Eclipse Indonesia 17
17. SEKUTU
"BELLA?" Suara lembut Edward terdengar dari belakangku. Aku berbalik
dan melihatnya berlari lincah menuruni undakan teras, rambutnya berantakan
karena berlari. Ia langsung memelukku, sama seperti yang dilakukannya di
lapangan parkir tadi, dan menciumku lagi. Ciuman ini membuatku takut. Terlalu
banyak ketegangan dan kegelisahan yang kurasakan dari caranya melumat bibirku,
seakan-akan Edward takut kami tak punya banyak waktu lagi bersama-sama. Aku tak
boleh membiarkan diriku berpikir seperti itu. Tidak kalau aku harus bersikap
sebagaimana layaknya manusia normal beberapa jam ke depan. Aku melepaskan diri
darinya.
"Mari segera kita akhiri pesta konyol ini,” gumamku, tak sanggup menatap
matanya.
Edward merengkuh wajahku dengan dua tangan, menunggu sampai aku mendongak.
"Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi pada dirimu." Kusentuh
bibirnya dengan jari-jari tanganku yang sehat.
"Aku tidak terlalu mengkhawatirkan diriku kok.”
"Kenapa aku tidak terlalu kaget mendengarnya, ya?" Edward menggerutu
sendiri. Ia menarik napas dalamdalam,
kemudian tersenyum kecil. "Siap berpesta?" tanyanya.
Aku mengerang.
Edward memegangi pintu untukku, lengannya tetap memeluk pinggangku. Sejenak aku
berdiri membeku di
sana, lalu menggelengkan kepala lambat-lambat.
"Tak bisa dipercaya.”
Edward mengangkat bahu. “Begitulah Alice.” Bagian dalam rumah keluarga Cullen
telah diubah menjadi kelab malam – bukan seperti kelab malam yang sering
dijumpai di kehidupan nyata, hanya di TV.
"Edward!" seru Alice dari sebelah pengeras suara berukuran raksasa.
''Aku membutuhkan saranmu.” Ia
melambaikan tangan ke arah tumpukan CD. ''Apakah sebaiknya kita beri mereka
lagu-lagu yang familier dan
menghibur Atau" – ia melambaikan tangan ke tumpukan lain –" mendidik
selera musik mereka?"
"Yang menghibur saja,” Edward merekomendasikan.
"Kuda hanya mau dituntun ke air.”
Alice mengangguk serius, dan mulai melemparkan CDCD musik yang
"mendidik" itu ke dalam kotak.
Kuperhatikan ia sudah mengganti bajunya dengan tank top berhias manik-manik
dipadu celana kulit merah. Kulitnya yang telanjang bereaksi ganjil di bawah
lampu-lampu merah dan ungu yang berkedip-kedip.
"Sepertinya dandananku kurang heboh.”
"Dandananmu sempurna,” bantah Edward tak sependapat.
"Kau lumayan,” Alice mengoreksi.
"Trims.” Aku mendesah. "Menurutmu, mereka bakal datang tidak?"
Siapa pun bisa mendengar nada berharap
dalam suaraku. Alice mengernyit padaku.
"Semua akan datang,” jawab Edward. "Mereka semua sudah tak sabar lagi
ingin melihat bagian dalam rumah
keluarga Cullen yang terpencil dan misterius.”
"Wow, keren,” erangku.
Ternyata aku tak perlu membantu. Aku ragu – bahkan nanti setelah aku tidak lagi
butuh tidur dan bisa bergerak
jauh lebih cepat – aku akan bisa menandingi kesigapan Alice dalam mengurus
segala sesuatu. Edward menolak melepaskanku meskipun hanya sedetik, menyeretku
ke sana kemari sementara ia mencari Jasper dan Carlisle untuk menceritakan
tentang teoriku. Aku mendengarkan sambil berdiam diri dengan perasaan ngeri saat
mereka mendiskusikan serangan terhadap pasukan vampir di Seattle. Kentara
sekali Jasper tidak senang dengan perbandingan jumlah yang ada, tapi mereka tak
bisa menghubungi siapa pun kecuali keluarga Tanya yang tidak
bersedia membantu. Tidak seperti Edward, Jasper tidak berusaha menyembunyikan
perasaan putus asanya. Kentara sekali ia tidak suka berjudi dengan taruhan
sedemikian tinggi.
Aku tak sanggup ditinggal sendiri, menunggu dan berharap mereka kembali Aku tak
sanggup. Bisa-bisa aku
gila. Bel pintu berdering.
Dalam sekejap suasana langsung berubah normal. Senyum hangat dan ramah
menggantikan ketegangan di
wajah Carlisle. Alice mengeraskan volume musik, dan dengan lincah meluncur
menuju pintu. Ternyata yang datang satu mobil Suburban penuh berisi teman-temanku,
entah terlalu gugup atau terlalu terintimidasi untuk datang sendiri-sendiri.
Jessica orang pertama yang muncul di pintu, disusul Mike di belakangnya. Lalu
Tyler, Conner, Austin, Lee, Samantha...bahkan Lauren membuntut di belakang,
matanya yang kritis berbinar-binar dengan perasaan ingin tahu. Mereka semua
penasaran, dan langsung ternganga takjub melihat ruangan besar yang ditata
menyerupai tempat nongkrong yang chic. Ruangan itu tidak kosong, seluruh
anggota keluarga Cullen sudah siap di tempat masing-masing, siap berperan dalam
sandiwara manusia mereka yang sempurna
seperti biasa. Malam ini aku merasa seperti sedang berakting, sama seperti
mereka.
Aku pergi untuk menyapa Jess dan Mike, berharap nada gugup dalam suaraku dianggap
sebagai ekspresi kegirangan. Belum sempat beranjak untuk menyapa temanku yang
lain, lagi-lagi bel pintu berdering. Kupersilakan Angela dan Ben masuk,
membiarkan pintu terbuka lebar, karena melihat Eric dan Katie hendak menaiki
undakan.
Aku tidak sempat lagi merasa panik. Aku harus mengobrol dengan semua orang,
mencurahkan segenap
konsentrasi untuk menjadi tuan rumah yang ceria. Meski sebenarnya ini pesta patungan
antara Alice, Edward, dan aku., namun tak dapat disangkal akulah sasaran yang
paling populer untuk diberi ucapan selamat dan terima kasih.
Mungkin karena keluarga Cullen terlihat agak asing di bawah lampu-lampu pesta
yang dipasang Alice. Mungkin
karena lampu-lampu itu membuat ruangan menjadi remang-remang dan terkesan
misterius. Bukan atmosfer
yang bisa membuat kebanyakan manusia merasa rileks berdiri di sebelah orang
seperti Emmett. Kulihat Emmett
nyengir kepada Mike saat mereka bertemu di meja hidangan, kilauan lampu merah
menerpa giginya, dan Mike
langsung mundur selangkah.
Mungkin Alice sengaja melakukannya, memaksaku menjadi pusat perhatian posisi
yang menurutnya
seharusnya bisa lebih kunikmati. Ia tak bosan-bosan berusaha membuatku jadi manusia
seperti yang
dibayangkannya. Jelas pesta ini sukses besar, walaupun para tamunya secara
naluriah gelisah karena kehadiran keluarga Cullen –atau mungkin itu justru
menjadi bumbu yang semakin menyemarakkan suasana pesta. Musiknya menular,
lampulampunya nyaris menghipnotis. Menilik cepatnya makanan habis, hidangan
pestanya pasti juga lezat. Sebentar saja ruangan sudah penuh, meski tidak
sampai menyesakkan.
Seluruh murid kelas senior sepertinya ada di sini, begitu juga sebagian besar
murid junior. Tubuh-tubuh bergoyang mengikuti irama yang bergetar di bawah
telapak kaki mereka, pestanya nyaris berubah menjadi ajang dansadansi. Ternyata
memang tidak sesulit yang kukira. Aku mengikuti teladan yang ditunjukkan Alice,
berbaur dan mengobrol sebentar dengan semua orang. Sepertinya mereka cukup
gampang disenangkan. Aku yakin pesta ini jauh lebih keren daripada pesta mana
pun yang pernah diadakan di Forks. Alice nyaris mendengkur saking bangganya –
tak seorang pun di sini yang bakal melupakan malam ini.
Aku sudah mengitari ruangan satu kali, dan sampai lagi di Jessica. Ia mengoceh
penuh semangat, dan aku tidak
perlu terlalu menyimak, karena besar kemungkinan ia tidak membutuhkan responsku.
Edward berdiri di sebelahku – tetap menolak membiarkanku sendirian. Tangannya
mesra memeluk pinggangku, sesekali mendekapku lebih erat, mungkin sebagai
respons atas berbagai pikiran yang tak ingin kudengar.
Itu sebabnya aku langsung curiga waktu ia melepaskan pelukannya dari pinggangku
dan beringsut menjauhiku.
“Jangan ke mana-mana,” bisiknya di telingaku.
"Sebentar lagi aku kembali.”
Edward berjalan anggun menerobos kerumunan, kelihatannya sama sekali tidak
menyentuh tubuh-tubuh
yang berdiri berdekatan, begitu cepatnya ia lenyap sampaisampai aku tak sempat
bertanya kenapa ia pergi.
Kupandangi ia dengan mata menyipit sementara Jessica berteriak-teriak penuh
semangat meningkahi suara musik menggayuti sikuku, tidak sadar perhatianku
sedang di tempat lain.
Kulihat Edward mencapai bayang-bayang gelap di sebelah pintu dapur. Di sana
lampu hanya bersinar temaram. Ia membungkuk di atas seseorang, tapi aku tak bisa
melihat orangnya, tertutup kepala-kepala di antara kami.
Aku berjinjit, menjulurkan leher panjang-panjang. Saat itulah lampu yang merah
menyapu punggungnya dan
terpantul di manik-manik yang menghiasi baju Alice. Meski lampu itu hanya
menyentuh wajahnya setengah detik, itu sudah cukup.
"Permisi sebentar, Jess.” gumamku, menarik lenganku dari cengkeramannya.
Tanpa menunggu aku langsung
pergi, bahkan tanpa melihat apakah aku melukai perasaannya dengan kepergianku
yang mendadak itu.
Aku merunduk, menerobos kerumunan, terdorongdorong sedikit. Beberapa orang kini
berjoget. Aku bergegas
menuju pintu dapur. Edward sudah pergi, tapi Alice masih di sana, di kegelapan,
wajahnya kosong – wajah tanpa ekspresi seperti yang kerap terlihat di wajah
orang yang baru saja menyaksikan kecelakaan mengerikan. Satu tangannya mencengkeram
ambang pintu, seolah-olah ia harus berpegangan.
"Apa, Alice, apa? Apa yang kau lihat?" Kedua tanganku mencengkeram
dada – memohon-mohon.
Alice tidak menatapku, matanya menerawang jauh. Aku mengikuti arah pandangnya
dan melihatnya bertatapan
mata dengan Edward di seberang ruangan. Wajah Edward kosong bagai batu. Ia
berbalik dan lenyap dalam bayangbayang di bawah tangga.
Saat itulah bel pintu berdering, berjam-jam setelah deringan terakhir, dan
Alice menengadah dengan ekspresi
bingung yang dengan cepat berubah jadi jijik.
"Siapa yang mengundang werewolf?" omelnya padaku.
Aku merengut. “Aku.”
Kupikir aku sudah membatalkan undangan itu – bagaimanapun juga aku tidak
menyangka Jacob bakal nekat
datang ke sini.
"Well, urus mereka sendiri kalau begitu. Aku harus bicara dengan
Carlisle.”
"Tidak, Alice. tunggu!" Aku berusaha meraih lengannya, tapi Alice
sudah keburu lenyap dan tanganku hanya
menggapai udara kosong.
"Brengsek!" gerutuku.
Aku tahu pasti sekaranglah saatnya. Alice sudah melihat apa yang
dinanti-nantikan olehnya, dan jujur saja. Rasanya aku tak kuat menahan ketegangan
dan membukakan pintu lebih dulu. lagi-lagi bel pintu berdering, lama dan
panjang, seolah-olah ada orang memencet tombol bel dan tidak melepaskannya. Aku
membelakangi pintu dengan penuh tekad, lalu mengedarkan pandang ke sekeliling
ruangan yang gelap, mencari Alice.
Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku mulai beranjak menaiki tangga.
"Hai, Bella!"
Suara Jacob yang berat berkumandang saat musik berhenti sejenak, dan, meski
tidak ingin, wajahku otomatis
terangkat begitu mendengar namaku dipanggil. Aku mengernyitkan wajah. Tidak
hanya satu werewolf, melainkan tiga. Jacob masuk sendiri, diapit Quil dan Embry
di kiri-kanannya. Keduanya tampak sangat tegang, mata mereka berkelebat
mengitari ruangan seperti memasuki ruang bawah tanah berhantu.
Tangan Embry yang gemetar masih memegangi pintu, tubuhnya miring agak ke
belakang, siap lari. Jacob melambai padaku, lebih tenang dibanding kedua temannya
yang lain, meskipun hidungnya mengernyit jijik.
Aku balas melambai – lambaian perpisahan – dan berbalik mencari Alice. Aku
memaksakan diri menyelinap di antara punggung Conner dan Lauren. Ia muncul
entah dari mana, tangannya mendarat di bahuku dan menarikku kembali ke
keremangan dekat dapur. Aku mengelak dan melepaskan diri dari cengkeramannya,
tapi pemuda itu menyambar pergelangan tanganku yang sehat dan menyentakku dari
kerumunan.
"Sambutan yang ramah,” komentarnya.
Aku menarik tanganku dan menatapnya cemberut
"Untuk apa kau ke sini?"
"Kau yang mengundangku, ingat?"
"Kalau hook kananku memang terlalu lemah bagimu, izinkan aku
menerjemahkannya. itu berarti aku
membatalkan undangan."
"Jangan jahat begitu. Aku membawakan hadiah kelulusan untukmu lho."
Aku bersedekap. Aku sedang tidak ingin bertengkar dengan Jacob sekarang. Aku
ingin tahu apa yang dilihat
Alice, dan apa pendapat Edward dan Carlisle mengenainya. Aku menjulurkan leher
panjang-panjang, melihat ke balik punggung Jacob, mencari-cari mereka.
"Kembalikan saja ke tokonya, Jake. Aku harus melakukan sesuatu..
Jacob bergerak menutupi pandanganku, menuntut perhatianku.
"Aku tidak bisa mengembalikannya. Aku tidak membelinya di toko – aku
membuatnya sendiri. Butuh
waktu sangat lama pula."
Lagi-lagi aku mencondongkan tubuh ke balik tubuhnya, tapi tak satu pun anggota keluarga
Cullen yang tampak. Ke mana perginya mereka? Mataku menyapu seluruh penjuru ruangan
yang gelap itu.
"Oh, ayolah. Bell. Jangan berlagak seolah-olah aku tidak di sini!"
"Aku bukannya berlagak." Mereka tidak ada di manamana.
"Dengar, Jake, saat ini aku sedang banyak pikiran.”
Jacob meletakkan tangannya di bawah daguku dan mendongakkan wajahku. "Boleh
minta waktu beberapa
detik saja tanpa terbagi-bagi, Miss Swan?"
Aku menyentakkan wajahku. “Jaga tanganmu baik-baik, Jacob,”desisku.
"Maaf!" seru Jacob. mengangkat kedua tangannya seperti menyerah.
"Aku benar-benar minta maaf. Mengenai
kejadian waktu itu juga, maksudku. Seharusnya aku tidak menciummu seperti itu.
Itu salah. Kurasa.., well, kurasa aku menipu diri sendiri dengan mengira kau
menginginkanku."
"Menipu – gambaran yang tepat sekali!"
"Bersikaplah yang baik. Kau bisa menerima permintaan maafku, kau
tahu."
"Baiklah. Permintaan maaf diterima. Sekarang, permisi sebentar..."
"Oke,” gumam Jacob, dan nadanya sangat berbeda dari sebelumnya hingga aku
berhenti mencari-cari Alice dan mengamati wajahnya. Jacob menunduk memandang
lantai, menyembunyikan matanya. Bibir bawahnya sedikit
mencebik.
"Ternyata kau lebih suka berkumpul dengan temanteman sejatimu,” tukasnya
dengan nada kalah. "Aku
mengerti."
Aku mengerang. "Aduh, Jake, kau tahu itu tidak adil.”
"Memangnya aku tahu?"
"Seharusnya kau tahu.” Aku mencondongkan tubuh ke depan, menyipitkan mata,
berusaha menatap matanya.
Jacob mendongak, menghindari mataku.
"Jake?"
Ia tak mau melihatku.
"Hei, katanya kau membuatkan sesuatu untukku, benar?" tanyaku.
"Atau itu hanya omong kosong? Mana hadiahku?"
Upayaku berpura-pura antusias tampak sangat menyedihkan, tapi berhasil. Jacob
memutar bola matanya
dan kemudian nyengir padaku. Aku tetap mempertahankan sikap pura-puraku yang menyedihkan,
menyodorkan telapak tangan. "Aku menunggu lho."
"Yang benar saja,” gerutu Jacob sarkastis. Tapi ia merogoh kantong
belakang jinsnya dan mengeluarkan
kantong kain rajutan berwarna-warni. Seutas tali kulit mengikat kantong itu.
Diletakkannya kantong itu di telapak tanganku. "Hei, cantik sekali, Jake.
Terima kasih!"
Jacob mendesah. "Hadiahnya di dalam, Bella.”
"Oh.”
Susah juga membuka ikatannya. lagi-lagi Jacob mendesah dan mengambil kantong
itu dariku, membukanya
dengan mudah dengan menarik tali yang tepat. Aku menyodorkan telapak tanganku,
tapi Jacob membalikkan
kantong itu dan mengguncangnya, mengeluarkan sesuatu yang berwarna keperakan ke
tanganku. Logam beradu dengan logam, menimbulkan suara berdenting pelan.
"Bukan aku yang membuat gelangnya,” Jacob mengakui.
"Hanya bandulnya."
Pada rantai gelang perak itu terpasang sebuah pahatan mungil dari kayu. Aku
mengamatinya lebih saksama.
Sungguh menakjubkan betapa mendetailnya patung mungil itu – serigala miniatur
itu terlihat seperti sungguhan.
Bahkan bahannya terbuat dari kayu berwarna merahcokelat, serupa benar dengan
warna kulit Jacob.
"Cantik sekali,” bisikku. "Kau sendiri yang membuatnya? Bagaimana?"
Jacob mengangkat bahu. "Billy yang mengajarkan. Dalam hal itu dia malah
lebih pandai daripada aku.”
"Sukar dipercaya,” gumamku, membolak-balik serigala mungil itu dengan
jemariku.
“Kau benar-benar menyukainya?"
"Ya! Luar biasa sekali, Jake." Jacob tersenyum, awalnya senang, tapi
kemudian ekspresinya berubah masam. "Well, kupikir mungkin itu bisa
membuatmu teringat padaku sesekali. Kau tahu kan kata orang, jauh di mata, jauh
pula di hati."
Aku tak menggubris sikapnya. "Sini, bantu aku memakainya."
Aku menyodorkan pergelangan tangan kiriku, karena yang kanan memakai penyangga.
Jacob memasangkan
kaitannya dengan mudah, meski gelang itu tampak terlalu rapuh untuk
jari-jarinya yang besar.
"Kau akan memakainya?" tanyanya.
"Tentu saja aku akan memakainya."
Jacob nyengir padaku,senyum bahagia yang senang bisa kulihat di wajahnya. Aku
membalasnya beberapa saat kemudian, tapi lalu mataku kembali mengitari ruangan,
dengan gugup mencaricari Edward atau Alice di antara kerumunan.
"Kenapa kau gelisah begitu?" tanya Jacob.
"Tidak apa-apa,” dustaku, mencoba berkonsentrasi.
"Terima kasih untuk hadiahnya, sungguh. Aku benar-benar suka."
"Bella?" Alis Jacob bertaut sehingga matanya seperti tenggelam jauh
di balik bayang-bayang. "Pasti ada masalah, kan?"
“Jake, aku... tidak, tidak apa-apa.'"
"Jangan bohong, kau tidak pandai berbohong. Seharusnya kau memberitahuku
kalau ada masalah. Kami
ingin mengetahui hal-hal ini," tukasnya, menggunakan kata ganti orang
jamak pada akhir kalimat.
Mungkin Jacob benar, para serigala pasti tertarik pada apa yang terjadi. Hanya
saja aku belum yakin apakah ini
memang hal itu. Aku belum bisa memastikannya sampai aku bertemu Alice.
“Jacob, aku akan memberitahumu. Tapi izinkan aku mencari tahu dulu apa yang
sebenarnya terjadi, oke? Aku
perlu bicara dengan Alice."
Wajahnya langsung menunjukkan ekspresi mengerti. "Si peramal itu melihat
sesuatu."
"Ya, tepat waktu kau datang tadi."
"Apakah ini mengenai pengisap darah yang masuk ke kamarmu?" bisik
Jacob, merendahkan suaranya lebih
rendah daripada dentuman musik.
"Ada hubungannya," aku mengakui.
Jacob mencerna informasi itu sebentar, menggelengkan kepala sambil membaca wajahku.
"Kau tahu sesuatu yang tidak kauceritakan padaku... sesuatu yang sangat
penting."
Apa gunanya berbohong lagi? Dia terlalu mengenalku.
"Ya."
Jacob menatapku sesaat, kemudian berbalik untuk menatap mata saudara-saudara
sekawanannya, di tempat
mereka berdiri di ambang pintu, canggung dan rikuh. Begitu melihat ekspresinya,
mereka langsung bergerak,
berjalan gesit melewati para tamu, hampir seperti sedang berdansa juga. Kurang
dari satu menit mereka sudah berdiri mengapit Jacob, menjulang tinggi di
atasku.
"Sekarang. Jelaskan," tuntut Jacob.
Embry dan Quil menatap kami bergantian, wajah mereka bingung dan waswas.
"Jacob, aku tidak tahu semuanya.” Aku terus menyapukan pandangan, mencari
jalan untuk meloloskan
diri. Mereka menyudutkanku, baik dalam arti harfiah maupun sebaliknya.
"Yang benar-benar kauketahui saja, kalau begitu."
Mereka serentak bersedekap. Agak lucu sebenarnya, tapi juga menakutkan.
Kemudian aku melihat Alice menuruni tangga, kulitnya yang putih berkilau dalam
terpaan cahaya ungu.
“Alice!” pekikku lega.
Alice langsung melihat ke arahku, padahal suara bass yang berdentum-dentum
menenggelamkan suaraku. Aku
melambai-lambai penuh semangat, dan melihat wajah Alice saat matanya tertumbuk
pada tiga werewolf yang
membungkuk di atasku. Matanya menyipit.
Tapi, sebelum reaksi itu muncul, wajahnya tampak stres dan takut. Aku menggigit
bibir saat ia bergegas
menghampiriku.
“Aku perlu bicara denganmu," bisiknya di telingaku.
"Eh, Jake, sampai ketemu lagi nanti...,” gumamku saat kami beranjak
mengitari mereka.
Jacob mengulurkan lengan menghalangi jalan kami, menumpukan tangannya di
dinding. "Hei, jangan buruburu."
Alice mendongak. menatapnya. matanya membelalak tak percaya. "Maaf, apa
katamu?"
"Ceritakan pada kami apa yang terjadi," tuntut Jacob, suaranya
menggeram.
Jasper muncul entah dari mana. Padahal sedetik yang lalu hanya ada Alice dan
aku yang terpojok di dinding,
Jacob menghalangi jalan. Tapi mendadak muncul Jasper, berdiri di sebelah lengan
Jake, ekspresinya mengerikan. Jacob pelan-pelan menarik lagi lengannya.
Sepertinya itu tindakan paling bagus jika Jacob memang ingin mempertahankan
lengannya.
"Kami berhak tahu,” gumam Jacob, matanya masih menatap Alice garang.
Jasper melangkah di antara mereka, dan ketiga werewolf menegakkan tubuh
masing-masing.
"Hei, hei,” seruku, mengumandangkan tawa sedikit histeris. "Ini
pesta, ingat!”
Tak ada yang menggubrisku. Jacob menatap Alice garang sementara Jasper
memandang Jacob ganas. Wajah
Alice mendadak berubah bijak.
"Tidak apa-apa, Jasper. Dia benar."
Jasper tetap memasang posisi waspada. Aku yakin ketegangan ini bakal membuat
kepalaku
meledak sebentar lagi. "Apa yang kaulihat, Alice?"
Alice menatap Jacob sebentar, kemudian berpaling padaku, jelas memutuskan untuk
membiarkan mereka ikut
mendengarkan.
"Keputusan sudah diambil."
"Kalian akan ke Seattle?"
"Tidak.”
Aku merasa darah Surut dari wajahku. Perutku mulas.
"Mereka akan datang ke sini,” ujarku, suaraku tercekik.
Para pemuda Quileute menatapku sambil terdiam, membaca setiap pergolakan emosi
yang bermain-main di
wajah kami. Mereka terpaku di tempat masing-masing, namun tak sepenuhnya tenang.
Tiga pasang tangan
gemetar.
"Ya."
"Ke Forks,” bisikku.
"Ya.”
"Untuk?"
Alice mengangguk, memahami pertanyaanku. "Salah seorang di antara mereka
membawa blus merahmu."
Aku mencoba menelan ludah. Ekspresi Jasper tidak setuju. Kentara sekali ia
tidak suka mendiskusikan masalah ini di hadapan para werewolf, tapi ia merasa
harus mengatakan sesuatu. "Kita tidak bisa
membiarkan mereka datang sejauh ini. Kita kekurangan orang untuk melindungi
kota."
"Aku tahu,” sahut Alice, wajahnya tiba-tiba tampak sedih. "Tapi tak
penting di mana kita menghentikan
mereka. Jumlah kita tetap tidak cukup, jadi pasti ada sebagian yang lolos dan
datang ke sini untuk mencari."
"Tidak!" bisikku.
Hiruk-pikuk pesta menenggelamkan pekikanku. Di sekeliling kami teman-teman,
terangga, dan musuhmusuhku
makan, tertawa-tawa, dan bergoyang diiringi suara musik tak tahu sama sekali
sebentar lagi mereka akan
menghadapi kengerian, bahaya, bahkan mungkin kematian. Gara-gara aku.
“Alice,” ucapku tanpa suara. “Aku harus pergi, aku harus menjauh dari
sini."
"Tak ada gunanya. Yang kita hadapi bukan pelacak. Mereka akan tetap datang
ke sini lebih dulu."
"Kalau begitu aku harus pergi menemui mereka!" Kalau suaraku tidak
separau dan setegang itu, mungkin yang
keluar adalah pekikan. "Kalau mereka menemukan apa yang dicari, mungkin
mereka akan menjauh dan tidak
mencelakakan orang lain!"
"Bella!" protes Alice.
"Tunggu sebentar,” perintah Jacob, suaranya rendah dan memaksa.
"Siapa yang akan datang ini!'
Alice mengalihkan tatapannya yang dingin kepada Jacob.
"Kaum kami. Dalam jumlah besar.”
"Kenapa?"
"Mencari Bella. Hanya itu yang kami tahu.”
"Terlalu banyak untuk kalian hadapi?'" tanyanya.
Jasper menahan emosinya. "Kami memiliki beberapa kelebihan, anjing.
Pertempurannya bakal seimbang.”
"Tidak,” tukas Jacob, senyum miring yang aneh dan kejam mengembang di
wajahnya. "Tidak akan seimbang.”
"Bagus!" desis Alice.
Masih membeku ketakutan, kutatap ekspresi baru Alice. Wajahnya berbinar-binar
penuh semangat, keputusasaan seketika lenyap dari garis-garis wajahnya yang
sempurna. Alice nyengir kepada Jacob, dan Jacob balas nyengir.
"Semua langsung menghilang, tentu saja," kata Alice kepada Jacob
dengan nada menang. "Tidak
menguntungkan memang, tapi dengan berbagai pertimbangan, aku akan
menerimanya."
"Kita harus berkoordinasi,” kata Jacob. "Tidak mudah bagi kami. Meski
begitu, ini lebih merupakan tugas kami
ketimbang tugas kalian."
"Aku tak setuju, tapi kami memang membutuhkan bantuan. Kami tidak akan
pilih-pilih."
"Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu,” aku menyela mereka.
Alice berjinjit, Jacob membungkuk ke arahnya, wajah mereka berbinar-binar penuh
semangat, hidung mengernyit
menahan bau satu sama lain. Keduanya menatapku tak sabar.
"Berkoordinasi!" ulangku, gigiku terkatup karena gemas.
"Kau tidak bermaksud menghalangi kami ikut, kan?" tanya Jacob.
"Kau memang tidak boleh ikut!"
"Paranormalmu tidak menganggap begitu."
“Alice – bilang tidak pada mereka!" desakku. "Bisa-bisa mereka
terbunuh!"
Jacob, Quil, dan Embry tertawa keras-keras.
"Bella,” kata Alice, suaranya menenangkan, membujuk, "kalau
sendiri-sendiri, kita semua bisa terbunuh. Tapi
bersama-sama–“
"Itu tidak akan menjadi masalah,” Jacob menyelesaikan kalimatnya.
lagi-lagi Quil tertawa.
"Berapa banyak?" tanya Quil penuh semangat.
"Tidak!" teriakku.
Alice bahkan tidak memandang ke arahku. "Berubahubah, 21 hari ini, tapi
jumlahnya menurun."
"Kenapa?" tanya Jacob, ingin tahu.
"Ceritanya panjang,” kata Alice, tiba-tiba memandang sekeliling ruangan.
"Dan sekarang bukan tempat yang tepat untuk mendiskusikan ini."
"Bagaimana kalau nanti malam?"
"Baiklah,” Jasper yang menjawab. "Kami memang sudah merencanakan...
pertemuan strategis. Kalau kalian
ingin bertempur bersama kami, kalian membutuhkan beberapa instruksi."
Wajah para serigala kontan menunjukkan sikap tidak puas begitu mendengar
kalimat terakhir.
"Tidak?" erangku.
"Pasti bakal aneh.” kata Jasper dengan sikap merenung.
"Aku tak pernah mempertimbangkan untuk bekerja sama. Ini pasti yang
pertama kali."
"Itu sudah jelas.” Jacob sependapat. Ia buru-buru ingin pergi sekarang.
"Kami harus kembali untuk menemui Sam. Jam berapa?"
"Jam berapa yang terlalu malam untuk kalian?"
Ketiganya memutar bola mata masing-masing. “Jam berapa?" ulang Jacob.
"Jam tiga?"
"Di mana?"
"Kira-kira enam belas kilometer sebelah utara kantor jagawana Hutan Hoh.
Datanglah dari arah barat, kalian
pasti bisa mengikuti bau kami."
"Kami akan datang."
Mereka berbalik untuk pergi.
"Tunggu, Jake!" aku berseru memanggilnya. "Please! Jangan
lakukan ini!"
Jacob berhenti, berbalik untuk nyengir padaku, sementara Quil dan Embry
berjalan dengan sikap tidak
sabar menuju pintu. "Jangan konyol, Bella. Kau memberiku hadiah yang jauh
lebih bagus daripada hadiah yang
kuberikan padamu."
"Tidak!” aku berteriak lagi. Raungan gitar elektrik menenggelamkan teriakanku.
Jacob tidak menyahut; ia bergegas pergi menyusul temannya yang sudah lenyap.
Aku hanya bisa memandang tak berdaya saat Jacob menghilang.
0 komentar:
Post a Comment