Eclipse Indonesia 16
16. HARI YANG PENTING
"AKU tidak punya baju!'" aku mengeluh sendiri. Setiap potong baju
yang kumiliki bertebaran di tempat
tidur; laci-laci dan lemariku kosong. Kupandangi ruangruang kosong itu,
berharap bakal muncul baju bagus yang
bisa kupakai. Rok khaki-ku tersampir di punggung kursi goyang, menungguku
menemukan padanan yang pas. Sesuatu yang akan membuatku terlihat cantik dan
dewasa. Sesuatu yang menyatakan acara istimewa. Tapi aku tidak menemukan apa-apa.
Sebentar lagi aku harus berangkat, tapi aku masih mengenakan sweter lusuh
favoritku. Kecuali aku bisa
menemukan sesuatu yang lebih baik di sini,dan kemungkinannya sangat kecil,aku
akan diwisuda dalam
balutan sweter ini. Kupelototi tumpukan baju di tempat tidur dengan wajah
cemberut.
Yang paling membuatku jengkel, aku tahu persis apa yang akan kukenakan
seandainya baju itu ada, blus
merahku yang hilang dicuri. Kutinju dinding dengan tanganku yang sehat.
"Dasar vampir maling tolol menjengkelkan!" geramku.
"Memangnya apa yang kulakukan?" tuntut Alice.
Alice bersandar santai di sebelah jendela yang terbuka, seolah-olah sudah sejak
tadi ia di sana.
"Tok, tok,” imbuhnya sambil nyengir.
"Susah ya, menungguku datang membukakan pintu?" Alice melemparkan
kotak putih pipih ke tempat tidur.
"Aku kebetulan lewat. Kupikir, mungkin kau butuh sesuatu untuk
dikenakan."
Kutatap bungkusan besar yang teronggok di atas tumpukan pakaianku yang tidak
memuaskan, dan meringis.
''Akuilah,” tukas Alice. "Aku ini penyelamat.”
"Kau memang penyelamat,” gumamku. "Trims.”
"Well, senang juga sekali-sekali bisa melakukan sesuatu dengan benar. Kau
tidak tahu betapa menjengkelkannya masalah ini, kecolongan tidak bisa melihat
hal-hal yang seharusnya bisa kulihat. Aku merasa sangat tidak berguna, Sangat...
normal." Alice meringis merasakan betapa ngerinya kata itu.
"Tak terbayangkan betapa tidak enaknya itu. Menjadi normal? Ugh."
Alice tertawa. "Well, paling tidak ini bisa menggantikan bajumu yang
hilang dicuri maling menyebalkan itu,
sekarang aku tinggal memikirkan apa yang tidak bisa kulihat di Seattle."
Ketika Alice mengucapkan kata-kata itu, menyatukan dua situasi dalam satu
kalimat, saat itulah bola lampu bagai menyala di kepalaku. Sesuatu yang samar
yang berhari-hari mengganggu ketenanganku, benang merah yang tak kunjung bisa
kuketahui apa itu, tiba-tiba saja menjadi jelas.
Kutatap Alice, wajahku membeku dengan entah ekspresi apa yang tadi terlintas.
"Kau tidak mau membukanya?" tanya Alice. Ia mendesah waktu aku tidak
segera bergerak, lalu ia sendiri
yang membuka tutup kotak itu. Lalu mengeluarkan sesuatu dari dalamnya dan mengangkatnya
tinggi-tinggi, tapi aku tidak bisa mengumpulkan konsentrasiku. "Cantik,
kan? Aku memilih warna biru, karena aku tahu Edward paling suka melihatmu
memakai warna itu."
Aku tidak mendengarkan.
"Berarti sama," bisikku.
"Apanya yang sama?" tuntut Alice. "Kau tidak punya gaun seperti
ini. Ya ampun, kau kan hanya punya satu rok!"
"Bukan, Alice! Lupakan dulu soal gaun itu, dengarkan!"
"Kau tidak suka, ya?" Wajah Alice disaput perasaan kecewa.
"Dengar, Alice, masa kau tidak mengerti juga? Berarti sama! Orang yang
membobol masuk dan mencuri
barangku, serta para vampir baru di Seattle sana. Mereka bersama-sama!"
Pakaian itu terjatuh dari sela-sela jari Alice, suaranya mendadak tajam.
"Kenapa kau mengira begitu?"
"Ingat apa yang dikatakan Edward. waktu itu? Mengenai seseorang yang
memanfaatkan lubang-lubang dalam
penglihatanmu sehingga kau tak bisa melihat para vampir baru itu? Kemudian
ucapanmu sebelumnya, tentang
pemilihan waktunya yang sangat pas, betapa si pencuri sangat berhati-hati untuk
tidak melakukan kontak apa pun, seolah-olah dia tahu kau akan bisa melihatnya
kalau dia menyentuh sesuatu. Menurutku kau benar, Alice, kurasa dia memang
tahu. Kurasa dia memang sengaja memanfaatkan lubang-lubang itu. Dan seberapa
besar
kemungkinan ada dua orang berbeda yang cukup banyak tahu mengenai dirimu sehingga
bukan hanya mereka bisa berbuat begitu, tapi juga memutuskan melakukannya pada saat
bersamaan Tidak mungkin. Pelakunya pasti satu orang. Orang yang menciptakan
pasukan ini adalah orang yang mencuri bauku."
Alice tidak terbiasa dibuat kaget. Tubuhnya langsung membeku, dan ia tertegun
lama sekali sehingga aku mulai
menghitung-hitung dalam kepalaku sambil menunggu. Ia tidak bergerak dua menit
penuh. Lalu matanya terfokus
kembali padaku.
"Kau benar.” katanya terperangah. "Tentu saja kau benar. Dan waktu
kau menjelaskannya seperti itu...”
"Ternyata dugaan Edward keliru,” bisikku. "Ternyata ini ujian...
untuk melihat apakah ini berhasil. Bahwa dia bisa
masuk dan keluar dengan aman selama dia tidak melakukan hal-hal yang harus
kauawasi. Seperti mencoba
membunuhku, misalnya.... Dan dia bukan mengambil barang-barangku untuk
membuktikan dia sudah menemukanku. Dia mencuri bauku... supaya yang lain-lain bisa
menemukan aku."
Mata Alice membelalak lebar karena syok. Aku benar, dan kentara sekali ia juga
tahu itu.
"Oh, tidak,” ujarnya tanpa suara.
Aku sudah tak lagi mengharapkan emosiku bereaksi secara masuk akal. Sementara
otakku mencerna fakta
bahwa ada orang yang menciptakan sepasukan vampir – pasukan yang dengan kejam
sudah membunuh lusinan orang di Seattle – untuk tujuan kilat menghancurkan aku,
aku justru merasa sangat lega.
Sebagian karena akhirnya aku berhasil menemukan jawaban atas perasaan tak enak
yang terus mengusikku,
bahwa ada hal penting yang luput dari perhatianku. Tapi sebagian lagi justru
berbeda sama sekali.
"Well,” bisikku, "sekarang semua boleh merasa lega. Ternyata tidak
ada yang berniat menghabisi keluarga
Cullen."
"Kalau kaukira hal yang satu itu sudah berubah, kau salah besar,” sergah
Alice dari sela-sela rahangnya yang
terkatup rapat. Kalau ada orang yang mengincar salah satu dari kita, mereka
harus melewati kita dulu untuk bisa
mencapai yang satu itu.”
"Trims, Alice. Tapi setidaknya kita tahu apa yang sesungguhnya mereka incar.
Itu pasti bisa membantu.”
"Mungkin.” gumamnya. Ia mulai berjalan mondarmandir di dalam kamarku.
Duk, duk – pintu kamarku digedor-gedor. Aku terlonjak. Alice sepertinya tidak
menyadari.
"Belum siap juga, ya? Bisa-bisa kita terlambat!" protes Charlie, kedengarannya
gelisah. Seperti aku, Charlie juga
kurang menyukai acara-acara resmi. Dalam kasusnya, persoalannya adalah karena
harus berpakaian rapi.
"Hampir. Sebentar lagi,” jawabku parau.
Charlie terdiam sejenak. "Kau menangis, ya.”
"Tidak. Aku hanya gugup. Pergilah.”
Kudengar langkah-langkah kaki Charlie yang berat menuruni tangga.
“Aku pergi dulu, ya,” bisik Alice.
"Kenapa?"
"Sebentar lagi Edward datang. Kalau dia mendengar tentang hal ini..."
"Pergi, pergi!” desakku langsung. Edward pasti bakalan langsung panik
kalau tahu. Aku takkan bisa
menyembunyikan masalah ini terlalu lama darinya, tapi mungkin upacara kelulusan
bukan saat yang tepat untuk
reaksinya.
"Pakailah,” perintah Alice sambil bergegas keluar jendela. Aku
melaksanakan perintahnya, berpakaian dengan sikap linglung. Awalnya aku berencana
menata rambutku dengan tatanan indah, tapi karena sudah tak sempat lagi, aku membiarkannya
tergerai membosankan seperti biasa. Sudahlah, tidak apa-apa. Aku tak sempat
lagi mematut diri di cermin. jadi tidak tahu bagaimana penampilanku mengenakan
sweter dan rok pemberian Alice. Aku menyampirkan toga polyester kuning jelek di
lenganku dan bergegas menuruni tangga.
"Kau cantik.” puji Charlie, belum-belum suaranya sudah tersendat menahan
haru. "Baju baru, ya?"
"Yeah,” gumamku, berusaha berkonsentrasi.
"Pemberian Alice. Trims."
Edward datang hanya beberapa menit setelah Alice pergi, Tak cukup waktu untuk
memasang ekspresi tenang di
wajahku. Tapi berhubung kami akan naik mobil patroli bersama Charlie, ia tidak
sempat bertanya ada masalah apa.
Minggu lalu Charlie ngotot begitu tahu aku bermaksud pergi dengan Edward ke
acara wisuda. Dan aku mengerti
maksudnya,orang tua seharusnya mendapat hak utama untuk datang ke acara wisuda.
Aku mengalah dengan
lapang dada, dan Edward dengan riang menyarankan kami pergi bersama. Berhubung
Carlisle dan Esme tidak
keberatan. Charlie tak bisa menemukan alasan kuat untuk menolak; dengan berat
hati ia terpaksa setuju. Dan sekarang Edward duduk di jok belakang mobil polisi
ayahku, di balik pemisah yang terbuat dari fiberglass, dengan ekspresi geli – mungkin
karena ayahku juga menunjukkan ekspresi geli, disertai cengiran lebar setiap
kali matanya diam-diam melirik Edward di kaca spion. Yang hampir pasti berarti Charlie
membayangkan hal-hal yang akan membuatnya bertengkar denganku kalau ia
menyuarakan pikirannya.
"Kau baik-baik saja?" bisik Edward waktu ia membantuku turun dari jok
depan di lapangan parkir sekolah.
"Gugup,” jawabku, dan itu benar.
"Kau cantik sekali,” pujinya.
Sepertinya Edward ingin mengatakan sesuatu yang lain, tapi Charlie, kentara
sekali dari sikapnya, menyelinap di
antara kami dan merangkul bahuku.
"Kau senang?" tanyanya.
"Tidak juga," aku mengakui.
"Bella, ini hari besar. Kau lulus SMA. Sekarang kau masuk ke dunia
sesungguhnya. Kuliah. Hidup mandiri...
Kau bukan gadis kecilku lagi," Charlie tersendat di akhir kalimat.
"Dad,” erangku. "Kumohon, jangan cengeng.”
"Siapa yang cengeng?" geram Charlie. "Nah, kenapa kau tidak
senang?"
"Aku tidak tahu, Dad. Mungkin belum terasa atau bagaimana."
"Bagus juga Alice menyelenggarakan pesta. Kau membutuhkan sesuatu yang
bisa membuatmu gembira.”
"Tentu. Aku memang butuh pesta.”
Charlie tertawa mendengar nadaku dan meremas bahuku. Edward mendongak ke awan-awan,
wajahnya
seperti berpikir. Ayahku harus meninggalkan kami di pintu belakang gimnasium
dan mengitari gedung menuju pintu masuk utama bersama para orangtua lain. Suasana
hiruk-pikuk saat Mr. Cope dari Bagian Tata
Usaha dan Mr. Vamer, guru Matematika, berusaha mengatur semua orang berbaris
secara alfabetis.
"Kau ke depan, Mr, Cullen," bentak Mr. Vamer kepada Edward.
"Hai, Bella!"
Aku mendongak dan melihat Jessica Stanley melambai padaku dari bagian belakang
barisan dengan senyum lebar menghiasi wajah. Edward menciumku sekilas,
mendesah, dan bergabung dengan murid-murid lain yang nama keluarganya juga berawalan
dengan huruf C. Alice tidak ada. Apa yang akan dia lakukan? Membolos dari acara
wisuda? Sungguh bukan saat yang tepat bagiku untuk melontarkan dugaan tadi. Seharusnya
aku menunggu sampai acara ini selesai.
"Sini, Bella!" Jessica memanggilku lagi.
Aku berjalan menyusuri barisan untuk berdiri di belakang Jessica, dalam hati
agak heran kenapa ia tiba-tiba
begitu ramah. Ketika aku sudah semakin dekat, kulihat Angela berdiri lima baris
lebih ke belakang, mengamati
Jessica dengan keingintahuan yang sama. Jess sudah mengoceh sebelum aku bisa
mendengar suaranya.
"..sungguh luar biasa. Maksudku, kayaknya kita baru saja bertemu, tapi
tahu-tahu sekarang kita sama-sama
diwisuda," celotehnya. "Percaya nggak kalau ini sudah berakhir?
Rasanya aku kepingin menjerit!"
“Aku juga,” gumamku.
"Ini benar-benar luar biasa. Ingatkah kau waktu kau pertama kali datang ke
sini? Waktu itu kita langsung akrab.
Pokoknya sejak pertama kali bertemu. Luar biasa. Dan sekarang aku akan ke
Califomia dan kau ke Alaska. Wah,
aku pasti kangen sekali padamu! Janji ya, kita harus kumpul-kumpul lagi
kapan-kapan! Aku senang sekali kau
akan bikin pesta. Sempurna. Karena. kita sudah lama nggak kumpul-kumpul.Sementara
sebentar lagi kita akan
berpisah.."
Jessica mengoceh terus, dan aku yakin sikapnya yang tiba-tiba ramah pasti
dikarenakan nostalgia kelulusan dan
perasaan gembira karena diundang ke pesta, padahal aku sama sekali tidak punya
andil dalam hal itu. Aku berusaha keras menyimak celotehannya sambil mengenakan
toga. Dan ternyata aku senang karena hubunganku dengan Jessica bisa berakhir
dengan baik. Karena ini adalah akhir, tak peduli apa pun yang
dikatakan Eric, si lulusan terbaik, dalam kata sambutannya, yang mengatakan
bahwa "commencement" selain memiliki arti secara penyerahan ijazah
kepada para lulusan, juga berarti “awal" dan segala macam omong kosong
lainnya.
Acara berjalan sangat cepat. Aku merasa seperti menekan tombol fast forward.
Memangnya kita harus
berjalan secepat itu? Kemudian Eric berpidato dengan sangat cepat saking
gugupnya, kata-kata dan kalimat
berkejaran hingga pidatonya tak bisa dimengerti lagi. Tahutahu Kepala Sekolah
Greene sudah mulai memanggil namanama para wisudawan, antara satu dengan yang
lain tanpa diselingi jeda yang cukup panjang; deretan depan gimnasium sampai
terbirit-birit maju. Ms. Cope yang malang sampai kewalahan memberikan ijazah
yang benar kepada Kepala Sekolah sesuai nama yang dipanggil. Kulihat Alice,
yang mendadak muncul, melenggang ke panggung untuk menerima ijazahnya, ekspresi
penuh konsentrasi terpatri di wajahnya. Edward menyusul di
belakang, ekspresinya bingung, tapi tidak kalut. Hanya mereka yang bisa
mengenakan toga kuning jelek ini dan
tetap tampil menawan.
Keduanya tampak menonjol di tengah kerumunan, kerupawanan dan keanggunan mereka
seakan berasal dari
dunia lain. Aku jadi heran sendiri bagaimana aku dulu bisa mengira mereka
manusia biasa. Sepasang malaikat, lengkap dengan sayap, justru tidak akan
terlihat mencolok. Kudengar Mr. Greene memanggil namaku dan aku
bangkit dari kursi, menunggu barisan di depanku bergerak. Terdengar sorakan di
bagian belakang gimnasium, aku menoleh dan melihat Jacob menarik Charlie
berdiri, keduanya bersorak-sorai memberi semangat. Aku bahkan sempat melihat
puncak kepala Billy di sebelah siku Jake. Aku masih sempat menyunggingkan
sesuatu yang menyerupai senyuman.
Mr. Greene selesai membacakan daftar nama, tapi terus menyodorkan ijazah dengan
senyum malu sementara kami lewat di depannya.
"Selamat, Miss Stanley." gumamnya saat Jess menerima ijazahnya.
"Selamat, Miss Swan." gumamnya. seraya menjejalkan ijazah ke tanganku
yang sehat.
"Trims,” gumamku.
Dan selesailah sudah.
Aku berdiri di sebelah Jessica bersama para wisudawan lain. Sekeliling mata
Jess merah, dan ia berkali-kali
menyeka wajahnya dengan lengan toga. Sedetik kemudian baru aku paham ia
menangis. Mr. Greene mengatakan sesuatu yang tidak terdengar olehku, dan semua
orang di sekelilingku bersorak-sorai dan
berteriak. Topi-topi kuning berjatuhan di sekitarku. Kulepas juga topiku,
terlambat, dan hanya membiarkannya jatuh ke tanah.
"Oh, Bella!" pekik Jess di tengah suara orang-orang mengobrol yang
mendadak terdengar. "Tidak percaya
rasanya kita sudah tamat SMA."
"Aku tidak percaya semua sudah berakhir," gumamku. Jessica memeluk
leherku. "Janji ya, kita akan terus saling
berhubungan.”
Aku balas memeluknya, merasa sedikit canggung karena mengelak mengiyakan
permintaannya. "Aku sangat
senang bisa mengenalmu, Jessica. Masa dua tahun yang sungguh indah.”
"Ya, memang.” desahnya, dan terisak. Kemudian ia melepas pelukannya.
"Lauren!" pekiknya, melambai-lambai
di atas kepalanya dan berjalan menembus kerumunan toga kuning. Para keluarga
mulai membaur, membuat kami semakin terdesak. Aku melihat Angela dan Ben, tapi
mereka dikelilingi keluarga mereka. Nanti saja aku menyelamati mereka. Aku
menjulurkan leher panjang-panjang, mencari Alice.
"Selamat,” bisik Edward di telingaku, kedua lengannya memeluk pinggangku.
Suaranya pelan; ia tidak ingin buruburu melihatku sampai di titik penting ini.
"Eh, trims.”
"Kelihatannya kau masih gugup,” Edward mengamati.
"Memang masih."
"Apa lagi yang perlu dikhawatirkan? Pesta nanti malam? Tidak akan seburuk
yang kaukira."
"Mungkin kau benar."
"Kau mencari siapa?” Ketahuan juga ternyata. "Alice – di mana
dia?"
"Begitu mendapatkan ijazahnya, dia langsung kabur.” Nada suaranya berubah.
Aku mendongak dan melihat
Edward memandang ke pintu belakang gimnasium dengan ekspresi bingung. dan aku
langsung mengambil keputusan saat itu juga, keputusan yang semestinya harus
kupikirkan baik-baik, tapi jarang kulakukan.
"Kau mengkhawatirkan Alice?" tanyaku.
"Eh...," Edward tidak mau menjawab.
"Omong-omong, apa yang sedang dia pikirkan? Untuk mencegahmu membaca
pikirannya, maksudku."
Mata Edward berkelebat ke wajahku, dan menyipit curiga. "Saat ini dia
sedang menerjemahkan Himne Perang
Republik ke dalam bahasa Arab. Kalau sudah selesai nanti, dia akan beralih ke
bahasa sandi Korea."
Aku tertawa gugup. "Kurasa itu akan membuat otaknya cukup sibuk."
"Kau tahu apa yang dia sembunyikan dariku," tuduh Edward.
"Tentu saja," Aku menyunggingkan senyum lemah.
"Justru akulah yang menyebabkannya." Edward menunggu, bingung.
Aku memandang berkeliling. Charlie pasti sedang berusaha menembus kerumunan
untuk mencapai kami.
"Aku tahu bagaimana Alice,” aku buru-buru berbisik, "mungkin dia
berusaha menyembunyikan masalah ini
darimu sampai setelah pesta nanti. Tapi karena aku sendiri tidak keberatan
pestanya dibatalkan, well, bagaimanapun, jangan langsung panik, oke? Selalu
lebih baik kalau kita tahu sebanyak mungkin yang bisa kita ketahui. Itu pasti
bisa membantu, entah bagaimana caranya."
"Apa sih yang kaubicarakan?"
Kulihat kepala Charlie di tengah lautan kepala lain saat ia mencariku. Lalu
tatapannya tertumbuk padaku dan ia
melambaikan tangan.
"Pokoknya tetaplah tenang, oke?"
Edward mengangguk sekali, mulutnya terkatup membentuk garis yang muram.
Dalam bisikan terburu-buru aku menjelaskan pikiranku padanya. "Menurutku
selama ini kau salah bila mengira
persoalan-persoalan yang kita hadapi berasal dari beberapa pihak. Menurutku
justru semuanya berasal dari satu pihak...dan kurasa pelakunya sebenarnya
mengincarku. Semua itu berhubungan, pasti. Hanya satu orang yang mencoba bermain-main
dengan visi Alice. Orang tak dikenal yang masuk ke kamarku adalah ujian, untuk
menguji apakah ada yang bisa menyelinap tanpa terlihat oleh pikiran Alice.
Orang ini pastilah orang yang sama dengan yang selalu berubah pikiran, dan yang
menciptakan para vampir baru, dan yang mencuri baju-bajuku,semuanya
berhubungan. Bajuku diambil untuk mereka."
Wajah Edward berubah putih pias hingga aku sulit menyelesaikan penjelasanku.
"Tapi tidak ada yang mengincar kalian, kau mengerti, kan? Itu bagus –
Esme, Alice, dan Carlisle, berarti tidak ada yang berniat menyakiti
mereka!"
Mata Edward membesar, membelalak panik, terpana, dan ngeri. Ia langsung tahu
aku benar, sama halnya dengan Alice. Kuletakkan tanganku di pipinya.
"Tenang," aku memohon.
"Bella!" seru Charlie, menerobos kerumunan keluargakeluarga yang
berjejal di sekeliling kami.
"Selamat, Sayang!" Dia masih saja berteriak, padahal sudah berada
tepat di samping telingaku. Dirangkulnya aku erat-erat, dengan licik menggeser
Edward saat melakukannya.
"Trims," gumamku, pikiranku tertuju pada ekspresi Edward. Ia masih
belum bisa menguasai diri. Kedua tangannya separuh terulur ke arahku, seperti
hendak menyambar dan membawaku kabur. Aku sedikit lebih bisa
menguasai diri ketimbang dia, dan menurutku kabur rasanya tidak terlalu buruk.
"Jacob dan Billy harus buru-buru pulang, kau lihat tidak mereka datang
tadi?" Tanya Charlie, mundur selangkah,
tapi kedua tangannya tetap memegang bahuku. Ia berdiri memunggungi Edward,
mungkin sengaja untuk
membuatnya merasa tersisih, namun saat ini hal itu bukan masalah. Mulut Edward
menganga lebar, matanya masih membelalak ketakutan.
"Yeah,” aku meyakinkan ayahku, berusaha tetap menyimak perkataannya.
"Suara mereka kedengaran kok."'
"Baik betul mereka sampai mau repot-repot datang,” kata Charlie.
"He-eh."
Oke, ternyata memberitahu Edward bukan ide bagus. Tindakan Alice mengaburkan
pikirannya benar. Seharusnya aku menunggu sampai kami sendirian di suatu
tempat, mungkin bersama anggota keluarganya yang lain. Dan tidak. ada
benda-benda yang mudah pecah di sekitarnya – seperti jendela...mobil...
bangunan sekolah. Wajah Edward memunculkan kembali semua perasaan takutku,
bahkan lebih. Walaupun ekspresinya kini bukan lagi takut,tapi amarah
meluap-luap yang mendadak. tampak jelas di wajahnya.
"Nah, sekarang kau mau makan malam di mana?" tanya Charlie. "Di
mana saja boleh lho."
"Aku kan bisa masak."
"Jangan konyol. Bagaimana kalau kita makan di Lodge?" usul Charlie
dengan senyum bersemangat.
Aku tidak begitu suka makan di restoran favorit Charlie, tapi saat ini apa
bedanya? Aku toh tidak bakal bisa makan.
"Baiklah, ke Lodge, keren." sahutku. Senyum Charlie semakin lebar,
kemudian ia mendesah. Ia menoleh sedikit ke arah Edward, tanpa benar-benar menatapnya.
"Kau mau ikut juga, Edward?"
Kupandangi dia, mataku memohon. Edward mengubah ekspresinya tepat sebelum
Charlie menoleh untuk
melihat kenapa Edward tidak. menjawab.
"Tidak, terima kasih,” jawab Edward kaku, wajahnya keras dan dingin.
"Kau punya rencana lain bersama orangtuamu?" tanya Charlie, nadanya
agak tidak enak. Edward selalu lebih
sopan meskipun Charlie sebenarnya tak pantas menerimanya. Kini sikapnya yang
mendadak ketus mengagetkan Charlie.
"Ya. Permisi...” Edward tiba-tiba berbalik dan menghambur menerobos kerumunan
yang mulai berkurang.
Gerakannya agak terlalu cepat, terlalu kalut untuk mempertahankan pembawaannya
yang biasanya sempurna.
"Aku salah omong, ya?" Tanya Charlie dengan ekspresi bersalah.
"Jangan khawatir, Dad,” aku meyakinkan dia. "Kurasa bukan Dad
penyebabnya.”
"Kalian bertengkar lagi?"
"Tidak ada yang bertengkar. Urus saja urusan Dad sendiri."
"Kau memang urusanku.”
Aku memutar bola mataku. "Ayo kita makan."
The Lodge sarat pengunjung. Tempat itu, menurut pendapatku, kemahalan dan
norak, tapi hanya itu satusatunya tempat di kota yang paling mirip restoran
resmi, jadi selalu populer menjadi ajang berbagai acara. Dengan muram
kupandangi pajangan kepala rusa sementara Charlie melahap iga panggang dan
mengobrol dengan orangtua Tyler Crowley di meja sebelah. Suasananya berisik,
semua yang datang ke sana baru saja kembali dari acara kelulusan, dan sebagian
besar mengobrol dengan sesama pengunjung di seberang lorong atau meja sebelah
seperti Charlie.
Aku duduk membelakangi jendela depan, berusaha melawan godaan untuk menoleh dan
mencari-cari sepasang
mata yang bisa kurasakan tertuju padaku sekarang. Aku tahu aku takkan melihat
apa-apa. Sama pastinya dengan aku tahu ia tak mungkin membiarkan aku sendirian
tanpa diawasi, bahkan sedetik sekalipun. Tidak setelah ini.
Makan malam berjalan lambat. Charlie, yang sibuk bersosialisasi, makan terlalu
pelan. Kucuil-cuil burgerku,
menjejalkan potongan demi potongan ke serbet saat aku yakin Charlie sedang
tidak melihat. Sepertinya waktu
berjalan sangat lama, tapi waktu aku melihat jam,yang kulakukan lebih sering
daripada yang perlu kulakukan,jarum jamnya ternyata belum bergerak terlalu
jauh. Akhirnya Charlie selesai mendapat kembalian dan meletakkan tip di meja.
Aku berdiri.
"Buru-buru, ya?" tanyanya.
"Aku ingin membantu Alice mempersiapkan segala sesuatunya,” jawabku.
"Oke." Charlie berpaling sebentar untuk berpamitan kepada semua
orang. Aku keluar dan menunggu di samping
mobil polisi. Aku bersandar di pintu depan, menunggu Charlie selesai berpamitan
dengan teman-temannya. Sudah hampir gelap di lapangan parkir, awan-awan sangat
tebal, hingga tidak ketahuan lagi apakah matahari sudah terbenam atau belum.
Udara terasa pengap. seperti hendak turun hujan. Sesuatu bergerak dalam
keremangan bayang-bayang.
Seruan tertahanku berubah jadi embusan napas lega ketika kulihat Edward muncul
dari keremangan.
Tanpa mengatakan apa-apa, ia mendekapku erat-erat di dadanya. Tangannya yang
dingin meraih daguku, lalu
menengadahkan wajahku supaya ia bisa menempelkan bibirnya yang keras ke
bibirku. Bisa kurasakan ketegangan di dagunya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku begitu ia membiarkanku menarik napas.
"Tidak begitu baik,” gumamnya. "Tapi aku harus bisa menguasai diri.
Maaf kalau aku tadi tidak bisa menahan
emosi.”
"Salahku. Seharusnya aku menunda memberitahumu.”
"Tidak,” sergah Edward. "Ini hal penting yang perlu kuketahui. Sulit
dipercaya aku justru tidak melihatnya!"
"Kau kan sedang banyak pikiran.”
"Dan kau tidak?"
Tiba-tiba Edward menciumku lagi, tidak membiarkanku menjawab. Ia melepaskan diri
sedetik kemudian. "Sebentar lagi Charlie keluar."
''Aku akan memintanya mengantarku ke rumahmu.”
“Aku akan mengikutimu ke sana.”
"Itu tidak perlu,” aku mencoba berkata, tapi Edward sudah keburu lenyap.
"Bella?" Charlie memanggil dari ambang pintu restoran, menyipitkan
mata, berusaha melihat dalam gelap.
"Aku di sini.”
Charlie melenggang ke mobil, menggerutu pelan, mengomeli ketidaksabaranku.
"Nah, apa yang kaurasakan sekarang?" tanya Charlie padaku saat mobil
melaju di jalan tol menuju utara. "Ini
hari yang sangat bersejarah bagimu.”
"Aku merasa baik-baik saja,” dustaku. Charlie tertawa, tahu aku bohong.
"Khawatir soal pesta
itu?" tebaknya.
"Yeah,” dustaku lagi.
Kali ini Charlie percaya saja. "Kau memang tidak pernah suka pesta.”
"Keturunan siapa, ya?" gumamku.
Charlie terkekeh. "Well, kau kelihatan sangat cantik. Seandainya saja
terpikir olehku untuk membelikanmu
sesuatu. Maaf, ya.”
“Jangan konyol, Dad
"Itu tidak konyol. Aku merasa tidak selalu melakukan hal yang seharusnya
kulakukan untukmu.”
"Itu konyol. Dad hebat kok. Ayah terbaik di dunia. Dan...” Tak mudah
berbicara hati ke hati dengan Charlie,
tapi akhirnya aku bisa juga, setelah lebih dulu berdeham- deham. "Dan aku
sangat senang pindah dan tinggal
bersamamu, Dad. Itu ide terbaik yang pernah terpikir olehku. Jadi jangan
khawatir – Dad hanya sedang
mengalami pesimisme pascawisuda.”
Charlie mendengus. "Mungkin. Tapi aku yakin pernah gagal di sana-sini
beberapa kali. Maksudku, lihat saja
tanganmu!"
Aku menunduk, memandangi kedua tanganku dengan pandangan kosong. Tangan kiriku
disandang penyangga
yang aku sendiri jarang menyadarinya. Buku jariku yang retak tidak begitu sakit
lagi.
"Tak pernah terpikir olehku untuk mengajarimu cara meninju orang. Tapi
ternyata aku salah.”
"Lho, kupikir Dad memihak Jacob?"
"Tak peduli aku memihak siapa, kalau ada yang menciummu tanpa izin, kau
harus bisa menegaskan
perasaanmu tanpa mencederai dirimu sendiri. Kau pasti tidak memasukkan ibu jari
ke kepalan tangan, ya?"
"Tidak. Dad. Baik sekali Dad sampai berpikir begitu, walaupun itu pikiran
aneh, tapi kurasa, diajari pun
percuma. Kepala Jacob benar-benar keras.”
Charlie tertawa. "Lain kali, kalau mau meninju di perut.”
"Lain kali?" tanyaku tidak percaya.
"Sudahlah, jangan terlalu keras padanya. Dia masih muda.”
"Dia menjengkelkan.”
"Dia tetap temanmu.”
''Aku tahu,” Aku mendesah. ''Aku tidak benar-benar tahu apa yang sebaiknya kulakukan
dalam hal ini, Dad.”
Charlie mengangguk lambat-lambat. "Yeah. Tidak selamanya hal yang tepat
itu bisa diketahui dengan jelas.
Terkadang hal yang tepat untuk seseorang justru tidak tepat bagi orang lain.
Jadi... silakan memikirkannya sendiri.”
"Trims,” gumamku garing.
Lagi-lagi Charlie tertawa, tapi sejurus kemudian keningnya berkerut.
"Kalau pesta ini jadi terlalu liar...” ia
mulai mewanti-wanti.
"Jangan khawatir, Dad. Carlisle dan Esme ada di sana untuk mengawasi.
Aku yakin Dad juga boleh datang. Kalau mau."
Charlie meringis sambil menyipitkan mata, berusaha melihat menembus kegelapan
di luar kaca depan. Charlie
juga tidak suka pesta, sama seperti aku.
"Di mana ya belokannya?" tanya Charlie. "Seharusnya mereka
memangkas pepohonan dan semak di sekitar jalan masuk – mustahil menemukannya
gelap-gelap begini."
"Sehabis tikungan berikutnya, kalau tidak salah.” Aku mengerucutkan bibir.
"Dad benar – mustahil
menemukannya. Kata Alice, dia sudah mencantumkan peta di undangannya. Meski begitu,
mungkin semua orang bakal tersesat.” Aku sedikit senang membayangkan hal itu.
"Mungkin,” sahut Charlie saat jalan menikung ke timur.
"Atau mungkin juga tidak.”
Kegelapan yang hitam pekat mendadak sirna di depan, tepat di jalan masuk menuju
rumah keluarga Cullen.
Seseorang melilitkan ribuan lampu kecil berkelap-kelip di pepohonan di sisi
kiri dan kanan jalan, jadi mustahil
terlewatkan.
“Alice,” ucapku masam.
"Wow,” Charlie terkagum-kagum saat kami berbelok memasuki jalan masuk.
Bukan hanya dua pohon di ujung
jalan yang dihiasi lampu. Setiap kira-kira dua puluh meter, sebuah
"mercusuar" menyala membimbing para tamu
menuju rumah putih besar. Sepanjang jalan – sejauh hampir lima kilometer.
"Kalau melakukan sesuatu Alice tidak setengahsetengah, ya?" gumam
Charlie takjub.
"Yakin Dad tidak mau masuk?"
"Yakin sekali. Selamat bersenang-senang, Nak.”
"Terima kasih banyak, Dad.”
Charlie tertawa-tawa sendiri waktu aku turun dan menutup pintu. Aku
mengawasinya pergi sambil terus
senyam-senyum. Sambil mendesah aku bergegas menaiki tangga, menabahkan hati
untuk menghadapi pestaku.
0 komentar:
Post a Comment