Eclipse Indonesia 20
20. KOMPROMI
SEMUA sudah siap. Aku sudah berkemas-kemas untuk menginap dua hari bersama
Alice; dan tasku sudah menunggu di truk. Aku sudah memberikan tiket konserku ke
Angela, Ben, dan Mike. Mike akan mengajak Jessica. persis seperti yang kuharapkan.
Billy meminjam kapal Quil Ateara Tua dan mengajak Charlie memancing di laut
lepas sebelum pertandingan sore dimulai. Collin dan Brady, dua werewolf termuda,
sengaja ditinggal untuk menjaga La Push, walaupun mereka masih kanak-kanak usia
keduanya baru tiga belas. Meski begitu Charlie lebih aman daripada siapa pun
yang tetap berada di Forks.
Aku sudah melakukan semua yang bisa kulakukan. Aku berusaha menerima hal itu,
dan melupakan hal-hal lain
yang berada di luar kendaliku, setidaknya untuk malam ini. Bagaimanapun
hasilnya nanti, semua akan berakhir dalam 48 jam. Pikiran itu nyaris terasa
melegakan. Edward memintaku rileks, dan aku akan berusaha semampuku.
"Untuk malam ini saja, bisakah kita mencoba melupakan hal-hal lain kecuali
kau dan aku?" pinta Edward,
mengeluarkan segenap pesona lewat sorot matanya yang tertuju padaku.
"Sepertinya aku tak pernah bisa punya
cukup waktu seperti itu. Aku perlu berduaan denganmu. Hanya denganmu."'
Itu bukan permintaan yang sulit untuk disetujui, walaupun aku tahu jauh lebih
mudah mengatakan akan
melupakan ketakutanku daripada melakukannya. Ada banyak hal yang kupikirkan
sekarang, tapi mengetahui kami hanya memiliki malam ini saja untuk berduaan
sangatlah membantu. Ada hal-hal yang sudah berubah.
Misalnya, aku sudah siap. Aku sudah siap bergabung dengan keluarganya dan dunianya.
Perasaan takut, bersalah, dan gelisah yang kurasakan sekarang telah mengajariku
hal itu. Aku sudah mendapat kesempatan untuk berkonsentrasi memikirkan hal
ini,saat aku memandangi bulan di balik awan-awan sambil bersandar pada seekor
werewolf,dan aku tahu aku tidak akan panik lagi.
Lain kali, kalau terjadi sesuatu pada kami, aku akan siap. Aku akan menjadi
aset, bukan beban. Edward takkan
pernah harus memilih antara aku dan keluarganya lagi. Kami akan menjadi
partner,seperti Alice dan Jasper. Lain
kali,aku akan melakukan bagianku. Aku akan menunggu bahaya itu dipindahkan dari
atas kepalaku, supaya Edward puas. Tapi itu tidak perlu. Aku sudah Siap. Tinggal
satu bagian lagi yang masih hilang.
Satu bagian, karena ada beberapa hal yang tidak berubah, termasuk caraku
mencintainya. Aku punya
banyak waktu memikirkan masak-masak dampak taruhan Jasper dan Emmett – memikirkan
hal-hal yang dengan rela akan kutinggalkan saat aku menanggalkan kemanusiaanku,
juga bagian yang tidak rela kutinggalkan. Aku tahu pengalaman manusia mana yang
harus ingin kurasakan sebelum aku berhenti menjadi manusia.
Jadi banyak sekali yang harus kami bereskan malam ini. Dari apa yang telah
kulihat selama dua tabun terakhir ini, bagiku tidak ada istilah tidak mungkin.
Dibutuhkan lebih dari itu untuk menghentikanku sekarang.
Oke, well, sejujurnya, ini mungkin akan jauh lebih rumit daripada itu. Tapi aku
akan mencobanya.
Biarpun sudah mantap dengan keputusanku, aku tidak kaget waktu masih merasa
gugup saat mengemudi
menyusuri jalan panjang menuju rumahnya,aku tidak tahu bagaimana melakukan apa
yang akan kulakukan, dan itu jelas membuatku sangat gugup. Edward duduk di
kursi penumpang. menahan senyum melihat aku menyetir
dengan lamban. Aku kaget ia tidak bersikeras ingin menyetir, malam ini sepertinya
ia cukup puas dengan kecepatanku.
Hari sudah gelap waktu kami sampai di rumahnya. Meski begitu padang rumput
terang benderang akibat
cahaya lampu yang terpancar dari setiap jendela. Begitu mesin dimatikan, Edward
sudah berada di
samping pintuku, membukakannya untukku. Ia membopongku turun dengan satu
tangan, menyambar tasku
dari belakang truk lalu menyampirkannya di pundak dengan tangannya yang lain.
Bibirnya menemukan bibirku
sementara aku mendengarnya menendang pintu truk hingga tertutup.
Tanpa menghentikan ciumannya, Edward mengayunkan tubuhku. sehingga aku berada
dalam dekapannya dan
menggendongku masuk ke rumah. Apakah pintu depan sudah terbuka? Entahlah.
Pokoknya kami langsung masuk, dan kepalaku berputar. Aku sampai harus
mengingatkan diriku untuk menarik napas.
Ciuman itu tidak membuatku takut. Tidak seperti sebelumnya saat aku bisa
merasakan ketakutan dan
kepanikan menyusup di balik kendali Edward. Bibirnya tidak cemas, melainkan
antusias sekarang – sepertinya ia
sama bersemangatnya denganku karena malam ini kami bisa mencurahkan segenap
perhatian untuk berduaan. Ia terus menciumiku selama beberapa menit. berdiri di
depan pintu, tidak sehari-hari biasanya, bibirnya dingin dan melumat bibirku
dengan ganas.
Aku mulai merasa agak optimis. Mungkin mendapatkan apa yang kuinginkan tidak
sesulit yang kukira sebelumnya. Tidak, tentu saja itu akan tetap sesulit
biasanya. Sambil terkekeh pelan Edward menjauhkan diriku
darinya. menggendongku agak jauh dari tubuhnya. "Selamat datang di rumah,”
ucapnya, matanya cair dan
hangat.
"Kedengarannya menyenangkan," kataku, terengahengah.
"Aku punya sesuatu untukmu," kata Edward nadanya santai.
"Oh?"
"Barang yang dulu menjadi milik orang lain, ingat? Kau bilang itu
boleh."
"Oh, benar. Kurasa aku memang pernah berkata begitu." Edward terkekeh
melihat keenggananku.
"Barangnya ada di kamarku. Bagaimana kalau kita mengambilnya?"
Kamar Edward? "Tentu,” aku setuju, merasa sangat licik saat menautkan
jari-jariku ke Jari-jarinya. "Ayo kita ke
sana."
Edward pasti benar-benar ingin memberiku benda bukan hadiah ini, karena kecepatan
manusiaku tak cukup cepat baginya. Ia meraupku lagi ke dalam gendongannya dan nyaris
terbang menaiki tangga menuju kamarnya. Ia menurunkanku di depan pintu, lalu
melesat masuk ke lemari. Ia sudah kembali sebelum aku sempat maju selangkah pun,
tapi aku mengabaikannya dan tetap berjalan menghampiri ranjang emas besar itu,
mengempaskan tubuhku ke pinggir tempat tidur dan bergeser ke tengah. Aku
meringkuk seperti bola. kedua lengan memeluk lutut.
"Oke." gerutuku. Sekarang setelah berada di tempat yang kuinginkan,
aku bisa berlagak sedikit enggan. "Mana
barangnya?"
Edward tertawa.
Ia naik ke tempat tidur dan duduk di sebelahku. Detak jantungku langsung
berantakan. Mudah-mudahan Edward
mengira itu karena aku gugup hendak diberi hadiah.
"Barang yang pernah dimiliki orang lain," Edward mengingatkan
dengan nada tegas. Ditariknya pergelangan
tangan kiriku, dan disentuhnya gelang perak itu sekilas. Lalu ia melepaskan
lenganku kembali. Aku mengamatinya dengan hati-hati. Di sisi yang berseberangan
dengan bandul serigala, kini tergantung
sebutir kristal cemerlang berbentuk hati. Kristal itu memiliki jutaan segi.
sehingga bahkan di bawah cahaya lampu yang temaram, benda itu berkilau
cemerlang. Aku terkesiap pelan.
"Dulu, itu milik ibuku," Edward mengangkat bahu dengan sikap
seolah-olah itu masalah sepele. “Aku
mewarisi beberapa butir kristal seperti ini," Beberapa kuberikan kepada
Esme dan Alice. Jadi, jelas, ini bukan
sesuatu yang terlalu istimewa."
Aku tersenyum sendu mendengarnya.
"Tapi kupikir, ini bisa mewakiliku dengan tepat," sambung Edward.
"Karena keras dan dingin.” Ia tertawa.
"Dan membiaskan warna-warna pelangi ketika tertimpa cahaya matahari."
"Kau lupa pada kemiripan yang terpenting,” gumamku.
"Ini cantik sekali."
"Hatiku juga bisa seperti kristal itu," renung Edward.
"Dan hatiku juga milikmu."
Kuputar pergelangan tanganku agar hatinya berkilauan.
"Terima kasih. Untuk kristal ini dan untuk hatimu."
"Tidak, aku yang berterima kasih padamu. Aku benarbenar lega, kau bisa
menerima hadiah dengan mudah.
Latihan yang bagus untukmu," Edward nyengir, memamerkan gigi-giginya.
Aku mencondongkan tubuh ke arahnya, menyusupkan kepalaku ke bawah lengannya dan
merapat di sisinya.
Rasanya mungkin seperti bermanja-manja dengan patung David karya Michelangelo,
kecuali bahwa sosok marmer Edward yang sempurna merangkulku dan menarikku lebih
dekat. Sepertinya ini permulaan yang bagus.
"Bisakah kira mendiskusikan sesuatu? Aku akan sangat berterima kasih kalau
kau bisa memulai dengan pikiran
terbuka."
Edward ragu-ragu sejenak. “Akan kuusahakan semampuku," ia setuju,
berhati-hati sekarang.
"Aku tidak akan melanggar aturan apa pun," aku berjanji.
"Ini benar-benar soal kau dan aku," Aku berdehamdeham. "Begini...
aku terkesan melihat betapa baiknya kita
berkompromi semalam. Jadi kupikir. aku ingin mengaplikasikan prinsip yang sama
pada situasi berbeda."Entah kenapa sikapku formal sekali. Pasti karena gugup.
"Memangnya apa yang ingin kau negosiasikan?" tanya Edward, suaranya
mengandung senyum. Aku berusaha keras menemukan kata-kata yang tepat untuk
membuka pembicaraan.
"Dengar, jantungmu berdebar keras sekali," bisik Edward. "Mengepak-ngepak
seperti sayap burung hummingbird. Kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja."
"Teruskan kalau begitu," Edward mendorongku.
"Well, kurasa, pertama-tama, aku ingin membicarakan syarat menikah yang
konyol itu."'
"Yang menganggapnya konyol hanya kau. Memangnya kenapa?"
"Aku ingin tahu... apakah itu masih bisa dinegosiasikan?"
Edward mengerutkan kening. serius sekarang. "Aku sudah memberimu
kelonggaran terbesar,aku setuju menjadi
yang mengambil hidupmu walaupun itu bertentangan dengan akal sehatku. Dan
seharusnya itu membuatku
berhak mendapat sedikit kompromi darimu."
"Tidak," Aku menggeleng, berusaha keras menjaga wajahku tetap tenang.
"Bagian ini sudah tidak bisa ditawartawar lagi. Kita tidak sedang
membicarakan... perubahanku sekarang. Aku ingin membereskan beberapa detail
lain."
Edward menatapku curiga. "Detail-detail mana yang kaumaksudkan
persisnya?"
Aku ragu-ragu. "Mari kita perjelas dulu prasyaratprasyaratmu."
"Kau tahu apa yang kuinginkan."
"Pernikahan,” Aku membuatnya terdengar seperti kata yang kotor.
"Ya." Edward tersenyum lebar. "Sebagai permulaan."
Perasaan syok serta-merta merusak ekspresiku yang secara hati-hati kujaga agar
tetap tenang. "Jadi, masih ada
lagi?"
"Well,” ujar Edward, wajahnya menimbang-nimbang.
"Kalau kau jadi istriku, milikku adalah milikmu... misalnya saja uang
kuliah. Jadi tidak ada masalah kalau kau mau masuk Dartmouth."
"Ada lagi? Sekalian, mumpung kau sedang aneh-aneh?"
"Aku tidak keberatan meminta perpanjangan waktu."
"Tidak. tidak ada perpanjangan waktu. Itu namanya melanggar
kesepakatan."
Edward mendesah. "Satu atau dua tahun saja?"
Aku menggeleng kuat-kuat, bibirku terkatup membentuk garis keras kepala.
"Lanjutkan ke prasyaratan berikutnya."
"Hanya itu. Kecuali kau mau membicarakan masalah mobil.."
Edward nyengir lebar waktu melihatku meringis, lalu meraih tanganku dan mulai
memainkan jari-jariku.
"Aku tidak sadar ternyata ada hal lain yang kauinginkan selain diubah
menjadi monster. Aku jadi penasaran."
Suaranya rendah dan lembut. Secercah nada gelisah dalam suara Edward pasti
sulit dideteksi kalau saja aku tidak begitu mengenalnya. Aku diam sejenak,
memandangi tangannya yang menggenggam tanganku. Aku masih belum tahu bagaimana harus
memulai. Aku merasakan matanya menatapku dan aku takut mengangkat wajah. Darah
mulai membakar wajahku.
Jari-jarinya yang dingin membelai pipiku. "Kau tersipu?" tanyanya
kaget. Aku tetap menunduk. "Please, Bella, kau membuatku tegang."
Aku menggigit bibir.
"Bella,” Suaranya kini bernada memarahi, mengingatkanku bahwa Edward tidak
suka jika aku tidak
mau mengutarakan pikiranku.
"Well, aku sedikit khawatir... tentang sesudahnya," aku mengakui,
akhirnya berani menatapnya.
Kurasakan tubuh Edward mengejang. tapi suaranya lembut dan sehalus beledu. “Apa
yang kau khawatirkan?"
"Kalian sepertinya sangat yakin bahwa satu-satunya hal yang akan membuatku
tertarik, sesudahnya, adalah
membantai semua orang di kota," aku mengakui, sementara Edward meringis
mendengar pilihan kata-kataku. "Dan aku tahu aku akan sangat sibuk dengan
kekacauan itu sehingga tidak akan menjadi diriku lagi... dan bahwa aku tidak akan...
aku tidak akan menginginkanmu seperti aku menginginkanmu sekarang."
"Bella, keadaan itu takkan berlangsung selamanya." Edward meyakinkan
aku. Ia tidak mengerti maksudku sama sekali.
"Edward,” ujarku, gugup, memandangi setitik bercak di pergelangan
tanganku. “Ada sesuatu yang ingin kulakukan sebelum aku tidak lagi menjadi
manusia." Edward menungguku melanjutkan. Aku diam saja. Wajahku panas.
"Apa pun yang kauinginkan," dorong Edward. Gelisah dan sama sekali
tidak mengerti.
"Kau janji?" bisikku, tahu upayaku menjebaknya dengan kata-katanya
sendiri tidak akan berhasil, namun tak
sanggup menolaknya.
"Ya,” jawab Edward.. Aku mendongak dan melihat sorot matanya tulus
bercampur bingung. "Katakan apa yang
kauinginkan, dan kau akan mendapatkannya."
Sulit dipercaya betapa aku merasa canggung dan seperti idiot. Aku terlalu
lugu,hal yang. tentu saja, merupakan inti diskusi ini. Aku sama sekali tidak
tahu bagaimana caranya merayu. Wajahku malah memerah dan sikapku kikuk.
"Kau,” gumamku, nyaris kacau.
"Aku milikmu,” Edward tersenyum, masih belum sadar berusaha membalas
tatapanku sementara aku malah
memalingkan muka. Aku menghela napas dalam-dalam dan beringsut hingga sekarang
aku berlutut di tempat tidur. Lalu aku memeluk lehernya dengan dua tangan dan
menciumnya. Edward membalas ciumanku, bingung tapi bersedia. Bibirnya lembut menempel
di bibirku, dan aku tahu pikirannya sedang berkelana ke tempat lain,berusaha memikirkan
apa yang ada dalam pikiranku. Menurutku ia butuh petunjuk.
Kedua tanganku sedikit gemetar saat aku melepas pelukanku. Jari-jariku merayap
menuruni lehernya sampai
ke kerah kemeja. Tanganku yang gemetar menyulitkan upayaku untuk bergegas
membuka kancingnya sebelum ia menghentikanku.
Bibir Edward membeku, dan aku nyaris bisa mendengar bunyi 'klik" dalam
benaknya saat ia menyatukan potonganpotongan perkataan dan tindakanku. Ia
langsung mendorongku, wajahnya sangat tidak setuju.
"Bersikaplah yang masuk akal Bella."
"Kau sudah janji, apa pun yang kuinginkan," aku mengingatkan tanpa
berharap.
"Kita tidak akan mendiskusikan masalah ini," Edward menatapku marah
sambil mengancingkan kembali dua
kancing kemejanya yang berhasil kubuka. Gigiku terkatup rapat.
"Kita akan tetap mendiskusikannya," sergahku. Aku merenggut blusku
dan menyentakkan kancing paling atas.
Edward menyambar pergelangan tanganku dan menahannya di samping tubuhku.
"Kubilang tidak," tukasnya datar. Kami saling melotot.
"Kau sendiri yang ingin tahu tadi," aku beralasan.
"Kupikir kau menginginkan sesuatu yang agak realistis."
"Jadi kau bisa mengajukan permintaan bodoh dan konyol apa pun yang
kauinginkan – misalnya menikah,tapi
aku bahkan tidak boleh mendiskusikan apa yang aku–"
"Tidak," Wajah Edward keras.
Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dan, saat amarahku mulai
mereda, aku merasakan
sesuatu yang lain. Butuh semenit untuk menyadari kenapa aku menunduk lagi,
wajahku kembali memerah,kenapa perutku terasa tidak nyaman, kenapa mataku basah,
kenapa aku tiba-tiba ingin lari meninggalkan ruangan. Perasaan tertolak
melandaku, naluriah dan kuat. Aku tahu itu tidak rasional. Dalam
kesempatankesempatan lain Edward sudah sangat jelas mengungkapkan bahwa keselamatanku
merupakan satusatunya alasan. Namun belum pernah aku serapuh ini. Aku merengut
memandangi penutup tempat tidur warna emas yang senada dengan matanya dan
berusaha mengenyahkan reaksi refleks yang mengatakan bahwa aku tidak diinginkan
dan tidak bisa diinginkan.
Edward mengeluh. Tangan di atas mulutku bergerak ke bawah dagu dan ia mendongakkan
wajahku sehingga aku harus menatapnya.
"Apa lagi sekarang?"
"Tidak ada apa-apa," gumamku.
Edward mengamati wajahku lama sekali sementara aku berusaha berkelit dari pandangannya,
meski sia-sia. Alisnya berkerut, ekspresinya berubah ngeri.
"Apakah aku menyakiti perasaanmu?" tanya Edward, syok.
"Tidak,” dustaku.
Begitu cepatnya sehingga aku bahkan tak yakin bagaimana itu bisa terjadi, tapi
tahu-tahu aku sudah berada
dalam pelukannya, tangannya menopang wajahku dan ibu jarinya mengelus-elus
pipiku dengan sikap memastikan.
"Kau tahu kenapa aku harus menolak," bisiknya. "Kau tahu aku
menginginkanmu juga."
"Benarkah?" bisikku, suaraku penuh keraguan.
"Tentu saja aku menginginkanmu, dasar gadis bodoh, cantik, dan kelewat
sensitif," Edward tertawa sekali, tapi
kemudian suaranya berubah muram. "Bukankah semua orang juga begitu? Aku
merasa banyak yang antre di
belakangku, berebut posisi, menungguku membuat kesalahan cukup besar... Asal
tahu saja, kau terlalu
menggairahkan."
"Sekarang siapa yang bodoh?" Aku ragu apakah canggung, minder, dan
kikuk masuk dalam kategori
menggairahkan dalam anggapan orang lain.
"Apakah aku harus mengedarkan petisi supaya kau percaya? Haruskah
kuberitahu nama-nama yang berada
dalam daftar teratas? Kau tahu beberapa di antaranya, tapi beberapa lainnya
mungkin bakal mengagetkanmu."
Aku menggeleng dalam dekapannya. meringis. "Kau hanya berusaha mengalihkan
perhatianku. Mari kembali ke
topik tadi."
Edward mendesah.
"Katakan padaku kalau ada yang salah kupahami." Aku berusaha
memperdengarkan nada datar. "Tuntutanmu
adalah menikah” aku tak mampu mengucapkan kata itu tanpa mengernyit
"membayari uang kuliahku, lebih banyak waktu, dan kau tidak keberatan
kalau mobilku bisa lari lebih cepat."
Kuangkat alisku. "Semuanya sudah, kan? Lumayan panjang juga
daftarnya."
"Hanya yang pertama yang merupakan tuntutan."
Tampaknya sulit bagi Edward mempertahankan ekspresi datar. "Yang lain-lain
hanya permohonan."
"Sedangkan satu-satunya tuntutanku adalah-"
"Tuntutan?" sela Edward, mendadak kembali serius.
"Ya, tuntutan."
Matanya menyipit.
"Menikah bukan perkara mudah bagiku. Aku tidak mau menurut begitu saja
tanpa mendapat kompensasi."
Edward membungkuk untuk berbisik di telingaku.
"Tidak," bisiknya lembut. "Itu tidak mungkin dilakukan sekarang.
Nanti, kalau kau sudah tidak serapuh sekarang.
Bersabarlah, Bella."
Aku berusaha mempertahankan nada tenang dan bijak.
"Tapi di situlah masalahnya. Aku tidak akan sama lagi kalau sudah tidak
serapuh sekarang. Aku tidak akan
menjadi orang yang sama! Entah akan menjadi siapa aku nanti."
"Kau akan terap menjadi Bella," janji Edward.
Aku mengerutkan kening. "Kalau aku berubah sampai sejauh itu hingga mau
membunuh Charlie, bahwa aku
takkan ragu minum darah Jacob atau Angela kalau saja ada kesempatan, bagaimana
mungkin itu benar?"
"Masa itu akan berlalu. Dan aku ragu kau mau minum darah anjing."
Edward pura-pura bergidik memikirkannya.
"Bahkan sebagai vampire baru, seleramu akan lebih bagus daripada
itu."
Kuabaikan saja upayanya mengalihkan topik pembicaraan. "Tapi itu akan
selalu jadi sesuatu yang paling
kuinginkan, bukan?" tantangku. "Darah, darah, dan lagilagi darah!”
“Fakta kau masih hidup adalah bukti itu tidak benar," tukas Edward.
"Lebih dari delapan puluh tahun kemudian,” kuingatkan dia. "Yang
kumaksud adalah secara fisik. Secara intelektual, aku tahu akan bisa menjadi diriku
sendiri... setelah sekian lama. Tapi mumi secara fisik – aku akan selalu haus,
lebih dari segalanya."
Edward diam saja.
"Kalau begitu aku memang akan menjadi berbeda,” aku menyimpulkan tanpa
bantahan dari Edward. "Karena
sekarang ini, secara fisik, tak ada hal – lain yang kuinginkan lebih daripada
dirimu. Lebih daripada makanan, air, atau oksigen. Secara intelektual, prioritas-prioritasku
sedikit lebih masuk akal. Namun secara fisik..."
Kuputar kepalaku untuk mengecup telapak tangannya. Edward menghela napas
dalam-dalam. Aku kaget juga
karena kedengarannya ia sedikit goyah. "Bella, bisa-bisa aku membunuhmu
nanti,” bisiknya.
"Kurasa itu tidak mungkin."
Mata Edward mengeras. Ia mengangkat tangannya dari wajahku dan dengan gerak
cepat menjangkau ke belakang punggungnya, meraih sesuatu yang tak bisa kulihat.
Terdengar seperti ada yang patah dengan suara teredam, dan ranjang berderit-derit
di bawah tubuh kami. Edward memegang sesuatu yang berwarna gelap, ia
menyodorkannya supaya aku bisa melihatnya lebih jelas. Benda itu bunga logam.
salah satu mawar besi yang
menghiasi tiang serta kanopi ranjangnya yang terbuat dari besi tempa. Edward
mengepalkan tangannya sedetik.. jarijarinya meremas lembut, kemudian membuka
telapak tangannya lagi.
Tanpa mengatakan apa-apa, ia menyodorkan onggokan logam hitam yang kini hancur.
Benda itu hanya seperti gips di tangannya, seperti lilin mainan yang diremas
tangan anak-anak. Hanya dalam setengah detik benda itu telah remuk bagai pasir
hitam di telapak tangannya.
Kupandangi dia. "Bukan itu maksudku. Aku sudah tahu berapa kuatnya kau.
Tidak perlu sampai merusak perabot."
"Jadi apa maksudmu sebenarnya?" tanya Edward muram, melemparkan
onggokan pasir besi itu ke sudut
kamar; benda itu membentur dinding dengan suara seperti hujan. Matanya menatap
wajahku lekat-lekat sementara aku susah payah berusaha menjelaskan.
"Aku tidak bermaksud mengatakan secara fisik kau tidak mampu mencelakakan
aku kalau mau... Tapi lebih bahwa kau tidak ingin mencelakakan aku... sebegitu
besar hingga menurutku kau tidak akan pernah sanggup mencelakakan aku."
Edward sudah menggeleng-gelengkan kepala sebelum aku selesai bicara.
"Mungkin tidak akan seperti itu, Bella."
"Mungkin," dengusku. "Kau sendiri tidak lebih tahu daripada aku
dalam masalah ini."
"Tepat sekali. Apakah menurutmu aku mau mengambil risiko itu
denganmu?"
Kutatap matanya lama sekali. Tidak ada tanda-tanda ia mau berkompromi, tidak
ada petunjuk ia tidak tegas dengan keputusannya.
"Please,” bisikku akhirnya, tak punya harapan lagi.
"Hanya itu yang kuinginkan. Please,” Aku memejamkan mata kalah, menunggu
jawaban "tidak" yang final dan akan segera terlontar. Tapi Edward
tidak langsung menjawab. Aku ragu-ragu dengan sikap tak percaya, terperangah
mendengar tarikan napasnya yang kembali memburu. Kubuka mataku, dan Edward
tampak terkoyak.
"Please?" bisikku lagi, debar jantungku semakin kencang.
Kata-kata berhamburan dari mulutku saat aku terburu-buru mengambil kesempatan,
selagi aku melihat sorot tak yakin terpancar dari matanya. "Kau tidak
perlu memberiku jaminan apa-apa. Kalau memang tidak bisa, well tidak apaapa. Tapi
biarkan kita mencoba... hanya mencoba. Dan aku akan memberikan apa yang
kauinginkan,” janjiku tanpa berpikir. "Aku akan menikah denganmu. Kau
boleh membayari kuliahku di Dartmouth, dan aku tidak akan
mengeluh tentang sogokan yang kaukeluarkan supaya aku bisa masuk ke sana. Kau
bahkan bisa membelikan aku mobil mewah kalau itu bisa membuatmu senang! Tapi...
please."
Lengan Edward yang dingin memelukku lebih erat, dan bibirnya menempel di telingaku;
embusan napasnya yang dingin membuat tubuhku gemetar. "Sungguh tak tertahankan.
Begitu banyak yang ingin kuberikan padamu –tapi justru ini yang kautuntut
dariku. Tahukah kau betapa sakitnya ini, menolakmu yang memohon-mohon padaku seperti
ini?'''
"Kalau begitu jangan menolak,” usulku, napasku terengah-engah. Edward
tidak menjawab.
"Please," aku mencoba lagi.
"Bella..." Edward menggeleng lambat-lambat, tapi rasanya itu bukan
penolakan karena wajahnya dan bibirnya
menjelajahi tenggorokanku. Rasanya seperti menyerah kalah. Jantungku, yang memang
sudah berdebar keras, kini berpacu semakin cepat.
Lagi-lagi,aku berusaha memanfaatkan momentum itu sebisaku. Saat wajahnya berpaling
ke arahku dengan gerak lambat karena belum bisa memutuskan. aku cepat-cepat menggeser
kepala hingga bibirku menempel di bibirnya. Kedua tangan Edward merengkuh wajahku,
dan aku sempat mengira ia akan mendorongku lagi jauh-jauh. Ternyata aku keliru.
Bibirnya tidak menciumku dengan lembut; sekarang ada hal baru berupa konflik
bercampur perasaan putus asa
dalam ciumannya. Kupeluk lehernya erat-erat, dan, di kulitku yang tiba-tiba
panas. tubuhnya kurasakan lebih
dingin daripada biasanya. Aku gemetar, tapi bukan karena kedinginan. Edward
tidak berhenti menciumiku. Justru akulah yang melepaskan diri darinya,
megap-megap kehabisan udara.
Bahkan saat itu pun bibirnya tidak beranjak dari kulitku, hanya beralih ke
kerongkongan. Gairah kemenangan
melandaku, membuatku merasa berkuasa. Berani. Ia terlalu rupawan. Istilah apa
yang dipakainya barusan? Tak
tertahankan, itu dia. Ketampanannya sungguh tak tertahankan...
Kutarik bibir Edward kembali ke bibirku, dan sepertinya Edward sama bernafsunya
dengan aku. Satu tangannya
masih merengkuh wajahku, tangan yang lain memeluk pinggang, mendekap tubuhku
erat-erat. Posisi Itu
membuatku lebih sulit meraih bagian depan kemejaku, tapi bukannya tidak
mungkin.
Belenggu sedingin besi mencengkeram pergelangan tanganku, dan mengangkat kedua
tanganku tinggi-tinggi di
atas kepala, yang tiba-tiba sudah berada di atas bantal.
Bibirnya lagi-lagi menempel di telingaku. "Bella,” bisiknya, suaranya
hangat dan selembut beledu. "Bisa tidak,
kau berhenti mencoba membuka bajumu, please."
"Kau ingin melakukannya sendiri?" tanyaku, bingung.
"Tidak malam ini,” jawab Edward lembut. Bibirnya kini lebih lambat
menyusuri pipi dan daguku, semua ketergesagesaan itu lenyap.
"Edward, jangan –" aku mulai mendebatnya.
"Aku tidak mengatakan tidak,” Edward meyakinkanku.
"Aku hanya mengatakan 'tidak malam ini’."
Aku memikirkan perkataannya itu sementara deru napasku melambat.
"Beri aku satu alasan mengapa malam ini berbeda dengan malam-malam
lain." Aku masih terengah-engah, itu membuat perasaan frustrasi dalam
suaraku terdengar kurang meyakinkan.
"Aku bukan baru dilahirkan kemarin," Edward terkekeh di telingaku.
"Di antara kita berdua, siapa menurutmu yang lebih tidak bersedia mengabulkan
keinginan pasangannya? Kau baru saja berjanji akan menikahiku sebelum melakukan
perubahan apa pun, tapi kalau aku menyerah malam ini, jaminan apa yang kumiliki
bahwa kau tidak akan meminta Carlisle mengubahmu besok pagi? Aku–jelas–jauh
lebih tidak enggan mengabulkan permintaanmu. Jadi... kau duluan."
Aku mengembuskan napas dengan suara keras. "Jadi aku harus menikah dulu
denganmu?" tanyaku dengan sikap tak percaya.
"Begitulah kesepakatannya – terima atau tidak. Kompromi, ingat?"
Kedua lengan Edward merangkulku, dan ia muai menciumiku lagi dengan penuh
gairah. Terlalu persuasif –
sepertinya ini paksaan, pemaksaan. Aku berusaha menjaga pikiranku tetap
jernih... tapi langsung gagal.
"Menurutku itu sungguh-sungguh ide buruk," aku terkesiap setelah ia
membiarkanku menarik napas.
"Aku tidak terkejut kau merasa begitu." Edward tersenyum menyeringai.
"Pikiranmu memang tak pernah
bercabang."
"Bagaimana bisa begini?" gerutuku. "Kupikir aku berada di atas
angin malam ini, sekali ini, dan sekarang, tahu-tahu saja.."
"Kau sudah bertunangan,” Edward menyelesaikan kalimatku.
"Aduh! Kumohon, jangan mengucapkannya keraskeras."
"Memangnya, kau mau menarik lagi janjimu?" tuntutnya.
Edward melepas pelukannya dan menatap wajahku lekat-lekat. Ekspresinya
terhibur, ia senang bisa
menggodaku. Kupelototi dia, berusaha tidak menggubris senyumnya yang membuat
jantungku melompat liar.
"Ya atau tidak?" desaknya.
"Ugh!" erangku. "Tidak. Aku tidak menarik kembali janjiku. Kau
bahagia sekarang?"
Senyum Edward membutakan. "Sangat." Lagi-lagi aku mengerang.
"Kau tidak bahagia sama sekali?"
Edward menciumku lagi sebelum aku sempat menjawab. Lagi-lagi ciuman yang
terlalu persuasif.
"Sedikit,” aku mengakui saat sudah bisa bicara. "Tapi bukan karena
mau menikah.”
Lagi-lagi Edward menciumku. "Apakah kau merasa segala sesuatunya
terbalik?" ia tertawa di telingaku. "Secara
tradisional bukankah seharusnya kau yang ribut minta dinikahi, sedangkan aku
sebaliknya?"
"Tidak ada yang tradisional antara kau dan aku,"
"Benar."
Edward menciumku lagi, dan terus menciumiku sampai jantungku berdebar keras dan
kulitku membara.
"Begini. Edward,” gumamku, suaraku bernada membujuk ketika Edward
menghentikan ciumannya
sejenak untuk mengecup telapak tanganku. "Aku sudah berkata mau menikah
denganmu, dan itu akan kulakukan. Aku berjanji. Bersumpah. Kalau kau mau, aku
akan menandatangani kontraknya dengan darahku sendiri."
"Tidak lucu,” tukas Edward, menjelajahi bagian dalam pergelangan tanganku.
"Maksudku... aku tidak akan mengelabuimu atau semacamnya. Kau tahu aku
tidak seperti itu. Jadi benarbenar
tidak ada alasan untuk menunggu. Kita hanya berdua,seberapa sering itu terjadi?
dan kau sudah menyediakan ranjang yang sangat besar dan nyaman ini..."
"Tidak malam ini," tegas Edward lagi.
"Kau tidak percaya padaku?"
"Tentu saja aku percaya."
Menggunakan tangan yang masih diciuminya, aku menengadahkan wajah Edward
sehingga bisa melihat
ekspresinya.
"Kalau begitu, apa masalahnya? Kau toh sudah tahu kau akan menang
akhirnya.” Aku mengerutkan kening dan
menggerutu, "Kau selalu menang."
"Hanya membatasi taruhanku,” kata Edward kalem.
"Pasti ada yang lain,” tebakku, mataku menyipit. Wajah
Edward memancarkan ekspresi defensif, secercah pertanda adanya motif rahasia yang
coba ia sembunyikan di balik sikapnya yang biasa-biasa saja. "Apakah kau
berniat menarik kembali janjimu?"
"Tidak,” Edward berjanji dengan sikap khidmat. "Aku bersumpah, kita
akan mencobanya. Setelah kau menikah
denganku."
Aku menggeleng, tertawa muram. "Kau membuatku merasa seperti penjahat
dalam kisah melodrama, memuntirmuntir kumis saat sedang mencoba merenggut
kehormatan seorang gadis yang malang."
Mata Edward tampak pedih saat berkelebat menatap wajahku, lalu ia cepat-cepat
menunduk untuk
menempelkan bibirnya ke tulang selangkaku.
"Memang begitu, kan?" Tawa pendek yang lolos dari bibirku lebih
merupakan tawa syok ketimbang geli. "Kau
berusaha menjaga kehormatanmu!" Aku menutup mulut dengan tangan untuk
meredam tawa cekikikan yang
mengikutinya. Kata-kata itu sangat... kuno.
"Tidak, gadis konyol." gerutu Edward di bahuku. "aku berusaha
menjaga kehormatanmu. Tapi yang Mengagetkan, kau membuatnya jadi SULIT
sekali."
"Ini benar-benar konyol..."
"Begini saja, biar kutanya sesuatu." Edward buru-buru menyela.
"Kita sudah pernah mendiskusikan hal ini
sebelumnya, tapi coba hibur hatiku. Berapa orang di ruangan ini yang memiliki
jiwa? Memiliki kesempatan
masuk surga, atau apa pun yang ada di sana setelah kehidupan ini?"
"Dua," aku menjawab langsung, suaraku tegas.
"Baiklah. Mungkin itu benar. Sekarang, banyak sekali perbedaan pendapat
mengenai hal ini, tapi mayoritas orang sepertinya berpikir ada beberapa aturan
yang harus diikuti."
"Aturan-aturan vampir belum cukup bagimu? Kau juga masih memikirkan
aturan-aturan manusia?"
"Tidak ada salahnya," Edward mengangkat bahu.
"Untuk berjaga-jaga."
Kupelototi ia dengan mata disipitkan. "Sekarang, tentu saja, mungkin sudah
terlambat bagiku,seandainya pendapatmu tentang jiwaku memang benar."
"Tidak, belum terlambat bagimu." bantahku marah.
"Jangan ‘membunuh’ sudah umum diterima keyakinan agama mana pun. Padahal
aku sudah membunuh banyak
orang, Bella."
"Kau hanya membunuh orang-orang jahat."
Edward mengangkat bahu. "Mungkin itu berpengaruh, mungkin juga tidak. Tapi
kau belum pernah membunuh
orang..."
"Yang kaukenal," gerutuku.
Edward tersenyum, tapi tidak menanggapi interupsiku tadi.
"Dan aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak membuatmu jatuh dalam
pencobaan."
"Oke. Tapi kita kan tidak bertengkar soal melakukan pembunuhan," aku
mengingatkannya.
"Tetap berlaku prinsip yang sama, satu-satunya perbedaan hanyalah, bahwa
ini satu-satunya area di mana
aku sama bersihnya denganmu. Tidak bolehkah aku mempertahankan satu aturan saja
yang belum pernah
kulanggar?"
"Satu?"
"Kau sendiri tahu aku sudah pernah mencuri, berbohong, menginginkan milik
orang lain... hanya kehormatanku yang masih tersisa," Edward tersenyum
miring.
"Aku juga sering bohong."
"Memang, tapi kau sangat tidak pandai berbohong, jadi itu tidak terlalu
berpengaruh. Tidak ada yang percaya
padamu."
"Aku benar-benar berharap kau keliru mengenai hal itu, sebab kalau tidak,
tak lama lagi Charlie pasti akan
mendobrak pintu itu sambil mengacungkan pistol berisi peluru."
"Charlie lebih bahagia berpura-pura menelan semua ceritamu. Dia lebih suka
membohongi diri sendiri daripada
mengorek-ngorek lebih jauh," Edward nyengir padaku.
"Memangnya hak milik orang lain apa yang kauinginkan?" tanyaku ragu.
"Kau kan sudah memiliki
semua."
"Aku menginginkanmu,” Senyum Edward menggelap.
"Aku tidak berhak menginginkanmu, tapi aku tetap nekat. Dan coba lihat apa
jadinya kau sekarang! Mencoba merayu vampir." Edward menggeleng-gelengkan
kepala, pura-pura ngeri.
"Kau boleh menginginkan apa yang sudah menjadi milikmu," aku
memberitahunya– "Lagi pula, kukira kau
mengkhawatirkan kehormatanku."
"Memang. Kalau itu sudah terlambat bagiku... Well, celakalah aku, aku
tidak bermaksud melucu – kalau aku
membiarkan itu menyebabkanmu tidak masuk surga juga."
"Kau tidak bisa memaksaku pergi ke tempat yang kau tidak ada,” aku bersumpah.
"Itulah definisiku tentang neraka. Bagaimanapun, aku punya solusi mudah
mengenai hal itu, jangan pernah mati, bagaimana?"
"Kedengarannya cukup sederhana. Mengapa tak pernah terpikir olehku
sebelumnya?"
Edward tersenyum sampai aku menyerah dan mendengus marah. "Jadi, begitu.
Kau tidak mau tidur
denganku sampai kita menikah."
"Secara teknis, aku tidak akan pernah bisa tidur denganmu.”
Aku memutar bola mataku. "Sangat dewasa, Edward."
"Tapi, selain detail itu, ya, kau benar."
"Menurutku, kau punya motif tersembunyi."
Mata Edward membelalak sok lugu. "Ada lagi?"
"Kau tahu itu akan mempercepat proses," tuduhku.
Edward berusaha tidak tersenyum. "Hanya ada satu hal yang ingin
kupercepat, dan yang lain-lain boleh ditunda
selamanya... tapi untuk yang satu ini, memang benar, hormon-hormon manusiamu
yang tidak sabaran adalah
sekutuku yang paling kuat di titik ini."
"Aku tidak percaya mau saja menuruti kemauanmu. Kalau aku teringat Charlie
dan Renee! Bisakah kaubayangkan bagaimana pendapat Angela nanti? Atau Jessica?
Ugh. Sudah bisa kubayangkan bagaimana gosipnya nanti."
Edward mengangkat sebelah alisnya, dan aku tahu kenapa. Apa gunanya
mengkhawatirkan perkataan mereka
tentangku, kalau sebentar lagi aku pergi dan tidak akan kembali lagi? Benarkah
aku sesensitif itu sampai-sampai
tidak sanggup menahan lirikan penuh arti dan pertanyaan- pertanyaan bernada menjurus
selama beberapa minggu saja?
Mungkin itu tidak akan terlalu mengusik pikiranku seandainya aku tak tahu bahwa
aku mungkin juga akan
bergosip seperti mereka seandainya salah satu teman kami menikah musim panas
ini. Hah. Menikah musim panas ini! Aku bergidik. Namun, mungkin itu tidak akan
terlalu mengusik pikiranku seandainya aku tidak dibesarkan untuk bergidik setiap
kali memikirkan pernikahan.
Edward menginterupsi keresahanku. "Tidak perlu besarbesaran. Aku tidak
butuh perayaan. Kau tidak perlu
memberitahu siapa-siapa atau membuat perubahan apa pun. Kita pergi saja ke Vegas,
kau bisa mengenakan jins belel dan kita pergi ke kapel yang menyediakan layanan
menikah secara drive through. Aku hanya ingin menikah secara resmi, bahwa kau
milikku dan bukan milik orang lain."
"Sekarang juga sudah resmi,” gerutuku. Tapi gambaran yang diberikan Edward
kedengarannya lumayan juga.
Hanya saja Alice pasti akan kecewa.
"Kita lihat saja nanti,” Edward tersenyum puas. "Kurasa kau tidak
menginginkan cincinmu sekarang?"
Aku harus menelan ludah sebelum bisa bicara.
"Dugaanmu benar."
Edward tertawa melihat ekspresiku. "Baiklah kalau begitu. Toh tidak lama
lagi aku bisa memasangkannya di
jarimu."
Kutatap ia dengan jengkel. "Kau bicara seolah-olah kau sudah memiliki
cincinnya."
"Memang sudah,” jawab Edward, tanpa malu-malu.
"Siap kupakaikan secara paksa begitu terlihat tanda-tanda kelemahan
pertama."
"Kau keterlaluan."
"Kau mau melihatnya?" tanya Edward. Mata topaz cairnya tiba -tiba
berbinar, penuh semangat.
"Tidak!" Aku nyaris berteriak. reaksi refleks. Aku langsung
menyesalinya. Wajah Edward terlihat agak
kecewa. "Kecuali kau benar-benar ingin menunjukkannya padaku.” koreksiku.
Aku mengatupkan gigiku rapat-rapat agar ketakutanku yang tidak logis tidak
terlihat.
"Sudahlah,” Edward mengangkat bahu. "Itu bisa menunggu."
Aku mendesah. "Tunjukkan cincin sialan itu padaku, Edward."
Edward menggeleng. "Tidak." Kupandangi ekspresinya lama sekali.
"Please?" pintaku pelan, bereksperimen dengan senjata yang baru
kutemukan. Kusentuh wajahnya sekilas dengan ujung-ujung jariku. "Kumohon,
bolehkah aku melihatnya?"
Edward menyipitkan mata. "Kau makhluk paling berbahaya yang pernah
kutemui,” gerutunya. Tapi ia
bangkit dan dengan gerakan luwes berlutut di samping nakas kecil. Sebentar saja
ia sudah duduk lagi di sampingku di tempat tidur, sebelah tangan memeluk
bahuku. Di tangan satunya ia memegang kotak hitam kecil. Di letakannya kotak
itu di lutut kiriku.
"Silakan kalau mau melihat." katanya kasar.
Sulit rasanya meraih kotak hitam kecil itu, tapi karena tak ingin melukai
perasaannya lagi, aku berusaha agar tanganku tidak gemetaran. Permukaannya
halus berlapis satin hitam. Kusapukan jemariku di atasnya, ragu-ragu.
"Kau tidak mengeluarkan banyak uang, kan? Berbohonglah padaku kalau
ya."
"Aku tidak mengeluarkan uang sama sekali,” Edward meyakinkanku. "Itu
juga benda warisan. Cincin yang
diberikan ayahku untuk ibuku."
"Oh.” Keterkejutan mewarnai suaraku. Kuangkat sedikit penutup kotak dengan
ibu jari dan telunjuk, tapi tidak
membukanya.
"Kurasa cincinnya sudah agak kuno.” Nadanya purapura meminta maaf. "Kuno,
seperti aku. Aku bisa saja
membelikan sesuatu yang lebih modern. Sesuatu dari Tiffany's?"
"Aku suka yang kuno-kuno,” gumamku sambil raguragu mengangkat penutup
kotak.
Di atas hamparan satin hitam, cincin milik Elizabeth Masen gemerlapan di bawah
cahaya temaram. Permukaannya lonjong panjang. dikelilingi barisan memanjang
batu-batu bulat berkilauan. Cincinnya dibuat
dari emas–halus dan mungil. Jaring emas tipis merangkai berlian-berlian itu.
Belum pernah aku melihat cincin seperti itu.
Tanpa berpikir, aku membelai-belai permata yang berkilauan itu.
"Cantik sekali,” gumamku pada diri sendiri, terperangah.
"Kau suka?"
"Cincinnya cantik,” Aku mengangkat bahu.. berlagak kurang tertarik.
"Mana mungkin tidak suka?"
Edward terkekeh. "Coba lihat, apakah pas?" Tangan kiriku mengepal.
"Bella,” desah Edward. "Aku bukan mau menyoldernya ke jarimu. Hanya
mencoba, untuk melihat apakah
ukurannya perlu disesuaikan dengan jarimu. Setelah itu kau bisa melepasnya
lagi.”
"Baiklah,” gerutuku.
Kuraih cincin itu, tapi jari-jari Edward yang panjang bergerak lebih cepat. ia
meraih tangan kiriku, lalu
menyelipkan cincin itu ke jari manisku. Ia mengulurkan tanganku, dan kami
berdua mengamati kilau oval itu di
kulitku. Ternyata tidak semengerikan yang kukira, mengenakan cincin itu di jari
manisku.
"Benar-benar pas,” kata Edward dengan lagak tak acuh.
"Bagus, aku jadi tidak perlu pergi ke toko emas."
Aku bisa mendengar secercah emosi di balik gaya bicaranya yang biasa-biasa
saja, dan aku mendongak
memandangi wajahnya. Emosi itu juga terpancar dari matanya, tampak nyata
meskipun ekspresinya sengaja
dibuat biasa-biasa saja.
"Kau menyukainya, kan?" tanyaku curiga, menggerakkan jari-jariku dan
berpikir sungguh sayang
bukan tangan kiriku yang patah kemarin.
Edward mengangkat bahu. "Tentu,” jawabnya, lagaknya masih biasa-biasa
saja. "Kelihatannya sangat manis di
jarimu."
Kutatap matanya, berusaha menerka-nerka emosi apa yang membara tepat di balik
permukaannya. Edward membalas tatapanku, dan kepura-puraannya mendadak lenyap.
Ia berseri-seri, wajah malaikatnya cemerlang karena kegembiraan dan kemenangan.
Ia begitu rupawan hingga membuatku tersentak.
Sebelum aku sempat pulih dari kekagetanku.. Edward sudah menciumku, bibirnya
menunjukkan kegembiraannya.
Kepalaku ringan saat ia memindahkan bibirnya untuk berbisik di telingaku – tapi
napasnya sama memburunya
dengan napasku.
"Ya, aku menyukainya. Kau tidak tahu bagaimana rasanya."
Aku tertawa, terkesiap sedikit. "Aku percaya padamu."
"Kau keberatan kalau aku melakukan sesuatu?" bisiknya, kedua
lengannya memelukku lebih erat.
"Apa pun yang kauinginkan."
Tapi Edward melepas pelukannya dan bergeser menjauh.
"Apa pun kecuali itu,” protesku.
Edward tak menggubris protesku, meraih tanganku, dan menarikku turun dari
tempat tidur. ia berdiri di depanku,
kedua tangan memegang bahuku, wajahnya serius.
"Nah, aku ingin melakukannya dengan benar. Please, please, ingatlah
bahwa kau sudah setuju dengan hal ini, jadi jangan merusaknya."
"Oh, tidak,” seruku tertahan ketika Edward berlutut dengan satu kaki.
"Bersikaplah yang manis,” bisiknya.
Aku menarik napas dalam-dalam.
"Isabella Swan?" Edward menengadah, menatapku dari balik bulu matanya
yang panjang. mata emasnya lembut
tapi, entah bagaimana, tetap membara. "Aku berjanji akan mencintaimu selamanya,
setiap hari selamanya. Maukah kau menikah denganku?"
Banyak sekali yang ingin kukatakan, sebagian di antaranya sama sekali tidak
bagus, dan yang lainnya
bahkan lebih cengeng dan romantis daripada yang mungkin kubayangkan Edward bisa
kukatakan. Daripada
mempermalukan diri sendiri,aku berbisik. “Ya."
"Terima kasih,” hanya itu jawaban Edward. Ia meraih tangan kiriku dan
mengecup setiap ujung jari sebelum
mengecup cincin yang kini menjadi milikku.
0 komentar:
Post a Comment