Eclipse Indonesia 8
8. AMARAH
KAMI pergi ke pantai lagi, berkeliaran tanpa tujuan. Jacob masih bangga karena
berhasil membawaku kabur dari
pengawasan.
"Apa menurutmu mereka akan datang mencarimu?" tanya Jacob,
nadanya penuh harap,
"Tidak.” Aku yakin sekali. "Tapi mereka akan marah sekali padaku
malam ini.” Jacob memungut sebutir batu dan melemparnya ke ombak.
"Tidak usah kembali kalau begitu,” lagi-lagi ia mengusulkan.
"Charlie pasti akan senang sekali.” tukasku sarkastis.
"Berani taruhan, dia pasti tidak keberatan.”
Aku tidak menyahut, Jacob mungkin benar, dan itu membuatku mengertakkan gigi.
Sikap Charlie yang terangterangan lebih menyukai teman-teman Quileute-ku
benarbenar tidak adil. Dalam hati aku penasaran apakah Charlie akan tetap
berpendapat sama seandainya ia tahu pilihannya adalah antara vampir dan
werewolf.
"Nah, apa skandal terbaru kalian?” tanyaku ringan.
Jacob mendadak berhenti berjalan, dan menunduk memandangiku dengan sorot syok.
"Kenapa? Aku tadi hanya bercanda.”
"Oh.” Jacob membuang muka. Kutunggu Jacob melangkah lagi, tapi sepertinya
ia tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Jadi memang ada skandal, ya?" tanyaku.
Jacob terkekeh sekali. "Aku lupa tidak semua orang bisa mengetahui segala
sesuatu dalam pikiranku. Bahwa hanya aku yang bisa mengetahui pikiranku saat
ini.”
Kami menyusuri pantai yang berbatu sambil terdiam beberapa menit.
"Jadi apa?" tanyaku akhirnya. "Yang diketahui semua orang dalam
pikiranmu?"
Sejenak Jacob ragu-ragu, seolah tak yakin bagaimana caranya menjelaskan padaku.
Ialu ia mendesah dan berkata,
"Quil mengalami imprint. Jadi sekarang sudah tiga orang. Kami-kami yang
tersisa mulai waswas. Mungkin fenomena itu lebih jamak daripada cerita-cerita
orang...” Kening Jacob berkerut, ia berpaling menatapku. Ia memandang mataku
tanpa bicara, alisnya bertaut penuh konsentrasi.
"Apa yang kaupandangi?" tanyaku, merasa risi.
Jacob mendesah. "Tidak apa-apa.”
Jacob mulai melangkah lagi. Dan seolah tanpa berpikir, tangannya terulur dan
menggandeng tanganku. Kami
berjalan menyusuri bebatuan sambil berdiam diri. Sempat terlintas dalam benakku
bagaimana kami
kelihatannya saat ini, berjalan bergandengan tangan di tepi pantai-seperti
sepasang kekasih, jelas-dan bertanya-tanya dalam hati, apakah sebaiknya aku
menolaknya. Tapi memang selalu seperti ini bersama Jacob... tak ada alasan meributkannya
sekarang.
"Kenapa Quil mengalami imprint saja lantas jadi skandal?” tanyaku setelah
tidak tampak tanda-tanda Jacob
bakal meneruskan kata-katanya. "Apakah karena dia yang terakhir
bergabung?”
"Itu tidak ada hubungannya dengan ini.”
"Kalau begitu, apa masalahnya?"
"Lagi-lagi soal legenda. Aku jadi bertanya-tanya, kapan kita akan berhenti
terkejut karena semua legenda itu
ternyata benar?" Jacob mengomel sendiri.
"Kau akan menceritakannya padaku tidak? Atau aku harus menebak?"
"Mana mungkin kau bisa menebaknya. Begini, kau kan tahu sudah lama sekali
Quil tidak bergaul lagi dengan kami, sampai baru-baru ini. Jadi dia sudah lama
tidak main ke rumah Emily
"Jadi Quil meng-imprint Emily juga?" aku terkesiap.
"Bukan! Sudah kubilang, kau takkan bisa menebaknya.
Dua keponakan Emily kebetulan sedang berkunjung... dan Quil bertemu Claire.”
Jacob tidak melanjutkan kata-katanya. Aku memikirkannya sesaat,
"Emily tidak ingin keponakannya berhubungan dengan werewolf? Itu kan agak
munafik,” tukasku.
Tapi aku bisa memahami kenapa Emily merasa seperti itu, Terbayang olehku bekas
luka panjang yang merusak
wajahnya, memanjang hingga ke lengan kanan. Hanya sekali Sam tidak bisa
menguasai diri, dan saat itu ia berdiri terlalu dekat dengan Emily. Hanya
sekali itu... aku melihat sendiri kepedihan di mata Sam setiap kali melihat
hasil perbuatannya terhadap Emily. Aku bisa mengerti kenapa Emily ingin
melindungi keponakannya dari hal itu.
"Bisakah kau berhenti menebak-nebak? Tebakanmu melenceng jauh. Emily bukan
keberatan karena hal itu, tapi
hanya, well, karena ini sedikit terlalu cepat.”
"Apa maksudmu dengan terlalu cepat?"
Jacob menilaiku dengan mata menyipit. "Usahakan untuk tidak menghakimi,
oke?"
Hati-hati aku mengangguk.
"Claire berumur dua tahun,” kata Jacob. Hujan mulai turun. Aku
mengerjap-ngerjapkan mata dengan ganas saat titik-titik hujan membasahi
wajahku. Jacob menunggu sambil berdiam diri. Ia tidak memakai jaket, seperti
biasa: hujan meninggalkan bercak-bercak gelap di T-shirt hitamnya, dan
menetes-netes di rambut
gondrongnya. Ia menatap wajahku tanpa ekspresi.
"Quil... berjodoh... dengan anak berumur dua tahun?" tanyaku
akhirnya.
"Itu biasa terjadi,” Jacob mengangkat bahu. Ia membungkuk untuk memungut
sebutir batu lagi dan
melemparnya jauh-jauh ke teluk. "Atau konon begitulah ceritanya.”
"Tapi dia masih bayi.” protesku.
Jacob memandangiku dengan sikap geli yang getir. "Quil tidak akan
bertambah tua.” ia mengingatkanku, nadanya sedikit masam. "Dia hanya perlu
bersabar selama beberapa dekade"
"Aku.. tidak tahu harus bilang apa.”
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengkritik, meski sejujurnya, aku merasa
ngeri. Sampai sekarang, tak
satu hal pun yang berkaitan dengan werewolf yang membuatku merasa terganggu
semenjak aku tahu mereka
tidak melakukan pembunuhan seperti kecurigaanku.
"Kau menghakimi.” tuduh Jacob. "Kentara sekali dari wajahmu.”
“Maaf,” gumamku. "Tapi kedengarannya mengerikan sekali.”
"Sama sekali tidak seperti itu; kau salah duga,” Jacob membela temannya,
mendadak berapi-api. "Aku melihat
sendiri bagaimana, lewat matanya. Sama sekali tidak ada hal romantis dalam hal
itu, tidak bagi Quil, tidak sekarang.”
Jacob menghela napas dalam-dalam, frustrasi. "Sulit menggambarkannya.
Bukan seperti cinta pada pandangan
pertama, sungguh. Tapi lebih menyerupai... gerakan gravitasi. Ketika kau
melihat jodohmu, tiba-tiba bukan
bumi lagi yang menahanmu tetap berpijak. Tapi dia. Dan tak ada yang lebih
berarti daripada dia. Dan kau rela
melakukan apa pun untuknya, menjadi apa saja untuknya... Kau menjadi apa pun
yang dia perlukan, entah itu
pelindung, kekasih, teman, ataupun kakak.
"Quil akan menjadi kakak terhebat, terbaik yang bisa dimiliki seorang
anak. Tidak ada balita di seantero planet
ini yang akan dijaga dengan lebih hati-hati ketimbang gadis kecil itu nantinya.
Dan kemudian, kalau dia sudah lebih besar dan membutuhkan teman, Quil akan
lebih pengertian, lebih bisa dipercaya, dan lebih bisa diandalkan daripada orang
lain yang dia kenal. Dan akhirnya, setelah dia dewasa, mereka akan sebahagia
Emily dan Sam. Secercah nada pahit yang aneh membuat suara Jacob terdengar
lebih tajam saat ia menyebut nama Sam.
“Apakah Claire tidak punya pilihan dalam hal ini?"
"Tentu saja. Tapi kenapa Claire tidak mau memilihnya, pada akhirnya? Quil
akan jadi pasangan yang sempurna
baginya. Seakan Quil diciptakan khusus untuknya.”
Kami berjalan sambil berdiam diri sesaat, sampai aku berhenti untuk melempar
batu ke laut, Tapi batu itu jatuh di
pantai, hanya beberapa meter dari laut, Jacob menertawakanku.
"Tidak semua orang sekuat kau,” gumamku. Jacob mendesah.
"Menurutmu, kapan itu akan terjadi padamu?" tanyaku pelan.
Jawaban Jacob datar dan langsung. "Tidak akan pernah.”
"Itu bukan sesuatu yang bisa kaukendalikan, kan?"
Jacob terdiam beberapa menit. Tanpa sadar, kami berjalan semakin lambat, nyaris
tak bergerak sama sekali.
"Seharusnya memang tidak.” Jacob mengakui. "Tapi kau harus melihatnya
– gadis yang akan menjadi jodohmu.”
"Dan kaupikir karena belum melihatnya, maka dia tidak ada?" tanyaku
skeptis. "Jacob, kau kan belum banyak
melihat dunia luar – kurang daripada aku, bahkan.”
"Memang belum.” Jacob membenarkan dengan suara pelan. Ditatapnya wajahku
dengan pandangan yang ribariba menusuk. "Tapi aku tidak akan pernah
melihat orang lain, Bella. Aku hanya melihatmu. Bahkan saat aku
memejamkan mata dan berusaha melihat hal lain. Tanya saja Quil atau Embry. Itu
membuat mereka semua gila.”
Aku menjatuhkan pandanganku ke batu-batu. Kami tidak melangkah lagi.
Satu-satunya suara hanya
debur ombak yang memukul tepi pantai, Aku tak bisa mendengar suara hujan karena
kalah oleh raungan ombak.
"Mungkin sebaiknya aku pulang.” bisikku.
"Jangan!" protes Jacob, terkejut karena harus berakhir begini.
Aku mendongak dan menatapnya lagi, dan mata Jacob kini tampak waswas.
"Kau punya waktu seharian, kan? Si pengisap darah kan belum pulang.” Kupelototi
dia.
"Jangan tersinggung,” ia buru-buru berkata.
"Ya, aku punya waktu seharian. Tapi, Jake...”
Jacob mengangkat kedua tangannya. "Maaf" ia meminta maaf. “Aku tidak
akan bersikap seperti itu lagi. Aku hanya akan menjadi Jacob.”
Aku mendesah. "Tapi kalau itu yang kaupikirkan...”
"Jangan khawatirkan aku,” sergah Jacob, tersenyum dengan keriangan
dibuat-buat, terlalu ceria. “Aku tahu apa
yang kulakukan. Bilang saja kalau aku membuatmu resah.”
"Entahlah...”
“Ayolah, Bella. Mari kembali ke rumah dan mengambil motor kita. Kau harus mengendarai
motormu secara teratur supaya motornya tidak cepat rusak.”
"Sepertinya aku tidak boleh naik motor.”
"Siapa yang melarang? Charlie atau si pengisap-atau dia?"
“Dua-duanya.”
Jacob memamerkan cengiran khasnya, dan tiba-tiba saja ia kembali menjadi Jacob
yang paling kurindukan, ceria dan hangat. Aku tak kuasa untuk tidak balas
nyengir.
"Aku tidak akan bilang siapa-siapa.” janjinya.
"Kecuali teman-temanmu.”
Jacob menggeleng dengan sikap bersungguh-sungguh dan mengangkat tangan
kanannya. “Aku janji tidak akan
memikirkannya.”
Aku tertawa. "Kalau aku cedera, itu karena tersandung.”
"Terserah apa katamu.”
Kami mengendarai motor kami di jalan-jalan kecil yang mengelilingi La Push
sampai hujan membuatnya jadi terlalu berlumpur dan Jacob bersikeras mengatakan
ia akan pingsan kalau tidak segera makan. Billy menyapaku dengan nada
biasa-biasa saja waktu kami sampai di rumah, seolaholah kemunculanku yang
tiba-tiba tidak berarti apa-apa kecuali bahwa aku ingin menghabiskan waktu
dengan temanku. Sehabis makan sandwich buatan Jacob, kami pergi ke garasi dan
aku membantunya mencuci motor.
Sudah berbulan-bulan aku tidak menginjakkan kaki lagi ke sini-sejak Edward
kembali-tapi rasanya biasa saja. Hanya menghabiskan siang bersama di garasi.
"Asyik sekali.” komentarku ketika Jacob mengeluarkan soda hangat dari
kantong belanjaan. "Aku kangen sekali
tempat ini.”
Jacob tersenyum, memandang berkeliling ke atap plastik yang dipaku di aras
kepala kami. "Yeah, aku bisa
memahaminya. Segala kemewahan Taj Mahal, tanpa harus repot-repot pergi ke
India.”
"Bersulang untuk Taj Mahal kecilnya Washington,” aku bersulang, mengangkat
kalengku.
Jacob menempelkan kalengnya ke kalengku.
"Ingat tidak Valentine waktu itu? Kukira itu terakhir kalinya kau datang
ke sini-terakhir kalinya ketika keadaan
masih... normal, maksudku.”
Aku tertawa. "Tentu saja aku masih ingat. Aku menukar kesempatan menjadi budak
seumur hidup demi mendapat sekotak cokelat berbentuk hati. Itu bukan sesuatu
yang mudah dilupakan begitu saja.”
Jacob tertawa bersamaku. "Benar. Hmmm, budak seumur hidup. Aku harus memikirkan
sesuatu yang bagus.”
Lalu ia mendesah. "Rasanya itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Era yang
lain. Yang lebih membahagiakan.”
Aku tidak sependapat dengannya. Sekarang era yang membahagiakan bagiku. Tapi
aku kaget ketika menyadari
betapa banyak yang kurindukan dari masa-masa kelamku. Mataku memandangi bagian
terbuka di tengah hutan yang muram. Hujan kembali menderas, tapi di dalam
garasi kecil itu hangat, karena aku duduk di sebelah Jacob. Ia sama hangatnya
dengan pemanas ruangan. Jari-jarinya menyapu tanganku. "Keadaan sudah
benarbenar
berubah.”
"Yeah,” jawabku, kemudian aku mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk ban
belakang motorku. "Charlie dulu
suka padaku. Semoga saja Billy tidak mengatakan apa-apa mengenai hari ini...”
Aku menggigit bibir.
"Tidak akan. Dia tidak gampang panik seperti Charlie.
“Hei, aku belum pernah secara resmi meminta maaf padamu atas ulah tololku
membawa motor ke rumahmu waktu itu. Aku sangat menyesal membuatmu dimarahi
habis-habisan oleh Charlie. Kalau saja aku tidak berbuat begitu.”
Aku memutar bola mata. "Aku juga.”
"Aku benar-benar menyesal.”
Jacob menatapku penuh harap, rambut hitamnya yang basah dan kusut mencuat ke
segala arah di sekeliling
wajahnya yang memohon.
"Oh, baiklah! Kau dimaafkan.”
"Trims, Bells!"
Kami nyengir beberapa saat, tapi sejurus kemudian wajah Jacob berubah muram.
"Kau tahu hari itu, waktu aku membawa motor ke rumahmu... sebenarnya aku
ingin menanyakan sesuatu
kepadamu,” kata Jacob lambat-lambat. "Tapi juga... tidak ingin
menanyakannya.”
Aku bergeming-reaksi khas bila aku tertekan, Kebiasaan yang kudapat dari
Edward.
"Apakah kau keras kepala karena marah padaku, atau kau benar-benar
serius?" bisiknya.
"Tentang apa?” aku, balas berbisik, walaupun yakin aku tahu maksudnya.
Jacob menatapku garang. "Kau tahu. Waktu kaubilang itu bukan urusanku...
apakah-apakah dia menggigitmu?”
Jacob mengernyit saat mengucapkan kata terakhir.
"Jake...” Kerongkonganku rasanya tersumbat. Aku tak sanggup menyelesaikan
perkaraanku.
Jacob memejamkan mata dan menghela napas dalamdalam.
"Kau serius?" Tubuh Jacob sedikit gemetar, Matanya tetap terpejam.
"Ya,” bisikku.
Jacob menghela napas, lambat dan dalam. "Sudah kuduga.”
Aku menatap wajahnya, menunggunya membuka mata.
"Tahukah kau apa artinya ini?" runtut Jacob tiba-tiba.
"Kau pasti memahaminya, kan? Apa yang akan terjadi bila mereka melanggar
kesepakatan?"
"Kami akan pergi lebih dulu.” kataku, suaraku nyaris tak terdengar.
Mata Jacob mendadak terbuka, bola matanya yang hitam sarat amarah dan sakit
hati. "Tidak ada batasan
geografis dalam kesepakatan itu, Bella. Leluhur kami menyepakati perjanjian
damai itu karena keluarga Cullen
bersumpah mereka berbeda, bahwa mereka tidak berbahaya bagi manusia. Mereka
berjanji tidak akan pernah
membunuh atau mengubah siapa pun lagi. Kalau mereka melanggar janji mereka sendiri,
kesepakatan itu tidak berarti, dan mereka tak ada bedanya dengan vampir-vampir lain.
Kalau sudah begitu, bila kami menemukan mereka...”
"Tapi, Jake, bukankah kau sendiri juga sudah melanggar kesepakatan
itu?" sergahku, mencari-cari pegangan yang masih tersisa. "Bukankah ada
bagian dalam kesepakatan itu yang melarangmu memberitahu orang tentang vampir? Padahal
kau sudah memberitahu aku. Berarti kesepakatan itu sudah dilanggar, kan?”
Jacob tidak suka diingatkan tentang hal itu; kepedihan di matanya berubah
menjadi sorot tidak suka. "Yeah, aku
sudah melanggar kesepakatan – jauh sebelum aku memercayainya. Dan aku yakin
mereka pasti sudah
diberitahu tentang hal itu.” Jacob memandangi dahiku masam, tak mampu menatap
sorot mataku yang malu.
"Tapi bukan berarti mereka jadi mendapat kelonggaran atau semacamnya.
Kalau tidak tahu, tentu bukan masalah. Mereka hanya punya satu pilihan kalau
tidak menyukai apa yang telah kulakukan. Pilihan yang sama yang kami miliki jika
mereka melanggar perjanjian: menyerang. Memulai peperangan.”
Jacob membuatnya terdengar seperti sesuatu yang tidak bisa dihindari. Aku
bergidik.
"Jake, kan tidak harus seperti itu.”
Jacob mengertakkan giginya. "Memang harus seperti itu.”
Kesunyian yang menyusul setelah pernyataannya tadi, bergaung begitu keras,
"Apakah kau takkan pernah memaafkanku, Jacob?" bisikku.
Begitu mengucapkan kata-kata itu, aku langsung berharap tak pernah
mengatakannya. Aku tak ingin
mendengar jawabannya.
"Kau tidak akan menjadi Bella lagi.” Jacob menjawab pertanyaanku.
"Temanku tidak akan ada lagi. Tak ada
seorang pun yang bisa kumaafkan.”
"Berarti jawabannya tidak,” bisikku. Kami bertatapan lama sekali.
"Kalau begitu ini perpisahan, Jake?"
Jake _mengerjap-ngerjapkan matanya dengan cepat, ekspresi garangnya berubah
menjadi terkejut. "Kenapa?
Kita toh masih punya waktu beberapa tahun. Apakah kita tidak bisa berteman
sampai tiba waktunya nanti?"
"Beberapa tahun? Tidak, Jake, bukan beberapa tahun.”
Aku menggeleng dan tertawa garing. "Lebih tepatnya beberapa minggu.”
Aku sama sekali tidak mengira reaksi Jacob akan begitu hebat. Jake tiba-tiba
berdiri, dan terdengar bunyi kaleng soda meledak di tangannya. Sodanya
berhamburan ke manamana, membasahi tubuhku, seperti air disemprotkan dari slang.
"Jake!" Aku sudah hendak memprotes, tapi langsung bungkam begitu
menyadari sekujur tubuh Jake bergetar
karena amarah. Ia memelototiku dengan garang, suara geraman menyeruak dari
dadanya. Aku terpaku di tempat, terlalu syok untuk ingat bagaimana caranya
bergerak.
Getaran itu mengguncang-guncang tubuhnya, semakin lama semakin cepat, sampai
Jake terlihat seperti bergetar hebat. Sosoknya mengabur...
Kemudian Jacob mengertakkan gigi kuat-kuat, dan geraman itu berhenti. Ia
memejamkan mata rapat-rapat
untuk berkonsentrasi; getaran itu melambat hingga akhirnya tinggal tangannya
yang bergoyang-goyang.
"Beberapa minggu.” kata Jacob, nadanya monoton dan datar.
Aku tak mampu menyahut; tubuhku masih membeku. Jacob membuka mata. Sorot matanya
lebih dari sekadar
marah.
"Dia akan mengubahmu menjadi pengisap darah kotor hanya dalam hitungan
minggu!" desis Jacob dari sela-sela giginya.
Terlalu terperangah untuk merasa tersinggung oleh katakatanya barusan, aku
hanya mampu mengangguk tanpa
suara. Wajah Jacob berubah hijau di balik kulitnya yang cokelat kemerahan.
"Tentu saja, Jake,” bisikku setelah terdiam selama semenit yang terasa
sangat lama. "Dia tujuh betas tahun,
Jacob. Sedangkan aku semakin hari semakin mendekati sembilan belas. Lagi pula,
apa gunanya menunggu? Hanya dia yang kuinginkan. Apa lagi yang bisa
kulakukan?"
Pertanyaan terakhir itu kumaksudkan sebagai pertanyaan retoris. Kata-kata itu
melesat keluar dari mulut Jacob bagaikan lecutan cambuk. "Banyak. Masih
banyak hal lain yang bisa kaulakukan. Lebih baik kau mati saja. Aku lebih suka
kalau kau mati."
Aku tersentak seperti ditampar. Sakitnya melebihi bila ia benar-benar
menamparku.
Kemudian, saat kepedihan itu menyeruak di dalam hariku, amarahku sendiri
meledak menjadi kobaran api,
"Mungkin kau akan beruntung," tukasku muram, tibatiba bangkit
berdiri. "Mungkin aku akan ditabrak truk
dalam perjalanan pulang nanti.”
Kusambar motorku dan kudorong menembus hujan. Jacob tak bergerak waktu aku
melewatinya. Begitu sampai
di jalan yang kecil dan berlumpur, aku menaikinya dan mengengkol pedalnya
dengan kasar hingga mesinnya
meraung menyala. Roda belakang menyemburkan lumpur ke arah garasi, dan aku
berharap mudah-mudahan lumpur itu mengenai Jacob.
Tubuhku benar-benar basah kuyup saat aku melaju melintasi jalan raya yang licin
menuju rumah keluarga
Cullen. Angin bagai membekukan hujan di kulitku, dan belum sampai setengah
jalan, gigiku sudah bergemeletuk
kedinginan. Sepeda motor benar-benar tidak praktis digunakan di Washington.
Akan kujual benda tolol ini pada kesempatan pertama nanti.
Kudorong motor itu memasuki garasi rumah keluarga Cullen yang luas dan tidak
kaget melihat Alice
menungguku, bertengger di kap mesin Porsche-nya. Tangannya mengelus-elus catnya
yang kuning mengilap.
"Aku bahkan belum sempat mengendarainya.” Alice mendesah.
"Maaf," semburku dari sela-sela gigiku yang gemeletuk.
"Kelihatannya kau perlu mandi air panas.” kata Alice, nadanya sambil lalu,
sambil melompat turun dengan lincah.
"Yep.”
Alice mengerucutkan bibir, mengamati ekspresiku dengan hati-hati. "Kau mau
membicarakannya?"
"Tidak.”
Alice mengangguk, tapi matanya dipenuhi rasa ingin tahu.
"Mau pergi ke Olympia nanti malam?"
"Tidak juga. Aku belum boleh pulang?" Alice meringis.
"Sudahlah, tidak apa-apa, Alice.” karaku. "Aku akan tetap di sini
supaya tidak menyusahkanmu.”
"Trims.” Alice mengembuskan napas lega.
Aku tidur lebih cepat malam itu, meringkuk lagi di sofa. Hari masih gelap waktu
aku terbangun. Aku merasa
linglung, tapi aku tahu hari masih belum pagi. Dengan mata terpejam aku
meregangkan otot-otot, dan berguling ke samping. Sedetik kemudian baru aku
sadar gerakan itu seharusnya membuatku terjatuh ke lantai. Dan rasanya aku terlalu
nyaman.
Aku berguling telentang, berusaha melihat. Malam lebih gelap daripada
kemarin-awan-awan terlalu tebal hingga
cahaya bulan tak mampu menembusnya,
"Maaf',' Bisikannya begitu lembut hingga suaranya merupakan bagian
dari kegelapan. "Aku tidak bermaksud
membangunkanmu.”
Aku mengejang, menunggu amarah itu datang-baik amarahku maupun amarahnya-tapi
suasana begitu tenang
dan damai dalam kegelapan kamarnya. Aku nyaris bisa merasakan manisnya reuni
ini menggelantung di udara,
keharuman yang berbeda dari aroma napasnya; kekosongan ketika kami berpisah
meninggalkan jejak kepahitan tersendiri, sesuatu yang tidak kusadari sampai
kepahitan itu lenyap.
Tidak ada friksi di antara kami, Keheningan itu begitu damai-tidak seperti
ketenangan yang terjadi sebelum badai, tapi seperti malam jernih yang tak
tersentuh bahkan oleh mimpi akan terjadinya badai.
Dan aku tak peduli bahwa seharusnya aku marah kepada Edward. Aku tidak peduli
seharusnya aku marah kepada semua orang. Aku malah mengulurkan tangan,
menemukan tangannya dalam gelap, dan menarik tubuhku lebih dekat lagi padanya.
Kedua lengan Edward melingkari tubuhku, mendekapku di dadanya. Bibirku
mencari-cari, menjelajahi daerah sekitar kerongkongannya, ke dagunya, sampai
aku akhirnya menemukan bibirnya. Edward menciumku lembut sesaat, kemudian
terkekeh.
"Padahal aku sudah mempersiapkan diri untuk menerima amukan yang mengalahkan
keganasan beruang, tapi malah ini yang kudapat? Seharusnya aku lebih sering
membuatmu marah.”
"Beri aku satu menit untuk bersiap-siap.” godaku, menciumnya lagi.
"Akan kutunggu selama yang kau mau.” bisik Edward di bibirku. jari-jarinya
menyusup ke dalam rambutku.
Napasku mulai memburu. "Mungkin besok pagi.”
"Terserah kau saja.”
"Selamat datang kembali.” kataku saat bibir dingin Edward menempel di
bawah daguku. "Aku senang kau
sudah pulang.”
"Wah, menyenangkan sekali.”
"Mmm.” aku sependapat, mempererat lenganku di lehernya.
Tangan Edward melingkari sikuku, bergerak lambat menuruni lengan, melintasi
rusuk dan terus ke pinggang,
menyusuri pinggul dan turun ke kaki, memeluk lutut. Ia berhenti di sana,
tangannya melingkari tungkaiku.
Aku berhenti bernapas. Biasanya ia tidak mengizinkan ini terjadi. Walaupun
tangannya dingin, mendadak aku
merasa hangat. Bibirnya bergerak di lekukan di pangkal tenggorokanku.
"Bukan bermaksud membangkitkan amarah lebih cepat.” bisik Edward,
"tapi apa kau keberatan memberitahuku apa yang tidak kausukai dari tempat
tidur ini?"
Sebelum aku sempat menjawab, bahkan sebelum aku sempat berkonsentrasi untuk
mencerna kata-katanya,
Edward berguling ke samping. Ia merengkuh wajahku dengan kedua tangan,
menelengkannya sedemikian rupa
agar bibirnya bisa menjangkau leherku. Desah napasku terlalu keras-agak memalukan
sebenarnya, tapi aku tidak sempat lagi merasa malu.
"Tempat tidur?' tanya Edward lagi. "Menurutku tempat tidurnya bagus.”
"Sebenarnya ini tidak perlu.” akhirnya aku bisa menjawab. Edward kembali
menarik wajahku ke wajahnya,
dan bibirku menempel di bibirnya. Aku bisa merasakan tubuhnya yang sedingin
marmer menempel di tubuhku.
Jantungku bertalu-talu begitu keras hingga aku sulit mendengar tawa pelannya.
"Itu masih bisa diperdebatkan.” Edward tidak sependapat, "Ini pasti
sulit dilakukan di sofa.”
Sedingin es, lidahnya menjelajahi lekuk bibirku dengan lembut. Kepalaku
berputar cepat-napasku memburu, pendekpendek.
"Memangnya kau berubah pikiran?" tanyaku dengan napas terengah-engah.
Mungkin ia sudah berpikir ulang
tentang semua aturan yang ditetapkannya sendiri. Mungkin ada makna signifikan
lain di balik tempat tidur ini daripada yang kuduga pada awalnya. Jantungku
memukul-mukul dadaku hingga nyaris membuatku kesakitan sementara aku menunggu
jawabannya.
Edward mendesah, berguling telentang hingga kami kembali berbaring
berdampingan.
"Jangan konyol, Bella,” tukasnya, kentara sekali ada nada menegur dalam
suaranya-jelas, ia mengerti maksudku.
“Aku hanya berusaha menggambarkan keuntungan memiliki tempat tidur yang
sepertinya tidak kausukai.
Jangan terbawa suasana.”
"Terlambat.” gerutuku. "Dan aku suka tempat tidurnya.” aku
menambahkan.
"Bagus.” Aku bisa mendengar secercah senyum dalam suaranya saat ia
mengecup keningku. "Aku juga suka.”
"Tapi aku tetap menganggapnya tidak perlu.” sambungku.
"Kalau kita tidak mau terbawa suasana, lalu apa gunanya?”
Lagi-lagi Edward mendesah. "Untuk keseratus kalinya, Bella-itu terlalu
berbahaya.”
"Aku suka yang berbahaya-bahaya,” tukasku.
"Aku tahu.” Nadanya terdengar sedikit pahit, dan aku sadar Edward pasti
sudah melihat sepeda motor di garasi.
"Akan kuberitahu apa yang berbahaya.” sergahku buruburu, sebelum Edward
sempat beralih ke topik diskusi baru.
"Suatu saat nanti, aku akan 'terbakar' secara spontan-dan kau tidak bisa
menyalahkan orang lain kecuali dirimu
sendiri.”
Edward bergerak untuk mendorongku jauh-jauh.
"Apa-apaan sih kau?" protesku, tetap menggelayutinya.
"Melindungimu dari kemungkinan terbakar. Kalau ini terlalu berlebihan
untukmu.”
"Aku bisa mengatasinya,” tukasku. Edward membiarkan aku menyusup kembali
dalam
pelukannya.
"Maaf kalau aku memberimu kesan yang salah.” Kata Edward. "Aku tidak
bermaksud membuatmu kesal. Itu
bukan perbuatan yang baik.”
"Sebenarnya, itu amat, sangat baik.”
Edward menghela napas dalam-dalam. "Apa kau tidak capek? Seharusnya aku
membiarkanmu tidur.”
"Tidak, aku tidak capek, Aku tidak keberatan kalau kau ingin memberiku
kesan yang keliru lagi.”
"Mungkin itu bukan ide bagus. Bukan kau satu-satunya yang bisa terbawa suasana.”
"Ah, siapa bilang,” gerutuku
Edward terkekeh. "Kau kan tidak tahu, Bella. Parahnya lagi, kau begitu
bersemangat meruntuhkan pengendalian
diriku.”
"Aku tidak mau meminta maaf untuk hal itu.”
"Bolehkah aku meminta maaf?'
"Untuk apa?"
"Kau marah padaku, ingat?”
"Oh, itu.”
"Maafkan aku. Aku memang salah. Lebih mudah berpikir jernih kalau kau aman
di sini bersamaku.”
Lengannya merangkulku lebih erat. "Aku jadi sedikit sinting bila harus
meninggalkanmu. Kurasa aku tidak akan pergi jauh-jauh lagi. Tidak sebanding
dengan pengorbanannya.”
Aku tersenyum. "Memangnya kau tidak berhasil menangkap singa
gunung""
"Berhasil. Tapi tetap saja, itu tidak sebanding dengan kegelisahan yang
kurasakan. Maafkan aku karena meminta Alice menyanderamu. Itu bukan ide bagus.”
"Memang.” aku sependapat.
"Aku tidak akan melakukannya lagi.”
"Oke.” sahutku enteng. Aku sudah memaafkan Edward.
"Tapi ada enaknya juga kok pesta semalam suntuk...”
Aku meringkuk lebih dekat padanya, menempelkan bibirku ke lekukan di tulang
selangkanya "Kau bisa
menyanderaku kapan saja kau mau.”
"Mmm.” Edward mendesah. "Siapa tahu aku akan menerima tawaranmu itu.”
"Jadi sekarang giliranku?”
"Giliranmu?” suara Edward terdengar bingung.
"Meminta maaf"
"Kau mau meminta maaf untuk apa?"
"Memangnya kau tidak marah padaku?" tanyaku bingung.
"Tidak.”
Kedengarannya Edward sungguh-sungguh. Aku merasa alisku bertaut,
"Memangnya kau belum
bertemu Alice waktu kau sampai di rumah tadi?"
"Sudah-kenapa?”
"Kau akan mengambil lagi Porsche-nya?"
"Tentu saja tidak. Itu kan hadiah.”
Kalau saja aku bisa melihat ekspresi Edward. Nadanya mengisyaratkan seolah-olah
aku menghinanya.
"Memangnya kau tidak ingin tahu apa yang kulakukan?" tanyaku, mulai
bingung melihat sikap Edward yang seolah tidak peduli.
Aku merasa ia mengangkat bahu. "Aku selalu tertarik pada semua yang
kaulakukan, tapi kau tak perlu
memberitahuku apa-apa. kecuali kau memang ingin.”
"Tapi aku pergi ke La Push.”
"Aku tahu.”
"Dan aku bolos sekolah.”
"Aku juga.”
Aku memandang ke arah suaranya, menelusuri garis,garis wajahnya dengan
jari-jariku, berusaha
memahami suasana hatinya. "Dari mana asalnya semua toleransi ini?"
tuntutku.
Edward mendesah.
"Kuputuskan bahwa kau benar. Masalahku sebenarnya lebih berupa...
prasangka terhadap werewolf daripada yang lain. Aku akan berusaha bersikap
lebih bijaksana dan memercayai penilaianmu. Kalau menurutmu aman, aku akan
percaya padamu.”
“Wow.”
"Dan... yang paling penting... aku tidak akan membiarkan masalah ini
merusak hubungan kita.”
Aku membaringkan kepalaku di dadanya dan memejamkan mata, senang sekali.
"Jadi,” kata Edward dengan nada biasa-biasa saja. "Ada rencana untuk
kembali ke La Push dalam waktu dekat?"
Aku tidak menjawab. Pertanyaan Edward membawa ingatanku kembali ke kata-kata
Jacob, dan kerongkonganku
mendadak tercekat. Edward salah membaca sikap diamku serta tubuhku yang
tiba-tiba menegang.
"Supaya aku bisa membuat rencana juga,” Edward buruburu menjelaskan.
"Aku tidak mau kau merasa harus buruburu kembali hanya karena aku
menunggumu di sini.”
"Tidak,” kataku, suaraku terdengar aneh di telingaku sendiri. "Aku
tidak punya rencana untuk kembali ke sana.”
"Oh. Kau tidak perlu melakukannya untukku.”
"Kurasa aku tidak diterima lagi di sana,” bisikku.
"Memangnya kau melindas kucing penduduk di La Push?" tanya Edward
ringan. Aku tahu ia tak ingin
memaksaku bercerita, tapi aku bisa mendengar nada ingin tahu di balik
kata-katanya.
"Tidak" Aku menghela napas dalam-dalam, kemudian menjelaskan dengan
bergumam cepat. "Kurasa Jacob pasti sudah tahu... jadi aku tidak mengira
dia akan terkejut.” Edward menunggu sementara aku ragu-ragu.
"Dia tidak mengira... bahwa akan secepat itu.”
"Ah,” ucap Edward pelan.
"Katanya dia lebih suka melihatku mati.” Suaraku bergetar saat mengucapkan
kata terakhir, Sesaat Edward diam tak bergerak, berusaha mengendalikan entah
reaksi apa yang ia tidak ingin aku
melihatnya. Lalu ia memelukku erat-erat dengan lembut ke dadanya.
"Aku ikut sedih.”
"Kusangka kau akan senang mendengarnya.” bisikku.
"Masa aku senang bila itu menyakiti hatimu?" bisik
Edward ke rambutku. "Kurasa tidak, Bella.” Aku mengembuskan napas dan
tubuhku merileks,
kutempelkan tubuhku dengan tepat ke tubuhnya. Tapi Edward bergeming, tegang.
"Ada apa?” tanyaku.
"Tidak ada apa-apa.”
"Kau bisa menceritakannya padaku.”
Edward terdiam sejenak. "Mungkin itu akan membuatmu marah."
"Aku tetap ingin tahu.”
Edward mendesah. "Aku bisa benar-benar membunuhnya karena berkata begitu
padamu. Aku ingin sekali.”
Aku tertawa setengah hati. "Untung kau pandai menguasai diri.”
"Bisa saja aku lepas kendali.” Nadanya melamun.
"Kalau kau mau lepas kendali, ada tempat yang lebih baik untuk
melakukannya.” Aku merengkuh wajahnya,
berusaha mengangkat tubuhku untuk menciumnya. Lengan Edward memelukku lebih
erat, menahanku.
Ia mendesah. "Haruskah selalu aku yang menjadi pihak yang bertanggung
jawab di sini?"
Aku nyengir dalam gelap. "Tidak. Biarkan aku menjadi pihak yang
bertanggung jawab selama beberapa menit.. atau beberapa jam.”
"Selamat malam, Bella
"Tunggu-ada hal lain yang ingin kutanyakan padamu.”
"Apa itu?"
"Semalam aku ngobrol dengan Rosalie...”
Lagi-lagi tubuh Edward mengejang. "Ya. Dia sedang memikirkan hal itu waktu
aku datang tadi. Dia membuatmu
mempertimbangkan banyak hal, ya?"
Suaranya cemas, dan aku sadar Edward mengira aku ingin berbicara tentang
alasan-alasan yang diberikan
Rosalie padaku agar terap menjadi manusia. Tapi aku tertarik pada hal lain yang
lebih mendesak.
"Dia bercerita sedikit... tentang saat keluarga kalian tinggal di Denali.”
Aku diam sebentar; permulaan ini rupanya membuat Edward terkejut.
"Ya?"
"Dia bercerita tentang sekelompok vampir perempuan... dan kau.”
Edward tidak menyahut, walaupun aku sudah menunggu cukup lama.
"Jangan khawatir.” kataku, setelah keheningan itu semakin tak tertahankan,
"Kata Rosalie kau tidak...
menunjukkan ketertarikan sedikit pun. Tapi aku hanya penasaran apakah ada salah
seorang di antara mereka yang tertarik. Menunjukkan ketertarikan padamu,
maksudku.”
Lagi-lagi Edward diam.
"Siapa?” tanyaku, berusaha agar suaraku tetap terdengar biasa-biasa saja,
meski tidak begitu berhasil. "Atau mungkin ada lebih dari satu?"
Tidak ada jawaban. Kalau saja aku bisa melihat wajahnya, sehingga bisa mencoba
menebak apa arti
diamnya Edward.
"Alice pasti mau memberitahu.” kataku. "Akan kutanya sekarang juga.”
Edward semakin mempererat pelukannya; aku bahkan tidak bisa bergeser satu senti
pun.
"Sudah malam.” kata Edward. Ada nada lain dalam suaranya yang baru kali
ini terdengar. Sedikit gugup,
mungkin agak malu. "Selain itu, kalau tidak salah Alice tadi pergi...”
"Gawat.” tebakku. "Pasti gawat sekali, kan?” Aku mulai panik,
jantungku berdebar semakin cepat saat
membayangkan rival abadi cantik jelita yang tidak pernah kusadari kehadirannya
selama ini.
"Tenanglah, Bella,” kata Edward, mengecup ujung hidungku. "Sikapmu
konyol.”
"Masa? Kalau begitu, kenapa kau tidak mau bercerita padaku?"
"Karena memang tidak ada yang perlu diceritakan. Kau terlalu
membesar-besarkan.”
"Siapa?" desakku,
Edward mendesah. "Tanya sempat menyatakan ketertarikannya. Aku mengatakan
padanya, dengan sesopan
dan se-gentleman mungkin, bahwa aku tidak bisa membalas perhatiannya. Hanya
itu.”
Aku menjaga agar suaraku terdengar sedatar mungkin.
"Jawab pertanyaanku – Tanya itu seperti apa?”
"Sama saja seperti kami – kulit putih, mata emas,” Edward menjawab terlalu
cepat.
"Dan, tentu saja, luar biasa cantik.”
Aku merasakan Edward mengangkat bahu.
"Kurasa begitu, menurut mata manusia,” kata Edward, tak acuh. "Tapi
tahukah kau?”
"Apa?” Suaraku sewot.
Edward menempelkan bibirnya di telingaku; napasnya yang dingin menggelitik.
"Aku lebih suka wanita berambut
cokelat.”
"Jadi rambutnya pirang. Pantas.”
"Pirang stroberi-sama sekali bukan tipeku.”
Aku memikirkannya sebentar, berusaha berkonsentrasi sementara bibir Edward bergerak
pelan menyusuri pipiku, terus ke tenggorokan, lalu naik lagi. Ia mengulanginya hingga
tiga kali sebelum aku bicara.
"Kurasa itu bisa diterima,” aku memutuskan.
"Hmmm.” bisikan Edward menerpa kulitku. "Kau sangat menggemaskan
kalau sedang cemburu. Ternyata
asyik juga.”
Aku merengut dalam gelap.
"Sudah malam.” kata Edward lagi, berbisik, nadanya nyaris membujuk, lebih
halus daripada sutra. "Tidurlah,
Bella-ku. Mimpilah yang indah-indah. Kau satu-satunya yang pernah menyentuh
hatiku. Cintaku selamanya
milikmu. Tidurlah, cintaku satu-satunya.”
Edward mulai menyenandungkan lagu ninaboboku, dan aku tahu tak lama lagi aku
pasti akan terlena, jadi aku
lantas memejamkan mata dan meringkuk lebih rapat lagi ke dadanya.
0 komentar:
Post a Comment