Eclipse Indonesia 12
12. WAKTU
"AKU meramalkan...,” Alice berkata dengan nada mengerikan.
Edward menyikut rusuk Alice, yang dengan tangkas berhasil dielakkannya.
"Baiklah,” gerutu Alice. "Edward memaksaku melakukannya. Tapi aku
memang meramalkan bahwa kau
akan bersikap lebih sulit kalau aku mengagetkanmu.”
Saat itu kami sedang berjalan ke mobil usai sekolah, dan aku benar-benar tidak
mengerti apa yang diocehkan Alice.
"Bisa mengatakannya dalam bahasa Inggris?" pintaku.
"Jangan rewel seperti bayi menyikapi ini, Tidak boleh marah-marah.”
"Sekarang aku benar-benar takut.”
"Jadi kau – maksudku kita – akan menyelenggarakan pesta kelulusan. Bukan
hal besar. Tidak perlu takut, Tapi
aku sudah melihat kau bakal mengamuk kalau aku menjadikannya pesta
kejutan" – Alice menari-nari
menghindar saat Edward mengulurkan tangan untuk mengacak-acak rambutnya-"
tapi kata Edward, aku harus
memberitahumu dulu. Pestanya kecil-kecilan kok. Janji.”
Aku mengembuskan napas berat. "Memang ada gunanya membantah?”
"Sama sekali tidak.”
"Oke, Alice. Aku akan datang. Dan aku pasti akan membenci setiap menitnya.
Janji.”
"Nah, begitu dong! Omong-omong, aku sangat menyukai hadiahku. Seharusnya
kau tidak perlu repot-repot.”
"Alice, aku tidak memberimu hadiah apa-apa!"
"Oh, aku tahu kok. Tapi kau akan memberiku hadiah.” Aku memutar otak
panik, berusaha mengingat-ingat aku
pernah memutuskan memberi hadiah kelulusan apa untuk Alice, yang mungkin
dilihatnya.
"Luar biasa.” gumam Edward. "Bagaimana bisa orang sekecil kau jadi
sangat menjengkelkan?"
Alice tertawa, "Itu bakat namanya.”
"Tidak bisa ya, menunggu beberapa minggu sebelum menceritakan padaku soal
ini?" tanyaku masam. "Sekarang aku akan stres lebih lama.” Alice
mengerutkan kening padaku.
"Bella,” ucapnya. "Kau tahu sekarang hari apa?"
"Senin?"
Alice memutar bola mata. "Ya. Sekarang hari Senin... tanggal empat.” Ia
menyambar sikuku, memutar tubuhku
setengah lingkaran, dan menuding poster kuning besar yang ditempel di pintu
gimnasium. Di sana, dalam huruf-huruf hitam terang, tertulis tanggal kelulusan.
Tepat satu minggu dari hari ini.
"Sekarang tanggal empat? Bulan Juni? Kau yakin?" Tak seorang pun
menjawab. Alice hanya menggeleng
sedih, pura-pura kecewa, dan alis Edward terangkat.
"Tidak mungkin! Bagaimana itu bisa terjadi?" Dalam hati aku
menghitung mundur, tapi tidak mengerti bagaimana
hari-hari bisa berlalu secepat itu. Aku merasa seakan-akan ada yang menendang
kakiku dan jatuh tersungkur. Berminggu-minggu aku stres dan khawatir... dan
entah bagaimana di tengah segala obsesiku memikirkan waktu, waktuku malah
lenyap begitu saja. Kesempatanku membereskan semuanya, menyusun rencana, habis
sudah. Aku kehabisan waktu. Dan aku belum siap.
Aku tak tahu bagaimana melakukannya. Bagaimana mengucapkan selamat berpisah
kepada Charlie dan Renee... kepada Jacob... kepada kondisiku sebagai manusia. Aku
tahu persis apa yang kuinginkan, tapi tiba-tiba saja aku takut menggapainya.
Teorinya, aku sangat ingin, bahkan bersemangat menukar ketidakabadian dengan
keabadian.
Bagaimanapun, itu kunci agar bisa bersama Edward selamanya. Apalagi ada fakta
aku diburu berbagai pihak,
baik yang dikenal maupun tidak. Aku lebih suka tidak duduk berpangku tangan,
tidak berdaya dan menggiurkan,
menunggu salah seorang dari mereka berhasil menangkapku.
Teorinya, semua itu masuk akal, Prakteknya... yang kutahu hanyalah menjadi
manusia. Masa depan di luar sana ibarat sumur dalam dan gelap yang takkan
kuketahui dasarnya sampai aku melompat ke dalamnya.
Pengetahuan sederhana seperti tanggal hari ini, misalnya yang kentara sekali
oleh alam bawah sadarku berusaha kuabaikan – membuat tenggat waktu yang begitu
kutunggu- tunggu terasa bagaikan tanggal untuk menghadapi regu tembak.
Samar-samar aku menyadari Edward membukakan pintu mobil untukku, Alice
berceloteh di kursi belakang, juga
suara hujan menderu menerpa kaca depan. Edward sepertinya menyadari hanya
tubuhku yang ada di sana; ia
tidak berusaha menggugahku dari lamunan. Atau mungkin ia sudah berusaha, tapi
aku tidak menggubrisnya.
Sesampainya di rumahku, Edward membimbingku ke sofa dan mendudukkanku di
sampingnya. Aku memandang ke luar jendela, ke kabut kelabu cair, dan berusaha menemukan
lagi ketetapan hariku yang lenyap entah ke mana. Kenapa sekarang aku justru
panik? Aku sudah tahu tenggat waktunya sebentar lagi tiba. Kenapa aku harus ketakutan
jika saat itu benar-benar tiba?
Entah berapa lama Edward membiarkanku menerawang ke luar Jendela sambil berdiam
diri. Tapi setelah hujan
lenyap ditelan malam, akhirnya ia tak tahan lagi. Edward merengkuh wajahku
dengan kedua tangannya
yang dingin, dan menatapku lekat-lekat dengan mata emasnya.
"Maukah kau memberitahuku apa yang sedang kaupikirkan? Sebelum aku jadi
gila?"
Apa yang bisa kukatakan padanya? Bahwa aku pengecut? Aku mencari-cari kata yang
tepat.
"Bibirmu pucat. Bicaralah, Bella.”
Aku mengembuskan napas besar-besar. Sudah berapa lama aku menahan napas?
"Tanggal itu membuatku kaget,” bisikku. "Itu saja.”
Edward menunggu, wajahnya sarat kekhawatiran dan tampak skeptis. Aku mencoba
menjelaskan. “Aku tidak yakin harus melakukan apa... harus mengatakan apa
kepada Charlie... apa yang harus dikatakan bagaimana...
Suaraku menghilang.
“Jadi bukan masalah pesta?"
Aku mengerutkan kening. "Bukan. Tapi terima kasih karena mengingatkanku."
Hujan terdengar semakin keras saat Edward menilik wajahku. .
"Kau belum siap,” bisiknya.
"Sudah,” aku langsung berbohong, reaksi yang sangat spontan. Kentara
sekali Edward tidak percaya, jadi au
menarik napas dalam-dalam, dan mengatakan hal sebenarnya. "Aku harus
siap.”
"Kau tidak harus melakukan apa-apa.”
Bisa kurasakan kepanikan muncul dalam tatapanku saat aku menyebut
alasan-alasannya tanpa suara. "Victoria,
Jane, Caius, siapa pun dia, masuk ke kamarku,..!”
"Itu justru alasan untuk menunggu.”
"Itu tidak masuk akal, Edward!"
Edward menempelkan tangannya lebih erat lagi di wajahku dan sengaja berbicara
lambat-lambat.
"Bella. Tak seorang pun dari kami punya pilihan. Kau sudah tahu
akibatnya... bagi Rosalie terutama. Kami
berjuang dengan susah payah, berusaha berdamai dengan diri sendiri untuk
sesuatu yang tak bisa kami kendalikan. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi
padamu. Kau harus punya pilihan.”
"Aku sudah menetapkan pilihan.”
"Kau tidak boleh mengambil keputusan hanya karena ada pedang diacungkan di
atas kepalamu. Kami akan
membereskan masalah itu, dan aku akan menjagamu.”
Edward bersumpah. "Kalau kita sudah bisa mengatasinya, dan tidak ada yang
memaksamu mengambil keputusan, barulah kau bisa memutuskan untuk bergabung
denganku, kalau kau masih menginginkannya. Tapi tidak saat kau takut. Kau tidak
boleh melakukannya dengan terpaksa.”
"Carlisle sudah berjanji,” gumamku, berlawanan dengan kebiasaan.
"Setelah kelulusan.”
"Tidak sampai kau siap,” tukas Edward mantap. "Dan jelas tidak saat
kau merasa terancam.”
Aku tidak menyahut. Aku malas berdebat; rasanya aku tak bisa menemukan
komitmenku saat itu.
"Sudahlah,” Edward mengecup keningku. "Tak ada yang perlu
dikhawatirkan.”
Aku tertawa lemah. "Tidak ada kecuali kiamat yang sebentar lagi
datang"
"Percayalah padaku."
“Aku percaya.” Edward masih mengawasi wajahku, menungguku rileks.
"Boleh kutanyakan sesuatu?” tanyaku.
"Apa saja.”
Aku ragu-ragu, menggigit bibir, kemudian mengajukan pertanyaan lain yang selama
ini kukhawatirkan.
"Memangnya aku akan memberi hadiah apa untuk kelulusan Alice?"
Edward terkekeh. "Kelihatannya kau akan membelikan tiket konser untuk kami
berdua...”
"Ya, benar!" Aku lega sekali, nyaris tersenyum. "Konser di
Tacoma. Aku melihat iklannya di koran minggu lalu, dan kupikir kalian pasti
suka kalau kuberi hadiah tiket konser, karena katamu CD-nya bagus.”
"Ide yang bagus sekali. Terima kasih.”
"Mudah-mudahan saja tiketnya belum habis terjual.”
"Yang penting niatnya. Soal itu aku pasti tahu.” Aku mendesah.
"Ada hal lain yang ingin kautanyakan.” kata Edward. Keningku berkerut,
"Kau hebat."
“Aku banyak berlatih membaca wajahmu. Tanyakan padaku.”
Aku memejamkan mata dan mencondongkan tubuh kepadanya, menyembunyikan wajahku
di dadanya. "Kau
tidak mau aku menjadi vampir."
"Memang tidak,” kata Edward lirih, kemudian menunggu. "Itu bukan
pertanyaan.” desaknya beberapa
saat kemudian.
"Well... aku khawatir tentang... kenapa kau merasa seperti itu.”
"Khawatir?" Edward mengulangi kata itu dengan kaget.
"Maukah kau menjelaskan kepadaku kenapa? Sejujurnya, tanpa menghiraukan
perasaanku?"
Edward ragu-ragu sejenak. "Kalau aku menjawab pertanyaanmu, maukah kau
menjelaskan pertanyaanmu?"
Aku mengangguk, wajahku masih tersembunyi di dadanya. Edward menarik napas
dalam-dalam sebelum menjawab.
"Kau bisa melakukan jauh lebih baik daripada ini, Bella. Aku tahu kau
percaya aku punya jiwa, tapi aku tidak
sepenuhnya yakin akan hal itu, jadi mempertaruhkan jiwamu...” Edward menggeleng
lambat-lambat, "Bagiku,
mengizinkan hal ini – membiarkanmu menjadi seperti aku hanya supaya aku takkan
pernah kehilanganmu – adalah tindakan paling egois yang bisa kubayangkan. Aku
sangat menginginkannya, lebih daripada apa pun, untuk diriku sendiri. Tapi
untukmu, aku menginginkan lebih dari itu. Menuruti kemauanmu – rasanya seperti
melakukan kejahatan. Itu hal paling egois yang pernah kulakukan, bahkan bila
aku hidup selamanya.”
"Seandainya ada cara supaya aku bisa menjadi manusia untukmu – tak peduli
apa pun risikonya, aku rela
menanggungnya.”
Aku duduk diam tak bergerak, menyerap semua itu. Edward merasa dirinya egois. Aku
merasa senyumku pelan-pelan merekah.
“Jadi... bukan karena kau takut kau tidak akan menyukaiku sebesar sekarang
setelah aku berubah nanti –
kalau tubuhku tak lagi lunak dan hangat dan bauku tak lagi sama? Kau benar-benar
mau mempertahankanku, tak peduli bagaimanapun jadinya aku nanti?"
Edward mengembuskan napas keras-keras, "Kau khawatir aku tidak akan
menyukaimu?" tuntutnya.
Kemudian, belum sempat aku menjawab, tawanya sudah meledak. "Bella, untuk
ukuran orang yang sangat intuitif kau bisa begitu konyol!"
Aku tahu Edward pasti menganggapku konyol, rapi aku lega. Kalau ia benar-benar
menginginkanku, aku pasti
sanggup melewati sisanya... entah bagaimana caranya. Egois tiba-tiba terasa
bagaikan kata yang indah.
"Kukira kau tidak sadar betapa lebih mudahnya itu bagiku, Bella,” kata
Edward, masih terdengar secercah nada
humor dalam suaranya, "kalau aku tidak perlu berkonsentrasi setiap saat
agar tidak membunuhmu. Jelas,
aku pasti akan kehilangan beberapa hal. Salah satunya ini...”
Ia menatap mataku sambil membelai pipiku, dan aku merasakan darah mengalir
cepat dan membuat kulitku
merah padam. Edward tertawa lembut.
"Dan mendengar detak jantungmu,” sambungnya, lebih serius tapi tetap
tersenyum kecil, "Itu suara paling signifikan di duniaku. Aku sudah sangat
terbiasa mendengarnya sekarang, aku bahkan bisa mendengarnya dari jarak beberapa
kilometer. Tapi hal-hal itu tidak berarti. Ini,”
ujarnya, merengkuh wajahku dengan kedua tangan. "Kau. Itulah yang
kupertahankan. Kau tetap Bella-ku, hanya
sedikit lebih kuat.”
Aku mendesah dan membiarkan mataku terpejam karena senang, meletakkan wajahku
di tangannya.
"Sekarang, maukah kau menjawab pertanyaanku? Sejujurnya, tanpa
menghiraukan perasaanku?" tanya
Edward.
"Tentu saja,” jawabku langsung, mataku terbuka lebar karena kaget. Apa
yang ingin ia ketahui?
Edward berbicara lambat-lambat. "Kau tidak mau menjadi istriku.”
Jantungku berhenti berdetak, dan sejurus kemudian berpacu cepat. Keringat
dingin merembes di tengkuk dan
kedua tanganku berubah menjadi es. Edward menunggu, mengawasi, dan mendengarkan
reaksiku.
"Itu bukan pertanyaan,” bisikku akhirnya. Edward menunduk, bulu matanya
memantulkan bayangan panjang di tulang pipinya. Ia menurunkan tangannya dari
wajahku dan meraih tangan kiriku yang membeku. Ia memainkan jari-jariku sambil
bicara.
“Aku khawatir kenapa kau merasa seperti itu.” Aku mencoba menelan ludah.
"Itu juga bukan
pertanyaan,” bisikku.
"Please, Bella?”
"Sejujurnya?" tanyaku, hanya bisa menggerakkan mulutku tanpa suara.
"Tentu saja. Aku bisa menerimanya, apa pun itu.”
Aku menghela napas dalam-dalam, "Kau pasti akan menertawakanku.”
Edward menatapku, syok. "Menertawakan? Sulit membayangkannya."
"Lihat saja nanti.” gumamku, lalu mendesah. Wajahku berubah dari putih ke
merah padam karena perasaan malu yang tiba-tiba muncul. "Oke, baiklah! Aku
yakin kedengarannya akan seperti lelucon besar bagimu, tapi ini
benar! Ini sangat... sangat... sangat memalukan? Aku mengakui, dan menyembunyikan
wajahku di dadanya lagi.
Sejenak tidak ada yang mengatakan apa-apa.
"Aku tidak mengerti.”
Aku mendongak dan menatapnya garang, perasaan malu membuatku menyampaikan
maksudku dengan pedas dan sengit.
"Aku bukan gadis seperti itu, Edward. Yang langsung menikah begitu lulus
SMA, seperti gadis kota kecil
kampungan yang hamil di luar nikah! Tahukah kau bagaimana pikiran orang nanti?
Sadarkah kau abad berapa
sekarang? Tak ada orang yang menikah pada umur delapan belas sekarang! Bukan
orang-orang yang cerdas,
bertanggung jawab, dan matang! Aku tidak mau menjadi seperti itu! Aku tidak
seperti itu...” Kata-kataku
menghilang, kehilangan kegarangannya. Wajah Edward tak terbaca saat ia mencoba
mencerna jawabanku.
"Hanya itu?" tanyanya akhirnya.
Aku mengerjapkan mata. “Apa itu belum cukup?”
"Jadi bukan karena kau.. lebih bersemangat memperoleh keabadian daripada
hanya mendapatkan aku?"
Kemudian, walaupun tadinya aku mengira Edward akan tertawa, mendadak justru
akulah yang tertawa histeris.
"Edward!" Aku megap-megap kehabisan napas di selasela tawaku.
"Ya ampun... padahal aku... mengira... kau...
jauh... lebih cerdas daripada aku!"
Edward meraihku dalam pelukannya, dan aku bisa merasakan ia tertawa bersamaku.
"Edward,” kataku, berusaha berbicara lebih jelas, "tidak ada gunanya
hidup selamanya tanpa kau. Aku tidak mau
hidup satu hari pun tanpa kau.”
"Well, lega mendengarnya,” kata Edward.
"Meski begitu... tetap saja itu tidak mengubah apa-apa.”
"Tapi senang rasanya bisa memahaminya. Dan aku bisa memahami sudut
pandangmu, Bella, sungguh. Tapi aku
benar-benar sangat senang kalau kau mau mencoba mempertimbangkan sudut
pandangku.”
Aku sudah kembali tenang, jadi aku pun mengangguk dan berusaha keras menghapus
kerutan di keningku.
Mata emas cair Edward menatapku lekat-lekat, membuatku merasa seperti
dihipnotis.
"Begini, Bella, sejak dulu aku sudah menjadi laki-laki itu. Dalam duniaku,
aku sudah dewasa, Aku tidak mencari
cinta – tidak, saat itu aku terlalu bersemangat menjadi prajurit hingga tidak
peduli pada cinta, aku tidak
memikirkan yang lain selain betapa mulianya terjun ke medan perang seperti yang
selalu mereka dengungdengungkan terhadap para calon tentara yang mendaftar – tapi
seandainya aku menemukan...” Edward terdiam sejenak, menelengkan kepala ke satu
sisi. “Aku tadi hendak mengatakan seandainya aku menemukan seseorang, tapi itu tidak
tepat. Seandainya aku menemukanmu, tidak ada keraguan dalam pikiranku bagaimana
aku memulainya. Aku laki-laki itu, yang – begitu mengetahui kaulah orang yang
kucari – akan langsung berlutut dan melamarmu. Aku pasti menginginkanmu untuk
selama-lamanya, bahkan saat kata itu tidak memiliki arti yang sama.”
Edward menyunggingkan senyum miringnya padaku. Kutatap dia dengan mata
membelalak lebar.
"Tarik napas, Bella,” ia mengingatkanku sambil tersenyum.
Aku menarik napas.
"Bisakah kau melihat dari sisiku, Bella, walaupun sedikit saja?”
Dan sejenak aku bisa. Aku melihat diriku dalam balutan gaun panjang dan blus
renda-renda berleher tinggi, dengan rambut disanggul tinggi-tinggi. Aku melihat
Edward tampak tampan dalam setelan jas warna terang, memegang buket bunga-bunga
liar, duduk berdampingan denganku di ayunan teras.
Aku menggeleng dan menelan ludah. Aku baru saja melihat kilas balik seperti
dalam novel Anne of Green Gables.
"Masalahnya, Edward,” kataku dengan suara gemetar, menghindari
pertanyaannya, ''dalam pikiranku, pernikahan dan selamanya tidak selalu berkaitan.
Dan berhubung saat ini kita hidup di duniaku, mungkin sebaiknya kira ikuti saja
zaman ini, kalau kau mengerti maksudku."
"Tapi di lain pihak.” tukas Edward, "sebentar lagi kau akan meninggalkan
konsep waktu untuk selama-lamanya.
Jadi kenapa kebiasaan fana sebuah kebudayaan lokal harus sangat memengaruhi
keputusanmu?”
Aku mengerucutkan bibir, "Kau harus beradaptasi dengan kebudayaan
setempat, Edward.”
Edward menertawakanku. "Kau tidak perlu mengatakan ya atau tidak hari ini,
Bella. Tapi ada baiknya kita
memahami dua sudut pandang yang berbeda, bukankah begitu menurutmu?”
"Jadi syaratmu...?”
"Masih berlaku. Aku bisa memahami sudut pandangmu, Bella, tapi kalau kau
mau aku sendiri yang
mengubahmu...."
"Teng-teng-teng-teng, teng-teng-teng.” gumamku pelan.
Sebenarnya aku bermaksud menyenandungkan mars pernikahan, tapi kedengarannya malah
seperti nyanyian
kematian. Waktu terus berjalan terlalu cepat. Malam itu berlalu tanpa diganggu
mimpi, tiba-tiba hari sudah pagi dan had kelulusan membayang di depan mata. Ada
setumpuk pelajaran yang harus kupelajari untuk ujian
akhir, dan aku tahu aku bahkan tidak akan bisa menguasai setengahnya dalam
beberapa hari yang tersisa.
Waktu aku turun untuk sarapan, Charlie sudah berangkat. Ia meninggalkan
korannya di meja, dan itu
membuatku teringat harus membeli sesuatu. Mudahmudahan saja iklan penjualan
tiket konser masih ada; aku
butuh nomor teleponnya untuk membeli tiket-tiket bodoh itu. Sepertinya sudah
bukan hadiah istimewa lagi, karena tidak ada unsur kejutannya. Tentu saja, berusaha
memberi kejutan untuk Alice bukanlah ide cemerlang.
Aku bermaksud langsung menuju bagian hiburan, tapi judul berita utama yang
dicetak hitam tebal menarik
perharianku. Hatiku bagai dicengkeram kengerian saat membungkuk dan membaca
lebih saksama berita di
halaman depan.
SEATTLE DITEROR PEMBANTAIAN
Belum sampai saru dekade berlalu sejak Seattle jadi medan perburuan bagi
pembunuh berantai paling keji sepanjang sejarah Amerika Serikat. Gary Ridgway,
yang dijuluki Pembunuh Green River, dijatuhi hukuman karena membunuh 48 wanita.
Dan kini, Seattle harus menghadapi kemungkinan menjadi tempat berdiam monster yang
bahkan lebih kejam lagi.
Polisi tidak menyimpulkan serangkaian pembunuhan dan peristiwa orang hilang
yang begitu sering terjadi akhir-akhir ini sebagai perbuatan pembunuh berantai.
Paling tidak belum. Polisi enggan meyakini pembantaian sesadis ini merupakan
hasil perbuatan satu orang. Itu berarti si pembunuh – bila, memang benar,
pelakunya hanya satu orang – bertanggung jawab atas 39 pembunuhan dan kasus
orang hilang yang saling berhubungan
hanya dalam kurun waktu tiga bulan. Sebagai perbandingan, 48 kasus pembunuhan
yang dilakukan Ridgway dilakukan dalam kurun waktu 21 tahun. jika
pembunuhan-pembunuhan ini bisa dikaitkan ke satu orang, ini akan jadi kasus
pembantaian terbesar yang dilakukan seorang pembunuh berantai sepanjang sejarah
Amerika.
Polisi cenderung lebih meyakini teori bahwa pembantaian ini dilakukan
sekelompok orang. Teori ini didasari pada banyaknya korban, serta fakta bahwa
tampaknya tidak ada pola khusus dalam pemilihan korban.
Dari Jack The Ripper hingga Ted Bundy, target pembunuhan berantai biasanya
dihubungkan dengan kesamaan usia, gender, ras, atau kombinasi ketiganya.
Sementara korban-korban kejahatan ini bervariasi, mulai dari pelajar cemerlang
berusia 15 tahun Amanda Reed, hingga pensiunan tukang pos Omar Jenks berusia 67
tahun. Jumlah korbannya juga nyaris seimbang dalam hal jenis kelamin, yaitu 18
wanita dan 21 pria. Ras para korban
pun bermacam-macam: Kaukasia, Afrika-Amerika, Hispanik, dan Asia.
Pilihan tampaknya dilakukan secara acak. Motifnya seolaholah membunuh tanpa
alasan lain selain ingin membunuh jadi mengapa mesti mempertimbangkan ini
sebagai kasus pembunuhan berantai?
Cukup banyak kesamaan dalam modus operandi untuk mencoret kemungkinan
kejahatan-kejahatan tersebut tidak saling berhubungan. Setiap korban ditemukan
dalam keadaan hangus terbakar hingga dibutuhkan catatan gigi untuk proses
identifikasi. Ada indikasi digunakannya semacam zat akseleran, seperti bensin
atau alkohol, untuk membakar mayat-mayat korban; namun sisa akseleran tak
pernah ditemukan. Semua mayat korban dibuang begitu saja tanpa upaya
menyembunyikannya. Yang lebih mengerikan lagi, sebagian besar mayat menunjukkan
bukti telah terjadinya kekerasan brutal – tulangtulang remuk, seperti diremukkan
tekanan yang sangat kuat – yang oleh petugas forensik diyakini terjadi sebelum
korban meninggal, walaupun kesimpulan tersebut sulit dipastikan kebenarannya,
mengingat kondisi korban.
Kemiripan lain yang mengarah pada kemungkinan bahwa hal ini merupakan
pembunuhan berantai: tidak ada bukti sedikit pun yang tertinggal di tubuh
korban, kecuali mayat korban sendiri.
Tidak ada sidik jari, tidak ada jejak ban ataupun rambut asing yang tertinggal.
Juga tidak ada yang pernah melihat pelaku yang dicurigai dalam berbagai
peristiwa orang hilang itu. Kemudian peristiwa lenyapnya para korban itu
sendiri sama sekali tidak dilakukan sembunyi-sembunyi. Tak seorang korban
pun bisa dianggap sebagai sasaran empuk. Tidak ada yang lari dari rumah atau
menggelandang di jalanan, yang mudah hilang dan jarang dilaporkan sebagai orang
hilang. Para korban lenyap dari rumah mereka, dari apartemen lantai empat, dan
klub kebugaran, dari resepsi pernikahan. Mungkin yang paling
mencengangkan: petinju amatir berusia 30 tahun, Robert Walsh, datang ke bioskop
bersama teman kencannya; beberapa menit setelah film diputar, wanita tersebut
sadar korban sudah tak ada lagi di kursinya. Jenazahnya ditemukan tiga jam
kemudian setelah regu pemadam kebakaran dipanggil ke lokasi terbakarnya
tempat pembuangan sampah, 32 kilometer dari bioskop, Pola lain yang ditemukan
dalam pembantaian itu: semua korban hilang pada malam hari.
Dan pola apakah yang paling menakutkan? Kecepatan. Enam di antaranya dilakukan
pada bulan pertama, 11 pada bulan kedua. Dua puluh dua terjadi dalam kurun
waktu 10 hari terakhir. Dan polisi belum juga menemukan pihak yang bertanggung
jawab sejak jenazah hangus pertama ditemukan.
Bukti-bukti yang ada saling bertentangan, bagian-bagiannya mengerikan. Geng
baru yang kejam atau pembunuh berantai yang terlalu aktif? Atau hal lain yang
belum terpikirkan polisi? Hanya saru kesimpulan yang tak terbantahkan lagi:
sesuatu yang mengerikan mengintai Seattle. Aku sampai harus membaca kalimat
terakhir tiga kali, dan sadarlah aku itu karena tanganku gemetar.
"Bella?"
Walaupun sedang berkonsentrasi, suara Edward, meski tenang dan sudah bisa
diduga kehadirannya, tetap saja
membuatku terkesiap dan membalikkan badan dengan cepat. Edward bersandar di
ambang pintu, alisnya bertaut, Kemudian tiba-tiba saja ia sudah berada di
sisiku, meraih tanganku.
“Aku membuatmu kaget, ya? Maaf Padahal aku tadi sudah mengeruk pintu..."
"Tidak, tidak.” aku buru-buru menjawab, "Kau sudah melihat ini?"
Kutunjuk koran itu.
Kening Edward berkerut.
“Aku belum membaca berita hari ini. Tapi aku tahu keadaannya makin parah. Kami
harus melakukan sesuatu
secepatnya.”
Aku tidak suka mendengarnya. Aku tidak suka mereka mengambil risiko, dan apa pun
atau siapa pun yang ada di Seattle benar-benar mulai membuatku ngeri. Tapi membayangkan
keluarga Volturi datang juga sama mengerikannya.
“Apa kata Alice?"
"Itulah masalahnya,” Kerutan di kening Edward mengeras, "Dia tidak bisa
melihat apa-apa.. walaupun kami
sudah berkali-kali menetapkan pikiran untuk mengeceknya. Dia mulai merasa tidak
percaya diri. Dia merasa terlalu banyak hal luput dari perhatiannya belakangan
ini, takut kalau-kalau ada yang tidak beres. Bahwa mungkin kemampuan visinya
mulai hilang.”
Mataku membelalak. "Bisakah itu terjadi:?"
"Siapa tahu? Tidak ada yang pernah meneliti... tapi aku benar-benar
meragukannya. Hal-hal ini cenderung semakin intensif seiring berjalannya waktu.
Lihat saja Aro dan Jane.”
"Kalau begitu apa masalahnya?”
"Ramalan yang digenapi dengan sendirinya, kurasa. Karena kita
menunggu-nunggu Alice melihat sesuatu
supaya kita bisa pergi tapi dia tidak melihat apa-apa karena kira tidak
benar-benar pergi sampai dia melihat sesuatu. Jadi dia tidak melihat kita di
sana. Mungkin kita harus melakukannya begitu saja.”
Aku bergidik. "Tidak.”
"Kau ingin masuk kelas atau tidak hari ini? Ujian akhir tinggal beberapa
hari lagi; tidak mungkin ada materi baru.”
"Kurasa aku bisa bolos satu hari. Kita mau melakukan apa?"
''Aku ingin bicara dengan Jasper.”
Jasper, lagi. Aneh. Di keluarga Cullen, Jasper selalu agak berada di pinggir,
ia adalah bagian dari segalanya tapi tak pernah menjadi pusat segalanya. Aku
punya asumsi sendiri ia hanya ada untuk Alice. Firasatku mengatakan, meski rela
mengikuti Alice ke mana pun, namun gaya hidup ini bukanlah pilihan pertamanya.
Fakta bahwa ia kurang berkomitmen pada gaya hidup ini ketimbang yang lain-lain mungkin
menjadi alasan ia lebih sulit mengikutinya.
Bagaimanapun, aku tidak pernah melihat Edward merasa tergantung kepada Jasper.
Aku jadi penasaran lagi,
apa yang dimaksud Edward mengenai keahlian Jasper. Aku tidak tahu banyak tentang
riwayat hidup Jasper, hanya bahwa ia berasal dari suatu tempat di selatan
sebelum Alice menemukannya. Entah mengapa, Edward selalu mengelak bila ditanya
tentang saudara lelaki terbarunya itu, Dan aku selalu merasa terintimidasi oleh
vampir jangkung pirang mirip bintang film pendiam itu untuk menanyakannya secara
langsung.
Sesampainya di rumah kami menemukan Carlisle, Esme, dan Jasper sedang tekun
menyimak siaran berita, walaupun suaranya kecil sekali hingga aku tak bisa
mendengar. Alice duduk di anak tangga paling bawah, bertopang dagu dengan ekspresi
muram. Saat kami datang, Emmett melenggang keluar dari pintu dapur, terlihat
sangat santai. Ia memang tak pernah memusingkan apa pun.
"Hai, Edward. Membolos, Bella?" Ia nyengir padaku.
"Kami sama-sama bolos,” Edward mengingatkannya. Emmett terbahak.
"Memang, tapi ini kan pertama kalinya Bella menjalani masa-masa SMA. Bisa saja
dia kehilangan sesuatu.”
Edward memutar bola matanya, tapi tak menggubris saudara kesayangannya itu. Ia
melemparkan koran ke arah
Carlisle.
"Sudah baca bahwa polisi sekarang mempertimbangkan kemungkinan pelakunya
pembunuh berantai?" tanyanya. Carlisle mendesah. "Ada dua spesialis
memperdebatkan kemungkinan itu di CNN sepanjang pagi ini.”
"Kita tidak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut.”
"Kita pergi saja sekarang," seru Emmett, mendadak antusias. ''Aku
bosan setengah mati.”
Suara desisan bergema di tangga dari lantai atas,
"Pesimis betul dia,” gerutu Emmett pada dirinya sendiri. Edward
sependapat, "Kita memang harus pergi suatu
saat nanti.”
Rosalie muncul di puncak tangga dan turun pelan-pelan. Wajahnya mulus, tanpa
ekspresi,
Carlisle menggeleng-gelengkan kepala. ''Aku khawatir. Kira tidak pernah
melibatkan diri dengan hal semacam ini
sebelumnya. Ini bukan urusan kita. Kita bukan keluarga Volturi.”
''Aku tidak mau keluarga Volturi sampai harus datang ke sini.” kata Edward.
"Jika itu terjadi, kita tak punya banyak waktu untuk bereaksi.”
"Belum lagi manusia-manusia tak berdosa di Seattle sana,” imbuh Esme.
"Tidak benar membiarkan mereka mati
seperti ini."
"Memang.” desah Carlisle.
"Oh.” sergah Edward tajam, memalingkan kepala sedikit untuk menatap Jasper.
"Itu tidak terpikir olehku. Jadi begitu. Kau benar, pasti itu. Well, semua
jadi berubah kalau begitu.”
Bukan hanya aku yang memandangi Edward dengan sikap bingung, tapi mungkin hanya
aku satu-satunya yang
tidak terlihat sedikit jengkel.
"Kurasa ada baiknya kaujelaskan pada yang lain-lain,” saran Edward kepada
Jasper. “Apa tujuannya?” Edward
mulai berjalan mondar-mandir, memandangi lantai, hanyut dalam pikirannya
sendiri. Aku tidak melihatnya berdiri, tapi tiba-tiba Alice sudah ada di
sampingku. “Apa yang diocehkan Edward?"
tanyanya pada Jasper. "Apa yang sedang kaupikirkan?" Jasper tampak
risi menjadi pusat perhatian. Ragu-ragu,
setelah mengamati wajah semua yang mengelilinginya – karena semua merubung
untuk mendengarkan
perkataannya – matanya kemudian tertuju padaku.
"Kau bingung," katanya padaku, suaranya yang dalam sangat tenang.
Tidak ada nada bertanya dalam asumsinya. Jasper tahu apa yang kurasakan, apa
yang dirasakan semua orang.
"Kira semua bingung," gerutu Emmett.
"Kau punya waktu yang cukup untuk bersikap sabar,” kata Jasper pada Emmet.
"Bella juga harus memahami hal
ini. Dia sudah menjadi bagian dari kita sekarang.”
Kata-kata Jasper membuatku terkejut. Meski jarang sekali berurusan dengan Jasper,
apalagi sejak ulang tahunku tempo hari waktu ia mencoba membunuhku, aku tidak mengira
ia berpikir begitu mengenalku.
"Berapa banyak yang kauketahui tentang aku, Bella?” tanya Jasper.
Emmett mendesah sok dramatis, lalu mengempaskan diri ke sofa untuk menunggu
dengan sikap tidak sabar yang dilebih-lebihkan.
“Tidak banyak,” aku mengakui. Jasper menatap Edward, yang mendongak dan
membalas tatapannya.
"Tidak,” Edward menjawab pikirannya. “Aku yakin kau bisa mengerti kenapa
aku belum menceritakan hal itu
padanya. Tapi kurasa dia perlu mendengarnya sekarang.”
Jasper mengangguk dengan sikap khidmat, kemudian mulai menggulung lengan sweter
warna gading yang
dipakainya. Aku mengawasinya, ingin tahu dan bingung, berusaha memahami apa yang
ia lakukan. Jasper memegang pergelangan tangannya di bawah kap lampu meja di sebelahnya,
dekat bola lampu, dan jarinya menyusuri bekas luka berbentuk bulan sabit di
kulitnya yang pucat.
Butuh waktu semenit untuk menyadari mengapa bentuk itu tampak tak asing di
mataku.
"Oh,” desahku begitu tersadar, "Jasper, bekas lukamu mirip sekali
dengan bekas lukaku.”
Aku mengulurkan tangan, bulan sabit keperakan itu terlihat lebih jelas di
kulitku yang berwarna krem ketimbang
di kulit Jasper yang sewarna pualam.
Jasper tersenyum samar. "Aku punya banyak bekas luka seperti bekas lukamu,
Bella.”
Wajah Jasper tak terbaca saat ia menyingkapkan lengan sweter tipisnya lebih ke
aras lagi. Awalnya mataku tidak
mengenali tekstur tebal yang melapisi permukaan kulitnya. Mengingat warnanya
yang putih di atas dasar putih, bentuk bulan sabit melengkung silang-menyilang
dalam pola seperti bulu itu hanya bisa dilihat karena bantuan sinar terang lampu
di sebelahnya. Tekstur itu jadi agak timbul seperti relief, dengan
bayang-bayang pendek mengelilingi garisgaris luarnya. Kemudian aku terkesiap
karena pola itu ternyata dibentuk bulan sabit seperti yang ada di pergelangan
tangannya seperti yang ada di tanganku.
Kupandangi lagi bekas lukaku yang kecil dan sendirian – dan ingat bagaimana aku
mendapatkannya. Kupandangi bentuk gigi James yang terukir selamanya di kulitku.
Kemudian aku terkesiap, mendongak menatap Jasper.
"Jasper, apa yang terjadi padamu?"
0 komentar:
Post a Comment