Eclipse Indonesia 14
14. DEKLARASI
"BERCANDA kau,” sergahku pada hari Rabu Siang.
"Kau benar-benar sudah kehilangan akal!"
"Terserah apa katamu,” sahut Alice. "Pokoknya pestanya tetap jalan.”
Kupandangi dia, mataku membelalak tak percaya hingga rasanya bola mataku nyaris
copot dari rongganya dan
mendarat di nampan makan siangku.
"Oh, tenanglah, Bella! Tidak ada alasan untuk membatalkan pesta. Lagi
pula, undangannya kan sudah
disebar."
"Tapi... itu... kan... gila!"
"Kau kan sudah membelikanku hadiah,” tukas Alice mengingatkan. "Jadi
kau tinggal datang.”
Aku berusaha keras menenangkan diri, "Menimbang semua yang terjadi saat
ini, rasanya tidak pantas kita
menggelar pesta.”
"Yang sedang terjadi sekarang ini adalah kelulusan, jadi justru sangar
pantas jika kita menyelenggarakan pesta
sekarang.”
“Alice!"
Alice mendesah, dan mencoba bersikap serius. "Ada beberapa hal yang perlu
kita bereskan sekarang, dan itu
butuh waktu. Mumpung tidak ada yang bisa kita kerjakan saat ini. Lebih baik
kita rayakan saja hal yang bagus-bagus. Kau hanya lulus SMA sekali seumur hidup
– ini yang pertama kali. Kau tidak bisa menjadi manusia lagi, Bella. Ini
kesempatan sekali seumur hidup.”
Edward, yang sejak tadi hanya terdiam mendengarkan perdebatan kecil kami,
melayangkan pandangan
mengingatkan kepada Alice. Alice menjulurkan lidah kepadanya. Ia benar –
suaranya yang lembut tak mungkin
terdengar orang di tengah-tengah celotehan ribut anak-anak di kafeteria ini.
Tapi kalaupun ada yang mendengar, tak ada yang mengerti maksudnya.
"Memangnya apa yang perlu dibereskan?" tanyaku, menolak digiring ke
topik lain.
Edward menjawab pelan, "Jasper menganggap kita butuh bantuan. Keluarga
Tanya satu-satunya pilihan yang kita punya. Carlisle sedang berusaha melacak
keberadaan beberapa teman lamanya, sementara Jasper mencari Peter dan
Charlotte. Dia sedang menimbang-nimbang untuk menemui Maria... tapi sebenarnya
kami tak ingin
melibatkan orang-orang Selatan.”
Alice bergidik pelan.
"Harusnya tidak sulit meyakinkan mereka untuk membantu,” lanjut Edward.
"Tidak ada yang ingin
didatangi tamu dari Italia.”
"Tapi teman-teman ini – mereka bukan... vegetarian, kan?” protesku,
menggunakan istilah yang dipakai keluarga
Cullen untuk menjuluki diri mereka sendiri.
"Bukan.” jawab Edward, tiba-tiba tanpa ekspresi.
"Di sini? Di Forks?"
"Mereka teman-teman kita,” Alice meyakinkanku.
"Semua pasti beres. Jangan khawatir. Apalagi, Jasper kan harus mengajari
kami beberapa pelajaran tentang cara menghabisi vampir baru...”
Mata Edward berubah cerah mendengarnya, dan senyum kecil terkuak di bibirnya. Tiba-tiba
perutku bagai dipenuhi pecahan-pecahan es kecil yang tajam.
"Kapan kalian akan pergi?" tanyaku, suaraku bergaung.
Aku tak tahan memikirkannya – bahwa mungkin ada di antara mereka yang tidak
kembali. Bagaimana kalau yang jadi korban itu Emmett, yang begitu pemberani dan
sembrono hingga tidak pernah mau berhati-hati sedikit pun!'
Atau Esme, begitu manis dan keibuan, yang tak kubayangkan bisa bertarung? Atau
Alice, begitu mungil dan
tampak sangat rapuh? Atau... tapi aku bahkan tak bisa memikirkan namanya,
meskipun hanya mempertimbangkan kemungkinannya.
"Satu minggu,” ujar Edward dengan sikap biasa –biasa saja, "Waktunya
cukup untuk kita.”
Serasa ada serpihan-serpihan es menusuk-nusuk perutku. Aku mendadak mual.
"Kelihatannya kau pucat sekali, Bella.” Alice berkomentar.
Edward memeluk bahuku dan menarikku erat-erat ke sisinya. "Semua pasti
beres, Bella. Percayalah padaku.”
Tentu, pikirku. Percaya padanya. Kan bukan dia yang bingung memikirkan apakah
orang yang menjadi inti
eksistensinya bisa kembali atau tidak. Dan mendadak aku mendapat ilham. Mungkin
aku tidak perlu duduk menunggu mereka. Satu minggu lebih dari cukup.
"Kalian butuh bantuan.” ujarku pelan,
"Benar," Alice menelengkan kepala ke satu sisi sementara ia mencerna
perubahan nada suaraku.
Aku hanya memandanginya saat menjawab. Suaraku hanya sedikit lebih keras
daripada bisikan. "Aku bisa
membantu.”
Tubuh Edward mendadak kaku, lengannya memelukku kelewat erat, Ia mengembuskan
napas, dan suaranya berupa desisan.
Namun Alice-lah, masih terap tenang, yang menjawab.
"Itu malah tidak akan membantu."
"Kenapa tidak?” bantahku; bisa kudengar nada putus asa dalam suaraku.
"Delapan kan lebih baik daripada tujuh. Waktunya lebih dari cukup.”
"Tidak cukup waktu untuk membuatmu bisa membantu
kami, Bella,” Alice membantah dengan nada dingin.
"Ingatkah kau bagaimana Jasper menggambarkan vampirvampir muda itu? Kau
tidak bakal bisa bertempur. Kau
tidak akan bisa mengontrol instingmu, dan itu hanya akan membuatmu menjadi sasaran
empuk. Dan bisa-bisa Edward celaka saat berusaha melindungimu.” Ia bersedekap,
puas dengan logikanya yang tak terbantahkan.
Dan aku tahu Alice benar. Aku duduk merosot di kursiku, harapanku yang
tiba-tiba muncul seketika lenyap.
Di sampingku, Edward kembali rileks. Ia berbisik di telingaku, "Yang
penting bukan karena kau takut.”
"Oh.” ucap Alice, ekspresi kosong mendadak melintasi wajahnya. Sejurus
kemudian ekspresinya berubah kecut.
“Aku paling tidak suka kalau ada yang batal di saat-saat terakhir. Berarti
jumlah tamunya berkurang jadi 65...”
"Enam puluh lima!' Sekali lagi aku membelalakkan mata.
Aku bahkan tidak punya teman sebanyak itu, Memangnya aku kenal sebegitu banyak
orang?
"Siapa yang batal?” tanya Edward, tidak menggubrisku.
“Renee.”
“Apa?" aku terkesiap kaget.
"Sebenarnya dia berniat memberimu kejutan saat kelulusan nanti, tapi
mendadak ada masalah. Kau akan
mendapat pesan darinya di rumah nanti.”
Sesaat kubiarkan diriku menikmati perasaan lega. Apa pun masalah yang dihadapi
ibuku sekarang, aku benarbenar bersyukur. Kalau saja ia datang ke Forks
sekarang aku tak ingin memikirkannya. Bisa-bisa kepalaku meledak. Lampu pesan
di pesawat telepon berkedip-kedip sesampainya aku di rumah. Kelegaanku kembali
membuncah saat mendengar penjelasan ibuku mengenai kecelakaan yang dialami Phil
di lapangan bola – saat
mendemonstasikan gerakan meluncur, ia bertabrakan dengan pemain lain dan tulang
pahanya parah, Phil benarbenar bergantung pada ibuku sekarang, jadi tidak
mungkin ia bisa meninggalkannya. Ibuku masih terus meminta-minta maaf saat
pesannya terputus.
"Well, berarti berkurang satu,” desahku.
"Berkurang satu apa?" tanya Edward.
"Berkurang satu orang yang tidak perlu kukhawatirkan bakal terbunuh minggu
ini.”
Edward memutar bola matanya.
"Kenapa kau dan Alice tidak menganggap serius masalah ini?" tuntutku.
"Ini serius, tahu.”
Edward tersenyum. "Kepercayaan diri.”
"Hebat,” gerutuku. Kuraih telepon dan kuhubungi Renee.
Aku tahu ini bakal jadi obrolan panjang, tapi aku juga tahu aku tidak perlu
banyak bicara. Aku hanya mendengarkan, dan meyakinkan ibuku setiap kali bisa
menyela ocehannya: aku tidak kecewa, aku tidak
marah, aku tidak sakit hati. Seharusnya ia berkonsentrasi membantu Phil supaya
cepat sembuh. Aku menitipkan
salam "semoga cepat sembuh" kepada Phil, dan berjanji akan
meneleponnya dengan cerita lengkap tentang acara kelulusan Forks High yang
kampungan ini. Akhirnya, aku terpaksa menggunakan alasan bahwa aku sangat perlu
belajar untuk menghadapi ujian akhir agar bisa menyudahi telepon.
Kesabaran Edward sungguh luar biasa. Ia menunggu dengan sopan sementara aku
meladeni ocehan ibuku, hanya memainkan rambutku dan tersenyum setiap kali aku mendongak.
Mungkin konyol memerhatikan hal semacam itu padahal ada hal-hal lain yang lebih
penting untuk dipikirkan, tapi senyum Edward tetap sanggup membuat napasku
tertahan. Ia sangat tampan hingga terkadang sulit memikirkan hal lain, sulit berkonsentrasi
pada masalah Phil atau permintaan maaf Renee atau pasukan vampir keji. Aku hanya
manusia biasa.
Begitu menutup telepon, aku berjinjit menciumnya. Edward memeluk pinggangku
dengan kedua tangannya dan
mengangkatku ke atas konter dapur, supaya aku tak perlu berjinjit. Kurangkul
lehernya dan melebur di dadanya yang dingin.
Seperti biasa, belum apa-apa Edward sudah menarik diri. Aku merasakan wajahku
menekuk cemberut, Edward
tertawa melihat ekspresiku sementara ia melepaskan diri dari belitan lengan dan
kakiku. Ia bersandar di konter,
bersebelahan denganku, dan memeluk bahuku.
"Aku tahu menurutmu aku memiliki pengendalian diri yang kuat dan tak
tergoyahkan, tapi sebenarnya tidak"
"Seandainya saja begitu,” aku mendesah, Dan ia ikut-ikutan mendesah.
"Sepulang sekolah besok,” kata Edward, mengganti topik, "aku akan
pergi berburu dengan Carlisle, Esme, dan
Rosalie. Hanya beberapa jam – kami takkan pergi jauhjauh, Alice, Jasper, dan
Emmett pasti bisa menjagamu.”
"Ugh,” gerutuku. Besok hari pertama ujian akhir, jadi hanya setengah hari.
Besok aku ujian Kalkulus dan Sejarah
– keduanya tantangan bagiku – jadi hampir seharian besok aku akan sendirian,
tak melakukan apa-apa kecuali merasa khawatir. "Aku tidak suka dijaga.”
"Kan hanya untuk sementara,” janji Edward.
“Jasper pasti bosan setengah mati. Dan Emmett pasti akan mengejekku.”
"Mereka pasti akan bersikap sangat baik.”
"Hah, yang benar saja.” gerutuku.
Kemudian, mendadak aku sadar aku punya pilihan lain selain dijaga. "Kau
tahu aku sudah lama tidak ke La Push, semenjak acara api unggun waktu itu.”
Kuamati wajah Edward dengan saksama, melihat kalaukalau ada perubahan ekspresi.
Mata Edward sedikit
mengeras.
“Aku cukup aman di sana,” kuingatkan dia.
Edward berpikir sebentar, "Mungkin kau benar;" Wajahnya tenang, namun
sedikit terlalu datar. Hampir saja
aku bertanya apakah ia lebih suka aku tetap di sini, tapi kemudian terbayang
olehku ejekan-ejekan yang sudah pasti akan dilontarkan Emmett padaku.
"Memangnya kau sudah haus lagi?" tanyaku, mengulurkan tangan dan
mengusapusap bayangan samar di bawah matanya. Iris matanya masih emas tua.
"Tidak juga,” Edward sepertinya enggan menjawab, dan itu membuatku kaget.
Aku menunggu penjelasan darinya.
"Kami ingin tetap sekuat mungkin,” Edward menjelaskan. "Mungkin kami
akan berburu lagi dalam
perjalanan nanti, mencari buruan besar."
"Itu akan membuatmu lebih kuat?"
Edward mengamati wajahku, seolah mencari sesuatu, tapi tidak ada apa-apa di
sana kecuali keingintahuan.
"Ya.” jawab Edward akhirnya. "Darah manusia adalah yang paling kuat,
meski hanya sedikit. Jasper sempat
berpikir untuk melakukan pengecualian sekali ini saja – walaupun dia tidak
menyukai ide itu, namun demi alasan kepraktisan – tapi dia tidak mau
menyarankannya. Dia tahu apa yang akan dikatakan Carlisle nanti.”
"Apakah itu bisa membantu?” tanyaku pelan.
"Tak ada bedanya. Kami takkan mengubah jati diri kami." Aku
mengerutkan kening. Kalau ada yang bisa
membantu, meskipun kemungkinannya kecil... kemudian aku bergidik, sadar bahwa
aku rela seseorang yang tidak kukenal mati demi melindungi Edward. Aku ngeri
pada diriku sendiri, tapi tak sepenuhnya sanggup
menyangkalnya. Edward mengganti topik lagi. "Itulah sebabnya mereka sangat
kuat, tentu saja. Para vampir baru itu penuh darah manusia – darah mereka
sendiri, bereaksi terhadap perubahan. Darah itu bertahan dalam jaringan tubuh mereka
dan menguatkan mereka. Tubuh mereka menghabiskannya pelan-pelan, seperti pernah
dikatakan Jasper, kekuatan itu mulai memudar setelah kira-kira satu tahun.”
"Seberapa kuat aku nantinya?”
Edward nyengir. "Lebih kuat daripada aku.”
"Lebih kuat daripada Emmett?"
Seringaiannya semakin lebar, "Ya. Coba tantang dia adu panco nanti. Dia
akan belajar banyak dari pengalaman itu.”
Aku tertawa. Kedengarannya konyol sekali. Lalu aku mendesah dan melompat dari
konter, karena
aku benar-benar tak bisa menundanya lebih lama lagi. Aku harus belajar sungguh-sungguh.
Untunglah aku dibantu Edward, dan Edward sangat pandai mengajar – apalagi ia tahu
banyak hal. Kurasa masalah terbesarku hanya memfokuskan diri pada ujian-ujian
nanti. Kalau tidak hati- hati bisa-bisa aku menulis esai Sejarah tentang perang
vampir di daerah Selatan.
Aku menyempatkan diri menelepon Jacob, dan Edward tampak biasa-biasa saja
seperti waktu aku menelepon Renee tadi. Ia memainkan rambutku lagi. Walaupun
saat ini siang bolong, teleponku membangunkan Jacob, dan awalnya ia sempat
jengkel. Ia langsung girang waktu aku bertanya apakah aku bisa datang ke
rumahnya besok. Sekolah Quileute sudah mulai liburan musim panas, jadi Jacob
menyuruhku datang sepagi mungkin. Aku senang ada pilihan lain selain dijaga
seperti bayi. Rasanya masih ada sedikit harga diri bila menghabiskan waktu
bersama Jacob.
Sebagian harga diri itu lenyap waktu Edward lagi-lagi bersikeras mengantarku ke
perbatasan seperti anak-anak
yang diantar petugas perwalian.
"Bagaimana ujianmu tadi?" tanya Edward dalam perjalanan,
berbasa-basi sedikit.
"Sejarah sih gampang, tapi entah kalau Kalkulus. Sepertinya masuk akal,
jadi itu mungkin berarti aku gagal.”
Edward tertawa, ''Aku yakin kau pasti lulus. Atau, kalau kau benar-benar
khawatir, aku bisa menyuap Mr. Vamer
supaya memberimu nilai A.”
"Eh, trims, rapi tidak usah, terima kasih.”
Lagi-lagi Edward tertawa, tapi mendadak berhenti waktu kami berbelok di
tikungan terakhir dan melihat mobil
merah menunggu. Keningnya berkerut penuh konsentrasi, kemudian, saat memarkir
mobilnya, ia mendesah.
"Ada apa?” tanyaku, tanganku memegang pintu.
Edward menggeleng. "Tidak apa-apa.” Matanya menyipit saat memandang ke
luar kaca depan, ke mobil itu.
Aku pernah melihat ekspresi seperti itu sebelumnya.
"Kau tidak sedang mendengarkan pikiran Jacob, kan?” tuduhku.
"Tidak mudah mengabaikan orang kalau dia berteriak.”
"Oh,” Aku berpikir sebentar, “Apa yang dia teriakkan?” bisikku.
“Aku yakin benar dia akan mengatakannya sendiri padamu nanti,” jawab Edward
masam.
Sebenarnya aku berniat mendesaknya lebih jauh, tapi kemudian Jacob membunyikan
klakson – dua kali dengan
nada tidak sabar.
"Itu sangat tidak sopan,” geram Edward.
"Begitulah Jacob,” desahku, kemudian bergegas turun sebelum Jacob
melakukan sesuatu yang bakal membuat
amarah Edward meledak. Aku melambaikan tangan kepada Edward sebelum menaiki
Rabbit dan, dari kejauhan, kelihatannya ia benarbenar kesal gara-gara masalah
klakson itu... atau apa pun yang dipikirkan Jacob. Tapi pandanganku lemah dan sering
kali keliru menilai sesuatu.
Aku ingin Edward mendatangiku. Aku ingin mereka berdua turun dari mobil
masing-masing, berjabat tangan,
dan berteman – menjadi Edward dan Jacob, bukan vampir dan werewolf. Rasanya seperti
memegang dua magnet keras kepala itu di tanganku lagi, dan aku mendekatkan keduanya,
berusaha memaksakan kekuatan alami mereka agar berubah...
Aku mendesah, lalu naik ke mobil Jacob.
"Hai, Bells,” Nada Jake riang, tapi suaranya seperti diseret. Kuamati
wajahnya waktu ia mulai menjalankan
mobil, mengemudikannya sedikit lebih cepat daripada yang biasa kulakukan, tapi
lebih lambat daripada Edward, dalam perjalanan kembali ke La Push.
Jacob terlihat berbeda, bahkan mungkin sakit, Kelopak matanya turun dan
wajahnya letih. Rambut shaggy-nya
mencuat ke mana-mana; di beberapa tempat malah hampir sampai ke dagu.
"Kau baik-baik saja, Jake?"
"Hanya capek,” akhirnya ia bisa menjawab setelah sebelumnya menguap
lebar-lebar. Lalu ia bertanya, "Apa
yang ingin kaulakukan hari ini?"
Kupandangi ia sesaat, "Kita nongkrong dulu saja di rumahmu,” aku
menyarankan. Kelihatannya Jacob tidak
bisa melakukan lebih dari itu. "Nanti saja naik motornya.”
"Tentu, tentu,” sahutnya, lagi-lagi menguap.
Rumah Jacob kosong, dan itu terasa aneh. Sadarlah aku bahwa Billy nyaris
menjadi aksesori permanen di sana.
"Mana ayahmu?.
"Di rumah keluarga Clearwater. Sekarang dia sering ke sana setelah Harry
meninggal. Sue sering kesepian.”
Jacob duduk di sofa tua yang tidak lebih besar daripada loveseat dan
mengenyakkan tubuhnya ke satu sisi, memberi ruang untukku.
"Oh. Baguslah. Kasihan Sue.”
"Yeah... dia menghadapi banyak masalah...” Jacob raguragu sejenak.
"Dengan anak-anaknya.”
"Tentu, pastilah berat bagi Seth dan Leah, kehilangan ayah mereka.."
"He-eh,” Jacob setuju, hanyut dalam pikirannya. Ia mengambil remote dan
menyalakan TV, sepertinya tanpa
berpikir. lagi-lagi ia menguap.
"Ada apa denganmu, Jake. Kau seperti zombie."
"Aku hanya tidur kira-kira dua jam semalam dan empat jam malam
sebelumnya,” cerita Jacob. Ia meregangkan
kedua lengan panjangnya lambat-lambat, dan aku bisa mendengar sendi-sendinya
berderak. Disampirkannya
lengan kirinya di sepanjang punggung sofa di belakangku, dan duduk merosot
untuk menyandarkan kepalanya di
dinding. “Aku kecapekan."
"Memangnya kenapa kau tidak tidur?" tanyaku.
Jacob mengernyitkan wajah.
"Sam bersikap sulit. Dia tidak percaya pada teman-temanmu, para pengisap
darah
itu. Padahal aku sudah berpatroli semalaman selama dua minggu dan belum ada
yang menyentuhku, tapi dia masih saja tidak percaya. Jadi untuk sementara aku
sendirian."
"Berpatroli semalaman," Apa itu karena kau berusaha menjagaku? Jake,
itu salah! Kau perlu tidur. Aku tidak akan kenapa-kenapa."
"Sudahlah, tidak apa-apa," Mata Jacob mendadak tampak lebih waspada.
"Hei, kau sudah tahu siapa yang
masuk ke kamarmu waktu itu? Apakah ada berita baru."
Aku tak memedulikan pertanyaan kedua. '"Tidak, kami belum menemukan
apa-apa tentang, eh, tamu kami."
"Kalau begitu aku akan tetap berjaga-jaga,” kata Jacob, matanya terpejam.
"Jake.." aku mulai merengek.
"Hei, setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan, aku kan sudah menawarkan
diri melayanimu, ingat. Aku budakmu seumur hidup."
"Aku tidak mau punya budak!"
Mata Jacob tetap terpejam. "Memangnya apa yang kauinginkan, Bella?"
"Aku menginginkan temanku Jacob, dan bukan Jacob yang separo mati,
menyakiti diri sendiri dengan konyol."
Jacob memotong kata-kataku. "Begini saja, aku berharap bisa melacak
keberadaan vampir yang boleh kubunuh, oke."
Aku diam saja. Jacob menatapku, melirik untuk melihat reaksiku.
"Bercanda, Bella."
Mataku memandang lurus ke pesawat televisi.
"Jadi, ada rencana khusus minggu depan. Kau akan lulus, kan. Wow. Hebat.”
Nadanya berubah datar, dan
wajahnya, yang sudah nampak letih, terlihat semakin kuyu saat matanya terpejam
lagi, kali ini bukan karena kelelahan, tapi karena penyangkalan. Sadarlah aku
bahwa momen kelulusanku masih menjadi sesuatu yang menyakitkan baginya,
walaupun niatku itu sekarang terhalang.
"Tidak ada rencana istimewa," jawabku hati-hati, berharap Jacob
mendengar nada yakin dalam suaraku tanpa
aku perlu menjelaskannya lebih lanjut. Aku sedang tidak ingin membicarakannya.
Pertama, karena Jacob sepertinya sedang tidak siap membicarakan hal-hal sulit.
Kedua, aku tahu ia pasti tahu aku cemas. "Well, tapi ada pesta kelulusan yang
harus kuhadiri. Pesta kelulusanku sendiri." Aku
mengeluarkan suara jijik. "Alice paling suka pesta, jadi dia mengundang
seisi kota ke rumahnya malam harinya. Pasti menyebalkan."
Mata Jacob langsung terbuka selagi aku bicara, dan senyum lega membuat wajahnya
tidak tampak letih lagi.
"aku tidak diundang. Aku tersinggung nih," godanya.
"Anggap saja kau ku undang. Itu kan pestaku, jadi seharusnya aku boleh
mengundang siapa pun yang
kuinginkan."
"Trims," tukas Jacob sarkastis, matanya kembali terpejam.
"Kuharap kau benar-benar mau datang,” kataku tanpa berharap. "Pasti
asyik. Bagiku, maksudku."
"Tentu, tentu." gumam Jacob. "Itu pasti sangat...bijaksana."
Suaranya lenyap.
Beberapa detik kemudian, ia sudah mendengkur. Kasihan Jacob. Kuamati wajahnya
yang sedang
bermimpi. dan menyukai apa yang kulihat. Saat tidur, setiap jejak keras kepala
dan kepahitan lenyap dari
wajahnya dan tiba-tiba saja ia kembali menjadi pemuda yang dulu pernah menjadi
sahabat terdekatku sebelum
semua omong kosong tentang werewolf ini mengganggu kehidupan kami. Ia tampak
jauh lebih muda. Ia terlihat
seperti Jacob-ku. Aku meringkuk di sofa, menungguinya tidur, berharap ia bisa
tidur sebentar untuk menggantikan kurang tidurnya. aku memindah-mindah saluran
TV; tapi tak banyak yang bisa ditonton. Akhirnya aku memilih menonton acara
masak-memasak, walaupun saat menonton aku tahu tidak akan pernah serepot itu
waktu memasakkan makan malam untuk Charlie. Jacob terus saja mendengkur,
dengkurannya semakin
keras. Kukeraskan volume TV.
Anehnya, aku merasa rileks, dan hampir mengantuk juga. Rumah ini rasanya lebih
aman ketimbang rumahku
sendiri, mungkin karena tidak ada yang pernah datang mencariku di sini. Aku
bergelung di ujung sofa dan terpikir
olehku untuk ikut tidur. Mungkin aku sudah ketiduran kalau saja dengkuran Jacob
tidak sekeras itu. Jadi,
bukannya tidur, aku malah membiarkan pikiranku berkelana ke mana-mana.
Ujian akhir sudah selesai, dan sebagian besar mudah. Kalkulus, satu-satunya pengecualian,
sudah lewat, lulus atau gagal. Pendidikan SMA-ku sudah berakhir. Tapi aku tidak
benar-benar tahu bagaimana perasaanku tentang hal itu. Aku tidak bisa memandangnya
secara objektif; karena itu berkaitan dengan berakhirnya kehidupanku sebagai manusia.
Aku bertanya-tanya sendiri berapa lama Edward berencana memakai alasan “bukan
karena kau takut" ini.
Aku harus bersikap tegas suatu saat nanti. Kalau berpikir praktis, aku tahu
sungguh masuk akal
meminta Carlisle mengubahku segera setelah aku lulus. Forks Jadi nyaris sama
berbahayanya dengan zona perang. Bukan, Forks itulah zona perangnya. Belum
lagi... itu bisa jadi alasan yang tepat sekali untuk tidak menghadiri pesta kelulusanku
sendiri. Aku tersenyum-senyum saat memikirkan alasan paling remeh dari semua
alasan mengapa aku harus berubah. Bodoh... namun tetap menarik.
Tapi Edward benar – aku belum benar-benar siap. Dan aku tidak ingin bersikap
praktis. Aku ingin Edwardlah yang mengubahku. Memang bukan keinginan rasional.
Aku yakin bahwa – kira-kira dua detik setelah aku
digigit dan bisa itu mulai membakar urat-urat nadiku – aku benar-benar takkan
peduli siapa yang melakukannya. Jadi seharusnya itu tidak menjadi masalah.
Sulit menjelaskannya, bahkan pada diriku sendiri, kenapa itu
penting. Pokoknya aku ingin dialah yang melakukan pilihan itu – ingin
memilikiku sehingga tidak sekadar membiarkan aku diubah. rapi dia sendirilah
yang melakukan perubahan itu. Kekanak-kanakan memang, tapi aku senang membayangkan
bibirnyalah yang menjadi hal terakhir yang kurasakan. Bahkan yang lebih
memalukan lagi, ada hal yang takkan pernah utarakan secara terus terang, aku
ingin bisanyalah yang racuni sistemku. Itu akan benar-benar membuatku jadi
miliknya seutuhnya.
Tapi aku tahu Edward akan ngotot mempertahankan syarat menikah yang diajukannya
waktu itu – karena ia
jelas ingin menunda mengubahku dan sejauh ini, taktiknya berhasil. Aku mencoba
membayangkan memberi tahu
kedua orang tuaku bahwa aku akan menikah musim panas ini. Memberi tahu Angela,
Ben. dan Mike. Aku tidak
sanggup. Aku tidak bisa membayangkan haus bilang apa. Lebih mudah memberi tahu
mereka bahwa aku akan
menjadi vampir. Dan aku yakin paling tidak ibuku,seandainya aku berniat
menceritakan hal sebenarnya
hingga sedetail – detailnya – bakal lebih mati-matian menentang rencanaku
menikah muda daripada menjadi
vampir. Aku meringis membayangkan ekspresi ngeri Renee.
Kemudian, sedetik saja, aku melihat visi aneh yang sama tentang Edward dan aku
duduk di ayunan teras, memakai baju dari dunia yang berbeda. Dunia tempat tidak
ada orang yang akan merasa aneh melihatku mengenakan cincin kawinnya di jariku.
Tempat yang lebih simpel, di mana cinta didefinisikan dengan cara-cara yang
lebih sederhana. Satu tambah satu sama dengan dua...
Jacob mendengus dan berguling ke samping. Lengannya terkulai dari punggung sofa
dan menindihku.
Astaga, berat sekali dia Dan panas. Baru beberapa detik saja, aku sudah
kepanasan. Aku berusaha menggeser tubuhku dari bawah lengannya tanpa membuatnya
terbangun, tapi aku harus mendorongnya sedikit, dan ketika lengannya terjatuh
dari tubuhku. matanya serta-merta terbuka. Ia melompat berdiri, memandang
berkeliling dengan gugup.
“Apa? Apa?” tanyanya, linglung.
"Hanya aku, Jake, Maaf aku membangunkanmu."
Jake menoleh dan menatapku, matanya mengerjap bingung.
"Bella!"
"Hei, tukang ngantuk."
"Oh, astaga! Aku ketiduran ya tadi. Maaf ya! Berapa lama aku tidur?"
"Beberapa dengkuran. Sudah tak bisa kuhitung lagi."
Jacob mengenyakkan bokongnya kembali ke sofa di sampingku. "Wow. Maafkan
aku soal tadi, sungguh."
Kutepuk-tepuk kepalanya, berusaha menghaluskan anakanak rambutnya yang awut-awutan.
"Jangan merasa tidak enak. Aku justru senang kau bisa tidur
sebentar."
Jacob menguap dan meregangkan otot-otornya. "Payah benar aku akhir-akhir
ini. Tidak heran Billy selalu pergi.
Aku sangat membosankan."
"Ah, itu tidak benar,” sanggahku.
"Ugh, ayo kita keluar. Aku perlu jalan-jalan sedikit, kalau tidak aku pasti
bakal teler lagi."
"Jacob, tidurlah lagi. Aku tidak apa-apa. Akan kutelepon Edward untuk
datang menjemputku." Kutepuk-tepuk
semua sakuku sambil bicara, dan baru sadar semuanya kosong. "Brengsek, aku
terpaksa pinjam teleponmu.
Ponselku pasti ketinggalan di mobil." Aku mulai beranjak untuk berdiri.
"'Jangan!" sergah Jacob, menyambar tanganku. "Tidak, jangan ke
mana-mana. Kau kan jarang bisa ke sini. Payah benar aku, menyia-nyiakannya
begitu saja."
Jacob menarikku turun dari sofa sambil bicara, kemudian membimbingku ke luar,
merunduk saat melewati ambang pintu. Cuaca semakin sejuk sementara Jacob tidur
tadi; sekarang hawa terasa menggigit padahal saat ini bukan musim dingin, pasti
akan ada badai. Rasanya sekarang seperti bulan Februari, bukan Mei.
Hawa yang dingin menggigit sepertinya membuat Jacob lebih sigap. Ia berjalan
mondar-mandir di depan rumah
selama semenit, menyeretku bersamanya.
"Bodoh benar aku," gerutunya pada diri sendiri.
“Ada apa, Jake. Kau kan hanya ketiduran tadi." Aku mengangkat bahu.
"Padahal sebenarnya aku ingin mengobrol denganmu. Benar-benar
keterlaluan."
"Bicaralah sekarang,” bujukku.
Jacob menatap mataku sebentar, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke
pepohonan. Pipinya tampak
merona merah, tapi itu sulit dipastikan karena kulitnya yang gelap. Mendadak
aku ingat apa yang dikatakan Edward tadi waktu ia menurunkan aku, bahwa Jacob
akan memberitahuku sendiri apa saja yang diteriakkannya dalam benaknya tadi.
Aku mulai menggigit-gigit bibir.
"Begini.” kata Jacob. "Sebenarnya aku berniat melakukannya dengan
cara sedikit berbeda." Ia tertawa,
dan kedengarannya seperti menertawakan diri sendiri.
"Cara yang lebih halus,” imbuhnya. "Sebenarnya aku berniat menyusun
kata-katanya dulu tapi” – ia memandang
awan-awan, yang semakin meredup seiring berlalunya sore – "aku tidak punya
waktu lagi untuk menyusunnya."
Jacob tertawa lagi, gugup. Kami masih berjalan mondarmandir dengan langkah
pelan.
"Kau bicara apa sih," desakku.
Jacob menghela napas dalam-dalam. "aku ingin mengatakan sesuatu padamu.
Sebenarnya kau sudah tahu...
tapi kupikir sebaiknya aku mengutarakannya secara terbuka. Sehingga tidak ada
lagi keraguan dalam hal ini."
Aku menjejakkan kakiku ke tanah, dan Jacob berhenti melangkah. Aku melepaskan
tanganku dari gandengannya, lalu bersedekap. Mendadak aku yakin tidak ingin mengetahui
pikiran yang berkecamuk dalam benaknya.
Alis Jacob berkerut, matanya yang menjorok masuk bagai dinaungi bayangan. Bola
matanya hitam pekat saat ia
menatapku dengan pandangan tajam menusuk.
"Aku mencintaimu, Bella," kata Jacob dengan nada mantap dan yakin.
"Bella, aku mencintaimu. Dan aku ingin
kau memilihku, bukan dia. Aku tahu kau tidak merasa seperti itu, tapi aku harus
menyatakan ini padamu supaya
kau tahu kau punya pilihan. Aku tidak mau ada salah komunikasi di antara
kita."
0 komentar:
Post a Comment