Baca Online New Moon part 10
10.
PADANG RUMPUT
JACOB tidak
menelepon. Pertama kalinya aku menelepon, Billy yang
mengangkat dan
mengatakan Jacob masih tidur. Aku berusaha mengorek keterangan, memastikan Billy
sudah membawanya ke dokter. Menurut Billy sudah, tapi entah mengapa, untuk
alasan yang aku
sendiri tak
tahu, aku kok tidak begitu percaya padanya. Aku menelepon lagi, beberapa kali
sehari, selama dua hari
berikutnya, tapi tak ada yang
mengangkat.
Sabtunya kuputuskan
untuk menemui Jacob, masa bodoh dengan undangan. Tapi rumah merah kecil itu
kosong. Aku jadi takut—sesakit itukah Jacob sampai harus dirawat di rumah
sakit? Aku mampir ke rumah sakit dalam perjalanan pulang, tapi menurut perawat
jaga di meja depan, baik Jacob maupun Billy tidak datang ke rumah sakit.
Kuminta
Charlie menelepon Harry Clearwater begitu ia sampai di rumah dan kantor. Aku menunggu,
waswas, sementara Charlie mengobrol
dengan teman
lamanya; obrolan mereka sepertinya sangat lama tanpa sekali pun menyebut-nyebut
nama Jacob. Kedengarannya Harry-lah yang baru saja pulang. dari rumah sakit.
menjalani tes jantung. Kening Charlie berkerut, tapi Harry bercanda dengannya,
menceritakan yang luculucu, sampai Charlie tertawa lagi. Barulah kemudian Charlie
bertanya tentang Jacob, dan sekarang ia tak lagi banyak bicara sehingga aku tak
bisa mengikuti percakapan, karena ia hanya mengucapkan hmmm dan yeah berulang-ulang.
Aku
mengetuk-ngetukkan jari ke konter di samping Charlie, sampai ia memegang
tanganku untuk menghentikannya. Akhirnya Charlie menutup telepon dan berpaling padaku.
"Kata
Harry, saluran teleponnya bermasalah, jadi itulah sebabnya teleponmu tidak
nyambung. Billy membawa Jake ke dokter di reservasi, dan kelihatannya dia sakit
mono. Dia ke
capekan, dan kata Billy, dia tidak boleh ditengok," lapor Charlie.
"Tidak
boleh ditengok?" tanyaku tak percaya.
Charlie
mengangkat sebelah alis. "Sekarang kau jangan ikut campur, Bells. Billy
tahu apa yang terbaik untuk Jake. Sebentar lagi juga dia sembuh dan bisa ke
sini lagi. Bersabarlah."
Aku tidak
memaksa. Charlie terlalu khawatir memikirkan
Harry. Jelas itu lebih penting—tidak tepat
mengganggu pikirannya dengan hal-hal
sepele. Jadi
aku naik ke lantai atas dan menyalakan komputer. Aku menemukan situs kedokteran
dan mengetikkan kata "mononukleosis"
ke kolom
pencarian.
Yang kutahu
tentang mono hanyalah bahwa seseorang bisa tertular penyakit itu dari berciuman,
sesuatu yang jelas tak mungkin terjadi
pada Jake. Aku
membaca gejala-gejalanya dengan cepat—kalau demam memang ia mengalaminya, tapi
bagaimana dengan gejala yang lain? Tidak ada radang tenggorokkan parah, tidak
ada kelelahan,
tidak ada
pusing kepala, setidaknya tidak sebelum ia pulang dari bioskop: ia bahkan
sempat berkata dirinya "sehat walafiat”. Benarkah penyakitnya muncul
secepat itu? Berdasarkan artikel itu, sepertinya yang harus muncul lebih dulu
adalah radang tenggorokannya.
Kupandang layar
komputer dan bertanya-tanya dalam hati mengapa, tepatnya, aku melakukan hal ini.
Mengapa aku merasa sangat. sangat curiga, seperti tidak percaya pada cerita
Billy? Untuk apa Billy berbohong pada Harry?
Aku saja yang
konyol, mungkin. Aku hanya khawatir, dan jujur saja. aku takut tidak diperbolehkan
bertemu Jacob—itu membuatku gelisah. Aku menyimak keterangan lain dalam artikel
itu, menggali lebih banyak informasi. Aku berhenti begitu sampai pada bagian
yang menjelaskan
penyakit mono
bisa bertahan lebih dari sebulan.
Sebulan?
Mulutku ternganga.
Tapi Billy tak
mungkin menerapkan aturan tidak boleh dijenguk sampai selama itu. Tentu saja
tidak. Jake bisa gila kalau disuruh berbaring terus di tempat tidur tanpa seorang
pun bisa diajak bicara. Apa sebenarnya yang ditakutkan Billy? Menurut artikel
itu, pengidap mono harus menghindari aktivitas fisik, tapi tidak ada penjelasan
tentang aturan tidak boleh dijenguk. Penyakit itu kan tidak terlalu menular.
Kuputuskan
untuk memberi Billy waktu satu minggu sebelum mulai mengorek-ngorek lagi. Satu
Minggu sudah cukup lama. Ternyata satu minggu itu lama sekali. Hari Rabu aku yakin
tidak bakal mampu bertahan hidup sampai Sabtu.
Ketika
memutuskan untuk tidak mengganggu Billy dan Jacob selama seminggu, aku
sebenarnya tak yakin Jacob bakal menuruti aturan Billy.
Setiap hari
sesampainya di rumah dari sekolah, aku berlari ke pesawat telepon untuk
mengecek pesan-pesan. Tidak pernah ada pesan untukku. Aku melanggar janjiku
sendiri dengan mencoba meneleponnya tiga kali, tapi saluran teleponnya masih
rusak.
Aku terlalu
sering tinggal di rumah, dan terlalu sering sendirian. Tanpa Jacob, juga
adrenalin dan kegiatan yang bisa mengalihkan pikiran, semua yang selama ini
kutekan mulai menghantuiku lagi.
Mimpi-mimpi itu
mulai menyerangku lagi. Aku tidak lagi bisa melihat bagian akhirnya datang. Yang
ada hanya kehampaan yang mengerikan—terkadang di hutan, terkadang di lautan
pakis kosong tempat rumah putih itu tak lagi ada. Sesekali ada Sam Uley di
sana, di hutan, mengawasiku lagi. Aku tidak memedulikan dia— tidak ada kenyamanan
yang kurasakan dengan kehadirannya, aku malah merasa semakin sendirian. Walhasil,
aku selalu terbangun setelah menjerit ketakutan, setiap malam.
Lubang di
dadaku kini semakin parah. Kusangka aku sudah bisa mengendalikannya, tapi aku
mendapati diriku meringkuk, setiap hari, sambil mencengkeram pinggang dan
megap-megap kehabisan udara.
Aku tak mampu
menghadapi kesendirian dengan baik.
Aku lega tak
terkira di pagi hari waktu terbangun—setelah menjerit, tentu saja—dan teringat
sekarang hari Sabtu. Berarti hari ini aku
bisa menelepon
Jacob. Dan kalau saluran telepon masih tetap belum berfungsi, aku akan ke La
Push.
Bagaimanapun
caranya, pokoknya hari ini harus lebih baik daripada seminggu terakhir yang
sepi ini. Aku menghubungi nomor telepon Jacob, lalu menunggu tanpa berharap
apa-apa. Jadi aku kaget waktu Billy mengangkat telepon pada dering kedua.
“Halo?”
“Oh. hai,
cerita teleponnya sudah berfungsi lagi! Hai, Billy. Ini Bella. Aku hanya ingin
tahu kabar Jacob. Apakah dia sudah bisa ditengok? Aku
sedang
berpikir-pikir untuk mampir–“
"Maafkan
aku, Bella,” sela Billy, dan aku bertanya-tanya apakah ia sedang nonton
televisi; kedengarannya perhatian Billy sedang tertuju pada hal lain. "Dia
tidak ada di rumah."
"Oh."
Butuh sedetik untuk mencernanya. "Kalau begitu dia sudah sembuh?”
"Yeah,"
jawab Billy, setelah sempat ragu-ragu sejenak. "Ternyata bukan mono. Hanya
virus biasa.”
"Oh.
Kalau begitu. ke mana dia?"
"Dia
pergi jalan-jalan bersama teman-temannya ke Port Angeles—kalau tidak salah mau
nonton film atau sebangsa-nya. Dia pergi seharian."
"Well, aku lega mendengarnya. Aku
khawatir sekali. Aku senang dia cukup sehat untuk pergi jalan-jalan."
Suaraku terdengar palsu sementara aku mengoceh tidak keruan. Jacob sudah
sembuh, tapi tidak merasa perlu meneleponku. Ia pergi dengan teman-temannya.
Sementara aku
duduk di rumah, merindukannya setiap jam. Aku kesepian, cemas, bosan
tercabikcabik – dan sekarang kecewa karena menyadari perpisahan kami selama
seminggu ini ternyata tidak memiliki dampak yang sama terhadapnya.
“Kau menginginkan
sesuatu?" Billy bertanya sopan.
“Tidak, tidak
juga."
“Well, akan kusampaikan padanya kau menelepon,”
Billy berjanji. “Bye, Bella.”
“Bye,” sahutku,
tapi Billy sudah lebih dulu menelepon telepon. Sesaat aku hanya bisa mematung
dengan telepon masih di tangan. Jacob pasti berubah pikiran, seperti yang kutakutkan
selama ini. Ia mengikuti saranku dan tidak menyia-nyiakan waktunya untuk
seseorang yang tidak bisa membalas perasaannya. Aku merasa darah menyusut dari wajahku.
"Ada yang
tidak beres?" tanya Charlie sambil menuruni tangga.
"Tidak,"
dustaku, meletakkan gagang telepon.
"Kata
Billy, Jacob sudah sehat. Dia tidak kena mono. Syukurlah."
"Jadi dia
mau datang ke sini, atau kau yang ke sana?" tanya Charlie sambil lalu,
mulai mengadukaduk isi lemari es.
"Tidak
dua-duanya," aku mengakui. "Dia pergi dengan teman-temannya yang
lain."
Nada suaraku
akhirnya menarik perhatian Charlie. Ia mendongak menatapku dengan sikap mendadak
kaget, tangannya membeku memegangi sebungkus keju lembaran.
"Bukankah
sekarang masih terlalu pagi untuk makan siang?" tanyaku seringan mungkin, berusaha
mengalihkan pikiran.
"Tidak,
aku hanya mau membuat sesuatu untuk bekal ke sungai."
"Oh, mau
mancing hari ini?"
"Well, Harry menelepon. dan hari tidak
hujan."
Charlie sibuk
menyiapkan setumpuk makanan di atas konter sembari bicara. Tiba-tiba ia mengangkat
wajahnya lagi seolah-olah menyadari
sesuatu.
"Katakan, kau mau aku di rumah saja menemanimu, berhubung Jake
pergi?"
"Tidak apa-apa,
Dad," kataku, berusaha memperdengarkan nada tak peduli. "Ikan makan lebih
lahap bila cuaca cerah."
Charlie menatapku,
wajahnya jelas bimbang. Aku tahu ia khawatir, takut meninggalkan aku sendirian,
kalau-kalau aku “bermuram durja” lagi.
"Sungguh,
Dad. Mungkin aku akan menelepon Jessica,” dalihku buru-buru. Aku lebih suka sendirian
daripada diawasi terus seharian oleh
Charlie.
"Kami harus belajar Kalkulus. Aku bisa meminta bantuannya." Bagian
itu benar. Tapi aku harus bisa sendiri tanpa meminta bantuan Jessica.
"Ide
bagus. Kau terlalu banyak bermain dengan Jacob, teman-temanmu yang lain bakal
mengira kau sudah melupakan mereka."
Aku tersenyum
dan mengangguk, seolah-olah peduli pendapat teman-temanku. Charlie berbalik,
tapi lalu berputar lagi dengan ekspresi khawatir. "Hei, kau mau belajar di
sini atau di rumah Jess, kan?"
"Tentu,
mau di mana lagi?"
"Well, aku hanya ingin kau
berhati-hati untuk tidak masuk ke hutan, seperti yang sudah kukatakan padamu
sebelumnya."
Butuh semenit
bagiku untuk memahaminya, karena saat itu pikiranku sedang tertuju pada hal lain.
"Masalah dengan beruang lagi?"
Charlie
mengangguk, keningnya berkerut. "Ada hiker yang hilang—polisi hutan
menemukan kemahnya tadi pagi,
tapi tidak ada tanda-tanda
keberadaannya.
Di sana ada jejak-jejak binatang besar tentu saja binatang itu bisa saja datang
kemudian, karena mencium bau makanan. Pokoknya, mereka sekarang sedang memasang
jebakan untuk menangkapnya."
“Oh,” ucapku
sambil lalu. Aku tidak benar-benar mendengarkan peringatannya; aku jauh lebih
kalut memikirkan situasiku dengan Jacob daripada kemungkinan menjadi mangsa
beruang.
Aku senang
Charlie terburu-buru. Ia tidak menungguku menelepon Jessica, jadi aku tidak perlu
bersandiwara. Aku menyibukkan diri dengan
mengumpulkan semua
buku sekolahku di meja dapur untuk kumasukkan ke tas; mungkin itu terlalu
berlebihan, dan bila Charlie tidak begitu bersemangat pergi memancing, itu
pasti akan membuatnya curiga.
Aku begitu sibuk
terlihat sibuk hingga tidak menyadari betapa mengerikannya hari kosong yang membentang
di hadapanku sampai aku melihat Charlie meluncur pergi. Hanya butuh kira-kira
dua
menit
memandangi telepon dapur yang diam seribu bahasa untuk memutuskan aku tidak mau
tinggal di rumah hari ini. Aku menimbang-nimbang beberapa pilihan.
Aku tidak akan
menelepon Jessica. Sepanjang pengamatanku, Jessica sudah menyeberang ke sisi
gelap. Aku bisa naik truk ke La Push dan mengambil motorku— pikiran menarik,
tapi masalahnya satu:
siapa yang akan
mengantarku ke UGD kalau aku membutuhkannya nanti?
Atau. aku toh
sudah punya peta dan kompas di trukku. Aku yakin sudah cukup memahami prosesnya
sehingga tidak akan tersesat. Mungkin aku bisa mengeliminasi dua garis lagi
hari ini, dengan begitu kami akan lebih maju daripada jadwal bila nanti Jacob
mau menemuiku lagi. Aku menolak memikirkan kapan kira-kira itu akan terjadi.
Atau apakah itu takkan pernah terjadi lagi. Aku sempat merasakan secercah
perasaan bersalah saat menyadari bagaimana perasaan Charlie kalau tahu aku mau
ke hutan; tapi aku mengabaikannya. Pokoknya aku tidak bisa tinggal di rumah
lagi hari ini.
Beberapa menit
kemudian aku sudah berada di jalan tanah yang tidak mengarah ke tempat tertentu.
Aku membuka semua jendela dan
menyetir secepat
yang bisa dilakukan trukku, mencoba menikmati embusan angin yang menerpa wajahku.
Hari berawan, tapi nyaris kering – hari yang cerah untuk ukuran Forks.
Untuk memulai
dibutuhkan waktu yang lebih lama daripada bila bersama Jacob. Setelah memarkir truk
di tempat biasa, aku harus menghabiskan waktu tak kurang dari lima belas menit
untuk mempelajari jarum kecil di
permukaan
kompas serta tanda-tanda di peta yang sekarang sudah lecek itu. Setelah yakin
mengikuti jalur yang benar, aku mulai berjalan memasuki hutan.
Hutan penuh
kehidupan hari ini, semua makhluk kecil menikmati kekeringan yang hanya sementara.
Namun entah bagaimana, bahkan
dengan kicauan
burung-burung dan dengung serangga yang mengitari kepalaku dengan berisik, juga
bunyi langkah kaki tikus yang berkelebat
menerobos semak
belukar, hutan terkesan lebih menyeramkan hari ini; membuatku teringat pada mimpi
burukku yang terbaru. Aku tahu itu hanya karena aku sendirian, kehilangan
siulan riang
Jacob serta
suara sepasang kaki lain menginjak tanah yang lembab. Perasaan gelisah itu
semakin kuat saat aku semakin dalam memasuki pepohonan. Aku mulai susah
bernapas—bukan karena berkeringat, tapi
karena aku mengalami
kesulitan dengan lubang tolol di dadaku lagi. Kudekap tubuhku dengan kedua
tangan dan berusaha mengenyahkan
kepedihan itu dari
pikiranku. Nyaris saja aku berbalik, tapi aku tak ingin menyia-nyiakan upaya yang
telah kulakukan.
Ritme langkah-langkahku
mulai menumpulkan pikiran dan kepedihanku, sementara aku terus merangsek maju.
Napasku akhirnya mulai teratur,
dan aku senang
tak jadi pulang. Aku semakin piawai menjelajah alam; aku tahu aku sekarang bisa
berjalan lebih cepat.
Aku tidak tahu
apakah aku jauh lebih efisien sekarang. Kalau tidak salah, mungkin aku sudah berjalan
enam kilometer lebih, dan bahkan belum mulai mencari. Kemudian, dengan
ketiba-tibaan yang membuatku kehilangan orientasi, aku melangkah melewati
lengkingan pendek yang
terbentuk dari
dua pohon maple merambat—
menerobos semak pakis setinggi dada—dan memasuki padang rumput.
Ini tempat yang
sama, itu aku yakin benar. Belum pernah aku melihat tempat terbuka lain yang
begitu simetris. Bentuknya bulat sempurna,
seolah-olah
ada orang yang dengan sengaja membuat lingkaran sempurna, mencabuti pohonpohon tanpa
meninggalkan jejak sedikit pun di rerumputan yang melambai-lambai. Ke arah
timur sayup-sayup aku mendengar suara mata air menggelegak.
Tempat ini
tidak terlalu memesona tanpa cahaya matahari, namun tetap sangat indah dan
tenang. Sekarang bukan musimnya bunga-bunga liar;
permukaannya
tertutup rumput tebal yang mengayun tertiup angin sepoi-sepoi, bagaikan riak air
di permukaan danau.
Ini tempat
yang sama tapi aku tidak menemukan yang kucari-cari di sini.
Kekecewaan
datang nyaris seketika seperti saat kesadaran itu datang. Aku terhenyak ke
tanah, berlutut di pinggir padang terbuka, mulai
terengahengah.
Apa gunanya pergi lebih jauh lagi? Tak ada yang tertinggal di sini. Tidak lebih
dari kenangan yang bisa kupanggil kembali setiap kali aku menginginkannya, asal
aku rela menanggung kepedihan yang menyertainya—kepedihan yang kurasakan
sekarang, yang membuatku menggigil.
Tidak ada yang
istimewa dengan tempat ini bila dia tak ada. Aku tak yakin benar apa yang
kuharap akan kurasakan di sini, tapi padang rumput ini hampa oleh atmosfer,
hampa oleh segalanya, sama
seperti
tempat-tempat lain. Sama seperti mimpi burukku. Kepalaku berputar-putar, pusing
sekal. Setidaknya aku datang sendirian. Aku
merasakan
serbuan perasaan syukur saat menyadari hal itu. Kalau aku menemukan padang rumput
ini bersama Jacob. Well, aku tak
mungkin bisa
menyamarkan lubang tak berdasar tempatku jatuh sekarang. Bagaimana aku bisa menjelaskan
keadaanku yang hancur berkepingkeping, kondisiku yang meringkuk seperti bola untuk
menjaga agar lubang kosong itu tidak mencabik-cabik tubuhku? jauh lebih baik
bila tidak ada yang melihatku.
Dan aku juga tak
perlu menjelaskan pada siapa pun mengapa aku begitu tergesa-gesa meninggalkan
tempat ini. Jacob pasti akan berasumsi, setelah begitu bersusah-payah melacak keberadaan
tempat ini, bahwa aku ingin menghabiskan waktu lebih dari hanya beberapa
detik di sini.
Tapi sekarang pun aku sudah berusaha mendapatkan kekuatan untuk bisa berdiri
lagi. memaksa diriku bangkit supaya bisa
pergi dari
sini. Terlalu banyak kepedihan yang harus ditanggung di tempat kosong ini—kalau
perlu aku bahkan tidak keberatan merangkak.
Untung saja
aku sendirian!
Sendirian. Aku mengulangi kata
itu dengan kepuasan muram sambil memaksa diriku bangkit meski hatiku sakit
sekali. Tepat saat itu sesosok
tubuh
melangkah keluar dari sela-sela pepohonan di sebelah utara, kira-kira tiga
puluh langkah jauhnya.
Berbagai macam
emosi berkecamuk dalam diriku detik juga. Pertama adalah terkejut; aku berada
jauh dari jalan setapak mana pun, dan
tidak mengira
akan ada orang lain di sini. Kemudian saat mataku terfokus pada sosok tak bergerak
itu, melihat tubuhnya yang bergeming
dan kulitnya yang
pucat, serbuan harapan yang menyakitkan mengguncangku. Aku menekannya habis-habisan,
berjuang melawan sayatan pedih penderitaan saat mataku menjalar ke wajah di bawah
rambut yang hitam, bukan wajah yang ingin kulihat. Berikutnya muncul rasa
takut; ini bukan wajah yang kutangisi, namun jaraknya cukup
dekat hingga aku
tahu cowok yang menghadap ke arahku itu bukan hiker
yang tersesat.
Kemudian,
akhirnya, aku mengenalinya.
"Laurent!"
pekikku, kaget bercampur senang.
Respons yang
tak masuk akal. Mungkin seharusnya aku berhenti pada perasaan takut. Laurent
adalah salah satu anggota kelompok James saat kami pertama kali bertemu. Ia
tidak ikut dalam perburuan yang terjadi kemudian—perburuan di mana akulah
mangsanya—tapi itu
hanya karena
ia takut; aku dilindungi kelompok lain yang lebih besar daripada kelompoknya.
Akan lain ceritanya kalau tidak begitu—saat itu ia tidak menyesal tidak
menjadikanku makanannya. Tentu saja ia pasti sudah berubah, karena ia pergi ke Alaska
untuk tinggal bersama kelompok beradab lain, keluarga lain yang juga menolak
minum darah
manusia demi
alasan etis. Keluarga lain seperti tapi aku tidak membiarkan diriku memikirkan nama
itu.
Ya, takut
pasti lebih masuk akal, tapi yang kurasakan hanya kepuasan berlebihan. Padang rumput
ini kembali menjadi tempat magis. Magis
yang lebih
gelap daripada yang kuharapkan, jelas, namun tetap magis. Inilah koneksi yang
kucari.
Bukti, walau bagaimanapun
kecilnya, bahwa—di suatu tempat di dunia yang sama dengan tempatku tinggal—dia ada. Mustahil melihat bahwa
Laurent masih persis sama seperti dulu. Kurasa sungguh tolol dan
manusiawi sekali
mengharapkan ada semacam perubahan dari tahun lalu. Tapi memang ada sesuatu.
aku tak tahu persis apa itu.
"Bella?"
tanya Laurent, tampak lebih terperangah dari pada yang kurasakan.
“Kau ingat.”
Aku tersenyum. Sungguh konyol aku bisa begitu gembira karena ada vampir yang mengingat
namaku.
Laurent nyengir.
“Aku tidak mengira akan bertemu kau di sini." Ia melenggang menghampiriku,
ekspresinya takjub.
“Apa tidak
terbalik? Aku memang tinggal di sini. Kusangka kau sudah pergi ke Alaska."
Laurent berhenti
kira-kira sepuluh langkah dariku, menelengkan kepala ke satu sisi. Wajahnya adalah
wajah paling tampan yang kulihat untuk
kurun waktu
yang rasanya seperti berabad-abad. Kuamati garis-garis wajahnya dengan perasaan
lega yang rakus. Ini dia orang kepada siapa aku tidak perlu berpura-pura—seseorang
yang sudah tahu setiap hal yang tak pernah bisa kuungkapkan.
"Kau
benar," ia sependapat. "Aku memang pergi ke Alaska. Meski begitu, aku
tidak mengira. Waktu aku mendapati rumah keluarga Cullen
sudah kosong,
kusangka mereka sudah pindah."
“Oh." Aku
menggigit bibir ketika nama itu membuat lukaku yang masih basah kembali berdarah.
Butuh sedetik untuk menenangkan diri. Laurent menunggu dengan sorot ingin tahu.
"Mereka
memang sudah pindah," akhirnya bisa juga aku memberi tahunya.
"Hmm,”
gumam Laurent. "Kaget juga aku, mereka meninggalmu. Bukankah kau sejenis peliharaan
mereka?"
Matanya sama sekali,
tidak memancarkan sorot menghina.
Aku tersenyum
kecut. "Semacam itulah."
"Hmmm,"
ujarnya, tampak berpikir lagi. Saat itulah aku sadar mengapa ia tampak sama—
terlalu sama. Setelah Carlisle memberi tahu kami Laurent tinggal dengan
keluarga Tanya, aku mulai membayangkan dia, meski aku jarang memikirkannya,
dengan mata keemasan yang
sama seperti
yang dimiliki. keluarga Cullen—aku meringis saat memaksa nama itu keluar. Mata yang
dimiliki semua vampir baik.
Tanpa sengaja
aku mundur selangkah, dan mata merahnya yang gelap dan penuh keingintahuan itu mengikuti
gerakanku.
"Apakah
mereka sering mengunjungimu?"
tanyanya,
nadanya masih biasa-biasa saja, tapi tubuhnya bergerak ke arahku.
"Berbohonglah,"
suara beledu indah itu berbisik cemas dari benakku.
Aku terkejut
mendengar suaranya, tapi seharusnya itu tidak membuatku kaget. Bukankah saat
ini aku berada dalam bahaya yang tak terbayangkan? Sepeda motor tidak ada
apa-apanya dibandingkan ini.
Aku melakukan
apa yang diperintahkan suara itu.
"Sesekali."
Aku berusaha tetap terdengar ringan, rileks. "Waktu terasa lebih panjang
bagiku, rasanya. Sementara mereka, kau tahu, mudah
dialihkan
perhatiannya." Aku mulai melantur. Aku harus berusaha keras menutup mulut.
"Hmmm,"
kata Laurent lagi. "Bau rumahnya seperti sudah lama tidak ditinggali."
"Kau
harus berbohong lebih baik lagi, Bella," desak suara itu.
Aku mencoba.
"Aku harus memberi tahu Carlisle kalau kau mampir. Dia pasti menyesal
tidak sempat menemuimu.” Aku berpura-pura berfikir
sebentar.
"Tapi mungkin aku tidak perlu menceritakannya pada. Edward, kurasa–“ aku nyaris
tak mampu menyebut namanya, dan itu
membuat
ekspresiku aneh, mementahkan gertakanku sendiri “– karena dia sangat pemarah..
Well, aku yakin kau masih ingat. Dia
masih sensitif kalau mengingat kejadian dengan James waktu itu Aku memutar bola
mata dan melambaikan tangan dengan lagak cuek, seolah-olah itu semua sejarah
lama, tapi ada
secercah nada histeris dalam suaraku. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah Laurent
bakal mengenalinya.
"Benarkah
begitu?" Laurent menanggapi dengan senang. sekaligus skeptis.
Aku menjawab
singkat, agar suaraku tidak menunjukkan kepanikanku. "Mm-hmm.”
Laurent
melangkah ke samping dengan sikap biasa-biasa saja, memandang berkeliling
padang rumput kecil itu. Kusadari langkah itu
membawanya
semakin dekat denganku. Di kepalaku suara itu merespons dengan geraman rendah.
“Bagaimana
keadaan di Denali? Kata Carlisle, kau
tinggal bersama Tanya?" suaraku melengking kelewat
tinggi.
Pertanyaan itu
membuatnya diam sebentar. "Aku sangat menyukai Tanya," ia merenung.
"Apalagi saudara perempuannya Irina. aku tidak pernah menetap terlalu lama
di satu tempat sebelumnya, dan aku menikmati keuntungan dan hal-hal baru yang
bisa kurasakan. Tapi larangannya sulit. Heran juga aku, mereka bisa bertahan
begitu
lama." Ia
tersenyum padaku seperti mengajak berkomplot. "Kadang-kadang aku
melanggarnya."
Aku tak sanggup
menelan ludah. Kakiku mulai bergerak mundur, tap, langsung membeku saat matanya
yang merah berkelebat turun dan
menangkap
gerakan itu.
"Oh,"
kataku dengan suara lemah. "Jasper juga punya masalah dengan itu."
"Jangan
bergerak," suara itu berbisik. Aku berusaha melakukan apa yang ia
perintahkan. Sulit, tapi; insting untuk lari nyaris tak bisa dikendalikan.
"Benarkah?"
Laurent tampak tertarik. "Itukah sebabnya mereka pergi?"
"Bukan,"
jawabku jujur. "Jasper lebih berhatihati di rumah."
"Benar,"
Laurent sependapat. "Begitu juga aku."
Satu langkah
maju yang diambilnya jelas disengaja.
"Apakah
Victoria pernah menemukanmu?" tanyaku, napasku tersengal, sangat ingin mengalihkan
perhatiannya. Itu pertanyaan pertama yang muncul di benakku, dan aku langsung menyesalinya
begitu kata-kata itu terlontar dari mulutku. Victoria—yang memburuku bersama James,
kemudian menghilang—bukanlah seseorang yang ingin kuingat pada saat-saat genting
seperti ini.
Tapi
pertanyaan itu menghentikannya.
"Ya,"
jawab Laurent, ragu-ragu melangkah.
"Sebenarnya
kedatanganku ke sini adalah untuk membantunya." Ia mengernyit. "Dia
tidak akan senang kalau tahu hal ini."
"Tahu
apa?" tanyaku bersemangat, mengundangnya untuk terus bicara. Laurent memandang
garang ke arah pepohonan, jauh dariku. Aku memanfaatkan kelengahannya itu dengan
mundur satu langkah.
Laurent
kembali memandangku dan tersenyum—ekspresinya membuatnya terlihat seperti
malaikat berambut hitam.
"Kalau
dia tahu aku membunuhmu," jawabnya sambil mendengkur merayu. Aku terhuyung-huyung
mundur. Geraman panik di kepalaku membuatnya semakin sulit didengar.
"Dia
ingin melakukannya sendiri,” Laurent melanjutkan senang. "Dia agak. kesal
denganmu. Bella."
"Aku?"
pekikku.
Laurent menggeleng
dan terkekeh. "Aku tahu, menurutku sepertinya itu juga agak sedikit bodoh.
Tapi James pasangannya, dan Edward-mu
membunuhnya."
Bahkan di
sini, di ambang maut, namanya masih merobek lukaku yang masih basah bagaikan
pisau bergerigi tajam. Laurent tidak menyadari reaksiku. "Menurutnya lebih
tepat membunuhmu daripada membunuh
Edward—itu
baru adil, pasangan untuk pasangan. Dia memintaku memetakan arah untuknya, katakanlah
begitu. Tak kukira kau begitu mudah ditemukan. Jadi mungkin rencana Victoria
tidak sempurna—ternyata kau bukanlah sasaran balas dendam seperti yang dia
bayangkan, karena kau pasti tidak berarti banyak bagi Edward bila dia
meninggalkanmu
sendiri di sini tanpa perlindungan."
Pukulan lain,
sayatan lain ke dadaku. Laurent bergerak sedikit, dan aku terseok mundur
selangkah. Kening Laurent berkerut. "Kurasa dia bakal
marah,
bagaimanapun juga."
“Kalau begitu
mengapa tidak kau tunggu saja dia?" bujukku dengan suara tercekik. Seringaian
licik membelah wajahnya. "Well,
kau bertemu denganku di saat yang tidak tepat, Bella. Kedatanganku ke sini
bukan untuk menjalankan misi Victoria—aku sedang berburu. Aku sangat
haus, dan
baumu. sungguh menerbitkan air liur."
Laurent
menatapku dengan sikap setuju, seolaholah perkataan itu dimaksudkan sebagai
pujian. "Ancam dia," delusi indah itu memerintahkan, suaranya
terdistorsi oleh kengerian.
"Dia pasti
tahu kau yang melakukannya," bisikku, mematuhi perintah suara itu.
"Kau tidak akan bisa lolos."
"Mengapa
tidak?" Senyum Laurent melebar. Ia memandang ke sekeliling padang terbuka
kecil yang dikitari pepohonan itu. "Baumu akan tersapu hujan berikutnya.
Tak ada yang akan menemukan mayatmu—kau hanya akan dinyatakan hilang, seperti
banyak, banyak sekali manusia lain. Tidak ada alasan bagi Edward untuk mengira
itu
perbuatanku,
kalau dia cukup peduli untuk menyelidiki. Yakinlah, tidak ada masalah pribadi dalam
hal ini, Bella. Hanya karena aku haus."
"Memohonlah,"
halusinasiku memohon.
"Please?” pintaku.
Laurent
menggeleng, wajahnya ramah, "Anggap saja begini, Bella. Kau sangat
beruntung karena akulah yang menemukanmu."
"Benarkah
begitu?" tanyaku, mencuri kesempatan untuk mundur satu langkah lagi.
Laurent
mengikuti, gesit dan anggun.
"Ya,"
ia meyakinkanku. "Aku akan sangat cepat. Kau tidak akan merasakan apa-apa,
aku janji. Oh, aku akan berbohong pada Victoria mengenainya nanti, tentu saja,
hanya untuk menenangkan hatinya. Tapi kalau kau tahu apa yang dia rencanakan
untukmu, Bella." Laurent menggeleng dengan gerak lamban, seakan-akan
nyaris jijik.
"Berani
sumpah, kau pasti akan berterima kasih padaku untuk ini."
Kutatap ia
dengan ngeri.
Laurent mengendusi
angin yang menerbangkan helai-helai rambutku ke arahnya. "Menerbitkan air liur,"
ia mengulangi kata-katanya, menghirup
dalam-dalam. Tubuhku
mengejang, bersiap lari, mataku menyipit saat aku mengkeret ngeri,dan raungan marah
Edward bergema di kejauhan, di bagian belakang kepalaku. Namanya menembus semua
dinding yang kubangun untuk menahannya.
Edward, Edward, Edward. Aku akan mati.
Tidak apa-apa bila aku memikirkan dia sekarang. Edward, aku cinta padamu. Melalui
mataku yang menyapit, kulihat Laurent berhenti mengendus udara dan memalingkan kepala
secepat kilat ke kiri. Aku tak berani mengalihkan pandanganku darinya,
mengikuti matanya meski ia tak perlu mengalihkan perhatian ataupun trik lain
untuk mengalahkanku. Aku
terlalu takjub
untuk merasa lega ketika ia pelanpelan mulai mundur menjauhiku.
"Aku tak
percaya," ucapnya, suaranya begitu pelan hingga aku nyaris tidak
mendengarnya. Barulah saat itu aku menoleh. Mataku menyapu
padang rumput,
mencari interupsi yang memperpanjang hidupku.
Awalnya aku tidak
melihat apa-apa, dan mataku secepat kilat kembali ke Laurent. Ia mundur lebih cepat
lagi sekarang, matanya menatap tajam ke dalam hutan.
Lalu aku melihatnya;
sesosok makhluk hitam besar muncul dari sela-sela pepohonan, tenang seperti
bayangan, dan berjalan mantap
menghampiri si
vampir. Tubuhnya besar sekali—setinggi kuda, tapi lebih gemuk, jauh lebih
berotot.
Moncongnya
yang panjang meringis, memamerkan sederet taring setajam belati. Geraman liar meluncur
dari sela-sela giginya, menggelegar melintasi ruang terbuka seperti suara petir
menyambar.
Beruang itu.
Hanya saja, ternyata hewan itu bukan beruang. Namun tetap saja, pasti monster hitam
raksasa inilah makhluk yang menggegerkan warga itu. Dari jauh orang akan
mengira itu beruang. Hewan apa lagi yang badannya bisa sebesar dan sekekar itu?
Aku berharap
akan beruntung dan bisa melihatnya dari jauh. Tapi yang terjadi malah hewan itu
melangkah tanpa suara melintasi rerumputan, hanya tiga meter dari tempatku berdiri.
"Jangan
bergerak sedikit pun," suara Edward berbisik
Kupandangi makhluk
mengerikan itu, pikiranku kacau saat aku berusaha menemukan nama hewan itu.
Bentuknya jelas mirip anjing, begitu juga caranya bergerak. Aku hanya bisa
memikirkan satu kemungkinan, terpaku dalam kengerian yang amat sangat. Namun
tak pernah terbayangkan olehku serigala bisa sebesar itu.
Lagi-lagi
hewan itu menggeram, dan aku bergidik ngeri mendengarnya.
Laurent mundur
ke pinggir pepohonan, dan, meski membeku ketakutan, pikiranku dilanda kebingungan.
Mengapa Laurent mundur? Memang
serigala itu
sangat besar, tapi makhluk itu tetap hanya binatang. Mengapa vampir takut pada binatang?
Dan Laurent sangat ketakutan. Matanya membelalak ngeri, sama seperti aku. Seperti
menjawab pertanyaanku, tiba-tiba saja serigala raksasa itu tidak sendirian.
Mengapit di sisi kiri dan kanannya, ada dua hewan raksasa lain
melenggang
diam memasuki padang rumput. Yang satu berbulu abu-abu gelap, satunya lagi
cokelat, namun keduanya tidak setinggi serigala pertama. Serigala abu-abu
muncul dari balik pepohonan hanya beberapa meter dariku, matanya terpaku pada
Laurent.
Belum lagi aku
sempat bereaksi, dua serigala lain menyusul, membentuk huruf V, seperti kawanan
burung yang bermigrasi ke selatan. Itu berarti monster cokelat kemerahan yang merangsck
menembus semak belukar berada cukup dekat denganku hingga aku bisa menyentuhnya.
Tanpa sengaja
aku terkesiap dan melompat mundur – tindakan paling tolol yang bisa kulakukan. Lagi-lagi
aku membeku, menunggu serigala-serigala itu berbalik menyerangku, mangsa yang
lebih lemah. Sempat terlintas dalam benakku semoga Laurent segera beraksi dan
melumat
gerombolan
serigala itu-itu mudah saja baginya.
Kurasa di antara
dua pilihan di depanku, di mangsa sekawanan serigala hampir bisa dibilang
pilihan yang lebih buruk. Serigala yang paling dekat denganku, yang berbulu
cokelat kemerahan, memalingkan kepala
sedikit begitu
mendengarku terkesiap.
Mata serigala
itu gelap, nyaris hitam. Hewan itu menatapku sepersekian detik, matanya yang
gelap terkesan terlalu cerdas untuk hewan liar.
Sementara hewan
itu memandangiku, mendadak aku teringat pada Jacob—lagi-lagi dengan perasaan bersyukur.
Setidaknya aku datang ke sini sendirian,
ke padang rumput negeri dongeng yang penuh monster-monster mengerikan ini.
Setidaknya
Jacob tidak akan ikut mati. Setidaknya aku tidak bertanggung jawab atas
kematiannya. Geraman rendah yang sekali lagi keluar dari moncong pemimpin
gerombolan membuat serigala cokelat-merah itu memalingkan kepala secepat kilat,
kembali kepada Laurent.
Laurent menatap
gerombolan monster serigala itu dengan perasaan shock dan takut yang tak bisa ditutup-tutupi.
Perasaan pertama bisa kupahami.
Tapi aku
terperangah waktu, tanpa aba-aba lebih dulu, ia berbalik dan menghilang di
balik pepohonan. Dia kabur.
Detik itu juga kawanan serigala itu langsung mengejarnya, berlari cepat
melintasi padang
rumput terbuka
dengan langkah-langkah bertenaga, menggeram dan mengatup-ngatupkan moncong
dengan keras dan nyaring. Kedua
tanganku
serta-merta terangkat ke atas, secara naluriah menutup telinga. Suara itu
menghilang dengan sangat cepat begitu gerombolan serigala lenyap di balik
hutan.
Kemudian aku
sendirian lagi.
Lututku
terkulai, tak sanggup menopang berat tubuhku, dan aku terjatuh dengan posisi
tangan bertumpu di tanah, isak tangis memenuhi
kerongkonganku.
Aku tahu aku
harus segera pergi, sekarang juga. Berapa lama serigala-serigala itu akan
mengejar Laurent sebelum berbalik dan mengejarku? Atau akankah Laurent melawan
mereka? Mungkinkah ia yang nanti akan kembali mencariku?
Awalnya aku
tak bisa bergerak; lengan dan kakiku gemetaran, dan aku tak tahu bagaimana bisa
kembali berdiri.
Pikiranku tak
bisa menghalau ketakutan, kengerian, ataupun
kebingungan yang kurasakan. Aku
tidak memahami apa yang baru saja
kusaksikan. Vampir
tak seharusnya kabur dari sekawanan anjing raksasa seperti itu. Apa gunanya
gigi yang tajam dan kulit mereka yang sekeras granit?
Dan
serigala-serigala seharusnya tidak mengganggu Laurent. Walaupun ukuran mereka yang
luar biasa itu mengajar mereka untuk tidak takut pada apa pun, tetap saja tak
masuk akal mengapa mereka mengejarnya. Aku ragu kulit Laurent yang sedingin
marmer memancarkan bau yang menyerupai makanan. Mengapa mereka
malah mengabaikan
makhluk berdarah panas dan lemah seperti aku dan justru mengejar Laurent?
Aku tidak
mengerti sama sekali. Angin dingin menyapu padang rumput,
mengayunkan rumput-rumput
seolah ada sesuatu yang menggerakkannya. Aku cepat-cepat berdiri, mundur
walaupun
angin
menerpaku tanpa mencederai. Tersandungsandung
panik, aku
berbalik dan langsung lari menerobos pepohonan.
Beberapa jam
berikutnya sungguh mengerikan. Butuh waktu tiga kali lebih lama untuk
meloloskan diri dari pepohonan daripada untuk mencapai padang. Awalnya aku
tidak memerhatikan ke mana aku melangkah, pikiranku hanya terfokus pada melarikan
diri. Setelah cukup tenang untuk ingat bahwa aku punya kompas, aku sudah jauh
di
pelosok hutan
yang asing dan menakutkan. Kedua tanganku gemetar sangat hebat sehingga aku harus
meletakkan kompas di tanah berlumpur untuk bisa membacanya. Beberapa menit
sekali aku harus berhenti untuk meletakkan kompas dan mengecek bahwa aku masih
berjalan ke barat laut, mendengarkan—bila suara-suara itu tidak
tersembunyi di
balik langkah-langkah kakiku yang panik—bisikan pelan berbagai hal yang tak kelihatan
di sela-sela dedaunan.
Pekikan burung
jaybird membuatku
terlompat ke belakang dan jatuh menimpa pohon cemara muda berdaun lebat.
Akibatnya lenganku tergoresgores dan rambutku terbelit daun-daun cemara.
Tupai yang
mendadak berkelebat lewat membuatku menjerit begitu keras hingga menyakitkan
bahkan telingaku sendiri.
Akhirnya pohon-pohon
mulai renggang. Aku muncul dijalan kosong kira-kira satu setengah kilometer
dari tempatku meninggalkan truk tadi.
Meskipun
didera kelelahan yang amat sangat, aku berlari-lari kecil menyusuri jalan
sampai menemukan trukku. Sesampai di dalamnya
tangisku kembali
meledak. Kukunci pintu truk rapat-rapat sebelum merogoh kantong untuk mengeluarkan
kuncinya. Raungan suara mesin
terasa
melegakan dan waras. Suara itu membantuku menahan air mata sementara aku memacu
trukku secepatnya menuju jalan utama.
Sesampainya di
rumah, kondisiku sudah lebih tenang, tapi masih kacau-balau. Mobil polisi Charlie
sudah terparkir di halaman—aku bahkan
tidak
menyadari hari sudah malam. Langit sudah menggelap.
"Bella?"
seru Charlie begitu aku membanting pintu depan dan cepat-cepat memutar kunci.
"Yeah,
ini aku." Suaraku lemah.
"Dari
mana saja kau?" tanyanya menggelegar, muncul dari ambang pintu dapur
dengan wajah garang.
Aku ragu-ragu.
Ayahku mungkin sudah menelepon keluarga Stanley. Sebaiknya aku menceritakan hal
yang sebenarnya saja.
"Aku pergi
hiking,"
aku mengaku.
Mata Charlie
kaku. "Mengapa tidak jadi pergi ke rumah
Jessica?"
"Aku
sedang malas belajar Kalkulus hari ini."
Charlie bersedekap.
"Kan sudah kubilang untuk menjauhi hutan."
"Yeah,
aku tahu. Jangan khawatir, aku tidak akan melakukannya lagi," Aku
bergidik.
Sepertinya
baru saat itulah Charlie benar-benar memerhatikan keadaanku. Aku ingat tadi aku
sempat meringkuk di tanah hutan; jadi pastilah keadaanku benar-benar
berantakan.
"Apa yang
terjadi?" desak Charlie.
Lagi, aku
memutuskan mengatakan hal yang sebenarnya, setidaknya sebagian, adalah pilihan terbaik.
Aku terlalu terguncang untuk berpurapura aku tadi menikmati hari yang tenang
dengan flora dan fauna hutan.
"Aku melihat
beruang itu." Aku berusaha mengatakannya dengan tenang, tapi suaraku
tinggi dan gemetar. "Ternyata bukan beruang— tapi sejenis serigala. Dan
jumlahnya ada lima. Ada yang berbulu hitam besar, abu-abu, cokelat kemerahan."
Mata Charlie
membelalak ngeri. Ia bergegas menghampiriku dan menyambar bagian atas lenganku.
“Kau tidak
apa-apa?" Kepalaku mengangguk-angguk lemah.
"Ceritakan
padaku apa yang terjadi."
"Mereka tidak
menggubrisku. Tapi setelah mereka pergi, aku lari dan terjatuh-jatuh."
Charlie melepaskan
bahuku dan memelukku erat-erat. Selama beberapa saat ia tidak mengatakan
apa-apa.
“Serigala,"
gumamnya.
"Apa?"
"Menurut
polisi hutan, jejak-jejaknya bukan jejak beruang— tapi serigala tidak sebesar
itu."
"Mereka
ini raksasa"
"Berapa
banyak katamu tadi?"
“Lima.”
Charlie menggeleng,
keningnya berkerut cemas. Akhirnya ia bicara dengan nada yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. "Tidak boleh hiking lagi."
"Pasti,"
aku berjanji dengan patuh.
Charlie menelepon
ke kantor untuk melaporkan apa yang kulihat. Aku berbohong sedikit saat mengatakan
di mana persisnya aku melihat
serigala-serigala
itu—kubilang saja aku sedang menyusuri jalan setapak yang mengarah ke utara. Aku
tak ingin ayahku tahu seberapa jauh aku telah masuk ke dalam hutan, melanggar
larangannya, dan, yang lebih penting lagi, aku tidak mau orang lain berkeliaran
di dekat tempat Laurent mungkin mencariku. Pikiran itu membuatku mual.
"Kau
lapar?" tanya Charlie setelah menutup telepon.
Aku menggeleng,
meskipun seharusnya perutku keroncongan. Aku belum makan seharian.
"Capek
saja," jawabku. Aku berbalik menuju tangga.
"Hei,"
seru Charlie, suaranya mendadak berubah curiga lagi. "Bukankah kau tadi
bilang Jacob pergi seharian?"
"Kata
Billy begitu," jawabku, bingung mendengar pertanyaannya.
Charlie mengamati
ekspresiku sebentar, dan tampaknya puas dengan apa yang dilihatnya di sana.
"Hah."
"Kenapa?"
tuntutku. Kedengarannya Charlie seolah menuduhku telah berbohong padanya tadi pagi.
Mengenai hal lain selain belajar dengan
Jessica.
"Well, hanya saja waktu aku menjemput
Harry tadi, aku melihat Jacob di depan toko yang ada di sana bersama
teman-temannya. Aku melambai
menyapanya,
tapi dia. Well aku
tak yakin dia melihatku. Sepertinya dia sedang berdebat dengan teman-temannya.
Dia tampak aneh, seperti kesal mengenai sesuatu. Dan. berbeda. Seolah-olah kau bisa
melihat anak itu bertumbuh! Setiap kali melihatnya, sepertinya dia semakin
bertambah besar."
"Kata
Billy, Jake dan teman-temannya pergi ke Port Angeles untuk nonton film. Mungkin
mereka sedang menunggu teman di sana."
"Oh."
Charlie mengangguk dan berjalan ke dapur.
Aku berdiri di
ruang depan, berpikir tentang Jacob yang berdebat dengan teman-temannya. Aku penasaran
apakah ia mengonfrontir Embry rentang kedekatannya dengan Sam. Mungkin itulah sebabnya
ia meninggalkanku hari ini—kalau itu berarti ia bisa menuntaskan masalahnya dengan
Embry aku ikut senang. Aku berhenti sebentar untuk memastikan pintu masih
terkunci rapat sebelum masuk ke kamar.
Tindakan konyol
sebenarnya. Apa gunanya kunci bagi monster-monster yang kulihat siang tadi?
Asumsiku, gagang
pintu saja sudah cukup untuk menghalangi masuknya serigala, karena mereka tidak
memiliki ibu jari untuk memegang. Dan kalau Laurent datang ke sini.
Atau. Victoria.
Aku berbaring di
tempat tidurku, tapi tubuhku bergetar begini hebat hingga aku susah tidur. Aku meringkuk
rapat-rapat di bawah selimut, dan menghadapi fakta-fakta mengerikan. Tidak ada
yang bisa kulakukan. Tidak ada pencegahan yang bisa kuambil. Tidak ada tempat
untuk bersembunyi.
Tidak ada orang yang bisa menolongku.
Aku sadar,
dengan perut melilit mual, bahwa situasinya
sekarang lebih buruk daripada itu. Karena
semua fakta itu juga mengacu pada
Charlie.
Ayahku, tidur di kamar yang bersebelahan dengan kamarku, hanya terpisah sedikit
saja dari inti sasaran yang terpusat padaku. Bau tubuhku akan menggiring mereka
ke sini, tak peduli aku ada di sini atau tidak.
Tremor itu
mengguncang-guncang tubuhku sampai gigi-gigiku gemeletukan. Untuk menenangkan
diri aku membayangkan
hal yang tidak
mungkin: aku membayangkan serigala-serigala besar itu berhasil menangkap Laurent
di hutan dan membantai makhluk yang
tidak bisa
mati dan tidak bisa dihancurkan itu, seperti mereka memangsa habis manusia
normal lainnya. Meski absurd, bayangan itu membuatku tenang. Kalau
serigala-serigala itu berhasil menangkapnya, ia tidak bisa mengatakan pada Victoria
bahwa aku sendirian di sini. Bila ia tidak kembali, mungkin Victoria mengira
keluarga Cullen masih melindungiku. Seandainya kawanan serigala itu bisa
memenangkan pertarungan. Vampir-vampir baikku takkan pernah kembali; betapa
melegakan membayangkan vampir jenis lain juga bisa menghilang.
Kupejamkan mataku
rapat-rapat dan menunggu datangnya ketidaksadaran—hampir tidak sabar lagi
menunggu mimpi burukku dimulai. Lebih baik bermimpi buruk daripada melihat
seraut wajah
tampan yang pucat
tersenyum padaku sekarang dari balik kelopak mataku.
Dalam imajinasiku,
mata Victoria hitam oleh dahaga, cemerlang oleh antisipasi, dan bibirnya menekuk,
menampilkan gigi-giginya yang berkilau dalam kegembiraan. Rambut merahnya
terang laksana api; berkibar-kibar kusut mengitari wajahnya yang liar.
Kata-kata
Laurent tadi terngiang-ngiang dalam benakku.
Kalau kau tahu apa yang dia rencanakan untukmu. Aku menempelkan tinjuku kuat-kuat ke mulut agar tidak menjerit.
0 komentar:
Post a Comment