The Hunger Games indonesia bagian 21
JAM-JAM terakhir menjelang malam tiba, aku mengumpulkan batu-batu dan berusaha membuat kamuflasi di pintu gua sebaik mungkin. Kegiatan ini lambat dan melelahkan, tapi setelah banyak berkeringat dan memindah-mindahkan batu-batuan, aku merasa puas dengan hasil kerjaku. Gua itu sekarang kelihatan seperti bagian dari tumpukan batu- batuan, seperti yang ada di sekitar tempat ini. Aku masih bisa merangkak masuk ke tempat Peeta melalui bukaan kecil, tapi tidak terdeteksi dari luar. Itu bagus, karena aku masih perlu berbagi kantong tidur lagi malam ini. Selain itu, jika aku tidak kembali dari pesta, Peeta akan tersembunyi tapi tidak sampai terpenjara. Meskipun aku tidak yakin dia bisa bertahan lebih lama tanpa obat. Kalau aku tewas dalam pesta, kemungkinan besar Distrik 12 takkan punya pemenang.Aku meracik makanan dari ikan yang lebih kecil dan lebih banyak tulangnya yang mendiami sungai di sini. Kuisi juga semua tempat air yang kupunya dan kusucihamakan, lalu kubersihkan senjata-senjataku. Hanya ada sembilan anak panah yang tersisa. Aku sedang menimbang-nimbang apakah ingin meninggalkan pisauku di tangan Peeta agar dia punya perlindungan selama aku pergi, tapi sesungguhnya itu tak ada gunanya. Kamuflase jadi pertahanan terakhirnya. Tapi aku masih bisa memanfaatkan pisau ini. Siapa tahu apa yang bakal kuhadapi nanti?
Berikut ini beberapa hal yang kuyakini. Paling tidak Cato, Clove, dan Thresh akan siap ketika pesta dimulai. Aku tidak yakin dengan si Muka Rubah karena pertarungan langsung bukanlah gayanya atau kekuatannya. Tubuhnya lebih kecil daripada tubuhku dan dia tidak bersenjata, kecuali dia menemukan senjata entah di mana belakangan ini. Dia mungkin akan menunggu tidak jauh dari tempat pesta, melihat apa sisa-sisa yang bisa dia pungut. Tapi tiga peserta lain... aku pasti bakal sibuk sekali. Kemampuanku untuk membunuh sasaran dari jarak jauh adalah aset terbesarku, tapi aku tahu harus terjun ke sarang kehebohan untuk memperoleh ransel itu, ransel bernomor 12 seperti yang disebutkan Claudius Templesmith.
Aku mendongak menatap langit, berharap lawan yang harus kuhadapi pada dini hari nanti bisa berkurang satu, tapi tak ada seorang pun yang muncul. Besok akan ada wajah- wajah yang muncul di sana. Pesta selalu menghasilkan korban jiwa.
Aku merangkak ke dalam gua, menyimpan kacamataku, dan bergelung di samping
Peeta. Untungnya aku sudah tidur nyenyak sepanjang siang tadi. Aku tidak boleh tidur. Kurasa tak ada seorang pun yang akan menyerang gua kami malam ini, tapi aku tidak bisa menanggung risiko ketinggalan dini hari.
Dingin sekali, dingin yang amat menggigit malam ini. Seakan para Juri Pertarungan telah menyuntikkan embusan udara yang membeku ke arena pertarungan, dan mungkin saja mereka memang sungguh-sungguh melakukannya.
Aku berbaring di samping Peeta di dalam kantong tidur, berusaha menyerap setiap titik panas dari demamnya. Aneh rasanya berada dekat secara fisik dengan seseorang
yang teramat jauh. Peeta bisa saja berada di Capitol, Distrik 12, atau di bulan saat ini, aku sama saja tak bisa menggapainya. Aku tak pernah merasa kesepian seperti saat ini sejak Hunger Games dimulai.
Terima saja ini akan jadi malam yang buruk, kataku dalam hati. Aku berusaha tidak melakukannya, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan ibuku dan Prim, bertanya-tanya apakah mereka bisa tidur malam ini. Pada tahap-tahap menjelang akhir Hunger Games dan adanya peristiwa penting seperti pesta, sekolah mungkin diliburkan. Keluargaku bisa memilih antara menonton di televisi tua yang gambarnya berbintik-bintik di rumah atau bergabung dengan massa di alun-alun untuk menonton di layar-layar televisi besar yang gambarnya jernih. Mereka akan mendapat privasi di rumah tapi dukungan di alun-alun. Orang-orang akan bersikap ramah pada mereka, memberikan sedikit makanan jika ada yang tersisa. Aku bertanya-tanya apakah tukang roti telah mengurus mereka, terutama sekarang setelah aku dan Peeta satu tim, dan melaksanakan janjinya untuk menjaga perut adikku tetap kenyang.
Semangat pasti berkobar di Distrik 12. Kami jarang sekali memiliki peserta yang bisa kami elu-elukan pada tahap ini di Hunger Games. Tentu saja, orang-orang pasti gembira melihat aku dan Peeta, terutama sekarang setelah kami bersama. Kalau aku memejamkan mata, aku bisa membayangkan teriakan-teriakan mereka ke layar-layar televisi, mendorong kami untuk terus lagi. Aku melihat wajah-wajah mereka-Greasy Sae dan Madge, bahkan para Penjaga Perdamaian yang membeli daging dariku-sedang bersorak untuk kami.
Dan Gale. Aku kenal dia. Dia takkan berteriak dan bersorak. Tapi dia akan menonton, setiap momen, setiap gerak dan tingkah laku, dan menginginkan aku pulang. Aku ingin tahu apakah dia berharap Peeta juga bisa selamat. Gale bukan kekasihku, tapi akankah dia jadi kekasihku, jika aku membuka pintu hatiku? Dia bicara tentang kami kabur bersama. Apakah itu cuma perhitungan praktis dari kemungkinan kami bertahan hidup jauh dari distrik? Atau ada sesuatu yang lebih?
Aku ingin tahu apa yang dia tangkap dari semua ciuman ini.
Melalui celah di bebatuan, aku melihat bulan melintasi langit. Pada waktu yang kuperkirakan tiga jam sebelum dini hari tiba, aku memulai segala persiapan akhir. Aku berhati-hati meninggalkan Peeta dengan air dan obat-obatan tepat di sampingnya. Barang-barang lainnya takkan berguna jika aku tidak kembali. Setelah melalui sejumlah
pertimbangan, kulepaskan jaket Peeta dan kupakai rangkap di luar jaketku. Dia tidak
membutuhkannya. Apalagi sekarang ketika dia berada di kantong tidur dengan demam tingginya, dan pada siang hari besok nanti. Jika aku tidak melepaskannya, dia pasti terpanggang kepanasan di dalam kantong tidur. Kedua tanganku sudah kaku kedinginan, jadi kupakai kaus kaki cadangan Rue, Setelah kubuat lubang untuk empat jari-jariku. Kaus kaki ini membantu. Aku mengisi ransel kecil Rue dengan makanan, botol air, dan perban, menyelipkan pisau di ikat pinggangku, lalu mengambil busur dan anak panahku. Aku baru saja hendak pergi ketika teringat pada pentingnya menjaga situasi kami sebagai pasangan kekasih yang bernasib malang, jadi aku menunduk dan mencium Peeta, lama dan tak terlupakan. Aku membayangkan desahan penuh air mata di Capitol, lalu aku pura-pura menyeka air mataku sendiri. Kemudian aku melesat di antara batu-batuan menuju pekatnya malam.
Napasku menimbulkan awan-awan putih kecil ketika terembus ke udara. Dinginnya sama seperti dinginnya udara bulan November di distrikku. Suatu malam ketika aku
menyelinap ke hutan, dengan lentera di tangan, bertemu dengan Gale di tempat yang sudah kami atur agar kami bisa duduk terbungkus selimut bersama, menyesap teh herbal dari termos logam yang terbungkus kain perca, sambil berharap buruan akan lewat depan kami sementara menunggu pagi tiba. Oh, Gale, pikirku. Seandainya ada kau yang menjagaku sekarang....
Aku bergerak secepat yang berani kulakukan. Kacamata malam ini luar biasa, tapi aku masih sedih kehilangan pendengaran sebelah kiri. Aku tak tahu ledakan itu menyebabkan apa, tapi yang pasti ledakan itu merusak sesuatu yang dalam dan tak bisa diperbaiki lagi. Tak apalah. Kalau aku pulang, aku bakalan kaya raya, dan aku bisa membayar orang untuk jadi pendengarku.
Hutan selalu tampak berbeda pada malam hari. Bahkan dengan kacamata, segalanya memiliki secercah kesan asing. Seakan pohon-pohon, bunga-bungaan, dan bebatuaan siang hari sudah tidur dan mereka mengirim versi mereka yang tidak menyenangkan untuk mengganti tempat mereka. Aku tidak mencoba berbuat macam-macam, seperti mengambil rute baru. Aku berjalan naik menyusuri sungai dan mengikuti jalan yang sama menuju tempat persembunyian Rue di dekat danau.
Sepanjang jalan, aku tidak melihat tanda keberadaan peserta lain, tidak ada embusan napas, atau guncangan pada cabang pohon. Entah akulah orang pertama yang tiba atau yang lain-lain sudah berada di posisi mereka sejak tadi malam. Masih ada waktu sekitar satu jam, mungkin dua, ketika aku masuk ke semak-semak dan menunggu darah tertumpah di Cornucopia.
Kukunyah beberapa helai daun mint, perutku tidak sanggup makan berat. Untunglah
aku memakai jaket Peeta sekalian dengan jaketku. Kalau tidak, aku bakal terpaksa bergerak terus agar tetap hangat. Langit berubah kelabu pagi yang berembun dan masih tak ada tanda-tanda peserta lain. Tidak mengejutkan sebenarnya. Semua orang punya kelebihan entah dengan kekuatan, kemampuan mematikan, atau kelicikan. Aku penasaran apakah mereka menduga Peeta bersamaku sekarang? Aku tidak yakin si Muka Rubah dan Thresh tau bahwa Peeta terluka. Lebih baik jika mereka berpikir Peeta melindungiku saat aku masuk mengambil ransel.
Tapi di mana ranselnya? Arena pertarungan sudah cukup terang sehingga aku membuka kacamataku. Aku bisa mendengar burung-burung pagi bernyanyi. Waktunya tiba? Selama sedetik, aku panik karena mengira berada di lokasi yang salah. Tapi tidak, aku yakin aku ingat Claudius Templesmith menyebut Cornucopia. Dan Cornucopia ada di sana. Aku di sini. Jadi di mana pestaku berlangsung?
Tepat ketika cahaya matahari pertama menyinari bagian emas Cornucopia, ada
gerakan di tanah. Tanah di depan mulut terompet terbelah dua dan meja bundar dengan taplak putih bersih muncul di arena. Di meja terdapat empat ransel, dua ransel hitam besar dengan angka 2 dan 11, ransel hijau ukuran sedang dengan angka 5, dan ransel oranye mungil-yang sesungguhnya bisa kuikat di pergelangan tanganku-pasti yang bertanda angka 12.
Meja itu baru saja terpasang di tempatnya ketika ada sosok yang melesat dari Cornucopia, menyambar ransel hijau, dan kabur dengan cepat. Si Muka Rubah! Dia paling lihai membuat gagasan yang penuh risiko dan cerdas! Peserta-peserta lain masih tenang
berada di sekitar tanah lapang, menilai situasi, dan dia sudah mendapatkan ranselnya. Dia juga memerangkap kami, karena tak ada seorang pun yang mau mengejarnya, sementara ransel kami sendiri masih duduk manis di atas meja. Si Muka Rubah pasti sengaja meninggalkan ransel-ransel itu, dia sadar benar mencuri ransel yang bukan miliknya pasti akan membuat dirinya dikejar. Seharusnya itu jadi strategiku! Ketika segala perasaan terkejut, kagum, marah, cemburu, dan frustasi usai kurasakan, aku melihat rambut kemerahan menghilang di antara pepohonan dan berada di luar jarak tembakanku. Huh. Aku selalu ngeri pada peserta-peserta lain, tapi mungkin si Muka Rubah adalah lawan yang sesungguhnya di sini.
Dia juga menghabiskan waktuku, karena sekarang jelas bahwa aku harus tiba di meja sehabis ini. Siapa pun yang tiba lebih dulu ke meja akan dengan mudah mengambil ranselku lalu kabur. Tanpa ragu, aku berlari cepat ke meja. Aku bisa merasakan datangnya bahaya sebelum aku melihatnya. Untungnya lemparan pisau pertama mendesing di sebelah kanan tubuhku jadi aku bisa mendengarnya dan menangkisnya dengan busurku. Aku berbalik, menarik tali busur dan menembakkan panah ke arah jantung Clove. Dia mengelak tepat untuk menghindari serangan fatal, tapi ujung mata panah menembus lengan kiri atas Clove. Sialnya, dia melempar pisau dengan tangan kanan, tapi panah itu sempat membuat gerakannya lambat, dia juga harus menarik panah dari lengannya dan kesakitan akibat lukanya. Aku terus bergerak, secara otomatis langsung memasang anak panah di busur, yang hanya bisa dilakukan oleh seorang yang sudah bertahun-tahun berburu.
Aku berada di meja sekarang, jemariku menggenggam ransel mungil itu. Tanganku masuk di antara talinya dan menggantung di lengan bawahku. Ransel ini terlalu kecil
untuk bisa kubawa di bagian lain tubuhku, dan aku berbalik untuk menembakkan panah lagi ketika pisau kedua menyambar dahiku. Pisau itu mengiris bagian atas alisku,
membuat luka terbuka yang mengucurkan darah ke wajahku, membutakan mataku,
memenuhi mulutku dengan rasa logam tajam darahku sendiri. Aku terhuyung-huyung mundur tapi masih sempat menembakkan panah yang sudah siap tembak ke arah penyerangku. Saat anak panah itu terlepas dari tanganku, aku tahu tembakanku pasti meleset. Kemudian Clove menghantamkan tubuhnya ke tubuhku, membuatku jatuh telentang. Dia mengunci kedua bahuku di tanah dengan lututnya.
Ini dia, pikirku, dan berharap demi Prim kematianku berlangsung cepat. Tapi Clove tampak ingin menikmatinya. Bahkan dia tidak tampak terburu-buru. Tidak diragukan lagi Cato berada tidak jauh dari tempat ini, mengawasi Clove sambil menunggu Thresh mungkin Peeta.
"Di mana pacarmu, Distrik Dua Belas? Masih hidup?" tanya Clove. Selama kami bicara artinya aku masih hidup.
"Dia ada di luar sana. Memburu Cato," balasku. Lalu aku berteriak sekeras-kerasnya. "Peeta!"
Clove meninju leherku, langsung membuat suaraku hilang. Tapi kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, dan aku tahu selama sesaat dia mempertimbangkan apakah aku berkata yang sebenarnya. Karena Peeta tak muncul menyelamatkanku, Clove kembali memandangku.
"Pembohong," katanya sambil menyeringai. "Dia sudah sekarat. Cato tau di mana dia melukainya. Kau mungkin mengikatnya di pohon sementara kau berusaha menjaganya tetap hidup. Apa yabg ada di ransel mungilmu itu? Obat buat si Lover Boy? Sayang, dia tak pernah mendapatkannya."
Clove membuka jaketnya. Di baliknya terdapat deretan pisau yang mengesankan. Dengan hati-hati dia memilih pisau yang cantik dengan mata pisau melengkung yang tampak kejam. "Aku berjanji pada Cato kalau dia mengizinkanku menghabisimu, aku akan memberikan tontonan yang seru pada penonton."
Sekarang aku berusaha keras untuk lepas dari tindihannya, tapi gagal. Dia terlalu berat dan kunciannya terlalu keras.
"Lupakan saja, Distrik Dua Belas. Kami akan membunuhmu. Sama seperti yang kami lakukan pada sekutu kecilmu yang suka melompat-lompar di pepohonan? Ya, pertama Rue, lalu kau, dan kurasa kita biarkan saja alam membereskan Lover Boy-mu. Bagaimana?" tanya Clove. "Nah, kita mulai dari mana?"
Dengan asal-asalan dia menyeka darah dari lukaku dengan lengan jaketnya. Sesaat, dia mengamati wajahku, memiringkannya dari satu sisi ke sisi lain seakan wajahku ini sepotong kayu dan dia sedang memutuskan pola apa yang akan digunakan untuk mengukirnya. Aku mencoba menggigit tangannya, tapi dia menjambak rambut atasku, memaksaku tetap di tanah.
"Ku pikir..." Clove seakan mendengkurkan ucapannya. "Kupikir kita akan mulai dari mulutmu."
Kukatupkan gigiku rapat-rapat sementara dia bermain-main dengan ujung mata pisaunya menelusuri bibirku.
Aku tidak mau menutup mataku. Komentarnya tentang Rue membuatku terbakar amarah, kemarahan yang sama kupikir adalah mati dengan bermartabat. Sebagai tindakan
perlawanan terakhirku, aku akan menatapnya selama yang kubisa, yang mungkin sisa
waktunya tak lama lagi, tapi aku akan terus menatapnya, aku takkan menjerit. Dengan caraku sendiri, aku akan mati, tapi tak terkalahkan.
"Ya, menurutku kau sudah tak perlu mulutmu lagi. Ingin meniupkan ciuman terakhir untuk Lover Boy?" tanyanya.
Kuusahakan mengumpulkan darah dan air liur dalam mulutku lalu kuludahi wajahnya.
Dia langsung murka. "Baik kalau begitu. Ayo kita mulai."
Kukuatkan diriku menghadapi penderitaan yang sebentar lagi tiba. Tapi ketika aku merasakan ujung pisau mulai mengiris bibirku, ada kekuatan besar yang menarik Clove dari tubuhku lalu dia menjerit. Mulanya aku terlalu terpana, tak sanggup mencerna apa yang terjadi. Apakah Peeta yang entah bagaimana datang menyelamatkanku? Apakah para Juri Pertarungan mengirim hewan liar untuk menambah seru pertarungan? Apakah pesawat ringan tanpa sengaja menariknya ke udara?
Tapi ketika aku berhasil bangun dengan dua tangan yang kebas, ternyata semua dugaanku salah. Clove meronta-ronta dengan kaki di atas tanah, terperangkap dalam jepitan lengan Thresh. Aku terkesiap melihat Thresh seperti itu, menjulang di hadapanku, memegang Clove seperti memegang boneka kain. Aku ingat tubuh Thresh memang besar,
tapi dia tampak semakin meraksasa, lebih kuat daripada yang kuingat. Berat badannya seakan bertambah di arena pertarungan. Dia memutar tubuh Clove lalu membantingnya ke tanah.
Ketika Thresh berteriak, aku terlonjak, karena tak pernah mendengarnya bicara lebih dari sekedar gumaman. "Apa yang kaulakukan terhadap gadis kecil itu? Kau membunuhnya?"
Clove merangkak mundur dengan posisi duduk, seperti serangga yang panik, bahkan terlalu kaget untuk memanggil Cato. "Tidak! Bukan, bukan aku!"
"Kau menyebut namanya. Aku mendengarmu. Kaubunuh dia?" Sebuah pemikiran terlintas dalam benaknya, mengguratkan kemarahan di wajah Thresh. "Kaupotong dia seperti kau akan potong gadis ini?"
"Tidak! Tidak, aku..." Clove melihat batu, yang di tangan Thresh seukuran roti tawar, lalu langsung panik.
"Cato!" pekiknya. "Cato!"
"Clove!" Aku mendengar jawaban Cato, tapi aku tahu dia terlalu jauh untuk bisa membantu Clove. Apa yang sedang dilakukan Cato? Berusaha mengejar si Muka Rubah atau Peeta? Atau dia menunggu Thresh dan salah memperkirakan lokasinya?
Thresh menghantamkan batu itu dengan keras ke pelipis Clove. Tidak ada darah yang keluar, tapi dari tengkorak Clove yang penyok aku tahu dia bakal tewas. Masih ada sisa- sisa kehidupan dalam diri Clove, dadanya yang naik-turun dengan cepat, erangan lemah yang keluar dari bibirnya.
Ketika Thresh berputar ke arahku, batu di tangannya terangkat, aku tahu tak ada gunanya bagiku untuk lari. Dan busurku kosong, tadi sudah kutembakkan ke arah Clove.
Aku terperangkap dalam sorot mata cokelat keemasannya yang aneh. "Apa maksud dia? Tentang Rue jadi sekutumu?"
"Aku-aku-kami bergabung. Meledakkan persediaan mereka. Aku berusaha
menyelamatkannya, sungguh. Tapi dia lebih dulu berada di sana. Anak lelaki Distrik Satu," kataku. Mungkin jika dia tahu aku membantu Rue, dia takkan membuatku mati perlahan dan sengsara.
"Dan kau membunuh anak lelaki itu?" tanyanya.
"Ya. Aku membunuhnya. Dan memakamkan Rue dengan bunga-bungaan," kataku. "Lalu aku bernyanyi untuknya sampai dia terlelap."
Air mata mengambang di mataku. Ketegangan pertarungan itu keluar dari kenanganku. Aku merasa dipenuhi sosok Rue, rasa sakit di kepalaku, rasa takutku terhadap Thresh, dan erangan gadis yang sekarat tak jauh dariku.
"Sampai terlelap?" tanya Thresh serak.
"Sampai meninggal. Aku bernyanyi untuknya sampai dia meninggal," kataku. "Distrikmu... mereka mengirimiku roti."
Tanganku terulur ke atas, tapi bukan untuk mengambil anak panah yang kutahu takkan pernah bisa kuraih. Aku hanya ingin menyeka hidungku. "Lakukan dengan cepat, oke, Thresh?"
Beragam emosi yang bertentang melintas di wajah Thresh. Dia menurunkan batunya dan menunjukku, nyaris seperti menuduh. "Hanya untuk kali ini, aku melepasmu. Untuk gadis kecil itu. Kau dan aku impas. Kita tak ada utang lagi. Kau paham?"
Aku mengangguk karena aku memang paham. Tentang utang. Tentang membenci utang. Aku paham jika Thresh menang, dia harus pulang menghadapi distrik yang sudah melanggar semua peraturan untuk berterima kasih padaku, dan Thresh melanggar peraturan juga untuk berterima kasih padaku. Dan aku paham bahwa saat itu Thresh
takkan menghantam tengkorakku.
"Clove!" suara Cato makin dekat sekarang. Dari suaranya yang penuh kepedihan aku tahu Cato sudah melihat Clove di tanah.
"Lebih baik kau lari sekarang, Gadis Api," kata Thresh.
Aku tidak perlu diberitahu dua kali. Aku bersalto lalu kakiku menjejak tanah yang keras ketika berlari menjauh dari Thresh dan Clove serta suara Cato. Baru ketika sampai ke hutan aku menoleh sejenak ke belakang. Thresh dan dua ransel besar menghilang di ujung tanah lapang menuju wilayah yang tak pernah kulihat. Cato berlutut di samping, tombak di tangan, sambil memohon pada Clove agar tetap bertahan. Sebentar lagi Cato akan sadar bahwa usahanya sia-sia, Clove tak bisa diselamatkan. Aku melesat di antara pepohonan, berkali-kali menyeka darah yang menetes ke mataku, terbang laksana angin, bagaikan binatang terluka yang kabur. Setelah beberapa menit terdengar suara dentuman meriam dan aku tahu Clove sudah tewas, dan Cato akan mengejar salah satu dari kami. Kalau tidak mengejar Thresh, dia akan mengejarku. Aku merasa ngeri, lemas akibat luka di kepalaku, terguncang. Aku memasang anak panah, tapi Cato bisa melempar tombak hampir sama jauhnya dengan jarak aku bisa memanah.
Hanya satu hal yang membuatku lebih tenang. Thresh mengambil ransel Cato yang berisi benda yang amat sangat dibutuhkannya. Kalau aku harus bertaruh, Cato akan mengejar Thresh, bukan aku. Tapi aku tetap tidak melambatkan lariku ketika tiba di sungai. Aku langsung mencemplungkan kakiku ke sungai, masih memakai sepatu, menggelepar menuju hilir. Kulepaskan kaus kaki Rue yang kugunakan sebagai sarung tangan dan kutekankan kaus kaki itu ke dahiku, berusaha menyumbat aliran darahku, tapi hanya dalam hitungan menit kaus kaki itu sudah basah dengan darah.
Entah bagaimana aku berhasil sampai ke gua. Aku mengimpitkan tubuhku di antara celah batu. Dalam sorotan bintik-bintik cahaya, kulepaskan ransel mungil itu dari tanganku, kubuka tutupnya dan kutumpahkan semua isinya ke tanah. Satu kotak kecil yang berisi jarum suntik. Tanpa ragu, kusuntikkan jarum ke lengan Peeta dan perlahan- lahan kuinjeksikan isinya.
Tanganku memegang kepalaku laku turun ke paha, tanganku licin dengan darah.
Hal terakhir yang kuingat adalah betapa indahnya warna hijau-perak ngengat yang mendarat di lekuk lenganku.
0 komentar:
Post a Comment