Eclipse Indonesia 23
23. MONSTER
BEGITU aku terbangun paginya, cuaca sangat cerah, bahkan di dalam tenda, cahaya
matahari menyakiti mataku. Dan tubuhku berkeringat, seperti telah diprediksi
Jacob. Jacob sendiri mendengkur pelan di telingaku, kedua lengannya masih
memelukku. Kuangkat kepalaku dari dadanya yang panas seperti orang demam dan langsung
merasakan sengatan hawa dingin pagi di pipiku yang lembab. Jacob mendesah lama tidurnya,
kedua lengannya tanpa sadar memeluk lebih erat. Aku menggeliat, tak mampu
mengendurkan pelukannya,
susah payah mengangkat kepala sampai bisa melihat...Edward membalas tatapanku
dengan datar. Ekspresinya
tenang, namun kepedihan di matanya tak bisa disembunyikan.
"Sudah lebih hangat di luar sana?" bisikku.
"Ya. Menurutku pemanas ruangan tidak dibutuhkan lagi."
Aku menarik resleting, tapi tidak bisa membebaskan lenganku. Kukerahkan segenap
tenaga mendorong tubuh
Jacob yang berat karena tertidur. Jacob menggumam, masih tidur, kedua lengannya
menarik lagi.
"Bisa membantu?" tanyaku pelan.
Edward tersenyum. "Kau mau aku menarik kedua lengannya sampai terlepas
dari tubuhnya sekalian?"
"Tidak, terima kasih. Lepaskan saja aku. Bisa-bisa aku kena sengatan hawa
panas nanti."
Edward membuka ritsleting kantong tidur hanya dengan sekali sentak. Jacob
terjatuh ke luar. punggungnya yang
telanjang membentur lantai tenda yang dingin.
"Hei!" protesnya. matanya langsung terbuka. Secara insting ia
mengangkat tubuh menghindari dingin, dan
berguling menindihku. Aku terkesiap saat berat tubuhnya membuatku tak bisa
bernapas. Lalu tubuhnya tak lagi menindihku. Aku merasakan efeknya saat tubuh
Jacob terbang dan menghantam salah satu tiang tenda hingga tenda berguncang
keras.
Geraman meledak dari sekelilingku. Edward merunduk di hadapanku. dan aku tak
bisa melihat wajahnya, namun
geraman buas menyeruak dari dalam dadanya. Jacob juga separo merunduk, sekujur
tubuhnya bergetar, sementara geraman bergemuruh dari sela-sela giginya yang
terkatup rapat. Di luar tenda, geraman buas Seth Clearwater bergema, memantul
di bebatuan.
"Hentikan. hentikan!" teriakku, cepat-cepat bangkit dan dengan
canggung berdiri di antara mereka. Ruang yang
tersisa begitu sempit hingga aku tak perlu mengulurkan tangan jauh-jauh untuk
bisa menyentuh dada mereka.
Edward memeluk pinggangku, siap menyentakkan tubuhku menjauh.
"Hentikan, sekarang.” kuperingatkan dia. Setelah aku menyentuhnya, Jacob
mulai tenang. Guncangan tubuhnya melambat, tapi ia masih memamerkan giginya dan
sorot matanya yang marah tertuju kepada Edward. Seth tetap menggeram, lolongan panjang
tanpa henti menjadi latar belakang menyeramkan bagi keheningan mendadak di
dalam tenda.
"Jacob?" tanyaku, menunggu sampai akhirnya menurunkan pandangan
garangnya dan memandangku.
"Kau terluka?"
"Tentu saja tidak," desisnya.
Aku menoleh kepada Edward. Ia menatapku, ekspresinya keras dan marah. "Itu
tadi tidak baik.
Seharusnya kau meminta maaf."
Mata Edward melebar jijik. "Kau pasti bercanda, dia menindihmu tadi."
“Itu karena kau menjatuhkannya ke lantai. Dia tidak sengaja melakukannya, dan
dia tidak mencederaiku."
Edward mengerang, sebal. Pelan-pelan ia menengadah dan menatap Jacob dengan
sorot mata marah. "Aku minta maaf, anjing."
"Kau tidak mencederaiku,” balas Jacob, nadanya sedikit menghina.
Hawa masih dingin, walaupun tidak sedingin sebelumnya. Kudekap tubuhku sedikit
erat.
"Ini,” kata Edward, kembali tenang. Ia mengambil jaket yang tergeletak di
lantai, lalu menyelubungkannya di atas
mantelku.
"Itu punya Jacob,” tolakku."Jacob kan punya mantel bulu,” tukas
Edward dengan nada menyindir.
"Aku akan masuk lagi ke kantong tidur, kalau kau tidak keberatan,” tanpa
memedulikan Edward, Jacob berjalan
mengitari kami, lalu menyusup masuk ke kantong tidur.
“Aku belum kepingin bangun. Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak."
"Itukan idemu,” tukas Edward impasif. Jacob meringkuk, matanya sudah
terpejam. Ia menguap.
"Aku tidak bilang itu bukan malam terbaik yang pernah kurasakan. Hanya
saja, aku kurang tidur. Kusangka Bella
tidak bakal berhenti mengoceh."
Aku meringis, bertanya-tanya dalam hati, apa kira-kira yang keluar dari mulutku
sementara tertidur. Kemungkinannya mengerikan.
"Aku senang kau menikmatinya,” gumam Edward. Mata Jacob yang gelap
menggeletar terbuka.
"Memangnya kau tidak?" tanyanya, nadanya puas.
"Itu bukan malam terburuk yang pernah kualami seumur hidupku."
"Apakah masuk dalam sepuluh besar?" tanya Jacob dengan perasaan senang
bernada menantang.
"Mungkin." Jacob tersenyum dan memejamkan mata.
"Tapi," sambung Edward, "seandainya aku bisa berada dalam posisimu
semalam, itu tidak akan masuk sepuluh
besar malam terbaik yang pernah kurasakan seumur hidupku. Mimpikan itu."
Mata Jacob terbuka dengan garang. Ia duduk dengan kaku, bahunya mengejang.
"Tahukah kau? Kurasa di dalam sini terlalu sesak."
"Aku setuju sekali.” Kusikut Edward, bisa-bisa sikuku memar gara-gara itu.
"Nanti saja kulanjutkan tidurku, kalau begitu,” Jacob mengernyit.
"Aku toh memang harus bicara dengan Sam."
Jacob berguling untuk berlutut dan menyambar ritsleting pintu. Perasaan sedih
menjalari tubuhku dan diam di daerah perut saat aku mendadak menyadari bisa
jadi inilah kali terakhir aku bisa melihatnya. Ia akan kembali kepada Sam, kembali
bertempur melawan segerombolan vampir baru yang haus darah.
"Jake, tunggu..!" Aku mengulurkan tangan menggapainya, tanganku
meluncur menuruni lengannya.
Jake menyentakkan lengannya sebelum jari-jariku sempat memegangnya.
"Kumohon Jake? maukah kau tetap tinggal di sini?"
"Tidak!"
Kata itu keras dan dingin. Aku tahu wajahku memancarkan kesedihan, karena Jacob
menghembuskan
napas dan senyum separuh melembutkan ekspresinya.
"Jangan khawatirkan aku Bells. Aku akan baik-baik saja, seperti
biasa," Ia memaksa dirinya tertawa. "lagi pula, kau kira aku akan
membiarkan Seth pergi dan menggantikan tempatku, menikmati segala keasyikan di
sana dan mencuri semua pujian? yang benar saja," Jacob mendengus.
"Berhati-hatilah.."
Jacob merangsek ke luar tenda sebelum aku bisa menyelesaikan kata-kataku.
"Tenanglah Bella,” aku mendengar gumamannya saat mengancingkan kembali
ristleting tenda.
Aku mencoba mendengarkan suara langkah-langkah kakinya menjauh,namun suasana
tetap sunyi. Tak da ada
lagi angin. Aku bisa mendengar nyanyian burung pagi nun jauh di gunung
sana,tapi selain itu,tidak ada suara apa-apa. Jacob sekarang bisa bergerak
tanpa suara. Aku meringkuk di dalam mantelku,dan bersandar di
bahu Edward. Kami berdiam diri beberapa saat.
"Berapa lama lagi?" tanyaku.
"Kata Alice kepada Sam, kira-kira satu jam lagi,” jawab Edward, lirih dan
muram.
"Kita tetap bersama. Apa pun yang terjadi."
"Apa pun yang terjadi," Edward sependapat, matanya kaku.
"Aku tahu,” ujarku "Aku juga takut memikirkan mereka."
"Mereka tahu bagaimana harus menjaga diri.” Edward meyakinkan aku,sengaja membuat
nada suaranya terdengar enteng. "Aku hanya tidak suka tidak bisa ikut
dalam keasyikan.”
Lagi-lagi kata asyik. Cuping hidungku kembang kempis. Edward memeluk bahuku.
"Jangan khawatir,” ia
menyemangati, kemudian mengecup keningku. Seolah-olah aku bisa tidak khawatir.
"Tentu, tentu."
"Kau mau aku mengalihkan perhatianmu?" Edward mengembuskan napas,
melarikan jari-jarinya yang dingin di
sepanjang tulang pipiku. Aku bergidik tanpa sengaja; pagi masih dingin membeku.
"Mungkin tidak sekarang," Edward menjawab pertanyaannya sendiri,
menarik kembali tangannya.
"Banyak cara lain yang bisa mengalihkan perhatianku."
"Apa yang kauinginkan?"
"Kau bisa menceritakan padaku sepuluh malam terbaikmu,” aku mengusulkan.
"Aku ingin tahu."
Edward tertawa. "Coba tebak."
Aku menggeleng. "Ada terlalu banyak malam yang tidak kuketahui. Satu abad
penuh.”
"Akan kupersempit untukmu. pokoknya, semua malam terbaikku sejak bertemu
denganmu."
"Sungguh?"
"Ya, sungguh, dan marginnya pun cukup lebar."
Aku berpikir sebentar. "Aku hanya bisa berpikir tentang malam-malam
terbaikku.” Aku mengakui.
"Bisa jadi sama,” Edward menyemangati.
"Well, mungkin saat malam pertama itu. Pertama kalinya kau menginap di
rumahku."
"Ya, itu juga salah satu malam terbaikku. Tentu saja,bagian favoritku
adalah saat kau tertidur."
"Ya benar,” aku mengingat-ingat. "Malam itu juga aku berbicara dalam
tidurku."
"Ya.” Edward membenarkan.
Wajahku memanas saat aku bertanya-tanya dalam hati, apa saja yang kuocehkan saat
tertidur dalam pelukan Jacob semalam. Aku tidak ingat bermimpi tentang apa
semalam, atau apakah aku bermimpi, jadi tidak ada yang bisa membantu sama
sekali.
"Aku ngomong apa saja semalam?" bisikku, lebih pelan daripada
sebelumnya.
Bukannya menjawab,Edward malah mengangkat bahu dan aku meringis.
"Separah itukah?"
"Tidak ada yang terlalu parah.” Edward mendesah.
"Ayolah ceritakan padaku."
"Kebanyakan kau hanya menyebut namaku, seperti biasa."
"Itu kan tidak terlalu parah,” aku setuju dengan sikap hati-hati.
"Tapi lama-lama kau mulai bergumam tidak jelas tentang
"Jacob, Jacobku." Aku bisa mendengar nada terluka dalam suara Edward,
bahkan saat ia berbisik. "Jacobmu girang bukan main mendengarnya."
Kujulurkan leherku, berusaha menempelkan bibirku ke tepi rahangnya. Aku tidak
bisa menatap matanya. Edward
menengadah menatap langit-langit tenda.
"Maaf," gumamku."Itu hanya caraku membuat perbedaan."
"Membuat perbedaan?"
"Antara Dr.Jekyll dan Mr.Hyde. Antara Jacob yang kusukai dan yang
membuatku jengkel setengah mati,” aku
menjelaskan.
"Masuk akal,” Kesedihan Edward terdengar sedikit mereda.
"Apa lagi malam terbaikmu?"
"Terbang pulang dari Italia.” Kening Edward berkerut.
"Memangnya itu tidak termasuk malam terbaikmu?"
"Tidak, sebenarnya itu memang termasuk salah satu malam terbaikku, tapi
aku heran itu ada dalam daftarmu.
Bukankah saat itu kau mengira aku hanya bersikap seperti itu karena merasa bersalah
padamu, dan bahwa aku akan kabur begitu pintu pesawat dibuka?"
"Benar,” aku tersenyum. "Tapi, bagaimanapun, kau ada di sana."
Edward mengecup rambutku. "Kau mencintaiku lebih dari yang pantas
kuterima."
Aku tertawa mendengar pernyataannya yang konyol itu.
"Berikutnya, adalah malam setelah kepulangan kita dari Italia," aku
melanjutkan.
"Ya, itu juga masuk dalam daftarku. Kau lucu sekali waktu itu."
"Lucu?" sergahku.
"Aku tidak sadar mimpimu benar-benar nyata. Butuh waktu lama sekali bagiku
untuk meyakinkanmu bahwa kau
sudah bangun."
"Aku masih belum yakin,” gumamku. "Sejak dulu kau memang lebih
menyerupai mimpi ketimbang kenyataan.
Sekarang ceritakan padaku salah satu malam terbaikmu. Apa yang sudah kusebutkan
tadi salah satunya menduduki tempat pertama?"
"Tidak, yang menduduki tempat pertama adalah pada malam lalu, waktu kau
akhirnya setuju menikah
denganku."
Aku mengernyit.
"Itu tidak masuk daftarmu?"
Aku mengenang lagi bagaimana Edward menciumku, konsesi yang kuperoleh, dan
berubah pikiran. "Ya... masuk. Tapi dengan beberapa syarat. Aku tidak
mengerti kenapa itu sangat penting bagimu. Kau toh sudah memilikiku selamanya."
"Seratus tahun dari sekarang, kalau cara berpikirmu sudah lebih matang
sehingga bisa menghargai jawabannya,
aku akan menjelaskannya padamu."
"Aku akan mengingatkanmu untuk menjelaskan, seratus tahun lagi."
"Apakah kau sudah merasa cukup hangat?" Edward tibatiba bertanya.
"Aku baik-baik saja,” jawabku meyakinkan Edward.
"Kenapa?"
Sebelum Edward bisa menjawab,kesunyian di luar tenda terkoyak oleh lolongan
pedih yang memekakkan telinga. Suara itu memantul di permukaan tebing gunung
yang telanjang dan memenuhi udara hingga terasa seakan-akan lolongan itu datang
dari segala arah. Lolongan itu mengoyak pikiranku seperti tornado,
terdengar aneh sekaligus familier. Aneh karena belum pernah mendengar
lengkingan tersiksa sedahsyat itu.
Familier karena aku langsung mengenali suara itu, aku mengenali suara itu memahami
artinya, sama sempurnanya seperti kalau aku sendiri yang mengucapkannya. Tidak
ada bedanya jika Jacob tidak sedang dalam wujud manusia saat melolongkannya. Aku
tidak membutuhkan terjemahan. Jacob berada di dekat sini. Jacob mendengar
setiap kata yang kami ucapkan. Jacob sangat menderita. Lolongan itu terputus
dan berubah jadi isak tertahan dan sejurus kemudian sunyi lagi.
Aku tidak mendengar kepergiannya yang sunyi, tapi bisa merasakannya,aku bisa merasakan
kesunyian yang kukira sudah kurasakan tadi, ruang kosong yang ia tinggalkan.
"Karena pemanas ruanganmu sudah tidak tahan lagi.”
Edward menjawab pelan. "Gencatan senjata berakhir,” imbuhnya, begitu pelan
hingga aku tak bisa meyakini apa
yang sesungguhnya ia katakan.
"Jacob mendengarkan pembicaraan kita tadi,” bisikku. Itu bukan pertanyaan.
"Benar.”
"Kau sudah tahu."
"Ya.”
Kupandangi dia, mataku nanar. "Aku tidak pernah berjanji akan bertarung
secara adil,”
Edward mengingatkanku dengan suara pelan. "Dan dia berhak tahu.” Kepalaku
terkulai ke tangan.
"Kau marah padaku?" tanyanya.
"Bukan padamu,” bisikku. "Aku muak Pada diriku sediri."
"Jangan siksa dirimu,” Edward memohon.
"Ya,” aku membenarkan dengan getir. "Seharusnya aku menyimpan
energiku untuk semakin menyiksa Jacob.
Jangan sampai ada bagian dirinya yang tidak tersakiti."
"Dia tahu risikonya melakukan hal itu."
"Memangnya kaupikir itu penting?" Aku mengerjapngerjapkan mata,
menahan agar air mataku tidak tumpah
walaupun mudah mendengarnya dalam suaraku. "apakah kaupikir aku peduli
adil atau tidak jika Jacob sudah
mendapat cukup peringatan?Aku menyakiti dia. Apa pun yang kulakukan, aku menyakitinya
lagi.” Suaraku semakin keras,semakin histeris.
"Jahat sekali aku ini. " Edward memelukku erat-erat. "Tidak, kau
tidak jahat."
"Iya, aku jahat! Apa yang salah denganku?"Aku memberontak dalam
pelukannya, dan Edward
mengendurkan pelukannya. "Aku harus pergi mencarinya.”
"Bella, dia sudah berkilo-kilometer jauhnya dari sini, dan hawa dingin
sekali."
"Aku tidak peduli. Aku tidak bisa hanya duduk-duduk saja di sini."
Aku mengguncangkan bahu, melepaskan jaket
Jacob yang menyelubungiku, menjejalkan kaki ke dalam sepatu bot, lalu merangkak
kaku ke pintu; kakiku kebas.
"Aku harus... aku harus..." Aku tidak tahu bagaimana menyudahi
kalimat itu, tidak tahu harus melakukan apa,
tapi aku tetap membuka ritsleting pintu, lalu melangkah ke luar, ke pagi yang
cemerlang dan dingin.
Tidak seperti perkiraanku, ternyata salju tidak terlalu banyak walaupun badai
mengamuk begitu hebat semalam.
Mungkin itu karena salju tersapu angin, bukannya meleleh karena cahaya matahari
yang sekarang bersinar rendah di sebelah tenggara, memantulkan cahayanya di
salju yang masih bertaban dan menyilaukan mataku yang belum terbiasa. Udara
masih dingin menggigit, tapi diam tak bergerak, dan perlahan-lahan mulai terasa
lebih hangat seiring dengan semakin tingginya matahari.
Seth Clearwater meringkuk di atas onggokan daun cemara kering, di bawah naungan
pohon cemara berdaun
lebar. Bulunya yang cokelat tanah nyaris tak terlihat di atas gundukan
daun-daun kering, tapi aku bisa melihat salju yang cemerlang memantul di
matanya yang terbuka. Seth memandangiku dengan sikap yang dalam bayanganku merupakan
ekspresi menuduh.
Aku tahu Edward mengikutiku ketika aku berjalan tersaruk-tersaruk menuju
pepohonan. Aku tidak bisa
mendengarnya, tapi cahaya matahari terpantul di kulitnya dalam warna-warna
pelangi berkilauan yang menari-nari di depanku. Edward tidak menyusulku sampai
aku beberapa langkah memasuki bayang-bayang hutan.
Tangannya menangkap pergelangan tangan kiriku. Ia tak menggubris waktu aku memberontak,
mencoba melepaskan tanganku dari pegangannya.
"Kau tidak bisa menyusulnya. Tidak hari ini. Sekarang saatnya hampir tiba.
Kau hanya akan menyusahkan semua orang kalau tersesat."
Aku memuntir tanganku,menariknya tanpa hasil.
"Maafkan aku Bella,” Bisik Edward. "Aku menyesal telah melakukan hal
itu tadi."
"Kau tidak melakukan apa-apa. Itu salahku. Akulah yang melakukannya. Aku
selalu saja salah melakukan apa
pun. Seharusnya aku bisa... waktu dia... seharusnya aku tidak... aku...
aku..," aku tersedu-sedu.
"Bella, Bella."
Edward memelukku, dan air mataku membasahi kemejanya.
"seharusnya aku... mengatakan padanya... aku seharusnya mengatakan... apa?
Apa yang bisa kulakukan
untuk memperbaiki keadaan? Seharusnya dia tidak...mengetahuinya dengan cara
seperti ini."
"Kau mau aku berusaha membawanya kembali, supaya kau bisa berbicara
dengannya? masih ada sedikit waktu,” gumam Edward, memendam kesedihan dalam
suaranya.
Aku mengangguk di dadanya, takut melihat wajahnya.
"Tunggulah dekat tenda. Sebentar lagi aku kembali." Kedua lengan
Edward memelukku lenyap. Ia pergi
begitu cepat, saking cepatnya hingga waktu aku mendongak melihatnya,ia sudah
tidak ada. Aku sendirian.
Tangisan baru menyeruak dari dadaku. Aku melukai hati semua orang hari ini. Adakah
yang kusentuh tidak rusak? Entah mengapa aku baru merasa terpukul sekarang. Padahal
aku sudah tahu suatu saat ini pasti akan terjadi. Tapi Jacob belum pernah bereaksi sehebat
itu,kehilangan kepercayaan dirinya dan menunjukkan betapa dalam kepedihan
hatinya. Suara lolongan pedihnya masih menyayat hatiku,jauh di dalam dadaku.
Tepat di sisi
kepedihan lain. Kepedihan karena merasakan kesedihan Jacob. Kepedihan karena
melukai hati Edward juga.
Karena tidak mampu melihat Jacob pergi dengan tegar, tahu itulah hal yang
benar,satu-satunya jalan.
Aku egois,aku suka menyakiti. Aku melukai hati orang yang kucintai. Aku seperti
Cathy, seperti Wuthering Heights, hanya saja pilihan-pilihanku jauh lebih baik
daripadanya, tak ada yang jahat,tak ada yang lemah. Tapi aku malah menangisi, tidak
melakukan hal yang produktif untuk memperbaiki keadaan. Persis seperti Cathy.
Aku tak boleh lagi membiarkan apa yang melukai hatiku mempengaruhi keputusanku
lagi. Memang sepele,dan
sudah sangat terlambat, tapi aku harus melakukan hal yang besar sekarang.
Mungkin segalanya memang telah berakhir bagiku.
Mungkin Edward tidak bisa membawanya kembali. Kalau benar begitu,aku harus
menerimanya dan melanjutkan hidupku. Edward takkan pernah melihatku meneteskan
air mata lagi untuk Jacob Black. Tidak akan ada lagi air mata. Kuseka sisa-
sisa air mataku yang terakhir dengan Jari-Jari yang dingin.
Tapi kalau Edward benar-benar kembali bersama Jacob, inilah saatnya. Aku harus
memintanya pergi dan jangan
kembali lagi. Kenapa sulit sekali mengatakannya? Jauh lebih sulit dari pada
mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temanku yang lain, kepada Angela,
kepada Mike? Kenapa itu terasa menyakitkan? Ini tidak benar. Seharusnya itu
tidak membuatku sedih. Aku telah memiliki apa yang kuinginkan. Aku tidak bisa
memiliki kedua-duanya, karena Jacob tidak mau hanya menjadi temanku. Sekarang
saatnya berhenti mengharapkannya. Berapa manusia bisa menjadi sangat serakah!
Aku harus bisa mengatasi perasaan tidak rasional bahwa Jacob harus ada dalam hidupku.
Ia tak mungkin menjadi milikku, tidak bisa menjadi Jacob-ku, karena aku milik
orang lain. Sambil menyeret kaki, aku berjalan lambat-lambat kembali ke
lapangan kecil itu. Begitu aku muncul di tempat terbuka, mengerjap-ngerjap
menahan cahaya matahari yang menyilaukan, aku melirik Seth sekilas – ia belum
beranjak dari tempatnya meringkuk di gundukan daun-daun cemara – kemudian
membuang muka, menghindari matanya. Bisa kurasakan rambutku awut-awutan,
berantakan tidak karuan seperti rambut ular Medusa. Aku menyusupkan Jari-jariku
ke rambut dan mencoba merapikannya, tapi langsung menyerah. Lagi pula,siapa
yang peduli bagaimana penampilanku?
Aku menyambar termos yang tergantung di samping pintu tenda dan mengguncangnya.
Terdengar bunyi air
berkecipak di dalamnya, jadi aku pun membuka tutup termos dan minum seteguk,
membilas mulutku dengan air
dingin. Di sekitar sini ada makanan, tapi aku tidak terlalu lapar sehingga
ingin mencarinya. Aku mulai mondarmandir di ruang terbuka kecil yang terang
itu, merasakan mata Seth mengikuti setiap gerakanku. Karena aku tidak mau
memandanginya, dalam benakku ia kembali menjadi anak laki-laki, bukannya
serigala raksasa. Mirip sekali dengan Jacob masih lebih muda.
Aku ingin meminta Seth menggonggong atau memberi semacam isyarat apakah Jacob
akan kembali, tapi aku
mengurungkan niatku itu. Tidak penting apakah Jacob kembali. Justru lebih mudah
jika ia tak kembali. Kalau saja
aku bisa memanggil Edward. Saat itulah Seth melenguh, kemudian berdiri.
"Ada apa?" tanyaku bodoh
Seth mengabaikanku, berlari-lari kecil ke pinggiran hutan dan mengarahkan
hidungnya ke barat. Ia mulai
mendengking-dengking.
"Apakah ini tentang yang lain-lain, Seth?" desakku. "Di lapangan?"
Seth menoleh padaku dan menggonggong pelan satu kali, kemudian kembali
mengarahkan hidungnya dengan
sikap waspada ke arah barat. Telinganya terlipat ke belakang dan ia mendengking
lagi. Kenapa aku begitu tolol? Apa sih yang merasuk pikiranku hingga aku
membiarkan Edward pergi?
Bagaimana aku bisa mengetahui apa yang terjadi? aku kan tidak bisa berbahasa
serigala. Keringat dingin mulai membasahi punggungku. Bagaimana kalau ternyata
mereka kehabisan waktu? bagaimana kalau ternyata Jacob dan Edward berada
terlalu dekat dengan medan pertempuran? Bagaimana kalau Edward memutuskan
bergabung? Perasaan takut mengaduk-aduk isi perutku. Bagaimana kalau
kegelisahan Seth tak ada hubungannya dengan kejadian di lapangan, dan
gonggongannya tadi merupakan penyangkalan? Bagaimana kalau Jacob dan Edward berkelahi,
nun jauh di hutan sana? Mereka tidak mungkin berbuat, begitu?
Dengan perasaan yakin yang mendadak muncul dan membuat sekujur tubuhku dingin
karena ngeri, aku
menyadari mereka mungkin saja berbuat begitu – kalau ada yang salah bicara.
Ingatanku melayang ke ketegangan di tenda pagi tadi, dan dalam hati aku
penasaran apakah aku terlalu meremehkan betapa nyarisnya peristiwa tadi menjurus
kepada perkelahian.
Mungkin aku memang pantas kehilangan mereka berdua. Es itu mencengkeram
jantungku. Sebelum aku ambruk karena perasaan takut, Seth menggeram pelan, jauh
di dalam dadanya, kemudian berpaling dari tempatnya berdiri mengawasi dan melenggang
kembali ke tempat istirahatnya. Tindakannya itu membuatku tenang, sekaligus
jengkel. Memangnya ia tidak bisa menggoreskan pesan di tanah atau semacamnya, ya?
Berjalan mondar-mandir mulai membuatku berkeringat di balik semua lapisan baju
tebal ini. Kulempar jaketku ke tenda kemudian berjalan kembali menyusuri Jalan
setapak menuju celah sempit disela-sela pepohonan.
Mendadak Seth melompat berdiri, bulu-bulu ditekuknya berdiri kaku. Aku
memandang berkeliling, tapi tidak
melihat apa-apa. Kalau Seth tidak berhenti bertingkah seperti itu, bisa-bisa
kulempar ia dengan buah cemara.
Seth menggeram, rendah dan bernada memperingatkan, menyelinap kembali ke arah
lingkaran barat, dan aku
berpikir ulang tentang ketidaksabaranku.
"Ini hanya kami, Seth,” seru Jacob dari kejauhan.
Aku mencoba menjelaskan kepada diriku sendiri kenapa jantungku mendadak berlari
kencang begitu mendengar
suaranya. Karena takut memikirkan apa yang harus kulakukan sekarang, itu saja. Aku
tidak boleh membiarkan
diriku lega karena ia kembali. Itu justru tidak akan membantu. Edward yang
lebih dulu muncul, wajahnya kosong dan datar. Begitu ia melangkah keluar dari
bayang-bayang, matahari berkilauan di kulitnya bagaikan di atas permukaan salju.
Seth berlari menyongsongnya, menatap matanya lekat-lekat. Edward mengangguk
lamban, dan kekhawatiran membuat keningnya berkerut.
"Ya, hanya itu yang kita butuhkan,” gumamnya pada diri sendiri sebelum
berbicara kepada serigala besar itu.
"Kurasa tidak seharusnya kita terkejut. Tapi waktunya akan sangat dekat.
Tolong suruh Sam meminta Alice agar
berusaha memprediksikan waktunya dengan lebih tepat."
Seth menundukkan kepala satu kali, dan aku berharap kalau saja aku bisa
menggeram. Sekarang ia baru
mengangguk. Aku memalingkan kepala, jengkel, dan menyadari Jacob berdiri di
sana. Jacob berdiri memunggungiku, menghadap ke arah datangnya tadi. Dengan
kecut aku menunggunya berbalik.
"Bella,” bisik Edward, tiba-tiba berdiri di sebelahku. Ia menunduk
menatapku dengan sorot prihatin terpancar dari
matanya. Ia sangat berbesar hati. Aku tidak pantas mendapatkan orang sebaik
dia.
"Ada sedikit masalah,” ia memberitahuku, dengan sangat hati-hati berusaha
memperdengarkan nada tenang.
"Aku akan membawa Seth pergi sebentar dan berusaha membereskannya. Aku
tidak akan pergi jauh, tapi aku juga tidak akan mendengarkan. Aku tahu kau
tidak mau ada yang menonton, tak peduli jalan mana yang ingin kau ambil."
Hanya di bagian terakhir terdengar secercah nada pedih dalam suaranya. Aku
tidak boleh melukai hatinya lagi. Itu misiku dalam hidup ini. Jangan pernah
lagi aku menjadi penyebab munculnya sorot kepedihan itu di matanya.
Aku kelewat kalut bahkan untuk bertanya, masalah baru apa yang ia maksud. Aku
tidak membutuhkan apa-apa lagi sekarang.
"Cepatlah kembali,” bisikku.
Edward mengecup bibirku sekilas, kemudian lenyap di balik hutan bersama Seth di
sampingnya. Jacob masih berada di bawah bayang-bayang pepohonan,aku tidak bisa
melihat ekspresinya dengan jelas.
"Aku sedang terburu-buru, Bella,” kata Jacob, suaranya muram.
"Bagaimana kalau langsung saja kau utarakan
maksudmu."
Aku menelan ludah, tenggorokanku mendadak kering hingga aku tak yakin suaraku
bakal keluar.
"Sampaikan saja maksudmu, dan segera tuntaskan masalah ini."
Aku menarik napas dalam-dalam.
"Aku minta maaf karena aku jahat sekali,” bisikku.
"Maafkan aku karena sikapku sangat egois. Kalau saja aku tidak pernah
berjumpa denganmu, sehingga aku tidak bisa menyakiti hatimu seperti yang telah
kulakukan. Aku tidak akan melakukannya lagi,aku janji. Aku akan pergi sejauh mungkin
darimu. Aku akan pindah ke luar negara bagian. Kau tidak akan pernah melihatku
lagi."
"Itu bukan permintaan maaf,” sergah Jacob pahit.
Aku tak mampu membuat suaraku terdengar lebih keras daripada bisikan. "Katakan
padaku bagaimana bisa
memperbaikinya."
"Bagaimana kalau aku tidak ingin kau pergi? Bagaimana kalau aku lebih suka
kau tetap di sini, egois atau tidak?
apakah aku tidak berhak dimintai pendapat, kalau kau memang berusaha
memperbaiki keadaan denganku?"
"Itu tidak akan berpengaruh apa-apa Jake. Keliru kalau aku tetap bersamamu
padahal kita menginginkan hal
berbeda. Keadaan tidak akan menjadi semakin baik. Aku hanya akan terus menerus
menyakitimu. Aku tidak mau
menyakitimu lagi. Aku tidak suka." Suaraku pecah.
Jacob mendesah, "Hentikan. Kau tidak perlu berkata apa-apa lagi. Aku
mengerti."
Aku ingin mengatakan padanya betapa aku sangat merindukannya, tapi kuurungkan
niatku. Itu juga tidak
akan berpengaruh apa-apa. Jacob berdiri diam sesaat, memandangi tanah, dan dengan
susah payah aku melawan dorongan untuk mendekat dan memeluknya. Menghiburnya. Kemudian
Jacob mengangkat kepala.
"Well, bukan kau satu-satunya yang mampu mengorbankan diri sendiri,”
katanya, suaranya lebih tegar.
"Permainan ini bisa dimainkan dua orang."
"Apa?"
"Aku sendiri juga sudah bertingkah buruk. Aku membuat keadaan jadi jauh
lebih sulit daripada seharusnya.
Seharusnya aku bisa menyerah dengan penuh wibawa sejak awal. Tapi aku menyakiti
hatimu juga."
"Ini salahku."
"Aku tidak akan membiarkanmu menanggung semua kesalahan, Bella. Atau
menerima semua pujian. Aku tahu
bagaimana caranya menebus kesalahanku sendiri."
"Apa maksudmu?" tuntutku. Kilatan matanya yang tibatiba berkelebat
membuatku ngeri.
Jacob menengadah ke matahari kemudian tersenyum padaku. "Sebentar lagi
akan terjadi pertarungan sengit di
sana. Kurasa tidak akan sulit mengenyahkan diriku dari gambar
keseluruhan."
Kata-katanya memasuki otakku, perlahan-lahan, satu demi satu, dan aku tak bisa
bernapas. Meskipun aku
memang sudah berniat mengenyahkan Jacob sepenuhnya dari hidupku, aku tidak menyadari
hingga detik itu, berapa dalamnya pisau itu akan menusuk untuk bisa
melakukannya.
"Oh, tidak, Jake! Tidak, tidak, tidak, tidak,” aku tercekat penuh
kengerian. "Tidak, Jake, tidak. Kumohon, jangan.”
Lututku mulai gemetar.
"Apa bedanya, Bella? Ini hanya akan membuat keadaan jadi lebih menyenangkan
bagi semua orang. Kau bahkan tidak perlu pindah."
"Tidak!" Suaraku semakin keras. "Tidak, Jacob! Aku tidak akan
membiarkanmu melakukannya!"
"Bagaimana kau akan menghentikan aku?" ejeknya enteng, tersenyum
untuk memperhalus nada mengejek
dalam suaranya tadi.
"Jacob, kumohon, tinggallah bersamaku,” Kalau saja aku bisa bergerak, aku
pasti sudah berlutut saat itu juga.
"Selama lima belas menit sementara aku melewatkan pertempuran yang seru?
supaya kemudian kau bisa
melarikan diri dariku begitu kau merasa aku sudah aman lagi? kau pasti
bercanda."
"Aku tidak akan pergi. Aku berubah pikiran. Kita akan mencari jalan lain
Jacob. Selalu ada yang bisa
dikompromikan. Jangan pergi!"
"Kau bohong."
"Tidak. Kau tahu aku tidak pandai berbohong. Tatap mataku. Aku akan
tinggal kalau kau juga tinggal."
Wajah Jacob mengeras. "Dan aku bisa menjadi bestmanmu saat kau menikah
nanti?"
Baru beberapa saat kemudian aku bisa bicara,tapi yang bisa kuucapkan hanyalah.
“kumohon."
"Sudah kukira,” ucap Jacob, wajahnya tenang kembali, kecuali sorot
berapi-api di matanya.
"Aku mencintaimu Bella,” bisiknya.
"Aku mencintaimu Jacob,” bisikku parau.
Jacob tersenyum. "Aku lebih tahu itu daripada kau." Ia berbalik dan
berjalan menjauh.
"Apa saja,” seruku memanggilnya, suaraku tercekik.
"Apa pun yang kau inginkan Jacob. Tapi jangan lakukan ini!" Jacob
berhenti,perlahan-lahan berbalik.
"Aku tidak yakin kau bersungguh-sungguh dengan perkataanmu itu."
"Jangan pergi,” aku memohon.
Jacob menggeleng. “Tidak aku akan tetap pergi." Ia terdiam sejenak,
seolah-olah memutuskan sesuatu. "Tapi
aku bisa menyerahkan kepada takdir."
"Apa maksudmu?" tanyaku dengan suara tercekat.
"Aku tidak harus melakukannya secara sengaja, aku akan tetap melakukan
yang terbaik bagi kawananku dan
membiarkan apa yang terjadi,terjadi." Jacob mengangkat bahu. "Kalau
kau bisa meyakinkan aku, kau benar-benar ingin aku kembali, lebih daripada kau
ingin melakukan hal yang tidak egois."
"Bagaimana caranya?" tanyaku.
"Kau bisa memintaku,” ia mengusulkan.
"Kembalilah,” bisikku. Bagaimana mungkin ia bisa meragukan bahwa aku
bersungguh-sungguh?
Jacob menggeleng. kembali tersenyum. "Bukan begitu maksudku."
Baru sedetik kemudian aku menangkap maksudnya, dan selama itu Jacob menatapku
dengan ekspresi menang,
begitu yakin akan reaksiku. Meski demikian, begitu kesadaran itu menghantamku,
aku langsung mengucapkan
kata-kata itu tanpa sempat memikirkan akibatnya. "Maukah kau menciumku,
Jacob?"
Matanya membelalak kaget, lalu menyipit curiga. "Kau hanya
menggertak."
"Cium aku, Jacob. Cium aku, lalu kembalilah."
Jacob ragu-ragu di bawah bayangan, berperang dengan dirinya sendiri. Ia separo
berbalik ke arah barat, tubuhnya berbalik menjauhiku sementara kakinya tetap
terpaku di tempatnya berdiri. Sambil masih memandang ke arah lain, ia maju
selangkah dengan sikap ragu-ragu, lalu satu lagi. Ia menggerakkan wajahnya
untuk memandangku, sorot matanya ragu.
Aku balas menatapnya. Entah bagaimana ekspresi wajahku saat itu. Jacob bertumpu
pada tumitnya dan bergoyang maju mundur, lalu menerjang maju, menghampiriku
hanya dalam tiga langkah panjang-panjang.
Aku tahu ia pasti akan mengambil kesempatan dari situasi ini. Sudah kuduga. Aku
berdiam tak bergerak,
mataku tertutup, jari-jariku menekuk dan membentuk kepalan di kedua sisi
tubuhku, sementara kedua tangan
Jacob merengkuh wajahku dan bibirnya menyentuh bibirku dengan semangat yang tak
jauh dari kasar.
Bisa kurasakan kemarahannya saat bibirnya mendapatkan penolakan pasifku. Satu
tangannya meraih
tengkukku lalu meremas rambutku. Tangan yang lain menyambar pundakku dengan
kasar, mengguncang tubuhku, lalu menarikku kepadanya. Tangannya terus meluncur
menuruni lenganku, sampai ke pinggang. Lalu
melingkarkan tanganku ke lehernya. Kubiarkan tanganku di sana, masih mengepal
erat, tak yakin sampai sejauh mana aku bisa bertindak supaya ia tetap hidup.
Sementara itu bibirnya, yang lembut dan hangat, berusaha memaksakan respons
dariku.
Begitu Jacob yakin aku takkan menurunkan tanganku, ia membebaskan pergelangan
tanganku, tangannya turun ke pinggangku. Tangannya yang panas membara menyentuh
punggungku, dan ia menarikku lebih dekat.
Sejenak bibirnya berhenti menciumku, tapi aku tahu ia belum selesai. Bibirnya
menelusuri garis rahangku,
kemudian kedua lengannya menjelajahi leherku. Ia menggeraikan rambutku, meraih
tanganku yang lain untuk
dikalungkan ke lehernya seperti tadi. Kemudian kedua lengannya melingkari
pinggangku, dan bibirnya menempel di telingaku.
“Kau bisa melakukannya lebih baik dari ini, Bella,” bisiknya parau. "Kau
terlalu banyak berpikir."
Aku gemetar saat merasakan giginya menyapu daun telingaku.
"Ya, begitu.” bisiknya. "Sekali ini, biarkan dirimu merasakan apa
yang sebenarnya kurasakan."
Aku menggeleng seperti robot sampai sebelah tangan Jacob kembali menyusup ke
rambutnya dan
menghentikanku. Suaranya berubah masam. "Kau yakin ingin aku kembali? atau
kau benar-benar ingin aku mati? Amarah mengguncang tubuhku seperti cambuk
setelah pukulan yang dahsyat. Sungguh keterlaluan, ia tidak bertarung dengan
adil. Karena lenganku masih melingkari lehernya,aku pun menjambak rambutnya
dengan kedua tangan, tak memedulikan nyeri hebat yang kurasakan di tangan kananku,
dan memberontak, berusaha menarik wajahku dari wajahnya. Tapi Jacob salah
mengerti.
Ia terlalu kuat menyadari kedua tanganku,yang berusaha menjambak rambutnya dari
akar-akarnya, dimaksudkan untuk menyakitinya. Alih-alih marah, ia malah mengira
itu karena aku bergairah. Dikiranya aku akhirnya memberi respon.
Sambil terkesiap Jacob mendaratkan kembali bibirnya ke bibirku, jari-jarinya
meremas pinggangku dengan ganas. Sentakan amarah membuat pengendalian diriku
yang memang rapuh jadi kehilangan keseimbangan, respon Jacob yang kegirangan
dan tidak terduga-duga membuat kendaliku lenyap entah kemana. Seandainya ia
hanya menunjukkan respon penuh kemenangan, mungkin aku bisa menolaknya. Tapi
justru kepolosan kegembiraannya yang meluap-luaplah yang meremukkan tekadku, melumpuhkannya.
Otakku tak lagi terhubung dengan tubuhku, dan aku membalas ciumannya.
Bertentangan dengan semua akal sehat, bibirku bergerak bersama bibirnya dengan
cara-cara yang aneh dan membingungkan, yang belum pernah terjadi sebelumnya,
karena aku tak perlu berhati-hati dengan Jacob, dan ia jelas tidak perlu
berhatihati denganku.
Jari-jariku semakin erat mencengkeram rambutnya, tapi aku justru menariknya lebih
dekat sekarang.
Jacob merajalela. Cahaya matahari yang menyilaukan mengubah kelopak mataku
menjadi merah,dan warna itu
cocok,benar-benar pas dengan gairah. Gairah ada di manamana. Aku tidak bisa melihat,
mendengar atau merasakan hal lain yang bukan Jacob. Sebagian kecil otakku yang
masih waras meneriakkan berbagai pertanyaan padaku.
Mengapa aku tidak menghentikannya? Lebih parahnya lagi, mengapa aku bahkan
tidak bisa menemukan dalam
diriku keinginan untuk berhenti? Apa itu berarti aku tidak mau dia berhenti?
Bahwa saat kedua tanganku
mencengkeram bahunya, aku senang merasakan dada Jacob yang begitu bidang dan
kokoh? Bahwa saat kedua
tangannya menarikku terlalu erat dengan tubuhnya, aku tetap merasa itu belum
cukup erat bagiku?
Pertanyaan-pertanyaan tolol, karena kau tahu jawabannya, selama ini aku
membohongi diriku sendiri. Jacob benar. Ternyata selama ini dia benar. Ia lebih
dari sekedar teman biasa. Itulah sebabnya sungguh mustahil
bagiku berpisah dengannya, karena ternyata aku mencintainya juga. Aku
mencintainya, jauh lebih besar
daripada seharusnya, meski masih belum mendekati cukup. Aku mencintainya, tapi
itu tidak cukup mengubah apa pun, itu hanya cukup untuk semakin melukai hati
kami berdua. Melukai hatinya lebih parah daripada yang pernah kulakukan.
Aku tidak peduli pada hal lain selain itu, selain kepedihan hati Jacob. Aku
lebih pantas menerima kepedihan apa pun yang ditimbulkan perbuatan ini. Aku berharap,
kepedihan itu dahsyat. Aku berharap aku akan benar-benar menderita. Saat ini,
rasanya seolah-olah kami satu tubuh. Kepedihan hati Jacob sejak dulu dan akan
selalu menjadi kepedihan hatiku, jadi sekarang, kebahagiannya adalah kebahagiaanku
juga. Aku juga merasa bahagia,meski kebahagiannya sekaligus juga merupakan
kepedihan.
Nyaris nyata, perasaan itu membakar kulitku seperti asam, siksaan
perlahan-lahan. Selama satu detik yang singkat namun seolah tak pernah berakhir,
masa depan baru yang sepenuhnya berbeda membentang di balik kelopak mataku yang
basah oleh air mata. Seakan-akan melihat melalui saringan ke dalam pikiran-pikiran
Jacob,aku bisa melihat dengan tepat apa saja yang akan kutinggalkan, kehilangan
apa yang takkan bisa
diselamatkan pengetahuan baru ini. Aku bisa melihat Charlie dan Renee melebur
dalam potongan-potongan
gambar yang disusun menjadi satu bersama Billy, Sam dan La push. Aku bisa
melihat tahun-tahun berlalu dan
memiliki arti seiring dengan berlalunya waktu, mengubahku. Aku bisa melihat
serigala coklat merah besar
yang kucintai, selalu menjadi perlindunganku setiap kali aku membutuhkannya.
Sekilas, dalam satu detik yang
singkat itu, aku melihat kepala dua anak kecil berambut hitam, berlari
menjauhiku memasuki hutan yang familiar.
Ketika mereka lenyap, mereka membawa seluruh penglihatan itu bersama mereka. Dan
kemudian,dengan sangat jelas, aku merasakan retakan di hatiku saat sebagian
kecil darinya memaksa melepaskan diri.
Bibir Jacob sudah berhenti sebelum bibirku berhenti. Aku membuka mata dan Jacob
menatapku dengan takjub dan senang.
"Aku harus pergi."bisiknya.
"Jangan."
Jacob tersenyum senang mendengar responku. "Aku tidak akan lama.”
janjinya. "Tapi satu hal dulu.."
Ia membungkuk untuk menciumku lagi, dan tidak ada alasan bagiku untuk
menolaknya. Apa gunanya?
Ciuman kali ini berbeda. Tangan Jacob terasa halus di wajahku dan bibirnya yang
hangat dan lembut agak raguragu. Singkat, namun sangat,sangat manis.
Kedua lengannya melingkariku, dan ia memelukku eraterat sambil berbisik di
telingaku.
"Seharusnya itu menjadi ciuman pertama kita. Lebih baik terlambat daripada
tidak sama sekali."
Di dadanya, tempat ia tak bisa melihat, air mataku menggenang dan tumpah.
0 komentar:
Post a Comment