The Hunger Games indonesia bagian 2
Pernah dulu ketika aku tidak bisa melihat apa-apa dari pohon, menunggu tanpa bergerak hingga binatang buruanku lewat, aku ketiduran dan jatuh dengan ketinggian 10 kaki (3 meter), dan mendarat dengan punggungku. Benturan itu seakan membuat semua udara tersembur keluar dari paru-paruku, dan aku hanya bisa terbaring di tanah berjuang menarik nafas dan membuang napas, untuk bisa melakukan apa saja.
Itulah yang kurasakan sekarang, berusaha mengingat bagaimana cara bernapas, tidak dapat berbicara, terpaku mematung ketika nama yang disebutkan memantul dalam tengkorakku. Seseorang memegangi lenganku, anak lelaki dari Seam, rasanya aku pikir aku hampir terjatuh dan dia menangkapku.
Pasti ada kesalahan. Ini tak bisa terjadi. Kertas bertuliskan nama Prim hanya ada satu di antara ribuan! Kemungkinan namanya terpilih sangat kecil sampai aku bahkan tidak repot-repot mengkhawatirkannya. Bukankah aku sudah melakukan segalanya? Aku yang mengambil tessera, dan melarangnya melakukan itu? Selembar nama. Selembar nama di antara ribuan. Probabilitas pemilihan ini sangat menguntungkan baginya. Tapi itu sudah tidak penting lagi.
Jauh di sana, aku bisa mendengar kerumunan massa bergumam tak senag seperti yang selalu mereka lakukan ketika yang terpilih adalah anak berusia dua belas tahun karena tak seorang pun menganggap ini adil. Kemudian aku melihat Prim, darahnya membeku terlihat di wajahnya, kedua telapak tangannya mengepal keras disamping tubuhnya, jalannya kaku, dengan langkah-langkah kecil menuju panggung, melewatiku, kemudian aku melihat bagian belakang blusnya sedikit keluar dan menggantung di atas roknya. Hal kecil inilah, blus yang tak dimasukkan sehingga tampak seperti ekor bebek, yang membuatku kembali ke kenyataan.
"Prim!" Pekikan tertahan keluar dari mulutku, dan otot-ototku mulai bergerak lagi. "Prim!" Aku tidak perlu mendesak kerumunan. Anak-anak lain segera membuka jalan dan membiarkanku langsung berjalan menuju panggung. Aku tiba disamping Prim tepat ketika dia hendak menaiki tangga. Dengan sekali dorong, aku mendesak Prim ke belakang tubuhku.
"Aku mengajukan diri!" pekikku. "Aku mengajukan diri sebagai peserta!"
Ada sedikit kekacauan dipanggung. Sudah berpuluh-puluh tahun tidak ada yang mengajukan diri jadi peserta di Distrik 12 dan protokolnya agak berkarat. Peraturannya adalah setelah nama peserta ditarik dari bola, anak lelaki lain, jika anak lelaki yang baru dibacakan, atau anak perempuan lain, jika nama anak perempuan yang baru dibacakan, bisa maju dan menggantikan tempat anak yang disebutkan namanya. Di beberapa distrik yang menganggap memenangkan pemilihan ini adalah kehormatan besar, dan orang- orang bernafsu untuk mengorbankan diri, adanya orang yang sukarela mengajukan diri jadi peserta malah menjadi masalah rumit. Tapi di Distrik 12, dimana kata peserta kurang lebih sinonim dengan kata mayat, orang yang mengajukan diri bisa dibilang mahkluk langka.
"Bagus sekali!" kata Effie Trinket. "Tapi menurutku ada masalah kecil antara memperkenalkan pemenang terpilih dan menanyakan apakah ada yang mau jadi sukarela jadi peserta, dan jika ada yang mau sukarela jadi peserta kemudian kita, hmm..." Suaranya perlahan-lahan menghilang, bingung harus bicara apa lagi.
"Apa masalahnya?" tanya sang wali kota. Dia memandangku dengan ekspresi sedih di wajahnya. Sebenarnya dia tidak mengenalku, tapi samar-samar dia tahu siapa aku. Akulah anak perempuan yang membawakannya stroberi. Anak perempuan yang kadang-kadang diajak ngobrol oleh putrinya. Anak perempuan yang berdiri berdempetan dengan ibu dan adik perempuannya lima tahun lalu. Dan sebagai anak tertua, anak perempuan itu menerima medali tanda keberanian dari sang wali kota. Medali atas nama ayahnya, yang tewas menguap di tambang. Apakah wali kota mengingat semua itu?
"Apa masalahnya?" ulang sang wali kota dengan suara serak. "Biarkan saja dia maju." Prim menjerit histeris di belakangku. Kedua lengannya yang kurus memelukku tak mau lepas. "Jangan, Katniss! Jangan! Kau tidak boleh pergi!"
"Prim, lepaskan aku," bentakku kasar, karena hal ini membuatku gusar dan aku tidak mau menangis. Nanti malam saat mereka menayangkan ulang acara pemilihan, semua orang akan mengingat tangisanku, dan aku akan di cap sebagai sasaran mudah. Orang lemah. Aku tak mau memberi mereka kepuasan itu. "Lepaskan!"
Aku bisa merasa ada orang yang menarik Prim dari punggungku. Aku menoleh dan melihat Gale menarik Prim hingga kakinya terangkat dari tanah sambil meronta-ronta dalam pelukan Gale.
"Naik sana, Catnip," katanya, dengan suara yang berusaha ditagannya agar tetap tegar, kemudian dia membopong Prim ke ibuku. Kukuatkan diriku dan kunaiki tangga menuju panggung.
Aku menelan ludah dengan susah payah. "Katniss Everdeen." kataku.
"Aku berani taruhan tadi adik perempuanmu. Kau tidak mau dia jadi jagoan ya? Ayo, semuanya! Berikan tepuk tangan yang meriah untuk peserta terbaru kita!" seru Effie Trinket.
Penduduk Distrik 12 memang patut dipuji, karena tak ada seorang pun bertepuk tangan. Bahkan orang-orang yang memegang kertas taruhan pun tidak ada yang bertepuk tangan, padahal mereka biasanya paling tidak pedulian. Mungkin karena mereka mengenalku dari Hob, atau mengenal ayahku atau pernah bertemu dengan Prim, yang selalu disukai semua orang. Jadi bukannya menerima tepuk tangan, aku berdiri tak bergerak di panggung sementara mereka menunjukkan penolakan terberani yang bisa mereka lakukan. Diam. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak setuju. Mereka tidak memaafkan. Semua ini salah.
Kemudian terjadi sesuatu yang tak terduga. Paling tidak aku tidak menduganya karena aku tidak menganggap Distrik 12 sebagai tempat yang peduli padaku. Tapi terjadi perubahan sejak aku menggatikan posisi Prim, dan sekarang aku tampaknya menjadi seseorang yang berharga. Mulanya hanya satu orang, kemudian ada yang lain, lalu hampir semua orang yang ada di kerukunan menyentuhkan tiga jemari tengah kanan kiri ke bibir mereka kemudian mengulurkan jemari mereka ke arahku.
Gerakan ini adalah gerakan lama dan jarang di gunakan di distril kami, kadang- kadang dilakukan oleh beberapa orang di pemakaman. Gerakan ini artinya terimakasih, penghormatan, salam selamat tinggal pada orang yang kau kasihi.
Sekarang aku benar-benar tidak bisa menahan tangis, tapi untungnya Haymitch memilih saat ini untuk terhuyung-huyung melintasi panggung dan memberikan selamat padaku.
"Lihat dia. Lihat yang satu ini!" teriaknya, satu lengannya memeluk bahuku. Untuk pemabuk lusuh, pegangannya ternyata kuat. "Aku menyukainya!"
Napasnya bau minuman keras dan entah kapan terakhir kalinya dia mandi. "Banyak... " Sejenak dia tidak bisa memikirkan kata apa yang hendak diucapkannya.
"Nyali!" katanya dengan penuh kemenangan. "Lebih dari kalian!" Haymitch melepasku dan menuju bagian depan panggung.
"Lebih dari kalian!" teriaknya, menunjuk langsung ke arah kamera.
Apakah ucapannya ditujukan untuk penonton atau saking mabuknya dia sesungguhnya mengejek Capitol? Aku tak pernah tahu apa maksudnya karena ketika Haymitch membuka mulut untuk melanjutkan, dia ambruk di panggung dan langsung tak sadarkan diri.
Pria itu menjijikan, tapi aku bersyukur. Karena kamera mereka tertuju padanya, aku jadi punya waktu berdeham kecil mengeluarkan rasa sesak di tenggorokanku dan menenangkan diriku kembali. Kulipat tanganku ke belakang dan tatapanku tertuju ke kejauhan, masih bisa kulihat perbukitan yang kudaki bersama Gale pagi tadi.
Sesaat, aku mendambakan sesuatu... gagasan bahwa kami meninggalkan distrik... hidup mandiri di hutan... tapi aku benar dengan memilih untuk tidak melarikan diri.
Karena siapa lagi yang mau sukarela menggantikan Prim?
Haymitch dibawa pergi dengan usungan, dan Effie Trinket berusaha melanjutkan acara. "Hari yang seru!" ocehnya sambil berusaha meluruskan rambut palsunya, yang terlalu miring ke kanan. "
Tapi masih ada yang lebih seru lagi! Waktunya memilih peserta laki-laki! Wanita itu jelas masih berusaha memperbaiki keadaan rambutnya, dengan satu tangan di kepala dia berjalan menuju bola yang berisi nama anak laki-laki dan mencomot kertas pertama yang disentuhnya. Dia bergegas kembali ke podium, dan aku bahkan tidak sempat berharpa semoga Gale anan ketika dia membacakan nama di kertas. "Peeta Mellark!"
Peeta Mellark!
Oh tidak, pikirku. Jangan dia. Karena aku mengenali namanya, meskipun aku tak pernah bicara langsung dengan pemilik nama itu. Peeta Mellark.
Ternyata, keberuntungan tak di pihakku hari ini.
Kuperhatikan dia saat berjalan menuju panggung. Tinggi tubuhnya sedang, sedikit gempal, rambutnya pirang abu yang jatuh bergelombang di dahinya. Keterkejutan yang dirasakan Peeta atas kejadian ini tertera di wajahnya, aku bisa melihat perjuangannya untuk memperlihatkan wajah tanpa emosi, tapi mata birunya menunjukkan kewaspadaan yang sering kulihat di mata mangsa buruan. Namun dia tetap naik ke panggung dengan langkah mantap dan mengambil tempat yang disediakan untuknya.
Effie Trinket bertanya apakah ada yang mau sukarela menggantilan Peeta, tak ada serorang pun yang muncul. Aku tahu dia punya dua kakak laki-laki. Aku pernah melihatnya di toko roti, tapi salah satu kakaknya mungkin terlalu tua untuk sukarela menggantikannya dan satu lagi tidak mau melakukannya. Bagi kebanyakan orang rasa bakti terhadap keluarga ada batasnya pada hari pemungutan. Apa yang kulakukan adalah perbuatan radikal.
Wali kota mulai membacakan Perjanjian Pengkhianatan yang panjang dan membosankan sebagaimana yang selalu di lakukannya setiap tahun-bacaan ini adalah keharusan-tapi tidak sepatah kata pun masuk ke telingaku.
Wali kota mulai membacakan Perjanjian Pengkhianatan yang panjang dan membosankan sebagaimana yang selalu di lakukannya setiap tahun-bacaan ini adalah keharusan-tapi tidak sepatah kata pun masuk ke telingaku.
Kenapa dia? Pikirku. Lalu aku berusaha meyakinkan diriku sendjri bahwa tidak ada masalah. Aku tidak bersahabat dengan Peeta Mellark. Bahkan kami tidak hidup bertetangga. Kami tidak saling bicara. Satu-satunya hubungan nyata antara kami terjadi beberapa tahun lalu. Dia mungkin sudah melupakannya. Tapi aku tidak lupa dan aku tahu akan takkan pernah melupakannya...
Kejadiannya berlangsung pada masa terburuk. Ayahku tewas dalam kecelakaan di tambang tiga bulan sebelumnya pada bulan Januari dalam musim dingin terparah yang bisa diingat semua orang. Perasaanku yang mati rasa atas kematian ayahku sudah berlalu, dan rasa sakit itu mendadak menyerangku entah dari mana, dalam kepedihan yang berlipat ganda, dan mengguncang tubuhku dengan isakan. Dimana kau? Jeritku dalam hati. Ke mana kau pergu? Tentu saja tak pernah ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku.
Distrik memberi kami sedikit uang sebagai jasa kematian ayahku, cukup untuk sebagai biaya hidup selama satu bulan masa dukacita, dan setelah itu ibuku diharapkan sudah memperoleh pekerjaan. Namun ternyata dia tidak melakukannya. Ibuku tidak melakukan apa-apa selain duduk bersandar di kursi, atau lebih sering lagi, berbaring di tempat tidur meringkuk di bawah selimut, matanya tertuju pada titik di kejauhan. Sesekali ibuku bergerak, terbangun seolah karena ada urusan penting, namun kemudian jatuh lagi dalam diamnya. Permohonan Prim yang bertubi-tubi tampaknya tidak berpengaruh padanya.
Aku ketakutan setengah mati. Sekarang aku bisa berpikir bahwa ibuku mungkin terkunci dalam semacam dunia kesedihan yang kelam, tapi pada saat itu, yang kutahu adalah aku tidak hanya kehilangan ayahku, tapi juga ibuku. Pada usia sebelas tahun, dan Prim baru berusia tujuh tahun, aku mengambil peran sebagai kepala keluarga. Tidak ada pilihan lain. Aku membeli makanan di pasar dan memasaknya sesanggup yang bisa aku lakukan dan berusaha menjaga diriku dan Prim agar berpenampilan layak. Karena jika ketahuan bahwa ibuku tidak bisa merawat kami lagi, distrik akan mengambil kami dari ibuku dan menempatkan aku dan Prim di rumah komunitas.
Di sekolah, aku melihat anak-anak yang tinggal di rumah itu. Aku melihat kesedihan, tangan yang marah menyisakan bekas di wajah mereka, ketidakberdayaan yang membuat mereka lemah lunglai. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi pada Prim. Prim yang manis dan mungil, yang ikut menangis saat aku menangis bahkan sebelum dia tahu alasanku menangis, yang menyikat dan mengepang rambut ibuku sebelum kami berangkat ke sekolah, yang setiap malam masih memoles cermin yang digunakan ayahku untuk bercukur karena ayahku tidak suka melihat lapisan debu batu bara yang menempel di
segala penjuru Seam. Rumah komunitas akan menghancurkan Prim seperti serangga yang remuk. Jadi aku menyimpan rahasia kesulitan hidup kami rapat-rapat.
Tapi kami kehabisan uang dan perlahan-lahan kami kelaparan hingga nyaris mati. Tidak ada cara lain untuk menjelaskannya. Aku terus-menerus mengatakan pada diriku sendiri agar aku bisa bertahan sampai bulan Mei, hanya sampai tanggal 8 Mei, saat umurku tepat dua belas tahun dan aku bisa mendaftar untuk tessera lalu memperoleh gandum dan minyak yang berharga itu agar kami bisa makan. Akan tetapi aku masih harus melewati beberapa minggu lagi. Pada saat itu kami mungkin sudah mati.
Kelaparan bukanlah kejadian yang biasa di Distrik 12. Siapa yang tak pernah melihat korban-korban kelaparan? Orang-orang tua yang tidak bisa bekerja. Anak-anak dari keluarga yang memiliki terlalu banyak mulut untuk diberi makan. Mereka yang terluka di tambang. Berusaha mengais-ngais di jalanan. Dan suatu hari kau akan menemukan mereka sedang duduk tak bergerak bersandar pada dinding atau berbaring di padang rumput, kau mendengar tangisan dari rumah, dan Penjaga Perdamaian di panggil untuk mengambil jenazah itu. Kelaparan tak pernah jadi penyebab kematian secara resmi. Selalu ada penyebab lain seperti flu, terlalu lama berada di udara terbuka, atau pneumonia. Tapi penyebab bohongan itu tidak bisa menipu siapapun.
Pada sore hari pertemuan pertamaku dengan Peeta Mellark, hujan deras sedingin es menghantam bumi dengan bengis. Aku sedang berada di kota, berusaha menukar pakaian bayi milik Prim yang sudah tipis kainnya di pasar umum, tapi tidak ada seorang pun yang mau. Walaupun aku pernah ke Hob beberapa kali bersama ayahku, aku terlalu takut untuk pergi menjelajah ke tempat yang kasar dan keras itu seorang diri. Hujan sudah menembus hingga ke balik jaket berburu ayahku, dan membuatku menggigil kedinginan hingga ke tulang. Selama tiga hari, kami hanya minum air yang dididihkan dengan daun-daun mint kering yang kutemukan dibelakang lemari dapur. Pada saat pasar tutup, aku gemetar begitu hebat sehingga menjatuhkan buntalan pakaian bayi itu ke genangan lumpur. Aku tidak memungutnya karena takut aku bakal jatuh terjungkal dan tak bakalan sanggup lagi bangkit berdiri. Selain itu, tak ada seorang pun yang menginginkan pakaian tersebut.
Aku tidak bisa pulang. Karena di rumah ada ibuku yang matanya tidak menunjukkan tanda kehidupan dan adik perempuanku, dengan pipinya yang cekung dan bibir pecah- pecah. Aku tidak bisa melangkah masuk ke dalam ruangan dengan api berasap tebal dari ranting-ranting lembap yang berhasil kupungut dari tepi hutan setelah kami kehabisan batu bara, dan tanganku sudah kosong kehabisan harapan.
Aku berjalan terhuyung-huyung di jalanan becek di belakang toko-toko yang melayani orang-orang terkaya di kota. Para pedagang biasanya tinggal di bagian atas tempat usaha mereka. Aku ingat pokok-pokok tanah di kebun mereka belum ditanami untuk musim semi, ada satu atau dua ekor kambing di kurungan, seekor anjing yang basah kuyup terikat di tiang, duduk membungkuk dalam keadaan kotor.
Segala bentuk pencurian dilarang di Distrik 12. Pencuri bisa dihukum mati. Tapi terlintas di pikiranku mungkin ada sisa-sisa makanan di tong sampah, dan mengais tong sampah bukan perbuatan terlarang. Mungkin sisa tulang hasil sampah tukang daging atau sayuran busuk di tong sampah penjual barang pokok, sisa-sisa yang tak mau dimakan oleh
siapa pun kecuali keluargaku yang sudah putus asa untuk makan apa saja. Sialnya, tong- tong sampah itu baru saja di kosongkan.
Ketika melewati toko roti, aroma roti segar memenuhi udara sampai-sampai aku merasa pusing. Panggangan roti berada di belakang dan kilau keemasan mengintip dari pintu dapur yang terbuka. Aku mengangkat penutup tong sampah tukang roti dan melihat isinya kosong melompong.
Tiba-tiba aku mendengar orang berteriak kepadaku dan aku melihat istri tukang roti, menyuruhku pergi dari sana atau dia akan menghubungi Penjaga Perdamaian dan betapa menjijikkan baginya melihat anak nakal dari Seam mengorek-ngorek tempat sampahnya. Kata-kata yang diucapkannya tidak enak didengar dan aku tidak bisa membela diri. Ketika aku menutup tong sampah dan mundur dengan hati-hati, aku memperhatikannya, seorang anak laki-laki beramput pirang mengintip dari belakang punggung ibunya. Aku pernah melihatnya di sekolah. Dia seangkatan denganku, tapi aku tidak tahu siapa namanya. Dia biasa bermain bersama anak-anak dari kota, jadi bagaimana aku bisa mengenalnya? Ibunya masuk lagi ke toko roti sambil menggerutu, tapi anak lelaki itu pasti memperhatikanku ketika aku berjalan ke belakang kurungan babi milik mereka dan bersandar di bawah pohon apel yang sudah tua. Kesadaran bahwa aku tidak punya apa- apa untuk di bawa pulang akhirnya menghantamku. Kedua lututku goyah dan aku merosot dari sandaranku di batang pohon hingga jatuh ke akarnya. Aku tak sanggup lagi. Aku terlalu sakit, lemah, dan letih, oh, betapa letihnya aku. Biar saja mereka menghubungi Penjaga Perdamaian dan membawa kamu ke rumah komunitas, pikirku. Atau lebih baik lagi, biarkan aku mati di sini di bawah siraman hujan.
Terdengar suara berkelontangan di dalam toko roti dan aku mendengar wanita itu berteriak lagi diiringi suara pukulan, dan samar-samar aku penasaran dengan peristiwa yang sedang berlangsung. Kudengar langkah kaki menginjak lumpur ke arahku dan kupikir, Dia datang. Wanita itu datang untuk mengusirku dengan kayu. Tapi bukan wanita itu yang datang. Ternyata anak lelakinya. Dia membawa dua roti berukuran besar yang pasti jatuh ke dalam api karena kulitnya hangus kehitaman.
Ibunya berteriak, "Beri makan babi sana, dasar anak tolol! Sekalian saja! Tak ada orang yang mau membeli roti hangus!"
Anak lelaki itu mulai mencungkil bongkahan roti di tangannya dan melemparkannya ke antara jeruji kurungan kemudian bel pintu toko roti berdentang dan sang ibu menghilang masuk ke toko untuk melayani pembeli.
Tak sekalipun anak lelaki itu melirik ke arahku, tapi aku memperhatikannya lekat- lekat. Karena roti di tangannya, karena tanda berwarna merah di pipinya. Dengan apa
wanita itu memukul anaknya? Orangtua kami tak pernah memukul. Aku bahkan tak bisa membayangkannya. Anak lelaki itu menoleh sekali ke toko roti seakan memastikan bahwa situasi sudah aman, kemudian sembari memperhatikan babi di kurungan dia
melemparkan roti ke arahku. Diikuti roti kedua dengan cepat, lalu dia berjalan lambat ke
toko roti, dan menutup pintu dapur rapat-rapat di belakangnya.
Aku tidak percaya memandangi dua roti besar yang di lemparnya. Roti-roti ini bagus, sempurna sebenarnya, kecuali bagian yang hangus. Apakah dia sengaja membuangnya untukku? Pasti begitu. Karena roti ini sekarang ada di dekat kakiku. Sebelum ada orang
yang menyaksikan kejadian ini aku buru-buru menyelipkan dua roti ini ke balik kausku, membungkus tubuhku rapat-rapat dengan jaket berburu ayahku, dan bergegas menjauh pergi. Panasnya roti ini membakar kulitku, tapi aku memeganginya makin erat, berpegangan padanya seperti menggantungkan nyawaku.
Pada saat aku tiba di rumah, entah bagaiamana roti-roti itu sudah mendingin, tapi bagian dalamnya masih hangat. Saat aku menaruh roti itu di meja, tangan Prim sudah terulur untuk menyobek sepotong besar roti itu, tapi aku menyuruhnya duduk dulu, memaksa ibuku untuk bergabung di meja makan dan menuangkan teh hangat. Kukorek lalu kubuang bagian hangus dan kupotong roti itu. Kami makan satu roti besar itu sepotong demi sepotong. Roti yang lezat mengenyangkan, di dalamnya ada kismis dan kacang.
Aku mengeringkan pakaianku di dekat api, naik ke ranjang dan tidur nyenyak tanpa mimpi. Baru keesokan paginya terlintas dalam pikiranku bahwa anak lelaki itu mungkin sengaja menghanguskan roti-roti itu kedalam api, walaupun tahu dia bakal dihukum, lalu memberikannya padaku. Tapi aku mengenyahkan pikiran ini. Pasti roti itu hangus tanpa sengaja. Buat apa dia melakukannya? Dia bahkan tidak mengenalku. Namun, melemparkan roti-roti itu kepadaku adalah kebaikan tak terkira yang bisa membuatnya dipukul jika ketahuan. Aku tidak bisa membuatnya dipukul jika ketahuan. Aku tidak bisa menjelaskan alasan perbuatannya.
Kami makan beberapa potong roti untuk sarapan lalu berangkat ke sekolah. Seolah- olah musim semi tiba dalam semalam. Udara hangat yang manis. Awan-awan empuk. Disekolah, aku melewati anak lelaki itu di lorong, pipinya bengkak dan matanya memar kehitaman. Dia bersama teman-temannya dan tampak tidak mengenaliku. Tapi saat aku menjemput Prim dan berjalan pulang pada siang itu, kulihat dia memandangiku dari seberang lapangan sekolah. Hanya sedetik mata kami bertemu, kemudian dia memalingkan wajahnya. Aku menunduk, malu, dan saat itulah aku melihatnya. Bunga dandelion pertama tahun itu. Bunyi peringatan berdentang dalam benakku. Aku teringat pada waktu yang kuhabiskan di hutan bersama ayahku dan aku tahu bagaimana kami akan bertahan hidup.
Hingga hari ini, aku takkan pernah bisa menghilangkan hubungan antara lelaki ini, Peeta Mellark, dan roti yang memberiku harapan, serta dandelion yang mengingatkanku bahwa aku belum sampai ajal. Beberapa kali, aku menoleh di lorong sekolah dan mendapati tatapannya sedang tertuju padaku, tapi kemudian buru-buru dialihkannya. Aku merasa seperti berutang seperti itu. Mungkin jika aku sempat berterima kasih padanya,
aku tidak akan merasa sebingung sekarang. Aku pernah berniat mengucapkan terima
kasih padanya satu-dua kali, tapi tak pernah ada kesempatan untuk itu. Dan sekarang kesempatan itu takkan pernah ada lagi. Karena kami akan dilempar di arena pertarungan untuk bertarung sampai mati. Bagaimana aku bisa bilang terima kasih dalam situasi semacam itu? Entah ya, tapi terima kasihku bakal tampak tidak tulus jika aku mengatakannya sembari hendak menggorok lehernya.
Wali kota akhirnya selesai juga membacakan Perjanjian Pengkhianatan dan mengisyaratkan aku dan Peeta agar berjabat tangan. Jabatan tangannya mantap dan hangat seperti roti-roti yang diberikannya padaku. Peeta memandang mataku lekat-lekat
dan meremas tanganku, kupikir maksud remasan itu adalah untuk menentramkan hatiku. Atau mungkin juga tangannya kedutan karena tegang.
Kamu kembali berdiri menghadap kerumunan massa ketika lagu kebangsaan Panem dinyanyikan.
Ya sudahlah, pikirku. Ada dua puluh empat orang nanti. Kemungkinan ada orang lain yang lebih dulu membunuhnya.
Akan tetapi, belakangan ini segala bentuk hitungan kemungkinan tidak bisa diandalkan lagi.
0 komentar:
Post a Comment