Eclipse Indonesia 22
22. API DAN ES
ANGIN kembali mengguncang tenda, dan aku ikut berguncang bersamanya. Temperatur
turun drastis. Aku bisa merasakannya menyusup ke dalam kantong tidurku, menembus
jaketku. Aku berpakaian lengkap, sepatu bot hikingku masih terikat di kaki.
Tapi itu tidak terlalu berpengaruh. Bagaimana mungkin bisa sedingin ini?
Bagaimana hawa bisa terus semakin dingin? Bagaimanapun, temperatur harus mencapai
titik terendah juga, bukan?
"J-j-j-j-jam b-b-b-berapa ini?" kupaksa kata-kata itu keluar dari
gigiku yang gemeletukkan.
"Jam dua,"jawab Edward.
Edward duduk sejauh mungkin dalam ruangan sempit itu, bahkan takut untuk
menghembuskan napasnya ke
tubuhku karena aku sudah sangat kedinginan. Hari sudah sangat gelap hingga aku
sudah tak bisa melihat wajahnya, tapi suaranya serat kekhawatiran, keraguan dan
perasaan frustrasi.
"Mungkin..."
"Tidak, aku b_b_b-b-baik-b-b-b- baik s-s-saja, s-s-ssungguh. Aku tidak
mm-m-mau pu-pu-pulang."
Aku tahu Edward sudah lusinan kali berusaha membujukku untuk lari secepat
mungkin dan keluar dari
tempat ini, tapi aku takut meninggalkan tempat perlindunganku. Kalau di dalam
sini saja sudah sedingin
ini, padahal aku terlindung dari amukan badai di luar, tak bisa kubayangkan
bila kami lari menembusnya.
Dan itu berarti semua usaha kami sore tadi sia-sia belaka. Apakah kami punya
cukup waktu untuk mengulangi semua yang kami lakukan tadi setelah badai
berhenti? Bagaimana kalau badai tak kunjung berhenti? Tidak ada gunanya pulang
sekarang. Aku tahan kok menggigil semalaman. Aku cemas semua jejak yang
kutinggalkan bakal hilang. Tapi Edward memastikan semuanya pasti masih cukup jelas
bagi monster-monster yang akan datang nanti.
"Apa yang bisa kulakukan?" Edward nyaris memohonmohon.
Aku hanya menggeleng. Di tengah salju di luar, Jacob mendengking tidak senang.
"P-p-p-p-pergi d-d-d-dari sini,” perintahku, sekali lagi.
"Dia hanya mengkhawatirkanmu," Edward menerjemahkan.
"Dia baik-baik saja. Tubuhnya memang dirancang khusus untuk bisa
menghadapi badai semacam ini."
"D-d-d-d-d." Sebenarnya aku ingin mengatakan seharusnya Jacob tetap
pergi, tapi tak sanggup mengatakan
apa-apa lagi. Lidahku bahkan nyaris tergigit waktu mencoba bicara. Setidaknya
Jacob sepertinya memang
cukup tahan menghadapi salju, bahkan jauh lebih baik daripada rekan-rekan
sekawanan ya dengan bulu cokelat
kemerahannya yang lebih tebal, lebih panjang. Dan gondrong. Dalam hati aku
bertanya-tanya mengapa begitu.
Jacob mendengking, suaranya bernada protes yang kasar dan melengking tinggi.
"Memangnya kau harus bagaimana lagi?" geram Edward
terlalu gelisah untuk tetap bersikap sopan. "Membopongnya menembus badai
ini?" kau sendiri juga tidak melakukan apa pun yang berguna. Kenapa kau
tidak pergi saja mengambilkan alat pemanas atau semacamnya?"
"Aku t-t-t-tidak a-a-a-apa-apa,” protesku. Menilik erangan Edward dan
geraman pelan di luar tenda, tak
seorang pun di antara mereka mempercayai kata-kataku. Angin mengguncang tenda
dengan ganasnya, dan aku ikut bergetar.
Suara lolongan tiba-tiba mengoyak raungan angin, dan aku menutup telinga untuk
menghalau suara berisik itu.
Edward merengut.
"Itu sebenarnya tidak perlu,” gerutunya."Dan itu ide paling jelek
yang pernah kudengar,” serunya lagi dengan
suara lebih keras.
"Lebih baik daripada idemu,” balas Jacob, suara manusianya membuatku
kaget. "Kenapa tidak pergi
mengambilkan alat pemanas," gerutunya. "Aku bukan St.Nennard."
Aku mendengar suara ritsleting pintu tenda ditarik ke bawah. Jacob menyusup
masuk lewat bukaan terkecil yang bisa diusahakannya, sementara hawa dingin
berembus masuk, beberapa keping salju berjatuhan di lantai tenda. Tubuhku gemetar
begitu dahsyat hingga seperti kejang-kejang.
"Aku tidak suka ini,” desis Edward saat Jake menutup kembali ristleting
pintu tenda. "Cepat berikan saja
mantelmu dan segera keluar dari sini."
Mataku sudah bisa menyesuaikan diri dengan kegelapan sehingga aku bisa melihat
bentuk-bentuk, bentuk Jacob menenteng jaketnya yang tadi digantung di pohon di
sebelah tenda. Aku mencoba bertanya apa yang mereka bicarakan. Tapi yang keluar
dari mulutku hanyalah, "A-a-a-a-a." Karena tubuhku berguncang hebat
membuatku gagap tak terkendali.
"Jaketnya untuk besok – dia terlalu kedinginan sehingga akan bisa
memanaskannya. Jaket ini membeku. Jacob
menjatuhkannya di dekat pintu. "Kaubilang tadi dia butuh pemanas, jadi
inilah aku," jawab Jacob membentangkan kedua lengannya selebar yang bisa
dilakukannya di tenda sempit itu. Seperti biasa, kalau ia habis berlari-lari
sebagai serigala, ia hanya berpakaian seperlunya saja – celana panjang, tanpa
baju, tanpa sepatu.
"J-J-J-J-Jake, kau akan m_m_m_membe-be-be-k-k-ku," aku berusaha
protes.
"Aku tidak,” bantahnya riang. "Belakangan ini suhu tubuhku bisa
mencapai 42 derajat Celcius lebih. Dalam
sekejap aku pasti bisa membuatmu berkeringat."
Edward menggeram, tapi Jacob bahkan tidak meliriknya sedikit pun. Ia malah
merangkak mendekatiku dan mulai
membuka ritsleting kantong tidurku. Tangan Edward tiba-tiba mendarat keras di
bahu Jacob, menahannya, seputih salju di kulit Jacob yang gelap. Dagu Jacob
langsung mengeras, cuping hidungnya kembang kempis. Tubuhnya mengejang karena
sentuhan dingin itu.
"Jangan sentuh aku,” geramnya dan sela-sela gigi yang terkatup rapat.
"Jangan sentuh dia,” balas Edward, sama garangnya.
"J-j-j-jangan b-b-b-bertengkar.” aku memohon Sekujur tubuhku kembali
berguncang hebat. Sepertinya gigiku bakal rontok. karena bergemeletuk begitu
kuat.
"Aku yakin dia akan berterima kasih padamu kalau nanti jari-jari kakinya
berubah warna jadi hitam dan putus,”
bentak Jacob. Edward ragu-ragu, lalu menurunkan tangannya dan kembali bergeser
ke posisinya di pojok tenda.
Suara Edward datar dan mengerikan. “Jangan macammacam." Jacob terkekeh.
"Minggirlah sedikit Bella,” perintah Jacob, membuka ristleting kantong
tidur lebih lebar.
Kupandangi dia dengan marah. Pantas saja Edward bereaksi begitu.
"T-t-tidak.” aku berusaha memprotes.
"Jangan bodoh,” tukas Jacob,gemas. "Kau tidak suka ya jari kakimu
tetap lengkap sepuluh?"
Jacob menjejalkan tubuh ke ruang sisa yang sebenarnya tak ada,memaksa menaikkan
ritsleting sendiri.
Aku tak bisa menolak lagi, karena memang tidak mau menolak. Tubuhnya hangat
sekali. Kedua lengannya
memelukku, mendekapku dengan erat-erat di dadanya yang telanjang. Panas
tubuhnya sangat nyaman,bagai udara setelah terlalu lama berada di bawah air. Ia
meringis waktu aku menempelkan jari-jariku sedingin es dengan penuh semangat di
kulitnya."
"Ya ampun, kau membeku Bella.” protesnya.
"m-m-maaf,” ucapku terbata-bata.
"Cobalah untuk rileks,” Jacob menyarankan saat tubuhku kembali bergetar
hebat. "Sebentar lagi kau akan
merasa hangat. Tentu saja kau akan lebih cepat hangat kalau membuka
bajumu."
Edward menggeram tajam.
"Memang faktanya begitu kok,” Jacob membela diri.
"Ada di panduan keselamatan."
"Sudahlah Jake," sergahku marah, walaupun tubuhku menolak untuk
bahkan menjauhkan diri darinya."T-t-t-tidak ada o-o-o-orang y-y-y-yang benar-benar
memb-u-tuhkan s-ss- sepuluh jari kaki."
"Jangan pedulikan Si pengisap darah itu,” Jacob menyarankan, nadanya penuh
kemenangan. "Dia hanya
cemburu."
"Tentu saja aku cemburu,” suara Edward kembali selembut beledu,
terkendali, bagai bisikan merdu di
kegelapan. "Kau tidak tahu sama sekali betapa aku berharap bisa melakukan
apa yang sekarang kaulakukan untuknya, anjing."
"Itulah untungnya,” tukas Jacob enteng, tapi kemudian nadanya berubah
masam. "Setidaknya kau tahu dia
berharap aku ini kau."
"Benar,” Edward sependapat.
Guncangan tubuhku mulai berkurang, sedikit tertahankan sementara mereka cekcok
terus.
"Nah,” kata Jacob, senang. "Sudah merasa lebih enak?" Akhirnya
aku bisa juga berbicara dengan lancar. "Ya."
"Bibimu masih biru.” Jacob mengamati. "Mau kuhangatkan sekalian? Kau
tinggal minta." Edward mengembuskan napas berat.
"Jaga sikapmu,” bisikku, menempelkan wajahku ke bahunya. Jacob terlonjak
lagi waktu kulitku yang dingin
menyentuh kulitnya, dan aku tersenyum dengan sedikit perasaan puas karena
berhasil memberinya pelajaran.
Bagian dalam kantong tidur kini sudah hangat dan nyaman. Panas tubuh Jacob
seakan terpancar dari setiap sisi
tubuhnya, mungkin itu karena tubuhnya sangat besar. Kutendang sepatu botku
hingga terlepas, dan kuselipkan
jari-jari kakiku ke kakinya. Jacob terlonjak sedikit, tapi kemudian merunduk
dan menempelkan pipinya yang panas ke telingaku yang kebas.
Kusadari kulit Jacob memancarkan aroma seperti kayu, sangat cocok dengan
suasana alam sekitarnya,di tengah
hutan sini. Aku jadi penasaran apakah keluarga Cullen dan para anggota suku Quileute
hanya membesar-besarkan masalah bau itu karena masing-masing menyimpan prasangka
terhadap yang lain. Sebab bau mereka baik-baik saja menurutku.
Badai mengamuk seperti lengkingan binatang menyerang tenda, tapi itu tak lagi membuatku
khawatir. Jacob tidak lagi berada di luar di hawa yang dingin,begitu pula aku. Tambahan
lagi, aku terlalu lelah untuk khawatir tentang hal-hal lain, capek karena sudah
selarut ini belum juga tidur,dan sekujur tubuhku sakit-sakit karena otot-ototku
kejang. Tubuhku lambat laun menjadi rileks saat kebekuanku mulai mencair,
sedikit demi sedikit, kemudian berubah lemas.
"Jake?" gumamku dengan suara mengantuk. "Bolehkah aku menanyakan
sesuatu? Bukan maksudku ikut campur atau bagaimana, aku benar-benar ingin
tahu,” kata-kataku persis sama seperti yang dikatakan Jacob di dapurku...berapa
lama berselang?
"Tentu,” Jawab Jacob terkekeh, teringat.
"Mengapa bulumu jauh lebih lebat daripada temantemanmu? kau tidak perlu
menjawab kalau pertanyaanku
itu kau rasa terlalu usil. "Aku tidak tahu bagaimana aturan etiket dalam
dunia werewolf."
"Karena rambutku lebih panjang.” jawab Jacob,
setidaknya pertanyaanku tidak membuatnya tersinggung. Ia menggertakkan
kepalanya sehingga rambutnya yang awutawutan, sekarang sudah sedagu,
menggelitik pipiku.
"Oh," Aku terkejut, tapi jawabannya masuk akal. Jadi karena itulah
mereka semua memotong rambut pendek
mereka pada awalnya,begitu bergabung dengan kawanan.
"Kalau begitu kenapa kau tidak memotongnya? kau suka berambut
gondrong?"
Kali ini Jacob tidak langsung menjawab pertanyaanku, dan Edward tertawa pelan.
"Maaf,” ucapku, berhenti sebentar untuk menguap.
"Aku tidak bermaksud usil. Kau tidak perlu menjawab pertanyaanku."
Jacob mengeluarkan suara bernada kesal. "Oh, dia toh akan tetap
menceritakannya padamu, jadi lebih baik aku
sendiri yang mengatakannya... aku memanjangkan rambutku karena... sepertinya
kau lebih suka kalau
rambutku panjang."
"Oh,” Aku merasa kikuk. "Aku, eh, suka dua-duanya, Jake. Kau tidak
perlu... repot-repot menyesuaikannya
dengan keinginanku."
Jacob mengangkat bahu. "Ternyata rambutku juga berguna malam ini, jadi
tidak usah pikirkan masalah itu
lagi."
Aku tidak tahu harus bilang apa lagi. Saat kesunyian semakin panjang, kelopak mataku
terasa berat dan akhirnya tertutup, tarikan napasku semakin lambat dan teratur.
"Ya benar, Sayang, tidurlah,” bisik Jacob.
Aku mengembuskan napas, merasa senang, sudah separuh tidak sadar.
"Seth sudah datang,” gumam Edward kepada Jacob, dan tiba-tiba aku menyadari
maksud lolongannya.
"Sempurna. Sekarang kau bisa memperhatikan hal-hal lain, sementara aku
menjaga pacarmu untukmu."
Edward tidak menyahut, tapi aku mengerang dengan lemah. "Hentikan.”
omelku.
Suasana akhirnya sunyi, setidaknya di dalam tenda. Di luar, angin memekik-mekik
mengerikan di sela-sela
pepohonan. Tenda yang bergoyang-goyang membuatku sulit tidur. Tali pasak bisa
tiba-tiba tersentak dan bergetar, menyentakkanku kembali dari tepian
ketidaksadaran sebelum sempat benar-benar tenggelam. Aku merasa sangat tidak
enak memikirkan si serigala, si anak lelaki yang harus berada di tengah badai
salju.
Pikiranku berkelana saat aku menunggu diriku tertidur. Ruangan kecil hangat ini
membuat ingatanku melayang ke hari-hari awal persahabatanku dengan Jacob, dan
aku mengenang bagaimana dulu saat ia menjadi matahari
penggantiku, kehangatan yang membuat hidupku yang hampa jadi bermakna lagi.
Sejak dulu aku menganggap
Jake seperti itu, dan sekarang itu terulang lagi, Jacob menghangatkan aku lagi.
"Please!" desis Edward. "Kau keberatan tidak?"
"Apa!" Jacob balas berbisik, nadanya terkejut.
"Menurutmu, bisa tidak kau berusaha mengontrol pikiranmu!" Edward
berbisik pelan dengan nada marah.
"Siapa suruh mendengarkan,” gerutu Jacob, menantang namun tetap merasa
malu. "Enyahlah dari kepalaku."
"Kalau saja aku bisa. Kau tidak tahu berapa lantangnya fantasi-fantasimu
itu terdengar olehku. Seolah-olah kau
meneriakkannya padaku."
"Aku akan berusaha memelankannya,” bisik Jacob sinis.
Sejenak suasana sunyi.
"Benar,” Edward menjawab pikiran Jacob yang tidak disuarakan dalam bisikan
sangat pelan hingga aku nyaris
tak bisa mendengarnya. "Aku juga cemburu pada hal itu."
"Sudah kukira memang seperti itu,” bisik Jacob dengan nada menang.
"Agak menyamakan posisi, kan?"
Edward terkekeh. “Bermimpilah terus."
"Kau tahu, dia masih tetap bisa berubah pikiran,” Jacob mengejek Edward.
"Apalagi kalau mengingat semua hal
yang bisa kulakukan untuknya yang kau tidak bisa. Setidaknya tanpa membunuhnya,
begitulah."
"Tidurlah Jacob,” gumam Edward. "Kau mulai membuatku jengkel."
"Kurasa aku memang akan tidur. Aku benar-benar merasa nyaman."
Edward tidak menanggapi.
Aku sudah begitu dalam terhanyut dalam tidur hingga tak bisa meminta mereka berhenti
membicarakanku seolaholah aku tidak ada di sana. Pembicaraan mereka sudah terasa
seperti mimpi bagiku, dan aku tidak yakin apakah aku benar-benar terbangun.
"Mungkin aku bisa melakukannya,” kata Edward beberapa saat kemudian,
menjawab pertanyaan yang tidak
kudengar.
"Tapi apakah kau akan jujur?"
"Tanya dan lihat saja sendiri." Nada Edward membuatku bertanya-tanya
apakah ada lelucon yang terlewat.
"Well, kau kan bisa melihat isi kepalaku, biarkan aku melihat isi kepalamu
malam ini, itu baru adil namanya,"
kata Jacob
"Kepalamu penuh pertanyaan. Kau ingin aku menjawab yang mana?"
"Kecemburuan... itu pasti membuatku sangat tersiksa. Berarti sebenarnya
kau tidak terlalu yakin pada diri sendiri
seperti yang selama ini kau tunjukkan. Kecuali kau memang tidak punya emosi
sama sekali."
"Tentu saja menyiksa,” Edward sependapat, tak lagi terdengar geli.
"Sekarang ini, kecemburuan itu begitu
hebatnya hingga aku nyaris tak bisa mengendalikan suaraku. Tentu saja lebih
parah lagi kalau dia jauh dariku,
bersamamu, dan aku tidak bisa melihatnya."
"Kau memikirkan hal itu setiap saat?" bisik Jacob.
"Sulitkah bagimu berkonsentrasi jika dia tidak sedang bersamamu?"
"Ya dan tidak," kata Edward, sepertinya bertekad menjawab
sejujur-jujurnya. "Cara berpikirku tidak sama
dengan cara berpikirmu. Aku bisa memikirkan banyak hal sekaligus. Tentu saja,
itu berarti aku selalu bisa
memikirkanmu, selalu bisa bertanya-tanya apakah pikirannya sedang tertuju
kepadamu, bila dia sedang
berdiam diri dan berpikir."
Mereka terdiam cukup lama.
"Ya, aku menduga dia pasti sering memikirkanmu,” gumam Edward, merespon
pikiran Jacob. "Lebih sering
daripada yang kuinginkan. Dia khawatir kau tidak bahagia. Bukannya kau tidak
tahu itu. Bukannya kau tidak
memanfaatkan hal itu."
"Aku harus memanfaatkan apa saja yang bisakumanfaatkan,” tukas Jacob.
"Kau punya beberapa
keuntungan yang tidak kumiliki, misalnya dia tahu bahwa dia mencintaimu."
"Itu memang membantu,” Edward menyepakati dengan nada lunak.
Jacob menantang.” Dia juga mencintaiku tahu." Edward tidak menanggapi.
Jacob mendesah. “Tapi dia tidak menyadarinya."
"Aku tidak bisa mengatakan kau benar."
"Apakah itu membuatmu merasa terganggu? Apakah kau berharap bisa melihat
apa yang dia pikirkan?"
"Ya... dan tidak, lagi-lagi. Dia lebih suka keadaannya seperti ini, dan
walaupun kadang-kadang itu membuatku
gila, aku lebih suka dia bahagia."
Angin menjerit-jerit di sekeliling tenda, mengguncangnya seperti gempa bumi. Lengan
Jacob memelukku lebih erat lagi dengan sikap protektif.
"Terima kasih,” bisik Edward. "walaupun kedengarannya aneh, kurasa
aku senang kau ada di sini, Jacob."
"Maksudmu, walaupun aku sangat ingin membunuhmu. Aku sangat senang dia
hangat, benar begitu kan?"
"Gencatan senjata yang tidak nyaman, bukan?"
Bisikan Jacob mendadak terdengar puas. "Aku sudah mengira kau sama
pencemburunya dengan aku."
"Aku tidak cukup bodoh hingga mengumbarnya seperti kau. Itu tidak akan
membantu, kau tahu."
"Ternyata kau lebih sabar daripada aku."
"Seharusnya begitu. Aku punya waktu seratus tahun untuk bisa mencapai
tahap ini. Seratus tahun menunggu
dia."
"Jadi... pada titik apa kau memutuskan untuk memainkan peran sebagai
lelaki penyabar?"
"Waktu aku melihat betapa sakitnya dia bila dia disuruh memilih. Biasanya
tidak sesulit ini mengendalikan
perasaanku. Biasanya aku bisa meredam... perasaanperasaan tidak beradab yang
kurasakan terhadapmu jauh
lebih mudah daripada sekarang. Kadang-kadang aku merasa dia bisa membaca
pikiranku, tapi aku tak yakin."
"Kurasa kau hanya khawatir, kalau kau benar-benar memaksanya memilih, dia
mungkin tidak akan
memilihmu."
Edward tidak langsung menjawab. "Sebagian.” Edward akhirnya mengakui.
"Tapi hanya sebagian kecil. Keraguan itu sewaktu-waktu memang muncul.
Kebanyakan aku khawatir dia akan celaka saat diam-diam menemuimu. Setelah aku
bisa menerima kenyataan bahwa dia kurang lebih akan aman bersamamu, seaman yang
mungkin bisa dialami Bella, sepertinya pilihan terbaik adalah berhenti memaksanya."
Jacob mendesah. "Kalau kuceritakan semua ini padanya, dia pasti tidak akan
percaya.”
"Aku tahu," Kedengarannya Edward tersenyum.
"Kaukira kau tahu segalanya," gerutu Jacob.
"Aku tidak tahu masa depan,” bantah Edward.
Suaranya mendadak terdengar tidak yakin. Suasana sunyi cukup lama.
"Apa yang akan kaulakukan seandainya dia berubah pikiran?" tanya
Jacob.
"Aku juga tidak tahu jawabannya."
Jacob terkekeh pelan. "Apakah kau akan mencoba membunuhku?" Sikapnya
kembali sarkastis, seolah-olah
meragukan kemampuan Edward untuk melakukan hal itu.
"Tidak."
"Kenapa tidak?" Nada Jacob masih mengejek.
"Menurutmu, hatinya tidak akan terluka bila itu terjadi?" Jacob
ragu-ragu sejenak, kemudian mengembuskan
napas.
"Yeah, kau benar. Aku tahu itu benar. Tapi terkadang.."
"Terkadang ide itu sangat menggoda."
Jacob menempelkan wajahnya ke kantong tidur untuk meredam tawanya. "Tepat
sekali.” akhirnya ia sependapat. Betapa anehnya mimpi ini. Aku penasaran apakah
penyebabnya adalah angin yang tak henti-hentinya bertiup hingga membuatku
membayangkan bisikan-bisikan itu. Tapi angin justru menjerit-jerit, bukannya
berbisik-bisik...
"Bagaimana rasanya? Kehilangan dia?" tanya Jacob setelah terdiam
sesaat, tak terdengar sedikit pun nada
bergurau dalam suaranya yang mendadak parau. "Waktu kau mengira telah
kehilangan dia selama-lamanya?
Bagaimana kau bisa...bertahan?"
"Sulit sekali bagiku membicarakan hal itu." Jacob menunggu.
"Ada dua masa yang berbeda, ketika aku berpikir kehilangan dia."
Edward mengucapkan setiap kata sedikit lebih lambat daripada biasanya.
"Pertama kali, waktu aku mengira aku bisa meninggalkannya... waktu itu...
aku
nyaris bisa menahannya. Karena kupikir dia akan melupakan aku hingga
seolah-olah aku tidak pernah
menyentuh hidupnya. Selama lebih dari enam bulan aku bisa menjauh darinya,
menepati janjiku untuk tidak akan
ikut campur lagi. Sudah hampir bisa, aku berjuang, tapi tahu aku tidak akan
menang, aku harus kembali... hanya
untuk mengecek keadaannya. Setidaknya, itulah alasan yang kupakai untuk
membenarkan tindakanku. Dan
seandainya aku menemukannya bahagia... pikirku, aku pasti bisa pergi
lagi."
"Tapi ternyata dia tidak bahagia. Dan aku pasti akan tinggal bersamanya.
Begitulah caranya meyakinkanku
untuk tinggal di sini bersamanya besok, tentu saja. Kau sendiri penasaran mengenai
hal itu, apa kira-kira yang
memotivasiku.. rasa bersalah apa yang tidak perlu dia rasakan. Dia
mengingatkanku apa akibatnya jika aku
meninggalkannya. Dia merasa tidak enak hati telah mengungkit masalah itu, tapi
dia benar. Aku tidak akan
pernah bisa memperbaiki kesalahan dulu, tapi bagaimanapun juga, aku tidak
pernah berhenti mencoba."
Sesaat Jacob tidak merespons, entah mendengarkan badai atau mencerna apa yang
barusan didengarnya. Aku
tidak tahu yang mana.
"Dan waktu itu, ketika kau mengira dia sudah mati?" bisik Jacob
pelan.
"Ya." Edward menjawab pertanyaan berbeda. "Mungkin akan terasa
seperti itu bagimu,ya? mengingat cara
pandangmu terhadap kaum kami, kau mungkin tidak akan bisa melihatnya sebagai
Bella lagi. Tapi dia akan tetap
menjadi Bella."
"Bukan itu yang kutanyakan."
Edward menjawabnya dengan cepat dan keras. “Aku tidak bisa menceritakan
bagaimana rasanya. Tidak ada
kata-kata yang bisa mengungkapkannya." Lengan Jacob yang memelukku
mengejang.
"Tapi kau pergi karena kau tidak mau membuatnya menjadi penghisap darah.
Kau ingin dia tetap menjadi
manusia."
Edward berbicara lambat-lambat. "Jacob, sejak detik pertama aku sadar
bahwa aku mencintainya, aku sudah
tahu hanya akan ada empat kemungkinan. Alternatif pertama, yang terbaik bagi
Bella, adalah kalau cintanya
padaku tidak terlalu besar, kalau dia bisa melupakan aku dan melanjutkan
hidupnya. Aku akan menerimanya,
walaupun itu takkan pernah merubah perasaan. Kau menganggapku... batu hidup,
keras dan dingin. Memang
benar. Kami memang begini adanya, dan sangat jarang kami mengalami perubahan
yang sesungguhnya. Jika itu
terjadi, seperti ketika Bella memasuki duniaku, perubahan itu bersifat
permanen. Tak ada jalan kembali...
"Alternatif kedua, yang tadinya kupilih, adalah tetap bersamanya seumur
hidup manusianya. Memang bukan
pilihan yang bagus baginya, menyia-nyiakan hidup untuk seseorang yang tak bisa
menjadi manusia bersamanya, tapi itu altematif yang paling bisa kuterima. Sejak
awal aku mengetahui bahwa, jika dia meninggal nanti, aku akan mencari jalan
untuk mati juga. Enam puluh, tujuh puluh tahun, akan terasa amat sangat singkat
bagiku.. Tapi kemudian terbukti bahwa terlalu berbahaya bagi Bella jika hidup
terlalu dekat dengan duniaku. Sepertinya semua kacau. Atau semuanya menunggu
waktu untuk menjadi...kacau. Aku takut tidak akan mendapatkan enam puluh tahun
itu jika aku berada di dekatnya dan dia tetap menjadi manusia.
"Maka aku pun memilih opsi ketiga. Yang ternyata menjadi kesalahan
terburuk dalam hidupku yang sangat
panjang ini, seperti sudah kauketahui. Aku memilih keluar dari dunianya, berharap
bisa memaksanya memilih opsi pertama. Itu tidak berhasil, dan malah nyaris
membunuh kami berdua."
"Pilihan apa lagi yang kumiliki selain Opsi keempat. Itulah yang dia
inginkan, setidaknya,dia mengira begitu.
Selama ini aku berusaha mengulur-ulur waktu, memberinya waktu agar bisa
menemukan alasan untuk berubah pikiran, tapi dia sangat.. keras kepala. Kau
tahu itu. Aku sangat beruntung kalau bisa menundanya hingga beberapa bulan lagi.
Dia sangat takut menjadi tua, sementara ulang tahunnya bulan September.."
"Aku suka opsi pertama,” gerutu Jacob.Edward diam saja.
"Kau tahu persis betapa bencinya aku menerima ini,” Jacob berbisik
lambat-lambat, "tapi bisa kulihat kau benarbenar mencintainya... dengan
caramu sendiri. Aku tidak bisa mendebat hal itu lagi.Mempertimbangkan hal itu,
kupikir kau tak seharusnya melupakan alternatif pertama, belum. Menurutku,
besar kemungkinan dia akan baik-baik saja. Setelah beberapa waktu. Kau tahu,
seandainya dia tidak terjun dari tebing bulan Maret lalu... dan seandainya kau
menunggu enam bulan lagi untuk datang mengeceknya... Well, bisa jadi kau akan menemukannya
dalam keadaan sangat bahagia. Aku sudah punya rencana.”
Edward terkekeh. "Mungkin saja itu akan berhasil. Rencanamu telah
dipikirkan masak-masak."
"Apa?" desak Jacob lagi.
"Tentu saja,” Edward marah sekali. “tentu saja! aku lebih suka tetuamu
menyimpan saja cerita itu dan tidak
mengungkapkannya, Jacob."
"Kau tidak senang para lintah digambarkan sebagai penjahat?” ejek Jacob.
“Kau tahu memang begitulah
kenyataannya. Dulu maupun sekarang."
"Masa bodoh dengan bagian yang itu. Masa kau tidak bisa menebak Bella akan
mengidentifikasikan dirinya
dengan karakter siapa?"
Jacob berpikir sebentar. "Oh,Ugh. Si istri ketiga. Oke, aku mengerti
maksudmu."
"Dia ingin berada di sana di lapangan. Istilahnya membantu semampunya,”
Edward mendesah. "Itu alasan
kedua aku akan menemaninya besok. Dia sangat inventif jika menginginkan
sesuatu."
"Kau tahu, kakakmu yang tentara itu memberinya ide untuk melakukannya,
bukan hanya gara-gara kisah itu."
"Dua-duanya tidak bermaksud buruk,” bisik Edward, mengajak berdamai.
"Dan kapan gencatan senjata kecil ini berakhir?" tanya Jacob.
"Begitu hari terang? atau kita harus menunggu
sampai sesudah pertempuran?"
"Begitu hari terang,” Keduanya sama-sama berbisik, kemudian tertawa pelan.
"Tidurlah yang nyenyak Jacob,” Bisik Edward. "Nikmati momen
ini."
Suasana kembali sunyi, dan tenda diam tak bergerak selama beberapa menit. Angin
tampaknya telah
memutuskan untuk tidak menghancurkan kami, dan berhenti menyerang.
Edward mengerang pelan. "Maksudku, tidak sampai seperti itu.”
"Maaf,"bisik Jacob. “Kau bisa pergi tahu, memberi kami sedikit
privasi."
"Kau mau aku membantumu tidur, Jacob?" Edward menawarkan.
"Bisa saja kaucoba.” Jawab Jacob, tak peduli. "Pasti menarik untuk
melihat siapa yang tidak tahan dan pergi,
kan?"
"Jangan kelewatan menggodaku, serigala. Kesabaranku tidak sesempurna
itu."
Jacob membisikkan tawa. "Aku lebih suka tidak bergerak sekarang, kalau kau
tidak keberatan."
Edward mulai berdendang sendiri, lebih nyaring daripada biasanya, berusaha
menenggelamkan pikiranpikiran
Jacob, asumsiku. Tapi ternyata ia mendendangkan lagu ninaboboku, dan, meskipun
aku semakin tidak
nyaman dengan mimpi yang penuh bisikan ini, aku terbenam semakin dalam ke
ketidaksadaran... masuk ke
mimpi-mimpi lain yang lebih masuk akal...
"Yeah," Jacob mendesah. "Tapi...” tiba-tiba Jacob berbisik cepat
sekali sehingga kata-katanya saling tumpang
tindih. “Beri aku waktu satu tahun, Edward. Aku sangat yakin bisa membuatnya bahagia.
Dia memang keras kepala, aku tahu benar itu, tapi dia punya kemampuan untuk
pulih. Kemarin pun sebenarnya dia pasti bakal pulih. Dan dia bisa menjadi
manusia,bersama Charlie dan Renee, dan dia bisa menjadi dewasa, punya anak
dan.. menjadi Bella."
"Kau mencintainya cukup besar hingga kau pasti bisa melihat kelebihan
rencana itu. Dia menganggapmu sangat
tidak egois... tapi apakah itu benar? bisakah kau mempertimbangkan kemungkinan
bahwa mungkin saja aku
lebih baik baginya daripada dirimu?"
"Aku sudah mempertimbangkannya,” Jawab Edward dengan suara tenang.
"Dalam beberapa hal kau lebih cocok
dengannya daripada manusia lain. Bella harus dijaga, dan kau cukup kuat
sehingga mampu melindunginya dari
dirinya sendiri, dan dari segala sesuatu yang berkonspirasi melawannya. Kau
sudah melakukan hal itu, dan aku
berhutang budi padamu selama aku hidup, selamanya...Aku bahkan sudah bertanya
kepada Alice apakah dia
bisa melihat hal itu, melihat apakah Bella akan hidup lebih baik jika
bersamamu. Dia tidak bisa melihatnya, tentu saja. Dia tidak bisa melihatnya, dan
sudah pasti Bella juga tidak akan tidak terlihat."
"Tapi aku tidak cukup bodoh sampai melakukan kesalahan yang sama seperti
yang kubuat sebelumnya,
Jacob. Aku tidak akan berusaha memaksanya menerima opsi pertama lagi. Selama ia
menginginkanku, aku akan tetap di sini."
"Tapi bagaimana kalau dia memutuskan menginginkanku," tantang Jacob.
"Oke, kemungkinannya
memang kecil. Aku tahu itu."
"Aku akan melepaskannya."
"Begitu saja?"
"Dalam arti aku tidak akan pernah menunjukkan betapa beratnya itu bagiku,
ya. Tapi aku akan tetap mengawasi.
Kau tahu, Jacob. Mungkin saja kau akan meninggalkan dia suatu saat nanti.
Seperti Sam dan Emily, kau tidak akan punya pilihan. Aku akan selalu menunggu
di dekat kalian. Berharap itu terjadi."
Jacob mendengus. "Well, ternyata kau jauh lebih jujur daripada yang berhak
kuharapkan... Edward. Terima kasih
karena telah mengizinkanku mengetahui isi kepalamu."
"Seperti kataku tadi, anehnya aku justru bersyukur atas kehadiranmu dalam
hidupnya malam ini. Jadi hanya ini
yang bisa kulakukan untukmu... Kau tahu, Jacob, seandainya bukan karena fakta
bahwa kita musuh
bebuyutan, juga karena kau berusaha merebut inti eksistensiku, mungkin sebenarnya
aku bisa menyukaimu."
"Mungkin... seandainya kau bukan vampir menjijikkan yang berniat mengisap
darah gadis yang kucintai sampai
mati... well, tidak, bahkan itu pun tidak mungkin."
Edward terkekeh.
"Bolehkah aku bertanya?" tanya Edward sejurus kemudian.
"Kenapa harus bertanya?"
"Aku hanya bisa mendengar kalau kau memikirkannya. Mengenai sebuah kisah
yang Bella seperti enggan
menceritakannya padaku waktu itu. Cerita tentang istri ketiga..."
"Memangnya kenapa?"
Edward tidak menjawab, mendengarkan cerita di kepala Jacob. Aku mendengar
desisan pelannya dalam gelap.
0 komentar:
Post a Comment