December 01, 2013

Eclipse Indonesia 10

10. BAU

SUNGGUH kekanak-kanakan. Kenapa Edward harus pergi sebelum Jacob datang? Bukankah kami sudah
melupakan halhal kekanakan seperti ini? "Bukan berarti aku memiliki antagonisme pribadi terhadapnya, Bella, tapi itu lebih mudah bagi kami berdua.”
Edward berkata di ambang pintu. "Aku tidak akan berada jauh dari sini. Kau akan aman.”
"Bukan itu yang kukhawatirkan.”
Edward tersenyum, kemudian secercah ekspresi licik terpancar dari matanya. Ia menarikku ke dekatnya,
mengubur wajahnya di rambutku. Bisa kurasakan embusan napasnya yang dingin membasahi helai-helai rambutku saat ia mengembuskan napas; bulu kuduk di tengkukku langsung meremang.
"Aku akan segera kembali,” ucapnya, kemudian tertawa keras-keras, seolah-olah baru saja melontarkan lelucon yang lucu sekali.
"Apanya yang lucu?"
Tapi Edward hanya nyengir, lalu melesat ke arah pepohonan tanpa menjawab. Menggerutu sendiri, aku beranjak untuk membersihkan dapur. Sebelum sempat mengisi bak cuci sampai penuh, bel pintu sudah berbunyi, Sulit membiasakan diri dengan kenyataan bahwa Jacob justru bisa datang jauh lebih cepat tanpa naik mobil. Sebal juga rasanya, bagaimana semua orang sepertinya bisa bergerak jauh lebih cepat daripada aku...
"Masuklah, Jake!" teriakku.
Aku sedang berkonsentrasi pada tumpukan piring dalam air bersabun hingga lupa kalau belakangan ini Jacob bisa berjalan tanpa suara. Maka aku pun terlonjak kaget waktu suaranya tiba-tiba terdengar di belakangku.
"Kenapa kau membiarkan pintumu tidak dikunci seperti itu? Oh, maaf."
Aku terciprat air cucian piring ketika kehadiran Jacob membuatku terlonjak kaget.
"Aku tidak mencemaskan orang yang bisa dihalangi dengan pintu terkunci,” tukasku sambil menyeka bagian
depan bajuku dengan lap.
"Memang benar,” Jacob sependapat.
Aku berpaling untuk memandanginya, menatapnya dengan pandangan kritis. "Memangnya kau benar-benar
tidak bisa mengenakan baju, ya, Jacob?" tanyaku. Lagi-lagi Jacob bertelanjang dada, tidak memakai apa-apa kecuali jins usang yang dipotong pendek, Diam-diam aku curiga apakah Jacob memang sengaja ingin memamerkan otot-otot barunya yang kekar. Harus kuakui, otot-ototnya memang mengesankan-tapi menurutku Jacob bukan tukang pamer.
"Aku tahu kau tidak pernah kedinginan lagi, tapi tetap saja.”
Jacob melarikan jemarinya di rambutnya yang basah; rambut itu menjuntai ke matanya.
"Begini lebih mudah.” ia menjelaskan.
"Apanya yang lebih mudah?”
Jacob tersenyum sinis, "Membawa-bawa celana pendek saja sudah cukup merepotkan, apalagi baju dan celana
lengkap. Memangnya aku keledai pengangkut?"
Keningku berkerut. "Kau ini bicara apa sih, Jacob?" Ekspresi Jacob menyiratkan kemenangan, seolah-olah
aku luput memerhatikan sesuatu yang sudah sangat jelas.
"Bajuku tidak ikut menghilang dan muncul lagi setiap kali aku berubah bentuk-jadi aku harus membawanya sambil berlari. Maaf kalau aku tidak ingin membawa beban terlalu banyak.”
Wajahku merah padam. "Itu sama sekali tidak terpikir olehku.” gumamku.
Jacob tertawa dan menunjuk tali kulit hitam setipis benang rajut yang dililitkan tiga kali di tungkai kirinya,
menyerupai gelang. Barulah aku sadar ia juga bertelanjang kaki. "Itu kupakai bukan untuk bergaya-tidak enak rasanya membawa-bawa jins di mulut.”
Aku tidak tahu harus berkara apa. Jacob nyengir, "Apakah keadaanku yang setengah telanjang ini membuatmu risi?"
"Tidak.”
Jacob tertawa lagi, dan aku memunggunginya untuk berkonsentrasi pada piring-piring yang sedang kucuci.
Mudah-mudahan ia menyadari wajahku merah padam karena malu oleh kebodohanku sendiri, bukan karena
pertanyaannya barusan.
"Well, sebaiknya aku langsung saja mulai.” Jacob mendesah.
"Aku tidak mau memberinya alasan untuk mengatakan bahwa aku tidak melakukan bagianku dengan benar.”
"Jacob, kau tak perlu...” Jacob mengangkat tangan, menghentikan perkataanku.
“Aku melakukannya atas dasar sukarela. Sekarang, di mana bau si tamu tak diundang itu paling kuat tercium?"
"Di kamarku, mungkin.”
Mara Jacob menyipit. Ia tidak menyukai kenyataan itu, sama seperti Edward.
"Tunggu sebentar.”
Dengan tekun aku menyikat piring yang kupegang. Satusatunya suara yang terdengar hanyalah bunyi sikat plastik menggesek-gesek permukaan keramik, Aku memasang telinga, berusaha mendengarkan suara dari atas, derit lantai papan, bunyi pintu ditutup. Tapi tidak terdengar apa-apa. Sadarlah aku bahwa aku sudah menyikat piring yang sama lebih lama daripada seharusnya, jadi aku berusaha memusatkan perhatian pada apa yang sedang kukerjakan.
"Fiuuh!" seru Jacob, beberapa sentimeter di belakangku, lagi-lagi membuatku melompat kaget.
"Aduh, Jake, jangan mengagetkanku terus!"
"Maaf. Ayo...” Jacob meraih lap dan mengeringkan tumpahan air. "Aku akan 'menebus' dosa-dosaku. Kau
mencuci, aku yang membilas dan mengeringkan.”
"Baiklah.” Kusodorkan piring itu padanya,
"Well, baunya cukup kuat, Omong-omong, kamarmu bau sekali.”
"Nanti aku beli pengharum ruangan.” Jacob tertawa.
Selama beberapa menit berikutnya, aku mencuci dan Jacob mengeringkan sambil berdiam diri.
"Boleh aku tanya sesuatu?"
Aku mengulurkan piring lagi padanya. "Tergantung pada apa yang ingin kauketahui"
"Bukan maksudku ikut campur atau bagaimana-aku benar-benar ingin tahu.” Jacob berusaha meyakinkanku.
"Baik. Silakan, tanya saja.”
Jacob terdiam sebentar, "Bagaimana rasanya-punya pacar vampir?"
Aku memutar bola mataku. "Asyik sekali.”
"Aku serius. Apakah itu tidak pernah membuatmu merasa terganggu-tidak pernah membuatmu ngeri?”
"Tidak pernah.”
Jacob terdiam saat mengambil mangkuk dari tanganku. Kulirik wajahnya-kening Jacob berkerut, bibir bawahnya
mencebik.

“Ada lagi?" tanyaku.

Jacob mengernyitkan hidungnya lagi. "Well, aku hanya ingin tahu ... apakah ... ehh, kau berciuman dengannya?”
Aku tertawa. "Ya.”

Jacob bergidik. "Ugh.”

"Orang kan beda-beda.” gumamku.
"Memangnya kau tidak takut pada taringnya?”
Kutinju lengan Jacob, tubuhnya terciprat air cucian piring. "Tutup mulutmu, Jacob! Kau tahu dia tidak punya
taring!"
"Cukup mirip dengan taring!” gerutu Jacob. Aku menggertakkan gigi dan dengan gemas menyikat
pisau dapur.
"Boleh aku bertanya lagi?” tanya Jacob lirih waktu aku menyerahkan pisau itu padanya. "Hanya ingin tahu.”
"Baiklah,” bentakku.
Jacob membolak-balik pisau di tangannya di bawah kucuran air. Saat berbicara, suaranya hanya berupa bisikan.
"Katamu kemarin beberapa minggu lagi.... Kapan, persisnya...?” Ia tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya.
"Kelulusan,” aku balas berbisik, menatap wajahnya waswas. Apakah ini akan membuatnya mengamuk lagi?
"Cepat sekali,” desah Jacob, matanya terpejam.
Kedengarannya bukan pertanyaan. Melainkan ratapan. Otot-otot lengan Jacob mengeras dan bahunya mengejang.
“ADUH!" teriak Jacob; suasana di dapur begitu sunyi sampai-sampai aku melompat kaget mendengar
teriakannya. Tangan kanan Jacob menggenggam erat mata pisau-ia membuka genggaman dan pisau itu jatuh berdenting di konter, Di telapak tangannya tampak segaris luka panjang dan dalam. Darah mengalir ke jari-jarinya dan menetes ke lantai,
"Brengsek! Aduh!" maki Jacob.
Segera saja kepalaku pusing dan perutku berontak. Aku berpegangan erat-erat ke konter dengan satu tangan,
menarik napas dalam-dalam lewat mulut, dan memaksa diri untuk tenang supaya bisa menolongnya.
"Oh, tidak, Jacob! Oh, brengsek! Ini, belitkan di tanganmu!"
Aku menyodorkan lap piring itu padanya, meraih tangannya. Jacob menepis tanganku.
"Tidak apa-apa, Bella, jangan khawatir.”
Seisi ruangan mulai tampak berpendar-pendar dan kabur di sisi-sisinya.
Aku kembali menarik napas dalam-dalam. "Jangan khawatir?! Tanganmu teriris pisau!"
Jacob tak menggubris lap yang kusodorkan padanya. Ia meletakkan tangannya di bawah keran dan membiarkan air mengalir membersihkan lukanya. Air yang mengucur berubah warna menjadi merah. Kepalaku berputar.
"Bella.” kata Jacob.
Aku memalingkan muka, tak mau melihat lukanya, dan mendongak menatap wajah Jacob. Kening Jacob berkerut, tapi ekspresinya tenang.
"Apa?"
"Kau kelihatan seperti mau pingsan, dan bibirmu kau gigiti. Hentikan. Rileks. Tarik napas panjang. Aku tidak
apa-apa.”
Aku menghirup udara melalui mulut dan berhenti menggigit bibit bawahku. "Jangan sok kuat.”
Jacob memutar bola matanya.

"Ayo. Kuantar kau ke UGD,” Aku yakin sekali masih mampu menyetir. Dinding-dinding tidak tampak

bergoyang-goyang lagi, setidaknya.
"Tidak perlu,” Jake mematikan air dan mengambil lap dari tanganku. Ia melilitkan lap itu dengan longgar ke
telapak tangan.
"Tunggu.” protesku. "Coba kulihat.” Tanganku semakin erat mencengkeram konter, berjaga-jaga agar tidak
jatuh kalau nanti luka itu membuatku pusing lagi.
"Memangnya kau punya gelar dokter tapi tidak pernah memberitahuku, ya?"
"Pokoknya beri aku kesempatan untuk memutuskan apakah aku perlu mengamuk atau tidak untuk
membawamu ke rumah sakit.”
Jacob mengernyitkan wajah dengan sikap pura-pura ngeri.
"Please, jangan mengamuk!"
"Kalau aku tidak boleh melihat tanganmu, dijamin aku pasti mengamuk.”
Jacob menghela napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dengan suara keras, "Baiklah.”
Dibukanya belitan lap itu dan, waktu aku mengulurkan tangan untuk mengambilnya, Jacob meletakkan tangannya di tanganku.
Dibutuhkan waktu beberapa derik. Aku bahkan sampai membalikkan tangannya, walaupun aku yakin telapak
tangannya tadi terluka. Kubalikkan lagi tangan itu, akhirnya menyadari yang tersisa dari lukanya hanyalah
goresan berwarna pink tua.
"Tapi... tadi kau berdarah... banyak sekali.”
Jacob menarik tangannya, matanya menatap mataku, tenang dan kalem.
"Lukaku sembuh dengan cepat.” "Betul sekali.” Sahutku tanpa suara.
Padahal aku tadi melihat luka yang panjang itu dengan jelas, melihat darah yang mengalir ke bak cuci. Bau darah yang seperti karat bercampur garam bahkan nyaris membuatku pingsan. Luka seperti itu seharusnya dijahit.
Seharusnya dibutuhkan waktu berhari-hari agar luka itu mengering, dan baru berminggu-minggu kemudian menjadi segores bekas luka warna pink mengilat seperti yang kini menghiasi kulit Jacob.
Mulut Jacob berkerut, membentuk senyum separo, lalu menepukkan tinjunya ke dada. "Werewolf, ingat?”
Matanya menatapku lama sekali.
"Benar,” ujarku akhirnya.
Jacob tertawa melihat ekspresiku. "Aku kan sudah pernah menceritakannya padamu. Kau juga pernah melihat
bekas luka Paul.”
Aku menggeleng untuk menjernihkan pikiran, "Tapi sedikit lain kalau melihat urutan kejadiannya dengan mata
kepala sendiri.”
Aku berlutut dan mengeluarkan botol berisi cairan pemutih dari rak di bawah bak cuci. Kemudian aku
menuangkan sedikit ke lap dan mulai menggosok-gosok lantai. Bau cairan pemutih yang membakar melenyapkan sisa-sisa pusing dari kepalaku.
"Biar aku saja yang membersihkan.” kata Jacob.
"Tidak usah. Tolong masukkan saja lap ini ke mesin cuci.” Setelah aku yakin lantai tidak berbau apa-apa lagi
kecuali bau cairan pemutih, aku bangkit dan membilas bak cuci sebelah kanan dengan cairan pemutih, Kemudian aku pergi ke ruang cuci di sebelah pantry, dan menuangkan satu tutup botol penuh cairan pemutih ke mesin cuci sebelum menyalakannya. Jacob mengamati kesibukanku dengan ekspresi tidak setuju tergambar di wajahnya.
"Kau mengidap kelainan jiwa obsesif-kompulsif ya?” tanyanya begitu aku selesai.
Hah. Mungkin. Tapi paling tidak kali ini alasanku tepat.
"Di sini kami agak sensitif dengan darah. Aku yakin kau bisa memahami hal itu.”
"Oh.” Jacob mengernyitkan hidungnya lagi.
"Kenapa tidak membuat keadaan menjadi semudah mungkin baginya? Apa yang dia lakukan sekarang sudah
cukup berat.”
"Tentu, tentu. Kenapa tidak?”
Kutarik sumbat bak, dan membiarkan air kotor terisap masuk ke saluran pembuangan.
"Boleh aku tanya sesuatu, Bella?"
Aku mendesah.
"Bagaimana rasanya-punya sahabat werewolf?"
Pertanyaan itu membuatku kaget. Aku tertawa keraskeras.

"Menakutkan tidak bagimu?” desak Jacob sebelum aku bisa menjawab.

"Tidak. Kalau werewolf-nya sedang bersikap baik, rasanya menyenangkan sekali,” kataku.
Jacob nyengir lebar, giginya cemerlang berlatar belakang kulitnya yang cokelat kemerahan. "Trims, Bella.” katanya, kemudian menyambar tanganku dan memelukku erat sekali sampai nyaris meremukkan tulang-tulangku.
Belum sempat aku bereaksi, ia sudah melepas pelukannya dan mundur menjauh.
"Ugh,” omelnya, hidungnya mengernyit. "Rambutmu lebih bau daripada kamarmu.”
"Maaf" gumamku. Mendadak aku sadar apa yang ditertawakan Edward tadi, setelah bernapas begitu dekat di
rambutku.
"Satu dari sekian banyak risiko bergaul dengan vampir,” tukas Jacob, mengangkat bahu. "Baumu jadi tidak keruan. Risiko kecil tapi, kalau dibandingkan risiko-risiko lain.”
Kupelototi dia. “Aku hanya berbau tidak enak bagimu, Jake.”
Jake menyeringai. "Sampai keremu lagi, Bells.”
"Kau sudah mau pulang?"
"Dia menungguku pergi. Aku bisa mendengarnya di luar.”
"Oh.”
"Aku akan keluar lewat pintu belakang.” kata Jacob, kemudian berhenti. "Tunggu sebentar-hei, menurutmu bisa
tidak kau datang ke La Push nanti malam? Ada pesta api unggun. Emily akan datang, dan kau juga bisa berkenalan dengan Kim... Dan aku tahu Quil ingin bertemu denganmu juga. Dia agak kesal karena kau tahu lebih dulu daripada dia.”
Aku nyengir membayangkannya. Bisa kubayangkan bagaimana jengkelnya Quil mengetahui hal itu-teman
perempuan manusia Jacob bergaul dengan werewolf sementara ia malah belum tahu apa-apa. Kemudian aku
mendesah. "Yeah, Jake, aku tidak bisa memastikan. Begini, keadaan agak tegang sekarang ini...”
"Ayolah, mungkinkah ada yang bisa menerobos pertahanan semua-kami berenam?”
Ada jeda aneh setelah Jacob terbata-bata di akhir pertanyaan. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah ia
kesulitan mengucapkan kata werewolf dengan suara keras, seperti aku sering mengalami kesulitan mengucapkan kata vampir.
Mara hitamnya yang besar tanpa malu-malu dipenuhi sorot memohon.
"Akan kutanyakan.” kataku ragu.
Jacob mengeluarkan suara yang kedengarannya seperti geraman pelan. "Jadi dia sekarang sipirmu juga? Tahu
tidak, minggu lalu aku melihat berita tentang gaya pacaran remaja yang terlalu menguasai dan senang menyiksa-"
"Oke!" kupotong kata-katanya, kemudian kudorong lengannya. "Saatnya bagi werewolf untuk pulang!"
Jacob nyengir. "Bye, Bells. Pastikan kau minta izin padanya."
Ia sudah kabur lewat pintu belakang sebelum aku bisa menemukan sesuatu untuk dilempar. Aku mengomel
panjang lebar di ruangan yang kosong. Beberapa detik setelah Jacob pergi, Edward berjalan lambat-lambat memasuki dapur, butiran-butiran air hujan berkilau bagaikan berlian di rambutnya yang berwarna perunggu. Sorot matanya kecut.
“Apakah kalian berkelahi?" tanyanya.
"Edward!" seruku, menubruknya.
"Halo.” Ia tertawa dan memelukku. "Kau berusaha mengalihkan perhatianku, ya? Caramu berhasil.”
"Tidak, aku tidak berkelahi dengan Jacob. Tidak terlalu. Kenapa?"
"Aku hanya penasaran kenapa kau menusuknya. Bukan berarti aku keberatan.” Dengan dagunya, Edward
menuding pisau di konter,
"Astaga! Kukira aku sudah membersihkan semuanya.”
Aku melepaskan diri darinya dan berlari untuk meletakkan pisau di bak cuci sebelum mengucurinya dengan cairan pemutih,
"Aku tidak menusuknya.” jelasku sambil terus bekerja.
"Dia lupa sedang memegang pisau.” Edward terkekeh. "Ternyata tidak seseru yang kubayangkan.”
"Jangan begitu Edward mengeluarkan amplop besar dari saku jaketnya dan melemparnya ke konter, "Ada surat untukmu.”
"Kabar baik?”
"Aku pikir begitu.”
Mataku menyipit curiga mendengar nadanya. Aku beranjak untuk memeriksa. Edward melipat amplop besar itu menjadi dua. Aku melicinkannya, terkejut saat merasakan kertasnya yang tebal dan mahal, lalu membaca alamat pengirimnya.
"Dartmouth? Apa ini leluconmu?"
"Aku yakin ini surat pernyataan diterima. Bentuknya mirip sekali dengan punyaku.”
"Ya ampun, Edward-apa yang kaulakukan?”
“Aku mengirimkan aplikasimu, itu saja.”
"Mungkin aku memang bukan calon yang tepat untuk Dartmouth, tapi aku tidak sebodoh itu hingga percaya hal
ini.”
"Sepertinya Dartmouth menganggapmu calon yang tepat.”
Aku menghela napas dalam-dalam dan menghitung pelan-pelan sampai sepuluh. "Baik hati benar mereka.”
ujarku akhirnya. "Namun, diterima atau tidak, tetap ada masalah uang kuliah. Aku tidak sanggup membayarnya,
dan aku tidak mau kau menghambur-hamburkan uang yang jumlahnya cukup untuk membeli mobil sport lagi hanya supaya aku bisa pura-pura masuk Dartmouth tahun depan.”
"Aku tidak butuh mobil sport lagi. Dan kau tidak perlu berpura-pura,” ujar Edward. "Setahun kuliah kan bukan
masalah besar. Mungkin kau bahkan akan menyukainya. Pikirkan baik-baik, Bella. Bayangkan betapa senangnya Charlie dan Renee nanti...”
Suara Edward yang selembut beledu melukiskan gambaran itu di kepalaku sebelum aku sempat
mencegahnya. Sudah pasti Charlie akan bangga bukan kepalang-tidak ada seorang warga Forks pun yang bakal
luput mendengar, cerita bangga Charlie. Dan Renee pasti histeris saking girangnya mendengar keberhasilanku walaupun dia pasti akan bersumpah sama sekali tidak terkejut....Aku berusaha menepis bayangan itu dari kepalaku.
"Edward. Membayangkan menjalani hidup sampai kelulusan saja aku sudah tidak sanggup, apalagi sampai
musim panas atau musim gugur yang akan datang.”
Lengan Edward memelukku lagi. "Tidak ada yang akan mencelakakanmu. Kau masih punya banyak waktu.”
Aku mendesah. "Aku akan mengirimkan seluruh isi rekeningku ke Alaska besok, Hanya itu alibi yang
kubutuhkan. Jaraknya cukup jauh hingga Charlie paling cepat baru akan mengharapkan kepulanganku saat Natal nanti. Dan aku yakin pasti bisa memikirkan alasan untuk tidak datang saat itu. Kau tahu.” godaku setengah hati,
"hidup menyimpan rahasia dan selalu membohongi orang rasanya sedikit menyusahkan.”
Ekspresi Edward mengeras. "Semakin lama akan semakin mudah. Beberapa dekade mendatang, semua orang
yang kaukenal akan mati. Jadi masalahmu beres.”
Aku tersentak.
"Maaf, ucapanku tadi kasar.”
Aku menunduk, menatap amplop putih besar itu tanpa benar-benar melihatnya. "Tapi benar.”
"Kalau aku berhasil menyelesaikan masalah ini, apa pun yang kira hadapi ini, maukah kau mempertimbangkan
untuk menunggu?”
"Tidak.”
"Selalu saja keras kepala.”
"Yep.”
Mesin cuci berguncang keras dan mesinnya terbatukbatuk lalu mati.
"Dasar barang rongsokan,” gerutuku sambil melepaskan diri dari pelukan Edward. Kupindahkan lap piring kecil
yang membuat mesin cuciku yang kosong-melompong itu mogok, lalu kunyalakan lagi.
"Aku jadi ingat,” kataku. "Bisakah kautanyakan pada Alice di mana dia menyimpan barang-barangku yang
diambilnya waktu membersihkan kamarku? Sudah kucari ke mana-mana, tapi tidak ketemu.”
Edward menatapku bingung. "Alice membersihkan kamarmu?”
" Yeah, kurasa itulah yang dia lakukan. Waktu dia datang untuk mengambil piama, bantal, dan barang-barang
untuk keperluan menyanderaku.” Kupelototi Edward sejenak. "Dia mengambil semua barang yang berserakan,
baju-baju, kaus kaki, dan aku tidak tahu di mana dia menyimpannya.”
Wajah Edward tetap terlihat bingung beberapa saat lagi, tapi kemudian, mendadak, tubuhnya mengejang kaku.
"Kapan kau menyadari barang-barangmu hilang?"
"Sepulang dari pesta piama gadungan itu, Kenapa?"
"Menurutku bukan Alice yang mengambil barangbarangmu.

Baik baju maupun bantal, Barang-barang yang diambil itu, apakah itu benda-benda yang sudah kaupakai...

kausentuh.. dan kau tiduri?”
"Ya. Ada apa sebenarnya, Edward?"
Ekspresi Edward mengeras. "Benda-benda dengan bau tubuhmu.”
"Oh!" Kami berpandangan lama sekali.
"Tamu tak diundang itu.” gumamku.
"Dia mengumpulkan jejak-jejak... bukti. Untuk membuktikan dia sudah menemukanmu?"
"Kenapa?" bisikku.
"Entahlah, Tapi, Bella, aku bersumpah akan mencari tahu. Pasti.”
“Aku tahu kau pasti bisa,” kataku, meletakkan kepalaku di dadanya. Saat bersandar di sana, aku bisa merasakan
ponsel di sakunya bergetar.
Edward mengeluarkan ponselnya dan memandangi nomor yang tertera di layar. "Kebetulan.” gumamnya,
kemudian membuka ponselnya. "Carlisle, aku... Ia terdiam dan mendengarkan, raut wajahnya penuh konsentrasi
selama beberapa menit. "Akan kuperiksa. Dengar...”
Edward menjelaskan tentang barang-barangku yang hilang, tapi dari sisi yang bisa kudengar, kelihatannya
Carlisle juga tidak bisa memberi masukan.
"Mungkin aku akan pergi..,” kata Edward, suaranya menghilang saat matanya melirik ke arahku. "Mungkin
tidak. Jangan biarkan Emmett pergi sendirian, kau tahu bagaimana dia. Paling tidak minta Alice untuk terus
berjaga-jaga. Kita bereskan persoalan ini nanti.”
Edward menutup kembali ponselnya. "Mana surat kabarmu?" tanyanya.
"Eh, entahlah. Kenapa?"
"Ada yang perlu kulihat. Apa Charlie sudah membuangnya?”
"Mungkin."
Edward menghilang. Setengah detik kemudian ia kembali, rambutnya lagi-lagi dihiasi butiran air hujan yang menyerupai berlian, tangannya memegang koran yang basah. Ia membentangkan koran itu di meja, matanya menyapu judul-judul beritanya dengan cepat. Ia membungkukkan badan, perhatiannya terfokus pada berita yang sedang dibacanya, satu jari menyusuri baris-baris yang paling menarik perhatiannya.
"Carlisle benar... ya... ceroboh sekali. Muda dan sinting? Atau memang ingin mati?" Edward bergumam sendiri.
Aku mencoba melongok dari balik bahunya. Judul berita surat kabar Seattle Times itu berbunyi:
"Epidemi Pembunuhan Berlanjut-Polisi Tak Punya Petunjuk Baru".
Beritanya nyaris mirip dengan yang dikeluhkan Charlie beberapa minggu lalu-kejahatan kota besar yang
mendongkrak Seattle ke puncak tangga daftar kota yang tingkat pembunuhannya paling tinggi.
“Makin gawat,” gumamku.
Kening Edward berkerut. "Benar-benar tak terkendali. Tidak mungkin ini hasil perbuatan satu vampir baru. Apa
yang terjadi sebenarnya? Seolah-olah mereka belum pernah mendengar tentang keluarga Volturi. Itu mungkin saja, kurasa. Tidak ada yang pernah menjelaskan aturanaturannya pada mereka... jadi siapa yang menciptakan
mereka?”
"Keluarga Volruri?" ulangku, bergidik.
"Hal seperti inilah yang secara rutin mereka tangani kaum imortal yang membuat keberadaan kami terancam
diketahui. Keluarga Volturi baru saja membereskan kekacauan seperti ini beberapa tahun yang lalu di Atlanta.
padahal keadaan waktu itu tidak separah sekarang. Tak lama lagi mereka pasti akan mengintervensi, sebentar lagi, kecuali kita bisa mencari cara untuk menenangkan situasi, Aku benar-benar lebih suka mereka tidak datang ke Seattle sekarang. Kalau mereka berada sedekat ini... mereka mungkin akan mengecek keadaanmu.”
Lagi-lagi aku bergidik. "Apa yang bisa kita lakukan?"
"Kita harus mengetahui lebih banyak sebelum bisa memutuskan, Mungkin kalau kita bisa bicara dengan anakanak muda ini, menjelaskan peraturan-peraturannya, keadaan bisa kembali tenang,” Kening Edward berkerut, seolah pesimis itu bakal berhasil. "Akan kita tunggu sampai Alice mengetahui apa yang terjadi .. Jangan sampai kita ikut campur sebelum betul-betul perlu. Bagaimanapun, itu bukan tanggung jawab kita. Untunglah kita punya Jasper,”
imbuh Edward, seolah pada dirinya sendiri. "Saat menghadapi vampir muda, dia bisa sangat membantu.”
“Jasper? Kenapa?”
Edward tersenyum misterius. "Bisa dibilang Jasper itu ahlinya vampir muda.”
“Apa maksudmu, ahlinya?"
"Kau harus tanya sendiri padanya-ceritanya rumit"
"Benar-benar kacau.” gerutuku.
"Rasanya memang seperti itu, ya? Seolah-olah masalah datang bertubi-tubi dari segala penjuru.” Edward
mendesah. “Apa menurutmu kehidupanmu akan lebih mudah kalau kau tidak jatuh cinta padaku?"
"Mungkin. Bukan kehidupan yang menyenangkan tapi.”
"Bagiku,” Edward mengoreksi pelan. "Dan sekarang,” sambungnya dengan senyum kecut, "kurasa kau pasti ingin meminta sesuatu dariku?"
Kupandangi Edward dengan tatapan kosong. "Minta apa?”
"Atau mungkin tidak" Edward nyengir. "Kalau tidak salah, sepertinya kau tadi berjanji akan minta izinku untuk
menghadiri semacam acara kumpul-kumpul dengan para werewolf malam ini.”
"Menguping lagi, ya?"
Edward nyengir. "Hanya sedikit, di bagian akhir."
"Well, sebenarnya aku tidak berniat minta izin darimu. Kupikir kau sudah cukup banyak pikiran.”
Edward meletakkan tangannya di bawah daguku, memeganginya sehingga ia bisa membaca mataku. "Kau
ingin pergi?"
"Itu bukan hal besar. Tidak perlu dikhawatirkan.”
"Kau tidak perlu meminta izinku, Bella. Aku bukan ayahmu-syukurlah. Tapi mungkin seharusnya kau bertanya
pada Charlie.”
"Tapi kau tahu Charlie pasti akan mengizinkan.”
“Aku memang lebih bisa melihat jawaban yang mungkin dia lontarkan daripada kebanyakan orang, itu benar.”
Aku hanya menatap Edward, berusaha memahami jalan pikirannya, dan mencoba menepis kerinduan untuk pergi ke La Push dari pikiranku agar aku tidak. Digoyahkan keinginan-keinginanku sendiri, Rasanya bodoh kepingin nongkrong dengan segerombolan cowok-serigala besar padahal saat ini begitu banyak hal mengerikan dan tidak bisa dijelaskan sedang terjadi. Tentu saja, justru karena itulah aku ingin pergi. Aku ingin melepaskan diri sejenak dari ancaman kematian, meskipun hanya untuk beberapa jam... menjadi Bella yang kekanak-kanakan dan ceroboh, yang bisa menertawakan semua masalah dengan Jacob, meski hanya sesaat. Tapi itu bukan masalah.
"Bella,” kata Edward. "Sudah kubilang, aku akan berusaha bersikap lebih bijaksana dan memercayai
penilaianmu. Aku tidak main-main. Kalau kau memercayai para werewolf itu, aku pun tidak akan khawatir soal
mereka.”
"Wow,” ucapku, sama seperti semalam.
"Dan Jacob benar-mengenai satu hal setidaknyasekawanan werewolf seharusnya bisa melindungi, bahkan
dirimu, untuk satu malam.”
"Kau yakin?"
"Tentu saja. Tapi...”
Aku bersiap-siap mendengar kabar buruk.

"Kuharap kau tidak. keberatan kuminta berhati-hati?

Membolehkan aku mengantarmu sampai ke perbatasan, pertama. Dan kedua, membawa ponsel, supaya aku tahu kapan harus menjemputmu?"
"Kedengarannya... sangat masuk akal.”
"Bagus sekali.”
Edward tersenyum padaku, dan aku tidak melihat setitik pun kecemasan di matanya yang bagaikan permata itu.
Tepat seperti yang sudah diduga, Charlie sama sekali tidak keberatan aku pergi ke La Push untuk pesta api
unggun. Jacob berseru-seru kegirangan waktu aku meneleponnya untuk mengabarkan berita itu, dan
sepertinya ia cukup bersemangat hingga mau menerima syarat-syarat pengamanan yang diajukan Edward. Ia
berjanji akan menemui kami di garis perbatasan tepat pukul enam.
Aku sudah memutuskan, setelah berdebat dengan diriku sendiri sebentar, bahwa aku tidak akan menjual motorku. Aku akan membawanya kembali ke La Push, ke tempat seharusnya dan, kalau aku sudah tidak membutuhkannya lagi... well, kelak, aku akan mendesak Jacob untuk mengambil keuntungan dari basil jerih payahnya. Ia bisa menjual motor itu atau memberikannya kepada seorang teman. Tidak masalah bagiku.
Malam ini sepertinya merupakan kesempatan baik untuk mengembalikan motor itu ke garasi Jacob. Dengan
perasaan yang selalu muram belakangan ini, setiap hari sepertinya bisa saja jadi kesempatan terakhir, Aku tak
punya waktu untuk menunda-nunda melakukan tugas apa pun, tak peduli betapa sepelenya tugas itu.
Edward hanya mengangguk ketika aku menjelaskan keinginanku, tapi kalau tak salah aku sempat melihat
secercah sorot muram di matanya. Aku tahu, seperti halnya  Charlie, ia juga tidak suka membayangkan aku
mengendarai motor.
Kuikuti Edward kembali ke rumahnya, ke garasi tempat aku meninggalkan motorku. Setelah memasukkan trukku
dan turun, aku baru sadar kemuraman kali ini mungkin tidak sepenuhnya berkaitan dengan keselamatanku.
Di sebelah motor antik kecilku, membuatnya terlihat minder, tampak kendaraan lain. Menyebut kendaraan lain
ini sebagai sepeda motor rasanya kurang tepat, karena kendaraan itu sepertinya tidak masuk dalam rumpun yang sama dengan motorku yang tiba-tiba saja terlihat bobrok.
Kendaraan itu besar, mulus, berwarna perak, dan-bahkan saat sedang tidak bergerak-tampak sangat cepat.
“Apa itu?”
"Bukan apa-apa.” gumam Edward.
"Kelihatannya tidak seperti itu.”
Ekspresi Edward biasa-biasa saja; sepertinya ia bertekad untuk tidak membesar-besarkan hal itu. "Well, aku tak yakin apakah kau akan memaafkan temanmu, atau apakah dia akan memaafkanmu, dan aku bertanya-tanya apakah kau tetap ingin mengendarai motormu, Kedengarannya kau sangat menikmati naik motor. Jadi kupikir aku bisa pergi bersamamu, kalau kau mau.” Edward mengangkat bahu.
Kupandangi sepeda motor mewah itu, Di sampingnya, motorku terlihat seperti sepeda roda tiga bobrok.
Gelombang kesedihan tiba-tiba melandaku saat aku menyadari mungkin mi analogi yang tepat untuk
menggambarkan bagaimana aku terlihat di samping Edward.
''Aku takkan sanggup mengimbangi kecepatanmu.” bisikku.
Edward mengangkat daguku supaya bisa menatap wajahku. Dengan satu jari ia mencoba mendorong sudut
mulutku ke atas.
"Aku yang akan mengimbangimu, Bella.”
"Tapi rasanya takkan menyenangkan bagimu.”
"Tentu menyenangkan, kalau kita bersama-sama.”
Aku menggigit bibir dan membayangkannya sejenak.


"Edward, kalau menurutmu aku mengendarai motor terlalu cepat atau kehilangan kendali atau semacamnya, apa yang akan kaulakukan?"
Edward ragu-ragu sejenak, kentara sekali berusaha menemukan jawaban yang tepat. Aku tahu jawabannya: ia
akan menemukan cara untuk menyelamatkanku sebelum aku celaka. Kemudian Edward tersenyum. Senyumnya tulus, kecuali sorot matanya yang mendadak berubah defensif.
"Ini sesuatu yang kaulakukan bersama Jacob. Aku mengerti sekarang.”
"Masalahnya, well, Jacob tak perlu terlalu memelankan laju motornya. Aku bisa mencoba, mungkin...”
Kupandangi sepeda motor perak itu dengan sikap ragu.
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan.” kata Edward, kemudian tertawa renyah. ''Aku melihat Jasper mengagumi
motor ini. Mungkin sudah saatnya dia memakai cara baru untuk bepergian. Lagi pula, Alice sudah pun ya Porsche sekarang.”
"Edward, aku...”
Edward memotong perkataanku dengan ciuman cepat.
"Sudah kubuang tidak usah dipikirkan. Tapi maukah kau melakukan sesuatu untukku?"
“Apa pun yang kaubutuhkan,” aku buru-buru berjanji. Edward melepas wajahku dan mencondongkan tubuh ke
bagian samping sepeda motor besarnya, mengeluarkan sesuatu yang disimpannya di sana.
Ia kembali sambil membawa benda berwarna hitam tak berbentuk, dan benda lain berwarna merah yang mudah
dikenali.
"Please?" pinta Edward, memamerkan senyum miring yang selalu mampu mengenyahkan penolakanku.
Kuambil helm merah itu, menimang-nimangnya. “Aku pasti kelihatan konyol.”
"Tidak, justru akan terlihat pintar. Cukup pintar untuk tidak mencelakakan diri sendiri." Disampirkannya benda
hitam itu, apa pun itu, ke lengannya, kemudian merengkuh wajahku dengan tangannya. “Aku tak bisa hidup tanpa wajah yang berada dalam genggamanku ini. Tolong jaga dirimu baik-baik.”
"Oke, baik. Yang satu itu apa?” tanyaku curiga.
Edward tertawa dan menunjukkan sejenis jaket berlapis busa yang tebal. "Ini jaket khusus untuk naik motor.
Kudengar terpaan angin di jalan sangar keras, walaupun aku belum pernah merasakannya sendiri.”
Edward mengulurkan jaket itu padaku. Sambil menghela napas dalam-dalam, kusibakkan rambutku ke belakang dan kujejalkan kepalaku ke dalam helm. Lalu aku menyurukkan kedua tangan ke lengan jaket. Edward mengancingkannya untukku, sudut-sudut mulutnya terangkat membentuk senyum, lalu mundur selangkah.
Aku merasa sangat gendut. "Jujur saja, aku jelek sekali, ya?”
Edward mundur selangkah lagi dan mengerucutkan bibir.
"Sejelek itu?" gerutuku.
"Tidak, tidak, Bella. Sebenarnya...” Edward sepertinya berusaha keras mencari kata yang tepat. "Kau terlihat...
seksi"
Aku tertawa keras-keras. "Yang benar saja.”
"Seksi sekali, sungguh.”
"Kau bicara begitu hanya supaya aku mau memakainya,” tukasku. "Tapi tidak apa-apa. Kau benar,
begini memang lebih bijaksana.”
Edward memelukku dan menarikku ke dalam pelukannya. "Kau benar-benar konyol. Kurasa itu bagian
dari pesonamu. Walaupun, harus kuakui, ada ruginya juga memakai helm ini.”
Kemudian Edward melepas helm itu agar bisa menciumku. Saat Edward mengantarku ke La Push tak lama
kemudian, aku tersadar situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya ini anehnya terasa familier. Butuh waktu
beberapa saat untuk menentukan sumber perasaan deja vu ini.
"Tahukah kau ini mengingatkanku pada apa?" tanyaku.
"Rasanya seperti waktu aku masih kecil dan Renee mengantarku pada Charlie selama musim panas. Aku
merasa seperti anak-anak yang berumur tujuh tahun.” Edward tertawa.
Aku tidak terang-terangan mengatakannya, tapi perbedaan terbesar antara dua situasi ini adalah bahwa
hubungan Renee dan Charlie lebih baik daripada Edward dan Jacob.
Kira-kira setengah perjalanan menuju La Push, kami mengitari tikungan jalan dan mendapati Jacob bersandar di
Volkswagen merah yang direparasi sendiri olehnya. Ekspresi netral Jacob mencair membentuk senyum waktu
aku melambai dari kursi depan. Edward memarkir Volvo-nya hampir tiga puluh meter jauhnya.
"Telepon aku kapan pun kau siap pulang.” pesannya.
"Dan aku akan menjemputmu di sini.”
“Aku tidak akan pulang terlalu malam,” janjiku. Edward mengeluarkan motor dan perlengkapan baruku
dari bagasi mobilnya-aku kagum semua itu bisa muat di dalamnya. Tapi mungkin tidak terlalu sulit kalau kau cukup kuat untuk mengangkat mobil van, apalagi hanya sepeda motor kecil begini.
Jacob mengawasi, tak bergerak sedikit pun untuk mendekat, senyumnya lenyap dan sorot mata gelapnya
tidak bisa dibaca. Kukepit helm itu di bawah ketiak dan kulemparkan jaket
itu ke atas jok motor.
"Bisa?" tanya Edward.
"Tenang saja.” aku meyakinkannya.
Edward mendesah dan membungkuk ke arahku. Aku menengadahkan wajah untuk memberinya ciuman kecil
perpisahan, tapi Edward membuatku kaget, ia mendekapku erat-erat ke dadanya dan menciumku dengan sangat
antusias seperti yang dilakukannya di garasi tadi-dalam sekejap, aku sudah megap-megap kehabisan napas.
Edward tertawa pelan, menertawakan sesuatu, kemudian melepasku.
"Selamat tinggal,” ucapnya. “Aku suka sekali jaketmu.”
Saat berbalik memunggunginya, aku sempat melihat kilatan di matanya yang tak seharusnya kulihat. Khawatir,
mungkin. Sesaat aku sempat mengira itu kepanikan. Tapi mungkin aku melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, seperti biasa. Bisa kurasakan mata Edward mengawasi punggungku saat aku mendorong sepeda motorku ke garis perbatasan vampir-werewolf untuk menemui Jacob.
"Apa-apaan ini?” Jacob berseru kepadaku, nadanya kecut, memerhatikan motorku dengan ekspresi
membingungkan.
"Menurutku sebaiknya motor ini kukembalikan ke tempat seharusnya.” kataku.
Jacob memikirkan perkataanku sejenak, kemudian senyum lebarnya merekah, membelah wajahnya.
Aku tahu di titik mana tepatnya wilayah kekuasaan werewolf karena Jacob mendorong tubuhnya menjauhi mobil
dan berlari dengan melompat-lompat cepat ke arahku. Dalam tiga langkah saja ia sudah sampai ke tempatku. Ia
mengambil motor itu dariku, menyeimbangkannya pada sandaran, dan menyambar tubuhku, mengangkat dan
memelukku erat-erat.
Aku mendengar mesin Volvo menggeram, dan berjuang susah payah melepaskan diri.
"Hentikan, Jake!" aku terengah-engah kehabisan napas. Jacob tertawa dan menurunkanku, Aku berbalik untuk
melambai, tapi mobil perak itu sudah lenyap di balik tikungan jalan.
"Bagus.” komentarku, sengaja membiarkan nada jengkel menyusup dalam suaraku.
Mata Jacob membelalak, berpura-pura lugu. “Apa?"
“Sikapnya sangat baik mengenai hal ini; jangan memaksakan keberuntunganmu.”
Lagi-lagi Jacob tertawa, lebih keras daripada sebelumnya – ia menganggap perkaraanku lucu sekali, Aku berusaha mengira-ngira apa yang lucu sementara Jacob berjalan mengitari mobil Rabbit untuk membukakan pintu bagiku.
"Bella,” kata Jacob akhirnya – masih terkekeh-kekeh – sambil menutup pintu setelah aku masuk, "kau tidak bisa
memaksakan apa yang tidak kaumiliki.”



0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates