Eclipse Indonesia 26
26. ETIKA
KONTER di kamar mandi Alice dipenuhi ribuan jenis produk berbeda, semuanya
mengklaim bisa mempercantik
tampilan luar seseorang. Berhubung semua orang di rumah ini sempurna dan tak mungkin
berubah, aku hanya bisa berasumsi ia membeli sebagian besar produk kecantikan
ini untukku.
Dengan perasaan kelu kubaca labelnya satu per satu, terkejut saat menyadari
membeli produk-produk semacam
itu hanya membuang-buang uang. Aku berhati-hati untuk tidak pernah memandang ke
cermin yang panjang.
Alice menyisir rambutku dengan gerak lambat dan berirama.
"Cukup, Alice,” sergahku datar. "Aku ingin kembali ke La Push."
Sudah berapa jam lamanya aku menunggu sampai akhirnya Charlie meninggalkan
rumah Billy supaya aku
bisa menengok Jacob? Setiap menit, tidak mengetahui apakah Jacob masih bernapas
atau tidak, rasanya bagaikan seumur hidup. Kemudian, waktu akhirnya aku
diizinkan pergi, untuk melihat sendiri Jacob masih hidup, waktu justru berlalu
begitu cepat. Rasanya baru saja menarik napas Alice sudah menelepon Edward
lagi, memaksa supaya aku tetap melanjutkan sandiwara menginap yang konyol ini.
Seperti itu sama sekali tidak penting..
"Jacob masih belum sadar,” Alice menjawab. "Carlisle atau Edward akan
menelepon kalau dia siuman.
Bagaimanapun kau perlu menemui Charlie. Dia tadi di rumah Billy, jadi ia tahu
Carlisle dan Edward sudah
kembali dari berburu dan dia bakal curiga kalau kau pulang nanti."
Aku sudah menghafal dan menyamakan ceritaku. "Aku tidak peduli. Pokoknya
aku ingin berada di sana kalau
Jacob siuman nanti."
"Kau perlu memikirkan Charlie sekarang. Ini hari yang sangat melelahkan,
maaf aku tahu itu penggambaran yang sangat tidak tepat, tapi itu bukan berarti
kau bisa meremehkan tanggung jawabmu," Nadanya serius, nyaris
mengecam. "Yang terpenting sekarang menjaga supaya Charlie tetap aman
dengan ketidaktahuannya. Mainkan
peranmu dulu Bella, baru kau bisa melakukan apa yang kauinginkan. Bagian dari menjadi
anggota keluarga Cullen adalah bersikap penuh tanggung jawab."
Tentu saja Alice benar. Dan kalau bukan karena alasan yang sama, alasan yang
jauh lebih kuat daripada semua
ketakutan, kepedihan, dan rasa bersalahku, Carlisle tidak akan pernah bisa
membujukku meninggalkan Jacob,
pingsan maupun tidak.
"Pulanglah,” Alice memerintahkan. "Bicaralah dengan Charlie.
Sampaikan alibimu. Amankan dia."
Aku berdiri, dan darah mengalir menuruni kakiku, menusuk-nusuk bagaikan ribuan
jarum suntik. Aku sudah
terlalu lama duduk diam tak bergerak.
"Gaun itu cocok sekali di tubuhmu,” rayu Alice.
"Hah? Oh. Eh terima kasih sekali lagi untuk baju-baju ini,” gumamku, lebih
demi kesopanan ketimbang karena
benar-benar ingin berterima kasih.
"Kau butuh bukti,” kata Alice, matanya lugu dan membelalak.” Apa gunanya shopping
kalau tidak membeli baju baru? Sangat mengesankan, kalau boleh kukatakan sendiri."
Aku mengerjap, tidak ingat baju apa yang dipakaikannya padaku. Aku tak mampu
mencegah pikiranku melantur ke mana-mana, seperti serangga yang merubungi
lampu...
"Jacob baik-baik saja Bella,” kata Alice, dengan mudah menerjemahkan
pikiranku. "Tak perlu buru-buru. Kalau
kau menyadari betapa banyaknya morfin ekstra yang diberikan Carlisle padanya,
karena suhu tubuhnya yang
tinggi membakar habis morfin dengan cepat, kau pasti tahu dia akan tidak
sadarkan diri beberapa saat."
Setidaknya ia tidak kesakitan. Belum.
"Apakah ada yang ingin kaubicarakan sebelum pergi?" tanya Alice
dengan sikap bersimpati. ”Kau pasti lebih dari
sekedar agak traumatis."
Aku tahu apa yang ingin diketahui Alice. Tapi aku punya pertanyaan-pertanyaan
lain.
"Apakah aku akan menjadi seperti itu?" tanyaku, suaraku muram.
"Seperti si Bree yang di padang rumput?"
Meski banyak hal lain yang perlu kupikirkan, tapi sepertinya aku tak mampu
mengenyahkan gadis itu dari
ingatanku, si vampir baru yang kehidupannya barunya begitu cepat berakhir.
Wajahnya, berkerut-kerut
mendambakan darahku terus terbayang di balik kelopak mataku.
Alice mengelus-elus lenganku. "Setiap orang berbeda, tapi kurang lebih
memang seperti itu."
Aku diam bergeming, mencoba membayangkan.
"Masa-masa seperti itu akan berlalu.” janjinya.
"Berapa lama?"
Alice mengangkat bahu. “Beberapa tahun, mungkin kurang. Bisa jadi berbeda
bagimu. Aku belum pernah
melihat bagaimana orang yang memilih jalan hidup seperti ini menjalani
kehidupan barunya. Bakal menarik melihat bagaimana itu mempengaruhimu."
"Menarik.” Aku menirukan.
"Kami akan menjagamu agar kau tidak terkena masalah."
"Aku tahu itu, aku percaya padamu." Suaraku monoton, mati.
Kening Alice berkerut. "Kalau kau mengkhawatirkan Carlisle dan Edward aku
yakin mereka baik-baik saja. Aku
yakin Sam sudah mulai mempercayai kami.. well, setidaknya mempercayai Carlisle.
Baguslah kalau begitu.
Dugaanku suasana pasti sedikit tegang waktu Carlisle harus mematahkan kembali
beberapa tulang Jacob.."
"Please, Alice."
"Maaf."
Aku menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Tubuh Jacob sudah mulai
pulih dengan cepat, tapi
beberapa tulangnya tidak tersambung dengan benar. Untuk memperbaikinya, ia
sengaja dibuat pingsan, namun masih sulit rasanya membayangkan hal itu.
"Alice, bolehkah aku bertanya? Tentang masa depan?"
Alice mendadak waswas. ”Kau kan tahu aku tidak bisa melihat semuanya."
"Bukan itu, tepatnya. Tapi kadang-kadang kau bisa melihat masa depanku.
Menurutmu. kenapa hal-hal lain
tidak berpengaruh padaku? Baik yang dilakukan Jane, atau Edward atau
Aro.." Suaraku menghilang seiring dengan tingkat ketertarikanku.
Keingintahuanku saat ini hanya sekilas. Jauh dikalahkan oleh emosi-emosi lain
yang lebih mendesak.
Namun Alice Justru menganggap pertanyaanku sangat menarik. "Jasper juga
Bella, bakatnya bisa mempengaruhi tubuhmu sama seperti dia mempengaruhi orang
lain. Di situlah perbedaannya, kau mengerti? Kemampuan Jasper mempengaruhi
tubuh secara fisik. Dia benar-benar bisa menenangkan sistemmu, atau membuatnya
bergairah. Itu bukan ilusi. Dan aku melihat visi dari sesuatu yang dihasilkan,
bukan alasan dan pikiran di balik keputusan yang menyebabkannya. Semua itu
bekerja di luar pikiran, bukan ilusi juga; tapi realita, atau setidaknya salah
satu versi realita. Sementara Jane, Edward, Aro, dan Demetri, mereka bekerja di
dalam pikiran. Jane hanya menciptakan ilusi kesakitan. Dia tidak benar-benar
menyakiti tubuhmu, kau hanya mengira merasakannya. Kau mengerti, Bella? Kau
aman dalam pikiranmu. Tidak ada yang bisa mencapaimu di sana. Tak heran Aro
sangat penasaran tentang kemampuanmu di masa depan."
Alice mengamati wajahku untuk mengetahui apakah bisa mengikuti logikanya.
Sebenarnya, kata-katanya mulai
terdengar sambung-menyambung, silabel dan suaranya kehilangan arti. Aku tidak
bisa berkonsentrasi. Meski begitu aku mengangguk. Berlagak mengerti . Alice
tidak terkecoh. Ia mengelus-elus pipiku dan bergumam.” Dia akan baik-baik saja,
Bella. Aku tidak perlu itu untuk mengetahuinya. Kau sudah siap pergi."
"Satu lagi. Bolehkah aku mengajukan pertanyaan lagi tentang masa depanku?
Bukan yang spesifik, hanya
pandangan umum saja.”
"Akan kuusahakan semampuku,” jawab Alice, kembali ragu.
"Apakah kau masih bisa melihatku menjadi vampir?"
"Oh, itu sih gampang. Tentu, bisa."
Aku mengangguk lambat-lambat. Alice mengamati wajahku, matanya tak bisa
diterka.
"Tidakkah kau mengetahui pikiranmu sendiri Bella?"
"Tahu. Aku hanya ingin memastikan."
"Aku hanya yakin kalau kau sendiri yakin, Bella. Kau tahu itu. Kalau kau
berubah pikiran, apa yang kulihat akan
berubah... atau lenyap, dalam kasusmu."
Aku mendesah. "Tapi itu takkan terjadi."
Alice memeluk bahuku. "Maafkan aku. Aku tidak benarbenar bisa berempati.
Ingatan pertamaku adalah melihat
wajah Jasper di masa depan; sejak dulu aku sudah tahu dia ada di tempat hidupku
menuju. Tapi aku bisa bersimpati. Aku kasihan padamu karena kau harus memilih
satu di antara dua hal yang sama baiknya."
Aku menggerakkan bahuku, melepaskan pelukannya.
"Jangan merasa kasihan padaku." Ada orang-orang yang pantas
mendapatkan simpati. Aku bukan salah satunya. Dan aku tidak punya pilihan lain,
harus ada hati yang disakiti dalam hal ini. "Aku akan menemui Charlie
sekarang."
Aku mengendarai trukku pulang. Charlie sudah menunggu dengan sikap curiga,
tepat seperti dugaan Alice.
"Hai Bella. Bagaimana acara shopping-nya?" sapa Charlie begitu aku
melangkah memasuki dapur. ia melipat
lengannya di dada, matanya menatap wajahku.
"Lama,” jawabku muram. "Kami baru sampai." Charlie menilai
suasana hatiku. “Kurasa kau sudah
mendengar kabar tentang Jake, kalau begitu?"
"Sudah, anggota keluarga Cullen yang lain sudah lebih dulu sampai di
rumah. Esme memberi tahu kami di mana
Carlisle dan Edward berada."
"Kau baik-baik saja?"
"Mengkhawatirkan Jake. Setelah selesai memasak makan malam, aku akan
langsung berangkat ke La Push."
"Sudah kubilang, sepeda motor itu berbahaya. Kuharap kau tahu aku tidak
main-main."
Aku mengangguk sambil mulai mengeluarkan bahanbahan dari kulkas. Charlie duduk
di meja. Tidak seperti
biasa,hari ini sepertinya ia sedang ingin mengobrol.
"Kurasa kau tidak perlu terlalu mengkhawatirkan Jake. Siapa pun yang bisa
memaki dengan energi sedahsyat itu
pasti akan pulih."
"Jadi Jake sadar waktu Dad melihatnya?" tanyaku, berbalik untuk
memandangi Charlie.
"Oh, yeah, dia sadar. Coba kau dengar makiannya, tidak lebih baik kau
tidak mendengarnya. Kurasa tak seorang pun di La Push yang tidak bisa
mendengarnya. Entah dari mana dia mempelajari kosakata sekasar itu,tapi kuharap
dia tidak menggunakan bahasa sekasar itu jika sedang bersamamu."
"Wajar saja dia bersikap begitu hari ini. Bagaimana keadaannya?"
"Berantakan. Dia dibawa teamn-temannya.Untung tubuh mereka besar-besar,
karena anak itu kan bongsor
sekali. Menurut Carlisle, kaki kanannya patah, begitu pula lengan kanannya.
Bisa dibilang hampir seluruh sisi kanan tubuhnya patah waktu motornya
jatuh." Charlie menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau aku sampai
mendengar kau naik motor lagi Bella?"
"Tidak bakal Dad. Dad tidak akan mendengarnya. Sungguh Jake tidak
apa-apa?"
"Tentu Bella, jangan khawatir. Dia masih seperti biasa, bahkan sempat
menggodaku."
"Menggoda Dad?" ulangku,syok.
"Yeah... di sela-sela memaki ibu seseorang dan menyebut nama Tuhan dengan
tidak hormat, dia berkata, ‘taruhan, kau pasti senang dia mencintai Cullen dan
bukan aku hari ini kan Charlie?’"
Aku berbalik ke kulkas supaya Charlie tidak melihat ekspresiku.
"Dan itu benar, Edward lebih dewasa dibandingkan Jacob soal keselamatanmu,
itu harus kuakui."
"Jake lumayan dewasa kok.” gumamku dengan sikap defensif. "Aku yakin
ini bukan salahnya."
"Hari ini aneh sekali,” Charlie merenung beberapa saat kemudian. “kau tahu
aku sebenarnya tidak begitu percaya pada tahayul, tapi sungguh ganjil...
Sepertinya Billy tahu sesuatu yang buruk akan menimpa Jake. Sepagian dia gelisah
seperti kalkun akan disembelih untuk perayaan thanksgiving. Menurutku dia
bahkan tidak mendengarkan omonganku sama sekali."
"Kemudian, lebih anehnya lagi, kau ingat tidak, di bulan Februari dan
Maret dulu, waktu ada gangguan serigala liar di sekitar sini?"
Aku membungkuk untuk mengambil wajan dari rak, dan bersembunyi di sana satu dua
detik lebih lama.
"Yeah.” gumamku.
"Mudah-mudahan saja tidak muncul lagi gangguan yang sama. Pagi tadi, saat
kami sedang di perahu, dan Billy tidak begitu memperhatikanku maupun perahu
yang kami naiki, tiba-tiba terdengar lolongan serigala-serigala di hutan. Lebih
dari satu dan astaga nyaringnya bukan main. Kedengarannya seperti berasal dari
tengah perkampungan. Yang paling aneh lagi, Billy memutar perahu dan langsung kembali
ke dermaga, seolah-olah serigala-serigala itu memang memanggilnya. Dia bahkan
tidak menggubris pertanyaanku yang heran melihat kelakuannya.
"Suara itu berhenti begitu kami menambatkan perahu.
Tapi tiba-tiba Billy seperti terburu-buru tidak ingin ketinggalan nonton
pertandingan, padahal waktunya masih
beberapa jam lagi. Dia menggumamkan omong kosong tentang pertunjukan dimulai lebih
awal, masa pertandingan live disiarkan lebih awal? Sungguh, Bella, aneh
sekali."
"Well, lalu dia menemukan pertandingan yang katanya ingin dia tonton, tapi
kemudian dia mengabaikannya. Dia
malahan menelepon terus, menelepon Sue, Emily, dan kakek temanmu Quil. Entah
apa yang dicarinya... dia
mengobrol biasa saja dengan mereka.
"Kemudian lolongan itu terdengar lagi, tepat di luar rumah. Belum pernah
aku mendengar suara seperti itu, bulu
lenganku sampai berdiri semua. Kutanya Billy – aku sampai harus berteriak untuk
mengalahkan lolongan itu – apakah dia memasang perangkap di halamannya.
Kedengarannya hewan itu benar-benar kesakitan."
Aku meringis, tapi Charlie begitu terhanyut ceritanya sendiri sehingga tidak
memperhatikan.
"Tentu saja aku lupa sama sekali tentang hal itu dan baru ingat lagi
sekarang, karena saat itulah Jake pulang, satu menit yang lalu aku mendengar
serigala melolong. Tapi kemudian tiba-tiba suara itu hilang... makian Jake
mengalahkan semua suara. Kuat sekali paru-paru anak itu.”
Charlie menghentikan ceritanya sejenak,wajahnya seperti berpikir. "lucu
juga bahwa ada hikmah dibalik segala
kekacauan ini. Kupikir mereka takkan pernah bisa mengenyahkan prasangka konyol
mereka terhadap keluarga
Cullen di sana. Tapi seseorang menghubungi Carlisle, dan Billy sangat bersyukur
dia datang. Kukira kami harus
membawa Jake ke rumah sakit, tapi Billy ingin dia tetap di rumah, dan Carlisle
setuju. Kurasa Carlisle tahu yang
terbaik. Baik sekali dia, mau repot-repot datang memeriksa pasien yang tinggal
sejauh itu."
"Dan..."Charlie terdiam sejenak, seperti tak rela mengatakan sesuatu.
Ia menghela napas, lalu melanjutkan
kata-katanya. “dan Edward benar-benar... baik. Kelihatannya dia sama
khawatirnya memikirkan Jacob
seperti kau, seolah-olah yang terbaring itu saudaranya sendiri. Sorot
matanya..." Charlie menggeleng-geleng. "Dia pemuda yang baik Bella. Aku
akan berusaha mengingatnya. Tidak janji, tapi." ia nyengir padaku.
"Aku takkan menagihnya,"gumamku.
Charlie meluruskan kakinya dan mengerang. "Senang rasanya berada di rumah
kembali. Kau pasti tak percaya
betapa sesaknya di rumah Billy yang kecil itu. Tujuh teman Jacob
berdesak-desakan di ruang depan kecil itu, aku sampai nyaris tak bisa bernapas.
Kau sadar tidak betapa besarnya anak-anak Quileute itu sekarang Bella?'
"Yeah, memang."
Charlie menatapku, matanya tiba-tiba terfokus. “sungguh Bella,” kata Carlisle,
“sebentar lagi Jake akan pulih dan
sehat kembali. Katanya luka-lukanya terlihat lebih parah daripada sebenarnya.
Dia akan baik-baik saja."
Aku hanya mengangguk. Anehnya, Jacob tadi terlihat sangat.. rapuh waktu aku bergegas
pergi ke rumahnya segera setelah Charlie pulang. Di sekujur tubuhnya terpasang
penyangga, menurut Carlisle tak ada gunanya digips, karena begitu cepatnya dia
pulih. Wajahnya pucat dan letih, walaupun saat itu ia sedang
tidak sadar. Rapuh. Meskipun bertubuh besar, ia tampak sangat rapuh. Mungkin hanya
imajinasiku, ditambah lagi aku tahu aku harus menyakiti hatinya.
Kalau saja ada kilat yang bisa menyambarku dan membelahku menjadi dua. Lebih
disukai lagi jika prosesnya
menyakitkan. Untuk pertama kalinya, berhenti menjadi manusia terasa bagaikan
pengobatan sejati. Seolah-olah ada terlalu banyak hal yang tak ingin
kulepaskan. Kuletakkan piring berisi makanan untuk Chaarlie ke
meja di samping sikunya, lalu berjalan ke pintu.
"Eh Bella? bisa tunggu sebentar?”
"Apakah aku melupakan sesuatu?" tanyaku, mengarahkan mataku ke
piringnya.
"Tidak, tidak. Aku hanya... ingin minta tolong," Charlie mengerutkan
kening dan menunduk memandangi lantai.
"Duduklah... tidak lama kok."
Aku duduk berhadap-hadapan dengan ayahku, agak bingung. Aku mencoba
berkonsentrasi. "Ada apa Dad?"
"Masalahnya begini Bella,” wajah Charlie memerah.
"Mungkin aku hanya merasa... terpengaruh takhayul setelah nongkrong
bersama Billy yang bersikap sangat aneh seharian. Tapi aku punya... firasat.
Aku merasa sepertinya... aku akan kehilanganmu sebentar lagi."
"Jangan konyol Dad,” gumamku dengan perasaan bersalah.
"Dad ingin aku kuliah kan?"
"Pokoknya berjanjilah padaku.”
Aku ragu-ragu, siap mengelak."Oke.."
"Maukah kau memberitahuku sebelum melakukan sesuatu yang besar? Sebelum
kau kawin lari dengannya atau
semacamnya?"
"Dad....” erangku.
"Aku serius. Aku tidak bakal ribut-ribut hanya saja beri tahu aku
sebelumnya. Beri aku kesempatan untuk memeluk dan mengucapkan selamat berpisah
denganmu."
Meringis dalam hati, aku mengangkat tanganku.
"Konyol benar. Tapi kalau itu membuat Dad senang... aku janji."
"Trims Bella.” kata Charlie."Aku sayang padamu, nak."
"Aku juga sayang padamu Dad." Kusentuh pundaknya, lalu kudorong kursi
menjauhi meja. "kalau Dad butuh apaapa, aku ada di rumah Billy."
Tanpa menoleh lagi, aku berlari keluar. Sempurna, ini benar-benar yang
kubutuhkan. Aku menggerutu sendiri
sepanjang perjalanan menuju La Push. Mercedes hitam Carlise tidak ada di depan
rumah Billy.
Itu berarti baik dan buruk. Jelas aku perlu bicara berdua saja dengan Jacob.
Meski begitu, aku berharap kalau saja aku bisa menggenggam tangan Edward, tapi
sebelumnya, ketika Jacob tidak sadar. Mustahil. Tapi aku merindukan Edward, siangku
bersama Alice tadi terasa sangat lama. Kurasa, dari situ saja sudah jelas jawabanku
bakal seperti apa. Aku sudah tahu aku tak sanggup hidup tanpa Edward. Namun tetap
saja fakta itu takkan membuat ini menjadi lebih mudah. Pelan-pelan kuketuk
pintu depan.
"Masuklah Bella,” seru Billy. "raungan mesin trukmu gampang
dikenali."
Aku pun masuk, “hai Billy, dia sudah bangun?"tanyaku.
"Dia bangun kira-kira setengah jam yang lalu, tepat sebelum dokter pulang.
Masuklah. Kurasa dia menunggu
kedatanganmu."
Aku tersentak, kemudian menghela napas dalam-dalam.
"Trims. "
Aku ragu-ragu di depan pintu kamar Jacob, tidak yakin apakah harus mengetuk.
Kuputuskan untuk mengintip
dulu, berharap – dasar pengecut – siapa tahu dia tidur lagi. Rasanya aku butuh
waktu beberapa menit lagi.
Kubuka pintu secelah dan ragu-ragu kulongokkan kepalaku ke dalam. Jacob menungguku,
wajahnya kalem dan tenang. Ekspresi kuyu dan letih telah hilang, digantikan
ekspresi kosong dan hati-hati. Tidak ada kilauan di matanya yang gelap.
Sulit rasanya menatap wajahnya, tahu bahwa aku mencintainya. Ternyata itu
membawa lebih banyak
perbedaan daripada yang kukira pada awalnya. Aku bertanya-tanya sendiri dalam
hati, apakah selama ini Jacob
selalu merasa sesulit ini. Syukurlah, ada yang menyelubungi tubuh Jacob dengan selimut.
Lega rasanya tak perlu melihat seberapa parah cedera yang dialaminya. Aku
melangkah masuk dan menutup pintu pelan di
belakangku.
"Hai, Jake." bisikku.
Mulanya Jake tidak menyahut. Ia menatap wajahku lama sekali. Kemudian, dengan
sedikit usaha, ia mengubah
ekspresinya menjadi senyum mengejek.
"Yeah. aku sedikit sudah bisa menduga bakal seperti ini."
Jacob mendesah. "Hari ini keadaan benar-benar berubah jadi lebih buruk.
Mula-mula aku memilih tempat yang
salah, melewatkan pertarungan dan Setlah yang akhirnya diagung-agungkan. Sudah
begitu Leah harus pula jadi idiot dengan berusaha membuktikan dirinya sama
kuatnya dengan kami semua, dan aku harus menjadi idiot yang menyelamatkannya.
Dan sekarang ini." Jacob melambaikan tangan kirinya ke arahku, ke tempat
aku berdiri ragu-ragu di dekat pintu.
"Bagaimana perasaanmu?" gumamku. Pertanyaanku benar-benar bodoh.
“Agak teler. Dr. Taring kurang yakin seberapa besar obat penghilang sakit yang
kubutuhkan, jadi dia coba-coba saja. Kurasa dia memberi terlalu banyak."
"Tapi kau tidak merasa sakit."
"Tidak. Setidaknya, aku tidak bisa merasakan cederaku," jawab Jacob,
lagi-lagi tersenyum mengejek. Aku menggigit bibir. Entah bagaimana aku bisa menuntaskan
masalah ini. Kenapa tidak ada yang mencoba membunuhku di saat aku kepingin
mati?
Humor kecut itu lenyap dari wajah Jacob, dan sorot matanya menghangat,
keningnya berkerut seperti khawatir.
"Bagaimana denganmu?" tanyanya, kedengarannya benar-benar prihatin.
"kau baik-baik saja?"
"Aku?"kupandangi dia. Mungkin memang benar Jacob kebanyakan menelan
obat. "kenapa?"
"Well, maksudku, aku sangat yakin dia tidak akan benarbenar menyakitimu,
tapi aku tidak yakin bakal seberapa
parah reaksinya. Aku sampai agak gila karena mengkhawatirkanmu sejak terbangun
tadi. Aku tidak tahu
apakah kau akan diizinkan datang atau tidak. Tegang sekali rasanya. Bagaimana reaksinya?
Apakah dia mengamuk? Maafkan aku kalau keadaannya buruk. Aku tidak bermaksud
membiarkanmu menghadapinya sendirian. Kupikir aku akan berada di sana.."
Baru beberapa saat kemudian aku mengerti. Jacob mengoceh terus, semakin lama
tampak semakin canggung,
sampai Aku memahami apa yang dikatakannya. Lalu aku buru-buru meyakinkannya.
"Tidak, tidak, Jake! Aku baik-baik saja. Terlalu baik, malah. Tentu saja
dia tidak mengamuk. Kalau saja begitu!"
Mata Jacob membelalak seperti ketakutan. "Apa?"
"Dia bahkan tidak marah padaku – dia bahkan tidak marah padamu! Dia sangat
tidak egois hingga membuatku
semakin merasa tidak enak. Kalau saja dia memarahiku atau bagaimana. Bukan
berarti aku tidak pantas... well, jauh lebih buruk daripada dimarahi. Tapi dia
tidak peduli. Dia hanya ingin aku bahagia."
"Jadi dia tidak marah?" tanya Jacob, tak percaya.
"Tidak. Dia... terlalu baik."
Jacob menatapku beberapa saat, kemudian tiba-tiba mengerutkan keningnya.
"Well, brengsek!" geramnya.
"Kenapa, Jake? Ada yang sakit?” Kedua tanganku menggapai-gapai
mencari-cari obatnya.
"Tidak.” gerutu Jacob dengan nada jijik. "Sulit dipercaya! Dia sama
sekali tidak memberimu ultimatum
atau apa pun?"
"Mendekati itu pun tidak... kau kenapa?" Jacob merengut dan
menggeleng. "Padahal aku
menantikan reaksinya. Benar-benar brengsek. Dia lebih baik daripada yang
kuduga."
Dari cara Jacob mengatakannya, meski dengan nada lebih marah, mengingatkanku
pada komentar Edward di
tenda tadi pagi tentang Jacob yang kurang memiliki etika dalam bersaing. Dan
itu berarti Jake masih berharap, masih berjuang. Aku meringis saat kenyataan
itu menohok hatiku dalam-dalam.
"Dia tidak main-main, Jake," ucapku pelan.
"Berani bertaruh, kau keliru. Ia memainkan permainan ini sama kerasnya
denganku, tapi dia tahu apa yang dia
lakukan, sedangkan aku tidak. Jangan salahkan aku karena dia lebih pintar
memanipulasi orang ketimbang aku... aku belum hidup terlalu lama untuk
mempelajari semua triknya."
"Edward tidak memanipulasi aku!"
"Siapa bilang! Kapan kau akan bangun dan menyadari dia tidak sesempurna
yang kau kira!"
"Paling tidak dia mengancam akan bunuh diri untuk membuatku menciumnya.”
bentakku. Begitu kata-kata itu
terlontar, wajahku merah padam karena menyesal. "Tunggu. Anggap saja
kata-kata itu tidak pernah terlontar. Aku sudah bersumpah pada diriku sendiri
untuk tidak pernah mengungkit hal itu."
Jacob menghela napas dalam-dalam. Ketika berbicara, ia sudah lebih tenang.
"Kenapa tidak?"
"Karena kedatanganku ke sini bukan untuk menyalahkanmu atas apa pun
juga."
"Tapi itu benar,” tukas Jacob datar. "Memang itu yang kulakukan."
"Aku tak peduli Jake. Aku tidak marah."
Jacob tersenyum. "Aku juga tidak peduli. Aku tahu kau pasti akan
memaafkanku, dan aku senang telah
melakukannya. Aku mau melakukannya lagi. Setidaknya aku memiliki hal itu.
Setidaknya aku membuatmu
menyadari bahwa kau memang mencintaiku. Itu memiliki arti tersendiri."
"Benarkah? Apakah itu benar-benar lebih baik daripada kalau aku tidak
tahu?"
“Tidakkah menurutmu sebaiknya kau tahu bagaimana perasaanmu... supaya kau tidak
terkejut lagi kelak, ketika
semuanya sudah terlambat dan kau sudah menikah dengan vampir?"
Aku menggeleng, "Tidak... maksudku bukan lebih baik untukku. Maksudku
lebih baik untukmu. Apakah keadaan
baik atau lebih buruk, membuatku tahu bahwa aku mencintaimu? Padahal itu tidak
membuat perbedaan apa
pun. Bukankah akan lebih baik, lebih mudah bagimu, kalau aku tak pernah
tahu?"
Jacob memikirkan pertanyaanku dengan serius, seperti yang kumaksudkan, berpikir
dengan hati-hati sebelum
menjawab.
"Ya, lebih baik kalau kau tahu,” Jacob akhirnya memutuskan.
"Kalau kau tak pernah tahu... aku akan selalu bertanyatanya apakah
keputusanmu akan berbeda seandainya kau tahu. Sekarang aku tahu. Aku sudah
melakukan semua yang bisa kulakukan." Jacob menarik napas panjang dan goyah,
lalu memejamkan mata.
Kali ini aku tidak – tidak bisa – menolak dorongan untuk menghiburnya. Aku
melintasi kamar yang kecil itu,
lalu berlutut di dekat kepalanya, tidak berani duduk di tempat tidur karena
takut akan mengguncangnya dan
membuat Jacob kesakitan, dan mencondongkan tubuh untuk menempelkan keningku di
pipinya. Jacob mendesah, dan meletakkan tangannya di rambutku, memelukku di
sana.
"Maafkan aku, Jake."
"Sudah kukira kemungkinannya kecil. Ini bukan salahmu, Bella."
"Jangan kau juga,” erangku. "Please."
Jacob meregangkan pelukannya untuk menatapku.
"Apa?"
"Ini memang salahku. Dan aku sudah muak mendengar orang mengatakan sebaliknya."
Jacob nyengir. Cengiran itu tidak menyentuh matanya.
"jadi kau mau aku menyeretmu ke atas arang panas?"
"sebenarnya... kurasa begitu."
Jacob mengerucutkan bibir sementara ia menilai apakah aku sungguh-sungguh
dengan ucapanku. Senyum
berkelebat sekilas di wajahnya, kemudian ia mengerutkan wajah, memberengut
garang.
"Membalas ciumanku seperti itu tak bisa dimaafkan!" sembur Jacob.
"Kalau kau sudah tahu akan menariknya
kembali, mungkin seharusnya kau tidak perlu bersikap kelewat meyakinkan."
Aku meringis dan mengangguk. "Maafkan aku."
"Maaf tidak akan memperbaiki keadaan Bella. Apa yang kau pikirkan saat
itu?"
"Aku tidak berpikir,” bisikku.
"Seharusnya kau suruh aku mati sekalian. Memang itulah yang kau
inginkan."
"Tidak Jacob.” rintihku, melawan air mata yang mulai menggenang.
"Tidak! Tidak pernah."
"Kau tidak menangis kan?" tuntutnya, suaranya tiba-tiba kembali ke
nadanya yang normal. Ia bergerak-gerak tidak sabar di tempat tidur.
"Yeah,” gerutuku, tertawa lemah, menertawakan diriku sendiri di sela-sela
air mata yang mendadak berubah
menjadi sedu sedan. Jacob mengubah posisi, mengayunkan kakinya yang sehat turun
dari tempat tidur, seolah-olah berusaha sendiri.
"Apa-apaan kau?" bentakku di sela-sela air mata."berbaringlah
idiot, nanti cederamu makin parah!”
Aku melompat berdiri dan mendorong bahunya yang sehat dengan dua tangan.
Jacob menyerah, berbaring lagi sambil menahan napas kesakitan, tapi ia menyambar
pinggangku dan menarikku ke tempat tidur, ke sisi tubuhnya yang tidak cedera.
Aku bergelung di sana, berusaha meredam sedu sedan konyol itu di kulitnya yang
panas.
"Aku tidak percaya kau menangis,” gumamnya. "Kau tahu berkata begitu
hanya karena kau ingin aku
mengatakannya. Aku tidak sungguh-sungguh." Tangannya mengusap-usap bahuku.
"Aku tahu," Aku menghela napas dalam-dalam dan goyah, berusaha
menguasai diri. Bagaimana bisa justru
akulah yang menangis sementara ia menghiburku? "Tapi semua itu toh benar.
Terima kasih karena mengatakannya.”
"Apakah aku mendapat nilai karena membuatmu menangis?"
"Tentu, Jake," Aku berusaha tersenyum. "Sebanyak yang kauinginkan.”
"Jangan khawatir, Bella, Sayang. Semua pasti beres."
"Aku tidak melihat bagaimana caranya semua bisa beres,"gerutuku.
Jacob menepuk-nepuk puncak kepalaku. "Aku akan mengalah dan bersikap baik."
“Permainan lagi,” aku penasaran, menelengkan daguku supaya bisa melihat
wajahnya.
"Mungkin," Jacob tertawa walaupun sedikit memaksa diri, kemudian
meringis. "Tapi aku akan berusaha."
Aku mengerutkan kening.
"Jangan pesimis begitu," keluhnya. "Beri aku penghargaan
sedikit."
"Apa yang kaumaksud dengan bersikap baik?"
"Aku akan menjadi temanmu, Bella,” kata Jacob pelan. "Aku takkan
meminta lebih dari itu."
"Kurasa itu sudah terlambat, Jake. Bagaimana mungkin bisa berteman, kalau
kita saling mencintai seperti ini?"
Jacob mendongak memandangi langit-langit, sorot matanya tajam, seakan-akan
membaca sesuatu yang tertulis
di sana. "Mungkin... ini bisa menjadi pertemanan jarak jauh."
Aku mengatupkan rahang, senang ia tidak bisa melihat wajahku, sebab aku sedang
melawan sedu sedan yang
mengancam melandaku lagi. Aku harus kuat, tapi aku tidak tahu bagaimana..
"Kau tahu kan kisah di alkitab?" tanya Jacob tiba-tiba, matanya masih
menatap kosong langit-langit. "Kisah
tentang seorang raja dan dua wanita yang memperebutkan seorang bayi?"
"Tentu, Raja Solomon."
"Ya, benar. Raja Solomon,” ulang Jacob. "Raja itu berkata, belah anak
itu menjadi dua... padahal itu hanya
ujian. Hanya untuk melihat siapa yang bakal mengalah dan menyerahkan bagiannya dengan
maksud melindungi bayi itu."
“Ya, aku ingat."
Jacob menatap wajahku lagi. "Aku tidak akan membelahmu menjadi dua lagi
Bella."
Aku mengerti maksudnya. Ia mengatakan dialah yang paling mencintaiku, dan
dengan rela melepaskan aku, dan
ia membuktikannya. Aku ingin membela Edward, mengatakan kepada Jacob Bahwa
Edward juga akan melakukan hal yang sama jika aku menginginkannya,jika aku
mengizinkannya melakukan itu. Akulah yang tak ingin Edward melakukannya. Tapi
tak ada gunanya memulai argumen yang hanya akan semakin melukai hati Jacob. Aku
memejamkan mata, memaksa diriku menguasai pembicaraan. Aku tak boleh membuatnya
merasa terbebani. Kami berdiam diri beberapa saat. Sepertinya Jacob menungguku
mengatakan sesuatu,aku berusaha
memikirkan apa yang bisa dikatakan.
"Bolehkah aku memberitahumu bagian terburuk?" tanya Jacob ragu-ragu
ketika aku tidak mengatakan apa-apa. "Kau keberatan? aku akan bersikap
baik kok."
"Apakah itu akan membantu?" bisikku.
"Bisa jadi. Tak ada ruginya."
"Apa bagian terburuk, kalau begitu?"
"Bagian terburuk adalah mengetahui apa yang seharusnya akan terjadi."
"Apa yang seharusnya mungkin terjadi." Aku mendesah.
"Tidak." Jacob menggeleng. "aku sangat tepat untukmu Bella. Kita
tidak perlu melakukan apa-apa...nyaman,
semudah menarik napas. Aku jalan alami yang seharusnya kau ambil dalam hidupmu..."
Mata Jacob menerawang jauh beberapa saat, dan aku menunggu. "seandainya
dunia seperti seharusnya, bila tidak ada monster dan tidak ada hal-hal
magis..."
Aku bisa melihat apa yang dilihatnya, dan aku tahu ia benar. Seandainya dunia adalah
tempat yang waras seperti seharusnya, Jacob dan aku pasti akan bersatu. Dan
kami akan hidup bahagia. Ia akan menjadi belahan jiwaku di dunia itu, akan
menjadi belahan jiwaku kalau saja hal itu tidak dibayang-bayangi sesuatu yang
lebih kuat, sesuatu yang sangat kuat hingga tak mungkin ada di dunia yang rasional.
Apakah Jacob akan memiliki kesempatan yang sama juga. Sesuatu yang bisa digolongkan
sebagai belahan jiwa? aku harus percaya bahwa itu ada. Dua masa depan. Dua belahan
jiwa... itu terlalu berat untuk ditanggung siapa pun. Dan sangat tidak adil
karena bukan satu-satunya yang harus membayar harganya.
Kepedihan hati Jacob sepertinya harga yang kelewat mahal. Meringis membayangkan
harga itu, aku bertanya-tanya dalam hati apakah aku bakal ragu seandainya aku
tak pernah kehilangan Edward dulu. Seandainya aku tak tahu bagaimana rasanya
hidup tanpa dia. Entahlah. Pengetahuan itu menjadi bagian yang sangat dalam
dari
diriku, aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaanku tanpa itu.
"Dia itu seperti candu bagimu, Bella,” Suara Jacob masih lembut, sama
sekali tanpa nada mengkritik. "Bisa kulihat kau tidak bisa hidup tanpa dia
sekarang. Padahal aku lebih bagimu. Bukan candu, tapi aku seharusnya bisa
menjadi udara, matahari."
Sudut mulutku terangkat, membentuk senyum separuh.
"Dulu aku memang menganggapmu seperti itu, tahu. Seperti matahari.
Matahari pribadiku. Kau menyeimbangkan awan-awan dalam hidupku."
Jacob mendesah. "Kalau awan-awan, aku masih sanggup menghadapinya. Tapi aku
tak bisa melawan gerhana."
Aku menyentuh wajahnya, menempelkan tanganku di pipinya. Jacob mengembuskan
napas, merasakan
sentuhanku, dan memejamkan matanya. Suasana begitu hening. Sejenak aku bisa
mendengar degup jantungnya, lambat dan teratur.
"Ceritakan padaku bagian terburuk menurutmu,” bisiknya.
"Mungkin sebaiknya tidak usah.”
"Please."
"Menurutku itu hanya akan melukai hatimu.”
"Please,”
Bagaimana mungkin aku tega menolak permintaannya?
"Bagian terburuk adalah...” aku ragu-ragu, kemudian membiarkan kata-kata
berhamburan dari mulutku,
mengungkapkan hal sebenarnya. "Bagian terburuk adalah melihat semuanya,
seluruh hidup kita. Dan aku sangat
menginginkannya Jake, aku menginginkan semuanya. Aku ingin tetap tinggal di sini
dan tidak pernah pindah. Aku ingin mencintaimu dan membuatmu bahagia. Tapi aku tidak
bisa, dan itu membuatku sangat sedih... sama seperti Sam dan Emily, Jake, aku tak
pernah punya pilihan. Sejak dulu ku tahu tidak ada yang bakal berubah. Mungkin itulah
sebabnya aku sangat keras melawanmu."
Jacob seperti memusatkan segenap konsentrasinya untuk bernapas secara
teratur.
"Tuh kan sudah kukira seharusnya aku tidak menceritakannya padamu."
Jacob menggeleng pelan. "Tidak, aku justru senang kau menceritakannya.
Terima kasih," ia mengecup pucuk
kepalaku, kemudian menarik napas. "Aku lega sekarang."
Aku mendongak, dan ia tersenyum.
"Jadi kau akan menikah heh?"
"Kita tidak perlu membicarakan hal itu."
"Aku ingin mengetahui sebagian detailnya. Aku kan tidak tahu kapan bisa
mengobrol denganmu lagi."
Aku harus menunggu dulu satu menit sebelum bisa bicara. Setelah yakin suaraku
tidak akan tersendat, aku
menjawab pertanyaannya.
"Sebenarnya itu bukan ideku... tapi, ya benar itu sangat berarti bagi
dia. Jadi aku lantas berpikir, kenapa tidak?"
Jake mengangguk. "Memang benar... itu sih bukan hal yang terlalu besar...
kalau dibandingkan...."
Suara jacob sangat tenang, sangat apa adanya. Kupandangi dia, ingin tahu
bagaimana dia bisa tahan
menghadapi semua ini, tapi itu sangat sulit baginya. Ia menatap wajahku sedetik,
kemudian berpaling menjauhiku. Aku menunda berbicara sampai tarikan napas Jake
kembali terkendali.
"Ya. Kalau dibandingkan,” aku sependapat.
"Berapa lama lagi?"
“Tergantung berapa lama Alice bisa menyiapkan pernikahan," Aku menahan
erangan. membayangkan apa
saja yang bakal dilakukan Alice.
"Sebelum atau sesudah?" tanyanya pelan. Aku mengerti maksudnya.
"Sesudah."
“Kau takut?" bisiknya.
“Ya,” aku balas berbisik.
"Apa yang kautakutkan?” Aku hampir-hampir tak bisa mendengar suaranya
sekarang. Ia menunduk memandangi
tanganku.
"Banyak hal," Aku berusaha membuat suaraku terdengar lebih ringan,
tapi tetap jujur. "Aku bukan orang yang suka menyiksa diri sendiri, jadi
aku tidak suka membayangkan sakitnya. Dan aku ingin ada cara untuk menjauhkan
dia dariku, aku tidak ingin dia ikut menderita bersamaku. Tapi kurasa tak ada
cara lain. Lalu hal-hal yang berkaitan dengan Charlie juga, dan Renee...
Kemudian sesudahnya, aku berharap mudah-mudahan aku bisa mengendalikan diri dalam
waktu singkat. Mungkin aku akan menjadi ancaman besar sehingga kawanan harus
menghabisi aku."
Jacob mendongak dengan ekspresi tidak setuju. "Akan kulumpuhkan sendiri
saudaraku yang berani coba-coba
melakukannya."
"Trims."
Jacob tersenyum setengah hati. Kemudian ia mengerutkan kening. "Tapi bukankah
itu lebih berbahaya?
Konon, katanya terlalu sulit... mereka bisa kehilangan kendali... orang-orang
meninggal," Jacob menelan ludah.
"Tidak, bukan itu yang kutakutkan. Konyol, Jacob masa kau percaya
cerita-cerita vampir?"
Tapi Jacob tidak menanggapi leluconku.
"Well, bagaimanapun, banyak yang harus dikhawatirkan. Tapi sepadan dengan
apa yang akan dicapai pada
akhirnya."
Jacob mengangguk meskipun tak ingin, dan aku tahu ia sama sekali tidak
sependapat denganku. Aku menjulurkan leher panjang-panjang untuk berbisik di
telinganya,menempelkan pipiku di kulitnya yang panas.
"Kau tahu aku mencintaimu."
"Aku tahu,” Jacob mendesah, lengannya semakin erat memeluk pinggangku.
"Kau tahu betapa aku sangat
berharap itu cukup."
"Ya."
"Aku akan selalu menunggu Bella,” janjinya, nadanya terdengar lebih
ringan. Ia mengendurkan pelukannya.
Kutarik lenganku dengan perasaan kehilangan yang tumpul, merasakan perpisahan
yang menyakitkan waktu aku meninggalkan sebagian diriku di tempat tidur di
sebelahnya.
"Kau akan selalu memiliki pilihan cadangan itu kalau kau menginginkannya."
Aku mencoba tersenyum. "Sampai jantungku berhenti berdetak."
Jacob balas menyeringai. "Kau tahu, kurasa mungkin aku akan tetap
menerimamu... mungkin. Kurasa itu
tergantung seberapa menyengat baumu nanti."
"Apakah sebaiknya aku kembali untuk menengokmu. Atau kau lebih suka aku
tidak melakukannya?"
"Aku harus memikirkannya dulu masak-masak,” jawab Jacob, “mungkin aku akan
membutuhkan teman untuk
mencegahku melakukan hal-hal sinting. Dokter bedah vampir yang sangat pintar itu
bilang aku tidak bisa berubah bentuk sampai dia mengizinkannya, itu bisa
membuat sambungan tulang-tulangku jadi kacau," Jacob mengernyit.
"Bersikaplah baik dan turuti apa kata Carlise. Kau akan pulih lebih
cepat."
"Tentu, tentu."
"Aku ingin tahu kapan itu terjadi.” kataku. "Saat gadis yang tepat
datang menarik perhatianmu."
"Jangan berharap yang muluk-muluk Bella." Suara Jacob mendadak
terdengar masam. "Walaupun aku yakin itu pasti akan membuatmu lega."
"Mungkin ya, mungkin tidak. Mungkin aku akan menganggap dia tidak pantas
untukmu. Entah akan
secemburu apa aku nanti."
"Asyik juga ya membayangkan bagian yang itu,” Jacob mengakui.
"Beritahu aku kapan kau ingin aku datang lagi, dan aku akan datang,” aku
berjanji.
Sambil menghembuskan napas, Jacob menyodorkan pipinya dengan lembut.
"Aku mencintaimu, Jacob."
Jacob tertawa renyah. "Aku mencintaimu lebih lagi." Ia mengawasiku
meninggalkan kamarnya dengan
ekspresi tak tertebak terpancar dari bola matanya yang hitam.
0 komentar:
Post a Comment