Eclipse Indonesia 7
7. AKHIR YANG MENYEDIHKA N
ROSALIE ragu-ragu sejenak di ambang pintu, wajahnya yang memesona tampak ragu. "Tentu
saja.” sahutku, suaraku satu oktaf lebih tinggi karena kaget. "Silakan
masuk.”
Aku duduk tegak-tegak, bergeser ke ujung sofa untuk memberinya tempat. Perutku
terpilin gugup saat satusatunya anggota keluarga Cullen yang tidak menyukaiku
itu bergerak tanpa suara, lalu duduk di tempat yang kosong.
Aku berusaha memikirkan alasan mengapa Rosalie ingin menemuiku, tapi pikiranku
hampa.
"Kau tidak keberatan bicara sebentar denganku?” tanya Rosalie. "Aku
tidak membangunkanmu atau apa, kan?
Matanya melirik tempat tidur yang telanjang tanpa penutup, lalu kembali ke
sofaku.
"Tidak, aku belum tidur, Tentu kita bisa bicara.” Entah apakah ia bisa
mendengar nada waswas dalam suaraku
sama jelasnya seperti aku bisa mendengarnya. Rosalie tertawa renyah, dan
kedengarannya seperti denting serenceng lonceng. "Dia sangat jarang meninggalkanmu
sendirian.” katanya. "Jadi kupikir sebaiknya kumaanfaatkan saja kesempatan
langka ini.”
Apa yang ingin disampaikan Rosalie yang tidak bisa ia katakan di depan Edward?
Tanganku meremas-remas
gelisah pinggiran selimut.
"Kuharap kau tidak menganggapku ikut campur.” Kata Rosalie, suaranya
lembut dan nyaris bernada memohon. Ia melipat kedua tangannya di pangkuan dan
menunduk memandanginya saat bicara, "Aku yakin aku sudah cukup sering
melukai perasaanmu pada masa lalu, jadi aku tidak ingin melakukannya lagi.”
"Jangan khawatir soal itu, Rosalie. Perasaanku baik-baik saja. Ada apa?'
Lagi-lagi Rosalie tertawa, kedengarannya malu. "Aku akan mencoba menjelaskan
kepadamu, kenapa menurutku sebaiknya kau tetap menjadi manusia-kenapa aku akan memilih
tetap menjadi manusia kalau aku jadi kau.”
"Oh.”
Rosalie tersenyum mendengar seruanku yang bernada syok, kemudian mendesah.
"Pernahkah Edward bercerita padamu, apa yang menyebabkan ini terjadi?”
tanya Rosalie, melambaikan
tangan ke tubuh abadinya yang menawan. Aku mengangguk lambat-lambat, tiba-tiba
sendu. "Kata
Edward, hampir sama seperti yang terjadi padaku di Port Angeles waktu itu,
hanya saja tidak ada orang yang
menyelamatkanmu.” Aku bergidik mengenang peristiwa itu.
"Benarkah hanya itu yang dia ceritakan padamu?" tanya Rosalie.
"Ya.” jawabku, suaraku terdengar bingung.
"Memangnya masih ada lagi?’
Rosalie mendongak menatapku dan tersenyum; ekspresinya keras dan pahit – namun
tetap memesona.
"Ya,” jawabnya. "Masih ada lagi.”
Aku menunggu sementara Rosalie memandang ke luar jendela. Tampaknya ia berusaha
menenangkan dirinya
sendiri.
"Maukah kau mendengar ceritaku, Bella? Akhir kisahnya menyedihkan – tapi
mana ada kisah kami yang berakhir
bahagia? Kalau kisah kami berakhir bahagia, kami semua pasti sudah berada di
dalam kubur sekarang.”
Aku mengangguk, meski takut mendengar keresahan dalam suaranya.
“Aku hidup di dunia yang sama sekali berbeda dari duniamu, Bella. Dunia
manusiaku dulu jauh lebih sederhana, Saat itu tahun 1933. Umurku delapan belas,
dan aku cantik. Hidupku sempurna."
Rosalie memandang ke luar jendela, ke awan-awan yang keperakan, ekspresinya
menerawang.
"Orangtuaku berasal dari kalangan menengah. Ayahku memiliki pekerjaan yang
mapan di sebuah bank, sesuatu
yang kusadari sekarang sangat dibanggakan ayahku-beliau melihat kemakmurannya
sebagai buah dari bakat dan kerja keras, daripada mengakui ada juga faktor keberuntungan
di sana. Ketika itu aku menganggap semua itu biasa saja; di rumahku, era
Depresi Besar hanya dianggap kabar burung yang mengganggu. Tentu saja aku
melihat orang-orang miskin yang tidak seberuntung aku. Penjelasan ayahku meninggalkan
kesan seolah-olah kemiskinan itu akibat kemalasan mereka sendiri.
"Ibuku mendapat tugas mengurus rumah-termasuk aku dan dua adik
lelakiku-agar bersih dan teratur. Jelas
kelihatan akulah prioritas utama sekaligus anak kesayangan ibuku. Waktu itu aku
tak sepenuhnya mengerti, tapi samarsamar sebenarnya aku selalu menyadari kedua
orangtuaku tidak puas dengan apa yang mereka miliki, walaupun itu jauh lebih
banyak daripada yang dimiliki kebanyakan orang. Mereka ingin lebih. Mereka
memiliki aspirasi sosial , social climbers, begitulah istilahnya, Kecantikanku
bagai anugerah bagi mereka. Mereka melihat jauh lebih banyak potensi di
dalamnya daripada aku.
"Mereka belum puas, tapi aku sudah. Aku senang menjadi diriku sendiri,
menjadi Rosalie Hale. Senang
karena mata setiap lelaki memandangiku ke mana pun aku pergi, sejak aku berumur
dua belas tahun. Gembira karena teman-teman perempuanku mendesah iri setiap
kali menyentuh rambutku. Bahagia karena ibuku bangga
padaku dan ayahku senang membelikan aku gaun-gaun indah.
"Aku tahu apa yang kuinginkan dalam hidup ini, dan kelihatannya tidak ada
yang menghalangiku mendapatkan
apa yang kuinginkan. Aku ingin dicintai, dipuja. Aku ingin pernikahanku
dipestakan besar-besaran, dihiasi banyak
bunga, dan semua orang di kota akan menyaksikan aku berjalan di lorong gereja
dalam gandengan ayahku dan
menganggapku mempelai tercantik yang pernah mereka lihat, Kekaguman sudah seperti
udara bagiku, Bella. Aku memang tolol dan dangkal, tapi aku bahagia.” Rosalie tersenyum,
geli mendengar penilaiannya sendiri.
"Pengaruh kedua orangtuaku begitu kuat hingga aku juga menginginkan materi
dalam hidup ini. Aku ingin punya
rumah besar dengan perabot elegan dan pelayan untuk membersihkannya, menginginkan
dapur modern lengkap dengan juru masaknya. Seperti kataku tadi, dangkal. Muda dan
sangat dangkal. Dan aku tidak melihat alasan mengapa aku tidak bisa mendapatkan
semua itu.
"Ada juga beberapa hal lain yang kuinginkan yang lebih berarti. Ini salah
satunya. Sahabat karibku seorang gadis
bernama Vera. Dia menikah muda saat usianya baru tujuh belas. Dia menikah dengan
pemuda yang tidak akan pernah direstui orangtuaku-seorang tukang kayu. Setahun kemudian
Vera melahirkan anak laki-laki, bocah tampan dengan lesung pipi dan rambut
hitam keriting. Untuk pertama kalinya seumur hidupku aku benar-benar iri pada orang
lain.”
Rosalie menatapku dengan sorot mata yang tidak bisa diterka. "Saat itu
zamannya berbeda. Aku seumur
denganmu sekarang, tapi aku sudah siap untuk semua itu. Aku mendambakan punya bayi
sendiri. Aku ingin punya rumah sendiri, juga suami yang akan menciumku sepulang
kerja persis seperti Vera. Tapi tentu saja rumah yang ada dalam bayanganku
berbeda dengan rumahnya...”
Sulit bagiku membayangkan dunia yang dulu dikenal Rosalie. Ceritanya terdengar
lebih mirip dongeng daripada
riwayat hidup. Aku sedikit syok saat menyadari dunianya nyaris mirip dunia yang
dijalani Edward ketika ia masih
menjadi manusia, dunia tempat ia tumbuh besar. Aku sempat bertanya-tanya
sendiri-saat Rosalie terdiam sejenak apakah duniaku juga membingungkan bagi
Edward seperti dunia Rosalie membingungkanku?
Rosalie mendesah, dan waktu berbicara lagi suaranya berbeda, kesenduannya
lenyap.
"Di Rochester, hanya ada satu keluarga bangsawan-dan ironisnya, nama
mereka King. Royce King adalah pemilik bank tempat ayahku bekerja. Dia juga
memiliki hampir semua usaha lain yang sangat menguntungkan di kota itu. Di
sanalah anak lelakinya, Royce King Kedua" –bibir Rosalie mencibir saat mengucapkannya,
nama itu meluncur keluar dari sela-sela gigi-"melihatku untuk pertama
kalinya.
Karena akan mengambil alih kepemimpinan di bank itu, dia mulai mengawasi
berbagai jabatan berbeda. Dua hari kemudian ibuku berlagak lupa membawakan
makan siang untuk ayahku. Aku ingat betapa bingungnya aku waktu ibuku bersikeras
agar aku mengenakan gaun organza putihku dan mengikalkan rambut hanya untuk
pergi ke bank sebentar.” Rosalie tertawa tanpa emosi.
"Aku tidak menyadari Royce memerhatikanku. Semua orang memerhatikanku.
Tapi malam itu, mawar-mawar
pertama mulai datang. Setiap malam selama kami pacaran, dia mengirimkan mawar untukku.
Kamarku selalu dipenuhi mawar. Saking banyaknya, setiap kali meninggalkan rumah
tubuhku harum seperti mawar.
"Royce juga tampan. Rambutnya bahkan lebih pirang daripada aku, dan
matanya biru pucat. Menurutnya,
mataku bagaikan bunga violet, dan kemudian bunga-bunga violet itu pun mulai
berdatangan bersamaan dengan
kiriman mawar.
"Orangtuaku setuju-itu penggambaran yang paling sederhana. Karena ini
adalah segalanya yang mereka
impikan. Dan Royce tampaknya memiliki semua yang kuimpikan. Pangeran dari
negeri dongeng, datang untuk
menjadikanku putri. Semua yang kuinginkan, namun tetap di luar dugaan. Kami
bertunangan saat aku baru
mengenalnya kurang dari dua bulan.
"Kami jarang menghabiskan waktu berdua. Royce mengatakan dia punya banyak
tanggung jawab pekerjaan,
dan, bila ada kesempatan bersama-sama, dia senang memamerkan aku pada
orang-orang lain, menggandeng
lenganku. Aku senang diperlakukan seperti itu. Banyak sekali pesta-pesta,
dansa-dansa, dan gaun-gaun cantik.
Kalau kau anggota keluarga King, semua pintu terbuka lebar untukmu, semua
karpet merah dibentangkan untuk
menyambutmu.
"Pertunangan kami tidak lama. Berbagai rencana sudah disusun untuk menyelenggarakan
pesta pernikahan yang paling mewah. Itu akan jadi perayaan yang kudambakan selama
ini. Aku sangat bahagia. Kalau pergi mengunjungi rumah Vera, aku tak lagi merasa
iri. Kubayangkan anakanakku yang berambut pirang bermain-main di halaman rumah
keluarga King yang luas, dan aku merasa kasihan kepada Vera.”
Tiba-tiba Rosalie menghentikan kisahnya, mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Aku
tersadar dari keasyikanku
mendengarkan ceritanya, dan sadar kisahnya nyaris sampai di bagian menyeramkan.
Tidak ada akhir yang membahagiakan, begitu kata Rosalie tadi. Aku bertanyatanya
dalam hati, inikah sebabnya Rosalie menyimpan
lebih banyak kepahitan dalam dirinya dibandingkan anggota keluarga yang
lain-karena ia nyaris mendapatkan
semua yang ia inginkan saat kehidupannya sebagai manusia direnggut.
"Aku pergi ke rumah Vera malam itu.” Rosalie berbisik. Wajahnya halus
bagaikan pualam, dan sama kerasnya.
"Henry kecilnya benar-benar menggemaskan, suka tersenyum memamerkan lesung
pipinya-dia baru belajar
duduk sendiri. Vera mengantarku ke depan pintu waktu aku mau pulang, menggendong
bayinya, bersama suami yang merangkul pinggangnya. Si suami mengecup pipi Vera waktu
dia kira aku tidak melihat. Itu membuatku gundah.
Kalau Royce menciumku, sepertinya berbeda-entah mengapa, sepertinya tidak
semanis itu... tapi kusingkirkan
pikiran itu jauh-jauh. Royce pangeranku. Suatu hari nanti, aku akan menjadi
ratunya.”
Meski sulit memastikannya dalam cahaya bulan, namun tampaknya wajah Rosalie
yang seputih tulang berubah
semakin pucat. .
"Jalan-jalan mulai gelap, lampu-lampu sudah menyala. Aku tidak sadar
hari ternyata sudah larut malam.” Rosalie
terus berbisik, nyaris tak terdengar. "Hawa juga dingin. Sangat dingin
untuk akhir bulan April. Pernikahan tinggal
seminggu lagi, dan aku mengkhawatirkan cuaca sambil bergegas pulang-aku bisa
mengingatnya sejelas itu. Aku
ingat setiap detail tentang malam itu. Aku mempertahankan kenangan itu sekuat
tenaga... pada awalnya. Aku tidak memikirkan yang lain. Karenanya aku ingat
ini, ketika banyak kenangan indah lain justru telah hilang
sepenuhnya...”
Rosalie mendesah, dan mulai berbisik-bisik lagi. "Ya, aku
mengkhawatirkan cuaca aku tidak ingin
pernikahanku dipindah ke dalam ruangan...
"Hanya tinggal beberapa blok lagi ke rumahku waktu aku mendengar mereka.
Sekelompok lelaki di bawah lampu
jalan yang rusak, tertawa begitu keras. Mabuk. Aku berharap kalau saja tadi
meminta ayahku menemaniku
pulang, tapi jaraknya sangat dekat, jadi rasanya itu konyol. Kemudian lelaki
itu memanggil namaku.
"'Rose!' teriaknya, dan yang lain tertawa-tawa tolol.
"Aku tidak sadar para pemabuk itu berpakaian sangat bagus. Ternyata itu
Royce bersama teman-temannya, putraputra keluarga kaya lainnya.
"Ini dia Rose-ku!” Royce berseru, tertawa-tawa bersama mereka, terdengar
sama tololnya. “Kau terlambat. Kami
kedinginan, kau membuat kami menunggu begitu lama."
"Aku belum pernah melihatnya mabuk sebelum ini. Paling-paling hanya saat
toast, satu-dua kali, di pesta. Dia
pernah berkata tidak menyukai sampanye. Tapi aku tidak mengira ternyata dia
menyukai minuman yang lebih keras.
"Dia punya teman baru-teman dari temannya, baru datang dari Atlanta.
"Benar kan kataku, John,’ Royce sesumbar, menyambar lenganku dan menarikku
lebih dekat. 'Benar kan dia lebih cantik daripada semua buah persik Georgia-mu
itu?'
"Lelaki bernama John itu berambut gelap dan kulitnya gelap terbakar
matahari. Dia memandangiku dari ujung
kepala sampai ujung kaki seperti menaksir kuda yang hendak dibeli.
"’Sulit menilainya,' kata lelaki itu lambat-lambat. 'Soalnya bajunya
tertutup rapat.’”
"Mereka tertawa, Royce juga, seperti yang lain.
"Tiba-tiba Royce mengoyak jaketku dari bahu-itu pemberiannya-sampai semua
kancing kuningannya copot.
Kancing-kancing itu berserakan di jalan.
"'Tunjukkan bagaimana dirimu sebenarnya, Rose!' Royce tertawa lagi kemudian
merenggut topi dari rambutku hingga terlepas. Jepit-jepit menjambak rambutku
dari akarnya, dan aku berteriak kesakitan. Mereka kelihatannya malah senang mendengar
jerit kesakitanku ..
Rosalie tiba-tiba menatapku, seolah-olah lupa aku ada di sana. Aku yakin
wajahku pasti pucat pasi seperti wajahnya.
"Kau tidak perlu mendengar kelanjutannya.” Kata Rosalie pelan.
"Mereka meninggalkanku di jalan, tertawatawa
sambil sempoyongan pergi. Mereka kira aku sudah mati. Mereka menggoda Royce
bahwa dia harus mencari
calon istri baru. Royce tertawa dan berkata dia harus belajar bersabar lebih
dulu.
"Aku tergeletak di jalan, menunggu kematian menjemputku. Udara dingin, dan
aku heran kenapa aku masih sempat memikirkannya, padahal sekujur tubuhku sakit,
Salju mulai turun, dan aku bertanya-tanya kenapa aku tidak mati saja. Aku tidak
sabar ingin segera mati, supaya kesakitan ini segera berlalu. Rasanya lama
sekali...
"Saat itulah Carlisle menemukanku. Dia mencium bau darah, dan datang
menyelidiki. Aku ingat samar-samar
merasa kesal saat dia menanganiku, berusaha menyelamatkan nyawaku. Aku tidak
pernah menyukai dr.
Cullen atau istrinya dan adik lelaki istrinya-waktu itu orang mengenal Edward
sebagai adik Esme. Aku sebal karena mereka jauh lebih rupawan daripada aku,
terutama kaum lelakinya. Tapi karena mereka tidak berbaur dengan masyarakat,
jadi aku hanya satu-dua kali bertemu mereka.
"Kukira aku sudah mati waktu Carlisle mengangkatku dari tanah dan
melarikanku-karena kecepatannya sangat
tinggi rasanya seolah-olah aku terbang. Aku masih ingat betapa takutnya aku
karena rasa sakit itu tak berhenti juga...
"Tahu-tahu aku berada di ruangan terang benderang, dan hangat. Kesadaranku
mulai hilang, dan aku bersyukur rasa sakit itu mulai mereda. Tapi tiba-tiba
sesuatu yang tajam menembus tubuhku, di leher, pergelangan tangan,
pergelangan kaki. Aku menjerit karena syok, mengira Carlisle membawaku ke sana
untuk menyakitiku lebih lagi.
Kemudian api itu mulai membakar sekujur tubuhku, dan aku tak peduli lagi pada hal-hal
lain. Aku memohon-mohon padanya supaya aku dibunuh saja. Ketika Esme dan Edward
pulang, kumohon pada mereka agar membunuhku juga. Carlisle duduk mendampingiku.
Dia memegang tanganku dan meminta maaf berjanji rasa sakit itu akan hilang. Dia
menceritakan semuanya padaku, dan kadangkadang aku mendengarkan. Dia
menjelaskan siapa dirinya, akan menjadi apa aku nanti. Aku tidak percaya
padanya. Dia meminta maaf setiap kali aku menjerit.
"Edward tidak senang. Aku mendengar mereka membicarakanku. Kadang-kadang
aku berhenti menjerit.
Tak ada gunanya berteriak-teriak.
"’Apa yang kaupikirkan, Carlisle?' tanya Edward.
'Rosalie Hale?’ Rosalie menirukan nada jengkel Edward dengan sempurna.
"Aku tidak suka caranya menyebut
namaku, seolah-olah ada yang tidak beres dengan diriku. .
"’Aku tidak tega membiarkan dia mati,’ kata Carlisle pelan. 'Sungguh
keterlaluan-terlalu menyedihkan, terlalu
banyak yang disia-siakan,'
"’Aku tahu,' sergah Edward, seperti tidak mau mendengar lagi. Aku marah
mendengarnya. Waktu itu aku
tidak tahu Edward benar-benar bisa melihat apa yang dilihat Carlisle.
"Terlalu banyak yang disia-siakan. Aku tidak tega meninggalkannya,” ulang
Carlisle sambil berbisik.
"'Tentu saja kau tidak tega,' Esme sependapat,
"Manusia mati setiap saat,' Edward mengingatkan Carlisle dengan suara
keras. 'Apa kau tidak berpikir dia
agak mudah dikenali? Keluarga King pasti akan melakukan pencarian
besar-besaran-meskipun tak seorang pun curiga siapa iblisnya,' geram Edward.
"Aku senang karena sepertinya mereka tahu Royce-lah pelakunya.
"Aku tidak sadar itu menandakan prosesnya sebentar lagi akan
berakhir-bahwa tubuhku semakin kuat dan itulah
sebabnya aku bisa berkonsentrasi mendengarkan pembicaraan mereka. Rasa sakit
itu mulai memudar dari
ujung-ujung jariku.
"’Akan kita apakan dia?' Edward bertanya dengan nada jengkel-atau
begitulah setidaknya kedengarannya di
telingaku.
"Carlisle mendesah. 'Itu terserah dia, tentu saja. Mungkin dia ingin pergi
sendiri.’
'Waktu itu aku sudah mulai memercayai penjelasan Carlisle, sehingga kata-katanya
membuatku ngeri. Aku tahu hidupku telah berakhir, dan aku takkan bisa kembali
lagi. Aku tidak tahan membayangkan diriku sendirian...
"Rasa sakit itu akhirnya lenyap dan mereka menjelaskan lagi padaku,
menjadi apa aku sekarang. Meskipun mataku merah, tapi aku makhluk paling
rupawan yang pernah kulihat.” Rosalie menertawakan dirinya sesaat, "Butuh waktu
sebelum aku mulai menyalahkan kecantikanku sebagai penyebab terjadinya
peristiwa itu-sebelum aku melihat kecantikanku sebenarnya merupakan kutukan.
Aku sempat berharap kalau saja aku... well, bukan jelek, tapi normal. Seperti
Vera. Supaya aku diizinkan menikah dengan orang yang mencintaiku, dan memiliki
bayi-bayi yang manis. Itulah yang benar-benar kuinginkan, selama ini. Sampai
sekarang aku masih merasa itu bukan hal yang berlebihan untuk diminta.”
Ia termenung beberapa saat, dan aku bertanya-tanya apakah lagi-lagi ia lupa aku
ada di sini. Tapi kemudian ia
tersenyum padaku, ekspresinya tiba-tiba menyiratkan kemenangan.
"Kau tahu, rekorku nyaris sama bersihnya dengan Carlisle,” kata Rosalie.
"Lebih baik daripada Esme. Seribu
kali lebih bagus daripada Edward. Aku belum pernah merasakan darah manusia.”
katanya bangga.
Rosalie memahami ekspresiku yang bingung mendengarnya mengatakan rekornya
nyaris sama bersihnya.
"Aku membunuh lima manusia.” Rosalie memberitahuku dengan nada puas.
"Kalau kau bisa menyebut mereka manusia. Tapi aku sangat berhati-hati untuk
tidak mencecerkan darah mereka-karena aku tahu aku tak mungkin sanggup menahan
diri kalau itu terjadi, padahal aku tidak mau ada sedikit pun bagian mereka masuk
dalam diriku, kau mengerti, kan?
"Aku sengaja menyisakan Royce untuk yang terakhir. Harapanku, dia akan
mendengar tentang kematian temantemannya dan mengerti, tahu apa yang bakal
dihadapinya. Aku berharap rasa takut akan membuat akhir hidupnya semakin
mengerikan. Kurasa itu berhasil. Royce bersembunyi di dalam ruangan tak
berjendela, di balik pintu setebal pintu ruang brankas di bank, dijaga pengawal
bersenjata, waktu aku mendatanginya. Uups-tujuh
pembunuhan.” Rosalie mengoreksi. "Aku lupa pengawalpengawalnya. Hanya
butuh sedetik untuk menghabisi
mereka.
“Aku melakukannya dengan sangat teatrikal. Agak kekanak-kanakan sebenarnya. Aku
mengenakan gaun
pengantin yang kucuri khusus untuk kesempatan itu. Royce menjerit waktu
melihatku. Dia menjerit-jerit terus malam itu. Sengaja menyisakannya sebagai
korban terakhir adalah ide bagus-lebih mudah bagiku untuk mengendalikan diri, sengaja
memperlambat...
Tiba-tiba Rosalie berhenti bercerita, dan melirikku."Maafkan aku.” katanya
dengan nada menyesal.
"Aku membuatmu ketakutan, ya?”
“Aku tidak apa-apa kok.” dustaku.
“Aku terlalu larut dalam ceritaku.”
"Tak apa-apa.”
“Aku heran Edward tidak bercerita banyak padamu mengenainya.”
"Dia tidak suka membeberkan cerita orang – Edward merasa itu artinya
mengkhianati kepercayaan mereka,
karena dia mendengar jauh lebih banyak daripada hanya bagian-bagian yang mereka
ingin dia dengar.”
Rosalie tersenyum dan menggeleng. "Mungkin seharusnya aku lebih respek
padanya. Dia benar-benar baik,
bukan?"
"Menurutku begitu.”
"Aku tahu itu benar.” Lalu Rosalie mendesah. "Selama ini aku bersikap
kurang adil padamu, Bella. Pernahkah
Edward memberitahumu sebabnya? Atau itu terlalu rahasia?"
"Kata Edward, karena aku manusia. Katanya, kau tidak suka ada orang luar
yang tahu.”
Tawa merdu Rosalie memotong perkataanku. "Sekarang aku benar-benar merasa bersalah.
Ternyata Edward jauh, jauh lebih baik daripada yang layak kuterima.” Rosalie terkesan
lebih hangat bila tertawa, seperti sedikit
mengendurkan sikap sok wibawanya yang sebelumnya tak pernah absen kalau ada
aku. "Dia itu pembohong besar"
Lagi-lagi Rosalie tertawa.
"Jadi, dia bohong?” tanyaku, mendadak waswas.
"Well, mungkin istilah itu berlebihan. Dia hanya tidak menceritakan
keseluruhan kisahnya. Yang dia ceritakan
memang benar, bahkan sekarang lebih benar daripada sebelumnya. Tapi waktu
itu...” Rosalie menghentikan katakatanya, tertawa gugup. "Memalukan.
Begini, awalnya lebih tepat dikatakan aku cemburu karena dia
menginginkanmu dan bukan aku.”
Perasaan takut melanda sekujur rubuhku saat mendengar kata-katanya. Duduk di
bawah cahaya bulan keperakan, Rosalie lebih cantik daripada apa pun yang bisa kubayangkan.
Aku tak mungkin mampu bersaing
dengannya.
"Tapi kau mencintai Emmett... ,” gumamku.
Rosalie menggerakkan kepalanya maju-mundur, geli.
“Aku tidak menginginkan Edward seperti itu, Bella. Tidak pernah-aku
menyayanginya sebagai saudara, tapi Edward membuatku jengkel sejak pertama kali
aku mendengarnya bicara. Tapi kau harus mengerti... aku begitu terbiasa dengan
orang menginginkanku. Sementara Edward sedikit pun tidak tertarik. Itu
membuatku frustrasi, bahkan tersinggung awalnya. Tapi karena dia tidak pernah menginginkan
orang lain, itu tidak terlalu menggangguku lagi. Bahkan waktu kami pertama kali
bertemu dengan klan Tanya di Denali-semua wanita itu!-Edward tidak pernah menunjukkan
ketertarikan sedikit pun. Kemudian dia bertemu denganmu.” Rosalie menatapku
bingung. Aku hanya separuh memerhatikan. Pikiranku melayang ke Edward dan Tanya
dan semua wanita itu, dan bibirku terkatup membentuk garis lurus.
"Bukannya kau tidak cantik, Bella,” sergah Rosalie, salah mengartikan
ekspresiku. "Itu hanya berarti dia
menganggapmu lebih menarik daripada aku. Karena aku peduli pada hal-hal
lahiriah, itu membuatku tersinggung.”
"Tapi kau tadi mengatakan 'pada awalnya’, Sekarang...kau sudah tidak
merasa seperti itu lagi, kan? Maksudku,
kita sama-sama tahu kau makhluk tercantik di planet ini.”
Aku tertawa karena harus mengatakan hal itu-padahal itu sudah sangat jelas. Sungguh
aneh Rosalie masih butuh diyakinkan mengenainya.
Rosalie ikut tertawa. "Trims, Bella. Dan tidak, itu tidak terlalu
menggangguku lagi. Sejak dulu Edward memang
agak aneh.” Ia tertawa lagi.
"Tapi kau tetap tidak menyukaiku.” aku berbisik.
Senyum Rosalie lenyap. "Maafkan aku.” Kami terduduk diam sesaat, dan
Rosalie terkesan tidak
ingin melanjutkan pembicaraan.
"Boleh aku tahu kenapa? Apakah aku melakukan sesuatu... ?" Apakah
Rosalie marah karena aku menyebabkan
keluarganya – Emmett-nya – berada dalam bahaya? Berkalikali. Dulu James, dan
sekarang Victoria...
"Tidak, kau tidak melakukan apa-apa,” gumamnya.
"Belum.”
Kutatap dia, tercengang.
"Tidak mengertikah kau, Bella?" Suara Rosalie tiba-tiba terdengar
lebih berapi-api daripada sebelumnya, bahkan
saat ia menceritakan kisah hidupnya yang tidak bahagia tadi, "Kau sudah
memiliki segalanya. Masa depanmu
terbentang luas di hadapanmu-semua yang kuinginkan. Tapi kau malah ingin
membuangnya begitu saja. Tidak
tahukah kau, aku rela menukar segalanya asal bisa menjadi dirimu? Kau punya
pilihan, sementara aku tidak, tapi kau mengambil pilihan yang salah!"
Aku tersentak melihat ekspresinya yang menyala-nyala. Aku sadar mulurku ternganga,
jadi aku lantas menutupnya rapat-rapat. Rosalie menatapku lama sekali dan,
lambat laun, bara api di matanya meredup. Sekonyong-konyong ia merasa malu.
"Padahal tadi aku yakin
sekali bisa melakukannya dengan tenang.” Rosalie menggeleng, tampak sedikit
bingung karena luapan emosinya barusan. "Tapi sekarang lebih sulit
daripada dulu, waktu aku masih menyanjungnyanjung keindahan fisik.”
Rosalie memandangi bulan sambil berdiam diri. Baru beberapa saat kemudian aku
berani menyela pikirannya.
"Apakah kau akan lebih menyukaiku kalau aku tetap menjadi manusia?"
Rosalie menoleh padaku, bibirnya berkedut-kedut, hendak merekah membentuk
senyuman. "Mungkin.”
"Tapi kau juga mendapatkan akhir yang membahagiakan,” aku mengingatkan
Rosalie. "Kau memiliki Emmett.”
"Aku mendapat setengah.” Rosalie nyengir. "Kau tahu aku menyelamatkan
Emmett dari serangan beruang, dan
membawanya pulang ke Carlisle. Tapi tahukah kau kenapa aku mencegah beruang itu
memakannya?"
Aku menggeleng.
"Dengan rambut gelapnya yang ikal... lesung pipi yang muncul bahkan saat
dia meringis kesakitan... wajah lugu
aneh yang kelihatannya tidak cocok dimiliki laki-laki dewasa... dia
mengingatkanku pada si kecil Henry, anak
Vera. Aku tidak ingin dia mati-keinginanku begitu besar, hingga walaupun aku membenci
kehidupan ini, aku cukup egois untuk meminta Carlisle mengubahnya untukku.
"Aku lebih beruntung daripada yang pantas kudapatkan. Emmett adalah
segalanya yang kuminta kalau aku cukup tahu hendak meminta apa. Orang seperti
dialah yang dibutuhkan seseorang seperti aku. Dan, anehnya, dia juga membutuhkan
aku. Bagian itu berjalan lebih baik daripada yang bisa kuharapkan. Tapi kami takkan
bisa punya anak. Jadi aku tidak akan pernah duduk-duduk di beranda, bersama
Emmett yang rambutnya beruban di sisiku, dikelilingi cucu-cucu kami.”
Senyum Rosalie kini tampak ramah. "Untukmu kedengarannya aneh ya? Dalam
beberapa hal, kau jauh
lebih matang daripada aku saat berumur delapan belas tahun. Tapi dalam beberapa
hal lain.. ada banyak hal yang mungkin tak pernah kaupikirkan secara serius.
Kau terlalu muda untuk tahu apa yang kauinginkan sepuluh, lima belas tahun
lagi-dan terlalu muda untuk menyia-nyiakan semua itu tanpa memikirkannya masak-masak.
Jangan tergesagesa mengambil keputusan mengenai hal-hal permanen, Bella.”
Ia menepuk-nepuk kepalaku tanpa terkesan menggurui.
Aku mendesah.
"Pikirkanlah dulu sebentar lagi. Karena begitu melakukannya, kau tidak
akan bisa kembali lagi. Esme
cukup puas dengan kami sebagai pengganti anak... dan Alice tidak ingat kehidupannya
sebagai manusia, jadi dia tidak merindukannya... tapi kau akan ingat. Banyak
sekali yang harus kaukorbankan.”
Tapi lebih banyak yang akan kudapat, kataku dalam hati.
"Trims, Rosalie. Senang akhirnya aku bisa memahami ...mengenalmu lebih
baik lagi.”
"Maaf kalau selama ini sikapku sangat buruk.” Rosalie menyeringai. “Aku
akan berusaha memperbaiki sikap mulai sekarang.”
Aku balas nyengir.
Kami memang belum berteman, tapi aku sangat yakin Rosalie tidak akan selamanya
membenciku.
"Aku akan pergi sekarang, supaya kau bisa tidur.” Mata Rosalie melirik
tempat tidur, dan bibirnya berkedut-kedut.
“Aku tahu kau frustrasi karena Edward mengurungmu seperti ini, tapi jangan
marahi dia kalau dia kembali nanti.
Dia mencintaimu lebih daripada yang kauketahui. Dia takut berjauhan denganmu.”
Rosalie bangkit tanpa suara
dan beranjak ke pintu. "Selamat malam, Bella,” bisiknya sambil menutup
pintu.
"Selamat malam, Rosalie,” bisikku, sedetik terlambat. Iama sekali baru aku
bisa tidur sesudahnya. Ketika benar-benar tertidur, aku malah bermimpi buruk. Dalam
mimpiku aku merangkak di jalanan asing dari batu yang gelap dan dingin,
meninggalkan jejak darah di belakangku. Bayangan samar seorang malaikat bergaun
putih panjang mengamati perjalananku dengan sorot mata tidak suka.
Esok paginya Alice mengantarku ke sekolah sementara aku ke luar kaca depan
dengan sikap masam. Aku merasa kurang tidur, dan itu membuat kekesalanku karena
disandera semakin menjadi-jadi.
"Nanti malam kira akan ke Olympia atau melakukan hal lain,” janji Alice.
“Asyik, kan?"
"Kenapa kau tidak mengurungku saja di ruang bawah tanah,” saranku, “jadi
tidak perlu bermanis-manis padaku,"
Alice mengernyitkan kening. "Dia akan mengambil lagi Porsche-nya. Aku
tidak begitu berhasil. Karena seharusnya kau merasa senang.”
"Ini bukan salahmu.” gumamku. Sulit dipercaya aku benar-benar merasa
bersalah. "Sampai ketemu nanti saat
makan siang.”
Aku berjalan dengan langkah-langkah berat ke kelas bahasa Inggris. Tanpa
Edward, hari ini dijamin tidak
menyenangkan. Aku merengut terus sepanjang pelajaran pertamaku, sepenuhnya sadar
sikapku ini takkan membantu memperbaiki keadaan.
Ketika lonceng berbunyi, aku berdiri dengan lesu. Mike menunggu di depan pintu,
memeganginya untukku.
"Edward hiking lagi akhir minggu ini?" tanya Mike dengan nada
mengajak ngobrol saat kami berjalan di bawah
gerimis hujan.
"Yeah.”
"Mau melakukan sesuatu malam ini?” Bagaimana bisa Mike masih terus
berharap?
"Tidak bisa. Aku harus menghadiri pesta piama.” gerutuku.
Mike menatapku dengan pandangan aneh sambil mereka-reka suasana hatiku.
"Siapa yang...”
Pertanyaan Mike terputus raungan mesin yang menggelegar dari belakang kami,
dari arah lapangan parkir,
Semua orang di trotoar menoleh untuk melihat, memandang dengan sikap tak
percaya saat sepeda motor
hitam yang suara mesinnya berisik berhenti dengan rem berdecit keras di pinggir
trotoar, mesinnya masih meraungraung. Jacob melambai-lambaikan tangan ke arahku
dengan sikap mendesak.
"Lari, Bella!" teriaknya, mengatasi raungan suara mesin. Aku membeku
sedetik sebelum akhirnya mengerti. Cepat- cepat aku menoleh kepada Mike. Aku
tahu aku hanya punya waktu beberapa detik.
Sejauh apa Alice akan bertindak untuk menahanku di depan umum?
"Aku mendadak sakit, jadi harus pulang, oke?" kataku pada Mike,
suaraku mendadak penuh semangat.
"Baiklah.” gerutu Mike.
Kukecup pipi Mike sekilas, "Trims, Mike. Aku berutang budi padamu!"
seruku sambil cepat-cepat lari menjauh.
Jacob meraungkan mesinnya, nyengir. Aku melompat naik ke sadel belakang,
memeluk pinggangnya erat-erat.
Pandanganku tertumbuk pada Alice. Ia membeku di pinggir kafeteria, matanya
berkilat-kilat marah, bibirnya
menyeringai, menampakkan giginya. Kulayangkan pandangan memohon kepadanya. Detik
berikutnya kami sudah ngebut begitu cepat hingga perutku terasa mual.
"Pegangan.” teriak Jacob.
Aku menyembunyikan wajah di punggungnya sementara ia memacu motornya di jalan
raya. Aku tahu ia akan
memperlambat laju motornya begitu kami sampai di perbatasan Quileute nanti. Aku
hanya perlu bertahan
sampai saat itu. Dalam hati aku berdoa sekuat tenaga semoga Alice tidak mengikuti,
dan semoga Charlie tidak kebetulan melihatku...Jelas kami telah sampai di zona
aman. Kecepatan motor langsung berkurang, dan Jacob meluruskan tubuh serta tertawa
sambil bersorak-sorai. Kubuka mataku.
"Kita berhasil!" teriaknya. "Tidak buruk untuk usaha kabur dari
penjara, kan?"
"Ide bagus, Jake.”
"Aku ingat penjelasanmu waktu itu, bahwa si lintah paranormal itu tidak
bisa meramalkan apa yang akan
kulakukan. Aku senang hal ini tidak terpikir olehmu-sebab kalau itu terpikir
olehmu, dia tidak akan membiarkanmu pergi ke sekolah.”
"Itulah sebabnya aku tidak mempertimbangkannya.” Jacob tertawa menang.
"Apa yang ingin kaulakukan hari
ini?”
"Apa saja!" aku ikut tertawa. Senang rasanya bisa bebas.
0 komentar:
Post a Comment