Eclipse Indonesia 11
11. LEGENDA
"Kau mau makan hot dog itu tidak?" Paul bertanya kepada Jacob,
matanya terpaku pada makanan terakhir
yang masih tersisa dari begitu banyaknya hidangan yang telah dihabiskan para
werewolf. Jacob bersandar di lututku dan memainkan hot dog yang ditusukkan ke
gantungan baju logam yang diluruskan; api di ujung api unggun menjilat-jilat
kulit sosis yang gosong. Ia mengembuskan napas dan menepuk-nepuk perutnya.
Entah
bagaimana perutnya masih datar, meskipun sudah tak bisa kuhitung lagi berapa
banyak hot dog yang dimakannya setelah yang kesepuluh,
"Kurasa begitu.” jawab Jacob lambat-lambat. "Perutku penuh sekali
hingga rasanya kepingin muntah, tapi kalau
kupaksa, sepertinya masih bisa, Tapi aku tidak akan menikmatinya sama sekali.”
Jacob mengembuskan napas
lagi dengan sedih.
Walaupun Paul sudah makan setidaknya sebanyak yang dimakan Jacob, ia memelototi
Jacob dan mengepalkan
kedua tinju.
"Waduh,” Jacob tertawa. "Bercanda, Paul. Ini.” Dilemparnya tusukan
buatan sendiri itu ke seberang
lingkaran. Kupikir hot dog-nya bakal jatuh mencium pasir, tapi dengan cekatan
Paul menangkap ujungnya tanpa
kesulitan. Bergaul dengan orang-orang yang luar biasa cekatan setiap saat,
lama-lama bakal membuatku minder.
"Trims, man,” seru Paul, sudah melupakan kemarahan singkatnya tadi.
Api berderak, semakin mendekat ke pasir. Bunga api meledak, tiba-tiba
menyemburkan seberkas warna jingga
terang di langit yang hitam. Lucu, aku tidak sadar matahari telah terbenam.
Untuk pertama kalinya aku ingin tahu
sudah selarut apa sekarang. Aku benar-benar lupa waktu. Ternyata lebih mudah
nongkrong dengan teman-teman Quileute-ku daripada yang kuduga.
Waktu Jacob dan aku mengantar sepeda motorku ke garasi-dan ia dengan muram
mengakui helm itu ide bagus
yang seharusnya terpikir olehnya-aku mulai khawatir memikirkan reaksi yang akan
kuterima saat muncul di acara
api unggun itu, Dalam hari aku bertanya-tanya apakah para werewolf akan
menganggapku pengkhianat sekarang.
Apakah mereka akan marah pada Jacob karena mengajakku? Apakah aku akan merusak
suasana pesta?
Tapi ketika Jacob menarikku keluar dari hutan ke tempat pertemuan di puncak
tebing-tempat api unggun sudah
menyala lebih terang daripada matahari yang tertutup awan-suasana begitu santai
dan ceria.
"Hai, cewek vampir!" Embry menyapaku dengan suara keras. Quil
melompat untuk tos dan mencium pipiku. Emily meremas tanganku waktu kami duduk
di tanah berbatu yang dingin di sampingnya dan Sam.
Selain beberapa keluhan bernada menyindir-kebanyakan dilontarkan Paul-tentang
membuat bau pengisap darah
tercium karena aku duduk searah dengan arah angin, aku diperlakukan sebagai
bagian dari kelompok ini.
Ternyata yang hadir bukan hanya anak-anak, Ada Billy, yang kursi radanya
ditempatkan di posisi kepala lingkaran.
Di sebelahnya, di kursi lipat, tampak sangat rapuh, duduk kakek Quil yang sudah
tua dan berambut putih, Quil Tua. Sue Clearwater, janda teman Charlie, Harry,
duduk di kursi di sebelah sang kakek: kedua anaknya, Leah dan Seth, juga ada di
sana, duduk di ranah seperti kami-kami yang lain. Ini membuatku terkejut, tapi
sekarang mereka bertiga jelas sudah mengetahui rahasia ini. Menilik cara Billy
dan Quil Tua berbicara kepada Sue, kedengarannya Sue menggantikan tempat Harry
di dewan. Apakah itu lantas membuat anak-anaknya otomatis menjadi anggota kelompok
paling rahasia di La Push?
Dalam hati aku bertanya-tanya, sulitkah bagi Leah duduk berseberangan dengan
Sam dan Emily? Wajah
cantiknya tak menunjukkan emosi apa pun, tapi ia tidak peruah mengalihkan pandangan
dari lidah api. Menatap garis-garis wajah Leah yang sempurna, aku tidak bisa
tidak membandingkannya dengan wajah Emily yang hancur, Apa pendapat Leah
tentang bekas luka Emily, setelah sekarang ia tahu hal sebenarnya di balik
bekas-bekas luka itu?
Si kecil Seth Clearwater sekarang tidak kecil lagi. Dengan seringaian lebarnya
yang ceria serta perawakannya
yang jangkung dan sangar, ia sangat mengingatkanku pada Jacob dulu. Kemiripan
itu membuatku tersenyum,
kemudian mendesah. Apakah Seth juga akan mengalami nasib yang sama, hidupnya
berubah drastis sebagaimana halnya cowok-cowok lain itu? Apakah karena masa
depan itu maka ia dan keluarganya diizinkan berada di sini?
Seluruh anggota kawanan ada di sana: Sam dengan Emily-nya, Paul, Embry, dan
Jared. dengan Kim, gadis
yang diimprint-nya. Kesan pertamaku terhadap Kim adalah bahwa ia gadis yang
baik, sedikit pemalu, dan agak biasa. Wajahnya lebar, dengan tulang pipi menonjol
dan mata yang kelewat kecil untuk mengimbanginya. Hidung dan mulutnya terlalu
lebar untuk standar kecantikan tradisional, Rambut hitam lurusnya tipis dan
lemas ditiup angin yang rasanya tak pernah mau berhenti bertiup di puncak
tebing seperti ini.
Itu kesan pertamaku. Tapi setelah beberapa jam memerhatikan Jared memandangi
Kim, aku tak lagi
menganggap gadis itu biasa-biasa saja. Cara Jared menatapnya! Seperti orang
buta melihat matahari untuk pertama kalinya. Seperti kolektor menemukan lukisan
Da Vinci yang belum ditemukan, seperti ibu menatap wajah anak yang baru
dilahirkannya.
Sorot mata Jared yang penuh kekaguman membuatku melihat hal-hal baru mengenai
Kim-bagaimana kulitnya
tampak bagaikan sutra cokelat kemerahan dalam nyala api, bagaimana bentuk bibirnya
merupakan kurva ganda yang sempurna, bagaimana gigi putihnya tampak sangat
indah mengintip di sela bibir itu, betapa panjang bulu matanya, menyapu pipinya
saat ia memandang ke bawah.
Kulit Kim terkadang berubah gelap saat matanya bertemu tatapan takjub Jared,
dan ia kemudian cepat-cepat
menunduk seolah malu, tapi ia sendiri tak bisa mengalihkan pandangannya dan
Jared untuk waktu cukup lama.
Memandangi mereka, aku merasa seolah-olah bisa lebih memahami apa yang
diceritakan Jacob padaku tentang
imprint sebelumnya-sulit menolak komitmen dan pemujaan dalam tingkat seperti
itu.
Kim kini duduk bersandar di dada Jared dengan kepala mengangguk-angguk, kedua
lengan Jared merangkulnya. Aku membayangkan Kim pasti merasa hangat sekali di sana.
"Sekarang sudah malam sekali,” bisikku pada Jacob.
“Jangan bicara begitu dulu.” Jacob balas berbisik walaupun jelas bahwa setengah
anggota kelompok di sini
memiliki pendengaran yang cukup sensitif untuk mendengar pembicaraan kami.
"Bagian terbaik justru belum
dimulai.”
"Bagian terbaik apa? Kau menelan sapi bulat-bulat?" Jacob
mengumandangkan tawanya yang serak dan
rendah. "Tidak. Itu penutupnya. Tujuan pertemuan itu bukan sekadar melahap
makanan yang jumlahnya cukup
untuk seminggu. Teknisnya, ini pertemuan dewan. Ini pertemuan pertama Quit dan
dia belum mendengar
ceritanya. Well, dia sudah mendengarnya, tapi ini pertama kalinya dia tahu
cerita-cerita itu benar, Itu cenderung membuat seseorang jadi lebih memerhatikan.
Kim, Seth, dan Leah juga baru pertama kali datang.”
"Cerita-cerita?"
Jacob cepat-cepat beringsut kembali ke sampingku, tempat aku bersandar di
tebing baru yang rendah. Ia
merangkul bahuku dan berbisik pelan di telingaku.
"Sejarah yang selama ini kami pikir hanyalah legenda,” kata Jacob.
"Kisah-kisah keberadaan kami. Yang pertama adalah kisah tentang para
pejuang roh.”
Hampir seolah-olah bisikan lirih Jacob merupakan kata pengantar pembuka cerita.
Atmosfer mendadak berubah di sekeliling api unggun yang berkobar rendah. Paul
dan Embry duduk lebih tegak. Jared menyenggol Kim dan
dengan lembut menarik tubuhnya agar duduk lebih tegak. Emily mengeluarkan buku
tulis berjilid spiral serta
bolpoin, lagaknya mirip pelajar yang siap mendengarkan kuliah penting. Sam
menggeser tubuhnya sedikit di
sampingnya-sehingga Sam kini menghadap ke arah yang sama dengan Quil Tua, yang
duduk di samping Sam-dan mendadak aku sadar para tua-tua dewan di sini
jumlahnya bukan tiga, melainkan empat.
Leah Clearwater, wajahnya masih berupa topeng cantik tanpa emosi, memejamkan mata-bukan
seperti sedang lelah, tapi seperti mencoba berkonsentrasi. Adik lelakinya mencondongkan
tubuh ke arah para tua-tua dengan penuh semangat.
Api berkeretak, percikan bunga api kembali terlontar, gemerlap di malam yang
gelap. Billy berdeham-deham membersihkan tenggorokan, dan, tanpa merasa perlu
memberi kata pengantar lagi, mulai mengisahkan ceritanya dengan suara yang
dalam dan berwibawa, Kata-katanya mengalir mantap, seolah-olah ia sudah
menghafalnya luar kepala, tapi juga dengan penuh perasaan dan irama yang halus.
Seperti puisi yang
dibacakan sendiri oleh penulisnya.
"Sejak awal suku Quileute merupakan suku kecil,” cerita Billy. "Dan
walaupun sampai sekarang jumlah kita masih sedikit, namun kita tidak pernah
punah. Ini karena sejak dulu ada suatu kekuatan magis dalam darah kita. Bukan kemampuan
berubah wujud-itu baru dimiliki belakangan. Awalnya, kita adalah pejuang roh.”
Sebelumnya aku tak pernah mengenali wibawa dalam suara Billy Black, walaupun
sekarang kusadari,
kewibawaan itu sejak dulu memang sudah ada. Bolpoin Emily meluncur cepat
menggores-gores permukaan kertas, berusaha mengimbangi penuturan Billy.
"Pada awalnya, suku kita berdiam di pantai ini dan menjadi pembuat kapal
serta nelayan yang ahli. Tapi suku
ini kecil, sementara pantai ini kaya ikan. Ada beberapa suku lain yang
menginginkan tanah kita, dan jumlah kita terlalu sedikit untuk mempertahankannya.
Suku lain yang lebih besar datang menyerang kita, dan kita menaiki kapal-kapal untuk
melarikan diri dari mereka.
"Kaheleha bukanlah pejuang roh pertama, tapi kami tidak ingat kisah-kisah
lain sebelum kisahnya. Kami tidak
ingat siapa yang pertama kali menemukan kekuatan ini, atau bagaimana kekuatan
itu digunakan sebelum krisis ini. Kaheleha adalah Kepala Suku Roh agung pertama
dalam sejarah kita. Dalam situasi yang genting ini, Kaheleha menggunakan kemampuan
itu untuk mempertahankan tanah kita.
"Dia dan semua pejuangnya meninggalkan kapal-bukan raga, melainkan roh
mereka. Kaum wanita menjaga raga mereka dan mengawasi ombak, sementara kaum
pria kembali ke pantai kita dalam wujud roh.
"Mereka tidak bisa menyentuh suku musuh secara fisik, tapi mereka punya
cara lain. Konon mereka bisa
meniupkan angin kencang ke perkemahan musuh; mereka bisa meniupkan angin dahsyat
yang melengking tinggi, membuat musuh-musuh mereka rakut. Konon, menurut cerita,
hewan-hewan bisa melihat para pejuang roh dan memahami mereka; hewan-hewan itu
bersedia melaksanakan perintah mereka.
"Kaheleha membawa pasukan rohnya dan- mengacau balaukan para pendatang tak
diundang itu, Suku penjajah
itu memiliki banyak kawanan anjing besar berbulu tebal yang mereka gunakan
untuk menarik kereta luncur di
daerah utara yang membeku. Para pejuang roh membuat anjing-anjing itu melawan
tuan mereka, kemudian
mendatangkan ribuan kelelawar dari gua-gua di tebing. Mereka menggunakan angin
yang melengking untuk
membantu anjing-anjing itu membuat bingung tuan mereka. Anjing dan kelelawar
menang. Mereka yang selamat
tercerai-berai, menyebut pantai kira tempat terkutuk. Anjing-anjing itu berlari
liar ketika para pejuang roh
melepaskan mereka. Kaum lelaki suku Quileute kembali ke tubuh dan istri mereka,
penuh kemenangan.
"Suku-suku lain yang tinggal berdekatan, suku Hoh dan Makah, membuat
perjanjian dengan suku Quileute. Mereka tidak mau terkena kekuatan magis kita.
Kita hidup damai berdampingan dengan mereka. Setiap musuh yang datang akan
dihalau oleh para pejuang roh.
"Beberapa generasi berlalu. Dan sampailah kita pada Kepala Suku Roh agung
terakhir, Taha Aki. Dia dikenal
bijaksana dan cinta damai. Rakyat hidup makmur dan bahagia di bawah
pemerintahannya.
"Tapi ada satu orang, Utlapa, yang merasa tidak puas.” Desisan rendah
terdengar dari sekitar api unggun. Aku
tidak sempat melihat dari mana suara itu berasal. Billy tidak menggubrisnya dan
melanjutkan penuturannya.
"Utlapa adalah salah seorang pejuang roh paling kuat yang dimiliki Kepala
Suku Taha Aki-berilmu tinggi, tapi
juga serakah. Dia berpendapat, rakyat seharusnya menggunakan kemampuan magis
mereka untuk menambah
luas wilayah kekuasaan, memperbudak suku Hoh dan Makah, dan membangun kerajaan.
"Perlu diketahui, saat para pejuang berada dalam bentuk roh, mereka saling
mengetahui pikiran yang lain. Taha Aki melihat apa yang diimpikan Utlapa, dan
marah padanya. Utlapa diperintahkan meninggalkan sukunya, dan tidak boleh lagi
menggunakan wujud rohnya. Utlapa lelaki kuat, tapi para pejuang yang setia
kepada Kepala Suku jauh lebih banyak. Dia tidak punya pilihan lain selain
pergi. Orang terbuang yang marah itu bersembunyi di dalam hutan di dekat situ,
menunggu kesempatan membalas dendam kepada Kepala Suku.
"Bahkan pada masa-masa damai, Kepala Suku Roh selalu waspada melindungi
rakyatnya. Sering kali dia pergi
ke tempat suci rahasia di pegunungan. Dia akan meninggalkan raganya dan terbang
melintasi hutan, menyusuri tepi pantai, memastikan tidak ada ancaman yang mendekat.
"Suatu hari, saat Taha Aki pergi untuk melaksanakan tugasnya , Utlapa
membuntuti. Awalnya, Utlapa banyak
berencana membunuh SI Kepala Suku, tapi rencana ini berbahaya. Jelas, para pejuang
roh akan mencarinya untuk menghabisinya, dan mereka bisa membuntutinya lebih cepat
daripada kemampuannya meloloskan diri, Ketika dia bersembunyi di balik bebatuan
dan melihat Kepala Suku bersiap-siap meninggalkan rubuhnya, rencana lain muncul
dalam benaknya.
"Taha Aki meninggalkan tubuhnya di tempat rahasia dan terbang bersama
angin agar tetap bisa mengawasi
rakyatnya. Utlapa menunggu sampai dia yakin wujud roh Kepala Suku sudah berada
cukup jauh.
"Taha Aki langsung tahu Urlapa bergabung dengannya dalam dunia roh, dan
dia juga tahu rencana kejam Utlapa. Dia bergegas kembali ke tempat rahasianya,
tapi bahkan angin pun tidak cukup cepat untuk menyelamatkannya. Waktu Taha Aki
sampai lagi di tempat rahasianya, tubuhnya sudah tidak ada. Tubuh Urlapa
tergeletak begitu saja di sana, tapi Utlapa tidak memberi kesempatan pada Taha
Aki untuk kembali ke dunia nyata-dia sudah menggorok lehernya sendiri dengan
tangan Taha Aki.
"Taha Aki mengikuti tubuhnya turun gunung. Dia berteriak pada Urlapa, tapi
Utlapa mengabaikannya, seolaholah
dia hanya angin biasa.
"Taha Aki melihat dengan putus asa bagaimana Urlapa mengambil tempatnya
sebagai kepala suku Quileute.
Selama beberapa minggu, Utlapa tidak melakukan apa-apa kecuali memastikan semua
orang percaya dia adalah Taha Aki. Lalu perubahan-perubahan pun
dimulai-perintah pertama Urlapa adalah melarang pejuang mana pun memasuki dunia
roh. Dia mengklaim telah mendapat visi akan terjadinya bahaya, padahal
sebenarnya dia takut. Dia tahu Taha Aki menunggu kesempatan untuk menceritakan hal
sebenarnya pada pejuang roh lain. Utlapa juga takut memasuki dunia roh, tahu Taha
Aki pasti bisa dengan cepat merebut kembali tubuhnya. Jadi impian Utlapa
menguasai dunia dengan para pejuang roh mustahil diwujudkan, dan dia menghibur
diri dengan bersikap sewenang-wenang terhadap sukunya. Dia menjadi
beban-meminta perlakuan khusus yang tidak pernah dilakukan Taha Aki, mengambil istri
kedua yang masih muda dan kemudian ketiga, padahal istri pertama Taha Aki masih
hidup-sesuatu yang tak pernah dilakukan kaum lelaki suku kita. Taha Aki melihat
itu semua dengan kemarahan yang tidak berdaya.
“Akhirnya, Taha Aki berusaha membunuh tubuhnya untuk menyelamatkan sukunya
dari kesewenang-wenangan
Utlapa. Dia membawa seekor serigala buas dari pegunungan, tapi Utlapa
bersembunyi di balik para pejuangnya. Waktu serigala itu membunuh seorang
pemuda yang melindungi kepala suku palsu, Taha Aki merasa sangat berduka dan
bersalah. Diperintahkannya serigala itu pergi.
"Semua kisah ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak mudah menjadi pejuang
roh, Lebih mengerikan daripada
menyenangkan saat terbebas dari raga kita, Inilah sebabnya mereka hanya menggunakan
kemampuan mereka saat benar-benar dibutuhkan. Perjalanan seorang diri sang Kepala
Suku untuk terus mengawasi rakyatnya menjadi beban sekaligus pengorbanan. Tidak
memiliki raga adalah hal yang membingungkan, tidak nyaman, dan mengerikan.
Taha Aki sudah begitu lama terpisah dengan tubuhnya hingga pada titik ini dia
merasa sangat menderita. Dia
merasa terperangkap-tidak akan pernah bisa menyeberang ke tanah akhir tempat
para leluhurnya menunggu,
terperangkap dalam ketiadaan yang menyiksa selamalamanya.
"Serigala besar itu mengikuti roh Taha Aki yang menggeliat-geliat dan
mengaduh-aduh penuh penderitaan
menembus hutan. Tubuh serigala itu sangat besar untuk jenisnya, dan rupawan.
Taha Aki tiba-tiba merasa iri
kepada hewan bodoh itu. Setidaknya hewan itu masih memiliki raga. Setidaknya
hewan itu masih memiliki kehidupan. Bahkan kehidupan sebagai binatang pun masih
lebih baik daripada kesadaran hampa yang mengerikan ini.
"Kemudian Taha Aki mendapat ilham yang mengubah kita semua. Dia meminta
kepada serigala besar itu untuk
memberi ruang bagi rohnya, untuk berbagi raga. Serigala itu setuju. Taha Aki
memasuki tubuh serigala itu dengan lega dan bersyukur. Memang bukan tubuh
manusianya. tapi ini lebih baik daripada kehampaan dunia roh.
"Sebagai satu rubuh, manusia dan serigala itu kembali ke perkampungan di
tepi pantai. Orang-orang berlarian
ketakutan, berteriak-teriak memanggil para pejuang. Para pejuang berhamburan keluar,
menyongsong serigala itu dengan tombak mereka, Utlapa, tentu saja, bersembunyi dengan
aman di dalam.
"Taha Aki tidak menyerang para pejuang. Perlahanlahan dia mundur dari
mereka, berbicara dengan matanya
dan berusaha melolongkan lagu-lagu rakyatnya. Para pejuang mulai menyadari
serigala itu bukan hewan
sembarangan, bahwa ada roh yang menguasainya. Salah seorang pejuang yang sudah
tua, lelaki bernama Yut,
memutuskan untuk melanggar perintah sang kepala suku palsu dan mencoba
berkomunikasi dengan serigala itu.
"Begitu Yut menyeberang ke dunia roh, Taha Aki keluar dari tubuh serigala-binatang
itu menunggu dia kembali
dengan sikap jinak-untuk bicara dengannya. Yut langsung mengetahui hal yang
sebenarnya, dan menyambut
kedatangan kembali si kepala suku yang asli.
"Kemudian Urlapa datang untuk melihat apakah serigala itu telah berhasil
dikalahkan. Ketika diliharnya Yut
tergeletak tanpa roh di tanah, dikelilingi para pejuang yang protekrif Utlapa
menyadari apa yang terjadi. Utlapa
langsung mencabut pisaunya dan menghambur untuk membunuh Yut sebelum dia bisa
kembali ke tubuhnya,
"'Pengkhianatt'seru Udapa, dan para pejuang itu tidak tahu harus berbuat
apa. Kepala Suku sudah melarang
mereka berkelana ke dunia roh, jadi kepala Suku berhak memutuskan bagaimana
menghukum mereka yang
melanggar perintahnya.
''Yut melompat kembali memasuki tubuhnya, tapi Utlapa menghunus pisaunya ke
leher Yut dan menutup mulutnya dengan tangan. Tubuh Taha Aki kuat, sementara
Yut sudah lemah karena usia. Yut tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun
untuk mengingatkan para pejuang lain sebelum Utlapa membungkamnya
selama-lamanya.
"Taha Aki melihat bagaimana roh Yut melayang ke negeri akhir yang tidak
boleh dimasuki Taha Aki untuk
selama-lamanya. Dia merasa sangat marah, kemarahannya jauh lebih dahsyat daripada
yang pernah dirasakannya sebelumnya. Dia memasuki tubuh serigala besar itu
lagi, bermaksud mengoyak-ngoyak leher Utlapa. Tapi saat dia menyatu dengan
serigala itu, keajaiban besar terjadi.
"Kemarahan Taha Aki adalah kemarahan seorang lelaki. Cintanya terhadap
rakyat dan kebenciannya terhadap orang yang menjajah mereka terlalu besar untuk
tubuh si serigala, terlalu manusia. Serigala itu bergetar, dan-di depan mata kepala
para pejuang dan Utlapa yang syok bukan kepalang berubah menjadi manusia,
"Lelaki baru itu tidak terlihat seperti tubuh Taha Aki, Dia jauh lebih
agung. Dia adalah perwujudan daging dari
roh Taha Aki. Tapi para pejuang langsung mengenalinya, karena mereka pernah
berkelana bersama roh Taha Aki.
"Utlapa mencoba lari, tapi Taha Aki memiliki kekuatan serigala dalam tubuh
barunya. Dia langsung menangkap si penjahat dan meremukkan rohnya sebelum dia
sempat melompat keluar dari tubuh curiannya.
"Rakyat bersorak-sorai begitu menyadari apa yang terjadi. Taha Aki dengan
cepat membenahi semuanya,
bekerja lagi bersama rakyatnya dan mengembalikan para istri muda ke keluarga
masing-masing. Satu-satunya
perubahan yang tetap dia pertahankan adalah berakhirnya perjalanan roh. Dia
tahu perjalanan roh terlalu berbahaya, karena bisa membuat seseorang mencuri
kehidupan orang lain. Dan pejuang roh pun menghilang.
"Mulai saat itu, Taha Aki bukan serigala, bukan pula manusia. Mereka
menyebutnya Taha Aki si Serigala Besar,
atau Taha Aki si Manusia Roh. Dia memimpin sukunya selama bertahun-tahun,
karena dia tidak pernah menua,
Bila bahaya mengancam, dia akan mengubah diri menjadi serigala untuk melawan
atau menakut-nakuti musuh.
Rakyat hidup dalam damai. Taha Aki memiliki banyak anak laki-laki, dan sebagian
dari mereka mendapati bahwa, setelah mencapai usia dewasa, mereka juga bisa
berubah bentuk menjadi serigala. Setiap serigala berbeda, karena mereka
serigala roh dan merefleksikan manusia yang berada dalam diri mereka.”
"Pantas bulu Sam seluruhnya berwarna hitam.” Gumam Quil pelan, nyengir.
"Hatinya hitam, bulunya hitam.”
Aku begitu terhanyut dalam kisah itu, hingga syok rasanya kembali ke masa kini,
ke kelompok yang duduk
mengitari api unggun yang mulai redup, Lagi-lagi dengan perasaan syok, sadarlah
aku bahwa orang-orang yang
duduk mengitari api unggun ini adalah cucu-cucu Taha Aki-entah keturunan
keberapa mereka.
Api melontarkan serentetan bunga api ke langit, lidahnya bergetar dan
menari-nari, memunculkan berbagai bentuk yang nyaris tak bisa dikenali.
"Kalau begitu bulumu yang cokelat melambangkan apa?" Sam balas
berbisik kepada Quil. "Berapa manisnya dirimu?"
Billy tak menggubris olok-olok mereka. "Sebagian anakanak lelaki itu
menjadi pejuang bersama Taha Aki, dan
mereka tidak lagi bertambah tua. Yang lain-lain, yang tidak menyukai
transformasi, menolak bergabung dengan
kawanan werewolf. Mereka mulai bertambah tua lagi, dan penduduk suku mendapati
bahwa werewolf bisa bertambah tua seperti yang lain bila mereka melepaskan roh
serigala mereka. Usia Taha Aki tiga kali lipat usia rata-rata manusia umumnya.
Dia menikahi istri ketiga setelah kematian dua istri pertamanya, dan menemukan
istri rohnya yang sejati dalam diri istri ketiganya . Walaupun dia juga
mencintai istri-istrinya yang lain, tapi ini berbeda. Dia memutuskan untuk
melepaskan serigala rohnya supaya bisa mati saat istrinya mati.
"Begitulah caranya kemampuan magis itu menurun pada kita, tapi ceritanya
belum berakhir sampai di sini....”
Ia memandangi Quil Ateara Tua yang bergerak di kursinya, menegakkan bahunya
yang ringkih. Billy minum
dari sebuah botol berisi air dan menyeka dahinya, Bolpoin Emily tidak pernah
ragu saat ia menulis dengan cepat di atas kertas.
"Itulah cerita tentang para pejuang roh.” Quil Tua memulai dengan suara
tenornya. "Dan inilah cerita
mengenai pengorbanan sang istri ketiga.”
"Beberapa tahun setelah Taha Aki melepaskan serigala rohnya, ketika dia
sudah tua, timbul kekacauan di utara,
dengan suku Makah. Beberapa wanita muda suku Makah lenyap, dan orang-orang Makah
menyalahkan para serigala tetangga mereka, yang ditakuti sekaligus tidak
dipercaya. Para werewolf masih bisa saling membaca pikiran saat sedang menjadi
serigala, sama seperti leluhur mereka saat dalam wujud roh. Mereka tahu tak
seorang pun di antara mereka bersalah. Taha Aki berusaha menenangkan kepala
suku Makah, tapi ketakutan terasa begitu kuat. Taha Aki tidak menginginkan terjadinya
perang. Dia bukan lagi pejuang yang memimpin pasukannya terjun ke medan perang.
Disuruhnya putra serigala tertuanya, Taha Wi, mencari si pembuat onar sebelum
timbul kerusuhan.
"Taha Wi memimpin lima serigala lain dalam kawanannya menyisiri seluruh wilayah
pegunungan, mencari bukti hilangnya orang-orang Makah. Mereka menemukan sesuatu
yang tidak pernah mereka temukan sebelumnya-aroma wangi manis yang aneh di
hutan yang membakar hidung mereka hingga terasa sangat menyakitkan.”
Aku beringsut lebih rapat lagi ke samping Jacob. Kulihat sudut mulutnya
berkedut-kedut senang, dan lengannya
memelukku semakin erat.
"Mereka tidak tahu makhluk apa yang bisa meninggalkan bau seharum itu,
tapi mereka mengikutinya.”
lanjut Quil Tua. Suaranya yang bergetar tidak sewibawa suara Billy, namun
memiliki secercah nada garang
mendesak yang aneh di dalamnya. Jantungku melompat ketika kata-katanya
berhamburan semakin cepat.
"Mereka menemukan samar-samar sisa bau manusia, juga bau darah manusia, di
sepanjang jalan. Mereka yakin
inilah musuh yang mereka cari-cari.
"Perjalanan itu membawa mereka sangat jauh ke utara sehingga Taha Wi
mengirim pulang setengah anggota
kawanan, serigala-serigala muda, kembali ke tepi pantai untuk melapor kepada
Taha Aki.
"Taha Wi dan kedua saudaranya tidak pernah kembali.
"Serigala-serigala muda itu mencari kakak-kakak mereka, tapi hanya
menemukan kesunyian. Taha Aki menangisi anak-anak Lelakinya yang hilang. Dia
pergi menemui kepala suku Makah dalam pakaian berkabung dan menceritakan semua yang
terjadi. Kepala suku Makah percaya melihat duka cita Taha Aki, dan ketegangan
di antara kedua suku mereda.
"Setahun kemudian, dua gadis Makah lenyap dari rumah mereka pada malam yang
sama, Suku Makah. Langsung memanggil para werewolf, yang menemukan bau harum yang
sama di seluruh penjuru perkampungan Makah. Serigala-serigala itu kembali
melakukan perburuan.
"Hanya satu yang kembali. Dia adalah Yaha Uta, anak sulung dari istri
ketiga Taha Aki, sekaligus yang termuda
dalam kawanan. Dia membawa sesuatu yang belum pernah dilihat suku Quileute sepanjang
sejarah-mayat aneh yang dingin dan keras seperti batu, yang dibawanya dalam bentuk
potongan-potongan. Semua keturunan Taha Aki, bahkan yang tidak pernah menjadi
serigala, bisa mencium bau menyengat dari makhluk mati itu. Inilah musuh suku Makah.
"Yaha Uta melukiskan apa yang terjadi: dia dan kakakkakaknya menemukan
makhluk itu, yang mirip manusia
tapi tubuhnya sekeras batu granit, bersama dua perempuan Makah. Satu dari kedua
gadis itu sudah mati, pucat pasi kehabisan darah, tergeletak di tanah. Gadis
yang satu lagi berada dalam dekapan makhluk itu, giginya menancap di leher si
gadis. Mungkin gadis itu masih hidup waktu mereka melihat pemandangan mengerikan
itu, tapi makhluk itu dengan cepat mematahkan leher si gadis dan mencampakkan
tubuhnya yang sudah tak bernyawa ke tanah waktu mereka mendekat, Bibir putihnya
berlumuran darah si gadis, dan matanya berkilau merah.
"Yaha Uta menggambarkan kekuatan serta kecepatan makhluk itu, Salah
seorang kakaknya langsung menjadi
korban ketika meremehkan kekuatannya. Makhluk itu mencabik-cabik tubuh kakaknya
seperti boneka, Yaha Uta
dan saudaranya yang lain lebih berhati-hati. Mereka bekerja sama, menyerang
makhluk itu dari berbagai sisi,
mengakalinya. Mereka harus mengerahkan segala daya dan kekuatan mereka sebagai
serigala, sesuatu yang tidak pernah teruji sebelumnya. Makhluk itu keras
seperti batu dan dingin seperti es. Mereka mendapati hanya gigi merekalah yang
bisa menghancurkan makhluk itu. Mereka mulai mencabik sedikit demi sedikit
anggota tubuh makhluk itu sementara makhluk itu melawan.
"Tapi makhluk itu cepat tanggap, dan tak lama kemudian mulai mengimbangi
manuver mereka. Dia berhasil
menangkap saudara Yaha Uta. Yaha Uta melihat celah di leher makhluk itu, lalu
menerkamnya. Giginya merobek kepala makhluk itu dari tubuhnya, tapi
tangan-tangan makhluk itu tetap mencoba meremukkan tubuh kakaknya.
"Yaha Uta mengoyak-ngoyak makhluk itu hingga tak bisa dikenali lagi,
mencabik-cabik tubuh makhluk itu dalam
upayanya menyelamatkan kakaknya. Dia terlambat, tapi, akhirnya, makhluk itu
berhasil dihancurkan.
"Atau begitulah perkiraan mereka. Yaha Uta meletakkan potongan-potongan
tubuh makhluk itu untuk diteliti para
tua-tua. Potongan tangan tergeletak di samping potongan lengan si makhluk yang
sekeras granit. Dua bagian tubuh itu saling menyentuh saat para tua-tua
menusuk-nusuknya dengan tongkat, dan potongan tangan menggapai potongan lengan,
berusaha menyatu kembali.
"Dengan penuh kengerian para tua-tua membakar sisasisa potongan tubuh itu.
Awan besar berbau harum
mengepul, mencemari udara. Setelah tidak tersisa apa-apa lagi kecuali abu,
mereka membagi-bagi abu itu ke kantongkantong kecil dan membuangnya ke berbagai
tempat terpisah-sebagian ke laut, sebagian ke hutan, sebagian lagi ke gua-gua
tebing. Taha Aki mengalungkan sebuah kantong di lehernya, agar dia tahu bila
makhluk itu berusaha menyatukan diri kembali.”
Quil Tua berhenti sebentar dan berpaling kepada Billy. Billy melepas kalung
kulit yang melingkari lehernya. Di
ujungnya tergantung kantong kecil, menghitam dimakan usia. Beberapa orang
terkesiap. Bisa jadi itu salah satu
kantong-kantong tersebut.
"Mereka menyebutnya Makhluk Dingin, Peminum Darah, dan mereka hidup
dalam ketakutan bahwa makhluk
itu tidak sendirian. Padahal hanya satu serigala pelindung yang tersisa, si
muda Yaha Uta.
"Mereka tidak perlu menunggu lama. Makhluk itu memiliki pasangan, juga
peminum darah, yang datang ke
perkampungan Quileute untuk membalas dendam.
"Konon Wanita Dingin itu makhluk paling cantik yang pernah dilihat
mata manusia. Dia bagaikan dewi fajar saat
memasuki perkampungan pagi itu; sekali itu matahari bersinar, dan cahayanya
berkilauan menerpa kulitnya yang
putih dan membakar rambut emasnya yang tergerai hingga ke lutut. Wajahnya sangat
rupawan, matanya hitam di wajahnya yang putih. Beberapa orang berlutut untuk memujanya.
"Dia menanyakan sesuatu dengan suara tinggi melengking, dalam bahasa yang
tak pernah didengar manusia. Orang-orang bingung, tidak tahu bagaimana menjawabnya.
Tidak ada keturunan Taha Aki di antara
para saksi mata kecuali seorang anak lelaki kecil. Dia mencengkeram baju ibunya
dan berteriak, mengatakan bau wanita itu menyengat hidungnya. Salah seorang
tua-tua, yang saat itu sedang dalam perjalanan ke tempat
pertemuan, mendengar perkataan bocah itu dan menyadari siapa yang berada di
antara mereka. Dia berteriak,
menyuruh orang-orang lari. Wanita itu membunuhnya pertama kali.
"Ada dua puluh saksi mata yang melihat kedatangan si Wanita Dingin. Dua
selamat, hanya karena perhatian
wanita itu teralih oleh darah, dan berhenti sebentar untuk memuaskan dahaganya.
Mereka berlari ke Taha Aki, yang duduk di ruang rapat bersama para tua-tua
lain, anak-anak lelakinya, dan istri ketiganya. .
"Yaha Uta langsung berubah menjadi serigala begitu mendengar kabar itu.
Dia pergi untuk menghancurkan si
peminum darah sendirian. Taha Aki, istri ketiganya, anakanak lelakinya, serta
para tua-tua mengikuti di belakangnya.
“Awalnya mereka tidak bisa menemukan makhluk itu, hanya bukti serangannya.
Mayat-mayat bergelimpangan,
beberapa kering tanpa darah lagi, beberapa berceceran di jalan tempatnya
menghilang. Kemudian mereka mendengar jeritan dan bergegas menuju tepi pantai.
"Beberapa gelintir orang suku Quileute berlari ke kapalkapal untuk
menyelamatkan diri. Wanita itu mengejar
seperti hiu, dan mematahkan haluan kapal dengan kekuatannya yang luar biasa.
Ketika kapal tenggelam, dia
menangkap orang-orang yang berusaha melarikan diri dengan berenang menjauh dan
menghabisi mereka juga.
"Begitu melihat serigala besar di tepi pantai, wanita itu langsung
melupakan orang-orang yang berenang menjauh. Secepat kilat dia berenang lagi ke
pantai, saking cepatnya hingga gerakannya tampak kabur, tubuhnya
menetesneteskan air, berdiri anggun di depan Yaha Uta. Wanita itu menudingnya
dengan telunjuknya yang putih dan mengajukan pertanyaan yang lagi-lagi tidak
bisa dimengerti. Yaha Uta menunggu.
"Pertarungan berlangsung sengit. Wanita itu tidak sekuat pasangannya. Tapi
Yaha Uta sendirian-tidak ada yang bisa membantunya mengalihkan kemarahan
makhluk itu.
"Waktu Yaha Uta kalah, Taha Aki menjerit tidak terima. Terpincang-pincang,
ia berjalan maju dan berubah menjadi serigala tua bermoncong putih. Serigala
itu sudah tua, tapi ini Taha Aki si Manusia Roh, dan amarah membuatnya kuat, Pertarungan
dimulai lagi.
"Istri ketiga Taha Aki baru saja melihat putranya tewas di depan mata
kepalanya sendiri. Sekarang suaminya
bertarung, dan dia tidak punya harapan suaminya bisa menang. Dia mendengar
setiap kata yang diceritakan si
saksi di hadapan dewan desa. Dia juga mendengar cerita tentang kemenangan pertama
Yaha Uta, dan tahu bahwa Yaha Uta selamat karena saudara lelakinya mengalihkan perhatian
makhluk itu darinya.
"Si istri ketiga menyambar pisau dari sabuk salah seorang putra yang
berdiri di sampingnya. Mereka semua masih muda, belum dewasa, dan si istri tahu
mereka pasti mati bila ayah mereka gagal.
"Si istri ketiga menghambur ke arah si Wanita Dingin dengan pisau
terangkat tinggi-tinggi. Si Wanita Dingin
tersenyum, perhatiannya nyaris tidak teralihkan dari pertarungannya dengan si
serigala tua. Dia tidak takut pada
manusia wanita yang lemah atau pisau yang bahkan tidak akan menggores kulitnya,
dan dia sudah bersiap-siap
melayangkan pukulan kematian ke arah Taha Aki.
"Kemudian si istri ketiga melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka
sama sekali oleh si Wanita Dingin. Dia
berlutut di kaki si peminum darah dan menusukkan pisau itu ke jantungnya
sendiri.
"Darah muncrat dari sela-sela jari si istri ketiga dan mengenai si Wanita
Dingin. Si peminum darah tak mampu
menahan godaan darah segar yang mengalir dari tubuh istri ketiga. Secara
instingtif dia berpaling ke wanita yang sekarat itu, sesaat terhanyut dahaganya
sendiri.
"Gigi Taha Aki langsung menjepit lehernya.
"Itu bukan akhir pertarungan, tapi Taha Aki sekarang tidak sendirian.
Menyaksikan ibu mereka sekarat, dua anak
lelaki yang masih muda merasakan kemarahan yang meluap-luap hingga mereka
menerjang maju sebagai
serigala roh, meskipun mereka belum dewasa. Bersama ayah mereka, mereka
menghabisi makhluk itu.
"Taha Aki tidak pernah bergabung kembali dengan sukunya. Dia tidak pernah
berubah menjadi manusia lagi.
Dia berbaring selama satu hari di samping jenazah istri ketiganya, menggeram
setiap kali ada yang berusaha
menyentuh jenazah istrinya, kemudian Taha Aki pergi ke hutan dan tidak pernah
kembali.
"Sejak saat itu, masalah dengan makhluk-makhluk dingin jarang terjadi.
Para putra Taha Aki menjaga suku
sampai anak-anak lelaki mereka cukup tua untuk menggantikan. Tidak pernah ada
lebih dari tiga serigala
pada saat bersamaan. Itu sudah cukup. Sesekali peminum darah melewati wilayah
ini, tapi mereka terkejut karena tidak mengira sama sekali akan berhadapan
dengan serigala-serigala. Kadang-kadang ada serigala yang tewas, tapi tidak
pernah sampai habis total seperti waktu pertama kali. Mereka sudah belajar
bagaimana bertarung dengan para makhluk dingin, dan mereka mewariskan
pengetahuan itu turun-temurun, dari pikiran serigala ke pikiran serigala lain,
dari roh ke roh, dari ayah ke anak lelaki.
"Waktu berlalu, dan keturunan Taha Aki tidak lagi menjadi serigala saat
mereka mencapai usia dewasa. Hanya
sesekali, bila ada makhluk dingin di sekitar mereka, barulah serigala-serigala
itu muncul lagi. Makhluk-makhluk dingin selalu datang sendiri atau berpasangan,
dan kelompok mereka tetap kecil,
"Kelompok yang lebih besar datang, dan kakek buyut kalian bersiap-siap
bertarung untuk mengusir mereka. Tapi
pemimpin mereka berbicara dengan Ephraim Black seolaholah dia manusia, dan berjanji
tidak akan mencelakakan suku Quileute. Mata kuningnya yang aneh menjadi bukti ucapannya
bahwa mereka tidak sama dengan para peminum darah lain. Jumlah serigala kalah
banyak dibanding jumlah mereka; makhluk-makhluk dingin itu tidak perlu menawarkan
kesepakatan karena mereka sebenarnya bisa memenangkan pertarungan. Ephraim setuju.
Mereka menepati janji mereka, walaupun kehadiran mereka cenderung menarik yang
lain-lain untuk datang.
"Dan jumlah mereka memaksa munculnya kawanan yang lebih besar daripada
yang pernah dilihat suku ini.”
lanjut Quil Tua, dan sejenak, mata hitamnya yang tersembunyi di balik
lipatan-lipatan keriput, seolah tertuju
padaku. "Kecuali, tentu saja, pada masa Taha Aki,” ujarnya. kemudian
mendesah. "Karena itu, anak-anak lelaki
suku kita lagi-lagi harus menanggung beban dan harus berkorban sebagaimana
halnya ayah-ayah mereka dulu.”
Semua terdiam untuk waktu yang lama. Para keturunan hidup dari kemampuan magis
dan legenda berpandangan satu sama lain di sekeliling api unggun, kesedihan membayang
di mata mereka. Semua kecuali satu.
"Beban,” dengus orang itu dengan suara rendah.
"Menurutku ini justru keren" Bibir bawah Quil yang tebal sedikit
mencebik.
Di seberang api unggun yang mulai meredup, Seth Clearwater – matanya membelalak
karena kekaguman
terhadap para pelindung suku – mengangguk setuju. Billy terkekeh, tawanya
rendah dan panjang, dan
suasana magis seakan memudar seiring dengan bara api yang semakin meredup.
Tiba-tiba kelompok ini kembali
menjadi lingkaran teman, Jared melemparkan kerikil ke arah Quil, dan semua tertawa
saat batu itu membuatnya
melompat kaget. Obrolan pelan berdengung di sekeliling kami, menggoda dan
santai.
Mata Leah Clearwater terap terpejam. Rasanya aku melihat sesuatu berkilau di
pipinya seperti air mata, tapi
waktu aku menoleh kembali sejurus kemudian, kilauan itu sudah lenyap.
Baik aku maupun Jacob tidak berbicara. Tubuhnya diam tak bergerak di sampingku,
tarikan napasnya dalam dan
teratur, dan kupikir dia pasti sudah hampir tertidur, Pikiranku berkelana jauh
sekali. Aku tidak memikirkan
Yaha Uta atau serigala-serigala lain, atau si Wanita Dingin yang cantik
jelita-mudah sekali membayangkannya. Tidak, aku memikirkan seseorang di luar
lingkaran magis itu. Aku sedang berusaha membayangkan wajah wanita tak bernama yang
telah menyelamatkan seluruh suku, si istri ketiga. Hanya wanita biasa, tanpa
bakat ataupun kemampuan istimewa. Secara fisik lebih lemah dan lebih lamban daripada
monster apa pun dalam legenda. Tapi justru dialah yang menjadi kunci, solusi. Ia menyelamatkan
suaminya, anak-anak lelakinya yang masih muda, sukunya.
Kalau saja mereka ingat siapa namanya. Ada yang mengguncang-guncang lenganku.
''Ayo, Bells,” bisik Jacob di telingaku. "Kita sudah sampai.” Aku
mengerjap-ngerjapkan mata, bingung karena
api separonya sudah lenyap. Aku melotot memandangi kegelapan yang tidak
disangka-sangka, berusaha mengenali keadaan di sekelilingku. Butuh waktu
semenit untuk menyadari bahwa aku sudah tidak lagi berada di tebing.
Aku hanya bersama Jacob. Aku masih berada dalam pelukannya, tapi tidak lagi
berbaring di tanah.
Bagaimana aku bisa berada di mobil Jacob? "Oh, brengsek!" aku
terkesiap kaget begitu sadar aku
tertidur, “Jam berapa sekarang? Brengsek, mana telepon bodoh itu?"
Kutepuk-tepuk saku baju dan celanaku,
kebingungan waktu tidak mendapati benda itu di mana pun.
"Tenanglah. Tengah malam saja belum. Dan aku sudah menelepon dia untukmu.
Lihat-dia sudah menunggu di
sana.”
"Tengah malam?" ulangku dengan sikap bodoh, masih linglung. Aku
memandang kegelapan, dan jantungku
berdebar begitu mataku mengenali sosok Volvo, hampir tiga puluh meter jauhnya.
Tanganku meraih handel pintu.
"Ini,” kata Jacob, meletakkan sesuatu di telapak tanganku yang lain.
Ponselku.
"Kau menelepon Edward untukku?'
Mataku sudah bisa menyesuaikan diri dengan kegelapan hingga bisa melihat senyum
Jacob yang cemerlang.
"Kupikir, kalau aku baik-baik dengannya, aku bisa lebih sering bertemu
denganmu.”
"Trims, Jake,” ujarku, terharu. "Sungguh, terima kasih. Dan terima
kasih sudah mengundangku malam ini. Acara
tadi...” Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan katakata.
"Wow. Lain daripada yang lain.”
"Padahal kau bahkan tidak sempat bangun untuk melihatku menelan sapi
bulat-bulat.” Jacob tertawa.
"Tidak, aku senang kau menyukainya. Rasanya... menyenangkan. Karena ada
kau di sana Tampak gerakan-gerakan dalam gelap di kejauhan –sesuatu yang pucat
bergerak-gerak di antara pepohonan hitam. Berjalan mondar-mandir?
"Yeah, dia sudah tidak sabar lagi, ya?” ujar Jacob, melihat
perhatianku tertuju ke sana. "Pergilah. Tapi
cepatlah kembali lagi,oke?"
"Tentu, Jake,” janjiku, membuka pintu mobil secelah, Hawa dingin menyerbu
masuk, menerjang kakiku dan
membuatku gemetaran.
"Tidur yang nyenyak, Bells. Jangan khawatirkan apa-apa aku akan
menjagamu malam ini.”
Aku terdiam, satu kaki menginjak tanah. "Tidak usah, Jake. Istirahat
sajalah, aku baik-baik saja.”
"Tentu, tentu,” sahut Jacob, tapi nadanya lebih terkesan meremehkan
daripada setuju.
"Malam, Jake. Trims.”
"Malam, Bella.” bisiknya sementara aku bergegas memasuki kegelapan. Edward
menyambutku di garis perbatasan.
"Bella,” sambutnya, kentara sekali terdengar lega; lengannya memelukku
erat-erat.
"Hai, Maaf aku lama sekali, Aku ketiduran dan-"
“Aku tahu. Jacob sudah menjelaskan,” Ia mulai melangkah menuju mobil dan aku
berjalan tersaruk-saruk di
sampingnya. "Kau capek? Aku bisa menggendongmu.”
"Tidak usah.”
“Ayo, kuantar kau pulang, supaya kau bisa tidur. Kau senang di sana?"
"Yeah – benar-benar luar biasa, Edward. Kalau saja kau bisa datang. Aku
bahkan tidak bisa menjelaskannya. Ayah Jake menceritakan pada kami
legenda-legenda kuno dan rasanya begitu... begitu magis.”
"Kau harus menceritakannya padaku. Tapi kau harus tidur dulu.”
''Aku tidak akan bisa menceritakannya dengan benar..,” sergahku, kemudian
menguap lebar-lebar,
Edward terkekeh. Ia membukakan pintu untukku, mengangkat dan mendudukkanku di
dalam mobil, lalu
memasangkan sabuk pengaman. Nyala lampu terang-benderang menerpa kami. Aku melambaikan
tangan ke arah lampu mobil Jacob, tapi tidak tahu apakah ia bisa melihatnya.
Malam itu – setelah berhasil melewati Charlie, yang tidak mengomeliku seperti
dugaanku sebelumnya karena
Jacob ternyata sudah meneleponnya juga – aku bukannya langsung ambruk ke tempat
tidur, tapi malah
mencondongkan tubuh di ambang jendela yang terbuka, menunggu Edward kembali. Malam
ini dingin sekali, nyaris seperti musim dingin. Aku tidak menyadarinya sama
sekali saat berada di tebing yang berangin; kupikir, pasti itu bukan karena
duduk dekat api unggun, tapi karena duduk di sebelah Jacob.
Tetes-tetes air hujan sedingin es menerpa wajahku saat hujan mulai turun.
Keadaan terlalu gelap untuk melihat hal lain selain segitiga-segitiga hitam
pohon cemara yang meliuk dan
menggeletar akibat tiupan angin. Tapi aku terap membuka mataku lebar-lebar,
mencari bentuk-bentuk lain di tengah badai. Siluet pucat, bergerak bagaikan
hantu menembus kegelapan yang hitam pekat atau mungkin bayangan samar serigala
besar... Tapi mataku terlalu lemah.
Kemudian tampak gerakan di tengah kegelapan, tepat di sebelahku. Edward
menyelinap masuk melalui jendela
kamarku yang terbuka, tangannya lebih dingin daripada hujan.
''Apakah Jacob ada di luar sana?" tanyaku, tubuhku gemetar saat Edward
meraihku ke dalam pelukannya.
"Ya... di suatu tempat. Dan Esme sedang dalam perjalanan pulang.”
Aku mendesah. "Cuaca sangat dingin dan basah. Ini konyol.” Lagi-lagi aku
gemetaran.
Edward terkekeh. "Yang merasa dingin hanya kau,Bella.”
Dalam mimpiku malam itu, hawa juga dingin, mungkin karena aku tidur dalam
pelukan Edward. Tapi dalam
mimpiku, aku berada di luar di tengah badai, angin melecut rambutku ke wajah
dan membutakan mataku. Aku berdiri di
pantai First Beach yang melengkung bagai bulan sabit dan berbatu-batu, berusaha
memahami bentuk-bentuk yang bergerak cepat, yang hanya bisa kulihat samar-samar
dalam gelap di pinggir pantai. Awalnya tidak ada apa-apa kecuali sekelebat
warna putih dan hitam, saling melesat menghampiri dan menari menjauh. Kemudian,
seolah-olah bulan mendadak muncul dari balik awan-awan, aku bisa melihat
semuanya.
Rosalie, dengan rambut menjuntai basah dan keemasan hingga ke belakang lututnya,
menerjang ke arah serigala raksasa-moncongnya berkelebat keperakan-yang
seketika itu juga kukenali sebagai Billy Black.
Aku berlari kencang, tapi sungguh membuat frustrasi, ternyata aku hanya bisa
berlari sangat pelan, seperti dalam gerak lambat. Aku berusaha berteriak pada
mereka, meminta mereka berhenti, tapi suaraku diterbangkan angin, dan aku tak
sanggup bersuara. Aku melambai-lambaikan kedua lengan, berharap bisa menarik
perhatian mereka.
Sesuatu berkelebat di tanganku,
dan untuk pertama kali baru aku menyadari tangan kananku memegang sesuatu. Aku
memegang pisau panjang dan tajam, kuno dan berwarna perak, bilahnya ternoda
darah kering yang telah menghitam. Aku mengernyit ngeri melihat pisau itu, dan
mataku mendadak terbuka, melihat kegelapan yang tenang di kamarku. Hal pertama
yang kusadari adalah aku tidak sendirian, dan aku berpaling untuk membenamkan
wajahku ke dada Edward, tahu wangi kulitnya pasti akan mengusir mimpi buruk itu
jauh-jauh, lebih efektif daripada hal lain.
“Aku membuatmu terbangun, ya?” bisik Edward.
Terdengar suara kertas, seperti gemersik halaman, disusul kemudian dengan suara
berdebum pelan, seolah-olah ada benda ringan membentur lantai kayu.
"Tidak.” gumamku, mendesah senang saat lengan Edward memelukku erat. Aku
tadi bermimpi buruk."
"Mau menceritakannya padaku?"
Aku menggeleng. "Terlalu capek. Mungkin besok pagi, kalau ingat.”
Aku merasakan tawa tanpa suara mengguncang tubuh Edward.
"Besok pagi.” Edward setuju.
"Kau sedang membaca apa?" gumamku, belum sepenuhnya terbangun.
"Wuthering Heights,” jawab Edward. Aku mengerutkan kening walaupun masih
mengantuk.
"Katamu kau tidak suka buku itu.”
"Kau meninggalkannya di sini.” bisik Edward. Suara lembutnya membuaiku
kembali ke ketidaksadaran. "Lagi
pula... semakin sering aku menghabiskan waktu denganmu, semakin banyak emosi
manusia yang sepertinya bisa kupahami. Ternyata aku bisa bersimpati pada
Heathcliff dalam hal-hal yang sebelumnya kupikir pasti mustahil.”
"Mmm.” desahku.
Ia mengatakan sesuatu yang lain, suaranya pelan, tapi aku sudah kembali pulas.
Esok paginya cuaca kelabu putih dan tenang. Edward menanyakan mimpiku, tapi aku
tidak bisa mengingatnya.
Yang kuingat hanyalah bahwa aku kedinginan, dan bahwa aku senang ia ada di sana
waktu aku bangun. Edward menciumku, cukup lama untuk membuatku detak nadiku berpacu,
kemudian pulang untuk berganti baju dan mengambil mobilnya. Aku cepat-cepat
berpakaian, tak punya banyak pilihan.
Siapa pun yang mengacak-acak keranjang pakaian kotor berhasil merusak koleksi
bajuku. Seandainya tidak
mengerikan, situasi ini pasti sangat menjengkelkan. Aku baru hendak turun untuk
sarapan waktu mataku
tertumbuk pada novel Wuthering Heights-ku yang sudah lusuh, tergeletak dalam
posisi terbuka di lantai tempat
Edward menjatuhkannya semalam, jilidnya yang sudah rusak tidak pernah mau menutup
sendiri, sehingga bagian yang terakhir kali dibacanya tetap terbuka, seperti
yang selalu terjadi setiap kali aku habis membaca buku itu.
Ingin tahu, aku memungut buku itu, berusaha mengingat perkataan Edward semalam.
Kalau tidak salah ia bersimpati pada Heathcliff, aneh sekali. Itu pasti tidak
benar; aku pasti hanya memimpikan bagian itu.
Mataku tertumbuk pada dua kata di halaman yang terbuka itu, dan aku menundukkan
untuk membaca
paragraf itu lebih saksama. Itu bagian di mana Heathcliff berbicara, dan aku
sangat mengenal kalimat itu,
Dan bisa kulihat perbedaan di antara perasaan kami, seandainya ia berada dalam
posisiku,walaupun aku sangat
membencinya dengan kebencian yang mengubah hidupku menjadi empedu, aku tidak
akan pernah mencelakakannya. kau mungkin tidak percaya itu, terserah kau! Aku
tidak akan melenyapkan lelaki itu dari lingkungan si wanita selama si wanita
masih menginginkannya. Begitu si wanita tidak menghendakinya lagi,
aku akan mengoyak jantungnya dan meminum darahnya! Tapi hingga saat itu datang,
kalau kau tidak percaya padaku, berati kau tidak kenal aku, hingga saat itu,
lebih baik aku mati daripada menyentuh rambutnya sehelaipun.
Dua kata yang menarik perhatianku adalah "meminum darahnya”.
Aku bergidik.
Ya, jelas aku pasti hanya bermimpi mendengar Edward memberi komentar positif tentang
Heathcliff. Dan halaman ini mungkin bukan halaman yang dibacanya semalam. Bisa saja
buku ini terbuka di halaman ini secara tidak sengaja waktu terjatuh semalam.
0 komentar:
Post a Comment