Eclipse Indonesia 3
3. MOTIF
MATAHARI tenggelam begitu dalam di balik awanawan, jadi tak bisa diketahui
apakah matahari sudah
terbenam atau belum. Setelah penerbangan yang panjang – mengejar matahari ke
arah barat hingga seolah matahari tak bergerak di langit itu membuat orang
seperti kehilangan orientasi waktu, waktu terasa begitu tak beraturan. Sungguh mengagetkan
saat hutan berganti jadi bangunan-bangunan pertama, menandakan kami sudah
hampir sampai di rumah.
"Sejak tadi kau diam saja.” komentar Edward. "Apakah terbang
membuatmu mual?"
"Tidak, aku baik-baik saja."
"Kau sedih karena harus pulang?"
"Lebih lega daripada sedih, kurasa.”
Edward mengangkat sebelah alisnya. Aku tahu tak ada gunanya dan – walaupun aku
benci mengakuinya – tidak
perlu memintanya tetap memerhatikan jalan di depan.
"Renee jauh lebih... perhatian daripada Charlie dalam beberapa hal. Itu
membuatku gelisah.”
Edward tertawa. "Ibumu memiliki pikiran yang sangat menarik. Hampir
seperti kanak-kanak, tapi sangat
berwawasan. Dia memandang berbagai hal secara berbeda dibandingkan orang-orang
lain.”
Berwawasan. Itu deskripsi yang bagus untuk menggambarkan ibuku – kalau ia
sedang memerhatikan.
Sering kali Renee bingung menghadapi hidupnya sendiri hingga tidak memerhatikan
hal lain. Tapi akhir minggu ini ia banyak memerhatikan aku.
Phil sibuk – tim bisbol SMA yang dilatihnya lolos ke babak playoff – dan
sendirian bersama Edward dan aku
malah semakin mempertajam fokus Renee. Begitu selesai berpelukan dan
menjerit-jerit gembira, Renee mulai
memerhatikan. Dan ketika memerhatikan, mata birunya yang lebar itu mula-mula
memancarkan sorot bingung,
kemudian waswas. Paginya kami berjalan-jalan menyusuri tepi pantai. Renee ingin
memamerkan semua keindahan rumah barunya, masih berharap, kurasa, bahwa
matahari akan menarikku keluar dari Forks. Ia juga ingin bicara berdua saja
denganku, dan itu bisa diatur dengan mudah. Edward berlagak harus menyelesaikan
tugas sekolah sebagai alasan untuk tidak keluar rumah seharian.
Di kepalaku, kuputar kembali percakapan itu ... Renee dan aku berjalan santai
menyusuri trotoar, berusaha tetap berada di bawah naungan bayang-bayang pohon
palem. Walaupun masih pagi, panas sudah menyengat. Udara sangat berat dan
lembab sehingga untuk menarik napas dan mengembuskannya lagi, paru-paruku harus
berjuang keras.
"Bella?" panggil ibuku, memandang melewati pasir pantai, ke ombak
yang mengempas pelan.
"Ada apa, Mom?"
Renee mendesah, tak berani menatap mataku. “Aku khawatir...”
"Ada apa?" tanyaku, langsung cemas. "Ada yang bisa kubantu?"
"Ini bukan mengenai aku,” Renee menggeleng. "Aku khawatir
memikirkanmu ... dan Edward.”
Renee akhirnya menatapku saat mengucapkan nama Edward, wajahnya seperti meminta
maaf.
"Oh,” gumamku, menatap sepasang pelari yang melewati kami, tubuh mereka
basah kuyup akibat keringat.
"Ternyata hubungan kalian lebih serius daripada yang selama ini kukira,”
sambungnya.
Aku mengerutkan kening, buru-buru memutar kembali kegiatan kami dua hari
belakangan. Edward dan aku
hampir-hampir tidak saling menyentuh-di depannya, paling tidak. Dalam hati aku
bertanya-tanya apakah Renee juga akan menguliahiku tentang tanggung jawab. Aku
tidak keberatan seperti waktu aku dikuliahi Charlie. Dengan ibuku, rasanya
tidak memalukan. Bagaimanapun, aku juga menguliahinya tentang hal yang sama
berulang kali selama sepuluh tahun terakhir.
"Ada yang... aneh mengenai kebersamaan kalian,”
gumamnya, keningnya berkerut di atas matanya yang memancarkan sorot khawatir.
"Caranya mengawasimu –
sangat protektif. Seolah-olah dia rela menghadang peluru untuk menyelamatkanmu
atau semacamnya.”
Aku tertawa, walaupun tetap belum mampu membalas tatapannya. "Memangnya
itu jelek?"
"Tidak,” Renee mengerutkan kening sambil susah payah mencari kata-kata
yang tepat. "Hanya berbeda. Dia sangat intens terhadapmu... dan sangat
hati-hati. Aku merasa tidak benar-benar memahami hubungan kalian. Seolah-olah
ada rahasia yang tidak kuketahui...”
"Ah, Mom hanya membayangkan yang bukan-bukan,” sergahku cepat-cepat,
berusaha keras agar suaraku tetap
ringan. Perutku langsung mulas. Aku sudah lupa betapa banyak yang bisa dilihat
ibuku. Ada sesuatu dalam
pandangannya yang sederhana terhadap dunia yang menohok tepat di sasaran. Ini
tidak pernah menjadi
persoalan sebelumnya. Hingga kini tak pernah ada rahasia yang tidak bisa
kuceritakan padanya.
"Bukan hanya dia,” Renee mengatupkan bibir dengan sikap defensif.
"Kalau saja kau bisa melihat tindaktandukmu saat ada dia.”
"Apa maksud Mom?"
"Caramu bergerak – kau mengitarinya bahkan tanpa perlu berpikir lagi. Bila
dia bergerak, meski sedikit saja, kau
langsung menyesuaikan posisi pada saat bersamaan. Seperti magnet... atau
gravitasi. Kau seperti ... satelit, atau
sebangsanya. Aku belum pernah melihat sesuatu seperti itu.”
Renee mengerucutkan bibir dan memandang ke bawah.
"Aku tahu.” godaku, memaksakan senyuman. "Mom pasti habis membaca
cerita-cerita misteri lagi, kan? Atau
kali ini fiksi ilmiah?”
Wajah Renee semburat merah jambu. "Itu tidak ada hubungannya dengan ini.”
"Menemukan cerita yang bagus?”
"Well, ada satu – tapi itu tidak penting. Kita sedang membicarakan kau
sekarang."
"Seharusnya Mom tetap membaca kisah-kisah cinta saja. Yang lain-lain hanya
membuat Mom ketakutan.”
Sudut-sudut bibir Renee terangkat. "Aku konyol, ya?” Selama setengah detik
aku tak mampu menjawab.
Pendapat Renee sangat gampang digoyahkan. Terkadang itu ada bagusnya, karena tidak
semua idenya praktis. Tapi hatiku jadi sedih melihat betapa cepatnya ia menyerah
pada tanggapanku yang mengecilkan kekhawatirannya, terutama karena kali ini
ibuku seratus persen benar. Renee mendongak, dan aku menjaga ekspresiku.
"Bukan konyol – hanya bersikap layaknya ibu.”
Renee tertawa, kemudian melambaikan tangan ke pasir pantai yang putih serta
laut biru yang menghampar.
"Dan semua ini tidak cukup untuk membuatmu pindah lagi ke rumah ibumu yang
konyol?"
Aku mengusap keningku dengan lagak dramatis, kemudian berpura-pura menjambak
rambutku sendiri.
"Kau akan terbiasa dengan udara lembab ini,” janjinya.
"Kau juga akan terbiasa dengan hujan,” balasku.
Renee pura-pura menyikutku, kemudian meraih tanganku sementara kami berjalan
kembali ke mobilnya.
Selain kekhawatirannya terhadapku, Renee kelihatannya cukup bahagia. Damai. Ia
masih menatap Phil dengan
pandangan sendu, dan itu menenangkan. Jelas hidupnya lengkap dan memuaskan. Jelas
ia tidak terlalu kehilangan aku, bahkan sekarang...
Jari-jari Edward yang sedingin es mengusap pipiku. Aku mendongak, mengerjap-ngerjapkan
mata, kembali ke masa kini. Edward membungkuk dan mengecup keningku.
"Kita sudah sampai, Sleeping Beauty. Waktunya bangun.” Kami berhenti di
depan rumah Charlie. Iampu
teras menyala dan mobil patrolinya diparkir di jalan masuk. Saat aku mengamati
rumah itu, kulihat tirai tersibak di
jendela ruang tamu, memancarkan cahaya lampu berwarna kuning ke halaman yang
gelap.
Aku mendesah. Tentu saja Charlie menunggu, siap menerkam. Edward pasti
memikirkan hal yang sama, karena
ekspresinya tegang dan sorot matanya dingin saat ia menghampiri untuk
membukakan pintu bagiku.
"Seberapa parah?” tanyaku.
"Charlie tidak akan menyulitkan,” janji Edward, suaranya datar tanpa
secercah pun nada humor. "Dia rindu
padamu.”
Mataku menyipit ragu. Kalau benar begitu, kenapa Edward tegang seperti siap
berperang?
Tasku kecil, tapi Edward memaksa membawakannya sampai ke rumah. Charlie
memegangi pintu agar tetap
terbuka untuk kami.
"Selamat datang di rumah, Nak!" Charlie berseru seolah bersungguh-sungguh.
"Bagaimana keadaan di
Jacksonville?"
"Lembab. Dan banyak serangganya.”
"Jadi Renee tidak berhasil merayumu untuk masuk ke University of
Florida?"
"Dia sudah mencoba. Tapi aku lebih suka minum air daripada menghirupnya.”
Mata Charlie berkelebat tidak suka ke arah Edward.
"Kau senang di sana?"
"Ya.” jawab Edward kalem. "Sambutan Renee sangat ramah.”
"Itu ... ehm, bagus. Aku senang kau senang di sana,” Charlie berpaling dari
Edward dan tahu-tahu menarik tubuhku, memelukku.
"Mengesankan,” bisikku di telinganya. Charlie tertawa menggelegar.
"Aku benar-benar kangen
padamu, Bells. Makanan di rumah ini payah kalau kau tidak ada.”
"Aku akan langsung memasak,” kataku setelah Charlie melepaskan pelukannya.
"Maukah kau menelepon Jacob dulu? Dia menerorku setiap lima menit sejak
jam enam tadi pagi. Aku sudah
berjanji akan menyuruhmu meneleponnya bahkan sebelum kau membongkar koper.”
Aku tidak perlu melihat ke arah Edward untuk merasakan tubuhnya mengejang diam,
dingin di sebelahku.
Jadi ini sebabnya ia begitu tegang.
"Jacob ingin bicara denganku?"
"Bisa dibilang sangat bernafsu. Dia tidak mau memberi tahu ada apa – tapi
katanya penting.”
Derik itu juga telepon berbunyi, melengking dan menuntut,
"Itu pasti dia lagi, taruhannya gajiku bulan depan,” gerutu Charlie.
"Biar aku saja,” Aku bergegas ke dapur,
Edward mengikutiku sementara Charlie menghilang memasuki ruang duduk.
Kusambar gagang telepon saat tengah berdering, lalu membalikkan badan sehingga
menghadap dinding. "Halo?"
"Kau sudah pulang,” kata Jacob.
Suara paraunya yang tak asing mengirimkan gelombang kesedihan ke hatiku.
Ribuan kenangan berputar di
kepalaku, saling membelit – pantai berbatu dengan pepohonan driftwood di
sana-sini, garasi beratap plastik,
minuman soda hangat dalam kantong kertas, ruangan kecil dengan sofa love seat
usang yang kelewat kecil. Tawa yang terpancar dari mata hitamnya yang dalam,
panas membara yang terpancar dari tangannya yang besar saat melingkari tubuhku,
secercah warna putih dari sederet giginya yang tampak kontras dengan kulitnya
yang gelap, wajahnya yang merekah oleh senyum lebar yang seolah-olah selalu
menjadi kunci menuju pintu rahasia yang hanya bisa dimasuki jiwa,jiwa sejenis.
Rasanya nyaris seperti kerinduan pada kampung halaman, kerinduan terhadap
tempat dan orang yang telah
melindungiku melewati malam tergelap dalam hidupku. Aku berdeham-deham,
menyingkirkan gumpalan di
tenggorokanku. "Ya,” sahutku.
"Kenapa kau tidak meneleponku?" tuntut Jacob.
Nadanya yang marah langsung memicu emosiku.
"Karena aku baru saja sampai di rumah kira-kira empat detik dan
teleponmu menginterupsi Charlie yang sedang
memberi tahu bahwa kau tadi menelepon.”
"Oh. Maaf.”
"Baiklah. Sekarang, kenapa kau mengganggu Charlie terus?"
"Aku perlu bicara denganmu.”
"Yeah, kalau itu aku sudah bisa menduganya sendiri. Teruskan.”
Jacob terdiam sebentar. "Besok kau sekolah?"
Aku mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa Jacob menanyakan itu. "Tentu
saja. Kenapa tidak?"
"Entahlah. Hanya ingin tahu.” Lagi,lagi Jacob terdiam.
"Jadi, apa yang ingin kaubicarakan, Jake?”
Jacob ragu,ragu. "Sebenarnya tidak ada, kurasa. Aku... hanya ingin
mendengar suaramu"
"Yeah, aku tahu. Aku sangat senang kau meneleponku, Jake. Aku...” Tapi aku
tak tahu harus bilang apa lagi. Aku ingin memberitahunya aku akan pergi ke La
Push sekarang juga. Tapi aku tak bisa mengatakannya.
"Sudah dulu, ya,” kata Jacob tiba-tiba.
“Apa?”
"Nanti kutelepon kau lagi, oke?"
"Tapi, Jake...”
Jake sudah keburu menutup telepon. Aku mendengar nada sambung dengan sikap
tidak percaya.
"Singkat sekali,” gumamku.
"Semua beres?" tanya Edward. Suaranya rendah dan hati-hati.
Pelan-pelan aku berbalik menghadapnya. Ekspresinya datar sempurna – mustahil
dibaca.
"Entahlah. Aku jadi penasaran ada apa sebenarnya.”
Tidak masuk akal Jacob mengganggu ketenangan Charlie seharian hanya untuk bertanya
apakah besok aku sekolah. Dan kalau ia memang ingin mendengar suaraku, kenapa secepat
itu ia menyudahi pembicaraan?
"Kau sama tidak tahunya dengan aku,” kata Edward, secercah senyum bermain
di sudut mulutnya.
"Mmm,” gumamku. Itu benar, Aku mengenal Jake luar dalam. Seharusnya tak
sesulit itu menebak motifnya.
Dengan pikiranku jauh mengembara – kira-kira 25 kilo, meter jauhnya, menyusuri
jalan menuju La Push – aku
mulai mengorek-ngorek isi kulkas, mengumpulkan berbagai bahan untuk memasakkan
makan malam bagi Charlie.
Edward bersandar di konter, dan samar-samar aku menyadari tatapannya yang
tertuju ke wajahku, tapi
kelewat sibuk untuk mencemaskan apa yang dilihatnya di sana. Masalah sekolah
seakan seperti kata kunci bagiku. Itu satu-satunya pertanyaan yang ditanyakan
Jake. Dan ia pasti mengharapkan jawaban tertentu, sebab kalau tidak, tak mungkin
ia begitu gigih meneror Charlie. Kenapa penting baginya apakah aku bolos atau
tidak?
Aku berusaha berpikir logis. Jadi, seandainya aku tidak berangkat ke sekolah
besok, kira-kira apa sih masalahnya, dilihat dari sudut pandang Jacob? Charlie
sempat keberatan aku bolos sehari padahal ujian akhir sudah dekat, tapi aku berhasil
meyakinkannya bahwa satu hari Jumat saja tidak akan membuatku ketinggalan
pelajaran. Kalau Jake pasti tidak mempedulikan hal itu.
Otakku menolak memberikan jawaban masuk akal. Mungkin ada informasi penting
yang terlewatkan olehku.
Hal penting apa yang berubah dalam tiga hari hingga Jacob merasa perlu
mengakhiri penolakan panjangnya menjawab teleponku dan menghubungiku? Perbedaan
apa yang bisa terjadi dalam tiga hari? Aku membeku di tengah,tengah dapur.
Bungkusan hamburger beku di tanganku terlepas dari sela-sela jariku yang kebas.
Butuh sedetik yang panjang baru aku tersadar benda itu tidak berbunyi saat membentur
lantai.
Ternyata Edward menangkap dan melemparnya ke konter. Kedua lengannya sudah
melingkariku, bibirnya di telingaku.
"Ada apa?”
Aku menggeleng, linglung. Tiga hari dapat mengubah segalanya. Bukankah aku juga
baru saja berpikir betapa mustahilnya kuliah nanti? Bagaimana aku takkan bisa
berada di dekat manusia setelah perubahan selama tiga hari yang menyakitkan itu,
yang akan membebaskanku dari ketidakabadian, sehingga aku bisa hidup
selama-lamanya bersama Edward. Perubahan yang akan membuatku selamanya
terpenjara oleh dahagaku sendiri ....
Apakah Charlie memberitahu Billy bahwa aku pergi selama tiga hari? Apakah Billy
langsung menyimpulkan
sendiri? Apakah sesungguhnya yang ingin ditanyakan Jacob adalah apakah aku
masih manusia? Memastikan
kesepakatan werewolf tidak dilanggar – bahwa tidak ada anggota keluarga Cullen
yang berani menggigit manusia ...menggigit, bukan membunuh ...?
Tapi kalau benar begitu, masa ia mengira aku bakal pulang dan menemui Charlie?
Edward mengguncang tubuhku. "Bella? tanyanya, benarbenar cemas sekarang.
"Kurasa... kurasa dia bermaksud mengecek,” gumamku.
"Mengecek untuk memastikan. Bahwa aku masih jadi manusia, maksudku.” Edward
mengejang, dan desisan rendah menggema di telingaku.
"Kita harus pergi,” bisikku. "Sebelumnya. Supaya tidak melanggar
kesepakatan. Kita tidak akan pernah bisa
kembali ke sini.”
Lengan Edward merangkulku erat. "Aku tahu.”
"Ehem.” Charlie berdeham-deham dengan suara keras di belakang kami.
Aku melompat, kemudian melepaskan diri dari pelukan Edward, wajahku memanas.
Edward menyandarkan
tubuhnya lagi di konter, Sorot matanya kaku. Aku juga bisa melihat
kekhawatiran, dan amarah, di sana.
"Kalau kau tidak mau memasak makan malam, aku bisa memesan pizza,” sindir
Charlie.
"Tidak, tidak apa,apa. Aku sudah mulai kok.”
"Oke,” sahut Charlie. Ia menumpukan tubuhnya di ambang pintu, melipat
kedua lengannya. Aku mendesah dan mulai bekerja, berusaha mengabaikan
penontonku.
"Kalau aku memintamu melakukan sesuatu, apakah kau akan
memercayaiku?" tanya Edward, ada kegelisahan
dalam suaranya yang halus.
Kami sudah hampir sampai di sekolah. Sedetik yang lalu Edward masih bersikap
rileks dan bercanda denganku, tapi sekarang mendadak kedua tangannya
mencengkeram kemudi erat-erat, buku-buku jarinya berusaha keras
menahan agar tangannya tidak menghancurkan kemudi itu hingga berkeping-keping. Kuratap
ekspresinya yang gelisah – matanya menerawang jauh, seperti mendengarkan
suara-suara di kejauhan.
Detak jantungku langsung berpacu, merespons tekanan yang ia rasakan, tapi
kujawab pertanyaannya dengan hatihati.
"Tergantung.” Kami memasuki lapangan parkir sekolah.
"Aku takut kau akan berkata begitu.”
"Kau ingin aku melakukan apa, Edward?"
“Aku ingin kau tetap di mobil.” Edward memarkir mobilnya di tempat biasa dan
mematikan mesin sambil
berbicara. "Aku ingin kau menunggu di sini sampai aku datang menjemputmu.”
"Tapi... kenapa?"
Saat itu barulah aku melihatnya. Walaupun ia tidak bersandar di sepeda motor
hitamnya, yang diparkir
sembarangan di trotoar, tidak mungkin tidak melihatnya, karena pemuda itu
menjulang tinggi di antara murid-murid lain.
"Oh.”
Wajah Jacob berupa topeng tenang yang kukenal dengan baik. Ekspresi itu biasa
ia tunjukkan bila ia bertekad
menahan emosi, mengendalikan diri. Ia jadi mirip Sam, yang paling tua di antara
para serigala, pemimpin kawanan Quileute. Tapi Jacob tak pernah bisa
memancarkan ketenangan diri seperti yang selalu terpancar dari diri Sam. Aku
sudah lupa betapa mengusiknya wajah ini. Walaupun aku sudah mengenal Sam dengan
baik sebelum keluarga Cullen kembali – menyukainya juga, bahkan – tapi aku tak
pernah benar-benar bisa mengenyahkan perasaan sebalku bila Jacob meniru
ekspresi Sam. Itu wajah orang asing. Ia bukan Jacob-ku bila memasang ekspresi
seperti itu.
"Kesimpulanmu tadi malam keliru,” gumam Edward.
"Dia bertanya tentang sekolah karena tahu di mana ada kau, di situ ada
aku. Dia mencari tempat yang aman untuk bicara denganku. Tempat yang banyak
saksi matanya.”
Jadi aku salah menginterpretasikan motif Jacob semalam. Kurang informasi,
itulah masalahnya. Informasi seperti
misalnya kenapa Jacob merasa perlu berbicara dengan Edward.
“Aku tidak mau menunggu di mobil,” tolakku. Edward mengerang pelan. "Jelas
tidak. Well, ayo segera kita selesaikan.”
Wajah Jacob mengeras saat kami menghampirinya sambil bergandengan tangan. Aku
juga memerhatikan wajah-wajah lain – wajah teman-teman sekelasku. Kulihat mata
mereka membelalak saat melihat sosok Jacob yang tinggi menjulang, hampir dua
meter, dan berotot, tidak seperti lazimnya pemuda berumur enam belas setengah tahun.
Kulihat mata mereka meneliti T~shirt hitam ketat yang dikenakannya – berlengan
pendek, padahal udara hari ini sangat dingin – jins bututnya yang bernoda oli,
serta sepeda motor hitam mengilat yang disandarinya. Mata mereka tak berani
lama-lama menatap wajahnya – ada sesuatu dalam ekspresinya
yang membuat mereka cepat-cepat membuang muka. Dan aku juga memerhatikan
bagaimana orang-orang sengaja berjalan memutar untuk menghindarinya, tidak
berani mendekat.
Dengan perasaan takjub, sadarlah aku bahwa Jacob terlihat berbahaya bagi
mereka. Sungguh aneh.
Edward berhenti beberapa meter dari Jacob, dan aku tahu itu karena ia tidak
suka aku berdiri terlalu dekat
dengan werewolf. Ia menarik tangannya agak ke belakang, separuh menghalangiku
dengan tubuhnya.
"Sebenarnya kau bisa menelepon kami saja,” kata Edward dengan suara
sekeras baja.
"Maaf," sahut Jacob, wajahnya terpilin membentuk seringaian sinis.
"Di speed dial teleponku tidak tersimpan
nomor telepon lintah.”
"Kau bisa menghubungiku di rumah Bella.”
Dagu Jacob mengeras, alisnya bertaut. Ia tidak menyahut. "Ini bukan tempat
yang tepat, Jacob. Bisakah
kita mendiskusikannya nanti?"
"Tentu, tentu, Aku akan mampir ke ruang bawah tanahmu sepulang
sekolah," Jacob mendengus. "Kalau
sekarang memangnya kenapa?”
Edward memandang berkeliling dengan sikap terangterangan, matanya tertuju
kepada para saksi mata yang
nyaris bisa mendengar pembicaraan kami. Beberapa orang rampak ragu-ragu di trotoar,
mata mereka bersinar-sinar penuh harap. Seperti berharap akan ada perkelahian
yang dapat memecahkan kelesuan yang selalu dirasakan setiap Senin pagi. Kulihat
Tyler Crowley menyenggol Austin Marks, dan mereka menyempatkan diri berhenti
sebentar.
"Aku sudah tahu maksud kedatanganmu ke sini,”
Edward mengingatkan Jacob dengan suara sangat pelan hingga bahkan aku pun
nyaris tidak mendengarnya. "Pesan sudah diterima. Anggap saja kami sudah
diperingatkan.”
Edward melirikku sekilas dengan sorot waswas.
"Diperingarkan?" tanyaku bingung. "Kau ini bicara apa?"
"Jadi kau tidak memberi tahu dia?" tanya Jacob, matanya membelalak
tak percaya. "Kenapa, kau takut dia
akan memihak kami?"
"Kumohon, hentikan, Jacob,” pinta Edward dengan suara datar.
"Kenapa?" tantang Jacob. Aku mengerutkan kening bingung. "Apa
yang tidak
kuketahui? Edward?"
Edward hanya menatap Jacob garang, seolah-olah tidak mendengar pertanyaanku.
"Jake?"
Jacob mengangkat alisnya padaku. "Jadi dia tidak cerita padamu bahwa
kakak... lelakinya melanggar batas hari
Sabtu malam?" tanya Jacob, nadanya sangat sinis. Ialu matanya berkelebat
kembali kepada Edward. "Jadi bisa
dibenarkan kalau Paul...”
"Itu wilayah tak bertuan!" desis Edward.
"Bukan!" Kentara sekali Jacob sangat marah. Kedua tangannya gemetar.
Ia menggeleng dan menghirup napas dalam-dalam dua kali, mengisi paru-parunya
dengan udara.
"Emmett dan Paul?” bisikku. Paul saudara sekawanan Jacob yang paling buas.
Dialah yang kehilangan kendali di hutan dulu – kenangan tentang serigala
berbulu abu-abu yang menggeram-geram mendadak terbayang sangat jelas di kepalaku.
"Apa yang terjadi? Mereka berkelahi?" Suaraku melengking tinggi
saking paniknya. "Kenapa? Apakah Paul
terluka?"
"Tidak ada yang berkelahi,” Edward menjelaskan dengan suara pelan, hanya
kepadaku. "Tidak ada yang
terluka. Tidak perlu khawatir.”
Jacob memandangi kami dengan sorot tak percaya. "Jadi kau sama sekali
tidak cerita padanya? Itukah sebabnya kau mengajaknya pergi? Supaya dia tidak
tahu bahwa...”
"Pergilah sekarang,” Edward memotong perkataan Jacob, dan wajahnya
seketika berubah menakutkan – sangat
menakutkan. Sedetik itu ia terlihat seperti... seperti vampir. Dipelototinya
Jacob dengan kebencian meluap-luap yang sangat kentara.
Jacob mengangkat alis, tapi tetap bergeming. "Kenapa kau tidak cerita
padanya?"
Beberapa saat mereka berhadapan tanpa bicara. Semakin banyak murid berkerumun
di belakang Tyler dan Austin. Kulihat Mike berdiri di sebelah Ben – Mike
memegang bahu Ben, seperti menahannya agar terap berdiri di tempat. Dalam
keheningan tiba-tiba saja semuanya jadi jelas bagiku. Sesuatu yang Edward tidak
ingin aku tahu. Sesuatu yang tidak mungkin disembunyikan Jacob dariku.
Sesuatu yang membuat kedua pihak, baik keluarga Cullen maupun para serigala,
berada di hutan, bergerak
dalam jarak cukup dekat hingga saling membahayakan. Sesuatu yang menyebabkan
Edward ngotot agar aku
terbang melintasi negeri ke tempat yang jauh. Sesuatu yang dilihat Alice dalam
penglihatannya minggu
lalu – dan Edward bohong padaku mengenainya. Sesuatu yang sebenarnya sudah
kutunggu-tunggu.
Sesuatu yang aku tahu bakal terjadi lagi, meski aku berharap takkan pernah
terjadi. Itu tidak akan pernah
berakhir, bukan?
Aku mendengar suara napasku terkesiap beberapa kali, tapi tak sanggup menghentikannya.
Sekolah tampak seperti bergetar, seolah-olah ada gempa bumi, tapi aku tahu tubuhku
yang bergetarlah yang menyebabkan ilusi itu.
"Dia kembali mencariku,” kataku tercekat.
Victoria takkan pernah menyerah sampai aku mati. Ia akan terus mengulangi pola
yang sama – menggertak lalu
kabur, menggertak lalu kabur – sampai menemukan celah di antara para pembelaku.
Mungkin keberuntungan akan menyertaiku. Mungkin keluarga Volturi akan datang
lebih dulu – setidaknya mereka akan membunuhku lebih cepat.
Edward memegangiku erat-erat di sampingnya, memiringkan rubuhnya sedemikian
rupa sehingga ia berdiri
diam di antara aku dan Jacob, dan membelai-belai wajahku dengan gerakan cemas,
"Tidak apa-apa.” bisiknya, "Tidak apa-apa. Aku tidak akan pernah
membiarkannya mendekatimu, tidak apa-apa.”
Lalu ia memandang Jacob garang. "Apakah itu sudah menjawab pertanyaanmu,
anjing?”
"Menurutmu Bella tidak berhak tahu?" tantang Jacob.
"Ini hidupnya.”
Edward menjaga suaranya tetap pelan; bahkan Tyler, yang beringsut-ingsut
semakin dekat, takkan bisa
mendengar. "Kenapa dia harus takut kalau dia tidak pernah berada dalam
bahaya?"
"Lebih baik takut daripada dibohongi.”
Aku berusaha menguasai diri, tapi air mataku menggenang. Aku bisa melihatnya di
balik kelopak mataku – aku bisa melihat wajah Victoria, bibirnya yang
menyeringai memamerkan gigi-giginya, mata merahnya yang berkilatkilat akibat
obsesinya untuk membalas dendam; ia menganggap Edward bertanggung jawab atas kematian
kekasihnya, James. Ia tidak akan berhenti sampai berhasil merenggut kekasih
Edward juga.
Edward menghapus air mata yang mengalir di pipiku dengan ujung-ujung jarinya.
"Menurutmu lebih baik menyakiti hatinya daripada melindunginya?” bisik
Edward.
"Dia lebih kuat daripada perkiraanmu,” tukas Jacob.
"Dan dia sudah pernah mengalami hal yang lebih buruk.” Mendadak ekspresi
Jacob berubah, dan ia menatap
Edward dengan ekspresi spekulatif yang ganjil. Matanya menyipit seperti berusaha
memecahkan soal matematika yang rumit di luar kepala. Aku merasa Edward
meringis. Aku mendongak, dan wajahnya berkerut-kerut seperti menahan sakit.
Dalam sedetik yang terasa mengerikan, aku teringat pengalaman
kami di Italia, di ruangan dalam menara mengerikan yang menjadi rumah keluarga
Volturi, ketika Jane menyiksa
Edward dengan bakatnya yang kejam, membakar Edward hanya dengan pikirannya
saja....
Ingatan itu menyentakkanku dari kondisi nyaris histeris dan mengembalikan
semuanya dalam perspektif yang
benar. Karena aku lebih suka Victoria membunuhku ratusan kali daripada melihat
Edward menderita seperti itu
lagi.
"Lucu juga,” komentar Jacob, tertawa waktu melihat wajah Edward.
Edward meringis, tapi kemudian, dengan sedikit susah payah, berhasil membuat
ekspresinya datar kembali. Ia
tidak benar-benar mampu menyembunyikan sorot menderita di matanya. Aku melirik,
mataku membelalak lebar, dari wajah Edward yang meringis ke wajah Jacob yang
menyeringai mengejek.
"Kau apakan dia?" tuntutku.
"Tidak apa-apa, Bella,” kata Edward pelan. "Ingatan Jacob sangat
kuat, itu saja.”
Jacob menyeringai, dan Edward meringis lagi.
"Hentikan! Apa pun yang sedang kaulakukan.”
"Tentu, kalau memang itu maumu,” Jacob mengangkat bahu. "Bukan
salahku jika dia tidak menyukai hal-hal yang kuingat.”
Kupelototi dia, dan Jacob balas tersenyum dengan sikap malu – seperti anak yang
tertangkap basah melakukan sesuatu yang ia tahu seharusnya tidak ia lakukan,
oleh seseorang yang ia tahu tidak bakal menghukumnya.
"Kepala Sekolah sedang ke sini untuk membubarkan kerumunan.” Edward
berbisik padaku. "Cepat masuk ke
kelas Bahasa Inggris, Bella, agar kau tidak terlibat.”
"Overprotektif ya, dia?" sergah Jacob, menujukannya padaku.
"Padahal sedikit masalah akan membuat hidup jadi lebih menyenangkan. Biar
kutebak, kau tidak diizinkan bersenang-senang, kan?”
Edward memelototi Jacob, bibirnya menyeringai, memamerkan sedikit gigi-giginya.
"Tutup mulutmu, Jake,” sergahku.
Jacob terbahak. "Sepertinya jawabannya tidak. Hei, kalau kau kepingin
bersenang-senang lagi, kau bisa datang ke tempatku. Sepeda motormu masih
tersimpan di garasiku.”
Kabar itu segera saja mengalihkan perhatianku.
"Seharusnya kau menjualnya. Kau sudah berjanji kepada Charlie akan
melakukannya.” Kalau bukan karena aku
yang memohon-mohon kepada Charlie demi Jake – bagaimanapun juga, Jake sudah
menghabiskan waktu dan
tenaga berminggu-minggu untuk memperbaiki kedua motor itu, jadi ia pantas mendapat
imbalan untuk segala jerih payahnya itu – Charlie pasti sudah membuang motorku
ke tempat penimbunan barang bekas. Dan mungkin membakar habis tempat itu
sekalian.
"Yeah, yang benar saja. Aku tak mungkin mau melakukannya saja. Motor itu
milikmu, bukan milikku.
Pokoknya, aku akan mempertahankannya sampai kau ingin mengambilnya kembali.”
Secercah senyum seperti yang kuingat mendadak bermain di sudut-sudut bibirnya.
“Jake..."
Jacob mencondongkan tubuh ke depan, wajahnya bersungguh-sungguh sekarang,
kesinisannya lenyap.
"Kurasa mungkin sebelum ini aku keliru, kau tahu, mengira kita tidak bisa
berteman. Mungkin kita bisa melakukannya, di wilayahku. Datanglah menemuiku.”
Aku sangat bisa merasakan keberadaan Edward, kedua lengannya merangkulku dengan
sikap protektif bergeming seperti batu. Kulirik wajahnya sekilas – ekspresinya
tenang, sabar.
"Aku, eh, entahlah, Jake.”
Jacob benar-benar mengenyahkan ekspresi antagonis dari wajahnya. Seakan-akan ia
lupa ada Edward di sana, atau setidaknya, ia bertekad bersikap begitu.
"Aku merindukanmu setiap hari, Bella. Aneh rasanya tidak ada
kau.”
"Aku tahu dan aku minta maaf Jake, tapi...”
Jacob menggeleng, dan mendesah. "Aku tahu. Sudahlah, lupakan saja, ya?
Kurasa aku pasti bisa melaluinya. Siapa sih yang butuh teman?" Ia
meringis, berusaha menutupi kepedihan hatinya dengan lagak tak peduli.
Penderitaan Jacob selalu berhasil membangkitkan sisi protektifku. Itu sangat
tidak rasional – Jacob nyaris tidak
memburuhkan perlindungan. fisik dalam bentuk apa pun dariku. Tapi kedua
lenganku, yang dipegangi kuat-kuat oleh Edward, begitu ingin meraihnya.
Merengkuh tubuhnya yang besar dan hangat itu dengan janji tak terucap bahwa aku
menerima dan mau menenangkannya. Lengan Edward yang melindungiku telah berubah
menjadi kekang.
"Oke, masuk kelas,” suara bernada tegas terdengar di belakang kami. "Masuk,
Mr. Crowley.”
"Pergilah ke sekolah, Jake,” bisikku, langsung cemas begitu mengenali
suara Kepala Sekolah. Jacob bersekolah di sekolah Quileute, tapi ia tetap bisa
kena masalah karena masuk tanpa izin atau hal lain semacamnya.
Edward melepaskanku, menggandeng tanganku dan menarik tubuhku ke belakang
tubuhnya lagi. Mr. Greene bergerak menembus kerumunan penonton, alisnya
berkerut seperti awan badai mengerikan di atas
matanya yang kecil.
“Aku tidak main-main,” ancamnya. "Semua yang masih ada di sini waktu aku
berbalik lagi akan dihukum.”
Kerumunan langsung bubar sebelum Kepala Sekolah menyelesaikan kalimatnya.
“Ah, Mr. Cullen. Ada apa ini?"
"Tidak ada apa-apa, Mr. Greene. Kami baru mau masuk kelas.”
"Bagus sekali. Sepertinya aku tidak mengenali temanmu,” Mr. Greene
melayangkan pandangan galaknya
kepada Jacob. "Kau murid baru di sini?"
Mata Mr. Greene meneliti Jacob dengan saksama, dan kentara sekali ia
menyimpulkan hal yang sama seperti
orang-orang lain; berbahaya. Berandalan. "Bukan," jawab Jacob, senyum
mengejek tersungging di bibirnya yang lebar.
"Kalau begitu, kusarankan kau segera angkat kaki dari lingkungan sekolah,
anak muda, sebelum aku memanggil
polisi"
Cengiran kecil Jacob berubah menjadi seringaian lebar, dan aku tahu ia
membayangkan Charlie datang untuk
menangkapnya. Seringaian itu terlalu pahit, kelewat penuh ejekan untuk
memuaskanku. Itu bukan senyuman yang kutunggu-tunggu untuk kulihat selama ini.
Jacob menjawab, "Baik, Sir,” lalu memberi hormat dengan sikap militer
sebelum naik ke sepeda motor dan
menyalakannya langsung di aras trotoar, Mesinnya menyala dengan suara meraung,
kemudian ban-bannya
menjerit saat ia berputar arah dengan kasar. Hanya dalam beberapa detik Jacob
sudah lenyap dari pandangan.
Mr. Greene menggertakkan gigi melihat aksi itu.
"Mr. Cullen, kuminta kau mengatakan kepada temanmu untuk tidak masuk lagi
ke sini tanpa izin.”
"Dia bukan teman saya, Mr. Greene, tapi peringatan Anda akan saya
sampaikan."
Mr. Greene mengerucutkan bibir. Nilai-nilai Edward yang sempurna serta catatan
kelakuannya yang tak bercela
jelas jadi faktor penentu dalam penilaian Mr. Greene mengenai insiden tadi.
"Baiklah. Kalau kau khawatir akan
terjadi masalah, aku dengan senang hati akan...”
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Mr. Greene. Tidak akan ada masalah
apa-apa.”
"Mudah-mudahan saja benar begitu. Well, baiklah kalau begitu. Masuklah ke
kelas. Kau juga, Miss Swan.”
Edward mengangguk, lalu cepat-cepat menyeretku menuju kelas Bahasa Inggris.
"Kau merasa cukup sehat untuk masuk kelas?" bisiknya waktu kami berjalan
melewati Kepala Sekolah.
"Ya,” aku balas berbisik, tidak yakin apakah ini bohong atau bukan.
Apakah aku merasa sehat atau tidak, bukanlah hal penting sekarang. Aku harus
segera bicara dengan Edward,
dan kelas Bahasa Inggris bukanlah tempat yang ideal untuk melakukan pembicaraan
seperti itu.
Tapi dengan Mr. Greene membuntuti di belakang kami, aku tak punya pilihan lain.
Kami agak terlambat sampai di kelas dan langsung cepatcepat duduk. Mr. Berty
sedang mendeklamasikan puisi karya Frost. Ia mengabaikan kami, tak ingin
kehadiran kami mengusiknya.
Aku merobek selembar kertas dari buku catatanku dan mulai menulis, tulisan
tanganku nyaris tak bisa dibaca
karena tanganku gemetaran. “apa yang terjadi? ceritakan semuanya padaku tidak
perlu melindungi segala macam, please...”
Kusodorkan kertas itu kepada Edward. Edward mendesah, lalu mulai menulis. Waktu
yang dibutuhkannya
jauh lebih singkat, padahal ia menulis seluruh paragraf dengan tulisannya yang
bagaikan kaligrafi, lalu
mengembalikan kertas itu padaku,
“Alice melihat Victoria kembali. Aku membawamu ke luar kota sekedar
berjaga-jaga – ia tidak mungkin bisa memperoleh kesempatan mendekatimu. Emmet
dan Jasper nyaris berhasil membekuknya, tapi kelihatannya Victoria memiliki
insting untuk menghindar. Ia berhasil lolos tepat di perbatasan wilayah
Quiloute seolah-olah ia memiliki peta. Apalagi kemampuan Alice dinihilkan oleh
campur tangan para Quiloute itu. Supaya adil, para Quiloute sebenarnya juga bisa
membekuk Victoria, kalau saja kami tidak menghalangi. Si serigala abu-abu besar
mengira Emmet melanggar batas dan sikapnya langsung defensif. Tentu saja
Rosalie segera bereaksi, dan semua langsung berhenti mengejar untuk melindungi
teman-teman mereka. Carlisle dan Jasper berhasil menenangkan keadaan sebelum situasi
menjadi tidak terkendali. Tapi saat itu Victoria sudah berhasil meloloskan
diri. Itu cerita lengkapnya.”
Aku mengerutkan kening memandangi huruf-huruf yang terpampang di kertas. Mereka
semua terlibat – Emmett,
Jasper, Alice, Rosalie, dan Carlisle. Mungkin bahkan Esme, walaupun Edward tidak
menyebut-nyebut namanya. Juga Paul serta seluruh kawanan werewolf Quileute.
Kejadian itu bisa dengan mudah berubah menjadi perkelahian, calon keluargaku
versus teman-teman lamaku. Siapa pun bisa terluka. Aku membayangkan
serigala-serigala itu yang paling berisiko mendapat celaka, tapi membayangkan
Alice yang kecil mungil di samping salah satu werewolf itu, bertarung ...
Aku bergidik. Hati-hati, kuhapus seluruh paragraf itu dengan penghapusku,
kemudian menulis di atasnya:
“Charlie bagaimana? bisa saja victoria mengincarnya juga.”
Belum lagi aku selesai menulis, Edward sudah menggeleng-gelengkan kepala, jelas
meremehkan
kekhawatiranku terhadap keselamatan Charlie. Ia mengulurkan tangan, tapi tak
kugubris dan mulai menulis
lagi.
“Kau kan tidak tahu dia tidak berpikir begitu, karena kau tidak ada di sini.
Pergi ke Florida bukan pilihan bijaksana.”
Edward merebut kertas itu dari bawah tanganku.
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian. Dengan kesialanmu, bahkan kotak
hitam pesawatpun tidak akan
selamat.”
Bukan itu maksudku; malah tak terpikir sama sekali olehku untuk pergi tanpa
Edward. Maksudku, seharusnya
kami terap di sini, bersama-sama, Tapi aku terpancing jawabannya, dan agak
tersinggung. Masa aku tidak bisa
terbang melintasi negeri tanpa menyebabkan pesawatnya jatuh? Lucu sekali.
“Misalnya kesialanku benar-benar menyebabkan pesawat yang kita tumpangi jatuh.
Apa persisnya yang akan kau lakukan dalam situasi itu?”
“Mengapa pesawatnya jatuh?”
Edward berusaha menyembunyikan senyumnya sekarang.
“Pilot-pilotnya teler berat karena mabuk.”
“Gampang. Aku tinggal menerbangkan pesawatnya.” Tentu saja. Kukerucutkan
bibirku dan mencoba lagi.
“Kedua mesinnya meledak dan pesawat yang kita tumpangi berputar-putar di udara
menukik ke bumi.”
“Akan ku tunggu sampai kita sudah cukup dekat dengan tanah, memegangimu
erat-erat, menendang pintu pesawat hingga terbuka, lalu melompat keluar. Ialu
aku akan lari membawamu kembali ke lokasi jatuhnya pesawat, dan kita berjalan
tersaruksaruk di sekitarnya, seperti dua korban selamat beruntung dalam sejarah.”
Kutatap dia, tak mampu berkata apa-apa.
"Apa?" bisiknya.
Aku menggeleng takjub. "Tidak apa-apa.” jawabku, mulurku bergerak-gerak
tanpa suara, Kuhapus percakapan yang meresahkan itu dan menulis sebaris kalimat
lagi.
“kau harus memberitahu aku lain kali.”
Aku tahu pasti akan ada lain kali. Polanya akan terus berlanjut sampai salah
satu pihak kalah. Edward menatap mataku beberapa saat. Aku penasaran, terlihat
seperti apakah wajahku – rasanya dingin, berarti darah belum beredar lagi ke
pipiku. Bulu mataku masih basah. Edward mendesah,. kemudian mengangguk satu
kali.
“Trim's.”
Kertas itu lenyap dari bawah tanganku. Aku mendongak, mengerjap-ngerjap kaget,
dan tepat saat itu Mr. Berry
berjalan di lorong kelas.
"Ada yang ingin kaubagi dengan kami, Mr. Cullen?" Edward mendongak
dengan sikap tak berdosa dan
mengulurkan kertas yang tergeletak di atas mapnya.
"Catatan saya?" tanyanya, terdengar bingung.
Mr. Berry mengamati catatan itu – tak diragukan lagi isinya catatan pelajaran
barusan – kemudian berjalan pergi
dengan kening berkerut, Belakangan, di kelas Kalkulus – satu-satunya kelas yang
kuikuti tanpa Edward – aku mendengar gosip itu.
“Aku bertaruh untuk kemenangan si Indian bongsor,” seseorang berkata.
Aku mengintip dan melihat Tyler, Mike, Austin, dan Ben duduk berempat sambil
mendekatkan kepala masingmasing, asyik mengobrol.
"Yeah,” bisik Mike. "Kau lihat nggak tadi, badan bocah bernama Jacob
itu besar sekali? Menurutku, dia pasti
sanggup menghabisi Cullen.” Kedengarannya Mike senang membayangkan hal itu.
"Sepertinya tidak,” Ben tidak sependapat. “Ada sesuatu dalam diri Edward.
Dia selalu sangat... percaya diri. Aku
punya firasat dia mampu membela dirinya sendiri.”
"Aku setuju dengan Ben,” Tyler sependapat, "Lagi pula. kalau anak itu
berani membuat masalah dengan Edward,
kau kan tahu kakak-kakak Edward yang badannya besarbesar itu pasti akan ikut
campur.”
"Kau belum pernah ke La Push lagi ya, belakangan ini?" sergah Mike.
"Lauren dan aku pergi ke pantai beberapa
minggu lalu, dan percaya deh, teman-teman Jacob sama besarnya dengan dia.”
"Hah,” tukas Tyler. "Sayang tadi tidak sampai terjadi perkelahian,
Kurasa kita takkan pernah tahu bagaimana
hasilnya kalau itu benar-benar terjadi.”
"Kelihatannya sih urusannya belum selesai,” kata Austin.
"Mungkin kita bakal melihatnya.” Mike nyengir. "Ada yang mau
taruhan?'
"Sepuluh dolar buat Jacob,” Austin langsung menyambar.
"Sepuluh dolar buat Cullen,” Tyler ikut-ikutan.
"Sepuluh dolar buat Edward,” Ben sependapat.
"Jacob,” kata Mike.
"Hei, kalian tahu nggak apa masalahnya?" Austin bertanya-tanya.
"Mungkin itu bisa memengaruhi
taruhannya.”
“Aku bisa menebak,” kata Mike, kemudian melayangkan pandangan ke arahku,
diikuti Ben dan Tyler
pada saat bersamaan. Dari ekspresi mereka, kentara sekali tak seorang pun menyadari
aku bisa mendengar percakapan mereka. Keempatnya cepat-cepat membuang muka,
berlagak membolak-balik kertas di meja masing-masing,
"Aku tetap menjagokan Jacob,” bisik Mike dengan suara pelan.
0 komentar:
Post a Comment