Baca Online New Moon part 24
24.
PEMUNGUTAN SUARA
EDWARD tidak
senang, perasaan itu dengan mudah bisa dibaca dari ekspresinya. Namun tanpa berargumen
lebih jauh lagi, ia membopongku dan melompat lincah dari jendelaku, mendarat
tanpa sentakan sedikit pun, seperti kucing. Ternyata lumayan tinggi juga jarak
dari jendela ke tanah, tidak seperti dugaanku.
"Baiklah
kalau begitu," kata Edward, suaranya sinis oleh sikap tidak setuju.
"Naiklah."
Ia membantuku
naik ke punggungnya, lalu melesat secepat kilat. Bahkan setelah sekian lama tidak
menaiki punggungnya lagi, rasanya itu seperti sesuatu yang rutin. Mudah.
Terbukti ini sesuatu yang tak pernah dilupakan, seperti naik sepeda.
Sunyi senyap
dan gelap saat Edward berlari menembus hutan, embusan napasnya lambat dan teratur—saking
gelapnya, pepohonan yang terbang melewati kami nyaris tak terlihat, dan hanya embusan
kuat angin menerpa wajah yang menunjukkan betapa cepat Edward berlari. Udara lembab;
tidak membakar mataku seperti angin di alun-alun besar waktu itu, dan rasanya
nyaman. Malam juga terasa menenangkan, setelah siang benderang yang menakutkan
itu. Seperti waktu aku masih kecil, bermain di balik selubung selimut tebal,
kegelapan ini terasa familier dan melindungi. Aku ingat bagaimana berlari
menembus hutan
seperti ini
dulu membuatku ngeri, bagaimana dulu aku selalu memejamkan mata. Rasanya itu
reaksi yang tolol sekarang. Kubuka mataku lebar-lebar, dagu menempel di
bahunya, dan pipiku di lehernya. Kecepatannya sungguh menggairahkan. Seratus
kali lebih asyik daripada naik motor. Aku memalingkan wajah menghadap wajah Edward
dan menempelkan bibirku ke kulit lehernya yang dingin dan keras.
"Terima
kasih," ucapnya, sementara bayanganbayangan hitam samar pepohonan melesat
di samping kami. "Apakah itu berarti kau
memutuskan
bahwa kau sudah bangun?"
Aku tertawa.
Suara tawaku terdengar ringan, alami, renyah. Pas. "Tidak juga.
Bagaimanapun, lebih dari itu aku tidak mau bangun. Tidak malam
ini."
"Aku akan
mengembalikan lagi kepercayaanmu padaku, bagaimanapun caranya," gumam
Edward, lebih ditujukan pada dirinya sendiri. "Walaupun itu jadi hal
terakhir yang kulakukan."
"Aku
percaya padamu kok," aku meyakinkan dia.
"Aku
justru tidak percaya pada diriku sendiri."
"Tolong
jelaskan."
Edward memperlambat
larinya dan berjalan— aku tahu itu karena terpaan angin mereda—dan dugaanku,
kami tak jauh dari rumahnya. Malah, kalau tidak salah aku bisa mendengar suara
air sungai mengalir dalam gelap, di suatu tempat tak jauh dari sini.
“Well–“ aku memeras otak, berusaha menemukan
cara yang tepat untuk menjelaskan maksudku. “Aku tidak. cukup percaya pada diriku
sendiri. Bahwa aku pantas mendapatkanmu. Aku tidak punya apa-apa yang bisa
mempertahankanmu.”
Edward
berhenti dan mengulurkan tangan ke belakang, menurunkan aku dari punggungnya. Tangannya
yang lembut tidak melepaskanku;
bahkan sesudah
ia membantuku menjejakkan kaki ke tanah, ia merangkulku erat-erat, mendekapku di
dadanya.
"Aku
milikmu selamanya, ikatan itu tak bisa dipatahkan," bisiknya. "Jangan
pernah ragukan itu.” Tapi bagaimana bisa aku tidak meragukannya?
"Kau
belum memberi tahu.," gumamnya.
"Apa?"
"Apa
masalah terbesarmu."
"Tebak
saja sendiri.” Aku mendesah, kemudian mengulurkan tangan untuk menyentuh ujung
hidungnya dengan telunjuk. Edward mengangguk. "Aku memang lebih buruk daripada
keluarga Volturi," ucapnya muram.
"Kurasa
aku pantas mendapatkannya."
Aku memutar bola
mataku. "Hal terburuk yang bisa dilakukan keluarga Volturi adalah membunuhku."
Edward menunggu
dengan sorot mata tegang. "Kau bisa meninggalkan aku,'' aku menjelaskan.
"Keluarga
Volturi, Victoria. mereka bukan apa-apa dibandingkan dengan kau meninggalkan
aku."
Bahkan dalam gelap
aku bisa melihat kepedihan memilin wajahnya – mengingatkanku pada ekspresinya
di bawah tatapan Jane yang menyiksa aku merasa muak, dan menyesal telah
mengatakan hal yang sebenarnya.
"Jangan;
bisikku, menyentuh wajahnya. "Jangan sedih"
Edward mengangkat
salah satu sudut mulutnya setengah hati, tapi ekspresi itu tidak menyentuh matanya.
"Kalau saja ada jalan untuk membuatmu percaya bahwa aku tak sanggup
meninggalkanmu,"
bisiknya. "Hanya
waktu, kurasa, yang bisa meyakinkanmu.”
Aku menyukai
pikiran itu. "Oke," aku setuju. Wajah Edward masih tampak tersiksa.
Aku berusaha mengalihkan perhatiannya dengan halhal lain yang sepele.
"Jadi—karena
kau sudah memutuskan akan tinggal di sini. Boleh aku mendapatkan kembali barang-barangku?"
tanyaku, sengaja membuat
nada suaraku
seringan mungkin. Usahaku berhasil, sampai batas tertentu: Edward tertawa.
Namun sorot matanya masih sedih. "Barang-barangmu tak pernah kubawa,"
jawabnya. "Aku tahu itu salah, karena aku pernah berjanji akan meninggalkanmu
tanpa hal-hal yang bisa mengingatkanmu padaku. Memang tolol dan kekanak-kanakan,
tapi aku ingin meninggalkan sesuatu dari diriku untukmu. CD, foto-foto, tiket—
semua tersimpan
di bawah lantai papan kamarmu."
"Sungguh?"
Edward mengangguk,
tampak sedikit terhibur melihat reaksiku yang jelas-jelas gembira mendengar
fakta sepele itu. Namun belum cukup untuk menghapus kepedihan di wajahnya.
"Kurasa,"
ujarku lambat-lambat. “Aku tidak yakin, tapi kurasa. kurasa mungkin aku sudah mengetahuinya
sejak dulu."
"Apa yang
kauketahui?"
Aku hanya ingin
mengenyahkan sorot sedih ini dan mata Edward, namun saat aku mengucapkan kata-kata
itu, kedengarannya justru sangat benar, lebih daripada yang kuduga.
“Sebagian diriku,
mungkin alam bawah sadarku tidak pernah berhenti meyakini bahwa kau tetap peduli
padaku, apakah aku hidup atau sudah
mari. Mungkin
itulah sebabnya aku mendengar suara-suara."
Sejenak, suasana
sunyi senyap.
“Suara-suara?”
tanya Edward datar.
"Well, hanya satu suara. Suaramu.
Ceritanya panjang." Ekspresi kecut di wajah Edward membuatku berharap aku
tidak mengungkit-ungkit
masalah itu.
Akankah ia mengira aku sinting, seperti orang-orang lain? Apakah perkiraan
orangorang itu benar? Tapi paling tidak ekspresi itu—
yang membuat
Edward terlihat seolah-olah terbakar—mereda.
"Aku
punya waktu kok." Suara Edward terdengar kaku dan datar.
"Ceritanya
menyedihkan." Edward menunggu.
Aku tak yakin
bagaimana menjelaskannya.
"Ingatkah
kau waktu Alice menyebut tentang olah raga ekstrem?"
Edward mengucapkan
kata-kata itu tanpa perubahan nada maupun penekanan. "Kau terjun dari
tebing untuk bersenang-senang."
“Eh, benar.
Dan sebelum itu, dengan sepeda motor—"
“Sepeda motor?"
sergah Edward. Aku cukup mengenali suaranya untuk mengetahui ada sesuatu yang
mulai bergolak di balik ketenangan
sikapnya.
"Kurasa
bagian yang itu tidak kuceritakan pada Alice."
“Memang
tidak."
“Well tentang itu. Begini, aku
menemukan bahwa saat aku melakukan sesuatu yang tolol atau berbahaya. aku bisa
mengingatmu lebih jelas," aku mengaku, merasa diriku benar-benar sinting.
"Aku jadi bisa mengingat bagaimana suaramu bila sedang marah. Aku bisa mendengarnya,
seolah-olah kau berdiri tepat di sebelahku. Kebanyakan aku mencoba untuk tidak memikirkanmu,
tapi ini tidak begitu menyakitkan—rasanya seolah-olah kau melindungiku lagi.
Seakan-akan kau tidak ingin aku terluka.
"Dan, Well, aku jadi penasaran sendiri
apakah alasan mengapa aku bisa mendengarmu begitu jelas adalah karena, di balik
itu semua, aku selalu
tahu kau tidak
pernah berhenti mencintaiku."
Lagi, saat aku
bicara, kata-kata yang keluar dari mulutku terdengar sangat meyakinkan. Bahwa
itu memang benar. Lubuk hatiku yang terdalam mengenali kebenarannya. Edward mengucapkan
kata-kata itu dengan suara separo tercekik. "Kau. sengaja. membahayakan
nyawamu. hanya agar bisa mendengar—"
"Ssstt,"
aku memotong kata-katanya. "Tunggu sebentar. Kurasa aku mendapat
pencerahan."
Ingatanku melayang
ke malam di Port Angeles ketika aku mengalami delusi pertama. Ada dua opsi.
Sinting atau pemenuhan harapan. Aku tidak melihat opsi ketiga. Tapi bagaimana
kalau. Bagaimana kalau kau sungguh-sungguh percaya sesuatu itu benar, tapi ternyata kau salah?
Bagaimana
kalau kau begitu keras kepala meyakini kau benar, bahwa kau bahkan tidak mau mempertimbangkan
kebenaran? Apakah kebenaran itu akan dibungkam, atau kebenaran itu akan berusaha
menerobos keluar?
Opsi ketiga:
Edward mencintaiku. Ikatan yang terbentuk di antara kami bukanlah ikatan yang bisa
dihancurkan oleh ketidakhadiran, jarak, atau
waktu Dan tak
peduli apakah ia lebih istimewa, lebih rupawan, lebih pintar, atau lebih
sempurna daripada aku, bagaimanapun ia sudah berubah, tak bisa diperbaiki lagi,
sama seperti aku. Sama halnya aku akan selalu menjadi miliknya, demikian juga ia
akan selalu menjadi milikku. Itukah yang selama ini coba kukatakan pada diriku
sendiri?
"Oh!"
"Bella?"
"Oh. Oke.
Aku mengerti."
"Pencerahanmu?"
tanya Edward, suaranya bergetar dan tegang.
"Kau
mencintaiku," ujarku kagum. Keyakinan dan kebenaran itu melanda diriku
lagi. Walaupun matanya masih waswas, senyum
separo yang
sangat kucintai itu melintasi wajahnya. "Benar, aku memang
mencintaimu."
Hatiku
menggelembung hingga rasanya seperti nyaris meremukkan tulang-tulang rusukku. Memenuhi
rongga dada dan menyumbat
kerongkongan
hingga aku tak bisa bicara. Edward benar-benar menginginkanku seperti aku
menginginkan dia—selamanya. Hanya karena ia takut aku akan kehilangan jiwaku,
karena ia tak ingin merenggut hal-hal manusiawi dari diriku, yang membuat Edward
begitu ngotot ingin tetap mempertahankan aku sebagai manusia.
Dibandingkan dengan
ketakutan bahwa ia tidak menginginkan aku, halangan ini—jiwaku—nyaris terasa
tidak signifikan. Edward merengkuh wajahku erat-erat dengan tangannya yang
dingin dan menciumku sampai kepalaku pening dan hutan seperti berputar. Lalu ia
menempelkan dahinya ke keningku, dan napas kami memburu, lebih cepat daripada
biasanya.
"Kau
masih lebih baik daripada aku," kata Edward.
"Lebih
baik dalam hal apa?"
"Bertahan.
Kau, setidaknya, masih mau berusaha. Bangun pagi-pagi, berusaha bersikap normal
demi Charlie, menjalani rutinitas hidupmu.
Kalau tidak
sedang aktif melacak, aku.., benarbenar tidak berguna. Aku tidak bisa berada di
sekitar keluargaku—aku tidak bisa berada di
sekitar siapa
pun. Aku malu mengakui bahwa kurang lebih aku hanya terpuruk dan membiarkan diriku
dilanda kesedihan." Edward menyeringai, malu-malu. "Jauh lebih
menyedihkan daripada
mendengar suara-suara.
Dan, tentu saja, kau tahu aku juga begitu."
Aku sangat
lega karena Edward tampaknya benar-benar mengerti—senang karena ini semua masuk
akal baginya. Pokoknya, ia tidak
menatapku
seakan-akan aku sudah gila. Ia menatapku seakan-akan. ia mencintaiku.
"Aku
hanya mendengar satu suara," koreksiku. Ia tertawa dan menarikku erat di
sebelah kanan tubuhnya, lalu mulai membimbingku maju.
"Aku
hanya menuruti maumu," Edward melambaikan tangan ke kegelapan di depan
kami saat kami berjalan. Tampak sesuatu yang pucat dan megah di sana—rumahnya,
aku tersadar.
"Pendapat
mereka tak ada pengaruhnya sedikit pun.”
"Ini memengaruhi
mereka juga sekarang.” Edward mengangkat bahu tak acuh. Ia berjalan
mendahuluiku melalui pintu depan yang terbuka, memasuki rumah yang gelap, dan menyalakan
lampu-lampu. Ruangan itu masih sama seperti yang kuingat dulu piano dan
sofa-sofa putih serta tangga megah berwarna pucat itu. Tak ada debu, tak ada
kain-kain putih. Edward memanggil nama-nama anggota keluarganya dengan volume suara
yang biasa kugunakan bila berbicara dalam keadaan biasa.
"Carlisle?
Esme? Rosalie? Emmett? Jasper? Alice?" Mereka mendengarnya. Carlisle
tiba-tiba sudah berdiri di sampingku,
seakan-akan
sudah sejak tadi berada di sana.
"Selamat
datang kembali, Bella." Ia tersenyum.
"Apa yang
bisa kami lakukan untukmu pagi ini?
Dalam bayanganku,
mengingat jamnya yang tidak lazim, aku yakin ini bukan sekadar kunjungan ramah-tamah?"
Aku mengangguk.
"Aku ingin berbicara dengan semuanya sekaligus, kalau boleh. Mengenai sesuatu
yang penting."
Aku tak tahan
untuk tidak melirik wajah Edward sambil bicara. Ekspresinya tidak setuju namun pasrah.
Waktu aku melihat kembali pada Carlisle, ia juga sedang memandang Edward.
"Tentu
saja," jawab Carlisle. "Bagaimana kalau kita bicara di ruangan
lain?"
Carlisle mendului
melintasi ruang duduk yang terang benderang, berbelok memasuki ruang makan,
menyalakan lampu-lampu sambil berjalan. Dinding-dindingnya berwarna putih,
langit, langitnya tinggi, seperti ruang duduk. Di tengah ruangan, di bawah lampu
kristal yang
menggantung
rendah, tampak meja besar mengilat berbentuk oval yang dikelilingi delapan
kursi. Carlisle menarik keluar kursi di kepala meja
untukku.
Aku belum
pernah melihat keluarga Cullen menggunakan
meja ruang makan sebelumnya—itu hanya
perabot. Mereka tidak makan di rumah.
Begitu aku berbalik
untuk duduk di kursi, aku melihat kami tidak sendirian. Esme berjalan mengikuti
Edward, dan di belakangnya, anggota keluarga lainnya menyusul. Carlisle duduk
di kananku, sementara Edward di kiri. Tanpa bersuara yang lain-lain duduk di
kursi
masing-masing
Alice nyengir padaku, belum-belum sudah memahami plotnya Emmett dan Jasper terlihat
ingin tahu, sementara Rosalie tersenyum ragu-ragu padaku. Malu-malu aku
membalas senyumnya. Masih butuh waktu untuk membiasakan diri.
Carlisle
mengangguk padaku. "Silakan dimulai."
Aku menelan
ludah. Tatapan mereka membuatku gugup. Edward meraih tanganku di bawah meja.
Aku melirik padanya, tapi ia
memandangi
anggota keluarganya yang lain, wajahnya tiba-tiba garang.
"Well" aku terdiam sejenak.
"Kuharap Alice sudah menceritakan pada kalian semua yang terjadi di
Volterra?"
"Semuanya
sudah," Alice meyakinkanku. Aku melayangkan pandangan penuh arti padanya.
"Dan saat dalam perjalanan?"
"Itu juga
sudah," angguknya.
"Bagus,"
aku mengembuskan napas lega. "Kalau begitu, kita semua sudah sama-sama
mengerti." Mereka menunggu dengan sabar sementara aku mencoba menata
pikiranku.
"Jadi
begini, aku punya masalah," aku memulai.
"Alice
berjanji pada keluarga Volturi bahwa aku akan menjadi seperti kalian. Mereka
akan mengirim seseorang ke sini untuk mengecek, dan
aku yakin itu
sesuatu yang harus dihindari. Jadi, sekarang, ini melibatkan kalian semua. Itu sangat kusesali." Kutatap wajah rupawan
mereka satu demi satu, meninggalkan yang paling rupawansebagai yang terakhir.
Sudut-sudut mulut Edward tertekuk ke bawah, membentuk seringaian. "Tapi kalau
kalian tidak menginginkan aku, aku tidak akan memaksa kalian, terlepas dari
apakah Alice setuju melakukannya atau tidak.”
Esme membuka
mulut untuk bicara, tapi kuangkat jariku untuk menghentikannya.
"Please, izinkan aku menyelesaikan penjelasanku
dulu. Kalian tahu apa yang kuinginkan. Dan aku yakin kalian tahu bagaimana pendapat
Edward. Jadi, menurutku, satu-satunya cara yang adil untuk memutuskannya adalah
dengan melakukan pemungutan suara. Kalau
kalian memutuskan
tidak menginginkanku, maka kurasa aku akan kembali ke Italia sendirian. Aku
tidak mau mereka datang ke sini!'
Memikirkannya
saja sudah membuat keningku berkerut.
Terdengar
geraman samar dari dalam dada Edward. Aku mengabaikannya.
"Dengan
mempertimbangkan keselamatan kalian, aku ingin kalian memilih ya atau tidak tentang
apakah aku akan menjadi vampir."
Aku separo tersenyum
saat mengucapkan kata terakhir itu, dan memberi isyarat pada Carlisle untuk
mulai.
"Tunggu
sebentar," sela Edward. Kutatap dia garang lewat mata yang disipitkan. Edward
mengangkat alisnya padaku, meremas tanganku.
"Ada yang
ingin kutambahkan sebelum kita memulai pemungutan suara." Aku mendesah.
"Tentang
bahaya yang dimaksud Bella," lanjutnya. "Menurutku, kita tidak perlu
kelewat khawatir."
Ekspresi
Edward semakin bersemangat. Ia meletakkan
sebelah tangannya di permukaan meja yang
mengilap dan mencondongkan tubuh.
“Begini,"
ia menjelaskan, memandang sekeliling meja sambil bicara, "ada lebih dari
satu alasan mengapa aku tak ingin menjabat tangan Aro di sana, pada akhirnya.
Ada sesuatu yang tak terpikirkan oleh mereka, dan aku tak ingin memunculkan
pikiran itu dalam benak mereka."
Edward
nyengir.
"Apa itu?"
desak Alice. Aku yakin ekspresiku juga sama skeptisnya dengan mimik Alice. "Keluarga
Volturi terlalu percaya diri, dan alasannya kuat. Saat memutuskan menemukan seseorang,
mereka bisa menemukannya dengan mudah. Ingatkah kau pada Demetri?" Edward
menoleh padaku.
Aku bergidik. Bagi Edward itu berarti "ya".
"Dia bisa
menemukan orang-orang—itu memang bakatnya, karena itulah mereka mempekerjakannya.
"Nah, selama
kita bersama mereka, aku menyadap otak mereka untuk mencari tahu hal apa saja
yang bisa menyelamatkan kita, mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Jadi aku
melihat bagaimana bakat Demetri bekerja. Dia pelacak—pelacak yang seribu kali
lebih hebat daripada James. Kemampuannya secara longgar terhubung dengan apa
yang kulakukan, atau apa yang Aro lakukan. Dia menangkap bau? Aku tidak tahu
bagaimana menggambarkannya. getaran. pikiran seseorang, dan kemudian mengikutinya.
Dia bisa melacak dari jarak sangat jauh.
"Tapi
setelah eksperimen kecil yang dilakukan Aro, well.”
Edward
mengangkat bahu. "Kaupikir dia takkan bisa menemukan aku,"
sergahku
datar. Edward tersenyum puas. "Aku yakin sekali. Demetri bergantung
sepenuhnya pada indra lain itu. Kalau itu tidak mempan dilakukan terhadapmu,
mereka semua bakal buta.
"Lantas,
bagaimana itu bisa menyelesaikan persoalan?”
"Jelas
sekali, Alice akan bisa memberi tahukan kapan mereka berencana datang, kemudian
aku akan menyembunyikanmu. Mereka takkan bisa berbuat apa-apa,” kata Edward
dengan sikap senang. "Itu akan sama sulitnya dengan mencari jarum dalam
tumpukan jerami!"
Edward dan
Emmert bertukar pandang dan tersenyum menyeringai.
Ini tak masuk
akal. "Tapi mereka bisa menemukanmu," aku mengingatkannya.
"Dan aku
bisa menjaga diriku sendiri.” Emmett tertawa, dan mengulurkan tangan ke seberang
meja pada saudaranya, mengacungkan tinjunya. "Rencana yang bagus sekali,
saudaraku,"
ucapnya
antusias. Edward mengulurkan tangan dan membenturkan tinjunya dengan tinju
Emmett.
"Tidak,"
desis Rosalie.
"Sama
sekali tidak" aku sependapat.
"Bagus,"
ucap Jasper kagum.
"Dasar
idiot," omel Alice.
Esme hanya memandang
garang kepada Edward. Aku menegakkan posisi dudukku, kembali fokus. Ini kan
rapatku.
"Baiklah
kalau begitu. Edward telah menawarkan alternatif lain pada kalian sebagai bahan
pertimbangan," ujarku dingin. "Mari kita
melakukan
pemungutan suara."
Kali ini aku
menatap Edward; lebih baik aku segera mengetahui pendapatnya. "Kau ingin
aku bergabung dengan keluargamu?"
Mata Edward
sekeras dan sehitam batu api.
"Tidak
dengan cara itu. Kau harus tetap menjadi manusia."
Aku mengangguk
sekali, menjaga ekspresiku tetap tenang, dan berlanjut ke yang lain.
"Alice?"
"Ya."
"Jasper?"
"Ya,"
jawab Jasper, suaranya muram. Aku sedikit terkejut— aku sama sekali tidak yakin
pada pilihannya—tapi aku menekan reaksiku dan
melanjutkan.
"Rosalie?"
Rosalie ragu-ragu
sejenak, menggigit bibir bawahnya yang penuh dan sempurna itu.
"Tidak."
Aku tetap
memasang wajah tenang dan memalingkan wajahku sedikit untuk melanjutkan ke
anggota keluarga lain, tapi Rosalie mengangkat
kedua
tangannya, telapak tangannya mengarah ke depan.
"Izinkan
aku memberi penjelasan," Rosalie memohon. "Bukan berarti aku tidak
suka kau menjadi saudaraku. Hanya saja. ini bukan
kehidupan yang
akan kupilih untuk diriku sendiri. Kalau saja dulu ada orang yang memilih tidak
untukku."
Aku mengangguk
lambat-lambat, kemudian berpaling kepada Emmett.
"Ya,
tentu saja!" Ia nyengir. "Kita bisa mencari jalan lain untuk mencari
gara-gara dengan si Demetri ini."
Aku masih meringis
mendengar perkataannya saat berpaling kepada Esme.
"Ya,
tentu saja, Bella. Aku sudah menganggapmu bagian dari keluargaku."
"Terima
kasih, Esme," bisikku sambil berpaling kepada Carlisle.
Tiba-tiba saja
aku merasa gugup, berharap aku tadi
meminta suaranya lebih dulu. Aku yakin ini suara
yang paling berarti, suara yang dianggap
lebih dari
suara mayoritas. Carlisle tidak melihat ke arahku.
"Edward,"
ujarnya.
"Tidak,"
geram Edward. Rahangnya mengeras, bibirnya menyeringai, memperlihatkan
gigi-giginya. “Ini satu-satunya jalan yang masuk akal,"
Carlisle
berkeras. "Kau sudah memilih untuk tidak hidup tanpa dia, jadi menurutku
tak ada pilihan lain."
Edward menjatuhkan
tanganku, keluar dari meja. Ia menghambur meninggalkan ruangan, menggeram-geram
marah.
"Kurasa
kau sudah tahu jawabanku." Carlisle mendesah.
Aku masih
memandangi kepergian Edward.
"Trims,"
gumamku.
Suara benda
pecah yang mengoyak gendang telinga terdengar dari ruang sebelah Aku tersentak,
lalu cepat-cepat bicara. "Hanya
itu yang kuperlukan.
Terima kasih semuanya. Untuk kesediaan kalian menerimaku. Begitu jugalah yang
kurasakan terhadap kalian semua."
Suaraku tercekat
oleh emosi di akhir kalimat. Dalam sekejap Esme sudah berdiri di sampingku,
lengannya yang dingin memelukku.
"Bella
tersayang," desahnya.
Aku membalas
pelukannya. Dari sudut mata kulihat Rosalie menunduk memandangi meja, dan sadarlah
aku kata-kataku tadi dapat ditafsirkan
berbeda.
"Well, Alice," ujarku setelah
Esme melepas pelukannya. "Di mana kau ingin melakukannya?" Alice
menatapku, matanya membelalak ngeri.
"Tidak!
Tidak! TIDAK!" raung Edward, menghambur kembali ke dalam ruangan. Ia sudah
sampai di hadapanku sebelum aku sempat
berkedip,
membungkuk di atasku, wajahnya berkerut-kerut marah. "Kau gila, ya?"
teriaknya.
"Apa kau
benar-benar sudah tidak waras lagi?" Aku mengkeret menjauhinya, kedua
tangan menutupi telinga.
"Eh,
Bella," Alice menyela dengan nada gelisah.
"Sepertinya
aku belum siap melakukan itu. Aku harus menyiapkan diri dulu."
"Kau
sudah berjanji," aku mengingatkannya, memandang garang dari bawah lengan
Edward.
“Aku tahu,
tapi. Yang benar saja, Bella! Aku tidak tahu bagaimana melakukannya tanpa membunuhmu."
"Kau bisa
melakukannya," aku menyemangati.
"Aku
percaya padamu." Edward menggeram marah. Alice menggeleng cepat-cepat,
terlihat panik.
"Carlisle?"
Aku menoleh dan memandanginya. Edward merenggut wajahku dengan tangannya, memaksaku
menatapnya. Sebelah tangannya yang lain terulur, telapak tangannya mengarah
pada
Carlisle. Carlisle
tak menggubrisnya. "Aku bisa melakukannya," ia menjawab pertanyaanku.
Kalau saja aku bisa melihat ekspresinya. "Kau tak perlu takut aku akan
kehilangan kendali."
"Kedengarannya
bagus." Aku berharap ia bisa memahaminya; sulit berbicara dengan jelas
bila Edward mencengkeram daguku seperti ini.
"Tunggu,"
sergah Edward dari sela-sela giginya
"Tidak
perlu melakukannya sekarang."
"Tidak
ada alasan untuk tidak melakukannya sekarang," balasku, kata-kataku tidak
terdengar jelas.
"Aku bisa
memikirkan beberapa alasan."
"Tentu
saja bisa," tukasku masam. "Sekarang lepaskan aku.”
Edward
melepaskan wajahku, dan melipat kedua lengannya di dada. "Kira-kira dua
jam lagi, Charlie akan datang ke sini mencarimu. Dan aku tak ragu dia akan
melibatkan polisi."
"Ketiga
polisi yang ada di sini." Tapi aku mengerutkan kening.
Ini selalu
menjadi bagian tersulit. Charlie, Renee. Sekarang ada Jacob juga. Orang-orang
yang akan kutinggalkan, orang-orang yang akan kusakiti. Kalau saja hanya aku
orang yang menderita, tapi aku tahu itu tidak mungkin. Di saat yang sama, aku
lebih menyakiti mereka
lagi dengan
tetap menjadi manusia. Membahayakan nyawa Charlie dengan berada di dekatnya.
Membahayakan Jake lebih lagi dengan
menarik musuh-musuhnya
datang ke wilayah yang wajib dijaganya. Dan Renee—aku bahkan tak berani
mengambil risiko mengunjungi ibuku
sendiri karena
takut bakal membawa masalah masalahku
yang mematikan
ke sana!
Aku magnet
yang menarik bahaya; aku menerima kenyataan itu.
Dengan menerimanya,
aku tahu aku harus bisa menjaga diri dan melindungi orang-orang yang kucintai,
meskipun itu berarti aku tidak bisa bersama mereka. Aku harus kuat.
"Dengan
maksud untuk tetap tidak menarik perhatian orang!' tukas Edward, masih
berbicara lewat gigi terkatup rapat, tapi memandang Carlisle sekarang,
"kusarankan kita mengakhiri pembicaraan ini sekarang, setidaknya sampai
Bella lulus SMU, dan pindah dari rumah Charlie."
"Itu permintaan
yang masuk akal, Bella," ujar Carlisle.
Aku memikirkan
reaksi Charlie bila ia bangun pagi ini, bila—setelah ia mengalami kehilangan besar
dengan meninggalnya Harry, kemudian aku membuatnya kalang-kabut dengan
kepergianku yang tanpa penjelasan—ia menemukan tempat tidurku kosong. Charlie
pantas mendapatkan yang lebih baik daripada itu. Toh tidak lama lagi;
kelulusanku
sudah di depan mata. Aku mengerucutkan bibir. 'Akan
kupertimbangkan."
Edward
langsung rileks. Rahangnya mengendur.
"Mungkin
sebaiknya kuantar kau pulang,” katanya, lebih tenang sekarang, tapi jelas ingin
buru-buru membawaku pergi dari sini. "Siapa tahu Charlie bangun lebih
pagi."
Kupandangi
Carlisle. "Setelah kelulusan?"
"Aku
janji."
Aku menarik
napas dalam-dalam, tersenyum, dan berpaling kembali ke Edward. "Oke. Kau
boleh membawaku pulang."
Edward membawaku
melesat keluar dari rumah sebelum Carlisle bisa menjanjikan hal lain. Ia membawaku
keluar lewat pintu belakang, jadi aku tidak melihat barang apa yang pecah di
ruang tamu.
Perjalanan pulang
sangat hening. Aku merasa menang dan sedikit puas pada diri sendiri. Sangat ketakutan
juga, tentu saja, tapi aku berusaha tidak memikirkan bagian itu. Tak ada
gunanya mengkhawatirkan rasa sakit—baik fisik maupun emosional—jadi itu tidak
kulakukan. Tidak sampai benar-benar harus.
Sesampainya di
rumahku, Edward tidak berhenti. Ia langsung berlari menaiki dinding dan masuk
lewat jendela kamarku dalam tempo
setengah
detik. Lalu ia melepaskan kedua lenganku yang melingkari lehernya dan membaringkanku
di tempat tidur.
Kusangka aku
punya gambaran cukup jelas tentang apa yang ia pikirkan, tapi ekspresinya membuatku terkejut. Bukannya marah, ia malah terlihat
seperti menimbang-nimbang Ia berjalan mondar-mandir tanpa suara di kamarku yang
gelap sementara aku memerhatikan dengan kecurigaan yang semakin menjadi-jadi.
"Apa pun
yang kaurencanakan, itu tidak akan berhasil," kataku.
"Ssstt.
Aku sedang berpikir."
"Ugh,"
erangku, mengempaskan diri ke tempat tidur dan menyelubungi kepalaku dengan
selimut. Tidak terdengar suara apa-apa, tapi mendadak Edward sudah di sana. Ia
menyibakkan selimut supaya bisa melihatku. Ia berbaring di sebelahku. Tangannya
terangkat, menyibakkan rambutku yang jatuh di pipi.
"Kalau
kau tidak keberatan, aku lebih suka kau tidak menyembunyikan wajahmu. Aku sudah
pernah merasakan hidup tanpa kau selama yang
bisa kutahan.
Sekarang. jawab pertanyaanku."
"Apa?"
tanyaku, enggan.
"Seandainya
kau bisa memiliki segalanya yang ada di dunia ini, apa saja, apa yang
kauinginkan?"
Aku bisa
merasakan skeptisme di mataku.
"Kau."
Edward menggeleng
tidak sabar. "Sesuatu yang belum kaumiliki."
Aku tidak
yakin ke mana ia berusaha mengarahkanku, jadi aku berpikir dengan hati-hati sebelum
menjawab. Aku menemukan jawaban
yang memang
benar, tapi mungkin juga mustahil.
“Aku ingin bukan
Carlisle yang melakukannya. Aku ingin kaulah yang mengubahku."
Kuamati reaksi
Edward dengan kecut, mengira ia akan marah lagi seperti yang kulihat di
rumahnya tadi. Kaget juga aku waktu kulihat ekspresinya tidak berubah. Ia masih
terlihat menimbangnimbang,
berpikir
keras.
"Kau rela
menukar itu dengan apa?"
Aku tidak memercayai
pendengaranku. Dengan mulut ternganga lebar, kupandangi wajahnya yang tenang
dan langsung melontarkan jawaban
sebelum otakku
sempat berpikir.
"Apa
saja."
Edward tersenyum
tipis, kemudian mengerucutkan bibir. "Lima tahun?"
Wajahku berkerut
membentuk ekspresi antara kecewa dan ngeri.
"Kaubilang
tadi apa saja," Edward mengingatkanku.
"Ya, tapi.
kau akan memanfaatkan waktu lima tahun itu untuk berkelit. Aku harus menyambar kesempatan
ini, mumpung masih ‘panas’. Lagi
pula, terlalu
berbahaya menjadi manusia—bagiku, setidaknya. Jadi, apa saja kecuali itu."
Edward
mengerutkan kening. "Tiga tahun?"
"Tidak!"
"Itu
tidak berarti apa-apa sama sekali bagimu?"
Aku berpikir
betapa aku sangat menginginkan hal ini. Lebih baik memasang wajah sok tenang, aku
memutuskan, dan tidak membiarkan Edward tahu betapa aku sangat menginginkannya.
Itu akan membuat posisiku berada di atas angin.
"Enam
bulan?"
Edward memutar
bola matanya. "Masih kurang."
"Satu
tahun, kalau begitu," tawarku. "Itu batasanku."
"Paling
tidak beri aku dua tahun."
"Enak
saja. Sembilan belas aku masih mau. Tapi jangan harap aku mau mendekati usia
dua puluh. Kalau selamanya kau akan berusia belasan, aku juga mau seperti itu. Edward
berpikir sebentar. "Baiklah. Lupakan
soal batasan
waktu. Kau boleh menjadi seperti aku – tapi ada syaratnya.”
"Syarat?"
Suaraku berubah datar. "Syarat apa?”
Sorot mata
Edward tampak hati-hati—ia berbicara
lambat-lambat. "Menikahlah dulu denganku."
Kupandangi
dia, menunggu. "Oke. Di mana lucunya?"
Edward mendesah.
"Kau melukai egoku, Bella. Aku baru saja melamarmu, tapi kau malah menganggapnya
gurauan."
"Edward,
kumohon, seriuslah."
“Aku seratus persen
serius." Edward menatapku tanpa sedikit pun sorot humor di wajahnya.
"Oh, ayolah,"
tukasku, ada secercah nada histeris dalam suaraku. "Aku kan baru delapan belas."
"Well, aku hampir seratus sepuluh.
Sudah waktunya aku menikah."
Aku membuang
muka, memandang ke luar jendela yang gelap, berusaha mengendalikan kepanikan
sebelum telanjur meledak.
"Begini,
menikah tidak masuk dalam daftar prioritasku saat ini, kau mengerti? Ini ibarat
ciuman kematian bagi Renee dan Charlie."
"Pilihan
katamu menarik."
"Kau tahu
maksudku."
Edward
menghela napas dalam-dalam. "Tolong jangan katakan kau takut pada
komitmen," kata Edward dengan nada tidak percaya, dan aku
mengerti
maksudnya.
"Sama
sekali bukan itu," elakku. "Aku takut pada reaksi Renee. Dia sangat
menentang pernikahan sebelum aku berumur tiga puluh."
"Karena
dia lebih suka kau menjadi salah satu dari kaum yang terkutuk selamanya."
Edward tertawa sinis.
"Kurasa
kau bercanda."
"Bella, kalau
kau membandingkan tingkat komitmen antara Penyatuan dalam ikatan pernikahan
dengan menukar jiwamu sebagai ganti hidup selamanya sebagai vampir."
Edward menggelengkan kepala. "Kalau kau tidak cukup berani untuk menikah
denganku, maka—"
"Well," aku menyela.
"Bagaimana kalau aku berani? Bagaimana kalau kuminta kau membawaku ke
Vegas sekarang juga? Apakah tiga
hari lagi aku
bisa menjadi vampir?"
Edward
tersenyum, giginya berkilau dalam gelap.
"Tentu;
jawabnya, menerima gertakanku. "Kuambil dulu mobilku."
"Brengsek,"
gerutuku. "Kuberi kau waktu delapan belas bulan."
"Tidak
ada kesepakatan lain," sergah Edward, nyengir. "Aku suka syarat
ini"
"Baiklah.
Biar Carlisle saja yang melakukannya setelah aku lulus nanti."
"Kalau
memang itu maumu." Edward mengangkat bahu, dan senyumnya benar-benar seperti
senyum malaikat.
"Kau
benar-benar keterlaluan," erangku. "Benarbenar monster."
Edward terkekeh.
"Jadi karena itu kau tidak mau menikah denganku?"
Lagi-lagi aku
mengerang. Edward mencondongkan tubuh ke arahku; bola matanya yang hitam pekat
melebur dan berapi-api, membuyarkan konsentrasiku. "Please, Bella?" desahnya.
Sejenak aku
sampai lupa bernapas. Begitu pulih kembali, aku buru-buru menggeleng, berusaha menjernihkan
pikiranku yang mendadak buntu.
"Apakah
akan lebih baik jika aku punya waktu untuk membelikanmu cincin?"
"Tidak!
Tidak usah ada cincin segala!" Bisa dibilang aku benar-benar berteriak.
“Uups.”
"Charlie
bangun; sebaiknya aku pulang," kata Edward dengan sikap menyerah.
Jantungku berhenti berdetak. Edward mengamati ekspresiku sesaat.
"Kekanak-kanakan
tidak, kalau aku bersembunyi di lemarimu?"
"Tidak,"
bisikku penuh semangat. "Tinggallah. Please."
Edward
tersenyum dan menghilang. Aku gelisah seperti cacing kepanasan dalam gelap,
menunggu Charlie datang mengecekku.
Edward tahu
persis apa yang ia lakukan, dan aku berani bertaruh, membuatku kaget adalah
bagian dari rencananya. Tentu saja aku masih punya pilihan membiarkan Carlisle
melakukannya, tapi sekarang setelah aku tahu ada kesempatan Edward mau
mengubahku sendiri, aku sangat
menginginkan
kesempatan itu. Curang benar Edward.
Pintu kamarku
membuka secelah.
"Pagi,
Dad."
"Oh, hai,
Bella." Charlie terdengar malu karena kepergok mengecek. "Sudah
bangun rupanya."
“Yeah. Sejak
tadi aku menunggu Dad bangun supaya bisa mandi." Aku beranjak bangun.
"Tunggu dulu,"
tukas Charlie, menyalakan lampu. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, silau oleh nyala
terang yang tiba-tiba, dan sehati-hati
mungkin
menjaga agar mataku tidak melirik terus ke lemari. "Kita bicara dulu
sebentar."
Aku tak mampu
tidak meringis. Aku lupa minta dicarikan alasan yang bagus oleh Alice.
“Kau tahu kau
dalam masalah besar."
“Yeah, aku
tahu."
“Aku sudah
seperti orang gila tiga hari terakhir ini. Pulang dari pemakaman Harry, aku
mendapati kau sudah pergi. Jacob hanya bisa mengatakan kau kabur bersama Alice
Cullen, dan menurut dia,
kau dalam kesulitan.
Kau tidak meninggalkan nomor telepon yang bisa dihubungi, dan kau juga tidak
menelepon. Aku tidak tahu di mana kau
berada atau
kapan— atau apakah—kau akan pulang. Tidak tahukah kau betapa. betapa.”
Charlie tak
sanggup menyelesaikan kalimatnya. Ia menarik napas tajam dan melanjutkan katakatanya.
"Bisakah
kau memberiku satu saja alasan mengapa aku tidak perlu mengirimmu ke Jacksonville
saat ini juga?"
Mataku menyipit.
Jadi mau main ancam nih? Aku juga bisa kalau begitu. Aku duduk tegaktegak, menarik
selimut yang menyelubungi tubuhku. "Karena aku tidak mau pergi."
"Tunggu
sebentar, young lady—"
"Begini,
Dad, aku menerima tanggung jawab penuh atas ulahku kemarin, dan Dad berhak menghukumku
selama yang Dad inginkan. Aku juga akan mengerjakan semua tugas rumah, termasuk
mencuci pakaian dan piring, sampai Dad menganggapku kapok. Dan menurutku, Dad
juga berhak mengusirku dari sini—tapi itu tidak akan membuatku pindah ke
Florida."
Wajah Charlie
langsung merah padam. Ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali sebelum menjawab.
"Kau mau
menjelaskan pergi ke mana kau kemarin?"
Oh, brengsek.
"Ada. masalah gawat."
Charlie mengangkat
alis, sudah menduga aku bakal memberi penjelasan yang brilian seperti itu. Aku
menggelembungkan pipi lalu
mengembuskannya
dengan suara keras. "Entah bagaimana aku bisa menamakannya, Dad. Intinya hanya
salah paham. Yang ini bilang begitu, yang itu bilang begini. Akhirnya jadi tak
terkendali.” Charlie menunggu dengan ekspres, tak percaya.
"Begini,
Alice mengatakan pada Rosalie tentang aku melompat dari tebing." Dengan
panik aku berusaha memberikan penjelasan masuk akal, sebisa mungkin tetap
menyatakan hal yang benar sehingga ketidakmampuanku berbohong dengan meyakinkan
takkan terlalu kentara, tapi belum lagi aku sempat melanjutkan ceritaku,
ekspresi Charlie mengingatkanku bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang masalah
lompat tebing itu. Ya ampun. Kayak aku belum kena masalah saja.
"Kurasa
aku belum menceritakan itu pada Dad," sergahku tercekat. "Bukan
apa-apa kok. Hanya iseng, berenang bersama Jake. Pokoknya begini, Rosalie lantas
memberi tahu Edward, dan Edward langsung kalap. Rosalie tanpa sengaja membuat ceritanya
terdengar seolah-olah aku mencoba bunuh diri atau semacamnya. Edward tidak mau
menjawab
teleponnya, jadi Alice menyeretku ke LA, untuk menjelaskan secara
langsung." Aku mengangkat bahu, sepenuh hati berharap semoga Charlie tidak
terlalu memerhatikan kekagokanku barusan sehingga tidak menyimak penjelasan brilian
yang kuberikan padanya.
Wajah Charlie
langsung membeku. "Memangnya kau benar-benar berniat bunuh diri,
Bella?"
“Tidak, tentu
saja tidak. Hanya bersenangsenang dengan Jake. Terjun dari tebing. Anak-anak La
Push sering melakukannya kok. Seperti kataku tadi, itu bukan apa-apa."
Wajah Charlie
memanas—dari membeku ke panas oleh amarah. "Lantas, maksudnya Edward Cullen
itu apa?" raungnya. “Selama ini, dia
meninggalkanmu
begitu saja tanpa penjelasan—"
Aku buru-buru
memotongnya. "Lagi-lagi salah paham."
Wajah Charlie
memerah lagi. "Jadi sekarang dia kembali?"
"Aku
belum tahu rencana pastinya bagaimana. Kalau tidak salah, mereka semua
kembali."
Charlie
menggeleng-gelengkan kepala, urat-urat nadi di keningnya menyembul. "Aku
ingin kau menjauhi dia, Bella. Aku tidak percaya padanya. Dia tidak baik
untukmu. Aku tidak akan membiarkannya merusakmu seperti itu lagi."
"Baiklah,"
sergahku judes.
Charlie bertumpu
pada tumitnya dan bergoyang maju-mundur. "Oh." Ia tergagap sesaat, mengembuskan
napas dengan suara keras karena
terkejut.
"Kusangka kau akan bersikap sulit."
"Memang."
Aku memandang lurus-lurus ke mata Charlie. "Maksudku, Baiklah, aku akan
keluar dari rumah ini.’”
Mata Charlie
melotot; wajahnya pucat pasi. Tekadku luntur saat aku mulai mengkhawatirkan kesehatannya.
Charlie kan tidak lebih muda
daripada Harry.
"Dad, aku
tidak ingin keluar dari rumah ini," kataku lebih lembut. "Aku sayang
pada Dad. Aku tahu Dad khawatir, tapi Dad harus percaya padaku dalam hal ini.
Dan Dad harus melunakkan sikap terhadap Edward kalau Dad ingin aku tetap
tinggal di sini. Dad ingin aku tinggal di sini atau tidak?”
"Itu
tidak adil, Bella. Kau tahu aku ingin kau tinggal di sini."
"Kalau
begitu bersikaplah baik pada Edward, karena di mana ada aku, di situ ada
dia." Aku mengucapkannya dengan sikap yakin. Keyakinan
yang kudapat
dari pencerahan itu masih kuat.
"Tidak di
rumahku," Charlie mengamuk. Aku mengembuskan napas berat. “Begini, aku memberi
ultimatum lagi pada Dad malam ini – atau
lebih tepatnya
pagi ini. Pikirkan saja dulu selama beberapa hari, oke? Tapi tolong diingat
bahwa Edward dan aku ibaratnya sudah satu paket.”
"Bella–"
"Pikirkan
dulu," aku bersikeras. "Dan sementara Dad memikirkannya, bisa tolong
beri aku privasi? Aku benar-benar harus mandi.”
Wajah Charlie
berubah warna menjadi ungu aneh, tapi ia keluar juga, membanting pintu
keraskeras. Kudengar ia berjalan mengentak-entakkan kaki menuruni tangga. Kulempar
selimutku, dan tahu-tahu saja Edward sudah di sana, duduk di kursi goyang,
seakanakan sudah di sana selama pembicaraanku dengan Charlie berlangsung.
"Maaf
soal tadi," bisikku.
"Bukan
berarti aku tidak pantas mendapatkan yang jauh lebih buruk," Edward balas
berbisik.
"Jangan
bertengkar dengan Charlie gara-gara aku, please."
"Sudahlah,
jangan khawatir," desahku sambil mengemasi peralatan mandi dan satu setel
pakaian bersih. "Aku akan bertengkar dengannya kalau memang perlu, tapi
tak lebih dari itu. Atau kau berusaha memberi tahuku bahwa kalau aku keluar dari
rumah ini, aku tidak diterima di tempatmu?"
Aku
membelalakkan mata, pura-pura kaget.
"Memangnya
kau mau pindah ke rumah penuh vampir?"
“Mungkin itu
tempat paling aman untuk orang seperti aku. Lagi pula." aku menyeringai.
"Kalau Charlie mengusirku, berarti tidak perlu menunggu sampai lulus,
kan?"
Rahang Edward
mengeras. "Begitu bersemangat ingin terkutuk selamanya," gerutunya.
“Kau tahu kau
tidak benar-benar meyakini itu."
“Oh, begitu
ya?" gerutunya.
"Tidak.
Kau tidak percaya."
Edward menatapku
tajam dan membuka mulut hendak bicara, tapi aku memotongnya.
"Kalau kau
benar-benar percaya kau telah kehilangan jiwamu, maka waktu aku menemukanmu di
Volterra, kau pasti langsung menyadari apa yang terjadi, bukannya mengira kita berdua
sudah sama-sama mati. Tapi kau tidak begitu—kau malah berkata 'Luar biasa.
Carlisle
benar,'"
aku mengingatkannya, merasa menang."Ternyata, kau masih berharap."
Sekali ini, Edward
tak mampu mengatakan apaapa. "Jadi marilah kita sama-sama berharap,
oke?" saranku. "Bukan berarti itu penting. Kalau ada kau, aku tidak
butuh surga." Pelan-pelan Edward bangkit, lalu merengkuh wajahku dengan
kedua tangan sambil menatap mataku lekat-lekat. "Selamanya," ia
bersumpah, masih sedikit terperangah.
"Hanya
itu yang kuminta," kataku, lalu berjinjit agar bisa menempelkan bibirku ke
bibirnya.
0 komentar:
Post a Comment