Eclipse Indonesia 9
9. TARGET
ALICE mengantarku pulang paginya, untuk mempertahankan kedok pesta semalam
suntuk. Tak lama
kemudian baru Edward akan datang, secara resmi kembali dari perjalanan
"hiking"-nya. Semua kepura-puraan ini mulai membuatku muak. Aku tidak
akan merindukan bagian ini dari kehidupan manusiaku kelak.
Charlie mengintip lewat jendela depan begitu mendengarku membanting pintu
mobil. Ia melambai kepada Alice, kemudian membukakan pintu untukku.
"Senang, tidak?" tanya Charlie.
"Tentu saja, sangat senang. Sangat... cewek.”
Aku membawa barang-barangku masuk, menjatuhkan semuanya di kaki tangga, lalu ke
dapur mencari camilan.
"Ada pesan untukmu.” seru Charlie.
Di konter dapur, notes khusus untuk menulis pesan telepon disandarkan secara
mencolok pada wajan.
Jacob menelepon, tulis Charlie. Katanya dia tidak sungguh-sungguh dan dia minta
maaf. Kau
diminta meneleponnya. Baik-baiklah dengannya, kedengarannya dia kalut.
Aku meringis. Tidak biasanya Charlie mengedit pesanpesanku. Masa bodoh kalau
Jacob kalut. Aku tidak ingin bicara dengannya. Terakhir kali kudengar, mereka
tidak mengizinkan telepon dari pihak lawan. Kalau Jacob lebih
suka aku mati, mungkin sebaiknya ia membiasakan diri aku tak ada.
Selera makanku hilang. Aku berbalik dan pergi untuk menyimpan barang-barangku.
"Kau tidak akan menelepon Jacob?" tanya Charlie. Ia bersandar di
dinding ruang tamu, mengawasiku mengambil
barang-barang.
"Tidak.”
Aku mulai melangkah menaiki tangga.
"Itu bukan sikap yang baik, Bella,” tegur Charlie.
"Memaafkan itu perintah Tuhan.”
"Urus saja urusanmu sendiri.” gerutuku pelan, saking pelannya hingga pasti
tidak terdengar Charlie,
Aku tahu cucian pasti menumpuk, jadi setelah menyimpan pasta gigi dan melempar
baju-baju kotorku ke
keranjang cucian kotor, aku pergi ke kamar Charlie untuk melepas seprai.
Kutaruh seprainya di onggokan dekat
puncak tangga, lalu pergi untuk melepas sepraiku sendiri, Aku berhenti sebentar di samping tempat
tidur,
menelengkan kepala ke satu sisi.
Mana bantalku? Aku berjalan berkeliling, menyapukan pandangan ke seisi kamar.
Tidak ada bantal. Aneh,
kamarku terkesan sangat rapi. Bukankah kemarin ada kaus abu-abu disampirkan di tiang
ranjang bagian bawah? Dan berani sumpah, seingatku ada kaus kaki kotor di
sandaran kursi goyang, juga blus merah yang kujajal dua hari lalu, tapi tidak
jadi kupakai karena kuanggap terlalu resmi untuk dipakai ke sekolah, tersampir
di lengan kursi goyang...
Dengan cepat aku berbalik lagi. Keranjang cucianku tidak kosong, tapi isinya
juga tidak menggunung, seperti
perkiraanku tadi. Apakah Charlie mencuci pakaianku? Tidak biasanya ia berbuat
begitu.
"Dad, kemarin Dad mencuci, ya?” teriakku dari ambang pintu.
"Ehm, tidak.” Charlie balas berteriak, terdengar
bersalah. "Kau mau aku mencuci?"
"Tidak, aku saja. Kemarin Dad masuk ke kamarku untuk mencari
sesuatu?"
"Tidak. Kenapa?"
"Mmm... blusku ada yang hilang.”
“Aku tidak masuk ke sana.”
Kemudian aku ingat Alice datang ke sini untuk mengambil piamaku. Aku tidak
sadar ia juga meminjam
bantalku-mungkin karena selama di sana aku menolak tidur di tempat tidur.
Kelihatannya ia sekalian berbenah,
mumpung sedang di sini. Aku jadi malu karena kamarku begitu berantakan.
Tapi blus merah itu sebenarnya belum kotor, jadi aku beranjak ke keranjang
cucian untuk mengambilnya lagi.
Aku mengira akan menemukan blus itu di tumpukan paling atas, tapi ternyata
tidak ada. Aku tahu mungkin aku
mulai paranoid, tapi sepertinya ada barang lain yang hilang, atau mungkin lebih
dari satu barang. Soalnya pakaian kotor yang ada di sini sedikit sekali.
Kurenggut seprai dari tempat tidur lalu bergegas menuju ruang cuci, menyambar
pakaian kotor Charlie dalam
perjalanan ke sana. Mesin cuci juga kosong. Aku juga mengecek mesin pengering,
separuh berharap bakal
menemukan pakaian yang sudah dicuci di sana, setelah Alice mencucinya. Nihil.
Aku mengerutkan kening, bingung.
"Sudah ketemu yang dicari?' teriak Charlie.
"Belum.”
Aku kembali ke lantai atas untuk mencari di kolong tempat tidur. Tidak ada
apa-apa kecuali sandal kamar. Aku
mulai mengaduk-aduk laci lemari. Mungkin aku lupa telah menyimpan blus merah
itu. Aku menyerah ketika bel pintu berbunyi. Itu pasti Edward.
"Pintu,” seru Charlie dari sofa waktu aku melesat melewatinya.
"Jangan sewot begitu, Dad.”
Kubuka pintu depan dengan senyum lebar tersungging di wajah. Mata emas Edward
membelalak lebar, cuping hidungnya kembang-kempis, mulutnya menyeringai,
menampakkan giginya.
"Edward?" Suaraku tajam karena syok begitu membaca
ekspresinya. “Apa-?”
Edward meletakkan telunjuknya ke bibirku. "Beri aku waktu dua detik.”
bisiknya. “Jangan bergerak.”
Aku berdiri terpaku di ambang pintu dan Edward... menghilang. Ia bergerak
begitu cepat hingga Charlie takkan
mungkin melihatnya lewat. Belum sempat pulih dari kekagetanku untuk menghitung
sampai dua, Edward sudah kembali. Ia memeluk pinggangku dan menarikku dengan
gesit ke dapur. Matanya
menyapu cepat seisi ruangan, dan ia merapatkan tubuhku ke tubuhnya seolah-olah
melindungiku dari sesuatu. Aku melirik Charlie yang duduk di sofa, tapi ayahku
sengaja mengabaikan kami.
"Barusan ada yang datang ke sini.” bisik Edward di telingaku setelah
menarikku ke ujung dapur. Nadanya
tegang; sulit mendengarnya di tengah berisiknya suara mesin cuci.
"Berani sumpah, tidak ada werewolf...” kataku.
"Bukan mereka,” Edward buru-buru menyela, menggelengkan kepala.
"Salah seorang dari kami."
Dari nadanya kentara sekali yang ia maksud bukanlah salah seorang anggota keluarganya.
Aku merasa darah surut dari wajahku, "Victoria?"
tanyaku, suaraku tercekat.
"Aku tidak mengenali baunya.”
"Salah seorang keluarga Volturi,” aku menduga.
"Mungkin.”
"Kapan?"
"Itulah sebabnya menurutku ini salah seorang dari mereka-karena kejadiannya
belum lama, pagi-pagi sekali,
waktu Charlie masih tidur. Dan siapa pun itu, dia tidak menyentuh Charlie, jadi
pasti ada tujuan lain.”
"Mencariku.”
Edward tidak menyahut. Tubuhnya membeku, seperti patung.
"Kenapa kalian bisik-bisik begitu?" tanya Charlie curiga, mendadak
muncul dengan membawa mangkuk popcorn
yang sudah kosong. Aku merasa mual. Ada vampir datang ke rumah mencariku saat
Charlie sedang tidur. Panik melandaku, membuat kerongkonganku bagai tercekik.
Aku tak mampu menjawab, hanya memandangi Charlie dengan sangat ketakutan.
Ekspresi Charlie berubah. Mendadak ia nyengir. "Kalau kalian sedang
bertengkar... well, aku tidak mau
mengganggu.”
Masih nyengir, Charlie meletakkan mangkuknya di bak cuci, lalu melenggang
keluar ruangan.
"Ayo kira pergi.” ajak Edward dengan suara pelan yang kaku.
"Tapi Charlie!" Perasaan takut itu meremas dadaku, membuatku sulit
bernapas,
Edward menimbang-nimbang sejenak, dan sejurus kemudian tangannya sudah memegang
ponsel.
"Emmett,” gumam Edward di corong telepon. Ia mulai berbicara cepat sekali
hingga aku tidak memahami katakatanya. Pembicaraan selesai dalam setengah
menit. Lalu ia kembali menarikku ke pintu.
"Emmett dan Jasper sedang dalam perjalanan ke sini,” bisiknya saat
merasakan penolakanku, "Mereka akan
menyisir hutan. Charlie aman.”
Lalu kubiarkan Edward menyeretku, terlalu panik untuk bisa berpikir jernih.
Charlie masih memandangku dengan
cengiran puas, namun ketika ia melihat mataku yang memancarkan sorot ketakutan,
tatapannya serta-merta
berubah jadi bingung. Edward sudah berhasil menyeretku ke luar pintu sebelum
Charlie sempat mengatakan apa-apa.
"Kita mau ke mana?" Aku masih terus berbisik-bisik, bahkan setelah
kami berada di mobil.
"Kita akan bicara dengan Alice,” kata Edward, volumenya normal tapi
nadanya muram.
"Menurutmu mungkin dia melihat sesuatu?"
Edward memandang lurus ke jalan dengan mata menyipit. "Mungkin.”
Mereka menunggu kami, karena sudah diperingatkan Edward melalui telepon.
Rasanya seperti berjalan
memasuki museum, semua berdiri diam seperti patung dalam berbagai variasi pose
stres.
"Apa yang terjadi?” tuntut Edward begitu kami masuk melewati pintu. Aku
syok melihatnya memelototi Alice,
kedua tangan terkepal marah. Alice berdiri dengan kedua lengan terlipat erat di
dada. Hanya bibirnya saja yang bergerak-gerak. "Aku sama sekali tidak
tahu. Aku tidak melihat apa-apa.”
"Bagaimana hisat' desis Edward.
"Edward,” sergahku, menegurnya secara halus, Aku tidak suka ia berbicara
sekasar itu pada Alice.
Carlisle menyela dengan nada menenangkan. "Ini bukan ilmu pasti, Edward.”
"Orang itu masuk ke kamarnya, Alice. Bisa saja dia ada di sana-menunggu
Bella.”
"Aku pasti akan melihatnya.”
Edward melontarkan kedua tangannya dengan sikap putus asa. "Betulkah? Kau
yakin?"
Suara Alice dingin waktu menjawab. "Kau sudah menyuruhku berjaga-jaga,
melihat kalau-kalau keluarga
Volturi sudah mengambil keputusan, melihat apakah Victoria kembali, mengawasi
setiap langkah Bella. Mau
menambahkan tugas lain? Apakah aku juga harus mengawasi Charlie, atau kamar
Bella, atau rumahnya, atau
seantero jalannya sekalian? Edward, kalau terlalu banyak yang harus kulakukan. selalu
ada kemungkinan ada yang luput dari perhatian.”
"Kelihatannya memang sudah ada yang luput dari perhatian,” bentak Edward.
"Keselamatan Bella tidak pernah terancam. Tidak ada yang perlu dilihat.” .
"Kalau kau memang mengawasi Italia, kenapa kau tidak melihat mereka
mengirim...”
"Kurasa pelakunya bukan orang suruhan mereka.” bantah Alice bersikeras.
"Kalau suruhan mereka, aku pasti
bisa melihatnya.”
"Siapa lagi yang akan membiarkan Charlie hidup?" Aku bergidik.
"Entahlah,” jawab Alice.
"Membantu sekali.”
"Hentikan, Edward,” bisikku.
Edward berpaling padaku, wajahnya masih terlihat garang, rahangnya terkatup
rapat. Ia menatapku galak
selama setengah detik, kemudian, tiba-tiba, mengembuskan napas. Matanya
membelalak dan rahangnya mengendur.
"Kau benar, Bella. Maafkan aku.” Dipandanginya Alice.
"Maafkan aku, Alice. Seharusnya aku tidak melampiaskannya padamu. Ini
sungguh keterlaluan.”
"Aku mengerti.” Alice meyakinkan Edward. "Aku juga bingung
memikirkannya."
Edward menarik napas dalam-dalam. "Oke, mari kita telaah dengan pikiran
logis. Apa saja kemungkinannya?"
Seketika itu juga ketegangan yang dirasakan semua orang tampak mencair. Alice
rileks dan bersandar ke
punggung sofa. Carlisle berjalan pelan-pelan menghampiri Alice, matanya menerawang
jauh. Esme duduk di sofa di depan Alice, melipat kakinya ke kursi. Hanya
Rosalie yang tetap tak bergerak, berdiri memunggungi kami, memandang ke dinding
kaca.
Edward mendudukkan aku di sofa dan aku duduk di sebelah Esme, yang mengubah
posisi dan merangkul
bahuku. Edward menggenggam sebelah tanganku erat-erat dengan kedua tangan.
"Victoria?" tanya Carlisle.
Edward menggeleng. "Bukan, Aku tidak mengenali baunya. Mungkin salah
seorang anak buah Volturi, yang
belum pernah kutemui.”
Alice menggeleng. “Aro belum menyuruh siapa pun mencari Bella. Aku pasti akan
melihatnya. Aku sedang
menunggu hal itu.”
Edward tersentak. "Kau mengawasi datangnya perintah resmi.”
"Jadi menurutmu ada yang bertindak sendiri? Kenapa?"
"Ide Cains,” duga Edward, wajahnya kembali menegang.
"Atau Jane .. ,” kata Alice. "Mereka sama-sama memiliki kemampuan
untuk mengirimkan vampir yang tidak
dikenal."
Edward memberengut. "Dan sama-sama punya motivasi"
"Tapi itu tidak masuk akal,” tukas Esme. "Siapa pun itu, kalau dia
bermaksud menunggu Bella, Alice pasti akan
melihatnya. Dia tidak bermaksud mencelakakan Bella. Atau Charlie, dalam hal
ini.” Aku mengkeret mendengar nama ayahku disebut.
"Tenanglah, Bella,” bisik Esme, mengelus-elus rambutku.
"Tapi apa tujuannya, kalau begitu?" Carlisle merenung.
"Mengecek apakah aku masih manusia?" aku menduga.
"Mungkin,” Carlisle membenarkan.
Rosalie mengembuskan napas, cukup keras untuk terdengar olehku. Ia sudah
mencair dari kebekuannya, dan
wajahnya kini berpaling ke dapur dengan sikap penuh harap. Edward, di lain
pihak, terlihat kecewa. Emmett menerjang masuk melalui pintu dapur, Jasper tepat
di belakangnya.
"Sudah pergi, berjam-jam yang lalu.” Emmett mengumumkan, kecewa.
"Jejaknya mengarah ke Timur, kemudian selatan, dan menghilang ke jalan
kecil. Ada mobil yang menunggu di sana.”
"Sial,” gerutu Edward. "Padahal kalau dia pergi ke barat... well,
akhirnya anjing-anjing itu akan berguna.”
Aku meringis, dan Esme mengusap bahuku.
Jasper menatap Carlisle. "Kami tidak mengenalinya. Tapi ini.” Jasper
mengulurkan sesuatu yang berwarna hijau
dan kisut. Carlisle menerimanya dan mendekatkan benda itu ke wajahnya. Kulihat,
saat benda itu berpindah tangan, ternyata itu ranting pakis yang patah.
"Mungkin kau mengenali baunya.”
"Tidak.” jawab Carlisle. "Tidak kenal. Bukan seseorang yang pernah
bertemu denganku."
"Mungkin kita semua salah duga. Mungkin ini hanya kebetulan... ,” Esme
mulai menyampaikan pemikirannya,
tapi terhenti saat melihat semua mata memandangnya dengan sorot tak percaya.
"Maksudku, bukan kebetulan ada orang asing memilih datang ke rumah Bella
secara acak.
Maksudku, mungkin saja orang itu hanya ingin tahu. Bau kita menempel kuat di
tubuh Bella. Mungkinkah dia
penasaran apa yang menarik kita ke sana?"
"Kalau begitu, kenapa dia tidak langsung datang ke sini? Kalau dia memang
hanya ingin tahu?" tuntut Emmett.
"Kalau kau pasti akan berbuat begitu,” kata Esme dengan senyum sayang yang
tiba-tiba merekah. "Tapi
vampir lain belum tentu melakukan hal yang sama.
Keluarga kira sangat besar-bisa jadi dia takut. Tapi Charlie tidak
diapa-apakan. Jadi belum tentu dia musuh.”
Hanya penasaran. Seperti James dan Victoria dulu juga penasaran, pada awalnya?
Membayangkan Victoria saja
sudah membuatku gemetar, walaupun satu hal yang sangat mereka yakini adalah, tamu tak diundang ini
bukan
Victoria. Kali ini bukan. Victoria akan tetap pada pola obsesifnya. Ini pasti
vampir lain, vampir asing.
Pelan tapi pasti, aku akhirnya menyadari jumlah vampir di dunia ini ternyata
lebih banyak daripada yang awalnya
kukira. Seberapa sering sebenarnya manusia berpapasan dengan mereka, tapi tidak
menyadarinya? Berapa banyak kematian, yang dilaporkan sebagai korban kejahatan
dan kecelakaan, yang sebenarnya diakibatkan para vampir kehausan? Sesesak apa
sebenarnya dunia baru ini nanti saat aku akhirnya bergabung?
Masa depan yang masih terbungkus rapat itu membuat sekujur tubuhku bergidik. Keluarga
Cullen memikirkan perkataan Esme barusan dengan ekspresi berbeda-beda. Kentara
sekali Edward tidak menerima teori itu, sementara Carlisle sangat ingin menerimanya.
Alice mengerucutkan bibir, "Menurutku tidak begitu. Waktunya terlalu
tepat... Tamu tak diundang itu sangat
berhati-hati untuk tidak melakukan kontak. Seolah-olah dia tahu kalau dia menyentuh
sesuatu, aku akan melihatnya.”
"Mungkin dia punya alasan lain untuk tidak menyentuh sesuatu.” Esme
mengingatkan Alice.
"Apakah penting mengetahui siapa tamu tak diundang itu?" tanyaku.
"Yang jelas, memang ada yang mencariku...apakah itu bukan alasan yang
cukup kuat? Sebaiknya kita tidak menunggu sampai kelulusan.”
"Tidak, Bella,” sergah Edward cepat. "Masalahnya tidak segawat itu.
Kalau kau benar-benar dalam bahaya, kami
pasti akan tahu.”
"Pikirkan Charlie,” Carlisle mengingatkanku. "Pikirkan betapa
sedihnya dia kalau kau tiba-tiba menghilang.”
"Aku justru memikirkan Charlie! Justru karena aku mengkhawatirkan dia!
Bagaimana kalau tamu tak diundang
itu kebetulan haus semalam? Selama aku berada di dekat Charlie, dia juga akan
menjadi target. Kalau terjadi apa-apa padanya, itu semua salahku!"
"Itu tidak benar, Bella,” kata Esme, menepuk-nepuk kepalaku. "Dan
Charlie akan baik-baik saja. Kita hanya
harus lebih berhati-hati.”
"Lebih berhati-hati," ulangku dengan nada tidak percaya.
"Semua pasti beres, Bella,” janji Alice; Edward meremas tanganku.
Dan jelaslah bagiku, saat melihat wajah-wajah rupawan mereka satu demi satu,
bahwa apa pun yang kukatakan,
takkan bisa mengubah pendirian mereka. Dalam perjalanan pulang, kami lebih
banyak diam. Aku frustrasi. Meski sudah menyampaikan alasan yang kedengarannya
masuk akal, aku masih tetap manusia.
"Kau tidak akan sendirian sedetik pun.” Edward berjanji saat mengantarku
pulang ke rumah Charlie.
“Akan selalu ada yang menjagamu. Emmett, Alice, Jasper...”
Aku mendesah. "Konyol, Mereka pasti akan bosan setengah mati.
Jangan-jangan mereka sendiri yang akan
membunuhku nanti, hanya supaya ada kerjaan."
Edward memandangiku masam. "Lucu sekali, Bella.” Suasana hati Charlie
sedang bagus waktu kami sampai di
rumah. Ia melihat ketegangan di antara aku dan Edward, dan salah mengartikannya.
Diawasinya kesibukanku memasak makan malam dengan senyum kemenangan tersungging
di wajahnya. Edward pergi sebentar, untuk
melihat-lihat keadaan, asumsiku, tapi Charlie menunggu sampai Edward kembali
untuk menyampaikan pesan yang ia terima.
"Jacob menelepon lagi.” kata Charlie begitu Edward datang.
Kubiarkan wajahku datar tanpa ekspresi saat meletakkan piring di hadapannya.
"Benarkah?"
Charlie mengernyit. "Jangan picik begitu, Bella. Kedengarannya dia merana
sekali.”
"Jacob membayar Dad jadi humasnya, atau Dad membantunya secara
sukarela?"
Charlie menggerutu panjang-pendek tidak jelas padaku sampai makanan tiba dan
membungkam omelannya.
Meski tidak menyadarinya, teguran Charlie tadi tepat mengenal sasaran.
Hidupku memang bagaikan permainan ular tangga sekarang ini-apakah aku akan
dapat ular saat dadu
berikutnya dilemparkan? Bagaimana kalau benar-benar terjadi sesuatu pada diriku
nanti? Rasanya aku lebih dari
sekadar picik jika aku membiarkan Jacob merasa bersalah atas apa yang dia
katakan tadi. Tapi aku tidak mau bicara dengannya saat Charlie ada, karena aku
harus sangat berhati-hati agar tidak salah omong. Memikirkan ini membuatku iri
pada hubungan Jacob dan Billy. Betapa mudahnya hidup kalau tak ada yang perlu
kaurahasiakan dari orang yang tinggal serumah denganmu.
Kuputuskan untuk menunggu sampai esok pagi, Besar kemungkinan aku tidak akan
mati malam ini, jadi tak ada
salahnya membuat Jacob merasa bersalah hingga dua belas jam lagi. Bahkan mungkin
itu bagus Untuk memberinya pelajaran.
Setelah Edward berpamitan malam ini, aku bertanyatanya dalam hati siapa
gerangan yang akan bertugas di
tengah hujan deras malam ini, menjaga Charlie dan aku, Aku merasa tak enak hati
pada Alice atau siapa pun
orangnya, meski tak urung merasa tenang juga. Harus kuakui itu melegakan, tahu
aku tidak sendirian. Dan
Edward kembali secepat kilat. Lagi,lagi Edward meninabobokan aku sampai
tertidur dan-menyadari bahwa dia ada meskipun aku sedang tidurtidurku nyenyak
sekali, bebas dari mimpi buruk.
Esok paginya, Charlie sudah berangkat memancing bersama Deputi Mark sebelum aku
bangun. Kuputuskan
untuk memanfaatkan waktu kosong tanpa pengawasan ini untuk berbuat baik.
"Aku akan membebaskan Jacob dari perasaan bersalahnya.” aku mewanti-wanti
Edward begitu selesai
sarapan.
"Sudah kuduga kau pasti akan memaafkan dia.” Edward menanggapi sambil tersenyum
enteng. "Kau memang tidak berbakat mendendam.”
Aku memutar bola mata, tapi senang mendengarnya. Kelihatannya Edward
benar-benar sudah tidak
mempermasalahkan pergaulanku dengan werewolf. Aku tidak melihat jam sampai
setelah menghubungi
nomor telepon rumah Jacob. Ternyata masih agak terlalu pagi untuk menelepon,
dan aku sempat khawatir akan membangunkan Billy dan Jake, tapi teleponku
langsung diangkat pada deringan kedua, jadi dia pasti tidak sedang jauh-jauh
dari pesawat telepon.
"Halo?" sebuah suara muram menyahut.
"Jacob."
"Bella!" pekiknya. "Oh, Bella, aku benar-benar minta maaf!"
Kata-kata itu berhamburan susul-menyusul dari
mulut Jacob, begitu terburu-buru ingin mengungkapkan semuanya. "Sumpah,
aku tidak bermaksud berkata begitu. Aku memang bodoh. Aku marah – tapi itu
bukan alasan, Itu hal paling bodoh yang pernah kuucapkan seumur hidup dan aku
minta maaf. jangan marah padaku, please? Please. Seumur hidup jadi budakmu pun
aku mau – asal kau mau memaafkanku.”
"Aku tidak marah, Kau sudah dimaafkan.”
"Terima kasih.” Jacob mengembuskan napas keraskeras.
''Aku tak percaya aku bisa sebodoh itu.”
"Jangan khawatir soal itu-aku sudah terbiasa.”
Jacob tertawa, lega bukan main. "Datanglah ke sini.” pintanya. "Aku
ingin membayar kelakuan burukku
kemarin.”
Aku mengerutkan kening. "Bagaimana caranya?"
"Apa saja yang kau mau. Terjun dari tebing.” Jacob mengusulkan, tertawa
lagi.
"Oh, itu baru ide brilian.”
''Aku akan menjagamu.” janji Jacob. "Apa pun yang ingin kaulakukan.”
Kulirik Edward. Wajahnya sangat tenang, tapi aku yakin sekarang bukan saat yang
tepat.
"Tidak sekarang.”
"Dia tidak suka padaku, kan? Sekali ini suara Jacob lebih terdengar malu
ketimbang getir.
"Bukan itu masalahnya. Ada... well, ada masalah lain yang sedikit lebih
mengkhawatirkan daripada werewolf
remaja yang bandel...” Aku berusaha memperdengarkan nada bergurau, tapi
ternyata tak berhasil mengelabui Jacob.
''Ada apa?" tuntutnya.
"Ehm.” Aku tak yakin apakah sebaiknya memberitahu dia.
Edward mengulurkan tangan padaku, meminta untuk bicara pada Jacob. Kupandangi
wajahnya dengan saksama. Sepertinya Edward cukup tenang.
"Bella?" tanya Jacob.
Edward mendesah, tangannya terulur semakin dekat.
"Apa kau keberatan bicara dengan Edward?" tanyaku, was-was. "Dia
ingin bicara denganmu.” Jacob terdiam
lama sekali.
"Oke.” Jacob akhirnya setuju, "Ini pasti menarik.” Kuserahkan gagang
telepon kepada Edward; mudahmudahan
ia membaca sorot peringatan di mataku. "Halo, Jacob,” sapa Edward, sopan
sekali. Sunyi. Aku menggigit bibir, berusaha menebak bagaimana Jacob menanggapi
sapaan Edward.
"Ada yang datang ke sini... baunya tidak kukenal.”
Edward menjelaskan. "Apakah
kawananmu menemukan sesuatu yang baru?"
Diam lagi, sementara Edward mengangguk-angguk, tidak terkejut.
"Jadi begini, Jacob. Aku tidak akan melepaskan pengawasanku terhadap Bella
sampai masalah ini beres.
Harap jangan tersinggung."
Jacob memotong kata-kata Edward, dan aku bisa mendengar dengung suaranya dari
corong telepon, Apa pun
yang ia katakan, kedengarannya lebih bersungguh-sungguh daripada sebelumnya.
Aku tidak bisa mendengar kata-kata Jacob.
"Mungkin kau benar...,” Edward mulai berbicara, tapi Jacob mendebatnya
lagi. Setidaknya, kedengarannya
mereka tidak marah.
"Usul yang menarik. Kami sangat bersedia melakukan negosiasi ulang. Jika
Sam setuju.”
Suara Jacob kini lebih pelan. Aku mulai menggigit-gigit ibu jariku saat
berusaha membaca ekspresi Edward.
"Terima kasih.” sahut Edward.
Lalu Jacob mengatakan sesuatu yang membuat ekspresi kaget melintas di wajah
Edward.
"Sebenarnya, aku berencana pergi sendiri.” Kata Edward, menjawab
pertanyaan yang tidak disangka-sangka
itu, "Supaya yang lainnya bisa menjaga Bella.”
Suara Jacob naik satu oktaf dan kedengarannya ia berusaha meyakinkan Edward.
"Aku akan berusaha mempertimbangkannya secara objektif,” Edward berjanji.
"Seobjektif yang mampu
kulakukan.” Kali ini diamnya lebih pendek.
"Idemu tidak buruk, Kapan? ...Tidak, tidak apa-apa. Sebenarnya aku sendiri
juga ingin mengikuti jejaknya.
Sepuluh menit... tentu.” kata Edward. Ia menyodorkan telepon padaku.
"Bella?"
Pelan-pelan aku menerimanya, bingung.
"Apa yang kalian bicarakan tadi?" aku bertanya pada Jacob, suaraku
jengkel. Aku tahu ini kekanak-kanakan, tapi
aku merasa tersisih.
"Gencatan senjata, kurasa. Hei, kau bisa membantuku.” Jacob menyarankan.
"Cobalah meyakinkan si pengisap
darah bahwa tempat teraman untukmu-terutama saat dia tidak ada-adalah di
reservasi. Kami mampu mengatasi
masalah apa pun.”
"Jadi itukah yang tadi kauusulkan padanya?”
"Ya. Masuk akal, kan? Mungkin sebaiknya Charlie berada di sini juga.
Sesering mungkin.”
"Minta Billy membujuknya.” aku setuju. Aku tidak suka membayangkan Charlie
berada dalam jangkauan sasaran
tembak yang sepertinya selalu terarah padaku. "Apa lagi?"
"Hanya mengatur ulang beberapa perbatasan, supaya kami bisa menangkap siapa
pun yang berada terlalu dekat dengan Forks. Aku tidak yakin apakah Sam mau melakukannya,
tapi sampai dia bisa diyakinkan, aku akan
terus berjaga-jaga.”
"Apa maksudmu 'berjaga-jaga’?''
"Maksudku, kalau kau melihat serigala berlari-lari di sekitar rumahmu,
jangan ditembak.”
"Tentu saja tidak. Tapi tidak seharusnya kau melakukan... hal-hal riskan.”
Jacob mendengus. "Jangan bodoh, Aku bisa menjaga diri.”
Aku mendesah.
"Aku juga berusaha meyakinkan dia untuk membiarkanmu datang berkunjung.
Dia tidak suka pada
kami, jadi jangan termakan ocehannya tentang keselamatan. Dia sama tahunya
dengan aku, bahwa kau
pasti aman di sini.”
"Akan kuingat baik-baik.”
"Sampai ketemu sebentar lagi.” kata Jacob.
"Kau akan ke sini?"
"Yeah. Aku akan mengendus bau si tamu tak diundang supaya kami bisa
melacaknya kalau dia kembali nanti.”
"Jake, aku benar-benar tidak suka membayangkan kau melacak...”
"Oh please, Bella,” selanya. Jacob tertawa, kemudian menutup telepon.
0 komentar:
Post a Comment