Eclipse Indonesia 15
15. TARUHAN
KUPANDANGI Jacob berlama-lama, tak mampu mengatakan apa-apa. Aku tidak tahu harus
bilang apa. Sementara Jacob menatap ekspresi terperangahku, keseriusan lenyap
dari wajahnya.
"Oke." ujarnya, nyengir.''Hanya itu."
"Jake - " Rasanya ada sesuatu yang besar menyangkut di tenggorokanku.
Aku berusaha menyingkirkannya."Aku
tidak bisa,maksudku aku tidak... aku harus pulang."
Aku berbalik, tapi Jacob menyambar bahuku dan memutar tubuhku.
“Jangan,tunggu. Aku tahu itu, Bella. Tapi, dengar, jawablah pertanyaanku, oke?
Apakah kau mau aku pergi
dan tidak pernah bertemu lagi denganmu? Jujurlah."
Sulit berkonsentrasi, jadi butuh satu menit untuk menjawabnya. "Tidak,
bukan itu yang kuinginkan."
akhirnya aku mengakui. Lagi-lagi Jacob nyengir. "Begitu."
"Tapi aku menginginkanmu bukan karena alasan yang sama dengan kenapa kau
menginginkanku," sergahku.
"Kalau begitu, jelaskan kenapa persisnya kau menginginkanku."
Aku berpikir dengan saksama. "Aku merasa kehilangan kalau kau tidak ada.
Kalau kau bahagia," aku menjelaskan hati-hati. “itu membuatku bahagia.
Tapi itu juga berlaku bagi Charlie, Jacob. Kau keluargaku. Aku sayang padamu, tapi
aku tidak mencintaimu."
Jacob mengangguk, tidak merasa terganggu sama sekali.
"Tapi kau tetap menginginkanku di dekatmu.”
"Ya," Aku mendesah. Penjelasanku tidak membuat Jacob surut langkah.
"Kalau begitu aku akan tetap di dekatmu."
"Kau memang senang menyiksa diri sendiri.” gerutuku.
"Yep," Jacob membelai-belai pipi kananku dengan ujung Jemarinya.
Kutepis tangannya jauh-jauh.
"Menurutmu, bisa tidak kau bersikap sedikit lebih baik, paling
tidak?" tanyaku, kesal.
"Tidak, tidak bisa. Putuskan sendiri, Bella. Kau bisa memilikku apa
adanya, termasuk sikapku yang
menjengkelkan atau tidak sama sekali."
Kupandangi dia, frustrasi. "Itu kejam."
"Kau juga kejam."
Perkataannya itu membuat langkahku terhenti, dan tanpa sengaja aku mundur
selangkah. Jacob benar. Kalau
aku tidak kejam, sekaligus serakah, aku akan mengatakan padanya aku tidak mau
berteman dengannya dan
menyuruhnya pergi jauh-jauh. Bukan tindakan yang tepat berusaha mempertahankan temanku
padahal itu justru akan melukai hatinya. Entah apa yang kulakukan di sini, tapi
tiba-tiba saja aku yakin itu bukan tindakan yang tepat.
"Kau benar,” bisikku.
Jacob tertawa. "Aku memaafkanmu kok. Tapi usahakan agar kau tidak terlalu
marah padaku. Karena baru-baru ini aku memutuskan aku tidak akan menyerah.
Sesuatu yang sulit didapat itu justru sangat menarik untuk ditaklukkan."
"Jacob.” Kutatap matanya yang gelap, berusaha membuatnya menganggapku
serius. "Aku mencintainya,
Jacob. Dia seluruh hidupku."
"Kau juga cinta padaku," Jacob mengingatkan aku. Ia mengangkat tangan
waktu aku membuka mulut hendak
memprotes. "Tidak seperti kau mencintainya, aku tahu. Tapi dia juga bukan
seluruh hidupmu. Tidak lagi. Mungkin dulu begitu, tapi dia pergi. Dan sekarang
dia harus menghadapi konsekuensi dari pilihan itu – aku."
Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Kau benar-benar nekat."
Tiba-tiba Jacob berubah serius. Ia meraih daguku dan memeganginya kuat-kuat
sehingga aku tak bisa
memalingkan wajah dari tatapan matanya yang tajam.
"Sampai jantungmu berhenti berdetak, Bella.” katanya.
“Aku akan terus berada di sini, berjuang. Jangan lupa bahwa kau punya
pilihan."
"Aku tidak ingin punya pilihan,” tukasku, berusaha menyentakkan daguku
tapi sia-sia. "Dan detak jantungku
sudah tinggal menghitung hari, Jacob. Waktunya sudah hampir habis."
Mata Jacob menyipit. "Berarti semakin kuat alasanku untuk berjuang –
berjuang lebih keras lagi sekarang,
mumpung aku masih bisa," bisiknya.
"T...," aku hendak protes, tapi terlambat.
Bibirnya melumat bibirku, menghentikan protesku. Ia menciumku dengan marah,
kasar, satu tangan
mencengkeram kuat-kuat tengkukku, membuatku tak bisa melepaskan diri. Sekuat
tenaga kudorong dadanya, tapi Jacob sepertinya bahkan tidak menyadarinya. Meski
ia sedang marah bibirnya tetap terasa lembut, hangat, dan asing di bibirku.
Aku berusaha mendorongnya jauh-jauh, tapi lagi-lagi gagal. Tapi sepertinya kali
ini ia menyadarinya, dan itu
membuatnya semakin bersemangat. Bibirnya memaksa bibirku membuka, dan bisa
kurasakan embusan napasnya yang panas di dalam mulutku.
Atas dasar naluri, kubiarkan kedua tanganku terkulai dan berhenti bereaksi.
Kubuka mata dan tidak melawan, tidak merasa... hanya menunggunya berhenti. Berhasil.
Amarah Jacob sepertinya menguap, dan ia
menarik bibirnya untuk menatapku. Ia menempelkan lagi bibirnya dengan lembut ke
bibirku, satu kali, dua kali... tiga kali. Aku berlagak seperti patung dan
menunggu.
Akhirnya Jacob melepaskan wajahku dan mencondongkan tubuhnya ke belakang.
"Sudah selesai?" tanyaku, suaraku tanpa ekspresi.
"Sudah," desahnya. Senyumnya terkuak, matanya terpejam.
Kutarik lenganku ke belakang, kemudian mengayunkannya ke depan, meninju mulut
Jacob dengan
sekuat tenaga. Terdengar suara berderak.
"Aduh! ADUH!" jeritku, melompat-lompat kesakitan sambil mendekap
tinjuku di dada. Tulangku patah, aku bisa
merasakannya. Jacob memandangiku dengan syok. "Kau tidak apa-apa?"
"Tidak, brengsek! Kau membuat tulangku patah!'
"Bella, kau sendiri yang membuat tulangmu patah. Sekarang, berhenti
menandak-nandak dan biar kuperiksa."
"Jangan sentuh aku! Aku mau pulang sekarang juga!"
"Kuambil mobilku dulu," kata Jacob kalem. Ia bahkan tidak
mengusap-usap dagu seperti di film-film.
Menyedihkan.
"Tidak, trims."' desisku. "Lebih baik aku jalan kaki saja."Aku
berbalik menuju jalan. Hanya beberapa kilometer
ke perbatasan. Begitu aku menjauh dari Jacob, Alice pasti akan melihatku. Ia
akan mengirim seseorang untuk
menjemputku.
"Setidaknya izinkan aku mengantarmu pulang," desak Jacob. Sungguh tak
bisa dipercaya, berani benar ia
memeluk pinggangku. Dengan marah aku menyentakkan diri darinya.
"Baiklah!" geramku. "Lakukan saja! Aku tak sabar ingin melihat
apa yang akan dilakukan Edward padamu! Mudahmudahan saja dia mematahkan
lehermu, dasar ANJING tolol tukang paksa menyebalkan!"
Jacob memutar bola matanya. Ia mengantarku ke kursi penumpang dan membantuku
naik. Ketika naik ke balik
kemudi, ia bersiul-siul.
"Memangnya kau tidak kesakitan sama sekali?" tanyaku, marah dan
kesal.
"Bercanda, ya? Kalau saja kau tadi tidak menjerit, aku mungkin tidak bakal
tahu kau berusaha meninjuku. Aku
memang tidak terbuat dari batu, tapi aku juga tidak selembek itu."
"Aku benci padamu, Jacob Black."
"Itu bagus. Benci adalah emosi yang menggelora."
"Soal emosi sih gampang,” gerutuku pelan.
"Pembunuhan, kejahatan emosional terburuk."
"Oh, ayolah,"sergah Jacob, sikapnya tetap riang dan kelihatannya ia
bahkan akan mulai bersiul-siul lagi. "Itu tadi
pasti lebih asyik daripada berciuman dengan batu.”
"Jangankan lebih, mendekati saja tidak," tukasku dingin.
Jacob mengerucutkan bibir. "Ah, kau hanya mengadaada."
"Aku tidak mengada-ada."
Sepertinya perkataanku bahkan tidak membuatnya terusik sedikit pun, tapi
sejurus kemudian wajah Jacob
berubah cerah. “Itu karena kau marah. Aku memang tidak berpengalaman dalam
urusan ini, tapi kurasa tadi itu sudah sangat luar biasa."
"Ugh,” erangku.
"Kau akan memikirkannya malam ini. Saat dia mengira kau sudah tidur, kau
akan memikirkan pilihan-pilihan yang kau miliki."
"Kalau aku memikirkanmu malam ini, itu karena aku bermimpi buruk."
Jacob memperlambat laju mobilnya hingga merayap, memalingkan wajah kepadaku
dengan mata gelapnya yang
membelalak lebar dan bersungguh-sungguh "Coba pikirkan, Bella.” desaknya,
suaranya lembut dan bernada penuh semangat. "Kau tidak perlu mengubah
apa-apa untukku. Kau tahu Charlie pasti senang kalau kau memilihku. Aku bisa
melindungimu sama baiknya dengan vampirmu, mungkin bahkan lebih baik. Dan aku
akan membuatmu bahagia, Bella. Ada begitu banyak yang bisa kuberikan padamu
yang tidak bisa dia berikan. Aku berani bertaruh dia bahkan tak bisa menciummu
seperti tadi, karena dia takut melukaimu. Aku tidak akan pernah, tidak akan pernah
menyakitimu, Bella."
Kuacungkan tanganku yang cedera.
Jacob mendesah. "Itu bukan salahku. Seharusnya kau tahu itu sebelum
memukulku."
"Jacob, tidak mungkin aku bisa bahagia tanpa dia."
"Kau belum pernah mencobanya," sanggah Jacob.
"Waktu dia pergi dulu, kau menghabiskan seluruh energimu untuk memikirkannya
terus. Kau bisa bahagia kalau saja mau melepasnya. Kau bisa bahagia
bersamaku."
"Aku tidak ingin bahagia bersama orang lain kecuali dia,” aku bersikeras.
"Kau tidak akan pernah bisa merasa yakin pada dirinya, seperti kau bisa
yakin pada diriku. Dia pernah
meninggalkanmu dulu, jadi dia bisa melakukannya lagi."
"Tidak.. itu tidak benar," sergahku dari sela-sela rahang yang
terkatup rapat. Pedihnya kenangan itu menyayat
hatiku seperti cambuk. Membuatku ingin balas menyakiti Jacob. "Kau dulu
juga pernah meninggalkanku." aku
mengingatkannya dengan nada dingin, ingatanku melayang ke minggu-minggu saat
Jacob bersembunyi dariku, katakata yang diucapkannya di hutan di samping
rumahnya...
"Itu tidak benar," bantah Jacob. "Kata mereka, aku tidak boleh
memberitahumu, bahwa tidak aman bagimu kalau
kita bersama. Tapi aku tidak pernah meninggalkanmu, tidak pernah! Aku dulu
selalu berlari mengitari rumahmu
pada malam hari – seperti yang kulakukan sekarang. Hanya untuk memastikan kau
baik-baik saja."
Aku takkan membiarkan Jacob membuatku merasa kasihan padanya sekarang.
"Antar aku pulang. Tanganku sakit."
Jacob mendesah, dan mulai memacu mobilnya dalam kecepatan normal, memandangi
jalan.
"Pikirkanlah dulu, Bella."
"Tidak," tolakku keras kepala.
"Kau akan memikirkannya. Malam ini. Dan aku akan memikirkanmu sementara
kau memikirkanku."
"Seperti kataku tadi, mimpi buruk."
Jacob nyengir. "Kau membalas ciumanku." Aku terkesiap, tanpa berpikir
mengepalkan tinjuku lagi,
mendesis ketika tanganku yang patah bereaksi.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Tidak."
"Kurasa aku bisa membedakannya.”
"Jelas tidak bisa, itu tadi bukan membalas ciumanmu, tapi berusaha supaya
kau berhenti menciumku, dasar idiot." Jacob tertawa,tawanya rendah dan
serak.
"Mengharukan. Hampir terlalu defensif, menurutku."
Aku menarik napas dalam-dalam. Tidak ada gunanya berdebat dengannya; dia hanya
akan memutarbalikkan
semua ucapanku. Aku berkonsentrasi pada tanganku, berusaha meregangkan jari-jariku,
memastikan bagian mana yang patah. Rasa sakit menusuk buku-buku jariku. Aku
mengerang.
"Aku benar-benar minta maaf soal tanganmu," kata Jacob, kedengarannya
nyaris tulus. "Lain kali kalau mau
memukulku, pakai tongkat bisbol atau linggis saja, oke."
"Jangan kira aku akan melupakannya," gerutuku. Aku tidak sadar kami
mengarah ke mana sampai kami
berada di jalan menuju rumahku.
"Mengapa kau membawaku ke sini?" tuntutku.
Jacob menatapku hampa. "Lho, katamu tadi kau mau pulang."
"Ugh. Kurasa kau tidak bisa mengantarku ke rumah Edward, ya?" Aku
mengertakkan gigi dengan gemas.
Kepedihan membuat wajahnya terpilin, dan bisa kulihat perkataanku tadi menohoknya
lebih daripada apa pun yang pernah kukatakan.
"Ini rumahmu, Bella." ujarnya pelan.
"Memang, tapi memangnya ada dokter yang tinggal di sini!" tanyaku
mengacungkan tanganku lagi.
"Oh," Jacob berpikir sebentar. "Aku akan mengantarmu ke rumah
sakit. Atau Charlie bisa mengantarmu?"
"Aku tidak mau ke rumah sakit. Memalukan dan tidak perlu."
Jacob membiarkan mesin Rabbit tetap menyala sesampainya di depan rumah,
menimbang-nimbang dengan
ekspresi tidak yakin. Mobil patroli Charlie terparkir di halaman garasi.
Aku mendesah. "Pulanglah, Jacob."
Aku turun dari mobil dengan canggung, berjalan menuju rumah. Mesin mobil di belakangku
dimatikan, dan aku jengkel sekali mendapati Jacob lagi-lagi berada di sebelahku.
"Apa yang akan kaulakukan?" tanyanya.
"Aku akan mengompres tanganku dengan es batu, kemudian menelepon Edward
dan memintanya datang
untuk mengantarku ke Carlisle supaya dia bisa mengobati tanganku. Lalu, kalau
kau masih di sini, aku akan pergi mencari linggis."
Jacob diam saja. Ia membukakan pintu depan dan memeganginya untukku. Kami
berjalan sambil berdiam diri melewati ruang depan tempat Charlie berbaring di
sofa.
"Hai, anak-anak." sapanya, duduk sambil mencondongkan tubuh. "Senang
melihatmu di sini, Jake."
"Hai, Charlie." sahut Jacob dengan nada biasa-biasa saja, berhenti
sebentar. Aku terus melangkah marah ke dapur.
"Kenapa dia?" tanya Charlie.
"Dia merasa tangannya patah,” aku mendengar Jacob menjelaskan kepada Charlie.
Aku langsung menuju kulkas dan mengeluarkan wadah es batu.
"Kok bisa?" Sebagai ayah, menurutku seharusnya Charlie lebih
menunjukkan sikap prihatin ketimbang geli.
Jacob tertawa. "Dia memukulku tadi.”
Charlie ikut-ikutan tertawa. Aku cemberut sambil menghantamkan wadah es batu ke
pinggir bak cuci. Es batu
berjatuhan nyaring ke bak cuci, dan aku meraup segenggam dengan tanganku yang
sehat dan membungkusnya dengan lap piring yang kuambil dari konter.
"Kenapa dia memukulmu?"
"Karena aku menciumnya," jawab Jacob, sama sekali tidak malu.
"Hebat juga kau, Nak." Charlie malah menyelamati dia. Aku
mengertakkan gigi dan meraih telepon. Kuhubungi
nomor ponsel Edward.
"Bella?" Edward langsung menjawab pada deringan pertama.
Kedengarannya ia lebih dari lega, ia girang sekali.
Terdengar olehku derum Volvo di latar belakang; ia sudah di mobil, baguslah
kalau begitu. "Ponselmu ketinggalan... Maaf Jacob mengantarmu
pulang?"
"Ya," gerutuku. "Bisakah kau datang dan menjemputku, please?"
“Aku segera datang,” ujarnya langsung. "Ada apa?"
"Aku ingin Carlisle memeriksa tanganku. Kurasa ada yang patah."
Suasana di ruang depan kini sunyi senyap, dan aku bertanya-tanya dalam hati,
kapan Jacob bakal kabur. Aku
menyunggingkan senyum muram membayangkan kegelisahannya.
"Apa yang terjadi?" tuntut Edward, suaranya berubah datar.
"Aku meninju Jacob," aku mengakui.
"Bagus,” ucap Edward muram. "Walaupun, aku prihatin kau cedera."
Aku langsung tertawa, karena Edward terdengar sama senangnya seperti Charlie
tadi.
"Kalau saja aku bisa melukai dia." Aku mendesah frustrasi. "Dia
bahkan tidak merasa sakit sama sekali."
"Bisa kuatur," Edward menawarkan diri.
"Aku memang sudah berharap kau akan berkata begitu."
Edward terdiam sejenak. "Aneh sekali kaubilang begitu," katanya mulai
merasa khawatir. "Memangnya apa yang dia lakukan?"
"Dia menciumku," geramku.
Yang terdengar di ujung sana hanya suara mesin meraung semakin cepat.
Di ruang sebelah Charlie bicara lagi. "Mungkin sebaiknya kau pergi,
Jake," ia menyarankan.
"Kurasa aku akan tetap di sini, kalau Anda tidak keberatan."
"Tanggung sendiri akibatnya," gerutu Charlie.
"Anjing itu masih di sana?" Edward akhirnya kembali bersuara.
"Masih."
"Sebentar lagi aku sampai,” katanya galak, dan telepon pun terputus.
Saat aku meletakkan gagang telepon, tersenyum, kudengar suara mobil Edward
ngebut melintasi jalan. Rem
diinjak keras-keras agar mobil berhenti tepat di depan rumah. Aku beranjak
membukakan pintu.
"Bagaimana tanganmu?" tanya Charlie waktu aku lewat, ia tampak
jengah. Jacob nongkrong di sebelahnya di sofa, terlihat sangat santai. Kusingkirkan
bungkusan es batu dari tanganku untuk menunjukkan kondisinya.
"Bengkak."
"Mungkin sebaiknya kau menyerang orang yang seukuran denganmu,"
Charlie mengusulkan.
"Mungkin." sahutku sependapat. Aku berjalan terus untuk membukakan
pintu. Edward sudah menunggu.
"Biar kulihat." gumamnya.
Edward memeriksa tanganku dengan lembut sangat berhati-hati hingga aku tidak
merasa sakit sama sekali.
Kedua tangannya hampir sama dinginnya dengan es, dan terasa menyejukkan di
kulitku.
"Kurasa dugaanmu benar soal tangan yang patah,” katanya. "Aku bangga
padamu. Kau pasti mengerahkan
segenap tenagamu untuk melakukannya."
"Sebanyak yang kumiliki." Aku mendesah. "Meskipun masih kurang,
ternyata."
Edward mengecup tanganku lembut."Aku akan merawatnya," janjinya.
Kemudian ia berseru, "Jacob,”
suaranya tetap tenang dan datar.
"Sudah, sudah," Charlie mengingatkan.
Aku mendengar Charlie bangkit dari sofa. Jacob lebih dulu sampai di ujung
koridor, langkahnya juga nyaris tak
terdengar, tapi Charlie menyusul tak jauh di belakangnya. Ekspresi Jacob
waspada dan bersemangat.
"Aku tidak mau ada perkelahian, mengerti?" Charlie hanya memandangi
Edward saat bicara. "Kalau perlu, aku
bisa memakai lencanaku."
"Itu tidak perlu," kata Edward dengan nada kaku.
"Kenapa kau tidak menangkapku saja, Dad?" aku mengusulkan. "Kan
aku yang melakukan pemukulan."
Charlie mengangkat alis. "Kau mau mengajukan tuntutan, Jake?"
"Tidak," Jacob nyengir. "Aku rela kok ditinju asal bisa
menciumnya." Edward meringis.
"Dad, Dad menyimpan pemukul bisbol kan di kamar? Aku ingin meminjamnya
sebentar."
Charlie menatapku tajam. "Cukup, Bella."
"Ayo kita pergi supaya Carlisle bisa memeriksa tanganmu sebelum kau
telanjur masuk penjara," kata
Edward, ia merangkul bahuku dan menarikku ke pintu.
"Baiklah,” sahutku, bersandar padanya. Aku sudah tidak terlalu marah lagi.
karena sekarang aku sudah bersama
Edward. Aku merasa terhibur, dan tanganku tidak begitu sakit lagi. Kami sedang
berjalan menyusuri trotoar waktu kudengar Charlie berbisik dengan nada cemas di
belakangku.
"Apa-apaan kau!" Sudah gila, ya?"
"Sebentar saja, Charlie,” sahut Jacob."Jangan khawatir, sebentar lagi
aku kembali."
Aku menoleh dan kulihat Jacob mengikuti kami, berhenti sebentar untuk menutup
pintu di depan wajah
Charlie yang kaget dan resah. Awalnya Edward tidak menggubris Jacob, ia terus menuntunku
ke mobilnya. Ia membantuku naik menutup pintu,kemudian berbalik menghadap Jacob
di trotoar.
Aku mencondongkan badan dengan cemas lewat jendela yang terbuka. Aku bisa melihat
Charlie di dalam rumah, mengintip dari sela-sela tirai ruang depan. Pembawaan
Jacob biasa-biasa saja, kedua lengannya
terlipat di dada, tapi otot-otot dagunya mengeras.
Edward berbicara dengan suara sangat tenang dan lembut, tapi itu malah membuat
kata-katanya terdengar
lebih mengancam. "Aku tidak akan membunuhmu sekarang, karena itu akan
membuat Bella sedih."
"Hahhh," gerutuku.
Edward berpaling sedikit untuk melontarkan senyum sekilas. Wajahnya tetap
tenang. "Besok pagi kau pasti akan
merasa bersalah,” katanya, menyapukan jari-jarinya ke pipiku.
Lalu ia menoleh kembali pada Jacob. "Tapi kalau kau sampai membawanya
pulang lagi dalam keadaan cedera,
dan aku tidak peduli siapa yang salah dalam hal ini, aku tidak peduli apakah
dia sekadar tersandung, atau meteor jatuh dari langit dan menimpa kepalanya,
kalau kau mengembalikan dia dalam keadaan kurang sempurna daripada saat aku meninggalkannya
padamu, kau akan berlari hanya dengan tiga kaki. Kau mengerti itu,
anjing!" Jacob memutar bola matanya.
"Siapa yang mau kembali ke sana?" sergahku.
Edward meneruskan kata-katanya seakan-akan tidak mendengar perkataanku.
"Dan kalau kau berani
menciumnya lagi, aku akan mematahkan rahangmu untuknya," janji Edward,
suaranya masih lembut dan halus
laksana beledu, namun mematikan.
"Bagaimana kalau dia ingin aku menciumnya?" tantang Jacob, arogan.
"Hah?” dengusku.
"Kalau itu yang dia inginkan, aku tidak keberatan,"
Edward mengangkat bahu, tak terusik. "Mungkin sebaiknya kau menunggunya meminta,
bukan malah seenaknya mengartikan bahasa tubuhnya, tapi terserah saja, itu kan wajahmu."
Jacob nyengir.
"Tak usah berharap," omelku.
"Memang dia berharap begitu," gumam Edward.
"Well, kalau kau sudah selesai mengorek-ngorek isi kepalaku,” tukas Jacob
jengkel, "kenapa kau tidak langsung
pergi untuk mengobati tangannya?"
"Satu hal lagi,” ujar Edward lambat-lambat. "Aku akan berjuang sekuat
tenaga untuk mempertahankannya. Kau
harus tahu itu. Aku tidak menganggap sepele apa pun juga, dan aku akan berjuang
dua kali lebih keras daripada yang bakal kaulakukan."
"Bagus," geram Jacob. "Tidak asyik mengalahkan orang yang sudah
menyerah kalah."
"Dia milikku,” Suara Edward yang rendah mendadak garang, tidak setenang
sebelumnya. "Aku tidak bilang aku
akan berjuang secara adil."
"Aku juga tidak."
"Semoga beruntung."
Jacob mengangguk. "Ya, semoga laki-laki yang terbaik yang menang."
"Kedengarannya tepat sekali... guk."
Jacob meringis sekilas, kemudian ekspresinya kembali datar dan ia memiringkan
tubuhnya agar dapat tersenyum padaku. Aku balas memelototinya.
"Mudah-mudahan tanganmu sebentar lagi sembuh. Aku benar-benar menyesal kau
cedera."
Dengan sikap kekanak-kanakan, aku membuang muka. Aku tidak mendongak lagi saat
Edward berjalan
mengitari mobil dan naik ke sisi pengemudi, jadi aku tidak tahu apakah Jacob masuk
kembali ke rumah atau tetap berdiri di sana, mengawasiku.
"Bagaimana rasanya?" tanya Edward waktu kami menjauh.
"Jengkel."
Edward terkekeh. "Maksudku tanganmu.”
Aku mengangkat bahu. "Aku sudah pernah mengalami yang lebih parah daripada
ini."
"Benar,” Edward sependapat, keningnya berkerut.
Edward membawa mobilnya mengitari rumah menuju garasi. Tampak Emmett dan
Rosalie di sana, kedua kaki
Rosalie yang sempurna, yang bisa dikenali meskipun terbungkus jins, keluar dari
bawah Jeep Emmett yang besar. Emmett duduk di sebelahnya, sebelah tangan
terulur ke bawah Jeep ke arah Rosalie. Butuh waktu beberapa saat untuk
menyadari bahwa Emmett berfungsi sebagai dongkrak.
Emmett memperhatikan dengan sikap ingin tahu saat Edward membantuku turun dari
mobil dengan hati-hati.
Matanya tertuju pada tangan yang kudekap di dada. Emmett nyengir. "Jatuh
lagi ya, Bella?"
Kutatap ia dengan galak. "Tidak, Emmett. Aku meninju werewolf."
Emmett mengerjapkan mata, kemudian tawanya meledak.
Saat Edward membimbingku melewati mereka, Rosalie berbicara dari bawah mobil.
"Jasper bakal menang taruhan," ucap Rosalie puas.
Tawa Emmett langsung terhenti, dan ia mengamatiku lagi dengan sorot mata
menilai.
"Taruhan apa?" tuntutku, berhenti sejenak.
"Ayo kita segera memeriksakanmu ke Carlisle,” desak
Edward. Ditatapnya Emmett. Kepalanya menggeleng nyaris tak kentara.
"Taruhan apa?" desakku sambil menoleh.
"Trims, Rosalie," gumam Edward sambil mempererat pelukannya dan
menarikku ke rumah.
"Edward...." gerutuku.
"Itu kekanak-kanakan." tukas Edward sambil mengangkat bahu.
"Emmett dan Jasper senang bertaruh."
"Emmett pasti mau memberitahuku,” Aku berusaha berbalik, tapi lengan
Edward mencengkeram erat seperti
besi di pinggangku.
Edward mendesah. "Mereka bertaruh berapa kali kau akan... terpeleset pada
tahun pertama."
"Oh.”
Aku meringis, berusaha menyembunyikan kengerian yang mendadak muncul waktu aku
menyadari maksudnya.
"Mereka bertaruh berapa banyak orang yang akan kubunuh?"
"Ya,” Edward mengakui dengan sikap enggan. "Menurut Rosalie, emosimu
yang meledak-ledak akan membuat
Jasper menang taruhan."
Aku merasa sedikit gamang. "Jasper bertaruh aku akan membunuh banyak
orang."
"Dia bakal lebih senang kalau kau kesulitan menyesuaikan diri. Dia sudah
muak selalu menjadi yang
paling lemah."
"Tentu. Tentu saja itu akan membuatnya senang. Kurasa aku bisa saja
melakukan beberapa pembunuhan, kalau itu membuat Jasper senang. Kenapa
tidak?" aku mengoceh tidak keruan, suaraku monoton dan datar. Dalam
benakku, aku seperti melihat judul-judul berita di koran, daftar namanama... Edward
meremasku. "Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Faktanya, kau tidak perlu mengkhawatirkannya
sama sekali, kalau memang tidak
mau."
Aku mengerang dan Edward, mengira tangankulah yang sakit, menarikku lebih cepat
ke rumah.
Tanganku memang patah, tapi cederaku tidak terlalu serius,hanya sedikit retak
di salah satu buku jari. Aku tidak
mau digips, dan kata Carlisle, aku boleh hanya memakai penyangga asal berjanji memakainya
terus. Aku berjanji. Edward tahu pikiranku berkelana ke mana-mana saat Carlisle
dengan hati-hati memasangkan penyangga tanganku. beberapa kali ia menyuarakan
kekhawatirannya bahwa aku kesakitan, tapi kuyakinkan ia bukan itu penyebabnya.
Seakan-akan aku butuh,atau masih bisa, mengkhawatirkan hal lain. Semua cerita
Jasper tentang vampir-vampir yang baru diciptakan berkecamuk dalam pikiranku
sejak ia menjelaskan masa lalunya. Sekarang tiba-tiba kisah-kisah itu muncul
lagi akibat berita tentang pertaruhannya dengan Emmett. Dalam hati aku
penasaran apa yang mereka pertaruhkan. Hadiah apa yang bisa memotivasi bila kau
sudah memiliki segalanya?
Sejak dulu aku tahu aku bakal berbeda. Aku berharap mudah-mudahan aku bisa jadi
sekuat yang dikatakan
Edward. Kuat, cepat, dan yang terpenting, cantik. Seseorang yang bisa berdiri
di sisi Edward dan merasa
dirinya memang pantas berada di sana. Aku berusaha untuk tidak terlalu banyak
berpikir tentang hal-hal lain yang juga akan terjadi nantinya. Liar. Haus darah.
Mungkin aku takkan bisa berhenti membunuh orang.
Orang-orang yang tidak kukenal, yang tak pernah menyakitiku. Orang-orang
seperti para korban di Seattle
yang jumlahnya semakin bertambah, yang memiliki keluarga, teman-teman, dan masa
depan. Orang-orang yang
memiliki kehidupan. Dan aku bisa menjadi monster yang merenggut semua itu dari
mereka.
Namun sejujurnya. aku bisa mengatasi bagian itu,karena aku percaya kepada Edward,
percaya penuh kepadanya. bahwa ia tidak akan membiarkanku melakukan hal-hal yang
bakal kusesali. Aku tahu ia pasti mau membawaku ke Antartika dan berburu penguin
kalau aku memintanya. Dan aku rela melakukan apa pun asal bisa menjadi orang
yang baik. Vampir yang baik. Pikiran itu pasti akan membuatku terkikik..
seandainya aku tidak sedang mengkhawatirkan hal baru ini.
Karena, kalau entah bagaimana aku benar-benar seperti itu,seperti gambaran
mengerikan tentang vampir baru
sebagaimana digambarkan Jasper dalam benakku – mungkinkah aku bisa menjadi
diriku,Dan seandainya yang
kuinginkan hanya membunuh orang, bagaimana jadinya dengan hal-hal yang
kuinginkan sekarang?
Edward sangat terobsesi agar aku tidak kehilangan satu pun pengalaman sebagai
manusia. Biasanya keinginannya itu terkesan konyol. Tidak banyak pengalaman
manusia yang kukhawatirkan bakal hilang. Selama aku bisa bersama Edward, apa
lagi yang kuinginkan? Kupandangi wajahnya sementara ia mengawasi Carlisle mengobati
tanganku. Tak ada hal lain di dunia ini yang kuinginkan lebih daripada dia.
Apakah itu, bisakah itu, berubah? Adakah pengalaman manusia yang tidak ingin kulewatkan?
0 komentar:
Post a Comment