December 01, 2013

Eclipse Indonesia 5

5. IMPRINT

"KAU baik-baik saja, Jake.? Kata Charlie, kau mengalami masa-masa sulit ... Keadaanmu belum
membaik?" Tangan hangat Jacob menggandeng tanganku.
"Lumayanlah,” jawabnya, tapi menolak menatap mataku. Pelan-pelan ia berjalan kembali ke batang pohon,
matanya menerawang memandangi kerikil-kerikil yang berwarna pelangi, dan menarikku ke sisinya. Aku duduk
lagi di batang pohon, tapi Jacob duduk di tanah yang basah dan berbatu-batu, bukan di sebelahku. Aku penasaran apakah itu ia lakukan supaya bisa lebih mudah menyembunyikan wajahnya. Dipegangnya terus tanganku.
Aku mulai mengoceh apa saja untuk mengisi kekosongan.
"Sudah lama sekali aku tidak pernah datang lagi ke sini, Mungkin aku sudah melewatkan banyak hal. Bagaimana
kabar Sam dan Emily? Apakah Quil...?”
Aku tidak menyelesaikan kalimatku, teringat bahwa Quil topik yang sensitif bagi Jacob.
"Ah, Quil,” desah Jacob.
Kalau begitu, itu pasti sudah terjadi – Quil pasti sudah bergabung dengan kawanan.
"Aku ikut prihatin,” gumamku.
Yang mengagetkan, Jacob malah mendengus. "Jangan bilang begitu padanya.”
“Apa maksudmu?"
"Quil tidak mau dikasihani. Justru sebaliknya – dia girang bukan main. Gembira luar biasa.”
Itu tak masuk akal. Semua serigala lain justru sangat tertekan membayangkan teman mereka mengalami nasib
yang sama. "Hah?"
Jacob menelengkan kepala menatapku. Ia tersenyum dan memutar bola matanya.
"Quil menganggap ini hal terhebat yang pernah terjadi padanya. Sebagian karena dia akhirnya tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Dan dia senang karena mendapatkan teman-temannya lagi – menjadi bagian 'kelompok dalam’"
Lagi-lagi Jacob mendengus. "Tidak mengherankan, sebenarnya. Quil memang seperti itu.”
"Dia menyukainya?"
"Sejujurnya ... sebagian besar dari mereka senang menjadi serigala.” Jacob mengakui lambat-lambat,
"Memang ada hal-hal yang menyenangkan – kecepatan, kebebasan, kekuatan... merasa seperti-seperti keluarga... Hanya Sam dan aku yang benar-benar pernah merasa tidak suka. Dan Sam sudah lama sekali berhasil mengatasi perasaan tidak sukanya. Jadi tinggal aku sendiri yang cengeng sekarang,” Jacob menertawakan diri sendiri.
Banyak sekali yang ingin kuketahui, "Kenapa kau dan Sam berbeda? Apa yang sebenarnya terjadi pada Sam? Apa masalahnya? Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur dari mulutku tanpa memberi kesempatan Jacob menjawabnya, dan ia pun tertawa lagi.
"Ceritanya panjang.”
"Aku sudah menceritakan kisah yang panjang untukmu lagi pula, aku tidak buru-buru pulang kok,” kataku,
kemudian meringis ketika terbayang masalah yang bakal kuhadapi nanti. Begitu mendengar nada waswas dalam suaraku, Jacob dengan cepat mendongak dan menatapku. “Apakah dia akan memarahimu?”
"Ya.” aku mengakui. "Dia sangat tidak suka aku melakukan hal-hal yang dianggapnya ... riskan.”
"Seperti bergaul dengan werewolf.”
"Yeah.”
Jacob mengangkat bahu. "Kalau begitu tidak usah pulang saja. Aku bisa tidur di sofa.”
"Ide bagus,” gerutuku. "Karena itu hanya akan membuatnya datang mencariku.”
Jacob mengejang, kemudian tersenyum masam. "Begitu, ya?”
"Kalau dia takut aku terluka atau sebangsanya – bisa jadi.”
"Ideku jadi semakin bagus saja kedengarannya.”
"Please, Jake. Aku tidak suka mendengarnya.”
"Apa yang membuatmu merasa terganggu?"
"Bahwa kalian berdua sangat siap saling membunuh!" keluhku. "Membuatku gila saja. Apa kalian tidak bisa
bersikap beradab?"
"Jadi dia siap membunuhku?" tanya Jacob sambil tersenyum muram, tak peduli aku marah.
"Tidak sesiap kau yang sepertinya sudah sangat siap!" Aku tersadar telah berteriak. "Setidaknya dia bisa bersikap dewasa dalam hal ini. Dia tahu menyakitimu akan menyakiti hatiku – jadi dia takkan pernah melakukannya. Tapi kau sepertinya tidak peduli sama sekali!"
"Yeah, benar.” gerutu Jacob. "Aku yakin dia memang pencinta damai.”
"Ugh!" Kusentakkan tanganku dari genggamannya dan kudorong kepalanya jauh-jauh. Ialu kulipat lututku ke dada dan kudekap kedua lenganku melingkari lutut. Mataku menerawang jauh ke cakrawala, merengut.
Jacob terdiam beberapa menit. Akhirnya, ia bangkit dari tanah dan duduk di sebelahku, lengannya memelukku. Aku menepisnya dengan mengedikkan bahu.
"Maaf," ucapnya pelan. "Akan kucoba untuk bersikap lebih baik.”
Aku tidak menyahut.
"Seperti kataku tadi, ceritanya panjang. Dan sangat.. aneh. Banyak sekali hal aneh dalam kehidupan baru ini.
Aku belum sempat menceritakan setengahnya padamu. Dan masalah dengan Sam ini – well, entah apakah aku
bahkan bisa menjelaskannya dengan tepat.”
Kata-katanya memicu keingintahuanku, walaupun aku masih kesal.
"Aku mendengarkan.” karaku kaku.
Dati sudut mata kulihat sebelah wajahnya terangkat, membentuk senyuman.
"Pengalaman Sam jauh lebih sulit daripada kami semua. Karena dia yang pertama, sendirian, dan tidak punya siapasiapa yang bisa memberi tahu apa sebenarnya yang terjadi. Kakek Sam sudah meninggal sebelum dia lahir, dan ayahnya tak pernah ada. Tak seorang pun mengenali tandatandanya. Pertama kali itu terjadi – pertama kalinya dia berubah – Sam mengira dia sudah gila. Butuh dua minggu baru dia bisa cukup tenang untuk mengubah diri kembali.

"Itu terjadi sebelum kau datang ke Forks, jadi kau pasti tidak ingat. Ibu Sam dan Leah Clearwater meminta para

jagawana hutan untuk mencarinya, juga polisi. Orang-orang mengira dia mengalami kecelakaan atau sebangsanya...”
"Leah?" tanyaku, terkejut, Leah putri Harry. Mendengar namanya langsung membuatku merasa kasihan. Harry
Clearwater, sahabat Charlie, meninggal karena serangan jantung musim semi lalu.
Suara Jacob berubah, jadi lebih berat. "Yeah. Leah dan Sam dulu berpacaran semasa SMA. Mereka mulai pacaran waktu Leah kelas satu. Dia sangat panik waktu Sam menghilang.”
"Tapi Sam dan Emily...”
"Nanti aku akan sampai ke sana – itu bagian ceritanya.” kata Jacob. Ia menghirup napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dengan cepat. Kurasa aku memang bodoh waktu mengira Sam tidak
pernah mencintai orang lain sebelum Emily. Kebanyakan orang jatuh cinta berulang kali dalam hidupnya. Hanya saja setelah melihat Sam bersama Emily, aku tidak bisa membayangkan ia bersama wanita lain. Cara Sam menatap Emily... well, mengingatkanku pada tatapan yang kadangkadang kulihat di mata Edward – saat ia menatapku.
"Sam kembali," lanjut Jacob, "tapi dia tidak mau mengatakan kepada siapa-siapa ke mana saja dia selama
itu. Kabar burung pun beredar – bahwa dia melakukan hal yang tidak baik, kebanyakan menduga begitu. Kemudian suatu siang Sam kebetulan bertemu kakek Quil, ketika Quil Ateara Tua datang mengunjungi Mrs. Uley. Sam menyalaminya. Si tua, Quil nyaris stroke,” Jacob berhenti sebentar untuk tertawa.
"Kenapa?"
Jacob meletakkan tangannya di pipiku dan menarik wajahku agar berpaling menatapnya – ia mencondongkan
tubuh ke arahku, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajahku. Telapak tangannya membakar kulitku, seolaholah ia demam.
"Oh, benar,” ujarku. Rasanya risi, wajahku begitu dekat dengannya. Sementara tangannya terasa panas di kulitku.
"Tubuh Sam panas.”
Jacob tertawa lagi. "Tangan Sam seperti habis dipanggang di atas kompor.”
Jacob begitu dekat, sampai-sampai aku bisa merasakan embusan napasnya yang hangat. Dengan lagak biasa-biasa saja, aku mengangkat tangan untuk menarik tangannya, membebaskan wajahku, tapi kemudian menyusupkan jarijariku ke sela-sela jemarinya, agar tidak melukai hatinya.
Jacob tersenyum dan menyandarkan tubuh kembali, tidak tertipu usahaku untuk bersikap biasa-biasa saja.
"Lalu Mr. Ateara langsung mendatangi para sesepuh.”
Jacob melanjutkan cerita. "Mereka satu-satunya sesepuh yang masih hidup, yang masih tahu dan ingat hal itu, Mr.Ateara, Billy, dan Harry bahkan pernah melihat kakek mereka berubah. Waktu si tua Quil bercerita pada mereka, mereka diam-diam menemui Sam dan menjelaskan.
"Keadaan jadi lebih mudah setelah Sam mengerti – setelah dia tidak lagi sendirian, Mereka tahu bukan hanya
dia satu-satunya yang akan terpengaruh oleh kembalinya keluarga Cullen" – Jacob melafalkan nama itu dengan
kegetiran yang tidak disadarinya-" tapi yang lain-lain masih belum cukup tua. Jadi Sam menunggu kami-kami yang lain untuk bergabung dengannya...”
"Keluarga Cullen sama sekali tidak tahu.” Kataku dengan suara berbisik. "Mereka tidak tahu werewolf masih
ada di sini. Mereka tidak tahu kedatangan mereka ke sini akan mengubah kalian.”
"Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kami memang jadi berubah.”
"Ingatkan aku untuk tidak membuatmu marah.”
"Kaukira aku juga harus segampang kau memaafkan orang? Tidak semua orang bisa menjadi santo dan martir.”
"Dewasalah, Jacob.”
"Kalau saja aku bisa,” gumamnya pelan.
Kupandangi dia, berusaha memahami ucapannya tadi.
"'Apa?"
Jacob terkekeh. "Itu satu dari banyak hal aneh seperti yang pernah kuceritakan.”
"Jadi kau... tidak bisa... jadi dewasa?" tanyaku terperangah. "Kau apa? Tidak bisa... bertambah tua? Kau
bercanda, ya?”
"Tidak,” Jacob memberi penekanan pada jawabannya. Aku merasa darah surut dari wajahku. Air mata – air
mata marah – merebak. Aku menggertakkan gigi dengan suara keras.
"Bella? Aku salah omong, ya?”
Aku berdiri lagi, kedua tanganku mengepal, sekujur tubuh gemetar.
"Kau. Tidak. Bisa. Bertambah. Tua.” geramku dari selasela gigi. Jacob menarik-narik lenganku lembut, berusaha
mendudukkanku. "Kami semua tidak bakal menua. Kau ini kenapa sih?"
"Jadi aku satu-satunya yang bakal menua? Semakin hari aku semakin tua!" aku nyaris menjerit, melontarkan kedua tanganku ke udara. Sebagian kecil diriku sadar gayaku marah-marah persis Charlie, tapi bagian rasional itu tertutup oleh bagian yang tidak rasional. "Brengsek! Dunia macam apa ini? Di mana keadilan?"
"Tenanglah, Bella.”
"Tutup mulut, Jacob. Pokoknya tutup mulut! Ini sangat tidak adil!"
"Kau benar-benar mengentak-entakkan kaki, ya? Kusangka hanya cewek-cewek di TV yang melakukannya.”
Aku menggeram marah.
"Ini tidak separah yang kaukira. Duduk dan akan kujelaskan.”
"Biar aku berdiri saja.”
Jacob memutar bola matanya. "Oke. Terserah. Tapi dengar, aku akan bertambah tua... suatu saat nanti.”
"Jelaskan.”
Jacob menepuk-nepuk batang pohon. Aku memandang garang sedetik, tapi kemudian duduk; amarahku langsung mereda secepat timbulnya tadi, dan aku cukup tenang untuk menyadari tingkahku tadi memalukan.
"Kalau kami cukup bisa mengendalikan diri sehingga bisa berhenti... ,” kata Jacob. "Bila kami berhenti berubah
wujud cukup lama, kami akan menua lagi. Tidak mudah memang.” Jacob menggeleng-gelengkan kepala, merasa ragu. "Butuh sangat lama untuk belajar menahan diri seperti itu, kurasa. Bahkan Sam pun belum sampai ke tahap itu. Apalagi sekarang ada sekelompok besar vampir di dekatdekat sini. Bahkan tidak terpikir oleh kami untuk berhenti jadi werewolf saat suku kami membutuhkan pelindung. Tapi tak seharusnya kau panik dan marah-marah seperti tadi, aku toh sudah lebih tua darimu, setidaknya secara fisik.”
“Apa maksudmu?"
"Lihat saja aku, Bells. Memangnya aku kelihatan seperti anak enam belas tahun?"
Aku memandangi sosok raksasa Jacob dari ujung kepala sampai ujung kaki, berusaha untuk bersikap objektif "Tidak juga, kurasa.”
"Sama sekali tidak. Karena tubuh kami berkembang penuh di bagian dalam selama beberapa bulan saat gen
werewolf terpicu. Pertumbuhannya sangar fantastis.” Jacob
mengernyitkan wajah. "Secara fisik usiaku kira-kira 25 tahun, Jadi kau tidak perlu marah-marah karena lebih tua
dariku selama setidaknya tujuh tahun lagi.”
Kira-kira dua puluh lima tahun. Pikiran itu membuat kepalaku pusing. Tapi aku ingat pertumbuhan fisik Jacob
yang fantastis – aku menyaksikan sendiri bagaimana ia bertambah tinggi dengan sangat cepat dan tubuhnya padat berisi. Aku ingat bagaimana hari ini ia terlihat berbeda dari kemarin... aku menggeleng-gelengkan kepala, merasa pusing.
"Jadi, mau dengar cerita tentang Sam tidak, atau kau mau berteriak-teriak memarahiku lagi untuk hal-hal yang
tidak bisa kukendalikan?"
Aku menghela napas dalam-dalam. "Maaf masalah umur adalah topik sensitif bagiku. Membuatku
tersinggung."
Mata Jacob mengeras, dan ia seperti berusaha memutuskan bagaimana mengungkapkan sesuatu.
Karena tidak mau membicarakan hal-hal sensitif – rencanaku untuk masa depan, atau kesepakatan yang bakal
dilanggar rencana tersebut, maka aku pun mendorongnya meneruskan cerita. “Jadi, sejak Sam memahami apa yang sebenarnya terjadi, setelah Billy, Harry, dan Mr. Ateara memberitahu dia, katamu itu tidak begitu berat lagi
baginya. Dan, seperti katamu tadi, ada juga hal-hal menyenangkan menjadi serigala ..
Sejenak aku ragu-ragu. "Kenapa Sam sangat membenci mereka? Kenapa dia berharap aku juga membenci mereka?"
Jacob mendesah. "Ini bagian yang benar-benar aneh.”
“Aku suka yang aneh-aneh kok.”
"Yeah, aku tahu.” Jacob nyengir sebelum melanjutkan ceritanya. "Kau benar, Sam tahu apa yang terjadi, dan
semuanya hampir baik-baik saja. Dalam banyak hal hidupnya sudah kembali, well, bukan normal. Tapi lebih
baik.” Lalu ekspresi Jacob mengeras, seakan-akan ada sesuatu yang menyakitkan. "Sam tidak boleh memberitahu Leah. Kami tidak boleh memberi tahu siapa pun yang tidak perlu tahu. lagi pula, tidak aman bagi Sam berada dekatdekat dengan Leah – tapi Sam berbuat curang, sama seperti yang kulakukan denganmu. Leah marah karena Sam tidak mau memberitahu apa yang terjadi – ke mana saja Sam selama ini, ke mana dia pergi pada malam hari, kenapa dia selalu kelelahan – tapi mereka mulai berusaha mengatasinya. Mereka benar-benar berusaha. Mereka sangat saling mencintai.”
"Jadi Leah akhirnya tahu? Itukah yang terjadi?"
Jacob menggeleng. "Bukan, masalahnya bukan itu.
Sepupunya, Emily Young, datang dari reservasi Makah untuk mengunjunginya pada akhir pekan.”
Aku terkesiap. "Jadi Emily sepupu Leah?"
"Sepupu jauh. Tapi mereka cukup dekat. Waktu masih kecil, mereka bahkan seperti kakak-beradik.”
"Itu... menyedihkan. Tega-teganya Sam...? Suaraku menghilang, menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan hakimi dia dulu. Adakah yang pernah menceritakan padamu tentang... pernahkah kau mendengar
tentang imprint?"
"Imprint?" Aku mengulangi kata itu. "Tidak. Apa artinya itu?”
"Itu satu dari sekian banyak hal aneh yang harus kami hadapi. Itu tidak terjadi pada setiap orang. Faktanya, itu
pengecualian yang langka, bukan ketentuan utama. Saat itu Sam sudah pernah ,mendengar cerita-cerita mengenainya, cerita-cerita yang dulunya kami kira hanya legenda. Dia pernah mendengar tentang imprint, tapi tak pernah terbayang olehnya bahwa...”
"Apa itu sebenarnya?" desakku.
Mata Jaeob menerawang jauh ke laut. "Sam memang mencintai Leah. Tapi begitu dia bertemu Emily, itu tidak
berarti lagi. Terkadang... kita tidak tahu persis kenapa .. kita menemukan jodoh kita dengan cara seperti itu.” Matanya melirikku lagi, wajahnya memerah. "Maksudku... belahan jiwa kita.”
"Dengan cara seperti apa? Cinta pada pandangan pertama?" tanyaku dengan nada mengejek.
Jacob tidak tersenyum. Mata gelapnya memerhatikan reaksiku dengan kritis. "Agak lebih kuat daripada itu. Lebih
pasti.”
"Maaf" sergahku. "Kau serius, ya?”
"Ya, aku serius.”
"Cinta pada pandangan pertama? Tapi lebih kuat?" Suaraku masih terdengar ragu, dan itu tak luput dari
pendengaran Jacob.

"Tidak mudah menjelaskannya. Toh itu tidak penting.”

Jacob mengangkat bahu dengan sikap tak peduli. "Kau kan ingin tahu apa yang membuat Sam membenci para vampir yang telah mengubahnya, membuatnya membenci dirinya sendiri. Dan itulah yang terjadi. Dia membuat Leah patah hati. Melupakan semua janji yang pernah dia ucapkan kepada Leah. Setiap hari dia harus melihat tuduhan itu terpancar dari mata Leah, dan tahu tuduhan itu benar.”
Mendadak Jacob berhenti bicara, seolah-olah mengatakan sesuatu yang tak seharusnya ia katakan.
"Bagaimana tanggapan Emily dalam hal ini? Padahal dia kan dekat sekali dengan Leah...?" Sam dan Emily memang benar-benar cocok satu sama lain, bagaikan dua keping puzzle, dibentuk untuk saling melengkapi. Meski begitu...bagaimana Emily bisa melupakan fakta bahwa Sam dulu pernah menjadi milik wanita lain? Saudara perempuannya sendiri, hampir bisa dibilang begitu.
"Emily sangat marah, pada awalnya. Tapi sulit menolak komitmen dan pemujaan dalam taraf seperti itu.” Jacob
mendesah, “Apalagi Sam bisa menceritakan semua kepadanya. Tidak ada aturan yang dapat menghalangimu
kalau kau sudah menemukan belahan jiwamu. Kau tahu bagaimana Emily cedera?"
"Yeah.” Cerita yang beredar di Forks adalah Emily diserang beruang, tapi aku tahu rahasia sebenarnya. Werewolf itu tidak stabil, Edward pernah berkata. Orangorang yang dekat dengan mereka cedera.
"Well, anehnya, peristiwa itu malah mendekatkan mereka. Sam sangat ngeri dan muak pada dirinya sendiri,
tidak bisa menerima apa yang telah dia lakukan... Dia bahkan rela menabrakkan diri ke bus kalau itu bisa
membuat Emily merasa lebih baik. Mungkin saja Sam akan berbuat begitu, hanya supaya bisa melepaskan diri dari perasaan bersalah akibat perbuatannya. Perasaannya hancur... Tapi, entah bagaimana, justru Emily-lah yang menghibur Sam, dan setelah itu...”
Jacob tidak menyelesaikan ucapannya, dan aku merasa cerita itu jadi terlalu pribadi untuk dibagikan.
"Kasihan Emily,” bisikku. "Kasihan Sam. Kasihan Leah...”
"Yeah, Leah yang paling dirugikan dalam hal ini.” Jacob sependapat. "Dia berusaha menunjukkan sikap tabah.
Dia akan menjadi pendamping pengantin Emily nanti.”
Aku memandang jauh ke arah batu-batu karang yang mencuat, dari dalam laut, bagai jari-jari gemuk yang patah
di pinggir sebelah selatan pelabuhan, berusaha memahami semua itu. Aku bisa merasakan Jacob menatapku,
menungguku mengatakan sesuatu.

“Apakah itu pernah terjadi padamu?" tanyaku akhirnya, masih menerawang jauh. "Cinta pada pandangan pertama seperti itu?"

"Tidak.” jawab Jacob langsung. "Hanya Sam dan Jared yang pernah mengalaminya.”
"Hmm.” ucapku, berusaha memperdengarkan nada tertarik. Aku lega, dan aku berusaha menjelaskan reaksi itu
pada diriku sendiri, Kuputuskan aku senang Jacob tidak menganggap ada hubungan mistik dan berbau serigala di antara kami. Begini saja hubungan kami sudah cukup membingungkan. Aku tidak butuh hal-hal supranatural lain selain yang memang harus kuhadapi sekarang. Jacob juga diam saja, dan keheningan kali ini terasa agak
canggung. Intuisiku mengatakan aku tidak ingin mendengar apa yang ia pikirkan.
"Bagaimana itu terjadi pada Jared?" tanyaku untuk memecah kesunyian.
"Tidak ada yang menghebohkan dalam prosesnya.
Pokoknya, pacarnya adalah gadis yang duduk di sebelahnya di kelas selama setahun, tapi Jared tidak pernah meliriknya. Kemudian, setelah Jared berubah, dia bertemu gadis itu lagi dan sejak itu tidak pernah lagi melirik yang lain, Kim girang sekali. Sudah lama dia naksir Jared. Dia bahkan menuliskan nama keluarga Jared di belakang namanya dalam buku harian.” Jacob tertawa mengejek.
Keningku berkerut. "Jared menceritakan itu padamu? Seharusnya jangan.”
Jacob menggigit bibir, "Kurasa tidak seharusnya aku tertawa. Tapi itu lucu.”
"Belahan jiwa apa itu!"
Jacob mendesah. "Jared bukannya sengaja menceritakan semua itu pada kami. Aku pernah menceritakan soal ini padamu kan, ingat?"
"Oh, yeah. Kalian bisa saling mengetahui pikiran masing-masing, tapi hanya saat kalian menjadi serigala,
begitu, kan?”
"Benar. Sama seperti pengisap darahmu itu.” Jacob memandang garang.
"Edward,” aku membetulkan.
"Tentu, tentu. Karena itulah aku jadi tahu banyak tentang perasaan Sam. Bukan berarti dia mau menceritakan
semuanya pada kami seandainya bisa memilih. Sebenarnya, itu sesuatu yang tidak disukai kami semua.” Kepahitan terdengar jelas dalam suara Jacob. "Sungguh tidak enak. Tidak ada privasi, tidak ada rahasia. Semua yang memalukan terpampang sangat jelas.” Jacob bergidik.
"Kedengarannya mengerikan,” bisikku.
"Terkadang itu berguna saat kami perlu berkoordinasi.” jelas Jacob enggan. "Sekali dalam beberapa bulan, kalau
ada pengisap darah menerobos masuk ke wilayah kami. Seperti Laurent waktu itu, sungguh mengasyikkan. Dan
seandainya keluarga Cullen tidak menghalang-halangi kami Sabtu kemarin ... ugh!" erang Jacob. "Kami pasti bisa menangkapnya!" Tangannya mengepal marah.
Aku tersentak. Walaupun aku khawatir Jasper atau Emmett bakal terluka, tapi itu tidak ada apa-apanya
dibandingkan kepanikan membayangkan Jacob berhadapan dengan Victoria. Emmett dan Jasper, dalam bayanganku tidak mungkin bisa dikalahkan. Jacob masih hijau, masih lebih "manusia" dibandingkan mereka. Bisa mati.
Terbayang olehku Jacob menghadapi Victoria, rambut merahnya berkibar-kibar di sekeliling wajahnya yang kejam dan buas... aku bergidik ngeri. Jacob memandangiku dengan ekspresi ingin tahu. "Tapi bukankah kau juga mengalami hal itu setiap saat? Dia bisa mendengar pikiranmu?"
"Oh, tidak. Edward tidak pernah tahu pikiranku. Dia hanya bisa berharap.”
Ekspresi Jacob berubah bingung.
"Dia tidak bisa mendengar pikiranku.” aku menjelaskan, suaraku terdengar sedikit puas, biasa, itu kebiasaan lama.
"Aku satu-satunya yang seperti itu, bagi dia. Kami tidak tahu kenapa dia tidak bisa mendengar pikiranku.”
"Aneh.” komentar Jacob.
"Yeah.” Nada puas itu lenyap. "Mungkin itu berarti ada yang tidak beres dengan otakku.” aku mengakui.
"Sudah kukira ada yang tidak beres dengan otakmu.” gerutu Jacob.
"Trims.”
Matahari tiba-tiba menyembul di balik awan, kejutan yang tidak kusangka-sangka, dan aku harus menyipitkan
mata untuk melindungi mataku dari terik sinarnya yang memantul di permukaan air. Segala sesuatu berubah warnaombak berubah warna dari kelabu jadi biru, pepohonan dari hijau zaitun kusam ke hijau zamrud cemerlang, dan kerikilkerikil bernuansa warna pelangi berkilauan bak permata.
Kami menyipitkan mata sebentar, membiarkan mata kami menyesuaikan diri. Tak terdengar suara apa pun selain debur ombak yang bergema dari setiap sisi pelabuhan yang terlindung itu, suara lembut bebatuan saling membentur di bawah gerakan air, serta pekik burung-burung camar di atas kepala. Damai sekali rasanya.
Jacob beringsut lebih dekat denganku, sehingga tubuhnya menempel di lenganku. Tubuhnya hangat sekali.
Setelah semenit dalam posisi itu, kulepas jaketku. Jacob mengeluarkan suara bernada senang, dan, menempelkan pipinya ke puncak kepalaku. Aku bisa merasakan matahari menyengat kulitku meski tidak sepanas kulit Jacob-dan dalam hati aku bertanya-tanya berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk membuatku hangus.
Tanpa berpikir aku memutar tangan kananku ke satu sisi dan memandangi cahaya matahari berpendar samar di
bekas luka yang ditinggalkan James di sana.
"Apa yang kaupikirkan?” gumam Jacob.
"Matahari.”
"Mmm. Bagus."
"Kau sendiri, apa yang kaupikirkan?" tanyaku.
Jacob terkekeh sendiri. "Aku teringat film konyol yang kutonton bersamamu. Dengan Mike Newton yang muntahmuntah habis-habisan.”
Aku tertawa, kaget saat menyadari berapa waktu telah mengubah kenangan itu. Betapa dulu itu membuatku
tertekan, bingung. Begitu banyak yang berubah sejak malam itu.. Dan sekarang aku bisa tertawa. Itu malam terakhir yang dilewati Jacob dan aku sebelum ia mengetahui asalusulnya yang sebenarnya. Kenangan terakhirnya sebagai manusia. Kenangan yang anehnya sekarang terasa menyenangkan.
"Aku rindu saat-saat seperti itu.” kata Jacob.
"Bagaimana hidup dulu terasa begitu mudah... tidak rumit. Untung aku bisa mengingat semuanya dengan baik.” Jacob mendesah.
Jacob merasakan tubuhku tiba-tiba mengejang karena kata-katanya mendadak membuatku teringat hal lain.
"Ada apa?" tanyanya.
"Omong-omong soal ingatanmu yang baik..” Aku melepaskan diri dari pelukannya agar bisa membaca
wajahnya. Saat itu, rasanya membingungkan. "Kau tidak keberatan kan, memberitahuku apa yang kaulakukan Senin pagi waktu itu? Kau memikirkan sesuatu yang mengganggu perasaan Edward. Mengganggu sebenarnya bukan istilah yang tepat, tapi aku menginginkan jawaban, jadi kupikir lebih baik tidak usah cari gara-gara.”
Wajah Jacob berubah cerah mendengarnya, dan ia tertawa.
"Aku memikirkanmu. Dia tidak suka, ya?”
"Aku? Memikirkanku bagaimana?”
Jacob tertawa, kali ini bernada mengejek. "Aku mengingat keadaanmu waktu kau ditemukan Sam malam
itu – aku melihat itu dalam pikirannya, jadi rasanya seolaholah aku juga ada di sana; kenangan itu selalu menghantui Sam, kau tahu. Kemudian aku mengingat bagaimana keadaanmu waktu kau pertama kali datang ke rumahku.
Berani taruhan, kau pasti bahkan tidak sadar berapa kusutnya penampilanmu waktu itu, Bella. Bermingguminggu
kemudian baru kau terlihat seperti manusia lagi. Dan aku ingat bagaimana kau dulu selalu mendekap
tubuhmu sendiri, seperti berusaha memegangi tubuhmu agar tidak hancur...” Jacob meringis, kemudian
menggeleng. "Mengingat betapa sedihnya kau waktu itu saja aku tidak tega, padahal itu bukan salahku. Jadi kupikir pasti lebih berat lagi bagi dia. Dan menurutku, dia harus melihat akibat yang ditimbulkan olehnya.”
Kupukul bahu Jacob. Tanganku kesakitan, "Jacob Black, jangan pernah lakukan hal seperti itu lagi! Janji kau tidak akan berbuat begitu.”
"Enak saja. Sudah berbulan-bulan aku tidak merasakan keasyikan seperti itu.”
"Tolonglah, Jake...”
"Oh, tenanglah, Bella. Memangnya kapan aku akan bertemu dia lagi? Jangan mengkhawatirkan soal itu.”
Aku berdiri, dan Jacob langsung menyambar tanganku begitu aku beranjak menjauh, Aku berusaha menarik
tanganku dari pegangannya.
"Aku mau pulang, Jacob.”
"Tidak, jangan pergi dulu.” protesnya, tangannya semakin erat mencengkeram tanganku. "Maafkan aku.
Dan... oke, aku tidak akan melakukannya lagi. janji.”
Aku mendesah, "Trims, Jake.”
“Ayolah, kita kembali ke rumahku,” ajak Jacob penuh semangat.
"Sebenarnya, aku benar-benar harus pergi. Aku ditunggu Angela Weber, dan aku tahu Alice khawatir. Aku tidak
mau membuatnya terlalu kalut.”
"Tapi kau kan baru sampai di sini!"
"Rasanya memang seperti itu.” aku sependapat. Kupandangi matahari, yang entah bagaimana sudah berada
tepat di atas kepala. Bagaimana waktu bisa berlalu secepat itu?
Alis Jacob bertaut di atas matanya. "Entah kapan aku bisa bertemu lagi denganmu,” katanya sedih,
“Aku akan kembali kalau dia pergi lagi nanti,” janjiku impulsif.
"Pergi?" Jacob memutar bola matanya. "Cara yang manis untuk menggambarkan apa yang dia lakukan. Dasar parasit menjijikkan.”
"Kalau kau tidak bisa bersikap manis, aku tidak akan  kembali sama sekali!" ancamku, berusaha menarik
tanganku dari genggamannya. Jacob menolak melepaskan aku.
"Waduh, jangan marah,” katanya, nyengir. "Reaksi spontan.”
"Kalau aku mau berusaha kembali lagi ke sini, aku perlu meluruskan sesuatu denganmu, oke?"
Jacob menunggu.
"Begini.” Aku menjelaskan. "Aku tidak peduli siapa vampir dan siapa werewolf. Itu tidak relevan. Kau Jacob, dan dia Edward, dan aku Bella. Hal lain di luar itu, tidaklah penting.”
Mara Jacob menyipit sedikit, "Tapi aku memang werewolf,” katanya dengan sikap tidak rela, "Dan dia
memang vampir,” imbuhnya dengan sikap yang kentara sekali jijik.
"Dan aku Virgo!" teriakku, sebal.
Jacob mengangkat alis, menilai ekspresiku dengan sorot ingin tahu, Akhirnya ia mengangkat bahu.
"Kalau kau benar-benar bisa melihatnya seperti itu...”


"Aku bisa. Sungguh"
"Oke. Hanya Bella dan Jacob. Tidak ada makhluk mengerikan bernama Virgo di sini.” Jacob tersenyum

padaku, senyum hangat familier yang sangat kurindukan. Aku merasakan senyumku sendiri merekah, menanggapi senyumnya.
"Aku benar-benar kehilangan kau, Jake,” aku mengakui dengan sikap impulsif.
"Aku juga,” senyum Jacob melebar. Sorot matanya bahagia dan jernih, sekali itu bebas dari sorot kegetiran
penuh amarah. "Lebih dari yang kauketahui. Kau akan datang lagi nanti?"
"Secepat aku bisa,” aku berjanji.



0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates