The Hunger Games indonesia bagian 15
AKU memasuki mimpi buruk lalu terbangun berkali-kali hanya untuk mendapati kengerian yang lebih besar menungguku. Segala hal yang paling kutakutkan, segala hal yang kutakutkan terjadi pada orang lain terwujud dalam gambaran yang amat jelas sehingga aku percaya bahwa apa yang terjadi adalah nyata.Setiap kali aku terbangun, kupikir, Akhirnya, ini berakhir, tapi kenyataannya tidak. Ini hanya awal bab baru dari siksaan berikutnya. Dalam berapa cara aku bisa melihat Prim mati? Menghidupkan kembali saat-saat terakhir dalam hidup ayahku? Merasakan tubuhku tercabik-cabik?
Inilah sifat alami racun tawon penjejak, dengan saksama racun itu menyebar di tempat berdiamnya ketakutan dalam otakmu.
Ketika kesadaranku akhirnya kembali, aku berbaring tak bergerak, menunggu serangan kilasan bayangan mengerikan. Tapi pada akhirnya aku menerima bahwa racun itu berhasil keluar dari sistem tubuhku, membuatku lemah dan payah. Aku masih berbaring meringkuk kesamping, membentuk posisi seperti janin. Kuangkat tanganku menyentuh mataku yang masih ada, tidak pernah tersentuh semut-semut dalam khayalanku. Menggerakan sendi-sendiku saja membutuhkan usaha yang amat besar. Begitu banyak bagian tubuhku yang kesakitan, bahkan tak ada gunanya mencari tahu bagian mana saja yang sakit. Dengan amat sangat perlahan aku berhasil duduk. Aku berada di lubang dangkal, yang tidak dipenuhi gelembung-gelembung oranye yang berdengung seperti dalam halusinasiku tapi dalam lubang penuh dengan daun-daun yang rontok. Pakaianku lembap, tapi aku tidak tahu apakah penyebabnya adalah air kolam, embun, hujan, atau keringat. Sekian lamanya, aku hanya bisa meneguk air sedikit-sedikit dari botol airku dan mengamati kumbang merangkak di bagian samping sesemakan bunga honeysuckle.
Sudah berapa lama aku pingsan? Hari masih pagi saat aku hilang kesadaran. Sekarang sudah menjelang sore. Tapi rasa kaku di persendianku menyatakan bahwa lebih dari sehari telah berlalu, bahkan mungkin sudah lewat dua hari. Jika betul begitu, aku tidak tahu peserta mana saja yang berhasil selamat dari serangan tawon penjejak. Yang pasti bukan Glimmer atau gadis dari Distrik 4. Tapi ada anak lelaki dari Distrik 1, dua peserta
dari Distrik 2, dan Peeta. Apakah mereka selamat dari sengatan tawon? Tapi pastinya, jika
mereka bertahan hidup, beberapa hari terakhir mereka pasti sama mengerikannya dengan hari-hariku. Bagaimana pula dengan Rue? Tubuhnya begitu mungil, tidak butuh banyak bisa tawon untuk menewaskannya. Tapi... kurasa tawon penjejak tak sempat menyerangnya, dia sudah pergi jauh sebelum serangan tawon itu.
Rasa yang busuk dan tengik menguasai mulutku, dan air tidak membantu mengurangi rasanya. Kuseret tubuhku ke semak honeysuckle dan kupetik bunganya. Perlahan-lahan kucabut serbuk sari di antara kelopaknya dan kuteteskan air madu dari dalamnya ke lidahku. Rasa manis langsung menyebar di dalam mulutku, hingga ke kerongkongan, menyebar di dalam mulutku, hingga ke kerongkongan, menghangatkan aliran darahku dengan kenangan-kenangan musim panas, hutan-hutan di rumahku dan
kehadiran Gale di sampingku. Entah karena alasan apa, aku teringat percakapan kami pagi itu.
"Kau tahu, kita bisa melakukannya." "Apa?"
"Meninggalkan distrik. Kabur. Tinggal di hutan. Kau dan aku, kita bisa berhasil."
Dan mendadak, aku tidak memikirkan Gale tapi Peeta dan... Peeta! Dia menyelamatkanku!
Kupikir begitu. Karena pada saat kami bertemu, aku tidak tahu lagi mana yang nyata dan mana imajinasi yang disebabkan oleh serangan tawon penjejak. Tapi jika dia memang menyelamatkanku, dan instingku mengatakan dia melakukannya, untuk apa dia melakukannya? Apakah dia hanya menunjukkan sikap sebagai kekasih yang jatuh cinta seperti yang ditampilkan saat wawancara? Atau dia sesungguhnya berusaha
melindungiku? Dan jika memang dia ingin melindungiku, buat apa dia bergabung dengan
kelompok Karier itu? Semua ini tak ada yang masuk akal.
Sejenak aku bertanya-tanya apa tanggapan Gale atas insiden ini, tapi buru-buru mengenyahkan pikiran itu dari benakku. Entah karena alasan apa, Gale dan Peeta tidak bisa hidup rukun bersama dalam benakku.
Jadi aku memusatkan perhatian pada satu hal yang sungguh-sungguh menyenangkan sejak aku tiba di arena. Aku punya busur dan anak panah! Lengkap selusin anak panah jika aku menghitung satu yang kucabut dari batang pohon. Di busur dan anak panah ini tidak tersisa lendir hijau bau yang berasal dari tubuh Glimmer-segingga membuatku berpikir bahwa mungkin saja yang kulihat itu tidak nyata-tapi ada sisa darah kering di sana. Aku bisa membersihkannya nanti, tapi aku meluangkan waktu sebentar untuk menembakkan beberapa anak panah ke pohon yang ada di dekatku. Busur dan anak panah ini lebih mirip yang ada di Pusat Latihan dibanding yang kupunya di rumah, tapi itu sama sekali tidak penting. Yang penting aku bisa memakainya.
Senjata ini memberiku perspektif baru dalam memandang Hunger Games. Aku tahu aku masih harus menghadapi lawan-lawan tangguh dalam pertarungan, tapi aku tidak lagi sekedar mangsa lemah yang cuma bisa lari dan bersembunyi atau mengambil tindakan- tindakan drastis. Jika Cato melesat keluar dari pepohon sekarang, aku takkan kabur, aku akan menembakkan panah. Bahkan sesungguhnya aku mengharapkan kejadian semacam itu dengan senang hati.
Tapi pertama-tama, aku harus mengembalikkan kekuatan pada tubuhku. Aku dehidrasi parah dan persediaan airku amat minim. Makanan yang kulahap banyak-banyak untuk mengganjal perut pada massa persiapan di Capitol kini habis sudah membawa serta beberapa kilogram berat badanku. Tulang-tulang di pinggangku dan rusukku jauh lebih menonjol di banding yang kuingat sejak bulan-bulan mengerikan setelah kematian ayahku. Dan ada luka-luka yang harus kurawat-luka bakar, luka tusuk, dan memar-memar akibat terbentuk pepohonan, dan tiga sengatan tawon penjajak yang masih terasa nyeri dan bengkak. Aku mengeluarkan salep ke luka bakarku dan mengoleskan sedikit ke luka-luka bekas sengatan, tapi ternyata tak ada hasilnya. Ibuku tahu pengobatan untuk luka-luka ini, ada beberapa jenis daun yang bisa menarik keluar racun, tapi ibuku jarang punya alasan menggunakannya, dan aku tidak ingat nama daunnya, apalagi bentuknya.
Air lebih dulu, pikirku. Sekarang kau bisa berburu di sepanjang perjalanan. Mudah melihat arah jalan yang sudah kulewati dengan mengamati kerusakan yang dihasilkan tabrakan tubuhku menembus dedaunan. Jadi aku berjalan ke arah lain, berharap musuh- musuhku masih berbaring tak mampu bergerak, terjebak dalam dunia sureal akibat racun dari sengatan tawon penjejak.
Aku tidak bisa bergerak terlalu cepat, sendi-sendiku menolak melakukan gerakan- gerakan yang terlalu mendadak. Tapi aku yang menciptakan langkah perlahan pemburu yang pakai untuk mencari jejak. Dalam hitungan menit, aku melihat kelinci lalu aku melakukan pembunuhan pertamaku dengan panah dan busur. Ini bukan hasil panahan yang menembus mata, tapi bisa kuterima. Setelah berjalan sekitar satu jam, aku menemukan aliran sungai yang dangkal tapi lebar, dan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanku. Matahari bersinar panas dan terik, jadi sambil menunggu airku disucihamakan aku melepaskan pakaianku hingga cuma pakaian dalam yang tersisa dan mencemplungkan diri ke arus air yang mengalir pelan. Ujung rambut sampai kakiku kotor tak keruan. Aku berusaha mencebur-ceburkan diriku tapi akhirnya aku hanya berbaring di air selama beberapa menit, membiarkan air membasuh jelaga, darah, dan kulit yang mulai terlepas dari luka bakarku. Setelah mencuci pakaianku dan menggantungnya agar kering di semak-semak, aku duduk di tepi sungai sejenak, berjemur di bawah matahari, jariku mengurai rambutku yang kusut. Nafsu makanku sudah kembali, aku menyantap biskuit dan sepotong dendeng. Dengan segenggam lumut, aku menggosok darah dari senjata-senjata perakku.
Setelah merasa segar, aku mengobati luka-luka bakarku, mengepang rambutku, dan memakai pakaianku yang masih basah. Aku tahu matahari akan mengeringkan pakaianku
dalam waktu singkat. Berjalan melawan arus tampaknya tindakan yang paling cerdas. Aku lebih suka bisa berjalan menanjak sekarang, dengan sumber air bersih yang tidak hanya
untuk diriku tapi juga untuk calon buruanku. Dengan mudah aku membunuh seekor
burung aneh yang bentuknya seperti kalkun liar. Terserah seperti apa bentuknya, yang penting binatang itu bisa dimakan. Pada siang menjelang sore, aku memutuskan untuk membuat api kecil agar bisa memasak daging, berharap cahaya senja akan membantu menyembunyikan asap dan aku bisa memadamkan api saat malam tiba. Kubersihkan binatang buruanku, sengaja memeriksa burung itu lebih teliti, tapi tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Setelah bulu-bulunya dicabuti, ukurannya ternyata tidak lebih besar daripada ayam, tapi dagingnya gemuk dan padat. Aku baru saja menaruh potongan daging pertama di atas bara saat aku mendengar bunyi ranting patah.
Dalam satu gerakan cepat, aku menoleh ke arah bunyi itu, menyiagakan panah dan busur di bahuku. Tifak ada seorang pun di sana. Kalau ada pun tak bisa kulihat dari sini. Lalu aku melihat ujung sepatu bot anak-anak yang menyembul dari belakang batang pohon. Bahuku tidak lagi bersiaga dan aku tersenyum. Harus kuakui dia bisa bergerak di
dalam hutan seperti banyak. Bagimana lagi caranya bisa mengikutiku? Tanpa bisa
kuhentikan, kata-kata meluncur keluar dari mulutku.
"Kau tahu, bukan hanya mereka yang bisa membentuk sekutu," kataku.
Selama sesaat, tidak ada tanggapan. Kemudian sebelah mata Rue muncul di samping batang pohon. "Kau mau aku jadi sekutumu?"
"Kenapa tidak? Kau menolongku dengan tawon-tawon penjejak itu. Kau cukup pintar karena bisa bertahan hidup hingga sekarang. Dan lagi pula, aku juga tak bisa menggoyahkanmu," kataku.
Mata Rue berkedip-kedip memandangku, berusaha mengambil keputusan. "Kau lapar?"
Aku bisa melihatnya menelan ludah dengan susah payah, matanya berbinar memandangi daging. "Ayo kemari, aku berhasil membunuh dua buruan hari ini."
Dengan ragu-ragu Rue melangkah keluar dari tempat persembunyiannya. "Aku bisa
mengobati luka sengatanmu."
"Kau bisa?" tanyaku. "Bagaimana?"
Rue merogoh kantong yang dibawanya dan mengeluarkan segenggam dedaunan. Aku hampir yakin itu daun-daunan yang sama seperti yang digunakan ibuku. "Di mana kau menemukan daun-daun ini?"
"Di dekat-dekat sini. Kami semua membawanya ketika bekerja di kebun buah-buahan. Mereka meninggalkan banyak sarang tawon penjejak di sana," kata Rue. "Di sini juga banyak."
"Oh, ya. Ka dari Distrik Sebelas. Pertanian." kataku. "Kebun buah-buahan, ya? Pasti itu yang membuatmu bisa terbang di antara pepohonan seakan-akan kau punya sayap."
Rue tersenyum. Aku berhasil menyebutkan salah satu dari beberapa hal yang dibanggakannya. "Ayo, kemarilah. Obati aku."
Aku mengempaskan tubuhku di dekat api dan menggulung celana panjangku untuk memperlihatkan bekas sengatan di lututku. Yang membuatku terkejut adalah Rue
memasukkan daun-daunan itu ke mulut lalu mengunyahnya. Ibuku biasanya menggunakan cara lain, tapi saat ini kami kan tidak punya banyak pilihan. Setelah sekitar
satu menit, Rue menekankan gumpalan hijau daun bekas kunyahannya lalu meludahi lututku.
"Ohh." Suara itu terucap tanpa bisa kutahan. Seakan daun itu benar-benar mengisap rasa sakit tepat dari luka bekas sengatan.
Rue mengikik geli. "Untung kau punya kesadaran untuk mencabut sengatnya atau keadaanmu bisa lebih buruk dari sekarang."
"Ke leherku! Leherku!" Aku nyaris memohon padanya.
Rue memasukkan segenggam daun lagi ke mulutnya, dan tak lama kemudian aku tertawa karena rasa lega yang begitu manis kurasakan. Aku memperhatikan luka bakar panjang di lengan atasnya. "Aku punya obat untuk itu."
Kutaruh senjataku lalu kuolesi lengannya dengan salep luka bakarku. "Kau punya sponsor-sponsor yang bagus," katanya dengan penuh damba. "Kau belum punya sponsor?" tanyaku. Rue menggeleng.
"Kau pasti dapat. Lihat saja. Semakin dekat kita menuju akhir, semakin banyak orang yang akan menyadari betapa cerdasnya dirimu." Aku membalik daging panggang yang
sedang kumasak.
"Kau tidak bercanda kan, waktu kaubilang ingin aku jadi sekutumu?" tanyanya.
"Tidak, aku serius," jawabku. Aku nyaris bisa mendengar Haymitch mengerang mengetahui aku bergabung dengan anak ringkih ini. Tapi aku menginginkannya. Karena
dia orang yang bisa selamat, dan aku percaya padanya, dan kenapa aku tidak sekalian mengakuinya? Dia mengingatkanku pada Prim.
"Oke," katanya, dan mengulurkan tangan. Kami berjabatan. "Setuju."
Tentu saja persetujuan semacam ini sifatnya hanya sementara, tapi tak ada satu pun dari kami berdua yang menyinggungnya.
Rue menyumbangkan akar-akaran bertepung untuk dimasak dengan daging. Dipanggang di atas api, perpaduannya menciptakan aroma manis umbi-umbian. Rue juga
mengenali burung yang kupanah, semacam binatang liar yang disebut groosling di
distriknya. Dia bilang kadang-kadang ada binatang yang lepas dari kawanannya nyasar ke kebun buah dan mereka bisa makan siang lebih baik hari itu. Sesaat, percakapan kami terhenti ketika kami mengisi perut. Groosling ini punya daging lezat yang berlemak, minyaknya mengalir turun di dagu ketika dagingnya digigit.
"Oh," kata Rue sambil mendesah. "Aku tak pernah makan satu paha sendirian sebelumnya."
Aku yakin dia tidak pernah. Aku juga yakin daging adalah makanan langka baginya.
"Makan lagi," kataku. "Kau serius?" tanyanya.
"Makan sebanyak yang kau mau. Sekarang aku punya busur dan panah, aku bisa berburu lebih banyak lagi. Selain itu, aku punya jerat. Aku bisa mengajarimu bagaimana memasangnya," kataku.
Rue masih memandangi bagian paha daging groosling itu dengan tampang ragu.
"Oh, ambil saja," kataku, dan menaruh daging paha itu ke tangannya. "Daging ini hanya tahan beberapa hari. Lagi pula selain burung ini kita juga punya kelinci."
Setelah daging di tangan, nafsu makan Rue menguasainya dan dia langsung mengunyah daging itu banyak-banyak.
"Kupikir di Distrik Sebelas, kalian punya lebih banyak makanan dibanding kami.
Karena kalian yang menanam makanan," kataku.
Mata Rue membelalak. "Oh, tidak, kami tidak boleh makan hasil panenan." "Mereka menangkapmu begitu?" tanyaku.
"Mereka mencambukmu dan memastikan semua orang melihatnya," kata Rue. "Wali
Kota amat tegas soal ini."
Dari ekspresinya, aku bisa melihat bahwa peristiwa itu bukannya tidak sering terjadi. Cambukan di depan umum adalah peristiwa langka di Distrik 12, meskipun kadang- kadang ada saja yang terjadi. Secara teknis, aku dan Gale bisa dicambuk setiap hari karena berburu tanpa izin di hutan-yah, secara teknis, kami bisa dihukum lebih buruk lagi-namun semua petugas membeli daging dari kami. Selain itu, Wali Kota kami, ayah Madge, tampaknya tidak terlalu suka menghukum seperti itu. Mungkin dengan menjadi wali kota distrik yang paling miskin, tidak bergengsi, dan paling konyol di negara ini memiliki keuntungan-keuntungannya tersendiri. Contohnya, kami hanya dilirik sebelah mata oleh Capitol selama kami bisa menghasilkan batu bara dalam kuota yang ditentukan.
"Apakah kau mendapatkan semua batu bara yang kauinginkan?" tanya Rue.
"Tidak," jawabku. "Hanya mendapat apa yang kami beli dan apa yang tersisa dari sepatu bot kami."
"Mereka memberi kami makan lebih pada saat panen, supaya orang-orang bisa bekerja lebih lama," kata Rue.
"Kau tidak perlu sekolah?" tanyaku.
"Pada saat panen, tidak. Saat itu semua orang harus bekerja," kata Rue.
Mendengar cerita hidupnya terasa menarik. Kami nyaris tidak berkomunikasi dengan orang di luar distrik kami. Bahkan sekarang, aku bertanya-tanya apakah para juri Hunger Games memblok percakapan kami, karena meskipun isi percakapannya tak berbahaya, mereka tidak mau orang-orang dari distrik berbeda saling tahu tentang satu sama lain.
Atas saran Rue, kami mengeluarkan semua makanan kami untuk perencanaan ke depan. Dia sudah melihat sebagian besar makananku,tapi aku menambahkan beberapa potong biskuit di tumpukan makanan kami.
Rue ternyata berhasil memgumpulkan banyak umbi-umbian, kacang-kacangan, sayuran, dan sejumlah buah berry.
Aku menggelindingkan buah-buah berry yang tak kukenal di telapak tanganku. "Kau yakin ini aman?"
"Oh, ya, buah-buah berry ini ada di distrikku. Aku sudah makan buah ini berhari- hari," katanya, lalu memasukkan segenggam penuh ke mulutnya. Dengan ragu aku
menggigit sebutir, dan rasanya sama lezatnya dengan blackberry di distrikku.
Mengambil Rue sebagai sekutu rasanya keputusan paling bijak. Kami membagi persediaan makanan, jadi seandainya kami terpisah, kami punya persediaan makanan selama berhari-hari. Selain makanan, Rue hanya punya tempat air yang kecil, ketapel buatan sendiri, dan sepasang kaus kaki. Dia juga punya pecahan batu tajam yang digunakannya sebagai pisau.
"Aku tahu aku tidak punya banyak," kata Rue seakan dia merasa malu dengan apa yang dimilikinya, "tapi aku harus kabur dari Cornucopia sesegera mungkin."
"Kau benar kok," sahutku. Ketika aku mengeluarkan perlengkapanku, Rue menahan napas saat melihat kacamata hitamku.
"Bagaimana kau bisa punya ini?" katanya.
"Ada di ranselku. Kacamata ini tak ada gunanya. Tidak bisa dipakai untuk menghalau sinar matahari, malah membuatku jadi sulit melihat," kataku seraya mengangkat bahu.
"Kacamata ini bukan untuk matahari, tapi untuk gelap," kata Rue. "Kadang-kadang saat kami harus memanen pada malam hari, mereka memberikan kacamata ini untuk mereka yang berada di puncak-puncak pepohonan. Satu kali, ada anak bernama Martin, dia berusaha menyimpan kacamatanya. Dia sembunyikan di celananya. Dan mereka
langsung membunuhnya di tempat."
"Mereka membunuh seorang anak lelaki karena mengambil benda ini?" tanyaku.
"Ya, padahal semua orang tahu Martin tidak berbahaya. Otaknya agak kurang beres. Maksudku, tingkahnya seperti anak tiga tahun. Dia hanya ingin kacamata itu untuk mainan." kata Rue.
Mendengar ceritanya membuatku merasa Distrik 12 seperti rumah perlindungan yang aman. Tentu, sering kali orang-orang pingsan karena kelaparan, tapi aku tidak bisa membayangkan Penjaga Perdamaian membunuh seorang anak yang otaknya kurang beres. Ada seorang gadis kecil, salah satu cucu Greasy Sae, yang sering berkeliaran di sekitar Hob.
Otaknya juga kurang beres, tapi dia diperlakukan seperti semacam peliharaan. Orang- orang sering melemparkan barang-barang atau sisa makanan kepadanya.
"Jadi apa gunanya kacamata ini?" Aku bertanya pada Rue, memegangi kacamata ini. "Kacamata ini akan membuatmu bisa melihat dalam kegelapan," sahut Rue. "Cobalah
nanti malam saat matahari terbenam."
Kuberikan sebagian korek apiku pada Rue dan dia menyiapkan banyak dedaunan seandainya luka bekas sengatanku bernanah lagi. Kami memadamkan api dan berjalan menuju hulu sungai hingga malam tiba.
"Kau tidur dimana?" aku bertanya padanya. "Di pepohonan?" Rue mengangguk. "Hanya pakai jaket itu?"
Rue mengangkat sepasang kaus kaki ekstranya. "Aku punya ini untuk melindungi tanganku."
Kupikir betapa dinginnya malam-malam yang berlalu. "Kita bisa berbagi kantong tidur bersama kalau kau mau. Kita berdua bisa muat kok di dalamnya."
Wajah Rue berbinar. Aku bisa melihat bahwa tawaranku ini jauh di luar harapannya.
Kami memilih dahan pohon yang tinggi dan beristirahat untuk malam ini tepat ketika lagu kebangsaan dimulai. Tak ada yang tewas hari ini.
"Rue, aku baru bangun hari ini. Berapa malam sudah kulewati?"
Lagu kebangsaan seharusnya bisa meredam suara kami, tapi aku tetap saja berbisik. Aku bahkan bersikap hati-hati dengan menutupi bibirku dengan tangan. Aku tidak mau penonton tahu apa yang rencananya bakal kuberitahukan pada Rue tentang Peeta. Melihat gelagatku, Rue melakukan tindakan yang sama.
"Dua," jawabnya. "Anak perempuan dari Distrik Satu dan Empat tewas. Tinggal sepuluh orang yang terisa."
"Ada kejadian aneh. Paling tidak, kupikir begitu. Mungkin juga sengatan bisa tawon penjejak membuatku membayangkan yang aneh-aneh," kataku. "Kau tahu anak lelaki dari distrikku? Peeta? Kurasa dia menyelamatkanku. Tapi dia bersama peserta Karier."
"Dia tidak bersama mereka lagi," ujar Rue. "Aku mengawasi perkemahan mereka di dekat danau. Mereka berhasil kembali ke sana sebelum pingsan karena serangan tawon. Tapi dia tak ada di sana. Mungkin dia memang menyelamatkanmu dan harus melarikan diri."
Aku tidak menjawab. Jika memang Peeta menyelamatkanku, artinya aku berutang lagi padanya. Dan utang yang ini takkan pernah bisa kubayar. "Kalau memang betul, mungkin itu cuma bagian dari aktingnya. Kau tahu kan, dia harus membuat semua orang berpikir bahwa dia jatuh cinta padaku."
"Oh," kata Rue sambil berpikir keras. "Menurutku itu bukan akting." "Tentu saja akting," tukasku. "Dia melatihnya bersama mentor kami." Lagu kebangsaan berakhir dan langit pin menggelap.
"Ayo kita coba kacamata ini."
Kukeluarkan kacamataku dan langsung kupakai. Rue tidak bercanda. Aku bisa melihat segalanya dengan jelas, mulai dari daun-daun di pepohonan sampai sigung yang berjalan di antara sesemakan seratur lima puluh meter dari tempatku berada. Aku bisa
membunuh binatang itu dari sini jika aku mau berkonsentrasi. Aku bisa membunuh siapa pun.
"Siapa lagi ya yang punya kacamata ini?" tanyaku.
"Kawanan Karier punya dua pasang. Tapi mereka punya segalanya di dekat danau," kata Rue. "Dan mereka sangat kuat."
"Kita juga kuat," kataku. "Hanya dengan cara yang berbeda."
"Kau juga. Kau bisa memanah," katanya. "Apa yang bisa kulakukan?"
"Kau bisa mencari makan untuk dirimu sendiri. Apa mereka bisa?" tanyaku.
"Mereka tidak perlu mencari makanan. Mereka punya banyak persediaan," kata Rue. "Misalkan mereka tidak punya lagi. Misalkan persediaan makanan mereka habis.
Berapa lama mereka bisa bertahan?" tanyaku. "Maksudku, ini kan Hunger Games?" "Tapi, Katniss, mereka tidak kelaparan," sergah Rue.
"Memang, mereka tidak kelaparan. Dan itulah masalahnya," aku menyetujui pendapatnya. Dan untuk pertama kalinya, aku punya rencana. Rencana yang tidak
berdasarkan kebutuhan untuk kabur atau menghindar. Rencana menyerang. "Kupikir kita
harus memperbaiki situasinya, Rue."
0 komentar:
Post a Comment