December 01, 2013

Eclipse Indonesia 24

24. KEPUTUSAN KIL AT
AKU berbaring telungkup di kantong tidur, menunggu keadilan menemukanku. Mungkin salju bakal longsor dan
menimbunku di sini. Kalau saja benar begitu. Aku takkan pernah mau memandang wajahku lagi di cermin.
Tak ada suara yang memperingatkan aku. Tiba-tiba tangan Edward yang dingin sudah membelai-belai
rambutku yang kusut. Aku bergidik penuh rasa bersalah saat ia menyentuhku.
"Kau baik-baik saja?" bisiknya, suaranya cemas.
"Tidak. Aku kepingin mati."
"Itu takkan pernah terjadi. Aku takkan mengizinkannya."
Aku mengerang dan berbisik, "Mungkin nanti kau akan berubah pikiran.”
"Mana Jacob?"
"Dia pergi bertempur,” gumamku sambil menunduk. Jacob meninggalkan kemah dengan riang gembira,
sambil menyerukan "Sebentar lagi aku kembali" berlari cepat menuju lapangan, sekujur tubuhnya sudah bergetar
saat ia bersiap-siap berubah wujud. Sekarang seluruh kawanan pasti sudah mengetahui semuanya. Seth Clearwater berjalan mondar-mandir di luar tenda, merupakan saksi intim kejatuhanku.
Edward terdiam lama sekali. "Oh,” ujarnya akhirnya. Nadanya membuatku khawatir, longsoran saljuku tidak
datang cukup cepat. Aku diam-diam meliriknya, dan benar saja, mata Edward nanar saat ia mendengarkan sesuatu yang aku lebih suka mati saja daripada itu didengar olehnya. Aku menundukkan wajahku kembali ke lantai. Aku terperangah ketika Edward tertawa enggan.
"Padahal kupikir akulah yang bersaing secara kotor,” katanya dengan enggan menyatakan kekagumannya. “Dia
membuatku terlihat seperti orang suci.” Tangannya membelai bagian pipiku yang terlihat. "Aku tidak marah
padamu, sayang. Ternyata Jacob lebih cerdik daripada yang selama ini kukira. Meskipun aku berharap kau tidak
melakukannya.”
"Edward,” aku berbisik ke bahan nilon yang kasar.
"Aku..Aku..Aku..”
"Ssstt,” Edward mendiamkan, jari-jarinya menenangkan di pipiku. "Bukan itu maksudku. Dia toh tetap menciummu, walaupun kau tak terpedaya olehnya, dan sekarang aku tak punya alasan untuk meremukkan wajahnya. Padahal aku pasti akan sangat menikmatinya."
"Terpedaya?" gumamku, nyaris tak bisa dimengerti.
"Bella, apakah kau benar-benar yakin dia semulia itu? bahwa dengan berbesar hati dia akan menyingkir untuk
memberi kesempatan padaku?"
Perlahan-lahan aku mengangkat kepala untuk menatap matanya yang sabar. Ekspresinya lembut, sorot matanya
penuh pengertian, bukan jijik seperti yang pantas kulihat.
"Ya, aku benar-benar mempercayainya,” bisiku, kemudian membuang muka. Tapi aku sama sekali tidak
merasa amarah kepada Jacob karena memperdaya aku. Tak ada lagi ruang dalam diriku untuk menyimpan hal lain selain kebencian yang kurasakan terhadap diriku sendiri.
Lagi-lagi Edward tertawa lirih. “Kau benar-benar tidak pandai berbohong, jadi kau akan mempercayai orang yang
paling tidak pandai berbohong sekalipun."
"Kenapa kau tidak marah padaku?" bisikku. "Kenapa kau tidak membenci aku? Atau mungkin kau belum
mendengar seluruh ceritanya?"
"Kurasa aku sudah sangat memahaminya," jawab Edward dengan nada enteng dan ringan. "Jacob
membayangkannya dengan sangat jelas. Aku merasa tidak enak pada teman-teman sekawanannya, nyaris seperti aku merasa tidak enak pada diriku sendiri. Seth yang malang bahkan sampai mual. Tapi Sam menyuruh Jacob memfokuskan diri sekarang."
Aku memejamkan mata dan menggeleng-geleng sedih. Serat-serat nilon lantai tenda yang tajam menggesek kulitku.
"Kau hanya manusia biasa,” bisik Edward, membelai rambutku lagi.
"Itu pembelaan paling menyedihkan yang pernah kudengar."
"Tapi kau memang manusia biasa, Bella. Dan, walaupun aku berharap sebaliknya, demikian juga dia... ada lubanglubang dalam hidupmu yang tidak bisa kuisi. Aku mengerti itu."
"Tapi itu tidak benar. Justru karena itulah ini buruk sekali. Tidak ada lubang apa pun."
"Kau mencintainya,” bisik Edward lembut. Setiap sel dalam tubuhku benar-benar ingin menyangkalnya.
"Aku lebih mencintaimu,” kataku. Hanya itu yang bisa kukatakan.
"Ya, aku juga tahu itu. Tapi...waktu aku meninggalkanmu Bella, aku meninggalkanmu berdarahdarah.
Jacoblah yang menjahit lukamu dan memulihkannya. Itu pasti akan meninggalkan bekas, di diri
kalian berdua. Aku tidak yakin bekas jahitan semacam itu bisa hilang sendiri. Aku tidak bisa menyalahkan salah satu dari kalian untuk sesuatu yang kulakukan sendiri. Mungkin aku sudah dimaafkan, tapi aku tidak berarti aku bisa lepas dari segala konsekuensinya.
"Seharusnya aku tahu kau pasti akan menyalahkan dirimu sendiri. Kumohon, hentikan. Aku tidak tahan
mendengarnya."
"Memangnya kau ingin aku bilang apa?"
"Aku ingin kau memaki-makiku sepuas hatimu, dalam setiap bahasa yang kau tahu. Aku ingin kau mengatakan
kepadaku kau jijik padaku dan kau akan meninggalkan aku sehingga aku bisa memohon-mohon dan menyembahnyembah, memintamu tidak pergi."
"Maafkan aku," Edward menghela napas. "Aku tidak bisa berbuat begitu."
"Setidaknya berhentilah berusaha menghiburku. Biarkan aku menderita. Aku pantas kok menerimanya."
"Tidak," gumam Edward.
Aku mengangguk lambat-lambat. "Kau benar, teruslah bersikap kelewat pengertian. Mungkin itu malah lebih
buruk."
Edward terdiam sejenak, aku merasakan perubahan suasana, hal mendesak yang baru.
"Sudah semakin mendekat,” kataku.
"Ya, tinggal beberapa menit lagi. Cukup waktu untuk menyampaikan satu hal lagi.."
Aku menunggu. Waktu akhirnya Edward berbicara lagi, ia berbisik. “Aku bisa bersikap mulia Bella. Aku tidak akan memintamu memilih di antara kami. Berbahagialah, dan aku bisa memiliki bagian apa saja dariku yang kau
inginkan, atau tidak sama sekali, kalau itu memang lebih baik. Jangan biarkan utang budi apa pun yang menurutmu kau rasakan terhadapku, mempengaruhi keputusanmu."
Aku mengangkat tubuhku dari lantai, menyentakkan diriku hingga berlutut.
"Brengsek, hentikan!" teriakku.
Mata Edward membelalak kaget. "Tidak, kau tidak mengerti. Aku tidak sekadar ingin menghibur perasaanmu,
Bella. Tapi aku sungguh-sungguh."
"Aku tahu kau sungguh-sungguh,” erangku."Tapi kenapa sih kau tidak mau melawan! Jangan sok
mengorbankan diri sekarang! Lawan!"
"Bagaimana caranya?" tanya Edward, matanya sarat kesedihan.
Aku cepat-cepat naik ke pangkuannya, memeluk lehernya.
"Aku tidak peduli di sini dingin. Aku tidak peduli tubuhku bau anjing sekarang. Buat aku lupa betapa
jahatnya aku. Buat aku lupa padanya. Buat aku lupa namaku sendiri. Lawan!"
Aku tidak menunggunya memutuskan, atau memiliki kesempatan untuk mengatakan kepadaku ia tidak tertarik
pada monster keji yang tidak setia seperti aku. Aku mendekatkan tubuhku ke tubuhnya dan melumatkan
bibirku ke bibirnya yang sedingin salju.
"Hati-hati, Sayang." gumamnya saat aku menciumnya dengan ganas.
"Tidak,” geramku.
Dengan lembut Edward mendorong wajahku beberapa sentimeter dari wajahnya. "Kau tidak perlu membuktikan
apa pun padaku."
"Aku tidak berusaha membuktikan apa pun. Kau tadi bilang aku bisa memiliki bagian apa saja darimu yang
kuinginkan. Bagian inilah yang kuinginkan. Aku menginginkan semuanya." Aku mengalungkan kedua
lenganku di lehernya dan berusaha keras menjangkau bibirnya. Edward menunduk membalas ciumanku. tapi
bibirnya yang dingin ragu-ragu sementara ketidaksabaranku semakin menjadi-jadi. Tubuhku menunjukkan maksudku dengan jelas, membeberkan semuanya. Tak terelakkan, tangan Edward bergerak untuk menahanku.
"Mungkin ini bukan saat yang tepat untuk itu,” ia menyarankan, begitu tenangnya hingga membuatku marah.
"Kenapa tidak,” gerutuku. Tak ada gunanya melawan kalau Edward sudah memutuskan bersikap rasional, jadi
kujatuhkan kedua lenganku.
"Pertama-tama, karena hawa memang dingin.” Edward mengulurkan tangan untuk menarik kantong tidur dari
lantai; ia menyelubungkannya ke tubuhku.
"Salah,” sergahku. "Pertama, karena kau sangat bermoral untuk ukuran vampire."
Edward terkekeh. "Baiklah, terserah kalau memang begitu menurutmu. Dingin adalah alasan kedua. Dan
ketiga... well, kau memang benar-benar bau, Sayang."
Edward mengernyitkan hidung. Aku menghela napas.
"Keempat,” gumamnya, menundukkan wajahnya supaya ia bisa berbisik di telingaku. "Kita akan mencoba,
Bella. Aku akan menepati janjiku. Tapi aku lebih suka kalau itu bukan sebagai reaksi terhadap Jacob Black.”
Aku mengernyit dan membenamkan wajahku di bahunya.
"dan kelima.."
"Panjang sekali daftarnya.” gerutuku.


Edward tertawa. “ya, tapi kau mau mendengarkan jalannya pertempuran atau tidak?"
Saat ia berbicara, Seth melolong tinggi di luar tenda. Tubuhku serta-merta mengejang mendengarnya. Aku
tidak sadar tangan kiriku mengepal. Kuku-kuku menusuk telapak tanganku yang diperban, sampai Edward dengan lembut meraih tanganku dan membuka jari-jariku.
"Semua akan baik-baik saja, Bella." janjinya."Pihak kita memiliki kelebihan dalam hal keahlian, latihan dan unsur
kejutan. Sebentar lagi pertempuran akan selesai. Kalau aku benar-benar percaya, aku pasti sudah berada di sana sekarang, dan kau akan kutinggal di sini, dirantai pohon atau semacamnya.”
"Alice itu mungil sekali.” erangku.
Edward terkekeh.” mungkin itu akan menjadi masalah...kalau orang bisa menangkapnya."
Seth mulai mendengking-dengking.
"Ada apa?" tuturku.
"Dia hanya marah karena terjebak di sini bersama kita. Dia tahu kawanan menyuruhnya tinggal di sini untuk
melindunginya. Padahal dia ngiler ingin bergabung dengan mereka."
Aku memberengut ke arah Seth.
"Para vampir baru sudah sampai ke ujung jejak, tipuan kita berhasil memancing mereka, Jasper memang genius
dan karena mereka juga mencium bau yang lain di padang rumput, mereka memecah diri menjadi dua kelompok
sekarang, tepat seperti yang dikatakan Alice,” bisik Edward,
matanya menerawang jauh. "Sam membawa kita berputar untuk menghadapi kelompok penyerang itu." ia begitu
tekun mendengarkan hingga menggunakan kata ganti orang ketiga jamak untuk kawanan serigala.
Tiba-tiba ia menunduk menatapku. "Bernapaslah Bella."
Susah payah aku berusaha melakukan perintahnya. Terdengar olehku napas berat Seth tepat di luar dinding
tenda dan aku berusaha memperlambat laju paru-paruku, mengikuti tarikan napas Seth,agar tidak kehabisan napas.
"Kelompok pertama sekarang berada di lapangan. Kita bisa mendengar pertempurannya." Gigiku terkatup rapat.
Edward tertawa. “Kita bisa mendengar Emmet, dia sangat menikmati pertarungan ini."
Aku menarik napas lagi, bersama Seth.
"Kelompok kedua sedang bersiap-siap, mereka tidak memperhatikan, mereka belum mendengar kita."
Edward menggeram.
"Apa?" aku terkesiap kaget.
"Mereka membicarakanmu." Giginya terkatup rapat.
"tugas mereka seharusnya adalah memastikan kau tak bisa lolos... Bagus sekali Leah! Mmm, lumayan tangkas juga dia,” gumam Edward kagum. "Salah satu Vampire baru itu mencium bau kita, dan Leah menerjangnya sebelum dia bahkan sempat berbalik. Sam membantu menghabisi vampire itu. Paul dan Jacob melumpuhkan vampire lain, tapi vampire baru lainnya sekarang bersikap defensif. Mereka tidak tahu harus bagaimana menghadapi pihak kita. Kedua pihak ragu-ragu... Tidak, biarkan Sam memimpin. Jangan halangi.” gumamnya. "Pisahkan mereka, jangan biarkan mereka saling melindungi."
Seth mendengking.
"Begitu lebih baik, desak mereka ke arah lapangan."
Edward setuju. Tubuhnya bergerak-gerak tanpa sadar sambil terus menonton, mengejang ketika melihat gerakan- gerakan yang akan ia lakukan seandainya ia ikut dalam pertempuran itu. Tangannya masih menggenggam tanganku, kuremas jari-jarinya setidaknya ia tidak ada di sana. Suara yang mendadak hilang adalah satu-satunya peringatan.
Embusan napas Seth yang berat mendadak lenyap, dan karena aku menyamakan tarikan napasku dengannya – aku langsung menyadarinya. Aku ikut-ikutan berhenti bernapas, bahkan terlalu ngeri untuk membuat paru-paruku bekerja begitu aku sadar Edward telah membeku bagai balok es di sampingku.
Oh. tidak. Tidak. Tidak.. Siapa yang terbunuh? Mereka atau kita? Milikku, semuanya milikku. Aku kehilangan siapa? Begitu cepatnya hingga aku tak tahu persis bagaimana kejadiannya, tahu-tahu aku sudah berdiri dan tenda mendadak lenyap serta tercabik-cabik di sekelilingku.
Apakah Edward merobeknya supaya kami bisa keluar? Mengapa?
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, syok, silau karena cahaya matahari yang cemerlang. Yang bisa kulihat hanya
Seth, tepat di samping kami, wajahnya hanya berjarak lima belas sentimeter dari wajah Edward. Mereka saling
menatap dengan konsentrasi penuh selama satu detik yang terasa lama sekali. Sinar matahari pecah berderai begitu menerpa kulit Edward dan kilauannya berhamburan, menari-nari di bulu
Seth.
Kemudian Edward berbisik dengan nada mendesak.
"Pergi Seth!"
Serigala besar itu berbalik dan lenyap memasuki bayangbayang hutan. Benarkah semuanya hanya berlangsung dua detik? Rasanya seperti berjam-jam. Aku sangat ketakutan sampai perutku mual begitu mengetahui sesuatu yang mengerikan sedang terjadi di lapangan sana. Kubuka mulutku untuk memaksa Edward membawaku ke sana, dan melakukan sekarang. Mereka membutuhkan dia, dan mereka membutuhkan aku. Kalau aku harus berdarah-darah untuk menyelamatkan mereka, aku akan melakukannya. Aku rela mati untuk melakukannya,seperti istri ketiga. Walaupun tidak memegang pisau perak di tanganku, aku pasti bisa
menemukan suatu cara...Belum sempat melontarkan sepatah kata pun, aku merasa seolah-olah dilempar tinggi ke udara. Tapi tangan Edward tidak pernah melepaskanku, aku hanya dipindahkan, begitu cepatnya hingga sensasinya terasa seperti jatuh dalam posisi menyamping. Aku mendapati diriku berdiri menempel erat di
punggung tebing yang tinggi. Edward berdiri di depanku, dalam postur siaga yang langsung kufahami artinya.
Kelegaan menyapu pikiranku namun pada saat bersamaan, perutku seperti melesak ke telapak kaki. Ternyata aku salah mengerti.
Lega, karena tidak terjadi apa-apa di lapangan sana. Ngeri, karena krisis itu justru terjadi di sini. Edward berjaga-jaga dengan sikap defensif, separuh merunduk, kedua lengan sedikit terulur, yang kukenali dengan keyakinan menakutkan. Tebing di belakang punggungku bagaikan dinding bata kuno di lorong sempit Italia saat ia berdiri di antara aku dan para pengawal keluarga Volturi yang berjubah hitam.
"Siapa?" bisikku.
Kata-kata itu terlontar dari sela-sela gigi Edward dalam bentuk geraman yang lebih keras daripada yang
kuharapkan. Terlalu keras. Itu berarti sekarang sudah sangat terlambat untuk bersembunyi. Kami terperangkap,
dan tidak penting lagi siapa yang mendengar jawabannya.
"Victoria,” jawab Edward, menyemburkan kata itu, membuatnya jadi kutukan. "Dia tidak sendirian. Dia
mencium bauku, mengikuti para vampir baru untuk mengamati, dia memang tak pernah berniat bertarung
bersama mereka. Dia membuat keputusan mendadak untuk mencariku, menebak pasti kau berada di tempat yang sama denganku. Dia benar. Kau benar. Ternyata memang Victoria."
Victoria pasti sudah berada cukup dekat sehingga Edward bisa mendengar pikiran-pikirannya. Lagi-lagi aku merasa lega. Kalau yang datang itu keluarga Volturi, kami berdua pasti bakal tewas. Tapi kalau Victoria, tidak harus dua-duanya. Edward pasti bisa selamat. Ia petarung hebat, sama hebatnya seperti Jasper. Kalau Victoria tidak membawa terlalu banyak pengikut, Edward pasti bisa mengalahkannya, lalu kembali ke
keluarganya. Edward lebih cepat dibandingkan siapa pun. Ia pasti bisa selamat.
Aku sangat senang ia tadi menyuruh Seth pergi. Tentu saja, Seth tak bisa meminta bantuan siapa pun. Victoria
mengambil keputusan pada waktu yang sangat tepat. Tapi setidaknya Seth aman; aku tak bisa membayangkan serigala besar berbulu cokelat pasir saat memikirkan namanya, yang terbayang hanya sesosok remaja lima belas tahun bertubuh besar.
Tubuh Edward bergerak, gerakan yang sangat kecil, tapi dari sana aku tahu harus melihat ke arah mana. Kutatap bayang-bayang hutan yang hitam. Rasanya bagaikan didatangi mimpi buruk. Dua vampire beringsut-ingsut maju memasuki lapangan kecil tempat kami berkemah, mata mereka menatap tajam, tak luput memerhatikan hal sekecil apa pun. Kulit mereka berkilauan bagaikan berlian tertimpa cahaya matahari.
Aku nyaris tak bisa melihat cowok pirang itu, ya, dia memang masih kanak-kanak, meskipun tubuhnya berotot
dan tinggi, mungkin sesuai denganku waktu ia berubah. Matanya lebih merah terang daripada yang pernah kulihat sebelumnya. Walaupun ia berada lebih dekat dengan Edward, bahaya yang paling dekat, tapi aku bisa
memandanginya.
Karena, beberapa meter agak menyamping ke belakang Victoria menatapku. Rambut jingganya lebih cemerlang daripada yang kuingat, semakin menyerupai lidah api. Tak ada angin di sini, tapi api yang mengelilingi wajahnya seperti berpendarpendar, seolah-olah hidup. Matanya hitam oleh dahaga. Ia tidak tersenyum, seperti
yang selalu terjadi bila ia muncul dalam mimpi burukku, bibirnya terkatup rapat membentuk garis kaku. Caranya
meliukkan tubuhnya tampak begitu garang, seperti singa betina menunggu kesempatan yang tepat untuk menerjang. Tatapannya yang liar dan berapi-api menyapu Edward dan aku berganti-ganti. tapi tidak pernah menatap Edward lebih dari setengah detik. Ia tak mampu mengalihkan tatapannya dariku, sama seperti aku tak mampu mengalihkan mataku darinya.
Ketegangan terpancar darinya, nyaris terlihat di udara. Aku bisa merasakan kegairahan dan nafsu berkobar-kobar dalam dirinya yang membuatnya nekat. Hampir seolah-olah aku bisa mendengar pikiran-pikirannya juga. Aku tahu apa yang ada dalam pikirannya.Victoria sudah hampir mendapatkan apa yang ia inginkan, tujuan utama seluruh eksistensinya selama lebih dari satu tahun sekarang sudah sangat dekat.
Kematianku. Rencananya sangat jelas dan praktis. Si cowok pirang itu akan menyerang Edward. Begitu perhatian Edward teralihkan, Victoria akan menghabisiku. Itu akan dilakukan dengan sangat cepat, tak ada waktu untuk main-main di sini, tapi tuntas. Sesuatu yang tidak mungkin bisa dipulihkan. Sesuatu yang bahkan takkan bisa diperbaiki oleh racun vampire sekalipun.
Victoria akan menghentikan jantungku. Mungkin dengan cara menyurukkan tangan ke dadaku, meremukkan
jantungku. Semacam itu. Jantungku berdebar semakin kencang,nyaris seolah-olah membuat targetnya semakin nyata. Nun jauh di sana,dari tengah hutan yang hitam di ujung sana, lolongan serigala bergema di udara yang diam tak bergerak. Karena Seth sudah pergi, tak ada yang bisa menerjemahkan arti suara itu.
Si cowok pirang memandangi Victoria dari sudut matanya, menunggu perintah.
Ia sangat mdua. Dugaanku, menilik iris matanya yang merah tua, ia pasti belum lama menjadi vampire. Ia pasti
kuat, tapi masih hijau. Edward pasti bisa menghadapinya. Edward pasti selamat. Victoria menyentakkan dagunya ke arah Edward, tanpa suara memerintahkan cowok pirang itu untuk maju.
"Riley,” kata Edward dengan suara lembut bernada memohon.
Si cowok pirang membeku, matanya yang merah membelalak.
"Dia membohongimu, Riley,” kata Edward.
"Dengarkan aku. Dia membohongimu seperti dia membohongi teman-temanmu yang lain, yang sekarang
sekarat di lapangan sana. Kau tahu dia membohongi mereka. karena dia menyuruhmu membohongi mereka,
bahwa kalian berdua tidak akan membantu mereka. Tidak sulit kan untuk mempercayai dia membohongimu juga?”
Kebingungan menyapu wajah Riley. Edward beranjak beberapa sentimeter ke samping, dan Riley otomatis menyesuaikan diri.
"Dia tidak mencintaimu, Riley," suara lembut Edward terdengar meyakinkan, nyaris menghipnotis. “Dia tidak
pernah mencintaimu. Dia mencintai seseorang bernama James, dan kau tak lebih dari sekadar alat baginya.”
Begitu Edward menyebut nama James, sudut-sudut mulut Victoria terangkat, menyeringai memamerkan
giginya. Matanya tetap terpaku padaku. Riley melayangkan pandangan panik ke arah Vicroria.
"Riley?" panggil Edward.
Pandangan Riley kembali terfokus kepada Edward.
"Dia tahu aku akan membunuhmu, Riley. Dia memang ingin kau mati supaya dia tidak perlu berpura-pura lagi.
Ya.., kau sudah melihatnya sendiri, kan? Kau sudah membaca keengganan itu di matanya, mencurigai nada
palsu dalam janjinya. Kau benar. Dia memang tidak pernah menginginkanmu. Setiap ciuman, setiap sentuhannya hanya dusta."
Edward bergerak lagi, maju beberapa sentimeter menghampiri bocah itu, beberapa sentimeter menjauhiku.
Tatapan Victoria langsung tertuju pada celah di antara kami. Dibutuhkan waktu kurang dari satu detik untuk
membunuhku, ia hanya membutuhkan margin kesempatan yang paling kecil. Lebih lambat kali ini, Riley mengubah kembali posisinya.
"Kau tidak perlu mati,” janji Edward, matanya terus tertuju kepada pemuda itu. "Ada cara-cara lain untuk hidup
selain daripada cara yang dia tunjukkan padamu. Tidak semuanya dusta dan darah Riley. Kau bisa meninggalkannya sekarang juga. Kau tidak perlu mati demi dusta-dustanya.”
Edward menggeser kakinya ke depan dan ke samping. Sekarang di antara kami menganga celah selebar kurang
dari setengah meter. Riley mengitari terlalu jauh, kali ini kelewat mengulur-ulur waktu. Victoria mencondongkan
tubuh ke depan dengan bertumpu pada tumitnya.
"Kesempatan terakhir Riley,” Bisik Edward.
Wajah Riley begitu putus asa saat ia memandang Victoria, meminta jawaban.
"Dialah pembohongnya Riley,” tukas Victoria, dan mulutku ternganga lebar mendengar suaranya. "Aku sudah
pernah bercerita padamu tentang permainan pikiran yang mereka lakukan. Kau tahu aku hanya mencintaimu."
Suaranya tidak seperti geraman liar dan garang seperti dugaanku bila melihat wajah dan pembawaannya yang
buas. Suaranya justru lembut, tinggi, seperti suara anak kecil, tinggi melengking. Suara yang cocok bagi bocah
berambut pirang ikal yang mengunyah permen karet merah jambu. Sungguh tidak masuk akal suara itu datang dari gigi yang berkilau menyeringai.
Dagu Riley mengeras, dan ia menegakkan bahunya. Sorot matanya kosong,tak ada lagi kebingungan, tak ada
lagi kecurigaan. Tak ada pikiran sama sekali. Ia menegakkan tubuh, siap menyerang. Tubuh Victoria sepertinya bergetar, ia sangat tegang, jarijarinya melengkung sepeti cakar, menunggu Edward bergerak satu sentimeter saja menjauhiku. Geraman itu tidak berasal dari salah seorang di antara mereka.
Sosok raksasa berwarna cokelat terbang menerobos bagian tengah celah, menubruk Riley hingga terpelanting ke tanah.
"Tidak!" pekik Victoria, suara bayinya melengking tak percaya.
Satu setengah meter di depanku, serigala raksasa Itu mengoyak dan mencabik-cabik Si vampir pirang di
bawahnya. Sesuatu yang berwarna putih dan keras terlempar ke bebatuan dekat kakiku. Aku buru-buru
menyingkir menjauhi benda itu.
Victoria sama sekali tidak melirik Riley, padahal ia baru saja mengungkapkan cintanya pada cowok itu. Matanya
tetap tertuju padaku, dipenuhi sorot kecewa yang begitu  berapi-api hingga membuatnya terlihat seperti orang sakit jiwa.
"Tidak,” serunya lagi, dengan rahang terkatup rapat, sementara Edward mulai bergerak menghampirinya,
menghalangi langkahnya mendekatiku. Riley kembali berdiri, tercabik dan kepayahan, tapi masih bisa melayangkan tendangan keras ke pundak Seth. Kudengar bunyi tulang berderak patah. Seth mundur dan
mulai mengitarinya, terpincang-pincang. Riley mengulurkan kedua tangan, bersiap-siap, walaupun
kelihatannya ia kehilangan sebagian tangannya... Hanya beberapa meter dan perkelahian itu, Edward dan
Victoria menari.
Tidak bisa dibilang berputar-putar, karena Edward tidak mengizinkan Victoria memposisikan diri lebih dekat
kepadaku. Victoria melenggang mundur, bergerak ke kanan dan ke kiri, berusaha menemukan celah dalam pertahanan Edward. Edward mengikuti gerakannya dengan luwes, membuntutinya dengan konsentrasi sempurna. Ia mulai bergerak tidak sampai sedetik sebelum Victoria bergerak, membaca maksudnya lewat pikirannya. Seth menerjang Riley dari samping, dan sesuatu tercabik dengan bunyi robekan mengerikan. Lagi-lagi potongan badan putih keras melayang ke hutan dan jatuh dengan suara berdebum. Riley meraung marah, dan Seth meleset mundur, kegesitannya sungguh menakjubkan, menilik ukuran tubuhnya yang besar, sementara Riley menyapukan tangannya yang tercabik-cabik kepada Seth.
Victoria menyelinap-nyelinap di antara batang-batang pohon di ujung terjauh lapangan kecil ini. Ia menghadapi
dilema, kakinya bergerak menuju tempat yang aman namun matanya dipenuhi dahaga terhadapku. Bisa kulihat
keinginan membunuhnya berkobar-kobar,berperang dengan insting menyelamatkan diri dalam dirinya. Edward juga bisa melihatnya.
"Jangan pergi Victoria,” gumamnya dengan nada menghipnotis seperti tadi. “Kau tak akan pernah mendapat
kesempatan seperti ini lagi."
Victoria memamerkan gigi-giginya dan mendesis kepada Edward, tapi ia sepertinya tak sanggup menjauh dari ku.
"Kau selalu bisa kabur nanti,” rayu Edward. “Masih banyak waktu untuk itu. Memang itu kelebihanmu, bukan?
Itulah sebabnya James mempertahankannya. Berguna kalau menyukai permainan-permainan mematikan. Pasangan dengan insting melarikan diri yang luar biasa. Seharusnya dia tidak meninggalkanmu, sebenarnya dia bisa memanfaatkan keahlianmu ketika kami menangkapnya di Phoenix dulu."
Geraman buas terlontar dari sela-sela bibi Victoria.
"Memang hanya sampai sejauh itu arti dirimu baginya. Tolol benar, menyia-nyikan begitu banyak energi
membalaskan dendam orang yang hanya menyayangi kuda tunggangannya. Kau hanya dimanfaatkan olehnya. Aku tahu benar itu."
Sudut-sudut bibir Edward terangkat ke Satu sisi sambil tangannya mengetuk-ngetuk pelipis. Dengan pekikan tertahan Victoria meleset keluar lagi ke balik pepohonan, melakukan gerakan tipuan ke arah samping. Edward merespons, dan tarian itu dimulai lagi. Saat itulah tinju RIley mengenai panggul Seth, dan pekikan pelan terlontar dari tenggorokan Seth. Seth mundur, pundaknya berkedut-kedut sementara ia berusaha mengenyahkan perasaan sakit itu dari tubuhnya. Kumohon, aku ingin memohon kepada Riley, tapi tidak bisa menggerakkan otot-otot mulutku, menarik udara keluar dari paru-paruku. Kumohon, dia masih kanak-kanak!
Mengapa tadi Seth tidak kabur saja. Mengapa dia tidak lari sekarang?
Riley kembali memperkecil jarak di antara mereka, mendesak Seth ke muka tebing di sebelahku. Victoria tibatiba
tertarik pada nasib pasangannya. Aku bisa melihatnya, dari sudut mataku, mengira-ngira jarak antara Riley dan
aku. Seth menyerang Riley, memaksanya mundur, dan Victoria mendesis. Seth tidak lagi terpincang-pincang. Saat berjalan mengitari musuhnya, ia hanya beberapa sentimeter di sebelah Edward, ekornya menerpa punggung Edward, dan mata Victoria melotot.
"Tidak, dia tidak akan menyerangku,” sergah Edward, menjawab pertanyaan dalam benak Victoria. Ia
memanfaatkan kelengahan Victoria untuk beringsut lebih dekat. “Kau menjadikan dirimu musuh bersama. Karena kau, kami jadi bersekutu."
Victoria mengatupkan giginya rapat-rapat,berusaha memfokuskan diri hanya kepada Edward.
"Lihatlah lebih seksama Victoria,” gumam Edward, berusaha membuyarkan konsentrasinya. "Apakah dia
benar-benar mirip monster yang dibuntuti James melintasi Siberia?"
Mata Victoria melotot lebar, kemudian mulai melirik Edward, Seth, dan aku bergantian, bolak balik.
"Tidak sama?" geramnya dengan suara melengkingnya yang mirip anak kecil. "Mustahil!"
"Tidak ada yang mustahil,” gumam Edward, suara beledunya lembut sementara ia beringsut lebih dekat kepada
Victoria. "Kecuali menyangkut yang kau inginkan. Kau takkan pernah menyentuh Bella."
Victoria menggeleng cepat dan mengentak, melawan upaya Edward mengalihkan perhatiannya, dan berusaha
menerobos pertahanan Edward, tapi Edward sudah menghalanginya. Wajah Edward mengernyit frustrasi,
kemudian ia merunduk lebih rendah, kembali berubah menjadi singa betina, dan bergerak maju dengan langkahlangkah mantap.
Victoria bukan vampire baru yang tidak berpengalaman dan hanya digerakkan insting. Ia mematikan. Bahkan aku pun tahu perbedaan antara dirinya dengan Riley dan aku tahu Seth takkan bisa bertahan selama itu bila bertarung melawan vampire ini. Edward ikut bergerak, keduanya saling menghampiri,
singa melawan singa betina. Tarian itu semakin cepat temponya. Seperti Alice dan Jasper di padang rumput, gerakan berpusar-pusar yang kabur, hanya saja tarian yang satu ini tidak dikoreografi sesempurna itu. Suara berderak dan patah yang tajam memantul di permukaan tebing setiap kali ada yang terpeleset dalam formasi. Tapi gerakan mereka terlalu cepat sehingga aku tak bisa melihat siapa yang melakukan kesalahan...
Konsentrasi Riley terpecah tarian maut itu, matanya jelalatan cemas ingin mengetahui nasib pasangannya. Seth
menyerang, mencabik sebagian kecil lagi tubuh si vampire. Riley meraung, lalu melayangkan backhand yang sangat keras, menghantam dada Seth yang lebar. Tubuh besar Seth melayang setinggi tiga meter, lalu membentur dinding batu di atas kepalaku dengan kekuatan yang seolah-olah menggetarkan seluruh puncak tebing. Aku mendengar udara keluar dari paru-parunya, lalu merunduk menghindarinya saat tubuh seth terpantul dari dinding batu dan mendarat di tanah, beberapa meter di depanku.
Dengkingan pelan terlontar dari sela-sela gigi Seth. Kepingan-kepingan batu tajam batu kelabu menghujani
kepalaku, menggores kulitku yang terbuka. Sebongkah batu berpinggiran tajam bergulingan menuruni lengan kananku dan secara refleks aku menangkapnya. Jari-jariku menggenggam pinggirannya yang tajam sementara naluri menyelamatkan diri muncul dalam diriku, karena tidak ada peluang lari menyelamatkan diri, tubuhku, tak peduli betapa pun tidak efektifnya tindakan itu, bersiap-siap melawan.
Adrenalin menderas dalam pembuluh darahku. Aku tahu pinggiran batu yang tajam mengiris telapak tanganku. Aku tahu buku jariku yang retak menjerit protes. Aku tahu itu, tapi aku tidak bisa merasakan nyeri itu.
Di belakang Riley, yang bisa kulihat hanyalah jilatan lidah api yang merupakan rambut Victoria serta sekelebat
warna putih. Suara yang menyerupai bunyi logam patah semakin terdengar, begitu juga air mata, desis terkesiap dan syok, menunjukkan tarian itu berubah menjadi tarian mematikan bagi salah satu seorang di antara mereka.
Tapi siapa?
Riley menerjang ke arahku, mata merahnya menyalanyala oleh amarah. Ia memelototi onggokan bulu cokelat
tanah yang tergeletak lemas di antara kami, dan tangannya – tangannya yang patah dan tercabik-cabik – melengkung membentuk cakar. Mulutnya terbuka, melebar, giginya berkilau, saat ia bersiap-siap mengoyak-ngoyak leher Seth. Hormon adrenalin kembali berpacu dalam pembuluh darahku bagaikan sengatan listrik, dan tiba-tiba semuanya menjadi sangat jelas.
Kedua pertempuran itu sudah terlalu ketat. Seth nyaris kalah dan aku tidak tahu Edward menang atau kalah.
Mereka membutuhkan bantuan. Sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian musuh. Sesuatu yang akan
membuat mereka kalang kabut.
Tanganku begitu kuat mencengkeram bongkahan batu tajam itu sampai-sampai salah satu tali penyangga tanganku putus.
Cukup kuatkah aku? Cukup beranikah? Sekeras apa aku harus menusukkan batu tajam itu Ke tubuhku? Bisakah
tindakanku ini memberi Seth cukup waktu untuk bangkit lagi. Mungkinkah ia bisa segera pulih hingga
pengorbananku baginya tidak sia-sia?
Aku menggoreskan ujung batu yang tajam di lenganku, menyentakkan lengan sweterku yang tebal sehingga kulitku terbuka, kemudian menekankan ujung yang tajam itu ke lipatan sikuku. Di sana sudah ada bekas luka panjang yang kudapat pada hari ulang tahunku yang terakhir. Malam itu darahku yang mengalir cukup menarik perhatian setiap vampire, membuat mereka langsung membeku di tempat masing-masing. Aku berdoa semoga kali ini darahku akan menghasilkan efek yang sama. Aku menabahkan diri dan menghela napas dalam-dalam.
Konsentrasi Victoria buyar begitu ia mendengarku terkesiap. Matanya tajam selama sedetik, memandangiku.
Kemarahan dan keingintahuan berbaur aneh dalam ekspresinya. Entah bagaimana aku bisa mendengar suara pelan itu padahal di sekelilingku ribut oleh suara-suara lain yang bergema di dinding tebing dan bertalu-talu dalam pikiranku.
Bunyi debar jantungku saja seharusnya sudah cukup untuk menenggelamkannya. Namun, pada detik yang sama saat aku menatap mata Victoria, sepertinya aku mendengar desahan putus asa yang familier itu.
Pada detik sama yang berlangsung singkat, tarian itu mendadak bubar. Kejadiannya begitu cepat hingga sudah
berakhir sebelum aku bisa mengikuti urutan peristiwanya. Aku berusaha mengikutinya dalam benakku.
Victoria melesat meninggalkan formasi kabur itu dan menubruk dedaunan di sebarang pohon tinggi. Ia mendarat
di rerimbunan pohon yang tinggi. Lalu ia mendarat lagi ke tanah dalam posisi merunduk, siap menerjang.
Pada saat bersamaan, Edward, yang sama sekali tidak terlihat karena gerakannya sangat cepat memutar ke
belakang dan menyambar lengan Riley yang tidak menduganya sama sekali. Kelihatannya Edward
menumpukkan kakinya di punggung Riley dan menarik..Lapangan kecil itu dipenuhi jerit kesakitan Riley.
Pada waktu bersamaan Seth melompat berdiri, menghalangi sebagian besar pandanganku.
Tapi aku masih bisa melihat Victoria. Dan, walaupun ia tampak aneh, seperti tidak bisa melihat senyumnya, seperti yang selama ini kulihat menghiasi wajah buasnya dalam mimpiku.


Ia melengkung tubuh dan menerjang. Sesuatu yang kecil dan putih mendesing dan menabraknya di udara. Benturan yang terjadi seperti ledakan, membuat Victoria kembali menabrak pohon, pohon yang ini langsung patah menjadi dua. Ia kembali mendarat dalam posisi berdiri, merunduk dan siaga, tapi Edward sudah siap menghadapinya. Kelegaan membuncah dalam dadaku waktu melihat Edward berdiri tegak dengan
sempurna. Victoria menendang sesuatu dengan kaki telanjang, misil yang melumpuhkan serangannya. "Benda itu berguling ke arahku, dan aku menyadari benda apa itu. Perutku serta-merta mual. Jari-jarinya masih bergerak, mencengkeram batangbatang rumput, lengan Riley mulai bergerak ke sana ke mari tanpa arah.
Seth mengitari Riley lagi, dan sekarang Riley mundur. Ia mundur menjauhi serigala yang menghampirinya,
wajahnya kaku menahan sakit. Ia mengangkat sebelah lengannya dengan sikap defensif.
Seth mempercepat gerakannya memburu Riley, dan si vampire jelas-jelas kehilangan keseimbangan. Aku melihat Seth membenamkan giginya ke bahu Riley dan mencabiknya, melompat turun kembali. Diiringi jeritan melengking yang memekakkan telinga, Riley kehilangan sebelah lengannya lagi. Seth menyentakkan kepala, melontarkan lengan itu ke hutan. Suara mendesis yang terlontar dari Sela-sela gigi Seth terdengar seperti tawa mengejek.
Riley menyerukan teriakan minta tolong yang memilukan.
"Victoria!"
Victoria bahkan tak terusik sedikit pun mendengar namanya dipanggil. Matanya sama sekali tidak melirik
pasangannya. Seth menerjang maju dengan kekuatan setara bola beton yang biasa digunakan untuk menghancurkan gedung. Daya sodoknya melontarkan Seth dan Riley ke pepohonan, tempat bunyi cabikan nyaring terdengar seirama dengan jeritan Riley. Jeritan-jeritan itu mendadak terputus, sementara bunyi batu dicabik-cabik terus terdengar. Meskipun tidak menyempatkan diri melirik Riley untuk terakhir kalinya, Victoria sepertinya sadar ia sekarang sendirian. Ia mulai mundur menjauhi Edward, sorot kekecewaan yang amat sangat terpancar liar dari matanya. Ia melayangkan pandangan singkat penuh damba bercampur sakit hati, kemudian mulai mundur lebih cepat.
"Tidak.” bujuk Edward, suaranya merayu. "Tinggallah sedikit lebih lama lagi."
Victoria berbalik dengan cepat dan terbang menuju tempat aman di hutan, bagai anak panah dilepaskan dari
busurnya. Tapi Edward lebih cepat – bagai anak panah yang melesat dari busurnya. Edward menangkap punggung Victoria yang tidak terlindung di pinggir hutan, dan dengan satu langkah simpel terakhir, tarian pun berakhir.
Mulut Edward menyapu leher Victoria,seperti membelainya. Teriakan-teriakan melengking yang berasal dari usaha Seth menutupi setiap suara lain, jadi tidak ada suara yang jelas untuk menunjukkan apa yang sebenarnya
terjadi. Bisa saja orang mengira Edward sedang mencium Victoria.
Kemudian rambut Jingga menyala itu tidak lagi terhubung dengan badannya. Gelombang jingga berpendarpendar itu terjatuh ke tanah, dan memantul satu kali sebelum berguling ke arah pepohonan.


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates