Baca Online New Moon part 2
2.
JAHITAN
HANYA Carlisle
yang tetap tenang. Pengalaman bekerja di UGD selama berabad-abad tergambar jelas
dalam suaranya yang tenang dan berwibawa.
"Emmett,
Rose, bawa Jasper keluar." Kali ini tanpa senyum, Emmett mengangguk.
"Ayolah,
Jasper." Jasper meronta-ronta dalam cengkeraman Emmett, menggeliat-geliat,
menyorongkan giginya ke arah saudaranya, matanya masih liar.
Wajah Edward
pucat pasi saat ia menghambur dan membungkuk di atas tubuhku, posisinya jelas melindungi.
Geraman rendah bernada memperingatkan terdengar dari sela-sela giginya yang
terkatup rapat. Aku tahu ia tidak bernapas. Rosalie, wajah malaikatnya tampak
puas, maju selangkah di depan Jasper—menjaga jarak dengan giginya—dan membantu
Emmett menyeret Jasper keluar lewat pintu kaca yang dibukakan Esme, sebelah
tangan menutup mulut dan hidungnya.
Wajah Esme
yang berbentuk hati tampak malu.
"Akubenar-benar
minta maaf, Bella," jeritnya sambil
mengikuti yang lain-lain ke halaman.
"Beri aku
jalan, Edward," gumam Carlisle. Sedetik berlalu, kemudian Edward
mengangguk lambat-lambat dan merilekskan posisinya.
Carlisle berlutut
di sebelahku, mencondongkan tubuh untuk memeriksa lenganku. Bisa kurasakan perasaan
shock membeku
di wajahku, jadi aku berusaha mengubahnya.
"Ini,
Carlisle," kata Alice, mengulurkan handuk. Carlisle menggeleng.
"Terlalu banyak serpihan kaca di lukanya." Ia mengulurkan tangan dan
merobek bagian
bawah taplak meja putih menjadi kain panjang tipis. Dililitkannya kain itu di
bawah siku untuk membentuk semacam bebat. Bau anyir darah membuat kepalaku
pening. Telingaku berdenging.
"Bella,"
kata Carlisle lirih. "Kau mau aku mengantarmu ke rumah sakit, atau kau mau
aku merawatnya di sini saja?"
"Di sini
saja, please,"
bisikku. Kalau ia membawaku ke rumah sakit, cepat atau lambat Charlie pasti
bakal tahu.
"Biar
kuambilkan tasmu,” kata Alice.
"Mari
kita bawa dia ke meja dapur," kata Carlisle pada Edward.
Edward
mengangkatku dengan mudah, sementara Carlisle memegangi lenganku agar tetap stabil.
"Bagaimana
keadaanmu, Bella?" tanya Carlisle.
"Baik-baik
saja," Suaraku terdengar cukup mantap, dan itu membuatku senang.
Wajah Edward
kaku seperti batu. Alice telah menunggu di sana. Tas Carlisle sudah diletakkan
di meja, bersama lampu meja kecil yang menyala terang dicolokkan ke dinding.
Edward mendudukkan aku dengan lembur ke kursi, sementara Carlisle menarik kursi
lain. Ia langsung bekerja.
Edward berdiri
di sampingku, sikapnya masih protektif, masih menahan napas.
"Pergilah,
Edward," desahku.
"Aku bisa
mengatasinya,” Edward bersikeras.
Tapi dagunya
kaku; sorot matanya menyala-nyala oleh dahaga yang coba dilawannya sekuat
tenaga, jauh lebih parah baginya ketimbang bagi yang lainlain.
"Kau
tidak perlu sok jadi pahlawan," tukasku.
"Carlisle
bisa mengobatiku tanpa bantuanmu. Pergilah dan hirup udara segar."
Aku meringis
saat Carlisle melakukan sesuatu di lenganku yang rasanya perih.
"Aku akan
tetap di sini," bantah Edward.
"Kenapa
kau senang menyiksa diri sendiri?” gumamku.
Carlisle memutuskan
menengahi. "Edward, lebih baik kau menemui Jasper sebelum dia jadi tak terkendali.
Aku yakin dia marah pada dirinya
sendiri, dan
aku ragu dia mau mendengarkan nasihat yang lain selain kau sekarang ini."
"Benar,"
dukungku penuh semangat. "Cari Jasper sana."
"Lebih baik
kau melakukan sesuatu yang berguna," imbuh Alice.
Mata Edward
menyipit karena kami mengeroyoknya seperti itu, tapi akhirnya ia mengangguk
sekali dan berlari kecil dengan lincah melalui pintu dapur sebelah belakang.
Aku yakin ia belum menarik napas sekali pun sejak jariku teriris tadi.
Perasaan kebas
dan mati rasa menyebar di sekujur lenganku. Meski perihnya hilang, namun itu
membuatku teringat pada lukaku, jadi kupandangi saja wajah Carlisle dengan
saksama untuk mengalihkan pikiran dari apa yang dilakukan tangannya. Rambut
Carlisle berkilau
emas di bawah
cahaya lampu sementara ia membungkuk di atas lenganku. Bisa kurasakan secercah
rasa mual mengaduk-aduk perutku, tapi aku bertekad takkan membiarkan
kegelisahan menguasaiku. Sekarang tak ada lagi rasa sakit, yang ada hanya perasaan
seperti ditarik-tarik yang berusaha kuabaikan. Tak ada alasan untuk muntah-muntah
seperti bayi.
Seandainya tak
berada dalam jangkauan pandanganku, aku pasti takkan menyadari Alice akhirnya
menyerah dan menyelinap ke luar ruangan. Dengan senyum kecil meminta maaf, ia lenyap
di balik pintu dapur.
"Well, itu berarti semuanya,"
desahku. "Aku bisa mengosongkan ruangan, paling tidak."
"Itu
bukan salahmu," hibur Carlisle sambil terkekeh. "Itu bisa terjadi
pada siapa pun."
"Bisa," ulangku. "Tapi
biasanya hanya terjadi padaku."
Lagi-lagi
Carlisle tertawa. Ketenangan sikap Carlisle jauh lebih menakjubkan saat
dibandingkan reaksi yang lainnya. Tak tampak secercah pun kegugupan di wajahnya.
Carlisle bekerja dengan gerakan-gerakan cepat dan mantap. Satu-satunya suara
lain selain embusan napas kami yang pelan hanya bunyi kling kling saat pecahan-pecahan
kecil kaca dijatuhkan satu demi satu ke meja.
"Bagaimana
kau bisa melakukannya?" desakku.
"Bahkan
Alice dan Esme." Aku tak menyelesaikan kata-kataku, hanya menggeleng
heran. Walaupun mereka semua juga sudah meninggalkan diet tradisional vampir
seperti halnya Carlisle, tapi hanya dia yang sanggup mencium aroma darah tanpa
merasa tergoda sedikit pun untuk
mencicipinya.
Jelas, itu jauh lebih sulit daripada yang terlihat.
"Latihan
bertahun-tahun,” jawab Carlisle.
"Sekarang
aku sudah hampir tidak menyadari baunya
lagi.”
"Menurutmu,
apakah akan lebih sulit bila kau cuti lama dari rumah sakit? Dan tidak selalu berdekatan
dengan darah?"
"Mungkin,"
Carlisle mengangkat bahu, tapi kedua tangannya tetap mantap. "Aku tak
pernah merasa perlu cuti lama-lama." Ia menyunggingkan senyum ceria ke
arahku. "Aku terlalu menikmati
pekerjaanku."
Kling, kling,
kling. Kaget juga aku melihat banyaknya serpihan kaca di lenganku. Aku tergoda untuk
melirik tumpukan yang semakin bertambah, hanya untuk melihat ukurannya, tapi
aku tahu ide itu takkan membantuku menahan keinginan untuk tidak muntah.
"Apa
sebenarnya yang kaunikmati?" tanyaku.
Sungguh tak
masuk akal—bertahun-tahun berjuang dan menyangkal diri untuk bisa mencapai suatu
titik di mana ia bisa menahannya begitu mudah. Lagi pula aku ingin terus
mengajaknya bicara; obrolan membantu mengalihkan pikiran dari perutku yang
mual.
Bola mata Carlisle
yang berwarna gelap tampak tenang dan merenung saat ia menjawab. "Hmm. Aku
paling senang kalau. kemampuanku ini bisa membantu menyelamatkan orang yang
kalau tidak kutolong pasti akan meninggal. Senang rasanya mengetahui bahwa,
karena kemampuanku, kehidupan orang lain bisa jauh lebih baik karena aku ada.
Bahkan indra penciumanku terkadang bisa menjadi perangkat diagnosis yang
berguna."
Satu sisi mulutnya
terangkat membentuk separo senyuman. Aku memikirkan hal itu sementara Carlisle
mengorek-ngorek lukaku, memastikan semua serpihan kaca telah diambil Lalu ia
merogoh-rogoh
tasnya,
mencari peralatan baru, dan aku berusaha untuk tidak membayangkan jarum dan
benang.
"Kau
berusaha sangat keras membenahi sesuatu yang sebenarnya bukan salahmu,"
kataku sementara sensasi tarikan yang baru mulai terasa di pinggir-pinggir
kulitku. "Maksudku, kau tidak minta dilahirkan seperti ini. Kau tidak
memilih kehidupan seperti ini, tapi kau tetap berusaha sangat keras untuk
menjalaninya dengan baik."
"Aku
bukan hendak membenahi apa-apa,"
Carlisle menyanggah
halus. "Seperti segalanya dalam hidup, aku hanya memutuskan hendak berbuat
apa dengan kehidupan yang kumiliki sekarang."
"Kau
membuatnya terdengar terlalu mudah."
Carlisle
memeriksa lenganku lagi. "Nah, sudah," ujarnya, menggunting benang.
"Sudah beres." Ia mengolesi kapas bertangkai ukuran besar dengan cairan
sewarna sirup banyak-banyak, lalu membalurkannya dengan saksama di seluruh permukaan
luka yang sudah dijahit. Baunya aneh; membuat kepalaku berputar. Cairan itu
membuat kulitku perih.
"Tapi
awalnya," desakku sementara Carlisle menempelkan kasa panjang menutupi
luka, lalu merekatkannya ke kulitku. "Mengapa terpikir
olehmu untuk
mencoba cara hidup yang lain selain yang lazim bagi kalian?"
Bibir Carlisle
terkuak, membentuk senyum pribadi. "Edward tak pernah menceritakannya padamu?"
"Pernah.
Tapi aku ingin memahami jalan pikiranmu."
Wajah Carlisle
mendadak berubah serius lagi, dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah ia juga memikirkan
hal yang sama. Bertanya-tanya apa yang akan kupikirkan saat—aku menolak
berpikir itu hanya kemungkinan—itu terjadi padaku.
"Kau tahu
ayahku pemuka agama," kenang Carlisle sambil membersihkan meja dengan
hatihati, mengelap semuanya dengan kasa basah, kemudian mengulanginya lagi. Bau
alkohol membakar rongga hidungku. "Dia memiliki pandangan yang agak keras
terhadap dunia, hal
yang mulai
kupertanyakan sebelum aku berubah."
Carlisle meletakkan
semua kasa kotor dan serpihan kaca ke dalam mangkuk kristal kosong. Aku tidak
mengerti maksudnya, sampai kemudian Carlisle menyalakan korek. Kemudian ia membuang
batang korek api ke tumpukan kain yang basah oleh alkohol, dan api yang
tiba-tiba menyala membuatku melompat kaget.
"Maaf,”
katanya. "Nah, sudah. aku tidak sependapat dengan keyakinan yang dianut
ayahku. Tapi tidak pernah, selama hampir empat ratus tahun sekarang sejak aku
dilahirkan, aku melihat apa pun yang membuatku meragukan keberadaan Tuhan dalam
wujud bagaimanapun. Bahkan bayangan dalam cermin pun tidak."
Aku pura-pura
mengamati balutan di lenganku untuk menyembunyikan kekagetanku melihat arah pembicaraan
kami. Agama adalah hal terakhir yang kuharapkan bakal menjadi jawabannya. Aku sendiri
bisa dibilang tidak memiliki keyakinan. Charlie menganggap dirinya Lutheran,
karena
itulah agama
yang dianut kedua orangtuanya, tapi di hari Minggu ia beribadah di tepi sungai
dengan joran dan pancing. Renee sesekali ke gereja, tapi sama seperti affair
singkatnya dengan tenis, kerajinan tembikar, yoga, dan kursus bahasa Prancis,
ia sudah tertarik pada hal lain saat aku baru mulai menyadari kegemaran
barunya.
Aku yakin
semua ini kedengarannya aneh, karena keluar dari mulut vampir. Carlisle
nyengir, tahu penggunaan kata itu secara sambil lalu selalu berhasil membuatku shock. "Tapi aku berharap masih
ada tujuan dalam hidup ini. bahkan bagi kami.
Sulit memang, harus kuakui,” sambung Carlisle dengan nada tak acuh.
"Bagaimanapun juga, kami telah dikutuk. Tapi aku berharap, dan mungkin ini
harapan konyol, bahwa kami bisa mendapatkan sedikit penghargaan karena telah
mencoba."
"Menurutku
itu tidak konyol," gumamku. Aku tak bisa membayangkan ada orang, termasuk Tuhan,
yang tidak terkesan pada Carlisle. Lagi
pula,
satu-satunya surga yang kuinginkan adalah yang ada Edward-nya. "Dan kurasa
orang lain pun tak ada yang berpikir begitu."
"Sebenarnya,
kau orang pertama yang sependapat denganku."
"Memangnya
yang lain-lain tidak merasakan hal yang sama?" tanyaku, terkejut,
pikiranku hanya tertuju pada satu orang secara khusus. Carlisle kembali menebak
jalan pikiranku.
"Edward sependapat
denganku sampai batas tertentu. Tuhan dan surga itu ada. begitu juga neraka.
Tapi dia tidak percaya ada kehidupan setelah kematian untuk jenis kami,"
Suara Carlisle sangat lembut; ia memandang ke luar jendela besar di atas bak
cuci, ke kegelapan. "Kau tahu, menurut dia, kami sudah kehilangan jiwa
kami."
Aku langsung teringat
kata-kata Edward siang tadi: kecuali kau memang ingin mati—atau apa sajalah
istilahnya untuk kamu. Sebuah bola lampu
seakan menyala
di kepalaku.
"Jadi
itulah masalahnya, bukan?" aku menduga.
"Itulah sebabnya
dia begitu sulit mengabulkan keinginanku."
Carlisle
berbicara lambat-lambat. "Aku memandang. putraku. Kekuatannya, kebaikannya,
kecemerlangan yang terpancar darinya—dan itu justru semakin mengobarkan semangat
itu, keyakinan itu, lebih dari yang sudah-sudah. Bagaimana mungkin tidak ada kehidupan
setelah kematian untuk makhluk sebaik Edward?"
Aku mengangguk
penuh semangat, setuju. "Tapi kalau keyakinanku sama seperti Edward bahwa
jiwa kami sudah hilang." Carlisle
menunduk
memandangiku dengan sorot mata tak terbaca. "Seandainya kau meyakini hal
yang sama seperti yang diyakininya. Tegakah kau merenggut jiwanya?"
Cara Carlisle
memfrasekan pertanyaan itu menghalangi jawabanku. Seandainya ia bertanya apakah
aku rela mempertaruhkan jiwaku untuk
Edward, jawabannya
jelas. Tapi apakah aku rela mempertaruhkan jiwa Edward? Kukerucutkan bibirku
dengan sikap tak suka. Itu bukan barter
yang adil.
"Sekarang
kau mengerti masalahnya."
Aku menggeleng,
sadar sifat keras kepalaku mulai muncul. Carlisle mendesah.
"Itu pilihanku,”
aku berkeras.
"Itu juga
pilihannya," Carlisle mengangkat tangan begitu melihatku hendak membantah.
"Terlepas
dari apakah dia bertanggung jawab melakukan hal itu terhadapmu."
"Dia
bukan satu-satunya yang bisa melakukannya," Kupandangi Carlisle dengan
sikap spekulatif. Carlisle tertawa, ketegangan langsung mencair.
"Oh,
tidak. Kau harus membereskan masalah ini dengan dia!' Tapi sejurus kemudian ia
menghela napas panjang. "Itu bagian yang aku tidak akan pernah bisa yakin.
Kupikir, dalam banyak hal lain, aku sudah melakukan yang terbaik dengan apa
yang harus kulakukan. Tapi benarkah tindakanku yang membuat orang lain
menjalani kehidupan
seperti ini?
Aku tak bisa memutuskan."
Aku tidak
menjawab. Aku membayangkan bagaimana
jadinya hidupku seandainya Carlisle menolak
godaan untuk mengubah keberadaannya
yang sendirian.
dan bergidik.
"Ibu
Edward-lah yang membuatku yakin dengan keputusanku" Suara Carlisle nyaris
hanya bisikan. Matanya menerawang kosong ke luar jendela yang gelap.
"Ibunya?"
Setiap kali aku bertanya kepada Edward tentang orangtuanya, ia hanya berkata mereka
sudah lama meninggal dan ingatannya kabur. Sadarlah aku ingatan Carlisle
terhadap orangtua Edward, meski pertemuan mereka sangat singkat, pastilah
sangat jelas.
"Ya. Namanya
Elizabeth. Elizabeth Masen. Ayahnya, Edward Senior, tidak pernah tersadar selama
di rumah sakit. Dia meninggal saat gelombang pertama serangan influenza
terjadi. Tapi Elizabeth sadar nyaris hingga menjelang meninggal. Edward mirip
sekali dengannya—warna rambutnya juga pirang tembaga, begitu juga matanya,
sama-sama hijau."
"Mata
Edward dulu hijau?" gumamku, berusaha membayangkannya.
"Ya."
Carlisle menerawang jauh. "Elizabeth sangat mengkhawatirkan putranya. Dia mempertaruhkan
peluangnya untuk selamat dengan berusaha merawat Edward dalam keadaan sakit.
Kusangka Edward-lah yang akan lebih dulu meninggal, kondisinya jauh lebih parah
daripada ibunya. Saat maut menjemput Elizabeth, prosesnya sangat cepat. Kejadiannya
tepat setelah matahari terbenam, dan aku datang untuk menggantikan para dokter
yang sudah bekerja seharian. Saat itu rasanya sulit sekali berpura-pura—begitu
banyak yang harus ditangani, dan aku tidak butuh istirahat. Betapa bencinya aku
harus pulang ke
rumah,
bersembunyi dalam gelap dan berpurapura tidur padahal begitu banyak orang yang sekarat.
"Pertama-tama
aku pergi untuk mengecek keadaan Elizabeth dan putranya. Aku mulai merasa
terikat pada mereka–hal yang berbahaya
mengingat kondisi
manusia yang rapuh. Begitu melihatnya, aku langsung tahu kondisi Elizabeth
semakin parah. Demamnya tak terkendali, dan tubuhnya sudah tak kuat lagi
melawan. Tapi dia tidak tampak lemah, saat dia memandangiku dengan mata
menyala-nyala dari ranjangnya.”
'"Selamatkan
dia!' pintanya padaku dengan suara serak yang sanggup dikeluarkan tenggorokannya.”
"Aku akan berusaha semampuku’ aku berjanji padanya, meraih tangannya.
Demamnya tinggi sekali, hingga ia bahkan tak bisa merasakan tanganku yang sangat
dingin itu. Semua terasa dingin di kulitnya.
“’Kau harus
bisa,’ desaknya, mencengkeram tanganku begitu kuat hingga aku bertanya-tanya dalam
hati apakah ia bisa selamat dari krisis ini. Matanya keras, seperti batu,
seperti zambrud. 'Kau harus melakukan semua yang mampu kaulakukan. Apa yang
orang lain tidak bisa, itulah
yang harus
kaulakukan untuk Edward-ku.”
“Aku ketakutan.
Dia menatapku dengan matanya yang tajam menusuk, dan, sesaat, aku yakin dia
tahu rahasiaku. Kemudian demam menguasainya, dan dia tak pernah sadar lagi. Dia
meninggal hanya satu jam setelah mengutarakan tuntutannya padaku. Berpuluh-puluh
tahun lamanya aku mempertimbangkan untuk menciptakan pendamping untuk hidupku.
Hanya satu makhluk lain yang bisa benar-benar mengenalku, bukan aku yang
berpura-pura. Tapi aku tak pernah bisa menemukan pembenaran untukku – melakukan
seperti yang pernah dilakukan terhadapku.
"Lalu di
sanalah Edward berbaring, sekarat. Jelas sekali dia hanya punya waktu beberapa
jam. Di sampingnya terbaring ibunya, entah bagaimana wajahnya tetap tidak
tampak tenang, meski dalam kematian."
Carlisle
seperti melihat lagi semuanya, kenangannya tidak pudar meski seabad telah berlalu.
Aku juga bisa melihatnya dengan jelas, saat Carlisle bicara—“keputusasaan yang melingkupi
rumah sakit, atmosfer kematian yang terlampau kuat. Tubuh Edward panas membara oleh
demam, nyawanya terancam seiring dengan detik-detik yang berjalan. sekujur
tubuhku lagilagi bergidik, mengenyahkan bayangan itu dari
pikiranku.
"Kata-kata
Elizabeth terngiang-ngiang di kepalaku. Bagaimana dia bisa menebak apa yang bisa
kulakukan? Mungkinkah ada orang yang benar-benar menginginkan hal itu untuk
anaknya?
"Kupandangi
Edward. Meski sakit keras, dia tetap tampan. Ada sesuatu yang murni dan indah tergambar
di wajahnya. Seperti yang kuinginkan di wajah anakku kalau aku punya anak. Setelah
bertahun-tahun tak bisa memutuskan, aku langsung bertindak tanpa berpikir lagi.
Pertama-tama, kudorong dulu jenazah ibunya ke kamar mayat, lalu aku kembali
untuk menjemput Edward. Saat itu rumah sakit kekurangan tenaga dan perhatian
untuk menangani setengah saja kebutuhan para pasien. Kamar mayat kosong—dari orang
hidup, paling tidak. Diam-diam kubawa Edward keluar dari pintu belakang,
kugendong melewati atap-atap rumah, kembali ke rumahku.
"Aku
tidak tahu harus bagaimana. Kuputuskan untuk membuat kembali luka seperti yang
pernah kuterima dulu, beberapa abad sebelumnya di London. Belakangan, aku
merasa bersalah. Luka itu lebih menyakitkan dan lebih lama sembuh daripada yang
sebenarnya diperlukan.
"Tapi aku
tidak menyesal. Aku tidak pernah menyesal telah menyelamatkan Edward,"
Carlisle menggeleng, kembali ke masa kini. Ia tersenyum padaku. "Kurasa
sebaiknya kuantar kau pulang
sekarang."
"Biar aku
saja," kata Edward. Ia muncul dari arah ruang makan yang remang-remang,
berjalan lambat-lambat untuk ukurannya. Wajahnya datar, ekspresinya tak terbaca,
tapi ada yang tidak beres dengan matanya—sesuatu yang coba disembunyikannya
sekuat tenaga. Aku merasa perutku seperti diaduk-aduk.
"Carlisle
bisa mengantarku," kataku. Aku menunduk memandang kemejaku; bahan katun biru
mudanya basah oleh bercak-bercak darah.
Bahu kananku
berlepotan krim gula warna pink.
"Aku
tidak apa-apa," Suara Edward datar tanpa emosi. "Kau toh perlu ganti
baju. Bisa-bisa Charlie terkena serangan jantung kalau melihatmu seperti itu.
Akan kuminta Alice mencarikan baju untukmu." Edward berjalan lagi keluar
dari pintu dapur.
Kupandangi Carlisle
dengan sikap waswas. "Dia kalut sekali."
"Memang,"
Carlisle sependapat. "Yang terjadi malam ini adalah apa yang paling
ditakutinya bakal terjadi. Membahayakanmu, karena keadaan kami yang seperti
ini."
"Itu
bukan salahnya."
"Bukan
salahmu juga."
Aku
mengalihkan tatapanku dan mata Carlisle yang indah dan bijak. Aku tidak sependapat
dengannya.
Carlisle mengulurkan
tangan dan membantuku berdiri. Kuikuti dia ke ruang utama. Esme sudah kembali;
sedang mengepel lantai tempatku jatuh tadi—dengan cairan desinfektan murni
tanpa campuran kalau menilik dari baunya.
"Esme,
biar aku saja," Bisa kurasakan wajahku kembali merah padam.
"Aku sudah
selesai." Esme mendongak dan tersenyum padaku. "Bagaimana keadaanmu?"
"Baik-baik
saja," aku meyakinkan dia. "Carlisle menjahit lebih cepat daripada
dokter lain yang pernah menanganiku."
Mereka berdua
tertawa. Alice dan Edward muncul dari pintu belakang.
Alice bergegas
mendapatiku, tapi Edward berdiri agak jauh, ekspresinya sulit digambarkan.
"Ayolah,"
ajak Alice. "Akan kucarikan sesuatu yang tidak begitu mengerikan untuk
dipakai."
Alice
menemukan kemeja Esme yang warnanya mendekati warna bajuku tadi. Charlie tak
bakal memerhatikan, aku yakin. Perban putih panjang di lenganku tidak tampak
terlalu serius setelah aku tak lagi memakai baju yang berlepotan bercak darah.
Charlie toh tak pernah terkejut melihatku diperban.
“Alice,"
bisikku saat ia kembali berjalan menuju pintu.
"Ya?"
Suara Alice tetap pelan, memandangiku dengan sikap ingin tahu, kepalanya
ditelengkan ke satu sisi.
"Seberapa
parah?" Aku tak yakin apakah berbisik-bisik begini ada gunanya. Walaupun
kami di lantai atas, dengan pintu tertutup, mungkin ia tetap bisa mendengarku.
Wajah Alice
menegang. "Aku belum bisa memastikan."
"Jasper
bagaimana?"
Alice
mendesah. "Dia sangat kesal pada dirinya sendiri. Itu memang lebih sulit
baginya dibanding bagi yang lain, dan dia tidak suka merasa diri lemah."
"Itu bukan
salahnya. Bisa tolong katakan padanya aku tidak marah, sama sekali tidak marah padanya,
bisa, kan?"
"Tentu
saja."
Edward menungguku
di pintu depan. Begitu aku sampai di kaki tangga, ia membukakan pintu tanpa
sepatah kata pun.
"Bawa
barang-barangmu!" pekik Alice waktu aku berjalan waswas menghampiri
Edward. Ia meraup kedua bungkusan, yang satu baru separo terbuka, serta
kameraku dari bawah piano, dan menjejalkan semuanya ke lekukan lenganku yang
tidak terluka.
"Kau bisa
mengucapkan terima kasih belakangan, kalau sudah membuka kado-kadomu!”
Esme dan Carlisle
mengucapkan selamat malam dengan suara pelan. Sempat kulihat mereka diam diam
melirik putra mereka yang diam seribu bahasa, sama seperti aku.
Lega rasanya
berada di luar; aku bergegas melewati deretan lentera dan mawar yang kini mengingatkanku
pada peristiwa tak mengenakkan
tadi. Edward
berjalan di sampingku tanpa bicara. Ia membukakan pintu penumpang untukku, dan aku
naik tanpa protes.
Di atas dasbor
terpasang pita merah besar, menempel di stereo yang baru. Kurenggut pita itu dan
kubuang ke lantai. Waktu Edward naik di
sampingku, kutendang
pita itu ke bawah kursi. Edward tidak melihat ke arahku ataupun stereo itu.
Kami juga tidak menyalakannya, dan entah
bagaimana
kesunyian justru semakin terasa oleh raungan mesin yang tiba-tiba. Edward
ngebut terlalu kencang melintasi jalan yang gelap dan
berkelok-kelok.
Kesunyian itu membuatku sinting.
“Katakan
sesuatu," pintaku akhirnya saat
Edward
berbelok memasuki jalan raya.
"Kau
ingin aku bilang apa?" tanyanya dengan sikap menjauh.
Aku meringis
melihat sikapnya yang tak mau mendekat. "Katakan kau memaafkan aku."
Perkataanku
itu menimbulkan secercah kehidupan di wajahnya—secercah amarah.
"Memaafkanmu?
Untuk apa?"
"Seandainya
aku lebih berhati-hati, tidak akan terjadi apa-apa.”
"Bella,
jarimu hanya teriris kertas—itu bukan alasan untuk mendapat hukuman mati."
"Tetap
saja aku yang salah." Kata-kataku seolah membobol bendungan.
"Kau yang
salah? Kalau jarimu teriris kertas di rumah Mike Newton, dan di sana ada
Jessica, Angela, dan teman-teman normalmu lainnya, apa
hal terburuk
yang mungkin terjadi? Mungkin mereka tidak bisa menemukan plester untukmu?
Kalau kau terpeleset
dan menabrak tumpukan piring kaca karena ulahmu sendiri—bukan karena ada yang
mendorongmu—bahkan saat itu pun, hal terburuk apa yang bisa terjadi?
Paling-paling darahmu berceceran mengotori jok mobil saat mereka mengantarmu ke
UGD? Mike Newton bisa memegangi tanganmu saat dokter menjahitmu— dan dia tidak perlu
berjuang melawan dorongan untuk membunuhmu selama berada di sana.
Jangan
menyalahkan dirimu sendiri dalam hal ini, Bella. Itu hanya akan membuatku
semakin jijik pada diriku sendiri."
"Bagaimana
bisa Mike Newton dibawa-bawa dalam pembicaraan ini?" tuntutku.
"Mike
Newton dibawa-bawa dalam pembicaraan ini karena akan jauh lebih aman kalau kau berpacaran
saja dengan Mike Newton," geram
Edward.
"Lebih
baik mati daripada berpacaran dengan Mike
Newton." protesku. "Aku lebih baik mati daripada
berpacaran dengan orang lain selain kau.”
"Jangan
sok melodramatis, please"
"Kalau
begitu, kau juga tidak usah ngomong yang bukan-bukan."
Edward tidak
menjawab. Ia menatap garang ke luar kaca, ekspresinya kosong. Aku memeras otak,
mencari cara untuk menyelamatkan malam ini. Tapi sampai truk berhenti di depan
rumahku, aku masih belum
menemukan
caranya.
"Kau akan
menginap malam ini?" tanyaku.
"Sebaiknya
aku pulang."
Hal terakhir
yang kuinginkan adalah Edward berkubang dalam perasaan bersalah. "Untuk
ulang tahunku," desakku.
"Tidak bisa
dua-duanya—kau ingin orang mengabaikan hari ulang tahunmu atau tidak. Pilih salah
satu," Nadanya kaku, tapi tidak seserius
sebelumnya.
Diam-diam aku mengembuskan napas lega.
"Oke. Aku
sudah memutuskan aku tidak mau kau mengabaikan hari ulang tahunku. Kutunggu kau
di atas."
Aku melompat
turun, meraih kado-kadoku. Edward mengerutkan kening.
"Kau
tidak perlu membawanya."
“Aku menginginkannya,"
jawabku otomatis, kemudian bertanya-tanya dalam hati apakah Edward menggunakan
teknik psikologi terbalik.
“Tidak, itu
tidak benar. Carlisle dan Esme mengeluarkan uang untuk membeli kadomu."
"Tidak
apa-apa," Kudekap kado-kado itu dengan kikuk di bawah lenganku yang tidak
terluka, lalu membanting pintu mobil. Kurang dari satu detik Edward sudah keluar
dari mobil dan berdiri di sampingku.
"Biar
kubawakan paling tidak," katanya sambil mengambil kado-kado itu dari
pelukanku. "Aku akan menemuimu di kamarmu."
Aku tersenyum.
"Trims."
"Selamat
ulang tahun," bisik Edward, lalu membungkuk untuk menempelkan bibirnya ke
bibirku. Aku berjinjit agar bisa berciuman lebih lama, tapi Edward melepaskan
bibirnya. Ia menyunggingkan senyum separonya yang sangat kusukai itu, lalu
menghilang di balik kegelapan.
Pertandingan
masih berlangsung; begitu berjalan memasuki pintu depan, aku langsung bisa mendengar
suara komentator meningkahi soraksorai penonton di televisi.
"Bell?"
seru Charlie.
"Hai,
Dad," balasku, muncul dari sudut ruangan. Kurapatkan lenganku ke sisi
tubuh. Tekanan itu membuat lukaku berdenyut-denyut, dan aku
mengerutkan
hidung. Anestesinya mulai kehilangan pengaruhnya ternyata.
"Bagaimana
pestanya?" Charlie tidur-tiduran di sofa dengan kaki ditumpangkan di
lengan sofa. Rambut cokelat keritingnya kempis di satu sisi.
"Alice
merajalela. Bunga, kue tart, lilin, kado—pokoknya komplet."
"Mereka
memberimu kado apa?"
"Stereo
untuk trukku." Dan beberapa kado lain yang belum diketahui isinya.
"Wow"
"Yeah,"
aku sependapat. "Well, aku mau
tidur dulu." "Sampai besok pagi." Aku melambaikan tangan.
"Sampai besok."
"Lenganmu
kenapa?" Wajahku kontan memerah dan mulutku memaki
"Aku tadi
tersandung. Nggak apa-apa kok"
"Bella,"
Charlie mendesah, menggelenggelengkan kepala.
"Selamat
malam, Dad."
Aku bergegas
masuk ke kamar mandi, tempatku menyimpan piamaku sebagai persiapan untuk malam-malam
seperti ini. Aku memakai tank top dan celana katun sebagai ganti sweter
bolongbolong yang biasa kupakai tidur, meringis saat gerakanku membuat jahitan
di lenganku tertarik.
Dengan satu tangan
aku mencuci muka, menyikat gigi, lalu cepat-cepat masuk ke kamar. Ia sudah
duduk di tengah-tengah tempat tidur, malas-malasan mempermainkan salah satu
kado perakku.
"Hai,"
sapanya. Suaranya sedih. Ia masih menyalahkan dirinya sendiri.
Aku naik ke
tempat tidur, menyingkirkan kadokado itu dan tangan Edward, lalu naik ke pangkuannya.
"Hai,"
Aku meringkuk di dadanya yang sekeras batu. "Boleh kubuka kadoku
sekarang?"
"Mengapa tahu-tahu
kau antusias begini?" tanyanya.
"Kau
membuatku ingin tahu."
Kuambil kotak
persegi panjang tipis yang pasti kado dari Carlisle dan Esme.
"Biar aku
saja," saran Edward. Diambilnya kado itu dan tanganku dan dirobeknya
kertas perak pembungkusnya dengan satu gerakan luwes. Lalu ia menyodorkan kotak
putih persegi empat itu padaku.
"Kau
yakin aku bisa mengangkat tutup kotaknya?" sindirku, tapi Edward tak mengacuhkan
sindiranku.
Kotak itu berisi
selembar kertas panjang dan tebal, penuh berisi tulisan. Butuh waktu semenit baru
aku bisa mencerna informasi yang tertulis di
sana.
"Kita
akan pergi ke Jacksonville?" Aku girang bukan main, meski sebenarnya tidak
ingin. Kadonya berupa voucher tiket
pesawat, untukku
dan Edward.
"Begitulah
idenya."
"Aku tak
percaya. Renee bakal girang setengah mati! Tapi kau tidak keberatan, kan? Di
sana panas terik, jadi kau harus berada di dalam rumah seharian"
"Kurasa
itu bisa diatasi," kata Edward, tapi keningnya berkerut. "Seandainya
aku tahu kau akan bereaksi seperti ini, aku akan menyuruhmu membukanya di depan
Carlisle dan Esme. Kusangka kau bakal protes."
"Well, tentu saja ini berlebihan. Tapi
aku bisa pergi bersamamu!"
Edward tertawa
kecil. "Tahu begitu, aku akan mengeluarkan uang untuk membeli kadomu. Ternyata
kau masih bisa berpikir sehat."
Aku menyingkirkan
tiket-tiket itu dan meraih kado dari Edward, rasa ingin tahuku muncul lagi. Edward
mengambilnya dariku dan membuka
bungkusnya
seperti kado pertama tadi. Ia menyerahkan padaku kotak CD bening, dengan CD
kosong di dalamnya.
"Apa
ini?" tanyaku, heran. Edward tidak berkata apa-apa; dikeluarkannya CD itu
lalu dimasukkannya ke CD player di atas nakas. Tangannya menekan tombol play
dan kami menunggu dalam kesunyian. Lalu musik mulai mengalun.
Aku mendengarkan,
tak mampu berkata apaapa, mataku terbelalak lebar. Aku tahu ia menunggu
reaksiku, tapi aku tak sanggup bicara.
Air mataku
menggenang, dan aku mengangkat tangan untuk menyekanya sebelum jatuh menetes di
pipi.
“Lenganmu
sakit?” tanya Edward waswas.
"Tidak,
ini bukan karena lenganku. Indah sekali, Edward.
Tak ada kado lain yang bisa kauberikan yang
lebih kusukai daripada ini. Aku tak percaya."
Lalu aku diam,
supaya bisa mendengarkan. CD itu berisi rekaman musiknya, komposisinya. Musik
pertama di CD itu adalah lagu ninaboboku.
“Kupikir kau
tidak akan membiarkanku membelikanmu piano supaya aku bisa memainkannya untukmu
di sini," Edward menjelaskan.
"Kau
benar"
"Lenganmu
bagaimana?"
"Baik-baik
saja," Sebenarnya, lukaku mulai terasa panas di balik perban. Aku ingin mengompresnya
dengan es batu. Sebenarnya aku bisa menggunakan tangan Edward, tapi itu bakal membuatnya
tahu aku kesakitan.
"Aku akan
mengambilkan Tylenol untukmu."
"Aku
tidak butuh apa-apa," protesku, tapi Edward sudah menurunkan aku dari
pangkuannya dan berjalan ke pintu.
"Charlie,"
desisku. Charlie tidak tahu Edward sering menginap di kamarku. Sebenarnya,
bisabisa ia terserang stroke bila aku memberi tahunya.
Tapi aku tidak
merasa terlalu bersalah telah memperdaya ayahku. Soalnya, kami toh tidak melakukan
apa-apa yang dilarang olehnya. Edward dan aturan-aturannya.
“Dia tidak akan
menangkap basah aku," janji Edward sebelum lenyap tanpa suara di balik pintu.
dan kembali sejurus kemudian, memegangi
pintu sebelum
sempat menutup kembali. Ia memegang gelas kumur yang diambilnya dari kamar
mandi serta sebotol pil di satu tangan.
Aku menerima pil-pil
yang disodorkannya tanpa membantah—aku tahu paling-paling aku bakal kalah
berdebat dengannya. Dan lenganku mulai
benar-benar
nyeri.
Lagu
ninaboboku terus mengalun, lembut dan lirih,
di latar belakang.
"Sudah
malam," kata Edward. Ia meraup dan menggendongku dengan satu tangan,
sementara tangan satunya membuka penutup tempat tidur.
Lalu ia
membaringkanku dengan posisi kepala di atas bantal, kemudian menyelimutiku. Ia
berbaring di sebelahku—di atas selimut agar aku tidak
kedinginan— dan
meletakkan lengannya di atas tubuhku.
Aku menyandarkan
kepala di bahunya dan mengembuskan napas bahagia.
"Terima
kasih sekali lagi," bisikku.
"Terima
kasih kembali."
Sejenak
suasana sunyi sementara aku mendengarkan lagu ninaboboku berakhir. Lagu lain
mulai. Aku mengenalinya sebagai lagu favorit Esme.
"Kau
sedang memikirkan apa?" bisikku.
Edward ragu-ragu
sejenak sebelum menjawab.
"Sebenarnya,
aku sedang berpikir tentang apa yang benar dan yang salah."
Aku merasakan
sekujur tubuhku bergidik.
"Kau
ingat kan, aku tadi memutuskan ingin kau tidak mengabaikan hari ulang
tahunku?" aku buru-buru bertanya, berharap ia tidak tahu aku berusaha
mengalihkan perhatiannya.
“Ya,"
Edward sependapat, waspada.
“Well, aku sedang berpikir-pikir, karena
sekarang masih hari ulang tahunku, aku ingin kau menciumku lagi."
“Kau serakah
malam ini."
"Ya,
memang—tapi please,
jangan lakukan apa pun yang tidak ingin kaulakukan," aku menambahkan,
kesal.
Edward
tertawa, kemudian mendesah. "Semoga surga mencegahku melakukan hal-hal
yang tidak ingin kulakukan," katanya dengan nada putus asa yang aneh saat
ia meletakkan tangannya di bawah
daguku dan
mendongakkan wajahku.
Ciuman kami
diawali seperti biasa—Edward tetap sehati-hati biasanya, dan seperti biasa
pula, jantungku mulai bereaksi berlebihan. Kemudian
sesuatu
sepertinya berubah. Tiba-tiba saja bibir Edward melumat bibirku lebih ganas,
tangannya menyusup masuk ke rambutku dan mendekap
wajahku
erat-erat. Dan, walaupun tanganku juga menyusup masuk ke rambutnya, dan meski
jelas aku mulai melanggar batas kehati-hatiannya, namun sekali ini ia tidak
menghentikanku.
Tubuhnya
dingin di balik selimut yang tipis, tapi aku menempelkan tubuhku erat-erat ke
tubuhnya. Ia berhenti begitu tiba-tiba; didorongnya aku dengan kedua tangan
yang lembut tapi tegas. Aku terhenyak ke atas bantal, terengah-engah, kepalaku
berputar. Sesuatu menarik-narik
ingatanku,
tapi aku tak kunjung bisa meraihnya.
"Maaf,"
kata Edward, napasnya juga terengahengah.
"Itu tadi
sudah melanggar batas."
“Aku tidak
keberatan," kataku megap-megap.
Edward mengerutkan
kening padaku dalam gelap. "Cobalah untuk tidur, Bella."
"Tidak,
aku ingin kau menciumku lagi."
“Kau menilai
pengendalian diriku kelewat tinggi."
"Mana
yang lebih membuatmu tergoda, darahku atau tubuhku?" tantangku.
"Dua-duanya,"
Edward nyengir sekilas, meski sebenarnya tak ingin, lalu kembali serius.
"Sekarang,
bagaimana kalau kau berhenti mempertaruhkan peruntunganmu dan pergi tidur?"
"Baiklah,"
aku setuju, meringkuk lebih rapat padanya. Aku benar-benar lelah. Ini hari yang
panjang dalam banyak hal, namun aku tidak merasa lega saat hari ini berakhir.
Seakan-akan ada hal lain yang lebih buruk bakal terjadi besok.
Firasat
konyol—kejadian apa yang lebih buruk daripada
hari ini tadi? Pasti hanya karena aku shock. Berusaha
agar tidak ketahuan, aku menempelkan
lenganku yang sakit di bahu Edward, supaya kulitnya yang dingin bisa meredakan
sakitku. Seketika itu juga nyerinya hilang. Aku sudah
hampir tertidur, mungkin malah sudah separo tidur, waktu mendadak aku sadar ciuman
Edward tadi mengingatkan aku pada apa: musim semi lalu,
ketika harus meninggalkanku untuk menyesatkan James, Edward memberiku ciuman
perpisahan, tidak tahu kapan—atau
apakah—kami
akan bertemu lagi. Ciuman tadi juga nyaris terasa menyakitkan, seperti ciuman
itu, meski entah untuk alasan apa, aku tak bisa membayangkannya. Aku bergidik
dalam tidurku, seolah-olah aku sudah mengalami mimpi buruk.
0 komentar:
Post a Comment