terjadi di belakangku. Tidak lama kemudian, burung-burung mulai bernyanyi lagi dan aku tahu Rue sudah lenyap.
Mockingjay lain, yang tampaknya masih anak burung, hinggap di dahan di depanku dan menyanyikan melodi Rue. Laguku dan bunyi pesaway ringan terlalu asing untuk ditiru anak burung ini, tapi dia sudah menguasai sederet nada. Melodi yang berarti dia dalam keadaan aman.
"Sehat dan aman," kataku ketika berjalan melewati dahan pohon. "Sekarang kita tak perlu menguatirkannya lagi."
Sehat dan aman.
Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Perasaan pulang yang kurasakan sejak bersama Rue satu malam itu kini lenyap sudah. Kakiku berjalan ke sana kemari hingga matahari terbenam. Aku tidak takut, bahkan tidak waspada. Ini menjadikanku sasaran mudah. Kecuali kali ini aku akan membunuh siapa pun yang kutemui. Tanpa emosi atau gemetar sedikit  pun.  Kebencianku  pada  Capitol  tidak  mengurangi  kebencianku  sedikit  pun terhadap para pesaingku. Terutama pada kawanan Karier. Paling tidak, mereka harus membayar kematian Rue.
Tapi tak ada seorang pun yang tampak. Tidak banyak lagi peserta yang tersisa dan arena pertarungan ini sangat luas. Tidak lama lagi mereka akan mengeluarkan alat entah apa yang memaksa kami untuk mendekat. Tapi sudah cukup banyak kengerian hari ini. Mungkin kami bisa punya waktu untuk tidur.
Aku baru saja hendak menaruh ransel-ranselku ke pohon untuk membuat tempat istirahat ketika parasut perak melayang turun dan mendarat di depanku. Hadiah dari
sponsor. Tapi kenapa sekarang? Barang-barang persediaanku banyak. Mungkin Haymitch menyadari bahwa aku patah semangat dan berusaha sedikit menghiburku. Atau mungkin ini sesuatu yang dapat membantu telingaku?
Aku membuka parasut dan menemukan sebongkah kecil roti. Bukan roti putih buatan
Capitol. Roti ini terbuat dari gandum hitam jatah distrik dan bentuknya seperti bulan sabit. Bagian atasnya ditaburi biji-bijian.
Aku mengingat pelajaran yang diberikan Peeta di Pusat Latihan tentang berbagai jenis roti dari setiap distrik. Roti ini berasal dari Distrik 11. Dengan hati-hati aku mengangkat roti yang masih hangat itu. Berapa harga yang harus dibayar oleh orang- orang  dari  Distrik  11  yang  bahkan  tidak  bisa  membeli  makanan  untuk  diri  mereka sendiri? Berapa banyak orang yang harus mengais-ngais uang yang mereka miliki untuk menyumbang demi roti ini? Pasti roti ini ditujukan buat Rue. Tapi bukannya menarik hadiah ini ketika dia tewas, mereka memerintahkan Haymitch untuk memberikannya padaku. Sebagai pernyataan terima kasih? Apa pun alasannya, kejadian ini adalah pertama kalinya. Hadiah dari distrik yang bukan distrikmu.
Aku mendongak dan melangkah ke sinar matahari terakhir yang tersisa. "Terima kasihku untuk penduduk Distrik Sebelas," kataku.
Aku ingin mereka tahu bahwa aku tahu dari mana roti ini berasal. Itulah penghargaan penuh bahwa aku mengenali hadiah mereka.
Aku memanjat pohon setinggi-tingginya, bukan demi keamanan tapi untuk pergi sejauh-jauhnya dari hari ini. Kantong tidurku tergulung rapi dalam ransel Rue. Besok aku
akan melihat-lihat persediaan yang kumiliki. Besok aku akan membuat rencana baru. Tapi
malam ini, yang bisa kulakukan adalah mengikat diriku di pohon dan mencuil roti sedikit demi sedikit untuk kumakan. Rasanya enak. Rasanya seperti berada di rumah.
Tidak lama kemudian lambang Capitol muncul di langit, lagu kebangsaan terdengar di telinga kananku. Aku melihat anak lelaki dari Distrik 11, Rue. Itu saja untuk malam ini. Tinggal enam yang tersisa, pikirku. Hanya enam. Sambil memeluk roti dengan kedua tanganku, aku langsung jatuh tertidur.
Kadang-kadang saat keadaan sedang buruk, otakku akan memberiku mimpi indah. Berjalan ke hutan bersama ayahku. Satu jam di bawah sinar matahari sambil makan kue
dengan Prim. Malam ini membawaku bertemu Rue, masih berhiaskan bunga-bunganya, hinggap di pepohonan tinggi, berusaha mengajariku bicara pada mockingjay. Aku tidak melihat bekas-bekas lukanya, tidak ada darah, hanya ada gadis kecil yang cerdas dan ceria. Dia menyanyikan lagu-lagu yang tak pernah kudengar dengan suara jernih dan merdu. Terus dan terus. Sepanjang malam. Ada masa di antara kantuk ketika aku bisa mendengar sisa-sisa nada musiknya meskipun dia hilang di antara dedaunan. Ketika aku terbangun sepenuhnya,  selama  sesaat  aku  merasa  nyaman.  Aku  berusaha  berpegangan  pada perasaan mimpi yang damai itu, tapi semua itu lenyap dengan cepat, meninggalkan aku dalam keadaan makin sepi dan lebih sehat daripada sebelumnya.
Seluruh tubuhku terasa lembam, seakan ada cairan timah mengalir dalam aliran darahku. Aku kehilangan semangat untuk melakukan tugas-tugas sederhana, hanya bisa berbaring di sini, memandangi kanopi daun-daun tanpa berkedip. Selama beberapa jam, aku diam tak bergerak. Seperti biasa, pikiranku membayangkan wajah Prim yang gelisah ketika menontonku di layar kaca di rumah yang membuatku lepas dari rasa malas.
Kuberikan perintah-perintah  sederhana pada diriku, seperti, "Sekarang kau harus duduk,  Katniss.  Sekarang  kau  harus  minum,  Katniss."  Aku  melaksanakan  perintah- perintah itu dengan gerakan lamban ala robot. "Sekarang kau harus memeriksa isi ransel- ranselmu, Katniss."
Ransel Rue menyimpan kantong tidurku, kantong airnya yang nyaris kosong, segenggam kacang-kacangan dan umbi-umbian, sedikit daging kelinci, kaus kaki cadangan dan ketapelnya. Anak lelaki dari Distrik 1 punya beberapa pisau, dua mata tombak cadangan, senter, kantong-kantong kulit berukuran kecil, peralatan P3K, sebotol penuh air, dan sekantong buah-buahan kering. Sekantong buah-buahan kering! Dari semua barang yang  bisa  dipilihnya,  dia  memilih  ini.  Bagiku,  ini  merupakan  lambang  kesombongan. Kenapa harus repot-repot membawa makanan sementara kau punya makanan berlimpah di kamp? Saat kau bisa membunuh musuhmu dengan cepat lalu kau bisa pulang sebelum lapar? Aku hanya bisa berharap kawanan Karier lainnya hanya membawa sedikit bekal makanan dan saat ini mereka tidak punya apa-apa.
Bicara tentang makanan, persediaan makananku juga sudah menipis. Aku sudah menghabiskan roti dari Distrik 11 dan kelinci terakhir. Betapa cepatnya makanan habis. Yang tersisa di tanganku hanya umbi-umbian dan kacang-kacangan milik Rue, buah- buahan kering milik anak lelaki Distrik 1, dan selembar dendeng. Sekarang kau harus berburu, Katniss, aku memberi perintah pada diriku sendiri.
Dengan patuh aku menyusun persediaan-persediaan yang kuinginkan ke dalam ranselku. Setelah turun dari pohon, aku menyembunyikan pisau-pisau dan dua mata tombak di bawah tumpukan batu agar tak ada yang bisa memakainya. Aku tersesat karena berjalan tak tentu arah kemarin sore, tapi aku berusaha untuk berjalan ke arah aliran air. Aku tahu aku berjalan ke arah yang benar ketika melihat api unggun ketiga Rue, yang tak pernah dinyalakan. Tidak lama kemudian, aku menemukan sekawanan groosling hinggap di pepohonan dan langsung memanah tiga ekor sebelum mereka sadar apa yang menghantam mereka. Aku kembali ke api sinyal Rue dan menyalakannya, tidak peduli pada asapnya yang berlebihan. Di mana kau, Cato? Pikirku saat memanggang burung dan umbi-umbian Rue. Aku menunggu di sini.
Siapa yang tahu di mana kawanan Karier sekarang? Entah mereka terlalu jauh untuk mendatangiku atau terlalu yakin ini cuma tipuan atau... mungkinkah mereka terlalu takut padaku? Tentu saja, mereka tahu aku punya busur dan panah, Cato melihat aku mengambilnya dari Glimmer. Tapi apakah mereka sekarang sudah tahu jawabannya? Apakah mereka tahu bahwa aku yang meledakkan persediaan mereka dan membunuh teman sesama Karier mereka? Mungkin mereka pikir Thresh pelakunya. Bukankah dia yang lebih mungkin membalas dendam atas kematian Rue daripada aku? Mengingat mereka berasal dari distrik yang sama? Walaupun Thresh tidak pernah tampak menaruh perhatian pada Rue.
Dan bagaimana dengan si Muka Rubah? Apakah dia masih berada di sana melihatku meledakkan persediaan? Rasanya tidak. Ketika aku melihatnya tertawa di dekat puing- puing keesokan paginya, dari wajahnya seakan ada orang yang memberinya kejutan yang menyenangkan.
Aku ragu mereka menganggap Peeta yang menyalakan api sinyal ini. Cato yakin Peeta sudah mampus. Saat ini aku berharap bisa memberitahu Peeta tentang bunga-bunga yang kuhiaskan pada Rue. Bahwa aku kini memahami apa yang berusaha dikatakannya di atap. Mungkin jika dia memenangkan Hunger Games ini, dia akan melihatku pada malam pemenang, ketika mereka memutar ulang momen-momen penting dalam Hunger Games di layar di atas panggung tempat kami melakukan wawancara. Sang pemenang duduk di tempat terhormat di panggung, dikelilingi para kru pendukung mereka.
Tapi aku sudah bilang pada Rue, aku akan di sana. Demi kami berdua. Entah bagaimana kata-kata itu tampak lebih penting daripada janji yang kuberikan pada Prim.
Aku sungguh-sungguh berpikir aku punya kesempatan menang sekarang. Bukan karena  aku  punya  panah  atau  berhasil  mengelabui  kawanan  Karier  beberapa  kali,
meskipun dua hal itu membantu. Ada yang terjadi ketika aku menggenggam tangan Rue, memperhatikan kehidupan mengalir keluar dari dirinya. Sekarang aku bertekad untuk
membalas dendamnya, dan aku hanya bisa melakukannya dengan memenangkan Hunger
Games ini dan membuat diriku tak terlupakan.
Burung-burung ini kupanggang sampai kelewat matang sambil berharap ada orang yang  datang  agar  bisa  kupanah,  tapi  tak  ada  seorang  pun  muncul.  Mungkin  peserta- peserta  lain sedang saling  menghantam  sampai  mati.  Tidak masalah  juga  sebenarnya. Sejak adegan pertumpahan darah itu, aku pasti muncul di layar televisi lebih dari yang bisa kuhitung.
Akhirnya, kubungkus makananku dan kembali ke sungai untuk mengisi air. Tapi rasa lelah yang kurasakan tadi pagi kembali muncul, sehingga meskipun sekarang masih sore, aku memanjat pohon dan beristirahat di sana. Otakku mulai memutar ulang kejadian- kejadian yang terjadi  sejak  kemarin. Aku terus-menerus melihat Rue yang tertombak, anak panahku menembus leher anak lelaki itu. Aku tidak tahu kenapa aku bahkan peduli pada anak itu.
Lalu aku tersadar... dia korban pertama yang kubunuh.
Bersama dengan statistik lain yang mereka laporkan untuk membantu penonton memasang taruhan mereka, semua peserta memiliki daftar korban. Kurasa secara teknis aku  diakui  sebagai  pembunuh  Glimmer  dan  anak  perempuan  dari  Distrik  4,  karena
menjatuhkan sarang tawon pada mereka. Tapi anak lelaki dari Distrik 1 adalah korban pertama yang kutahu akan tewas akibat perbuatanku. Banyak binatang yang sudah tewas di tanganku, tapi hanya satu manusia. Aku mendengar Gale berkata, "Memangnya bisa berbeda sampai sejauh apa?"
Yang luar biasa rasanya seperti melakukan eksekusi. Busur ditarik, anak panah ditembakkan. Semua terasa berbeda sesudahnya. Aku sudah membunuh anak lelaki yang namanya pun tak kuketahui. Entah di mana keluarganya menangisi kematiannya. Teman- temannya ingin menghabisiku. Mungkin dia punya kekasih yang sungguh-sungguh berharap dia akan kembali...
Tapi kemudian aku teringat pada jenazah Rue dan aku langsung mengenyahkan gambaran tentang anak lelaki itu dari benakku. Paling tidak, untuk saat ini.
Tampilan di langit menunjukkan hari ini tidak banyak peristiwa yang terjadi. Tidak ada yang tewas. Aku bertanya-tanya berapa lama lagi waktu kami sampai malapetaka baru diciptakan untuk mendesak kami mendekat. Kalau waktunya adalah malam ini, aku ingin menyempatkan diri untuk tidur dulu. Kututup telingaku yang masih bisa mendengar untuk mengenyahkan lagu  kebangsaan yang terngiang, tapi kemudian aku mendengar tiupan terompet, lalu segera duduk menunggu.
Kebanyakan, satu-satunya komunikasi antara para peserta dengan dunia luar adalah laporan kematian tiap malam. Tapi kadang-kadang, ada bunyi terompet yang diikuti pengumuman. Biasanya  ini  panggilan  untuk  berpesta.  Saat  makanan  langka,  para  Juri Pertarungan akan mengundang semua peserta ke pesta, ke tempat yang dikenal semua petarung seperti Cornucopia, sebagai ajakan untuk berkumpul dan bertarung. Kadang- kadang ada banyak makanan dan kadang-kadang hanya ada sebongkah roti basi yang diperebutkan oleh para peserta. Aku tidak ingin mengambil makanan, tapi ini bisa jadi waktu yang tepat untuk menghabisi beberapa pesaing.
Suara Cladius Templesmith bergaung di atas, memberi selamat kepada kami berenam yang masih bertahan. Tapi dia tidak mengundang kami berpesta. Dia mengatakan sesuatu yang sangat membingungkan. Ada perubahan peraturan dalam Hunger Games.
Perubahan  peraturan!  Ini  saja  sudah  mengacau  pikiran  karena  kami  tidak punya peraturan yang dinyatakan dengan jelas, kecuali jangan keluar dari lingkarang selama
enam puluh detik, dan peraturan yang tak disebutkan adalah jangan saling memakan satu sama lain. Di bawah peraturan baru, dua peserta dari distrik yang sama bisa dinyatakan sebagai pemenang jika mereka jadi dua peserta terakhir yang masih hidup. Claudius berhenti sejenak, seakan dia tahu kami tidak benar-benar paham artinya, lalu mengulang
perubahan peraturan itu sekali lagi.
Kabar  itu  segera  masuk  ke  otakku.  Dua  pemenang  bisa menang  tahun  ini.  Kalau mereka berasal dari distrik yang sama. Dua-duanya bisa hidup. Kami berdua bisa hidup.
Tanpa pikir panjang, aku berseru memanggil nama Peeta.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates