Eclipse Indonesia 19
19. EGOIS
EDWARD menggendongku pulang dalam dekapannya, yakin aku pasti takkan mampu
berpegangan padanya. Aku pasti jatuh tertidur dalam perjalanan. Waktu bangun
aku sudah berada di tempat tidur dan
cahaya suram menerobos masuk melalui kaca-kaca jendela, miring dan datang dari
Sudut yang aneh. Hampir seolaholah hari sudah sore.
Aku menguap dan menggeliat, jari-jariku mencari-cari Edward tapi ia tak ada.
"Edward?' gumamku.
Jemariku yang meraba-raba menyentuh sesuatu yang dingin dan halus. Tangannya.
"Kau sudah benar-benar bangun sekarang," bisik Edward.
"Mmm,” aku mendesah mengiyakan. "Memangnya banyak pertanda
palsu?"
"Kau gelisah terus – mengoceh seharian."
"Seharian?” Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan menoleh lagi ke jendela.
"Kau habis begadang,” kata Edward menenangkan."Jadi kau pantas tidur
seharian."
Aku terduduk, kepalaku pening. Cahaya memang menerobos masuk ke jendelaku dari
arah barat. "Wow."
"Lapar?” tebak Edward.” Mau sarapan di tempat tidur?"
"Aku bisa sendiri kok,” erangku, menggeliat lagi. "Aku harus turun
dan bergerak."
Edward menggandeng tanganku menuju dapur, mengamatiku dengan waswas,
seolah-olah takut aku akan
ambruk. Atau mungkin dikiranya aku melindur. Aku memilih sarapan yang
sederhana, memasukkan dua
keping Pop-Tart ke panggangan. Aku melihat bayangan diriku sendiri di lapisan
kromnya yang memantulkan
bayangan.
"Ya ampun, aku benar-benar tampak berantakan."
"Semalam memang sangat melelahkan." kata Edward lagi.
"Seharusnya kau tinggal saja di sini dan tidur."
"Yang benar saja! Dan ketinggalan semuanya. Kau tahu, kau harus mulai bisa
menerima fakta sekarang aku sudah menjadi bagian keluargamu."
Edward tersenyum. "Mungkin lama-lama aku akan terbiasa juga."
Aku duduk menghadapi sarapanku, sementara Edward duduk di sampingku. Ketika
kuangkat Pop-Tart untuk
gigitan pertama, kulihat Edward memandangi tanganku. Aku menunduk, dan melihat
aku masih mengenakan
hadiah yang diberikan Jacob untukku di pesta.
"Boleh lihat?" tanyanya, meraih bandul serigala kecil dari kayu itu.
Aku menelan dengan suara berisik. "Eh tentu."
Edward menyeimbangkan patung mungil itu di telapak tangannya yang putih.
Sesaat, aku sempat takut. Hanya
dengan sedikit remasan jari-jarinya, bandul itu bakal remuk. Tapi tentu saja
Edward takkan berbuat begitu. Punya pikiran seperti itu saja sudah membuatku
malu. Edward hanya menimang-nimang serigala kecil itu di telapak tangannya
berapa saat, lalu melepasnya. Bandul itu berayun pelan di pergelangan tanganku.
Aku mencoba membaca ekspresi di matanya. Yang kulihat hanya ekspresi berpikir,
semua yang lain
dipendamnya, kalau memang ada yang lain.
"Jacob Black boleh memberimu hadiah."
Itu bukan pertanyaan, atau tuduhan. Hanya pernyataan fakta. Tapi aku tahu ia
merujuk pada hari ulang tahun
terakhirku serta kekesalanku karena diberi berbagai hadiah,waktu itu aku tidak
menginginkan apa-apa.
Terutama tidak dari Edward. Memang tidak sepenuhnya logis, dan, tentu saja,
semua orang tetap mengabaikan
keinginanku...
"Kau sudah sering memberiku hadiah," aku mengingatkan dia. "Kau
tahu aku suka barang-barang
buatan sendiri."
Edward mengerucutkan bibirnya sejenak. "Bagaimana kalau barang yang
dulunya milik orang lain Apakah itu bisa diterima?"
"Maksudmu?"
"Gelang ini.” Telunjuk Edward menyusuri gelang yang melingkar di
pergelangan tanganku. "Kau akan sering
memakainya?"
Aku mengangkat bahu.
"Karena kau tidak ingin melukai perasaannya," Edward menduga dengan
cerdik.
"Tentu, kurasa begitu."
"Adilkah menurutmu, kalau begitu?" tanya Edward, menunduk menatap
tanganku sambil bicara. Ia
membalikkan tanganku hingga telapakku menghadap ke atas, lalu ujung jarinya
menyusuri urat-urat nadi di
pergelangan tanganku. "Kalau aku juga memberimu sesuatu yang bisa
merepresentasikan aku?"
"Merepresentasikanmu?"
"Sebuah bandul, sesuatu yang akan selalu membuatmu teringat padaku."
"Aku selalu mengingatmu. Tidak perlu pengingat lain."
"Kalau aku memberimu sesuatu, maukah kau memakainya? "desak Edward.
"Benda yang pernah dimiliki seseorang?" aku mengecek.
"Ya, sesuatu yang sudah lama kusimpan." Edward menyunggingkan senyum
malaikatnya. Kalau hanya ini reaksi Edward terhadap hadiah Jacob, aku akan
menerimanya dengan senang hati. “Apa saja asal kau bahagia."
"Kau menyadari ketidakseimbangannya, bukan?" tanyanya, nada suaranya
berubah menuduh. "Karena aku
jelas menyadarinya."
"Ketidakseimbangan apa?"
Mata Edward menyipit. "Orang lain boleh memberimu hadiah sesuka mereka.
Semua kecuali aku. Aku ingin sekali memberimu hadiah kelulusan tapi itu tidak
kulakukan. Aku tahu itu akan membuatmu lebih marah daripada kalau orang lain
yang memberimu hadiah. Itu sangat tidak adil. Bagaimana kau menjelaskan
alasanmu?"
"Gampang.” Aku mengangkat bahu. "Kau lebih penting dari pada semua
orang lain. Dan kau sudah memberiku
dirimu. Itu lebih daripada yang pantas kuterima, dan hadiah lain, apa pun, yang
kuterima darimu, hanya akan
membuat posisi kita makin tak seimbang."
Edward mencerna penjelasanku sesaat, kemudian memutar bola matanya.
"Caramu menghargaiku benarbenar
konyol."
Aku mengunyah sarapanku dengan tenang. Aku tahu Edward tidak akan mengerti bila
kukatakan padanya
pikirannya itu terbalik. Ponsel Edward mendengung. Diperhatikannya dulu nomor
yang tertera di sana
sebelum menerimanya. "Ada apa, Alice?"
Edward mendengarkan, dan aku menunggu reaksinya, mendadak gugup. Tapi apa pun
yang dikatakan Alice tidak membuat Edward terkejut. Ia mendesah beberapa kali.
"Rasa-rasanya aku sudah menduga akan seperti itu," kata Edward kepada
Alice, menatap mataku. alisnya terangkat dengan sikap tidak setuju. "Dia
bicara dalam tidurnya."
Pipiku merah padam. Memangnya apa lagi yang kuocehkan?
"Serahkan saja padaku," janjinya.
Edward menatapku garang sambil memutuskan hubungan.
"Apakah ada yang ingin kaubicarakan denganku?"
Aku menimbang-nimbang sesaat. Menilik peringatan Alice semalam, aku bisa
menebak maksud Alice menelepon Edward. Kemudian aku teringat mimpi-mimpi
mengganggu yang kualami waktu aku tidur seharian, dalam mimpi itu aku mengejar
Jasper, berusaha mengikutinya dan menemukan lapangan terbuka di tengah hutan
yang berkelok-kelok menyesatkan, tahu aku akan menemukan Edward di sana...
Edward. serta para monster yang ingin membunuhku, tapi aku tidak peduli pada
mereka karena sudah membuat keputusan, aku sudah bisa menebak apa yang didengar
Edward sementara aku tidur."
Aku mengerucutkan bibir sesaat, tak sanggup membalas tatapannya. Edward
menunggu.
"Aku suka ide Jasper," kataku akhirnya. Edward mengerang.
"Aku ingin membantu. Aku harus melakukan sesuatu," aku bersikeras.
"Tidak akan membantu kalau kau berada dalam bahaya."
"Menurut Jasper itu bisa membantu. Ini kan keahliannya."
Edward memelototiku.
"Kau tidak bisa membuatku menyingkir," ancamku.
"Aku tidak mau bersembunyi di hutan sementara kalian mempertaruhkan nyawa
demi aku."
Tiba-tiba Edward menahan senyumnya yang nyaris terkuak. "Alice tidak
melihatmu di lapangan, Bella. Dia
melihatmu tersaruk-saruk di tengah hutan, tersesat. Kau takkan bisa menemukan
kami; kau hanya akan membuatku membuang banyak waktu untuk mencarimu
sesudahnya."
Aku berusaha tetap bersikap setenang Edward. "Itu karena Alice tidak
memperhitungkan faktor Seth
Clearwater,” ujarku sopan. "Kalau dia memperhitungkan hal itu, tentu saja
dia tidak akan bisa melihat apa-apa sama sekali. Tapi kedengarannya Seth juga
ingin berada di medan pertempuran, sama sepertiku. Jadi pasti tidak terlalu
sulit membujuknya untuk menunjukkan jalan padaku."
Amarah melintas di wajah Edward, kemudian ia menarik napas dalam-dalam dan
menenangkan diri.
"Mungkin saja itu bisa berhasil... kalau kau tidak memberitahuku.
Sekarang. aku tinggal meminta Sam
memberi perintah khusus kepada Seth. Biarpun ingin, Seth tidak mungkin bisa
mengabaikan perintah semacam itu."
Aku tetap menyunggingkan senyum ceria. "Tapi untuk apa Sam memberi
perintah semacam itu?" Kalau aku bilang padanya kehadiranku di sana justru
akan membantu?"
Berani bertaruh, Sam pasti lebih suka meluluskan permintaanku daripada
permintaanmu."
Edward berusaha keras menahan diri lagi. "Mungkin kau benar. Tapi aku
yakin Jacob pasti juga bersedia memberi perintah yang sama."
Keningku langsung berkerut. "Jacob?"
"Jacob orang kedua. Pernahkah dia memberitahumu hal itu? Perintahnya juga
harus ditaati."
Edward berhasil membungkam perlawananku, dan melihat senyumannya, ia pun tahu
itu. Keningku berkerut.
Jacob pasti bakal berpihak kepada Edward,dalam urusan yang satu ini,aku
betul-betul yakin. Dan Jacob tidak pernah memberi tahu hal itu padaku. Edward
memanfaatkan kebingungan sesatku dengan meneruskan kata-katanya dengan nada
kalem dan menenangkan yang mencurigakan itu.
"Aku mendapat kesempatan melihat ke dalam pikiran kawanan itu semalam.
Ternyata lebih seru daripada cerita
sinetron. Aku sama sekali tidak mengira betapa kompleksnya situasi dalam sebuah
kawanan yang begitu
besar. Bagaimana keinginan individual harus berhadapan dengan keinginan
kelompok... Menarik sekali."
Edward jelas-jelas berusaha mengalihkan pikiranku. Kupelototi ia dengan galak.
"Jacob menyimpan banyak rahasia.” kata Edward sambil nyengir.
Aku tidak menyahut, aku terus saja memelototinya, mempertahankan argumenku dan
menunggu peluang.
"Misalnya saja, kau lihat tidak serigala abu-abu kecil yang ada di sana
semalam?" Aku mengangguk kaku.
Edward terkekeh. "Mereka sangat memercayai legenda. Tapi ternyata, terjadi
banyak hal baru yang dalam kisahkisah itu justru tidak pernah ada."
Aku mengembuskan napas. "Oke, kumakan umpanmu. Apa maksudmu
sebenarnya?"
"Mereka selalu menerima tanpa ragu bahwa hanya cucu lelaki langsung
serigala aslilah yang memiliki kemampuan untuk berubah."
"Jadi ada seseorang yang bukan cucu lelaki langsung yang berubah?"
"Ya. Tapi dia memang cucu perempuan langsung."
Aku berkedip, mataku membelalak, "Perempuan?"
Edward mengangguk. "Dia mengenalmu. Namanya Leah Clearwater."
"Jadi Leah juga werewolf!" pekikku. "Apa?" Sudah berapa lama
Kenapa Jacob tidak memberitahuku?"
"Ada hal-hal yang tidak boleh dia ceritakan kepada siapa pun, misalnya
saja, berapa jumlah mereka. Seperti
kukatakan tadi, kalau Sam memberi perintah, kawanan itu tidak bisa tidak
mematuhi. Jacob sangat berhati-hati untuk memikirkan hal-hal lain bila dia
berada di dekatku. Tentu saja, setelah semalam, semuanya terbuka lebar."
"Aku tidak percaya. Leah Clearwater!" Mendadak aku ingat Jacob pernah
bercerita tentang Leah dan Sam, serta
bagaimana Jacob mendadak bersikap seolah-olah ia sudah kelepasan omong, setelah
berkata Sam harus menatap mata Leah setiap hari dan tahu ia telah melanggar
semua janjinya sendiri... Leah di tebing. setetes air mata berkilau di pipinya ketika
Quil Tua berbicara tentang beban dan pengorbanan yang dipikul anak-anak lelaki
suku Quileute... Dan Billy yang mendadak jadi sering bertandang ke rumah Sue
karena ia memiliki masalah dengan anak-anaknya... dan masalah itu ternyata
bahwa kedua anaknya sekarang menjadi werewolf!
Sebelumnya aku tidak begitu memikirkan Leah Clearwater, hanya ikut sedih karena
ayahnya, Harry,
meninggal dunia, kemudian merasa kasihan padanya waktu Jacob menceritakan
padaku tentang kisah cintanya, berapa proses imprint aneh antara Sam dan
sepupunya Emily telah menghancurkan hati Leah.
Dan sekarang ia menjadi anggota kawanan Sam, mendengar pikiran-pikirannya...
dan tak bisa menyembunyikan pikirannya sendiri. Aku paling tidak menyukai
bagian yang itu. Jacob pernah berkata. Semua yang membuatmu malu, terpampang
jelas dan bisa diketahui semua orang.
"'Kasihan Leah." bisikku.
Edward mendengus. "Dia membuat hidup jadi sangat tidak menyenangkan bagi
yang lain-lain. Aku tak yakin dia
pantas mendapat simpatimu."
"Apa maksudmu?"
"Ini saja sudah sulit bagi mereka, saling mengetahui pikiran
masing-masing. Sebagian besar berusaha bekerja
sama, untuk lebih memudahkan keadaan. Karena jika satu orang saja sengaja bersikap
jahat, semua ikut merasakan sakitnya."
"Leah punya alasan kuat untuk itu,” gumamku, masih memihak Leah.
"Oh, aku tahu." ucap Edward. "Keharusan imprint adalah satu hal
teraneh yang pernah kusaksikan seumur
hidupku. padahal aku sudah melihat hal-hal yang benarbenar aneh."
Edward menggeleng-geleng takjub. "Saat menggambarkan bagaimana Sam terikat
kepada Emily-nya
– atau mungkin lebih tepat kukatakan Sam-nya Leah. Sam benar-benar tidak punya
pilihan. Itu mengingatkanku pada cerita A Midsummer Night's Dream ketika semua
kekacauan disebabkan mantra cinta para peri... seperti sihir saja."
"Kasihan Leah,” ujarku lagi. "Tapi apa maksudmu bersikap jahat?"
"Leah terus-menerus memikirkan hal-hal yang lebih suka mereka lupakan.”
Edward menjelaskan. "Misalnya saja,
soal Embry."
"Memangnya ada apa dengan Embry?" tanyaku, terkejut.
"Ibunya pindah dari reservasi Makah tujuh belas tahun lalu, saat Embry
masih dalam kandungan. Ibunya bukan
suku Quileute. Semua orang berasumsi ibu Embry meninggalkan ayahnya bersama
suku Makah. Tapi
kemudian Embry bergabung dengan kawanan serigala."
"Lantas?"
"Jadi, kandidat utama ayah Embry adalah Quil Ateara, St Joshua Uley, atau
Billy Black, yang semuanya masih
beristri saat itu, tentu saja."
“Ah, yang benar,” aku terkesiap. Edward benar, persis seperti cerita sinetron.
"Sekarang Sam, Jacob, dan Quil bertanya-tanya siapa di antara mereka yang
memiliki saudara seayah. Mereka
semua berharap Sam-lah saudara seayah Embry, karena bisa dibilang ayah Sam memang
tidak baik. Tapi keraguan itu selalu ada. Jacob sendiri tidak berani bertanya
kepada Billy tentang hal itu."
"Wow. Bagaimana kau bisa tahu sebanyak itu hanya dalam satu malam?"
"Pikiran kawanan itu menakjubkan. Semua berpikir bersama, sekaligus
sendiri-sendiri pada saat bersamaan.
Banyak sekali yang bisa dibaca!"'
Nadanya terdengar sedikit menyesal seperti orang yang terpaksa berhenti membaca
buku yang bagus sebelum
klimaks. Aku tertawa.
"Kawanan itu memang menakjubkan," aku sependapat.
"Hampir sama menakjubkannya denganmu saat berusaha mengalihkan
pikiranku."
Ekspresi Edward kembali berubah sopan,wajah datar yang sempurna.
"Aku harus berada di sana, Edward.”
"Tidak,” tukas Edward dengan nada tegas yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Saat itulah sebuah ide muncul di benakku. Sebenarnya aku tidak perlu berada di
lapangan itu. Aku
hanya perlu berada di tempat yang sama dengan Edward. Kejam, tuduhku pada diri
sendiri. Egois. egois, egois!
Jangan lakukan itu! Aku tak memperdulikan akal sehatku. Namun aku juga tidak
berani menatap mata Edward saat bicara. Perasaan bersalah membuat mataku
terpaku ke meja.
"Oke, begini. Edward,” bisikku. "Masalahnya begini... aku dulu sudah
pernah gila. Aku tahu sampai di mana batas kemampuanku. Dan aku tak sanggup
kalau kau meninggalkan aku lagi."
Aku tidak mengangkat wajah untuk melihat reaksinya, takut mengetahui betapa
menyakitkannya kata-kataku itu
baginya. Aku memang mendengarnya terkesiap kaget dan sejurus kemudian terdiam.
Kupandangi daun meja yang terbuat dari kayu berwarna gelap, berharap bisa
menarik lagi kata-kataku tadi. Tapi mungkin juga tidak kalau itu bisa membuahkan
hasil.
Tiba-tiba Edward memelukku, tangannya membelai wajah dan lenganku. Ia
menenangkan aku. Perasaan
bersalahku semakin menjadi-jadi. Tapi naluri menyelamatkan diri lebih kuat.
Tidak diragukan lagi Edward merupakan faktor penting keselamatanku.
"Kau tahu tidak akan seperti itu. Bella.” gumamnya.
"Aku tidak akan jauh-jauh darimu, dan sebentar saja aku pasti sudah
selesai."
"Aku tidak sanggup,” aku bersikeras, tetap menunduk.
"Tidak tahu apakah kau akan kembali atau tidak. Bagaimana aku bisa menjalaninya,
tak peduli betapapun
cepatnya itu berakhir?"
Edward mendesah."Pasti akan berakhir dengan mudah, Bella. Tidak ada alasan
untuk takut."
"Tidak ada sama sekali?"
"Sama sekali tidak."
"Dan semua akan baik-baik saja?"
"Semuanya,” janji Edward.
“Jadi aku sama sekali tidak perlu berada di sana?"
"Tentu saja tidak. Alice baru saja memberi tahu jumlahnya berkurang jadi
sembilan belas. Kami pasti bisa
menghadapi mereka dengan mudah."
"Benar,kau pernah bilang saking mudahnya, janganjangan ada di antara kalian
yang tinggal duduk-duduk
santai," aku mengulangi perkataan Edward semalam.
"Apakah kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu."
"Ya."
Rasanya terlalu mudah,Edward pasti sudah bisa menebak maksudku. "Begitu
mudahnya hingga kau bisa
tidak ikut?"
Setelah lama tidak terdengar apa-apa, akhirnya aku menengadah untuk melihat
ekspresinya.
Wajah Edward kembali datar. Aku menghela napas dalam-dalam. "Jadi harus
salah satu. Apakah situasinya lebih berbahaya daripada yang kau ingin
kuketahui, dan itu berarti aku berhak berada di sana, melakukan sebisaku untuk
membantu. Atau... ini akan sangat mudah sehingga mereka bisa mengatasinya tanpa
kau. Mana yang lebih tepat?"
Edward diam saja.
Aku tahu apa yang ia pikirkan,hal yang sama seperti yang kupikirkan. Carlisle,
Esme, Emmett, Rosalie, Jasper.
Dan.... aku memaksa diriku memikirkan nama terakhir, dan Alice. Aku penasaran
apakah aku ini monster. Bukan monster seperti anggapan Edward, tapi monster
sungguhan. Yang senang menyakiti orang. Yang tidak mempunyai batasan jika itu
berkaitan dengan apa yang mereka inginkan.
Yang kuinginkan hanyalah supaya Edward tetap aman, aman bersamaku. Apakah aku
memiliki batasan apa yang akan kulakukan, apa yang bersedia kukorbankan demi meraihnya?
Entahlah.
"Kau memintaku membiarkan mereka bertempur tanpa bantuanku?"' Tanya
Edward pelan.
"Ya," Mengagetkan bagaimana aku bisa menjaga suaraku tetap tenang,
padahal dalam hati aku begitu kacau.
“Atau membiarkanku ikut. Yang mana saja, asal kita bisa bersama."
Edward menghela napas dalam-dalam. Kemudian mengembuskannya lambat-lambat. Ia
mengulurkan tangan
dan merengkuh kedua pipiku, memaksaku menatapnya. Ditatapnya mataku lama sekali.
Aku bertanya-tanya dalam hati apa yang ia cari, dan apa yang ia temukan. Apakah
perasaan bersalah terlihat begitu jelas di wajahku seperti halnya itu terasa di
perutku – membuatku mual? Matanya mengejang akibat emosi yang tak bisa kubaca,
dan Edward. menurunkan satu tangan untuk mengeluarkan ponselnya lagi.
"Alice.” desahnya. "Bisakah kau datang sebentar untuk menjaga
Bella?" Ia mengangkat sebelah alis, menantangku membantah ucapannya.
"Aku perlu bicara dengan Jasper."
Alice pasti setuju. Edward menyimpan ponselnya dan kembali memandangi wajahku.
"Apa yang akan kaukatakan kepada Jasper?" bisikku.
"Aku akan mendiskusikan kemungkinan... aku tidak ikut bertempur."
Dari wajahnya kentara sekali sulit bagi Edward mengucapkan kata-kata itu.
"Maafkan aku."
Aku memang menyesal. Aku tidak suka membuatnya melakukan hal ini. Namun sesalku
tak cukup besar hingga
aku bisa menyunggingkan senyum palsu dan mengizinkannya pergi tanpa aku. Jelas
tidak sebesar itu.
"Jangan meminta maaf," kata Edward, tersenyum sedikit.
"Jangan pernah takut mengungkapkan perasaanmu, Bella. Kalau memang ini
yang kaubutuhkan.." Edward
mengangkat bahu. "Kau prioritas utamaku."
"Maksudku bukan begitu,seolah-olah kau harus memilih aku atau
keluargamu."
"Aku tahu itu, lagi pula, bukan itu yang kauminta. Kau memberiku dua
alternatif yang bisa kauterima, dan aku
memilih salah satu yang bisa kuterima. Itu namanya berkompromi."
Aku mencondongkan tubuh dan meletakkan keningku di dadanya. "Terima
kasih," bisikku.
"Tidak apa-apa," sahut Edward, mengecup rambutku.
"Tidak apa-apa."
Lama sekali kami tidak bergerak. Aku tetap menyembunyikan wajahku, membenamkannya
di bajunya. Dua suara berebut bicara dalam hatiku. Yang satu ingin aku bersikap
baik dan berani, yang lain menyuruh sisi baikku
untuk tidak banyak mulut.
"Siapa itu istri ketiga?" tahu-tahu Edward bertanya.
"Hah?" tukasku, sengaja mengulur-ulur. Aku tidak ingat pernah bermimpi
tentang hal itu lagi.
"Kau menyebut-nyebut 'istri ketiga’ semalam. Soal yang lain-lain memang
tidak begitu masuk akal, tapi yang satu itu benar-benar membuatku
bingung."
Edward menjauhkan tubuhnya dariku dan menggelengkan kepala, mungkin bingung
mendengar nada
tidak suka dalam suaraku.
"Oh. Eh, yeah. Itu hanya satu dari beberapa kisah yang kudengar di acara
api unggun waktu itu," Aku mengangkat bahu. "Ceritanya jadi menempel
di kepalaku."
Belum sempat Edward bertanya, Alice sudah muncul di ambang pintu dapur dengan
ekspresi masam.
"Kau akan melewatkan semua yang asyik-asyik." gerutunya.
"Halo, Alice,” Edward menyapanya. Ia meletakkan satu jari di bawah daguku
dan menengadahkan wajahku,
menciumku sebelum pergi.
"Aku akan kembali lagi nanti.” janjinya padaku."Aku akan membicarakan
masalah ini dengan yang lain,
membuat berapa pengaturan."
"Oke.”
"Tak banyak yang perlu diatur,” tukas Alice. “Aku sudah memberi tahu
mereka. Emmett senang sekali.”
Edward mendesah. "Tentu saja dia senang."
Edward berjalan ke luar, meninggalkanku untuk menghadapi Alice. Alice
memandangiku marah.
"Maafkan aku,” lagi-lagi aku meminta maaf
"Menurutmu, hal ini akan semakin membahayakan kalian?"
Alice mendengus. "Kau terlalu khawatir, Bella. Bisa-bisa kau cepat
ubanan."
"Kenapa kau kesal kalau begitu."
"Edward bersikap sangat menyebalkan jika kemauannya tidak dituruti. Aku
hanya mengantisipasi hidup bersamanya selama beberapa bulan ke depan."
Alice mengernyit.
"Kurasa, kalau itu membuatmu tetap waras, tak ada salahnya melakukannya.
Tapi harapanku kau bisa
mengatasi rasa pesimismu, Bella. Itu sangat tidak perlu."
"Apa kau akan membiarkan Jasper pergi tanpa kau?" tuntutku.
Alice meringis, "Itu lain.”
“Apanya yang lain."
"Cepat bersihkan dirimu,” perintahnya. "lima belas menit lagi Charlie
sampai di rumah, dan kalau kau
kelihatan seperi ini, dia pasti tidak akan mengizinkanmu keluar lagi."
Wow, aku benar-benar kehilangan sehari penuh Rasanya benar-benar rugi. Untung nantinya
aku tidak selalu harus membuang-buang waktuku dengan tidur. Aku sudah rapi
waktu Charlie sampai di rumah, berpakaian lengkap, baju rapi, dan sibuk di
dapur memasakkan makan malam untuknya. Alice duduk di tempat Edward biasa duduk
dan sepertinya itu langsung membuat Charlie bersikap ceria.
"Halo, Alice! Bagaimana kabarmu, Sayang?"
"Aku baik-baik saja, Charlie, trims.”
"Akhirnya bangun juga kau, tukang tidur,” kata Charlie padaku waktu aku
duduk di sebelahnya, sebelum berpaling kembali kepada Alice. "Semua orang
ramai membicarakan pesta yang diadakan orangtuamu semalam. Wah, kalian pasti
repot sekali membereskan seisi rumah."
Alice mengangkat bahu. Karena sudah mengenal Alice dengan baik, itu pasti sudah
selesai dikerjakan.
"Tidak percuma kok,” ujarnya. “Pestanya meriah."
"Mana Edward?" tanya Charlie, sedikit enggan. “Apa dia sedang
membantu beres-beres?"
Alice mengembuskan napas dan wajahnya berubah murung. Mungkin itu hanya akting,
tapi terlalu sempurna di
mataku sehingga rasanya mengerikan. "Tidak. Dia sedang sibuk merencanakan
acara akhir pekan bersama Emmett dan Carlisle."
"Hiking lagi?"
Alice mengangguk, wajahnya mendadak sendu. “Ya. Mereka semua pergi, kecuali
aku. Kami selalu pergi
backpacking pada akhir tahun ajaran, semacam perayaan, tapi tahun ini aku
memutuskan lebih suka belanja daripada hiking, tapi tak seorang pun mau tinggal
untuk menemaniku. Aku sendirian."
Wajah Alice berkerut, ekspresinya begitu sedih sampaisampai Charlie otomatis
mencondongkan tubuh ke
arahnya, sebelah tangan terulur, seperti ingin menolong. Kupelototi Alice
dengan sikap curiga. Apa lagi yang
dilakukannya sekarang?
"Alice, Sayang, kenapa kau tidak menginap saja di sini bersama kami?"
Charlie menawarkan. “Aku tidak suka
membayangkan kau sendirian di rumah besar itu."
Alice mendesah. Sesuatu menginjak kakiku di bawah meja.
"Aduh!" protesku.
Charlie berpaling kepadaku. "Apa?"
Alice melayangkan pandangan frustrasi ke arahku. Kentara sekali ia menganggapku
sangat lamban malam ini.
"Jari kakiku terantuk," gumamku.
"Oh," Charlie menoleh lagi kepada Alice. "Jadi.. bagaimana
tawaranku tadi?"
Lagi-lagi Alice menginjak kakiku, kali ini tidak terlalu keras.
'"Eh, Dad, Dad kan tahu akomodasi di sini kurang memadai. Berani bertaruh,
Alice pasti tidak mau tidur di
lantai kamarku.."
Charlie mengerucutkan bibir. Alice menunjukkan ekspresi murung itu lagi.
'"Kalau begitu, mungkin sebaiknya Bella menemanimu di rumahmu,” Charlie
menyarankan. "Hanya sampai
orangtuamu kembali.'"
"Oh, kau mau, tidak, Bella?" Alice tersenyum berseri-seri padaku.
“Kau tidak keberatan shopping denganku, kan?"
"Tentu,” aku setuju. "Shopping. Oke.”
"Kapan mereka berangkat?" tanya Charlie.
Lagi-lagi Alice mengernyit. "Besok."
"Kapan kau mau aku datang?" tanyaku.
"Sehabis makan malam, kurasa,” jawabnya, kemudian menempelkan telunjuknya
di dagu, berpikir-pikir. "Hari
Sabtu kau tidak ada acara apa-apa, kan? Aku ingin shopping ke luar kota, pergi
seharian."
"Jangan ke Seattle,” sela Charlie, alisnya bertaut.
"Tentu saja tidak,” Alice langsung menyanggupi, walaupun kami tahu Seattle
justru akan sangat aman pada
hari Sabtu.
"Maksudku ke Olympia, mungkin.."
"Kau pasti senang, Bella.” Charlie riang karena lega. "Pergilah,
sekali-sekali menghirup udara kota."
"Yeah, Dad. Pasti asyik."
Dengan satu obrolan ringan, Alice berhasil mendapatkan izin bagiku untuk keluar
pada malam terjadinya
pertempuran. Edward kembali tak lama kemudian. Diterimanya saja ucapan selamat
bersenang-senang dari Charlie tanpa perasaan terkejut. Ia berkata mereka harus
berangkat pagipagi sekali besok, dan berpamitan sebelum waktu biasanya ia
pulang.
Alice ikut pulang bersamanya. Aku permisi hendak tidur tak lama setelah mereka pulang.
"Masa kau sudah capek lagi," protes Charlie.
"Sedikit,” dustaku.
"Pantas kau sering mangkir menghadiri pesta,” gerutu Charlie. "Kau
butuh waktu yang sangat lama untuk pulih."
Di lantai atas, Edward sudah berbaring melintang di tempat tidurku.
"Jam berapa kita akan bertemu dengan para serigala?" bisikku sambil
mendekatinya.
"Satu jam lagi."
"Bagus. Jake dan teman-temannya butuh tidur."
"Mereka tidak butuh tidur sebanyak kau," tukasnya. Aku beralih ke
topik lain, berasumsi Edward berniat
membujukku tinggal saja di rumah. "Alice sudah cerita padamu, belum, kalau
dia menculikku lagi?"
Edward nyengir. "Sebenarnya, bukan begitu."
Kutatap Edward, bingung, dan ia tertawa pelan melihat ekspresiku.
"Akulah satu-satunya yang diizinkan menyanderamu, ingat?" tanya
Edward. "Alice akan pergi berburu bersama
mereka semua." Ia mendesah. "Kurasa aku tidak perlu melakukan itu
sekarang."
"Jadi kau yang akan menculikku?" Edward mengangguk.
Aku berpikir sebentar. Tidak ada Charlie yang mendengarkan di lantai bawah,
sesekali datang untuk
mengecek. Dan di seantero rumah tidak ada vampir yang tidak pernah tidur dengan
pendengaran mereka yang luar biasa sensitif. Hanya dia dan aku – benar-benar
sendirian.
"Kau tidak keberatan, kan?" tanya Edward, cemas melihatku terdiam.
"Well... tentu tidak. kecuali satu hal."
"Apa itu?" Mata Edward tampak gelisah. Membingungkan, tapi entah
kenapa Edward sepertinya masih merasa tidak yakin ia memilikiku. Mungkin aku perlu
lebih memperjelas maksudku.
"Kenapa Alice tidak bilang saja kepada Charlie bahwa kau berangkat malam
ini?" tanyaku.
Edward tertawa, lega.
Aku menikmati perjalanan ke lapangan lebih daripada semalam. Aku masih merasa
bersalah, masih takut, tapi
tidak ketakutan lagi. Aku bisa berfungsi. Aku bisa melihat melewati apa yang
akan terjadi, dan nyaris meyakini bahwa mungkin keadaan akan baik-baik saja.
Ternyata Edward bisa menerima usul untuk tidak ikut berperang... dan karena itulah,
sulit untuk tidak memercayainya waktu mengatakan mereka bisa memenangkan
peperangan ini dengan mudah.
Edward tidak mungkin berani meninggalkan keluarganya kalau ia sendiri tidak
percaya. Mungkin Alice benar, aku
terlalu khawatir. Kami yang terakhir sampai di lapangan. Jasper dan Emmett
sudah bergulat, hanya pemanasan
kalau mendengar tawa mereka, Alice dan Rosalie duduk di tanah yang keras,
menonton. Esme dan Carlisle mengobrol berapa meter dari sana, kepala mereka
berdekatan, jari-jari saling bertautan, tak memedulikan sekeliling mereka. Malam
ini suasana jauh lebih benderang, cahaya bulan menerobos awan-awan tipis, dan
aku bisa dengan mudah melihat tiga serigala duduk mengitari arena latihan, satu
sama lain terpisah cukup jauh, supaya bisa menonton dari sudut berbeda.
Aku juga langsung bisa mengenali Jacob; aku pasti akan langsung mengenalinya,
walaupun seandainya ia tidak
mendongak dan menengok begitu mendengar kami datang.
"Mana serigala-serigala yang lain?" tanyaku.
"Tidak semuanya perlu datang ke sini. Satu saja sudah cukup, tapi Sam tidak
terlalu percaya kepada kita sehingga berani mengirim Jacob sendirian, walaupun
Jacob bersedia. Quil dan Embry adalah... kurasa kau bisa menyebut mereka
pendamping Jacob."
"Jacob percaya padamu.”
Edward mengangguk. "Dia percaya kami tidak akan mencoba membunuhnya. Hanya
itu, tapi."
"Apakah kau akan ikut berpartisipasi malam ini?" tanyaku, ragu-ragu.
Aku tahu hampir sama sulitnya bagi
Edward ditinggal sendirian, sama seperti aku sulit ditinggal olehnya. Mungkin
malah lebih sulit.
"Aku akan membantu Jasper kalau dia membutuhkan. Dia ingin mencoba
beberapa pengelompokan yang tidak
seimbang. mengajari mereka caranya menghadapi beberapa penyerang
sekaligus."
Edward mengangkat bahu.
Gelombang kepanikan baru langsung menghancurkan rasa percaya diriku yang
singkat tadi.
Mereka terap kalah banyak. Aku malah semakin memperparah keadaan. Mataku
menatap lapangan, berusaha menyembunyikan kepanikanku. Ternyata aku memandang
ke tempat yang salah, sementara aku berusaha keras membohongi diri sendiri, meyakinkan
diriku segala sesuatu akan berjalan seperti kemauanku. Karena ketika aku
memaksa mataku berpaling dari keluarga Cullen,mengalihkan pandangan dari
latihan perang-perangan yang beberapa hari lagi akan menjadi nyata dan
mematikan, mataku tertumbuk kepada Jacob dan ia tersenyum.
Lagi-lagi seringaian khas serigala seperti yang ditunjukkannya kemarin, matanya
menyipit seperti yang
biasa dilakukannya saat berwujud manusia.
Sulit dipercaya bahwa, belum lama berselang, aku menganggap serigala-serigala
itu mengerikan, sampaisampai
aku tidak bisa tidur karena terganggu mimpi buruk mengenai mereka. Aku tahu,
tanpa bertanya, yang mana Embry dan yang mana Quil. Karena Embry jelas-jelas
serigala kelabu kurus dengan bercak-bercak gelap di punggungnya, yang duduk menonton
dengan sabar, sementara Quil-bulunya cokelat tua, dengan warna lebih terang di
daerah sekitar wajah, bergerak-gerak terus, sepertinya sangat ingin bergabung dengan
perang-perangan itu. Mereka bukan monster, bahkan dalam keadaan seperti ini.
Mereka teman.
Teman yang tidak terlihat tak terkalahkan seperti Emmett dan Jasper, yang
bergerak lebih cepat daripada
pagutan kobra, dengan cahaya bulan memantul berkilauan di kulit mereka yang
sekeras granit. Teman yang
kelihatannya tidak memahami bahaya yang mengancam di sini. Teman yang tidak
abadi, yang bisa berdarah, yang bisa tewas....
Rasa percaya diri Edward memang meyakinkan, karena kentara sekali ia tidak
terlalu mengkhawatirkan
keselamatan keluarganya. Tapi apakah ia akan sedih jika sesuatu terjadi pada
serigala-serigala itu? Adakah alasan baginya untuk merasa cemas, bila
kemungkinan itu tidak mengganggunya sama sekali? Rasa percaya diri Edward hanya
berlaku untuk satu sisi ketakutanku.
Aku berusaha membalas senyum Jacob, menelan ludah dengan susah payah karena
tenggorokanku bagai tersumbat. Sepertinya aku tidak berhasil menyunggingkan
senyum yang wajar. Jacob melompat ringan, kelincahannya tampak tak sepadan
dengan tubuhnya yang besar, dan ia berlari-lari kecil menghampiri Edward dan
aku yang berdiri di pinggir arena.
"Jacob," Edward menyapanya sopan.
Jacob tidak menggubrisnya, mata hitamnya tertuju padaku, ia merendahkan
kepalanya hingga sejajar
denganku, seperti yang dilakukannya kemarin. menelengkannya ke satu sisi.
Dengkingan pelan keluar dari moncongnya.
“Aku baik-baik saja." jawabku. tanpa perlu diterjemahkan Edward.
"Hanya khawatir."
Jacob terus memandangiku.
"Dia ingin tahu kenapa." gumam Edward. Jacob menggeram – nadanya
tidak mengancam, hanya
kesal – dan bibir Edward bergerak-gerak.
"Apa?" tanyaku.
"Dia menganggap terjemahanku tidak tepat. Sebenarnya yang dia pikirkan
adalah, ‘itu benar-benar bodoh. Apa yang perlu dikhawatirkan?’ Aku mengeditnya
karena menurutku itu kasar."
Aku tersenyum setengah hati, kelewat cemas untuk benar-benar merasa geli.
"Justru banyak sekali yang perlu
dikhawatirkan,” kataku kepada Jacob. "Seperti misalnya, segerombolan
serigala bodoh mencelakakan diri sendiri."
Jacob mengumandangkan tawanya yang menggonggong itu. Edward mendesah. "Jasper
minta bantuan. Kau bisa kan tanpa penerjemah?"
"Bisa."
Sejenak Edward menatapku sendu, ekspresinya sulit dimengerti, lalu ia berbalik
dan berjalan ke tempat Jasper
sudah menunggu. Aku duduk di tempatku berdiri tadi. Tanah dingin dan tidak
nyaman. Jacob maju selangkah, lalu berpaling menatapku, dan dengkingan pelan
keluar dari tenggorokannya. Ia maju lagi setengah langkah.
"Tontonlah tanpa aku," kataku. "Aku tidak ingin menonton."
Jacob Mencondongkan kepalanya lagi ke satu sisi, kemudian melipat tubuhnya dan
duduk di tanah dengan
embusan napas yang menggetarkan tubuhnya.
"Benar kok. kauperhatikan latihannya saja," aku meyakinkan dia.
Jacob tidak menyahut, hanya Meletakkan
kepalanya di kedua kaki depannya. Aku menengadah, memandangi awan-awan yang
perak cemerlang, tidak ingin menonton pertempuran. Imajinasiku sudah cukup
liar. Angin sepoi-sepoi bertiup ke lapangan.
dan aku menggigil. Jacob beringsut lebih dekat kepadaku, mendesakkan bulu-bulunya
yang hangat ke sisi kiri tubuhku.
"Eh, trims." gumamku.
Beberapa menit kemudian aku bersandar di bahunya yang lebar. Jauh lebih nyaman
seperti itu.
Awan-awan bergerak lambat di langit, suasana berubah redup kemudian cerah
kembali saat gumpalan-gumpalan tebal melewati bulan dan terus melaju. Tanpa
berpikir aku mulai menyusupkan jari-jariku ke
bulu lehernya. Suara dengkuran aneh seperti kemarin menggeletar di
kerongkongannya. Suaranya terdengar
akrab. Lebih kasar, lebih liar daripada dengkuran kucing tapi sama-sama
menunjukkan suasana hati yang senang dan gembira.
"Kau tahu, aku tidak pernah punya anjing," renungku.
"Sebenarnya aku ingin memelihara anjing. tapi Renee alergi."
Jacob tertawa, tubuhnya bergetar di bawah tanganku.
"Kau sama sekali tidak khawatir mengenai hari Sabtu?" tanyaku.
Jacob memalingkan kepalanya yang besar ke arahku sehingga aku bisa melihat satu
bola matanya berputar.
"Kalau saja aku bisa seyakin itu."
Jacob menyandarkan kepalanya ke kakiku, dan mulai mendengkur lagi. Itu
benar-benar membuat perasaanku
sedikit lebih enak.
"Jadi besok kita akan pergi hiking, kurasa." Jacob menggeram; nadanya
antusias.
"Mungkin akan jauh sekali,” Aku mewanti-wanti Jacob.
"Edward tidak menilai jarak seperti manusia normal umumnya."
Lagi-lagi Jacob menggonggong tertawa. Aku semakin merapat ke bulunya yang
hangat, menyandarkan kepalaku ke lehernya. Aneh. Meski Jacob sedang dalam wujud
aneh seperti sekarang. tapi kami tetap seperti Jake dan aku dulu – persahabatan
yang damai dan tenteram, yang sama alaminya dengan bernapas – dibandingkan
dengan beberapa saat terakhir aku bersama-sama Jacob saat ia dalam wujud manusia.
Sungguh ganjil, aku justru menemukan perasaan itu lagi di sini, padahal kukira
wujud serigala merupakan penyebab hilangnya perasaan itu. Perang-perangan berlanjut
di lapangan, dan mataku menerawang ke bulan yang berkabut.
0 komentar:
Post a Comment