October 02, 2014

Baca Online New Moon part 2


2. JAHITAN
HANYA Carlisle yang tetap tenang. Pengalaman bekerja di UGD selama berabad-abad tergambar jelas dalam suaranya yang tenang dan berwibawa.
"Emmett, Rose, bawa Jasper keluar." Kali ini tanpa senyum, Emmett mengangguk.
"Ayolah, Jasper." Jasper meronta-ronta dalam cengkeraman Emmett, menggeliat-geliat, menyorongkan giginya ke arah saudaranya, matanya masih liar.
Wajah Edward pucat pasi saat ia menghambur dan membungkuk di atas tubuhku, posisinya jelas melindungi. Geraman rendah bernada memperingatkan terdengar dari sela-sela giginya yang terkatup rapat. Aku tahu ia tidak bernapas. Rosalie, wajah malaikatnya tampak puas, maju selangkah di depan Jasper—menjaga jarak dengan giginya—dan membantu Emmett menyeret Jasper keluar lewat pintu kaca yang dibukakan Esme, sebelah tangan menutup mulut dan hidungnya.
Wajah Esme yang berbentuk hati tampak malu.
"Akubenar-benar minta maaf, Bella," jeritnya sambil mengikuti yang lain-lain ke halaman.
"Beri aku jalan, Edward," gumam Carlisle. Sedetik berlalu, kemudian Edward mengangguk lambat-lambat dan merilekskan posisinya.
Carlisle berlutut di sebelahku, mencondongkan tubuh untuk memeriksa lenganku. Bisa kurasakan perasaan shock membeku di wajahku, jadi aku berusaha mengubahnya.
"Ini, Carlisle," kata Alice, mengulurkan handuk. Carlisle menggeleng. "Terlalu banyak serpihan kaca di lukanya." Ia mengulurkan tangan dan
merobek bagian bawah taplak meja putih menjadi kain panjang tipis. Dililitkannya kain itu di bawah siku untuk membentuk semacam bebat. Bau anyir darah membuat kepalaku pening. Telingaku berdenging.
"Bella," kata Carlisle lirih. "Kau mau aku mengantarmu ke rumah sakit, atau kau mau aku merawatnya di sini saja?"
"Di sini saja, please," bisikku. Kalau ia membawaku ke rumah sakit, cepat atau lambat Charlie pasti bakal tahu.
"Biar kuambilkan tasmu,” kata Alice.
"Mari kita bawa dia ke meja dapur," kata Carlisle pada Edward.
Edward mengangkatku dengan mudah, sementara Carlisle memegangi lenganku agar tetap stabil.
"Bagaimana keadaanmu, Bella?" tanya Carlisle.
"Baik-baik saja," Suaraku terdengar cukup mantap, dan itu membuatku senang.
Wajah Edward kaku seperti batu. Alice telah menunggu di sana. Tas Carlisle sudah diletakkan di meja, bersama lampu meja kecil yang menyala terang dicolokkan ke dinding. Edward mendudukkan aku dengan lembur ke kursi, sementara Carlisle menarik kursi lain. Ia langsung bekerja.
Edward berdiri di sampingku, sikapnya masih protektif, masih menahan napas.
"Pergilah, Edward," desahku.
"Aku bisa mengatasinya,” Edward bersikeras.
Tapi dagunya kaku; sorot matanya menyala-nyala oleh dahaga yang coba dilawannya sekuat tenaga, jauh lebih parah baginya ketimbang bagi yang lainlain.
"Kau tidak perlu sok jadi pahlawan," tukasku.
"Carlisle bisa mengobatiku tanpa bantuanmu. Pergilah dan hirup udara segar."
Aku meringis saat Carlisle melakukan sesuatu di lenganku yang rasanya perih.
"Aku akan tetap di sini," bantah Edward.
"Kenapa kau senang menyiksa diri sendiri?” gumamku.
Carlisle memutuskan menengahi. "Edward, lebih baik kau menemui Jasper sebelum dia jadi tak terkendali. Aku yakin dia marah pada dirinya
sendiri, dan aku ragu dia mau mendengarkan nasihat yang lain selain kau sekarang ini."
"Benar," dukungku penuh semangat. "Cari Jasper sana."
"Lebih baik kau melakukan sesuatu yang berguna," imbuh Alice.
Mata Edward menyipit karena kami mengeroyoknya seperti itu, tapi akhirnya ia mengangguk sekali dan berlari kecil dengan lincah melalui pintu dapur sebelah belakang. Aku yakin ia belum menarik napas sekali pun sejak jariku teriris tadi.
Perasaan kebas dan mati rasa menyebar di sekujur lenganku. Meski perihnya hilang, namun itu membuatku teringat pada lukaku, jadi kupandangi saja wajah Carlisle dengan saksama untuk mengalihkan pikiran dari apa yang dilakukan tangannya. Rambut Carlisle berkilau
emas di bawah cahaya lampu sementara ia membungkuk di atas lenganku. Bisa kurasakan secercah rasa mual mengaduk-aduk perutku, tapi aku bertekad takkan membiarkan kegelisahan menguasaiku. Sekarang tak ada lagi rasa sakit, yang ada hanya perasaan seperti ditarik-tarik yang berusaha kuabaikan. Tak ada alasan untuk muntah-muntah seperti bayi.
Seandainya tak berada dalam jangkauan pandanganku, aku pasti takkan menyadari Alice akhirnya menyerah dan menyelinap ke luar ruangan. Dengan senyum kecil meminta maaf, ia lenyap di balik pintu dapur.
"Well, itu berarti semuanya," desahku. "Aku bisa mengosongkan ruangan, paling tidak."
"Itu bukan salahmu," hibur Carlisle sambil terkekeh. "Itu bisa terjadi pada siapa pun."
"Bisa," ulangku. "Tapi biasanya hanya terjadi padaku."
Lagi-lagi Carlisle tertawa. Ketenangan sikap Carlisle jauh lebih menakjubkan saat dibandingkan reaksi yang lainnya. Tak tampak secercah pun kegugupan di wajahnya. Carlisle bekerja dengan gerakan-gerakan cepat dan mantap. Satu-satunya suara lain selain embusan napas kami yang pelan hanya bunyi kling kling saat pecahan-pecahan kecil kaca dijatuhkan satu demi satu ke meja.
"Bagaimana kau bisa melakukannya?" desakku.
"Bahkan Alice dan Esme." Aku tak menyelesaikan kata-kataku, hanya menggeleng heran. Walaupun mereka semua juga sudah meninggalkan diet tradisional vampir seperti halnya Carlisle, tapi hanya dia yang sanggup mencium aroma darah tanpa merasa tergoda sedikit pun untuk
mencicipinya. Jelas, itu jauh lebih sulit daripada yang terlihat.
"Latihan bertahun-tahun,” jawab Carlisle.
"Sekarang aku sudah hampir tidak menyadari baunya lagi.”
"Menurutmu, apakah akan lebih sulit bila kau cuti lama dari rumah sakit? Dan tidak selalu berdekatan dengan darah?"
"Mungkin," Carlisle mengangkat bahu, tapi kedua tangannya tetap mantap. "Aku tak pernah merasa perlu cuti lama-lama." Ia menyunggingkan senyum ceria ke arahku. "Aku terlalu menikmati
pekerjaanku."
Kling, kling, kling. Kaget juga aku melihat banyaknya serpihan kaca di lenganku. Aku tergoda untuk melirik tumpukan yang semakin bertambah, hanya untuk melihat ukurannya, tapi aku tahu ide itu takkan membantuku menahan keinginan untuk tidak muntah.
"Apa sebenarnya yang kaunikmati?" tanyaku.
Sungguh tak masuk akal—bertahun-tahun berjuang dan menyangkal diri untuk bisa mencapai suatu titik di mana ia bisa menahannya begitu mudah. Lagi pula aku ingin terus mengajaknya bicara; obrolan membantu mengalihkan pikiran dari perutku yang mual.
Bola mata Carlisle yang berwarna gelap tampak tenang dan merenung saat ia menjawab. "Hmm. Aku paling senang kalau. kemampuanku ini bisa membantu menyelamatkan orang yang kalau tidak kutolong pasti akan meninggal. Senang rasanya mengetahui bahwa, karena kemampuanku, kehidupan orang lain bisa jauh lebih baik karena aku ada. Bahkan indra penciumanku terkadang bisa menjadi perangkat diagnosis yang berguna."
Satu sisi mulutnya terangkat membentuk separo senyuman. Aku memikirkan hal itu sementara Carlisle mengorek-ngorek lukaku, memastikan semua serpihan kaca telah diambil Lalu ia merogoh-rogoh
tasnya, mencari peralatan baru, dan aku berusaha untuk tidak membayangkan jarum dan benang.
"Kau berusaha sangat keras membenahi sesuatu yang sebenarnya bukan salahmu," kataku sementara sensasi tarikan yang baru mulai terasa di pinggir-pinggir kulitku. "Maksudku, kau tidak minta dilahirkan seperti ini. Kau tidak memilih kehidupan seperti ini, tapi kau tetap berusaha sangat keras untuk menjalaninya dengan baik."
"Aku bukan hendak membenahi apa-apa,"
Carlisle menyanggah halus. "Seperti segalanya dalam hidup, aku hanya memutuskan hendak berbuat apa dengan kehidupan yang kumiliki sekarang."
"Kau membuatnya terdengar terlalu mudah."
Carlisle memeriksa lenganku lagi. "Nah, sudah," ujarnya, menggunting benang. "Sudah beres." Ia mengolesi kapas bertangkai ukuran besar dengan cairan sewarna sirup banyak-banyak, lalu membalurkannya dengan saksama di seluruh permukaan luka yang sudah dijahit. Baunya aneh; membuat kepalaku berputar. Cairan itu membuat kulitku perih.
"Tapi awalnya," desakku sementara Carlisle menempelkan kasa panjang menutupi luka, lalu merekatkannya ke kulitku. "Mengapa terpikir
olehmu untuk mencoba cara hidup yang lain selain yang lazim bagi kalian?"
Bibir Carlisle terkuak, membentuk senyum pribadi. "Edward tak pernah menceritakannya padamu?"
"Pernah. Tapi aku ingin memahami jalan pikiranmu."
Wajah Carlisle mendadak berubah serius lagi, dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah ia juga memikirkan hal yang sama. Bertanya-tanya apa yang akan kupikirkan saat—aku menolak berpikir itu hanya kemungkinan—itu terjadi padaku.
"Kau tahu ayahku pemuka agama," kenang Carlisle sambil membersihkan meja dengan hatihati, mengelap semuanya dengan kasa basah, kemudian mengulanginya lagi. Bau alkohol membakar rongga hidungku. "Dia memiliki pandangan yang agak keras terhadap dunia, hal
yang mulai kupertanyakan sebelum aku berubah."
Carlisle meletakkan semua kasa kotor dan serpihan kaca ke dalam mangkuk kristal kosong. Aku tidak mengerti maksudnya, sampai kemudian Carlisle menyalakan korek. Kemudian ia membuang batang korek api ke tumpukan kain yang basah oleh alkohol, dan api yang tiba-tiba menyala membuatku melompat kaget.
"Maaf,” katanya. "Nah, sudah. aku tidak sependapat dengan keyakinan yang dianut ayahku. Tapi tidak pernah, selama hampir empat ratus tahun sekarang sejak aku dilahirkan, aku melihat apa pun yang membuatku meragukan keberadaan Tuhan dalam wujud bagaimanapun. Bahkan bayangan dalam cermin pun tidak."
Aku pura-pura mengamati balutan di lenganku untuk menyembunyikan kekagetanku melihat arah pembicaraan kami. Agama adalah hal terakhir yang kuharapkan bakal menjadi jawabannya. Aku sendiri bisa dibilang tidak memiliki keyakinan. Charlie menganggap dirinya Lutheran, karena
itulah agama yang dianut kedua orangtuanya, tapi di hari Minggu ia beribadah di tepi sungai dengan joran dan pancing. Renee sesekali ke gereja, tapi sama seperti affair singkatnya dengan tenis, kerajinan tembikar, yoga, dan kursus bahasa Prancis, ia sudah tertarik pada hal lain saat aku baru mulai menyadari kegemaran barunya.
Aku yakin semua ini kedengarannya aneh, karena keluar dari mulut vampir. Carlisle nyengir, tahu penggunaan kata itu secara sambil lalu selalu berhasil membuatku shock. "Tapi aku berharap masih ada tujuan dalam hidup ini. bahkan bagi kami. Sulit memang, harus kuakui,” sambung Carlisle dengan nada tak acuh. "Bagaimanapun juga, kami telah dikutuk. Tapi aku berharap, dan mungkin ini harapan konyol, bahwa kami bisa mendapatkan sedikit penghargaan karena telah
mencoba."
"Menurutku itu tidak konyol," gumamku. Aku tak bisa membayangkan ada orang, termasuk Tuhan, yang tidak terkesan pada Carlisle. Lagi
pula, satu-satunya surga yang kuinginkan adalah yang ada Edward-nya. "Dan kurasa orang lain pun tak ada yang berpikir begitu."
"Sebenarnya, kau orang pertama yang sependapat denganku."
"Memangnya yang lain-lain tidak merasakan hal yang sama?" tanyaku, terkejut, pikiranku hanya tertuju pada satu orang secara khusus. Carlisle kembali menebak jalan pikiranku.
"Edward sependapat denganku sampai batas tertentu. Tuhan dan surga itu ada. begitu juga neraka. Tapi dia tidak percaya ada kehidupan setelah kematian untuk jenis kami," Suara Carlisle sangat lembut; ia memandang ke luar jendela besar di atas bak cuci, ke kegelapan. "Kau tahu, menurut dia, kami sudah kehilangan jiwa kami."
Aku langsung teringat kata-kata Edward siang tadi: kecuali kau memang ingin mati—atau apa sajalah istilahnya untuk kamu. Sebuah bola lampu
seakan menyala di kepalaku.
"Jadi itulah masalahnya, bukan?" aku menduga.
"Itulah sebabnya dia begitu sulit mengabulkan keinginanku."
Carlisle berbicara lambat-lambat. "Aku memandang. putraku. Kekuatannya, kebaikannya, kecemerlangan yang terpancar darinya—dan itu justru semakin mengobarkan semangat itu, keyakinan itu, lebih dari yang sudah-sudah. Bagaimana mungkin tidak ada kehidupan setelah kematian untuk makhluk sebaik Edward?"
Aku mengangguk penuh semangat, setuju. "Tapi kalau keyakinanku sama seperti Edward bahwa jiwa kami sudah hilang." Carlisle
menunduk memandangiku dengan sorot mata tak terbaca. "Seandainya kau meyakini hal yang sama seperti yang diyakininya. Tegakah kau merenggut jiwanya?"
Cara Carlisle memfrasekan pertanyaan itu menghalangi jawabanku. Seandainya ia bertanya apakah aku rela mempertaruhkan jiwaku untuk
Edward, jawabannya jelas. Tapi apakah aku rela mempertaruhkan jiwa Edward? Kukerucutkan bibirku dengan sikap tak suka. Itu bukan barter
yang adil.
"Sekarang kau mengerti masalahnya."
Aku menggeleng, sadar sifat keras kepalaku mulai muncul. Carlisle mendesah.
"Itu pilihanku,” aku berkeras.
"Itu juga pilihannya," Carlisle mengangkat tangan begitu melihatku hendak membantah.
"Terlepas dari apakah dia bertanggung jawab melakukan hal itu terhadapmu."
"Dia bukan satu-satunya yang bisa melakukannya," Kupandangi Carlisle dengan sikap spekulatif. Carlisle tertawa, ketegangan langsung mencair.
"Oh, tidak. Kau harus membereskan masalah ini dengan dia!' Tapi sejurus kemudian ia menghela napas panjang. "Itu bagian yang aku tidak akan pernah bisa yakin. Kupikir, dalam banyak hal lain, aku sudah melakukan yang terbaik dengan apa yang harus kulakukan. Tapi benarkah tindakanku yang membuat orang lain menjalani kehidupan
seperti ini? Aku tak bisa memutuskan."
Aku tidak menjawab. Aku membayangkan bagaimana jadinya hidupku seandainya Carlisle menolak godaan untuk mengubah keberadaannya
yang sendirian. dan bergidik.
"Ibu Edward-lah yang membuatku yakin dengan keputusanku" Suara Carlisle nyaris hanya bisikan. Matanya menerawang kosong ke luar jendela yang gelap.
"Ibunya?" Setiap kali aku bertanya kepada Edward tentang orangtuanya, ia hanya berkata mereka sudah lama meninggal dan ingatannya kabur. Sadarlah aku ingatan Carlisle terhadap orangtua Edward, meski pertemuan mereka sangat singkat, pastilah sangat jelas.
"Ya. Namanya Elizabeth. Elizabeth Masen. Ayahnya, Edward Senior, tidak pernah tersadar selama di rumah sakit. Dia meninggal saat gelombang pertama serangan influenza terjadi. Tapi Elizabeth sadar nyaris hingga menjelang meninggal. Edward mirip sekali dengannya—warna rambutnya juga pirang tembaga, begitu juga matanya, sama-sama hijau."
"Mata Edward dulu hijau?" gumamku, berusaha membayangkannya.
"Ya." Carlisle menerawang jauh. "Elizabeth sangat mengkhawatirkan putranya. Dia mempertaruhkan peluangnya untuk selamat dengan berusaha merawat Edward dalam keadaan sakit. Kusangka Edward-lah yang akan lebih dulu meninggal, kondisinya jauh lebih parah daripada ibunya. Saat maut menjemput Elizabeth, prosesnya sangat cepat. Kejadiannya tepat setelah matahari terbenam, dan aku datang untuk menggantikan para dokter yang sudah bekerja seharian. Saat itu rasanya sulit sekali berpura-pura—begitu banyak yang harus ditangani, dan aku tidak butuh istirahat. Betapa bencinya aku harus pulang ke
rumah, bersembunyi dalam gelap dan berpurapura tidur padahal begitu banyak orang yang sekarat.
"Pertama-tama aku pergi untuk mengecek keadaan Elizabeth dan putranya. Aku mulai merasa terikat pada mereka–hal yang berbahaya
mengingat kondisi manusia yang rapuh. Begitu melihatnya, aku langsung tahu kondisi Elizabeth semakin parah. Demamnya tak terkendali, dan tubuhnya sudah tak kuat lagi melawan. Tapi dia tidak tampak lemah, saat dia memandangiku dengan mata menyala-nyala dari ranjangnya.”
'"Selamatkan dia!' pintanya padaku dengan suara serak yang sanggup dikeluarkan tenggorokannya.” "Aku akan berusaha semampuku’ aku berjanji padanya, meraih tangannya. Demamnya tinggi sekali, hingga ia bahkan tak bisa merasakan tanganku yang sangat dingin itu. Semua terasa dingin di kulitnya.
“’Kau harus bisa,’ desaknya, mencengkeram tanganku begitu kuat hingga aku bertanya-tanya dalam hati apakah ia bisa selamat dari krisis ini. Matanya keras, seperti batu, seperti zambrud. 'Kau harus melakukan semua yang mampu kaulakukan. Apa yang orang lain tidak bisa, itulah
yang harus kaulakukan untuk Edward-ku.”
“Aku ketakutan. Dia menatapku dengan matanya yang tajam menusuk, dan, sesaat, aku yakin dia tahu rahasiaku. Kemudian demam menguasainya, dan dia tak pernah sadar lagi. Dia meninggal hanya satu jam setelah mengutarakan tuntutannya padaku. Berpuluh-puluh tahun lamanya aku mempertimbangkan untuk menciptakan pendamping untuk hidupku. Hanya satu makhluk lain yang bisa benar-benar mengenalku, bukan aku yang berpura-pura. Tapi aku tak pernah bisa menemukan pembenaran untukku – melakukan seperti yang pernah dilakukan terhadapku.
"Lalu di sanalah Edward berbaring, sekarat. Jelas sekali dia hanya punya waktu beberapa jam. Di sampingnya terbaring ibunya, entah bagaimana wajahnya tetap tidak tampak tenang, meski dalam kematian."
Carlisle seperti melihat lagi semuanya, kenangannya tidak pudar meski seabad telah berlalu. Aku juga bisa melihatnya dengan jelas, saat Carlisle bicara—“keputusasaan yang melingkupi rumah sakit, atmosfer kematian yang terlampau kuat. Tubuh Edward panas membara oleh demam, nyawanya terancam seiring dengan detik-detik yang berjalan. sekujur tubuhku lagilagi bergidik, mengenyahkan bayangan itu dari
pikiranku.
"Kata-kata Elizabeth terngiang-ngiang di kepalaku. Bagaimana dia bisa menebak apa yang bisa kulakukan? Mungkinkah ada orang yang benar-benar menginginkan hal itu untuk anaknya?
"Kupandangi Edward. Meski sakit keras, dia tetap tampan. Ada sesuatu yang murni dan indah tergambar di wajahnya. Seperti yang kuinginkan di wajah anakku kalau aku punya anak. Setelah bertahun-tahun tak bisa memutuskan, aku langsung bertindak tanpa berpikir lagi. Pertama-tama, kudorong dulu jenazah ibunya ke kamar mayat, lalu aku kembali untuk menjemput Edward. Saat itu rumah sakit kekurangan tenaga dan perhatian untuk menangani setengah saja kebutuhan para pasien. Kamar mayat kosong—dari orang hidup, paling tidak. Diam-diam kubawa Edward keluar dari pintu belakang, kugendong melewati atap-atap rumah, kembali ke rumahku.
"Aku tidak tahu harus bagaimana. Kuputuskan untuk membuat kembali luka seperti yang pernah kuterima dulu, beberapa abad sebelumnya di London. Belakangan, aku merasa bersalah. Luka itu lebih menyakitkan dan lebih lama sembuh daripada yang sebenarnya diperlukan.
"Tapi aku tidak menyesal. Aku tidak pernah menyesal telah menyelamatkan Edward," Carlisle menggeleng, kembali ke masa kini. Ia tersenyum padaku. "Kurasa sebaiknya kuantar kau pulang
sekarang."
"Biar aku saja," kata Edward. Ia muncul dari arah ruang makan yang remang-remang, berjalan lambat-lambat untuk ukurannya. Wajahnya datar, ekspresinya tak terbaca, tapi ada yang tidak beres dengan matanya—sesuatu yang coba disembunyikannya sekuat tenaga. Aku merasa perutku seperti diaduk-aduk.
"Carlisle bisa mengantarku," kataku. Aku menunduk memandang kemejaku; bahan katun biru mudanya basah oleh bercak-bercak darah.
Bahu kananku berlepotan krim gula warna pink.
"Aku tidak apa-apa," Suara Edward datar tanpa emosi. "Kau toh perlu ganti baju. Bisa-bisa Charlie terkena serangan jantung kalau melihatmu seperti itu. Akan kuminta Alice mencarikan baju untukmu." Edward berjalan lagi keluar dari pintu dapur.
Kupandangi Carlisle dengan sikap waswas. "Dia kalut sekali."
"Memang," Carlisle sependapat. "Yang terjadi malam ini adalah apa yang paling ditakutinya bakal terjadi. Membahayakanmu, karena keadaan kami yang seperti ini."
"Itu bukan salahnya."
"Bukan salahmu juga."
Aku mengalihkan tatapanku dan mata Carlisle yang indah dan bijak. Aku tidak sependapat dengannya.
Carlisle mengulurkan tangan dan membantuku berdiri. Kuikuti dia ke ruang utama. Esme sudah kembali; sedang mengepel lantai tempatku jatuh tadi—dengan cairan desinfektan murni tanpa campuran kalau menilik dari baunya.
"Esme, biar aku saja," Bisa kurasakan wajahku kembali merah padam.
"Aku sudah selesai." Esme mendongak dan tersenyum padaku. "Bagaimana keadaanmu?"
"Baik-baik saja," aku meyakinkan dia. "Carlisle menjahit lebih cepat daripada dokter lain yang pernah menanganiku."
Mereka berdua tertawa. Alice dan Edward muncul dari pintu belakang.
Alice bergegas mendapatiku, tapi Edward berdiri agak jauh, ekspresinya sulit digambarkan.
"Ayolah," ajak Alice. "Akan kucarikan sesuatu yang tidak begitu mengerikan untuk dipakai."
Alice menemukan kemeja Esme yang warnanya mendekati warna bajuku tadi. Charlie tak bakal memerhatikan, aku yakin. Perban putih panjang di lenganku tidak tampak terlalu serius setelah aku tak lagi memakai baju yang berlepotan bercak darah. Charlie toh tak pernah terkejut melihatku diperban.
“Alice," bisikku saat ia kembali berjalan menuju pintu.
"Ya?" Suara Alice tetap pelan, memandangiku dengan sikap ingin tahu, kepalanya ditelengkan ke satu sisi.
"Seberapa parah?" Aku tak yakin apakah berbisik-bisik begini ada gunanya. Walaupun kami di lantai atas, dengan pintu tertutup, mungkin ia tetap bisa mendengarku.
Wajah Alice menegang. "Aku belum bisa memastikan."
"Jasper bagaimana?"
Alice mendesah. "Dia sangat kesal pada dirinya sendiri. Itu memang lebih sulit baginya dibanding bagi yang lain, dan dia tidak suka merasa diri lemah."
"Itu bukan salahnya. Bisa tolong katakan padanya aku tidak marah, sama sekali tidak marah padanya, bisa, kan?"
"Tentu saja."
Edward menungguku di pintu depan. Begitu aku sampai di kaki tangga, ia membukakan pintu tanpa sepatah kata pun.
"Bawa barang-barangmu!" pekik Alice waktu aku berjalan waswas menghampiri Edward. Ia meraup kedua bungkusan, yang satu baru separo terbuka, serta kameraku dari bawah piano, dan menjejalkan semuanya ke lekukan lenganku yang tidak terluka.
"Kau bisa mengucapkan terima kasih belakangan, kalau sudah membuka kado-kadomu!”
Esme dan Carlisle mengucapkan selamat malam dengan suara pelan. Sempat kulihat mereka diam diam melirik putra mereka yang diam seribu bahasa, sama seperti aku.
Lega rasanya berada di luar; aku bergegas melewati deretan lentera dan mawar yang kini mengingatkanku pada peristiwa tak mengenakkan
tadi. Edward berjalan di sampingku tanpa bicara. Ia membukakan pintu penumpang untukku, dan aku naik tanpa protes.
Di atas dasbor terpasang pita merah besar, menempel di stereo yang baru. Kurenggut pita itu dan kubuang ke lantai. Waktu Edward naik di
sampingku, kutendang pita itu ke bawah kursi. Edward tidak melihat ke arahku ataupun stereo itu. Kami juga tidak menyalakannya, dan entah
bagaimana kesunyian justru semakin terasa oleh raungan mesin yang tiba-tiba. Edward ngebut terlalu kencang melintasi jalan yang gelap dan
berkelok-kelok. Kesunyian itu membuatku sinting.
“Katakan sesuatu," pintaku akhirnya saat
Edward berbelok memasuki jalan raya.
"Kau ingin aku bilang apa?" tanyanya dengan sikap menjauh.
Aku meringis melihat sikapnya yang tak mau mendekat. "Katakan kau memaafkan aku."
Perkataanku itu menimbulkan secercah kehidupan di wajahnya—secercah amarah.
"Memaafkanmu? Untuk apa?"
"Seandainya aku lebih berhati-hati, tidak akan terjadi apa-apa.”
"Bella, jarimu hanya teriris kertas—itu bukan alasan untuk mendapat hukuman mati."
"Tetap saja aku yang salah." Kata-kataku seolah membobol bendungan.
"Kau yang salah? Kalau jarimu teriris kertas di rumah Mike Newton, dan di sana ada Jessica, Angela, dan teman-teman normalmu lainnya, apa
hal terburuk yang mungkin terjadi? Mungkin mereka tidak bisa menemukan plester untukmu?
Kalau kau terpeleset dan menabrak tumpukan piring kaca karena ulahmu sendiri—bukan karena ada yang mendorongmu—bahkan saat itu pun, hal terburuk apa yang bisa terjadi? Paling-paling darahmu berceceran mengotori jok mobil saat mereka mengantarmu ke UGD? Mike Newton bisa memegangi tanganmu saat dokter menjahitmu— dan dia tidak perlu berjuang melawan dorongan untuk membunuhmu selama berada di sana.
Jangan menyalahkan dirimu sendiri dalam hal ini, Bella. Itu hanya akan membuatku semakin jijik pada diriku sendiri."
"Bagaimana bisa Mike Newton dibawa-bawa dalam pembicaraan ini?" tuntutku.
"Mike Newton dibawa-bawa dalam pembicaraan ini karena akan jauh lebih aman kalau kau berpacaran saja dengan Mike Newton," geram
Edward.
"Lebih baik mati daripada berpacaran dengan Mike Newton." protesku. "Aku lebih baik mati daripada berpacaran dengan orang lain selain kau.”
"Jangan sok melodramatis, please"
"Kalau begitu, kau juga tidak usah ngomong yang bukan-bukan."
Edward tidak menjawab. Ia menatap garang ke luar kaca, ekspresinya kosong. Aku memeras otak, mencari cara untuk menyelamatkan malam ini. Tapi sampai truk berhenti di depan rumahku, aku masih belum
menemukan caranya.
"Kau akan menginap malam ini?" tanyaku.
"Sebaiknya aku pulang."
Hal terakhir yang kuinginkan adalah Edward berkubang dalam perasaan bersalah. "Untuk ulang tahunku," desakku.
"Tidak bisa dua-duanya—kau ingin orang mengabaikan hari ulang tahunmu atau tidak. Pilih salah satu," Nadanya kaku, tapi tidak seserius
sebelumnya. Diam-diam aku mengembuskan napas lega.
"Oke. Aku sudah memutuskan aku tidak mau kau mengabaikan hari ulang tahunku. Kutunggu kau di atas."
Aku melompat turun, meraih kado-kadoku. Edward mengerutkan kening.
"Kau tidak perlu membawanya."
“Aku menginginkannya," jawabku otomatis, kemudian bertanya-tanya dalam hati apakah Edward menggunakan teknik psikologi terbalik.
“Tidak, itu tidak benar. Carlisle dan Esme mengeluarkan uang untuk membeli kadomu."
"Tidak apa-apa," Kudekap kado-kado itu dengan kikuk di bawah lenganku yang tidak terluka, lalu membanting pintu mobil. Kurang dari satu detik Edward sudah keluar dari mobil dan berdiri di sampingku.
"Biar kubawakan paling tidak," katanya sambil mengambil kado-kado itu dari pelukanku. "Aku akan menemuimu di kamarmu."
Aku tersenyum. "Trims."
"Selamat ulang tahun," bisik Edward, lalu membungkuk untuk menempelkan bibirnya ke bibirku. Aku berjinjit agar bisa berciuman lebih lama, tapi Edward melepaskan bibirnya. Ia menyunggingkan senyum separonya yang sangat kusukai itu, lalu menghilang di balik kegelapan.
Pertandingan masih berlangsung; begitu berjalan memasuki pintu depan, aku langsung bisa mendengar suara komentator meningkahi soraksorai penonton di televisi.
"Bell?" seru Charlie.
"Hai, Dad," balasku, muncul dari sudut ruangan. Kurapatkan lenganku ke sisi tubuh. Tekanan itu membuat lukaku berdenyut-denyut, dan aku
mengerutkan hidung. Anestesinya mulai kehilangan pengaruhnya ternyata.
"Bagaimana pestanya?" Charlie tidur-tiduran di sofa dengan kaki ditumpangkan di lengan sofa. Rambut cokelat keritingnya kempis di satu sisi.
"Alice merajalela. Bunga, kue tart, lilin, kado—pokoknya komplet."
"Mereka memberimu kado apa?"
"Stereo untuk trukku." Dan beberapa kado lain yang belum diketahui isinya.
"Wow"
"Yeah," aku sependapat. "Well, aku mau tidur dulu." "Sampai besok pagi." Aku melambaikan tangan. "Sampai besok."
"Lenganmu kenapa?" Wajahku kontan memerah dan mulutku memaki
"Aku tadi tersandung. Nggak apa-apa kok"
"Bella," Charlie mendesah, menggelenggelengkan kepala.
"Selamat malam, Dad."
Aku bergegas masuk ke kamar mandi, tempatku menyimpan piamaku sebagai persiapan untuk malam-malam seperti ini. Aku memakai tank top dan celana katun sebagai ganti sweter bolongbolong yang biasa kupakai tidur, meringis saat gerakanku membuat jahitan di lenganku tertarik.
Dengan satu tangan aku mencuci muka, menyikat gigi, lalu cepat-cepat masuk ke kamar. Ia sudah duduk di tengah-tengah tempat tidur, malas-malasan mempermainkan salah satu kado perakku.
"Hai," sapanya. Suaranya sedih. Ia masih menyalahkan dirinya sendiri.
Aku naik ke tempat tidur, menyingkirkan kadokado itu dan tangan Edward, lalu naik ke pangkuannya.
"Hai," Aku meringkuk di dadanya yang sekeras batu. "Boleh kubuka kadoku sekarang?"
"Mengapa tahu-tahu kau antusias begini?" tanyanya.
"Kau membuatku ingin tahu."
Kuambil kotak persegi panjang tipis yang pasti kado dari Carlisle dan Esme.
"Biar aku saja," saran Edward. Diambilnya kado itu dan tanganku dan dirobeknya kertas perak pembungkusnya dengan satu gerakan luwes. Lalu ia menyodorkan kotak putih persegi empat itu padaku.
"Kau yakin aku bisa mengangkat tutup kotaknya?" sindirku, tapi Edward tak mengacuhkan sindiranku.
Kotak itu berisi selembar kertas panjang dan tebal, penuh berisi tulisan. Butuh waktu semenit baru aku bisa mencerna informasi yang tertulis di
sana.
"Kita akan pergi ke Jacksonville?" Aku girang bukan main, meski sebenarnya tidak ingin. Kadonya berupa voucher tiket pesawat, untukku
dan Edward.
"Begitulah idenya."
"Aku tak percaya. Renee bakal girang setengah mati! Tapi kau tidak keberatan, kan? Di sana panas terik, jadi kau harus berada di dalam rumah seharian"
"Kurasa itu bisa diatasi," kata Edward, tapi keningnya berkerut. "Seandainya aku tahu kau akan bereaksi seperti ini, aku akan menyuruhmu membukanya di depan Carlisle dan Esme. Kusangka kau bakal protes."
"Well, tentu saja ini berlebihan. Tapi aku bisa pergi bersamamu!"
Edward tertawa kecil. "Tahu begitu, aku akan mengeluarkan uang untuk membeli kadomu. Ternyata kau masih bisa berpikir sehat."
Aku menyingkirkan tiket-tiket itu dan meraih kado dari Edward, rasa ingin tahuku muncul lagi. Edward mengambilnya dariku dan membuka
bungkusnya seperti kado pertama tadi. Ia menyerahkan padaku kotak CD bening, dengan CD kosong di dalamnya.
"Apa ini?" tanyaku, heran. Edward tidak berkata apa-apa; dikeluarkannya CD itu lalu dimasukkannya ke CD player di atas nakas. Tangannya menekan tombol play dan kami menunggu dalam kesunyian. Lalu musik mulai mengalun.
Aku mendengarkan, tak mampu berkata apaapa, mataku terbelalak lebar. Aku tahu ia menunggu reaksiku, tapi aku tak sanggup bicara.
Air mataku menggenang, dan aku mengangkat tangan untuk menyekanya sebelum jatuh menetes di pipi.
“Lenganmu sakit?” tanya Edward waswas.
"Tidak, ini bukan karena lenganku. Indah sekali, Edward. Tak ada kado lain yang bisa kauberikan yang lebih kusukai daripada ini. Aku tak percaya."
Lalu aku diam, supaya bisa mendengarkan. CD itu berisi rekaman musiknya, komposisinya. Musik pertama di CD itu adalah lagu ninaboboku.
“Kupikir kau tidak akan membiarkanku membelikanmu piano supaya aku bisa memainkannya untukmu di sini," Edward menjelaskan.
"Kau benar"
"Lenganmu bagaimana?"
"Baik-baik saja," Sebenarnya, lukaku mulai terasa panas di balik perban. Aku ingin mengompresnya dengan es batu. Sebenarnya aku bisa menggunakan tangan Edward, tapi itu bakal membuatnya tahu aku kesakitan.
"Aku akan mengambilkan Tylenol untukmu."
"Aku tidak butuh apa-apa," protesku, tapi Edward sudah menurunkan aku dari pangkuannya dan berjalan ke pintu.
"Charlie," desisku. Charlie tidak tahu Edward sering menginap di kamarku. Sebenarnya, bisabisa ia terserang stroke bila aku memberi tahunya.
Tapi aku tidak merasa terlalu bersalah telah memperdaya ayahku. Soalnya, kami toh tidak melakukan apa-apa yang dilarang olehnya. Edward dan aturan-aturannya.
“Dia tidak akan menangkap basah aku," janji Edward sebelum lenyap tanpa suara di balik pintu. dan kembali sejurus kemudian, memegangi
pintu sebelum sempat menutup kembali. Ia memegang gelas kumur yang diambilnya dari kamar mandi serta sebotol pil di satu tangan.
Aku menerima pil-pil yang disodorkannya tanpa membantah—aku tahu paling-paling aku bakal kalah berdebat dengannya. Dan lenganku mulai
benar-benar nyeri.
Lagu ninaboboku terus mengalun, lembut dan lirih, di latar belakang.
"Sudah malam," kata Edward. Ia meraup dan menggendongku dengan satu tangan, sementara tangan satunya membuka penutup tempat tidur.
Lalu ia membaringkanku dengan posisi kepala di atas bantal, kemudian menyelimutiku. Ia berbaring di sebelahku—di atas selimut agar aku tidak
kedinginan— dan meletakkan lengannya di atas tubuhku.
Aku menyandarkan kepala di bahunya dan mengembuskan napas bahagia.
"Terima kasih sekali lagi," bisikku.
"Terima kasih kembali."
Sejenak suasana sunyi sementara aku mendengarkan lagu ninaboboku berakhir. Lagu lain mulai. Aku mengenalinya sebagai lagu favorit Esme.
"Kau sedang memikirkan apa?" bisikku.
Edward ragu-ragu sejenak sebelum menjawab.
"Sebenarnya, aku sedang berpikir tentang apa yang benar dan yang salah."
Aku merasakan sekujur tubuhku bergidik.
"Kau ingat kan, aku tadi memutuskan ingin kau tidak mengabaikan hari ulang tahunku?" aku buru-buru bertanya, berharap ia tidak tahu aku berusaha mengalihkan perhatiannya.
“Ya," Edward sependapat, waspada.
Well, aku sedang berpikir-pikir, karena sekarang masih hari ulang tahunku, aku ingin kau menciumku lagi."
“Kau serakah malam ini."
"Ya, memang—tapi please, jangan lakukan apa pun yang tidak ingin kaulakukan," aku menambahkan, kesal.
Edward tertawa, kemudian mendesah. "Semoga surga mencegahku melakukan hal-hal yang tidak ingin kulakukan," katanya dengan nada putus asa yang aneh saat ia meletakkan tangannya di bawah
daguku dan mendongakkan wajahku.
Ciuman kami diawali seperti biasa—Edward tetap sehati-hati biasanya, dan seperti biasa pula, jantungku mulai bereaksi berlebihan. Kemudian
sesuatu sepertinya berubah. Tiba-tiba saja bibir Edward melumat bibirku lebih ganas, tangannya menyusup masuk ke rambutku dan mendekap
wajahku erat-erat. Dan, walaupun tanganku juga menyusup masuk ke rambutnya, dan meski jelas aku mulai melanggar batas kehati-hatiannya, namun sekali ini ia tidak menghentikanku.
Tubuhnya dingin di balik selimut yang tipis, tapi aku menempelkan tubuhku erat-erat ke tubuhnya. Ia berhenti begitu tiba-tiba; didorongnya aku dengan kedua tangan yang lembut tapi tegas. Aku terhenyak ke atas bantal, terengah-engah, kepalaku berputar. Sesuatu menarik-narik
ingatanku, tapi aku tak kunjung bisa meraihnya.
"Maaf," kata Edward, napasnya juga terengahengah.
"Itu tadi sudah melanggar batas."
“Aku tidak keberatan," kataku megap-megap.
Edward mengerutkan kening padaku dalam gelap. "Cobalah untuk tidur, Bella."
"Tidak, aku ingin kau menciumku lagi."
“Kau menilai pengendalian diriku kelewat tinggi."
"Mana yang lebih membuatmu tergoda, darahku atau tubuhku?" tantangku.
"Dua-duanya," Edward nyengir sekilas, meski sebenarnya tak ingin, lalu kembali serius.
"Sekarang, bagaimana kalau kau berhenti mempertaruhkan peruntunganmu dan pergi tidur?"
"Baiklah," aku setuju, meringkuk lebih rapat padanya. Aku benar-benar lelah. Ini hari yang panjang dalam banyak hal, namun aku tidak merasa lega saat hari ini berakhir. Seakan-akan ada hal lain yang lebih buruk bakal terjadi besok.
Firasat konyol—kejadian apa yang lebih buruk daripada hari ini tadi? Pasti hanya karena aku shock. Berusaha agar tidak ketahuan, aku menempelkan lenganku yang sakit di bahu Edward, supaya kulitnya yang dingin bisa meredakan sakitku. Seketika itu juga nyerinya hilang. Aku sudah hampir tertidur, mungkin malah sudah separo tidur, waktu mendadak aku sadar ciuman Edward tadi mengingatkan aku pada apa: musim semi lalu, ketika harus meninggalkanku untuk menyesatkan James, Edward memberiku ciuman perpisahan, tidak tahu kapan—atau

apakah—kami akan bertemu lagi. Ciuman tadi juga nyaris terasa menyakitkan, seperti ciuman itu, meski entah untuk alasan apa, aku tak bisa membayangkannya. Aku bergidik dalam tidurku, seolah-olah aku sudah mengalami mimpi buruk.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates