Eclipse Indonesia 6
6. SWISS
SAAT mengendarai truk pulang, aku tidak terlalu memerhatikan jalan yang
berkilau basah tertimpa cahaya
matahari. Aku sibuk memikirkan berbagai informasi yang diceritakan Jacob padaku
tadi, berusaha memilah-milahnya, menjejalkan semua ke kepalaku agar terdengar
masuk akal.
Meski bebanku menumpuk, aku merasa lebih ringan. Melihat Jacob tersenyum, semua
rahasia dibeberkan...
memang tidak membuat situasi sempurna, tapi toh jadi lebih baik. Keputusanku untuk
pergi memang benar. Jacob membutuhkanku. Dan jelas, pikirku sambil menyipitkan mata
menahan terik matahari, sama sekali tidak berbahaya. Mendadak itu muncul.
Sedetik sebelumnya tidak ada apa-apa kecuali jalan raya cemerlang di kaca
spionku. Detik berikutnya, cahaya matahari berkilau menerpa bodi perak mengilat
sebuah Volvo yang mengekor tepat di belakangku.
"Sial,” keluhku.
Aku sempat menimbang-nimbang untuk menepi. Tapi aku terlalu pengecut untuk
langsung menghadapi Edward.
Padahal aku berharap bakal punya waktu untuk menyiapkan diri... dan ada Charlie
di dekatku sebagai
peredam. Paling tidak itu bakal memaksa Edward memelankan suaranya. Volvo itu
membuntuti hanya beberapa meter di belakangku. Pandangan mataku tetap lurus ke
depan, Benar-benar pengecut pokoknya, aku mengendarai trukku langsung ke rumah
Angela tanpa sekali pun membalas tatapan yang bisa kurasakan membakar, melubangi
spionku.
Edward mengikutiku terus sampai aku menepikan trukku di depan rumah keluarga Weber.
Ia tidak berhenti, dan aku tidak mendongak waktu ia lewat, Aku tak ingin
melihat ekspresinya. Aku berlari-lari kecil menyusuri jalanan beton pendek yang
menuju pintu rumah Angela begitu Edward tidak tampak lagi.
Ben membuka pintu sebelum aku sempat berhenti mengetuk, seolah-olah sejak tadi
ia sudah berdiri di
belakang pintu ..
"Hai, Bella,” sapanya, kaget.
"Hai, Ben. Eh, Angela ada?" Dalam hati aku bertanyatanya apakah
Angela lupa rencana kami, dan mengernyit
ngeri membayangkan harus pulang lebih cepat.
“Ada,” jawab Ben, dan saat itu juga Angela berseru,
"Bella!" lalu muncul di puncak tangga.
Ben melongok ke balik bahuku waktu kami mendengar suara mobil di jalanan;
suaranya tidak membuatku takut –
mesin mobil ini terbatuk-batuk dulu sebelum berhenti, disusul suara letupan mesin.
Sama sekali tidak seperti dengkur halus mesin Volvo. Itu pasti tamu yang
ditunggutunggu Ben.
"Austin datang.” seru Ben waktu Angela tiba di sampingnya.
Terdengar suara klakson dari arah jalan.
"Sampai ketemu lagi nanti.” janji Ben. "Belum pergi saja aku sudah
kangen padamu.”
Ben merangkul leher Angela dan menarik kepalanya agar bisa menciumnya dengan
antusias. Sejurus kemudian
Austin kembali mengklakson.
"Daah, Ang! Aku mencintaimu!" teriak Ben sambil berlari melewatiku.
Angela limbung, wajahnya merona, lalu ia tersadar dan melambai sampai Ben dan
Austin lenyap dari pandangan. Kemudian ia berpaling padaku dan nyengir masam.
"Terima kasih karena mau membantuku, Bella,” katanya. "Ini tulus dari
dasar hatiku yang terdalam. Kau bukan hanya menyelamatkan tanganku dari cedera permanen,
tapi kau juga menyelamatkanku dari keharusan
duduk selama dua jam penuh, menonton film silat yang tidak ada plotnya dan yang
dubbing-nya buruk sekali.”
Angela mengembuskan napas lega.
"Senang bisa membantu.” Kepanikanku sedikit berkurang, dan aku bisa
bernapas lebih teratur, Rasanya
biasa sekali di sini. Drama kehidupan Angela yang ringan dan khas manusia itu
anehnya justru membuatku tenang. Senang mengetahui ternyata ada juga kehidupan
yang normal.
Kuikuti Angela menaiki tangga menuju kamarnya. Sambil berjalan ia menendangi
mainan-mainan yang
berserakan menghalangi jalan. Tidak biasanya rumah Angela sepi sekali.
"Mana keluargamu?”
"Orangtuaku membawa si kembar ke pesta ulang tahun di Port Angeles. Aku
tak percaya kau benar-benar mau
membantuku melakukan ini. Ben saja pura-pura tangannya terkilir." Angela
mengernyit.
"Aku sama sekali tidak keberatan,” kataku, berjalan memasuki kamar Angela
dan melihat tumpukan amplop
yang sudah menunggu.
"Oh!" aku terkesiap. Angela menoleh dan menatapku, sorot matanya
meminta maaf. Pantas ia menundanundanya terus. Dan pantas juga Ben memilih
menghindar.
"Kukira kau melebih-lebihkan.” aku mengakui.
"Kalau saja begitu. Yakin kau mau melakukannya?”
"Pekerjakan aku. Aku punya waktu seharian.”
Angela membagi dua tumpukan dan meletakkan buku alamat ibunya di meja, persis
di tengah-tengah. Selama
beberapa saat kami berkonsentrasi, dan yang terdengar hanya suara bolpoin kami
menggores pelan kertas.
“Apa yang dilakukan Edward malam ini?" tanya Angela beberapa menit
kemudian.
Bolpoinku menekan kuat-kuat amplop yang sedang kukerjakan. "Emmett pulang
akhir pekan ini. Sepertinya
mereka hiking.”
"Kedengarannya kau tidak yakin.” Aku mengangkat bahu.
"Kau beruntung Edward punya saudara-saudara lelaki, jadi dia bisa pergi
hiking dan kemping bersama mereka.
Entah apa yang bakal kulakukan seandainya tidak ada Austin yang mengajak Ben
melakukan kegiatan-kegiatan
khas cowok.”
"Yeah, aku tidak suka melakukan aktivitas luar ruang. Dan tidak akan bisa
mengimbangi.”
Angela tertawa. "Aku juga lebih menyukai kegiatan di dalam ruangan.”
Angela berkonsentrasi lagi ke tumpukan amplopnya. Aku menyelesaikan empat
amplop lagi. Aku tak pernah
merasa harus mengisi kesunyian dengan obrolan basa-basi jika bersama Angela.
Seperti Charlie, ia memang lebih suka berdiam diri. Tapi seperti juga Charlie,
Angela terkadang juga sangat tajam dalam menilai.
"Ada masalah?" tanyanya, suaranya rendah sekarang.
"Sepertinya kau... gelisah.”
Aku tersenyum malu-malu. "Sejelas itukah?"
"Tidak juga.”
Mungkin Angela berbohong untuk menenangkan perasaanku.
"Kau tak perlu membicarakannya kalau memang tidak mau.” Angela
meyakinkanku. "Aku akan mendengarkan
kalau kaupikir itu bisa membantu.”
Aku hampir saja mengatakan Trims, tapi tidak usah sajalah. Soalnya terlalu
banyak rahasia yang harus
kusimpan. Aku benar-benar tidak bisa mendiskusikan masalahku dengan seorang
manusia. Itu melanggar aturan. Meski begitu, keinginan itu mendadak muncul,
kuat sekali. Aku ingin berbagi pada teman perempuan yang normal. Aku ingin
mengeluh sedikit, seperti remaja-remaja umumnya. Aku ingin masalahku
sesederhana itu. Akan menyenangkan bila ada orang di luar urusan pelik yang melibatkan
vampir dan werewolf ini, yang bisa memandang masalah dalam perspektif yang
benar. Seseorang yang bisa objektif.
"Aku tidak akan ikut campur,” janji Angela, tersenyum memandangi alamat
yang sedang ditulisnya.
"Tidak.” ujarku. "Kau benar. Aku memang gelisah. Soal... soal
Edward.”
"Memangnya ada apa?"
Mudah sekali mengobrol dengan Angela. Kalau ia bertanya seperti itu, aku tahu
ia bukan sekadar ingin tahu
atau ingin mendengar gosip, seperti Jessica. Ia peduli pada kegelisahanku.
"Oh, dia marah padaku.”
"Sulit membayangkannya.” kata Angela. "Kenapa dia marah?”
Aku menarik napas. "Ingat Jacob Black?"
''Ah,'' ucapnya.
"Yeah.”
"Dia cemburu.”
"Tidak, bukan cemburu...” Seharusnya aku tadi tidak usah cerita. Toh aku
takkan bisa menjelaskan dengan benar.
Tapi aku masih ingin bicara. Baru sekarang aku menyadari berapa hausnya aku
pada obrolan manusia. "Edward
menganggap Jacob memberiku pengaruh buruk, kurasa. Sedikit... berbahaya. Kau kan
tahu bagaimana aku terlibat masalah beberapa bulan lalu... Tapi semua itu
konyol.”
Aku kaget juga melihat Angela menggeleng-gelengkan kepala.
''Apa?'' tanyaku.
"Bella, aku lihat sendiri cara Jacob Black menatapmu. Berani taruhan,
masalah sebenarnya adalah cemburu.”
"Padahal tidak ada apa-apa di antara aku dan Jacob.”
"Bagimu, mungkin. Tapi bagi Jacob...”
Keningku berkerut. "Jacob tahu bagaimana perasaanku. Aku sudah
menceritakan semua padanya.”
"Edward juga manusia, Bella. Dia akan bereaksi seperti cowok-cowok lain
juga.”
Aku meringis. Tidak bisa menanggapi. Angela menepuk-nepuk tanganku. "Dia
pasti bisa
mengatasinya.”
"Mudah-mudahan saja. Jacob sedang susah sekarang. Dia membutuhkanku.”
"Kau dan Jacob sangat dekat, ya?"
"Sudah seperti keluarga.” aku membenarkan.
"Dan Edward tidak suka padanya... Itu pasti sulit. Kirakira kalau Ben akan
menanganinya bagaimana, ya?” renung Angela.
Aku separuh tersenyum. "Mungkin seperti cowok-cowok lain juga.”
Angela nyengir. "Mungkin.”
Lalu ia mengubah topik. Angela bukan tipe orang yang suka mengorek-ngorek, dan
sepertinya ia bisa merasakan aku tidak mau-tidak bisa-bercerita lebih banyak
lagi.
"Kemarin aku mendapat kepastian soal kamar asrama. Gedung yang terjauh
dari kampus, jelas.”
"Ben sudah tahu akan dapat kamar di mana?"
"Di asrama yang terdekat dengan kampus. Beruntung benar dia. Kau sendiri
bagaimana? Sudah memutuskan mau kuliah di mana?"
Aku menunduk, berkonsentrasi pada tulisan tanganku yang jelek. Sejenak pikiranku
beralih pada Angela dan Ben yang akan kuliah di University of Washington.
Beberapa bulan lagi mereka sudah akan tinggal di Seattle. Sudah amankah kota
itu nanti? Apakah serangan vampir muda liar itu sudah akan pindah ke tempat
lain? Ataukah ada tempat lain, kota lain yang bakal muncul dan menjadi headline
pemberitaan peristiwa-peristiwa menyeramkan seperti di film horor?
Apakah headline-headline baru itu terjadi akibat salahku? Aku mencoba menepisnya
dan menjawab pertanyaannya sedetik terlambat. "Alaska, mungkin. Di
universitas di Juneau.”
Aku bisa mendengar kekagetan dalam suara Angela.
“Alaska? Oh. Sungguh? Maksudku, hebat. Aku hanya mengira kau akan pergi ke
tempat lain yang ... lebih
hangat.”
Aku tertawa kecil, mataku masih tertuju ke amplop.
"Yeah. Forks benar-benar telah mengubah perspektifku tentang kehidupan.”
"Dan Edward?" .
Walaupun nama itu membuat perutku langsung bergolak, aku mendongak dan nyengir
kepada Angela.
"Alaska juga tidak terlalu dingin bagi Edward.”
Angela balas nyengir. "Tentu saja tidak.” Lalu ia mendesah, "Itu jauh
sekali. Kau tidak akan bisa seringsering
pulang. Kau mau mengirimiku e-mail, kan?” Mendadak hatiku dilanda kesedihan;
mungkin salah kalau aku justru semakin akrab dengan Angela sekarang. Tapi
apakah justru tidak lebih menyedihkan bila kehilangan kesempatan terakhir ini? Kutepiskan
pikiran-pikiran yang tidak menyenangkan itu, agar bisa menjawab
pertanyaannya tadi dengan nada menggoda.
"Kalau aku bisa mengetik lagi sesudah ini.” Aku mengangguk ke tumpukan
amplop yang sudah selesai
kukerjakan. Kami tertawa, dan selanjutnya mudah saja bagi kami mengobrol riang
tentang kelas dan jurusan sambil menyelesaikan sisa tumpukan-yang perlu
kulakukan hanya tidak memikirkannya. Bagaimanapun ada banyak hal lain yang
lebih mendesak untuk dikhawatirkan hari ini.
Aku juga membantu Angela menempelkan prangkoprangkonya. Aku takut membayangkan
harus pulang.
"Bagaimana tanganmu?" tanyanya.
Aku meregangkan jari-jariku. "Kurasa akan pulih lagi... suatu hari nanti.”
Terdengar suara pintu dibanting di bawah, dan kami sama- sama mengangkat wajah.
“Ang?"seru Ben
Aku mencoba tersenyum, tapi bibirku bergetar. "Kurasa itu isyarat aku
harus pulang.”
"Kau tidak perlu pergi. Walaupun Ben mungkin akan menceritakan film itu
padaku...secara mendetail.”
"Charlie pasti bingung kalau aku tidak pulang.”
"Terima kasih sudah membantuku.”
"Aku menikmatinya kok. Seharusnya kita melakukan sesuatu seperti ini lagi.
Asyik rasanya bisa punya waktu
khusus cewek-cewek.”
“Jelas.”
Terdengar suara ketukan pelan di pintu kamar.
"Masuklah, Ben,” sahut Angela.
Aku berdiri dan meregangkan otot-ototku. "Hai, Bella! Bertahan juga kau
rupanya.” Ben
menyapaku cepat sebelum menggantikan tempatku di sisi Angela. Diamatinya hasil kerja
kami. "Wah, hebat. Sayang tidak ada lagi yang perlu dilakukan, kalau tidak
aku kan bisa...” Ben tidak menyelesaikan kalimatnya, kemudian mulai berbicara
lagi dengan penuh semangat. “Ang, rugi sekali kau tidak ikut nonton film ini!
Filmnya bagus sekali. Di adegan perkelahian terakhir-koreografinya keren
sekali! Cowok ini-well, kau harus menontonnya sendiri baru bisa memahami
maksudku...”
Angela memutar bola matanya padaku.
"Sampai ketemu di sekolah.” kataku tertawa gugup. Angela mendesah.
"Sampai nanti.”
Aku gelisah dalam perjalanan ke trukku, tapi jalanan kosong. Sepanjang
perjalanan sebentar-sebentar mataku
melirik ke semua spion, tapi tidak ada tanda-tanda mobil perak membuntutiku. Mobilnya
juga tidak ada di depan rumahku, meski itu tak berarti banyak.
"Bella?" seru Charlie begitu aku membuka pintu depan.
"Hai, Dad.” Aku menemukan Charlie di ruang duduk, di depan TV.
"Bagaimana harimu?"
"Menyenangkan.” jawabku. Lebih baik kuceritakan saja semua-karena Charlie
pasti juga akan mendengarnya dari Billy. lagi pula, ini akan membuatnya senang.
"Mereka tidak membutuhkanku di toko, jadi aku pergi ke La Push.”
Wajah Charlie tidak terlalu kaget. Ternyata Billy sudah bicara dengannya.
"Bagaimana kabar Jacob?" tanya Charlie, berlagak acuh tak acuh.
"Baik.” jawabku, sama tak acuhnya.
"Jadi ke rumah Weber?"
"Yep. Semua amplopnya sudah selesai diberi alamat.”
"Bagus.” Charlie menyunggingkan senyum lebar.
Tumben ia memerhatikanku, padahal di layar televisi sedang ditayangkan
pertandingan olahraga. "Aku senang
kau nongkrong dengan teman-temanmu hari ini.”
“Aku juga.”
Aku melangkah gontai ke dapur, mencari kesibukan. Sayang Charlie sudah membereskan
bekas makan siangnya. Aku berdiri di sana beberapa menit, memandangi sepetak terang
cahaya matahari yang menerangi lantai. Tapi aku tahu tak bisa rnenunda-nundanya
lebih lama lagi.
"Aku mau belajar,” kataku muram sambil beranjak menaiki tangga.
"Sampai nanti.” Charlie balas berseru.
Kalau aku masih hidup, batinku. Kututup pintu kamar dengan hati-hati sebelum
berbalik menghadap ke dalam kamar. Tentu saja Edward ada di sana. Ia berdiri di
depan dinding yang berhadapan denganku, dalam bayang-bayang di sebelah jendela
yang terbuka. Wajahnya keras dan posturnya tegang. Ditatapnya aku dengan garang
tanpa suara.
Aku mengkeret, menunggu semburan kata-kata pedasnya, tapi tidak ada yang
keluar. Ia terus menatapku
garang, mungkin terlalu marah untuk bisa bicara. "Hai.” sapaku akhirnya.
Wajah Edward bagai batu yang dipahat. Aku menghitung sampai seratus dalam hati,
tapi tidak ada
perubahan.
"Eh... nah, aku masih hidup,” aku memulai.
Geraman pelan terdengar dari dalam dadanya, tapi ekspresinya tak berubah.
"Tak kurang suatu apa pun,” aku bersikeras sambil mengangkat bahu.
Edward bergerak. Matanya terpejam, dan ia mencubit pangkal hidungnya dengan
tangan kanannya.
"Bella,” bisiknya. "Tahukah kau aku nyaris nekat menyeberangi
perbatasan hari ini? Melanggar kesepakatan
untuk mencarimu? Tahukah kau apa artinya itu?”
Aku terkesiap dan Edward membuka mata. Mata itu dingin dan keras seperti malam.
"Kau tidak boleh!" sergahku terlalu keras. Aku berusaha menyetel
volume suaraku supaya Charlie tidak mendengar, tapi aku juga ingin meneriakkan
kata-kata itu. "Edward, mereka akan menggunakan alasan apa saja untuk bertarung.
Mereka menyukai itu. Pokoknya jangan pernah melanggar aturan!"
"Mungkin bukan mereka saja yang senang bertarung.”
"Jangan macam-macam.” bentakku. "Kalian yang membuat kesepakatan
itu-jadi kalian harus menaatinya.”
"Kalau dia sampai mencelakakanmu...”
"Cukup!" potongku. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Jacob
tidak berbahaya.”
"Bella,” Edward memutar bola matanya. "Kau bukan orang yang tepat
untuk menilai apa yang berbahaya dan apa yang tidak.”
"Pokoknya aku tidak perlu khawatir soal Jake. Dan kau juga tidak perlu.”
Edward menggertakkan giginya. Kedua tangannya mengepal membentuk tinju di sisi
tubuhnya. Ia masih
berdiri di depan dinding, dan aku tidak suka ada jarak yang memisahkan kami. Aku
menghela napas dalam-dalam, dan melangkah melintasi ruangan. Edward tak
bergerak sedikit pun waktu aku merangkulnya dengan dua tangan. Di sebelah kehangatan
terakhir matahari sore yang menerobos masuk lewat jendela, kulitnya terasa
sangat dingin. Ia seperti es, membeku kaku seperti itu.
"Maaf aku membuatmu gelisah.” bisikku.
Edward mendesah, dan sedikit rileks. Kedua lengannya memeluk pinggangku.
"Gelisah tidak menggambarkan keadaan sebenarnya.” gumamnya. "Hari ini
rasanya panjang sekali.”
"Kau seharusnya tidak perlu tahu soal itu.” Aku mengingatkan Edward.
"Kupikir kau berburu lebih lama.”
Aku mendongak menatap wajah Edward, matanya yang defensif; dalam keadaan tertekan
aku tidak memerhatikan sebelumnya, tapi ternyata matanya berwarna gelap. Lingkaran
di bawah matanya berwarna ungu tua. Aku mengerutkan kening tidak suka.
"Waktu Alice melihatmu lenyap, aku langsung kembali.” Edward menjelaskan.
"Seharusnya kau tidak perlu berbuat begitu. Sekarang kau harus pergi
lagi,” Kerutan di keningku semakin dalam.
"Aku bisa menunggu.”
"Konyol. Maksudku, aku tahu Alice tidak bisa melihatku saat aku bersama
Jacob, tapi kau kan seharusnya tahu...”
"Tapi aku tidak tahu.” potong Edward. "Dan kau tidak bisa
mengharapkanku membiarkanmu...”
"Oh, ya, bisa saja.” selaku. "Memang itulah yang kuharapkan...”
"Itu tidak akan terjadi lagi."
"Benar sekali! Karena kau tidak boleh bereaksi berlebihan lagi lain kali.”
"Karena tidak akan ada lain kali.”
"Aku mengerti kapan kau harus pergi, walaupun aku tidak suka...”
"Itu lain. Aku tidak mempertaruhkan nyawaku.”
"Demikian juga aku.”
"Werewolf sama dengan risiko.”
"Aku tidak setuju.”
"Aku tidak mau bernegosiasi soal ini, Bella.”
"Aku juga tidak.”
Kedua tangan Edward kembali mengepal. Aku bisa merasakannya di punggungku. Kata-kata
itu meluncur begitu saja tanpa dipikir.
"Apakah ini benar-benar berkaitan dengan keselamatanku?"
"Apa maksudmu?" tuntutnya.
"Kau bukannya...”
Teori Angela kedengarannya lebih konyol daripada sebelumnya. Sulit sekali
menuntaskan pikiranku.
"Maksudku, kau bersikap begini bukan karena cemburu, kan?”
Edward mengangkat sebelah alis. “Apakah aku cemburu?"
"Serius dong.”
"Itu mudah – karena memang tidak ada yang lucu dalam masalah ini.”
Aku mengerutkan kening dengan sikap curiga. "Atau... mungkin ini soal
lain? Omong kosong soal vampir dan
werewolf yang jadi musuh bebuyutan? Atau ini hanya perselisihan yang dipicu
hormon testosteron...”
Sorot mata Edward berapi-api. "Ini hanya tentang kau. Yang kupedulikan
hanya soal keamananmu."
Mustahil meragukan api yang berkobar di matanya.
"Oke.” desahku. "Aku percaya. Tapi aku ingin kau tahu sesuatu – kalau
urusannya sudah menyangkut masalah
musuh bebuyutan, aku tidak mau ikut-ikut, Aku ini negara netral. Aku Swiss. Aku
menolak dipengaruhi perselisihan soal wilayah kekuasaan antar makhluk mistis.
Jacob sudah seperti keluarga sendiri. Sementara kau... well, tidak bisa dibilang
sebagai kekasih hidupku, karena aku berharap bisa mencintaimu lebih lama daripada
itu. Kekasih eksistensiku. Aku tak peduli siapa yang werewolf, dan siapa yang vampir...
Kalau Angela ternyata penyihir, dia juga bisa ikut bergabung.”
Edward memandangiku dengan mata menyipit, tak berbicara sepatah kata pun.
"Swiss,” ulangku, menandaskan.
Edward mengerutkan kening, kemudian mendesah.
"Bella...” ia hendak
mengatakan sesuatu, lalu mengurungkannya. Hidungnya mengernyit jijik.
"Apa lagi sekarang?”
"Well. jangan tersinggung, tapi baumu seperti anjing.” kata Edward.
Kemudian ia tersenyum miring, jadi aku tahu pertengkaran selesai. Untuk
sementara.
Edward harus pergi lagi untuk mengganti perburuannya yang gagal, jadi Jumat
malam nanti ia akan berangkat
bersama Jasper, Emmett, dan Carlisle ke kawasan hutan lindung di California
utara yang populasi singa gunungnya membengkak.
Kami tidak mencapai kesepakatan apa-apa soal werewolf, tapi aku tidak merasa bersalah
saat menelepon Jake – di kesempatan sempit ketika Edward harus mengembalikan Volvonya
ke rumah sebelum menyelinap masuk lewat jendela kamarku – untuk memberitahu aku
akan datang lagi Sabtu nanti. Itu bukan sembunyi-sembunyi. Edward tahu bagaimana
perasaanku. Dan kalau ia menyabotase trukku lagi, akan kusuruh Jacob
menjemputku. Forks kan wilayah netral, sama seperti Swiss-sama seperti aku. Jadi
waktu aku selesai bekerja hari Kamis dan ternyata Alice yang menungguku di
Volvo, bukan Edward, awalnya aku tidak curiga. Pintu mobil terbuka, dan musik
yang tidak kukenal menggetarkan rangka mobil saat terdengar derum suara bass.
"Hai, Alice,” teriakku, berusaha mengatasi raungan suara musik sambil naik
ke mobil. "Mana kakakmu?"
Alice menyanyi mengikuti lagu, suaranya satu oktaf lebih tinggi daripada
melodinya, menyatu dalam harmonisasi
yang rumit. Ia mengangguk padaku, mengabaikan pertanyaanku karena masih
berkonsentrasi pada musiknya.
Kututup pintu dan telingaku dengan tangan. Alice nyengir, lalu mengecilkan
volume sampai tinggal musik
latarnya saja. Kemudian ia mengunci pintu dan menginjak pedal gas pada saat
bersamaan.
"Ada apa?" tanyaku, mulai merasa tidak enak. "Mana Edward?"
Alice mengangkat bahu. "Mereka berangkat lebih awal.”
"Oh.” Aku berusaha mengendalikan kekecewaanku yang tak masuk akal. Kalau
Edward berangkat lebih awal, berarti ia akan kembali lebih cepat, aku
mengingatkan diri sendiri.
"Berhubung semua cowok pergi, jadi kita akan pesta semalam suntuk!"
teriak Alice, suaranya melengking tinggi.
"Pesta semalam suntuk?" ulangku, kecurigaanku akhirnya terbukti.
"Memangnya kau tidak senang?” kaoknya.
Kutatap mata Alice yang berbinar-binar itu selama sedetik.
"Kau menculikku, ya?”
Alice tertawa dan mengangguk. "Sampai hari Sabtu. Esme sudah mendapat izin
dari Charlie; kau akan
menginap di rumahku dua malam, dan aku akan mengantarmu ke dan dari sekolah
besok.”
Aku membuang muka ke arah jendela, menggertakkan gigi dengan gemas.
"Maaf," kata Alice, meski tidak terdengar sedikit pun nada menyesal
dalam suaranya. "Dia menyogokku.”
"Dengan apa?" desisku dari sela-sela rahang.
"Dengan Porsche. Persis seperti yang kucuri di Italia dulu.” Alice
mendesah bahagia. "Aku tidak seharusnya
mengendarainya di sekitar Forks, tapi kalau kau mau, bisa kita lihat butuh
waktu berapa lama untuk sampai di LA dari sini-berani taruhan, aku pasti bisa
membawamu kembali ke sini tengah malam nanti.”
Aku menghela napas dalam-dalam. "Sepertinya tak perlu.” desahku, berusaha
untuk tidak bergidik.
Kami meliuk-liuk, ngebut seperti biasa, menyusuri jalan masuk yang panjang.
Alice menghentikan mobilnya di
dekat garasi, dan aku cepat-cepat menoleh memandangi mobil-mobil yang diparkir
di sana. Jip besar Emmett ada di sana, sedangkan Porsche kuning kenari diparkir
di antara jip itu dan sedan convertible merah Rosalie.
Alice melompat turun dengan anggun, dan membelai - belai bodi sogokannya.
"Cantik, kan?”
"Cantiknya berlebihan.” gerutuku, tak percaya. "Dia memberimu mobil
itu hanya untuk menyanderaku selama
dua hari?" Alice mengernyit.
Sedetik kemudian mendadak aku mengerti dan terkesiap ngeri. "Ini untuk
setiap kali dia pergi, kan?”
Alice mengangguk.
Kubanting pintu mobil dan berjalan dengan langkahlangkah kesal menuju rumah.
Alice menari-nari di
sebelahku, tetap tidak merasa bersalah.
"Alice, apa menurutmu ini tidak sedikit sok mengatur? Agak sedikit sakit,
mungkin?”
"Tidak juga.” Alice mendengus. "Sepertinya kau tidak menyadari betapa
berbahayanya werewolf yang masih muda itu. Terutama kalau aku tidak bisa
melihat mereka. Edward tidak bisa mengetahui apakah kau aman. Tidak seharusnya kau
sesembrono itu.”
Suaraku berubah sinis. "Ya, karena pesta vampir semalam suntuk merupakan
puncak perilaku yang sadar
keamanan.”
Alice tertawa. "Aku akan memberimu layanan pedikur, lengkap dengan
perawatan lainnya.” janjinya.
Sebenarnya ini tidak terlalu buruk, kecuali fakta aku disandera di luar
kemauanku. Esme membawa makanan
Italia – pokoknya serba lezat, jauh-jauh dari Port Angeles dan Alice sudah siap
dengan film-film favoritku. Bahkan
Rosalie pun ikut, berdiam diri di latar belakang. Alice benar-benar ngotot
ingin melakukan pedikur, dan aku
bertanya-tanya apakah ia membuat daftar – mungkin sesuatu yang disusunnya dari hasil
menonton sinetronsinetron kacangan.
"Sampai jam berapa kau mau begadang?" tanya Alice setelah kuku-kuku
jariku berkilau merah darah.
Antusiasmenya tetap berkobar meski suasana hatiku jelek.
“Aku tidak mau begadang. Besok kita harus sekolah.” Alice mencebik.
"Omong-omong, aku harus tidur di mana?" Kuukur panjang sofa dengan
mataku. Ukurannya agak pendek.
"Memangnya kau tidak bisa mengawasiku di rumahku saja?"
"Pesta semalam suntuk apa itu?' Alice menggeleng putus asa. "Kau
tidur di kamar Edward.”
Aku mendesah. Sofa kulit hitamnya memang lebih panjang daripada yang ini.
Bahkan karpet emas di
kamarnya mungkin cukup tebal sehingga tidur di lantai pun tidak masalah.
"Boleh aku pulang ke rumahku untuk mengambil barangbarangku, paling
tidak?”
Alice nyengir. "Sudah dibereskan.”
"Boleh kupakai teleponmu?"
"Charlie tahu kau di mana.”
"Aku bukan mau menelepon Charlie,” Aku mengerutkan kening. "Ada
beberapa rencana yang harus kubatalkan.”
"Oh.” Alice menimbang-nimbang. "Soal itu aku kurang yakin.”
“Alice!" erangku keras-keras, "Ayolah!"
"Oke, oke.” ujarnya, melesat keluar kamar, Setengah detik kemudian ia
kembali, ponsel di tangan. "Dia tidak
secara spesifik melarang ini...,” gumamnya pada diri sendiri sambil menyerahkan
ponsel.
Aku menghubungi nomor Jacob, mudah-mudahan ia tidak sedang berkeliaran dengan
teman-temannya malam
ini. Aku beruntung – Jacob sendiri yang menjawab.
"Halo?"
"Hai, Jake, ini aku.” Sedetik Alice menatapku dengan sorot tanpa ekspresi,
sebelum berbalik dan duduk di antara
Rosalie dan Esme di sofa.
"Hai, Bella,” kata Jacob, mendadak waswas. "Ada apa?”
"Kabar buruk. Ternyata aku tidak bisa datang ke rumahmu Sabtu nanti.”
Jacob terdiam sebentar. "Dasar pengisap darah tolol.” gerutunya akhirnya.
"Kupikir dia pergi. Memangnya kau
tidak bisa punya kehidupan lain kalau dia tidak ada? Atau jangan-jangan dia
menguncimu di peti mati?" Aku tertawa.
"Menurutku itu tidak lucu.”
"Aku tertawa karena tebakanmu hampir tepat,” kataku.
"Tapi dia akan pulang hari Sabtu, jadi itu tidak masalah.”
"Dia mencari mangsa di Forks, kalau begitu?” sindir Jacob sengit.
"Tidak.” Aku tidak membiarkan diriku jengkel karena kata-kata Jacob.
Soalnya aku sendiri juga nyaris sama
marahnya dengan Jacob. "Dia berangkat lebih awal.”
"Oh. Well, hei, datanglah sekarang kalau begitu.” Sergah Jacob, mendadak
antusias. "Sekarang belum terlalu malam. Atau aku bisa datang ke rumah
Charlie.”
"Kalau saja bisa. Aku bukan di rumah Charlie,” kataku jengkel. "Bisa
dibilang aku disandera.”
Jacob terdiam saat otaknya mencerna perkataanku, kemudian menggeram. "Kami
akan datang menjemputmu.”
janjinya datar, otomatis langsung menggunakan kata ganti orang jamak.
Perasaan dingin menjalari tulang belakangku, tapi aku menanggapinya dengan nada
ringan dan menggoda.
"Sungguh menggoda. Aku memang disiksa di sini-Alice mengecat kuku kakiku.”
“Aku serius.”
"Tidak usah. Mereka hanya berusaha mengamankan aku.” Jacob menggeram lagi.
"Aku tahu ini tolol, tapi mereka sebenarnya berhati baik.”
"Berhati baik?”dengusnya.
"Maaf tentang hari Sabtu.” aku meminta maaf "Aku harus naik ke tempat
tidur" -sofa, koreksiku dalam hati-"tapi
akan kutelepon kau lagi nanti.”
"Kau yakin mereka akan mengizinkanmu? tanya Jacob sengit.
"Tidak sepenuhnya.” Aku mendesah. '''Malam, Jake.”
"Sampai nanti.”
Tahu-tahu Alice sudah berdiri di sampingku, tangannya terulur meminta ponsel,
tapi aku sudah menghubungi
nomor lain. Ia melihat nomornya.
"Sepertinya dia tidak membawa ponsel,” kata Alice.
"Aku akan meninggalkan pesan.”
Telepon berdering empat kali, disusul bunyi "bip" Tidak ada salam
apa-apa.
“Awas kau nanti.” kataku lambat-lambat, menekankan setiap kata. "Kau akan
menghadapi masalah besar. Beruang grizzly yang marah akan terlihat jinak
dibandingkan apa yang menunggumu di rumah.”
Kututup ponsel kuat-kuat dan kuletakkan di telapak tangan Alice yang sudah
menunggu. "Aku sudah selesai.”
Alice nyengir. "Asyik juga main sandera-sanderaan begini.”
"Aku mau tidur sekarang.” kataku, berjalan menuju tangga.
Alice langsung membuntuti.
“Alice,” desahku. "Aku bukan mau menyelinap pergi diam-diam. Kau pasti
tahu kalau aku berniat berbuat begitu,
dan kau pasti akan menangkapku kalau aku berani cobacoba.”
“Aku hanya mau menunjukkan di mana barangbarangmu disimpan.” tukasnya sok lugu.
Kamar Edward di ujung lorong lantai tiga, tidak mungkin salah masuk walaupun
kau tidak terlalu familier
dengan rumah besar ini. Tapi waktu aku menyalakan lampunya, aku tertegun bingung.
Jangan-jangan aku salah
masuk kamar?
Alice terkikik.
Ini memang kamar yang sama, aku menyadari dengan cepat; perabotnya saja yang
ditata ulang. Sofa dipindahkan ke dinding utara dan stereo diletakkan menempel
ke rak CD yang memenuhi dinding-untuk memberi tempat bagi ranjang besar yang
kini mendominasi tengah-tengah ruangan.
Dinding selatan yang terbuat dari kaca memantulkan pemandangan itu seperti
cermin, membuatnya tampak dua
kali lebih mengerikan. Ranjang itu senada dengan perabot lain di kamar itu. Penutupnya
berwarna emas buram, sedikit lebih terang daripada warna dinding-dindingnya;
rangkanya hitam, terbuat dari besi tempa dengan pola yang rumit. Mawarmawar yang
dibentuk dari besi melingkar-lingkar di tiang ranjang yang tinggi dan membentuk
semacam tirai yang menjuntai di atas kepala. Piamaku terlipat rapi di kaki ranjang,
tas perlengkapan mandiku di sebelahnya.
"Apa-apaan ini?" semburku,
"Kau tidak berpikir dia akan membiarkanmu tidur di sofa, kan?”
Aku bergumam tidak jelas dan menghambur masuk untuk menyambar barang-barangku
dari tempat tidur.
"Aku pergi dulu supaya kau bisa memiliki sedikit privasi.” tawa Alice.
"Sampai besok.”
Setelah menggosok gigi dan berganti baju, kusambar bantal bulu gemuk dari atas
ranjang besar dan menyeret
selimut emas itu ke sofa. Aku tahu sikapku ini konyol, tapi aku tak peduli.
Menyogok dengan Porsche dan ranjang king-size di rumah yang anggota keluarganya
tak pernah tidur – semua itu benar-benar sangat menjengkelkan.
Kumatikan lampu-lampu dan meringkuk di sofa, bertanyatanya dalam hati apakah
hatiku terlalu kesal untuk bisa
tidur. Dalam gelap dinding kaca tak lagi tampak seperti cermin hitam yang
memantulkan seisi kamar. Cahaya bulan menerangi awan-awan di luar jendela.
Setelah mataku bisa menyesuaikan diri, aku bisa melihat pendar cahaya bulan menerangi
puncak-puncak pohon, dan memantul di seruas kecil sungai. Kupandangi cahaya
keperakan itu, menunggu kelopak mataku memberat. Terdengar ketukan pelan di
pintu.
"Ya, Alice?" desisku. Aku langsung memasang sikap defensif
membayangkan betapa gelinya Alice melihatku
tidur di sofa.
"Ini aku,” jawab Rosalie lembut, membuka pintu secelah supaya aku bisa
melihat cahaya perak bulan
menyentuh wajahnya yang sempurna. "Boleh aku masuk"
0 komentar:
Post a Comment