December 03, 2013

Eclipse Indonesia 27

27. KEBUTUHAN
BELUM terlalu jauh berjalan, aku sudah tak sanggup lagi mengemudi . Setelah aku tak bisa lagi melihat, kubiarkan ban trukku menemukan bahu jalan yang kasar dan menggelinding pelan hingga akhirnya berhenti. Aku merosot lemas di kursi dan membiarkan kelemahan yang kutahan di kamar Jacob tadi menindihku. Ternyata lebih parah daripada perkiraanku, semburannya membuatku terkejut. Ya, tindakanku tepat menyembunyikan ini dari Jacob. Tak seharusnya orang melihat ini.
Tapi aku tidak terlalu lama sendirian – hanya sampai Alice melihatku di sini, dan beberapa menit kemudian,
Edward pun datang. Pintu terbuka, dan ia menarikku ke dalam pelukannya. Mulanya lebih parah. Karena sebagian kecil diriku lebih kecil, tapi semakin lama semakin keras dan semakin marah, meneriaki sebagian diriku yang tersisa, yang mendambakan sepasang lengan lain. Jadi ada perasaan bersalah yang membumbui kesedihanku.
Edward tidak mengatakan apa-apa, hanya membiarkan aku menangis sampai aku menyebut-nyebut nama Charlie.
"Kau benar-benar siap untuk pulang?" tanya Edward ragu.
Aku berhasil menyampaikan, setelah mencoba beberapa kali, bahwa keadaan tidak akan membaik dalam waktu
singkat. Aku harus segera pulang menemui Charlie sebelum malam kelewat larut dan ia menelepon Billy.
Maka Edward pun mengantarku pulang, sekali ini ia bahkan tidak mengemudikan trukku mendekati batas
kecepatan internal, dengan sebelah tangannya memelukku erat-erat. Sepanjang jalan aku berusaha keras
mengendalikan emosiku. Awalnya rasanya mustahil, tapi aku pantang menyerah. Hanya beberapa detik, kataku
dalam hati. Katakan saja beberapa alasan, atau berbohonglah sedikit, dan setelah itu aku bisa menangis
lagi. Aku pasti bisa melakukannya. Aku memeras otak,mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan kekuatan.
Untunglah aku bisa menahan sedu sedanku, menahannya tapi tidak mengakhirinya. Air mataku terus
membanjir. Sepertinya percuma saja mencoba menghentikannya.
"Tunggu aku di atas,” gumamku sesampainya kami di depan rumah.
Edward memelukku lebih erat selama satu menit dan sejurus kemudian lenyap. Begitu masuk ke rumah, aku langsung menuju tangga.
"Bella,” Charlie berseru memanggilku dari tempatnya biasa berselonjor di sofa waktu aku melewatinya.
Aku menoleh padanya tanpa berbicara. Mata Charlie membelalak dan ia buru-buru berdiri.
"Ada apa? apakah Jacob..?" tuntutnya.
Aku menggeleng kuat-kuat, berusaha menemukan suaraku.
“Dia baik-baik saja, dia baik-baik saja,” aku menenangkan Charlie, suaraku rendah dan parau. Jacob
memang baik-baik saja secara fisik dan memang itulah yang dikhawatirkan Charlie saat ini.
"Apa yang terjadi?" Charlie menyambar bahuku, matanya masih membelalak cemas. "Kau kenapa?"
Penampilanku pasti lebih parah daripada yang kubayangkan.
"Tidak apa-apa Dad. Aku... hanya harus berbicara kepada Jacob tentang.... beberapa hal berat. Aku baik-baik
saja."
Kecemasan itu mereda, berganti dengan sikap tidak setuju. "Benarkah ini saat yang tepat?"tanya Charlie.
"Mungkin tidak dari, tapi aku tidak punya pilihan lain, ini sudah sampai pada titik aku harus memilih... terkadang
tidak ada jalan untuk berkompromi."
Charlie menggelengkan kepala lambat-lambat.
"Bagaimana dia menanggapinya?"
Aku tidak menjawab. Charlie menatap wajahku sejenak, kemudian mengangguk. Itu sudah pasti menjawab pertanyaannya.
"Mudah-mudahan kau tidak menyebabkan proses pemulihannya terganggu."
"Dia cepat pulih kok,” gumamku. Charlie mendesah.
Aku merasa pengendalian diriku mulai rapuh.
"Aku akan ke kamarku,” kataku, mengangkat bahu agar pegangan Charlie terlepas.
"Baiklah," Charlie setuju. Mungkin ia bisa melihat air mataku sudah nyaris tumpah. Tak ada yang lebih
menyakitkan Charlie ketimbang air mata. Aku pergi ke kamar, buta dan tersandung-sandung. Sesampainya di dalam, aku berusaha keras membuka kaitan gelangku, mencoba membukanya dengan jari-Jari gemetar.
"Tidak Bella,” bisik Edward, memegang tanganku. "Itu bagian dirimu."
Ia menarikku lagi ke dalam pelukannya sementara sedu sedanku kembali pecah. Hari yang sangat melelahkan ini sepertinya akan terus berjalan terus dan terus dan terus. Entah kapan bakal berakhir.
Tapi meskipun malam berlalu dengan lambat, ini bukanlah malam terburuk dalam hidupku. Kuhibur diriku
dengan kenyataan itu. Dan aku tidak sendirian. Itu sangat menghibur. Ketakutan Charlie pada ledakan emosional membuatnya enggan mengecek keadaanku, padahal suara tangisku lumayan berisik – mungkin ia juga tidak bisa tidur, sama seperti aku.
Malam ini, ingatan masa laluku jelas sekali. Aku bisa melihat setiap kesalahan yang pernah kubuat, setiap
kerusakan yang kuakibatkan, hal-hal kecil maupun besar. Setiap kepedihan yang kutimbulkan di hati Jacob, setiap luka yang kuberikan kepada Edward, bertumpuk dalam tumpukan tapi yang tak mungkin kuabaikan atau
kusangkal. Dan aku sadar selama ini aku keliru mengenai masalah magnet itu. Ternyata bukan Edward dan Jacob yang kupaksakan untuk hidup berdampingan, tapi dua bagian diriku, Bellanya Edward dan Bellanya Jacob. Mereka tidak bisa hidup berdampingan, dan seharusnya aku tak pernah mencoba melakukannya.
Aku telah mengakibatkan banyak sekali kerusakan. Di satu titik pada malam itu, aku teringat janji yang
kubuat sendiri pagi-pagi sekali tadi – bahwa aku takkan pernah membuat Edward melihatku meneteskan air mata lagi untuk Jacob Black. Pikiran itu menimbulkan histeria baru yang membuat Edward ketakutan, lebih daripada tangisanku. Tapi akhirnya histeria itu berlalu juga.
Edward tidak banyak bicara, ia hanya memelukku di tempat tidur dan membiarkan aku menghancurkan
kemejanya, menodainya dengan air mata. Butuh waktu lebih lama daripada yang kukira bagi sebagian kecil hatiku menangisi dirinya. Tapi setelah selesai, akhirnya aku cukup kelelahan untuk tidur. Keadaan
tidak sadar tak lantas membuatku terbebas dari kesedihan, hanya kelegaan tumpul sesaat, seperti obat. Membuatnya lebih tertahankan. Tapi rasa sakit itu masih ada, aku bisa merasakannya, bahkan dalam keadaan tidur, dan itu membantuku membuat beberapa penyesuaian yang perlu kulakukan.
Pagi hari membawa, walaupun bukan suasana hati yang lebih ceria, setidaknya sedikit perasaan terkendali, perasaan bisa menerima. Secara naluriah aku tahu luka baru di hatiku akan selalu terasa sakit. Itu akan menjadi bagian diriku sekarang. Waktu akan membuat keadaan jadi lebih mudah, begitulah yang selalu dikatakan orang. Tapi aku tak peduli apakah waktu akan menyembuhkan aku atau tidak,asal Jacob bisa pulih kembali. Bisa bahagia lagi. Waktu bangun aku tidak mengalami Disorientasi. Kubuka mata, akhirnya kering juga dan mataku tertumbuk pada tatapan Edward yang waswas.
"Hai,” sapaku. Suaraku serak. Aku berdehem-dehem, membersihkan tenggorokanku.
Edward tidak menyahut, ia menatapku. Menunggu tangisku meledak.
"Tidak, aku tidak apa-apa.” janjiku. "Itu tidak akan terjadi lagi."
Matanya mengejang mendengar kata-kataku.
"Maafkan aku karena kau harus melihatnya," ujarku.
“itu tidak adil bagimu."
Edward merengkuh kedua pipiku.
"Bella... apakah kau yakin? Apakah pilihanmu benar? Aku tidak pernah melihatmu sesedih itu..." Suaranya pecah
saat mengucapkan kata terakhir. Tapi aku sudah pernah mengalami yang lebih sedih dari pada ini.
Kusentuh bibirnya. "Ya."
"Entahlah..." Kening Edward berkerut. "Kalau itu sangat menyakitkan bagimu, bagaimana mungkin itu pilihan yang benar?"
"Edward, aku tahu tanpa siapa aku tidak bisa hidup."
''Tapi..."
Aku menggeleng. "Kau tidak mengerti. Kau mungkin cukup tabah atau cukup kuat untuk hidup tanpa aku, kalau
memang itu yang terbaik. Tapi aku takkan pernah sanggup mengorbankan diriku seperti itu. Aku harus bersamamu. Hanya dengan begitu aku bisa hidup."
Edward masih tampak ragu. Seharusnya aku tidak membiarkan ia menemaniku semalam. Tapi semalam aku
sangat membutuhkan dia...

"Bisa tolong ambilkan buku itu?" pintaku, menuding ke balik bahunya.
Alis Edward bertaut bingung, tapi dengan cepat diberikannya buku itu padaku.
"Ini lagi?" tanyanya.
"Aku hanya ingin menemukan satu bagian yang kuingat... untuk melihat bagaimana dia mengatakannya..."
Kubolak-balik halaman buku itu, dengan mudah menemukan halaman yang kuinginkan. Sudut halamannya
sudah kumal, saking seringnya aku berhenti di sana. "Cathy memang monster, tapi dalam beberapa hal ia benar,” ujarku. Ku bacakan kalimat-kalimat itu dengan suara pelan, kebanyakan untuk diriku sendiri. "Jikalau yang lain-lain lenyap. tapi dia tetap ada. aku akan tetap ada. Namun jikalau yang lain-lain bertahan, tapi dia lenyap, jagat raya akan berubah menjadi tempat yang sangat asing." Aku mengangguk, lagi-lagi ditujukan kepada diriku sendiri. "Aku tahu persis maksudnya. Dan aku tahu tanpa siapa aku tidak bisa hidup."
Edward mengambil buku itu dari tanganku dan melemparnya ke ujung ruangan... benda itu mendarat di
meja dengan suara berdebam pelan. Dipeluknya pinggangku. Senyum kecil menghiasi wajahnya yang sempurna, walaupun kekhawatiran masih menggurat di keningnya.
“Heathcliff juga memiliki momen-momen terbaiknya,” kata Edward. Ia tidak membutuhkan buku itu untuk menirukan kalimatnya dengan sempurna. Ia mempererat pelukannya dan berbisik di telingaku, "Aku tak sanggup hidup tanpa hidupku! Aku tak sanggup hidup tanpa jiwaku."
"Benar," ucapku pelan. "Begitulah maksudku."
"Bella, aku tidak tahan melihatmu merana. Mungkin..."
"Tidak, Edward. Aku sudah banyak membuat kekacauan, dan aku harus menanggung semua risikonya.
Tapi aku tahu apa yang kuinginkan dan apa yang kubutuhkan... dan apa yang kulakukan sekarang."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Aku tersenyum mendengar Edward mengoreksi perkataanku tadi, kemudian mendesah, "kita akan pergi
menemui Alice."
Alice duduk di undakan teras paling bawah, terlalu bersemangat untuk menunggu kami di dalam. Ia seperti
hendak melakukan tarian penyambutan, begitu girangnya karena kabar yang ia tahu bakal kusampaikan.
"Terima kasih, Bella!"' Alice berseru begitu Edward dan aku keluar dari truk.
"Tunggu dulu, Alice,” aku mengingatkan, mengangkat tangan untuk menghentikan tawa riangnya. "Aku punya
beberapa batasan."
"Aku tahu, aku tahu, aku tahu. Aku hanya punya waktu sampai tanggal 13 Agustus, kau mendapat hak veto untuk menentukan daftar tamu, dan kalau aku berlebihan melakukan apa saja, kau takkan sudi bicara lagi denganku."
"Oke, oke. well, yeah. Kau sudah tahu aturan-aturannya, kalau begitu."
“Jangan khawatir, Bella, ini pasti akan sempurna. Mau melihat gaunmu tidak!"
Aku sampai harus menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Apa saja asal dia bahagia, batinku.
"Tentu." Alice tersenyum menang.
"Ehm, Alice.” ujarku, berusaha tetap memperdengarkan nada tenang dan biasa-biasa saja. "Kapan kau membelikan aku gaun?"
Mungkin gaunnya tidak terlalu heboh. Edward meremas tanganku.
Alice berjalan mendahului menuju tangga. "Hal-hal seperti ini akan butuh waktu, Bella.” Alice menjelaskan.
Nadanya seperti... mengelak. "Maksudku, aku kan tidak yakin keadaan akan jadi seperti ini, tapi ada kemungkinan nyata..."
"Kapan?" tanyaku lagi.
"Di Perrine Bruyere kan ada daftar tunggunya, kau tahu,” sergahnya, sikapnya sekarang defensif. "Gaun
Masterpiece tidak bisa diciptakan hanya semalam. Kalau aku tidak berpikir jauh sebelumnya, bisa-bisa kau memakai gaun pengantin siap pakai!"
Kelihatannya aku tidak akan mendapat jawaban langsung "Per..siapa?"
"Dia bukan perancang besar Bella, jadi kau tidak perlu senewen. Tapi dia sudah berjanji bisa memenuhi
kebutuhanku."
"Aku tidak senewen."
"Tidak, memang tidak." Ia mengawasi wajahku yang tenang dengan sikap curiga. Kemudian saat kami memasuki
kamarnya, ia berpaling kepada Edward.
"Kau... keluar."
"Kenapa?"sergahku
"Bella,” Alice mengerang. "Kau kan tahu aturannya. Dia tidak boleh melihat gaun pengantinmu sampai hari H."
Lagi-lagi aku menghela napas dalam-dalam. "Itu tidak masalah bagiku. Lagi pula dia sudah melihatnya di
kepalamu. Tapi kalau memang itu yang kau inginkan..."
Alice mendorong Edward keluar. Edward bahkan tidak memandang Alice sedikit pun.. matanya tertuju padaku,
cemas, takut meninggalkan aku sendirian. Aku mengangguk, berharap ekspresiku cukup tenang untuk meyakinkannya.
Alice menutup pintu tepat di depan wajah Edward.
"Baiklah!" seru Alice. "Ayo."
Disambarnya tanganku dan ditariknya aku ke ruang penyimpanan pakaiannya yang ukurannya lebih besar
daripada kamar tidurku lalu diseretnya aku ke pojok bagian belakang. Di sana sebuah kantong putih panjang
digantungkan sendiri di rak. Alice membuka ristleting kantong itu dengan sekali tarikan dan dengan hati-hati mengeluarkannya dari gantungan. Ia mundur selangkah, mengacungkan gaun itu seperti pembawa acara kuis.
"Bagaimana?" tanyanya menahan napas.
Aku mengamati gaun itu lama sekali. Sedikit mempermainkan Alice. Ekspresinya berubah waswas.
"Ah,” ujarku, dan aku tersenyum, membiarkannya rileks. "Begitu."
"Bagaimana menurut pendapatmu?" desaknya.
Benar-benar mirip bayanganku tentang gaun dalam kisah Anne of Green Gables.
"Sempurna, tentu saja. Sungguh tepat. Kau memang  genius."
Alice nyengir. "Aku tahu.'"
"Seribu sembilan ratus delapan belas?" tebakku.
"Kurang-lebih.” jawab Alice, mengangguk. "Sebagian rancanganku sendiri, cadarnya.” Disentuhnya satin putih
itu sambil berbicara. "Rendanya vintage lho. Kau suka?"

"Cantik sekali. Sangat tepat untuk Edward.”
“Tapi tepat tidak untukmu?" desak Alice.
"Ya, kurasa ya, Alice. Menurutku, ini tepat sesuai kebutuhanku. Aku tahu kau pasti bisa melakukannya
dengan sangat baik... asal kau bisa menahan diri."
Alice berseri-seri.
"Bolehkah aku melihat gaunmu? tanyaku. Alice mengerjapkan mata, wajahnya kosong.
"Masa kau tidak memesan gaun untukmu juga? aku kan tidak mau pendampingku mengenakan gaun siap pakai," aku pura-pura meringis ngeri.
Alice memeluk pinggangku. "Terima kasih, Bella!"
"Bagaimana mungkin kau tidak bisa memprediksikan hal itu?" godaku, mengecup rambutnya yang jabrik.
"Paranormal apa!"
Alice, mundur sambil menari-nari, wajahnya berseri-seri oleh antusiasme baru. "Banyak sekali yang harus ku
kerjakan! Sana, mainlah dengan Edward. Aku harus bekerja."
Ia menghambur ke luar ruangan, berteriak. “Esme!" lalu langsung lenyap.
Aku mengikutinya keluar tanpa terburu-buru. Edward sudah menunggu di lorong, bersandar di dinding berlapis
panel kayu.

"Kau amat sangat baik,” katanya. "Sepertinya dia bahagia,” aku sependapat.
Edward menyentuh wajahku, matanya terlalu gelap, sudah lama sekali sejak ia meninggalkan aku, mengamati
ekspresiku dengan seksama.

"Ayo kita pergi dari sini,” usulnya tiba-tiba. "Kita pergi ke padang rumput kita."
Kedengarannya sangat menarik. "Kurasa aku tidak perlu bersembunyi lagi, ya?"
"Tidak, bahaya sudah lewat."
Edward terdiam, merenung, saat ia berlari. Angin berhembus kencang di wajahku, cuaca sekarang lebih
hangat karena badai sudah benar-benar berlalu. Awan-awan menutupi langit seperti biasa.
Hari ini padang rumput menjadi tempat yang tenang dan membahagiakan. Perak-perak bunga aster musim panas menyelingi rerumputan dengan semburat warna putih dan kuning. Aku berbaring telentang, tak memedulikan tanah yang agak basah, dan memandangi bentuk-bentuk di awan, namun awan terlalu datar, kelewat mulus. Tidak ada gambar, yang ada hanya selimut kelabu lembur. Edward berbaring di sebelahku dan menggenggam tanganku.
"Tiga belas Agustus!" tanya Edward dengan nada sambil lalu setelah beberapa menit berdiam diri, menikmati
kedamaian.
"Itu tepat satu bulan sebelum ulang tahunku. Aku tidak mau umur kita terpaut terlalu jauh."
Edward mendesah. "Esme tiga tahun lebih tua daripada Carlisle secara teknis. Kau tahu itu"
Aku menggeleng.
"Tak ada bedanya bagi mereka."
Suaraku tenang, berlawanan dengan kegelisahannya.
"Berapa umurku tidaklah terlalu penting. Edward, aku sudah siap. Aku sudah memilih hidupku – sekarang aku
ingin mulai menjalaninya."
Edward mengelus-elus rambutku. "Hak veto menentukan daftar tamu?"
'Sebenarnya aku tidak terlalu peduli, tapi aku.." Aku ragu-ragu, tidak ingin menjelaskan masalah yang satu ini.
Tapi lebih baik menuntaskannya saja sekalian. "Aku tak yakin apakah Alice akan merasa perlu mengundang...
beberapa werewolf. Aku tidak tahu apakah Jake akan merasa apakah... apakah sebaiknya dia datang. Apakah itu hal yang benar yang harus dilakukan, atau apakah aku akan merasa terluka jika dia tidak datang. Seharusnya Jacob tidak perlu mengalami hal itu."
Sesaat Edward terdiam. Aku memandangi pucuk-pucuk pohon, nyaris hitam dengan latar belakan langit yang abuabu muda. Tiba-tiba Edward meraih pinggangku dan menarikku ke dadanya. "Katakan padaku, kenapa kau melakukan hal ini Bella. Kenapa justru sekarang kau memutuskan memberi keleluasaan kepada Alice?"
Aku mengulangi pembicaraanku dengan Charlie semalam, sebelum pergi menemui Jacob.
"Tidak adil kalau aku tidak melibatkan Charlie dalam hal ini,” aku menyimpulkan. "Dan itu juga berarti Renee dan
Phil. Jadi sekalian saja membuat Alice senang. Mungkin akan lebih mudah bagi Charlie jika dia bisa mengucapkan selamat berpisah secara benar. Walaupun dia menganggap ini terlalu dini, aku tidak mau merenggut kesempatannya berjalan mendampingiku menuju altar." Aku meringis saat mengucapkan kata-kata itu, lalu kembali menghela napas dalam-dalam. "Paling tidak ayah, ibu, dan teman-temanku akan mengetahui bagian terbaik pilihanku, bagian terbesar yang bisa kukatakan kepada mereka. Mereka akan tahu aku memilihmu, dan mereka akan tahu bahwa kita bersama- sama. Mereka akan tahu aku bahagia, di mana pun aku
berada. Menurutku, itu hal terbaik yang bisa kulakukan untuk mereka."
Edward memegangi wajahku, mengamatinya sebentar.
"Kesepakatan batal,” tukasnya tiba-tiba.
"Apa?" aku terkesiap. "kau mau mundur sekarang? Tidak!”
"aku bukan mau mundur, Bella. Aku akan tetap menepati kesepakatan yang menjadi bagianku, tapi kau
bebas, apa pun yang kau inginkan, tanpa ikatan."
"Kenapa?"
"Bella, aku melihat apa yang kaulakukan. Kau berusaha membuat semua orang lain bahagia, padahal aku tidak
peduli perasan orang lain. Aku hanya ingin kau bahagia. Jangan bingung memikirkan bagaimana menyampaikan
kabar ini kepada Alice. Biar aku yang melakukannya. Aku berjanji dia tidak akan membuatmu merasa bersalah."
"Tapi aku...”
"Tidak. kita akan melakukannya dengan caramu. Karena caraku ternyata tidak berhasil. Aku menyebutmu keras
kepala, tapi lihat apa yang telah kulakukan. Aku begitu ngotot mempertahankan apa yang kuanggap terbaik
untukmu, meskipun itu hanya menyakiti hatimu. Sangat menyakitimu, berulang kali. Aku tidak percaya lagi pada
diriku sendiri. Kau boleh memiliki kebahagiaan sesuai caramu. Caraku selalu saja salah.
"Jadi..." Edward bergerak ke bawah tubuhku, menegakkan bahunya. "kita akan melakukannya sesuai
caramu, Bella. Malam ini. Hari ini. Semakin cepat semakin baik. Aku akan bicara dengan Carlise. Kupikir mungkin kalau kami memberimu morfin cukup banyak kau tidak akan merasa terlalu kesakitan. Patut dicoba," Edward menggertakkan giginya.
"Edward, tidak. "
Edward menempelkan jarinya di bibirku. “Jangan khawatir, Bella sayang. Aku tidak melupakan tuntutanmu
yang lain."
Tangan Edward menyusup ke dalam rambutku, bibirnya bergerak lembut, tapi sangat serius – di bibirku, sebelum aku menyadari apa yang dikatakannya. Apa yang dilakukannya. Tak banyak waktu untuk bertindak. Kalau terlalu lama menunggu aku tidak akan mampu mengingat kenapa aku harus menghentikan Edward. Sekarang saja aku sudah tidak bisa bernapas dengan benar. Tanganku mencengkeram lengannya, menempelkan tubuhku lebih erat lagi ke tubuhnya, bibirku menempel di bibirnya dan menyahuti setiap pertanyaan yang tak terucapkan olehnya. Aku berusaha menjernihkan isi kepalaku, mencari cara untuk berbicara. Edward berguling pelan, menindihku di rerumputan yang sejuk.
“Oh masa bodohlah!” sorak sisi lain diriku kegirangan. Kepalaku dipenuhi wangi napasnya. Tidak, tidak. tidak. aku berdebat dengan diriku sendiri. Aku menggeleng, dan bibir Edward beralih ke leherku, memberiku kesempatan untuk bernapas.
"Hentikan. Edward. Tunggu." Suaraku sama lemahnya dengan tekadku.
"Kenapa?” bisik Edward di cekungan leherku.
Aku berusaha keras memperdengarkan nada penuh tekad dalam suaraku. “aku tidak mau melakukan ini sekarang."
"ah, masa?" tanyanya. suaranya mengandung senyum. Bibirnya kembali beralih ke bibirku sehingga membuatku
tak bisa bernapas. Gairah menderas di pembuluh darahku, membakar kulitku yang bersentuhan dengan kulitnya.
Aku memaksa diriku untuk berkonsentrasi. Dibutuhkan usaha yang lumayan keras hanya untuk memaksa tanganku meninggalkan rambutnya. memindahkannya ke dada Edward. Tapi aku berhasil melakukannya. Kemudian aku mendorongnya berusaha menjauhkannya dariku. Aku tidak mungkin bisa melakukannya sendirian, tapi seperti kuduga, Edward meresponsku.
Ia mundur beberapa sentimeter untuk memandangiku, dan sorot matanya tidak membantu sama sekali. mata itu
hitam berapi-api. Menyala-nyala.


"Kenapa?" tanyanya lagi. suaranya rendah dan parau. "aku mencintaimu. Aku menginginkanmu. Sekarang juga."
Kupu-kupu di perutku membanjiri kerongkongan.
Edward memanfaatkan kebisuanku. "Tunggu, tunggu,” aku berusaha berbicara di sela-sela ciumannya.
“Tidak untukku,” bisik Edward tidak setuju.
"Please?" aku terkesiap.
Edward mengerang, dan menjauhkan dirinya dariku, berguling dan kembali telentang. Kami berbaring di sana beberapa saat, berusaha menenangkan napas yang memburu.
"Katakan padaku kenapa tidak sekarang, Bella,” tuntut Edward. "Sebaiknya alasannya bukan karena aku."
Segala sesuatu di duniaku adalah karena dia. Sungguh konyol bila berharap lain.
"Edward, ini sangat penting bagiku. Aku akan melakukannya dengan benar."
"Benar menurut definisi siapa?"
"Definisiku."
Edward berguling dan bertumpu pada sikunya, memandangiku, ekspresinya tidak setuju.
"Bagaimana kau akan melakukannya dengan benar?" Aku menarik napas dalam-dalam. "Dengan bertanggung
jawab. Semuanya dalam urutan yang benar. Aku tidak akan meninggalkan Charlie dan Renee tanpa resolusi terbaik yang bisa kuberikan pada mereka. Aku juga tidak akan merenggut kebahagiaan Alice, bahwa aku tetap akan menikah. Dan aku akan mengikatkan diriku padamu dalam setiap cara manusia yang mungkin dilakukan, sebelum aku memintamu membuatku menjadi abadi. Aku akan mengikuti aturan yang ada, Edward. Jiwamu jauh terlalu penting bagiku untuk dipertaruhkan. Kau tidak akan bisa menggoyahkan keputusanku ini.”
"Berani bertaruh, aku pasti bisa,” bisik Edward, matanya kembali menyala-nyala.
"Tapi kau tidak akan melakukannya,” kataku, berusaha agar suaraku tetap tenang. "Tidak karena kau tahu inilah
yang benar-benar kuinginkan.”
"Kau tidak bertarung secara adil,” tuduh Edward.
Aku nyengir, "Aku memang tidak pernah bilang begitu.” Edward membalas senyumku, sendu, "kalau kau berubah pikiran .."
"Kau akan jadi orang pertama yang tahu,” janjiku. Hujan mulai menetes menerobos awan,beberapa butir
airnya menimbulkan bunyi tes-tes pelan begitu menyentuh rumput. Aku memandang sebal ke langit.
"Kuantar kau pulang. Edward menyapu beberapa butir air dari pipiku.
"Hujan bukan masalah,” gerutuku. "itu hanya berarti sekarang saatnya pergi untuk melakukan sesuatu yang
sangat tidak menyenangkan dan bahkan mungkin sangat berbahaya.”
Mata Edward membelalak panik.
"Untung saja kau antipeluru," aku mendesah. "aku membutuhkan cincin itu. sekarang saatnya memberitahu
Charlie.”
Edward tertawa melihat ekspresiku. "sangat berbahaya,” ia sependapat/lagi-lagi ia tertawa, lalu merogoh saku
jinsnya.
"Tapi paling tidak sekarang tidak perlu lagi melakukan perjalanan sampingan.”
Sekali lagi Edward menyelipkan cincin itu ke jari manis tangan kiriku. Cincin itu akan selalu berada di sana selamalamanya.


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates