October 01, 2014

Baca Online New Moon part 17

17. TAMU
DIAM tak bergerak dan putih, dengan mata hitam besar terpaku di wajahku, tamuku menunggu, bergeming di tengah ruang depan,
cantik luar biasa. Sesaat lututku gemetar, dan aku nyaris rubuh.
Detik berikutnya aku menghambur menghampirinya.
"Alice, oh, Alice!" pekikku, menubruknya. Aku lupa betapa kerasnya tubuh Alice; rasanya seperti menabrak dinding semen.
"Bella?" Suara Alice lega bercampur bingung. Aku memeluknya erat-erat, terengah-engah karena berusaha menghirup sebanyak mungkin
aroma kulitnya. Baunya lain dari yang lain—bukan beraroma bunga ataupun rempah-rempah, juga bukan wangi jeruk ataupun musk. Tak satu parfum pun di dunia ini yang bisa menandinginya. Ingatanku tidak bisa mengingatnya dengan tepat. Aku tidak sadar saat napasku yang terengahengah berubah menjadi sesuatu yang lain – aku baru sadar bahwa aku menangis tersedu-sedu ketika Alice menyeretku ke sofa ruang tamu dan menarikku ke pangkuannya. Rasanya seperti meringkuk dalam pelukan patung baru, tapi lekukan tubuh patung batu itu pas benar dengan bentuk tubuhku. Alice mengusap-usap punggungku dengan lembut, menungguku menguasai diri kembali.
"Aku. maafkan aku," isakku. "Aku hanya sangat bahagia bertemu denganmu!"
"Sudahlah, Bella. Semua baik-baik saja."
"Ya," isakku. Dan, kali ini, sepertinya memang begitu.
Alice mendesah. "Aku sudah lupa betapa emosionalnya kau," katanya, nadanya terdengar tidak suka.
Aku mendongak dan memandangnya dari selasela air mataku. Leher Alice tegang, menjauhiku, bibirnya terkatup rapat. Matanya hitam kelam.
"Oh" aku mengembuskan napas, menyadari masalahnya. Alice haus. Dan aromaku menggoda. Sudah lama sekali aku tak pernah lagi memikirkan hal semacam itu. "Maaf."
"Ini salahku sendiri. Sudah lama sekali aku tidak berburu. Seharusnya aku tidak membiarkan diriku sehaus itu. Tapi aku terburu-buru hari ini."
Tatapannya yang diarahkan padaku sangat garang.
"Omong-omong, maukah kau menjelaskan padaku bagaimana caranya sampai kau masih hidup?" Pertanyaan ini membuatku kaget dan langsung menghentikan sedu-sedanku. Aku langsung menyadari apa yang terjadi, dan mengapa Alice datang ke sini.
Aku menelan ludah dengan suara keras. "Kau melihatku jatuh."
"Tidak," sergah Alice, matanya menyipit. "Aku melihatmu melompat.”
Aku mengerucutkan bibir sambil berusaha memikirkan penjelasan yang tidak terdengar sinting. Alice menggelengkan kepala. "Sudah kubilang
padanya ini bakal terjadi, tapi dia tidak percaya padaku. 'Bella sudah berjanji,’” Alice menirukan suara Edward dengan sangat sempurna hingga membuatku membeku shock saat kepedihan merobek tubuhku. '"Jangan mencoba melihat masa depannya juga,'" sambung Alice, masih mengutip kata-kata Edward. "'Kita sudah cukup membuatnya menderita.'
"Tapi meski tidak mencari, bukan berarti aku tidak melihat," lanjut Alice. "Aku bukannya mengawasimu, sumpah, Bella. Hanya saja sudah
terjalin hubungan batin denganmu, jadi. Waktu aku melihatmu melompat, tanpa pikir panjang aku langsung naik pesawat. Aku tahu pasti sudah terlambat, tapi aku tidak bisa tidak melakukan apa-apa. Kemudian aku sampai di sini, berpikir mungkin aku bisa membantu Charlie, dan tahutahu kau datang." Alice menggeleng-gelengkan
kepala, kali ini karena bingung. Suaranya tegang.
"Aku melihatmu tercebur ke air dan aku menunggu dan menunggumu muncul kembali, tapi kau tidak keluar-keluar juga. Apa yang terjadi? Dan tega benar kau berbuat begitu kepada Charlie? Pernahkah kau berhenti sejenak untuk memikirkan dampaknya bagi dia? Dan bagi kakakku? Apa kau pernah berpikir apa yang Edward—"
Aku langsung memotongnya saat itu juga, begitu mendengarnya menyebut nama Edward. Tadi kubiarkan saja dia nyerocos, bahkan setelah aku sadar dia salah paham, hanya untuk mendengar suaranya yang bagaikan denting lonceng merdu itu. Tapi sekarang sudah saatnya menyela.
"Alice, aku bukan mau bunuh diri.” Alice menatapku ragu. "Jadi maksudmu, kau tidak terjun dari tebing?"
"Bukan, tapi." aku meringis. "Itu kulakukan hanya untuk bersenang-senang." Ekspresinya mengeras.
"Aku pernah melihat teman-teman Jacob terjun dari tebing," sergahku. "Kelihatannya. asyik, dan aku sedang bosan."
Ia menunggu.
"Aku tidak mengira badai akan memengaruhi arus air. Sebenarnya, aku bahkan tidak memikirkan air sama sekali."
Alice tidak percaya begitu saja. Kentara sekali ia masih mengira aku mencoba bunuh diri. Kuputuskan untuk mengalihkan pikirannya. “Jadi
kalau kau melihatku terjun, mengapa kau tidak melihat Jacob?”
Alice menelengkan kepalanya ke satu sisi, perhatiannya terusik.
Aku melanjutkan. "Memang benar aku mungkin sudah tenggelam seandainya Jacob tidak melompat menyusulku. Well, oke, bukan mungkin lagi. Tapi untunglah dia menyusulku, dan dia menarikku ke
permukaan, dan kurasa dia menyeretku ke pantai, walaupun saat itu aku pingsan jadi tidak tahu apaapa. Aku tidak mungkin tenggelam lebih dari satu menit sebelum dia menyambarku. Bagaimana kau bisa tidak melihatnya?"
Kening Alice berkerut bingung. "Ada orang yang menarikmu keluar?"
"Ya. Jacob menyelamatkan aku."
Kutatap Alice dengan sikap ingin tahu sementara berbagai emosi berkecamuk di wajahnya. Ia merasa terganggu oleh sesuatu—visinya yang tidak sempurna? Tapi aku tak yakin. Kemudian ia mencondongkan tubuh dan mengendus bahuku. Aku langsung mengejang.
"Jangan konyol," kecamnya, mengendusiku lagi.
"Kau sedang apa?"
Alice mengabaikan pertanyaanku. "Siapa yang bersamamu barusan? Kedengarannya kalian tadi bertengkar."
"Jacob Black. Dia. sahabatku, begitulah. Setidaknya, dulu." Ingatanku melayang pada wajah Jacob yang marah dan merasa dikhianati, bertanya-tanya dalam hati apa statusnya bagiku sekarang.
Alice mengangguk, sepertinya sibuk memikirkan hal lain.
"Apa?"
"Entahlah," tukasnya. "Aku tak yakin itu berarti apa."
"Well, aku tidak tewas, setidaknya." Alice memutar bola matanya. “Sungguh tolol Edward, mengira kau bisa bertahan hidup sendirian. Belum pernah kulihat orang yang begitu mudah tersangkut pada hal-hal tolol yang mengancam nyawa."
"Aku bertahan kok," tegasku.
Alice memikirkan hal lain. "Jadi, kalau arus air terlalu kuat bagimu, bagaimana Jacob ini bisa menolongmu?"
"Jacob itu. kuat"
Alice mendengar keengganan dalam suaraku, dan alisnya terangkat.
Aku menggigit bibir sejenak. Ini rahasia atau bukan? Dan kalau ini rahasia, kepada siapa aku lebih berpihak? Jacob, atau Alice?
Terlalu sulit menyimpan rahasia, aku memutuskan. Jacob tahu semuanya, jadi mengapa Alice tidak?
"Begini, Well dia itu. werewolf,” aku mengakui dengan sikap buru-buru. "Suku Quileute berubah menjadi serigala bila ada vampir di sekitar mereka. Mereka sudah kenal Carlisle sejak dulu sekali. Apakah saat itu kau sudah bersama Carlisle?”
Alice ternganga sejenak, tapi sejurus kemudian pulih dari kekagetannya, matanya mengerjap cepat. "Well, kalau begitu pantas ada bau itu,”
gerutunya. "Tapi apakah itu menjelaskan apa yang tidak kulihat?" Ia berpikir, kening porselennya berkerut.
"Bau?" ulangku.
"Baumu tidak enak," cetus Alice sambil lalu, keningnya masih berkerut. "Werewolf? Kau yakin soal itu?"
"Yakin sekali," aku memastikan, meringis saat teringat bagaimana Paul dan Jacob bertarung di jalan. "Kalau begitu kau masih belum bersama
Carlisle waktu terakhir kali ada werewolf di Forks?"
"Belum. Aku belum menemukannya." Alice masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tibatiba matanya membelalak, dan ia berpaling,
menatapku dengan ekspresi shock. "Sahabatmu werewolf?”
Aku mengangguk malu-malu. "Ini sudah berlangsung berapa lama?"
"Belum lama," jawabku, suaraku terdengar defensif. "Dia baru beberapa minggu menjadi werewolf!”
Alice membelalak memandangiku. "Werewolf yang masih muda? Itu bahkan lebih parah! Edward benar—kau magnet yang menarik bahaya.
Bukankah kau seharusnya menghindari bahaya?"
"Tidak ada yang salah dengan werewolf!” gerutuku, tersinggung mendengar nadanya yang mengkritik.
"Sampai amarah mereka meledak." Alice menggeleng kuat-kuat. "Dasar kau, Bella. Orang lain pasti bakal hidup lebih baik setelah para vampir meninggalkan kota. Tapi kau langsung bergaul dengan monster-monster pertama yang bisa kautemukan."
Aku tidak ingin berdebat dengan Alice—aku masih gemetaran saking gembira karena ia benarbenar, sungguh-sungguh ada di sini, hingga aku
bisa menyentuh kulit marmernya dan mendengar suaranya yang seperti genta angin—tapi ia sangat keliru.
"Tidak, Alice, para vampir tidak sepenuhnya pergi—tidak semuanya, paling tidak. Justru itulah masalahnya. Kalau bukan karena para werewolf itu, Victoria pasti sudah berhasil menemukanku sekarang. Well kalau bukan karena Jake dan teman-temannya, Laurent pasti berhasil
membunuhku sebelum Victoria, kurasa, jadi—"
"Victoria?" desis Alice. "Laurent?"
Aku mengangguk, sedikit waswas melihat ekspresi yang terpancar dari mata hitamnya. Kutuding dadaku sendiri. "Magnet yang menarik bahaya, ingat?"
Alice menggeleng-geleng lagi. "Ceritakan semua padaku— dari awal."
Aku memoles awal kisahku, sengaja melewatkan cerita tentang motor dan suara-suara itu, tapi membeberkan semua yang terjadi sampai hari ini. Alice tidak menyukai penjelasan singkatku tentang kebosanan dan lompat tebing, jadi aku buru-buru menceritakan tentang api aneh yang kulihat di air dan apa perkiraanku mengenainya. Matanya menyipit hingga nyaris segaris di bagian itu. Aneh juga melihatnya begitu. begitu berbahaya—seperti vampir. Aku menelan ludah dengan susah payah
dan melanjutkan kisahku tentang Harry. Alice mendengarkan ceritaku tanpa menyela. Sesekali, ia menggeleng, dan kerutan di keningnya
semakin dalam hingga tampak seperti terpahat secara permanen di kulit marmernya. Ia tidak berbicara dan, akhirnya, aku terdiam, dicekam
kesedihan karena kematian Harry. Pikiranku melayang pada Charlie; sebentar lagi ia pulang. Bagaimana kira-kira kondisinya?
"Kepergian kami sama sekali tidak membawa kebaikan bagimu, ya?" gumam Alice.
Aku tertawa satu kali—kedengarannya agak histeris. "Memang tujuannya bukan itu, kan? Kalian pergi bukan demi kebaikanku."
Alice merengut memandangi lantai beberapa saat. "Well, kurasa aku bertindak impulsif hari ini tadi. Mungkin seharusnya aku tidak ikut campur."
Bisa kurasakan darah surut dari wajahku. Perutku langsung mulas. "Jangan pergi, Alice," bisikku. Jari-jariku mencengkeram kerah kemeja
putihnya dan aku mulai tak bisa bernapas.
"Kumohon, jangan tinggalkan aku."
Mata Alice membelalak semakin lebar, "Baiklah," ia memberi penekanan pada setiap katanya. "Aku tidak akan ke mana-mana malam ini. Tarik napas dalam-dalam."
Aku berusaha menuruti, meski rasanya itu mustahil. Alice memandangi wajahku sementara aku berkonsentrasi menarik napas. Ia menunggu
sampai aku lebih tenang untuk berkomentar.
"Kau kelihatan kacau sekali, Bella."
"Aku kan tadi tenggelam," aku mengingatkannya.
"Bukan itu maksudku. Kau berantakan." Aku tersentak. "Dengar, aku sudah berusaha semampuku."
"Apa maksudmu?"
“Ini tidak mudah. Aku sedang berjuang mengatasinya."
Kening Alice berkerut. "Sudah kubilang pada Edward," katanya pada diri sendiri.
"Alice," aku mendesah. "Kaukira kau bakal menemukan apa tadi? Maksudku, selain aku mati? Apakah kau berharap akan menemukanku dalam keadaan ceria dan bernyanyi-nyanyi gembira? Kau kan tahu bagaimana aku."
"Memang. Tapi harapanku begitu."
"Kalau begitu berarti aku bukan orang paling tolol di dunia.”
Telepon berdering.
“Itu pasti Charlie," kataku, berdiri dengan susah payah. Kusambar tangan Alice yang sekeras batu dan kuseret ia bersamaku ke dapur. Aku takkan melepaskannya dari pandanganku.
"Charlie?" seruku di corong telepon.
"Bukan, ini aku," sahut Jacob.
"Jake!"
Alice mengamati ekspresiku. "Hanya ingin memastikan kau masih hidup," kata Jacob masam.
"Aku baik-baik saja. Sudah kubilang itu bukan—"
”Yeah. Aku mengerti. Bye," Jacob langsung menutup telepon.
Aku mendesah dan menengadahkan kepala, menatap langit-langit. "Gawat."
Alice meremas tanganku. "Mereka tidak suka aku datang."
"Memang tidak. Tapi itu toh bukan urusan mereka."
Alice merangkul bahuku. "Jadi apa yang kita lakukan sekarang?" tanyanya. Sesaat ia seperti bicara pada dirinya sendiri. "Banyak yang harus dilakukan. Membereskan yang belum selesai."
"Melakukan apa?"
Wajah Alice mendadak terlihat hati-hati. "Aku tidak begitu yakin. aku harus menemui Carlisle."
Apakah dia harus pergi secepat ini? Perutku langsung mulas.
"Tidak bisakah kau tinggal dulu di sini?" pintaku. "Please? Sebentar saja. Aku sangat rindu padamu." Suaraku pecah.
"Kalau menurutmu itu ide bagus" Matanya terlihat tidak senang.  "Menurutku itu ide bagus. Kau bisa menginap di sini – Charlie pasti senang sekali."
"Aku kan punya rumah, Bella" Aku mengangguk, kecewa tapi tidak menyerah. Alice ragu-ragu, mengamanku.
"Well aku kan perlu mengambil baju ganti, paling tidak."
Aku memeluknya. "Alice, kau baik sekali!"
"Dan kurasa aku harus berburu. Segera," imbuhnya kaku.
"Uups" Aku langsung mundur selangkah.
"Kau bisa kan, menghindari masalah satu jam saja?" tanyanya skeptis. Kemudian, sebelum aku sempat menjawab, Alice mengacungkan satu jari dan memejamkan mata. Wajahnya datar dan kosong selama beberapa detik.
Kemudian matanya terbuka dan ia menjawab pertanyaannya sendiri. "Ya, kau akan baik-baik saja. Setidaknya malam ini." Ia meringis. Bahkan saat mengernyit seperti itu, ia masih terlihat seperti malaikat.
"Nanti kau kembali, kan?" tanyaku, suaraku kecil. "Aku janji—satu jam."
Kulirik jam di meja dapur. Alice tertawa dan mencondongkan tubuh cepat-cepat untuk mengecup pipiku. Detik berikutnya ia sudah pergi.
Aku menarik napas dalam-dalam. Alice akan kembali. Tiba-tiba aku merasa jauh lebih enak. Banyak sekali yang harus kulakukan untuk
menyibukkan diri sambil menunggu. Mandi jelas jadi prioritas pertama. Sambil menanggalkan pakaian, aku mengendusi bahuku, tapi tidak bisa
mencium bau apa pun kecuali bau garam dan rumput laut. Aku jadi penasaran apa maksud Alice mengatakan tubuhku bau sekali.
Setelah tubuhku bersih, aku kembali ke dapur. Tidak terlihat tanda-tanda Charlie sudah makan, jadi mungkin ia lapar jika pulang nanti. Aku
bergumam tanpa nada sambil menyibukkan diri di dapur.
Sementara kaserol hari Kamis kemarin sedang dipanaskan di microwave, aku memasang seprai di sofa dan meletakkan bantal tua. Alice tidak membutuhkannya, tapi Charlie perlu melihatnya. Aku berhati-hati untuk tidak mengawasi jam dinding. Tak ada alasan untuk panik; Alice sudah berjanji.
Aku tergesa-gesa menghabiskan makananku tanpa merasakannya—yang kurasakan hanya perih saat makanan meluncur di tenggorokanku yang luka. Kebanyakan aku haus; pasti ada setengah galon air laut yang terminum olehku. Tingginya kadar garam dalam tubuhku membuatku
dehidrasi. Aku beranjak untuk mencoba nonton TV sambil menunggu.
Ternyata Alice sudah di sana, duduk di tempat tidurnya yang telah kusiapkan. Matanya bagaikan butterscotch cair. Ia tersenyum dan menepuknepuk bantal. "Trims."
"Kau datang lebih awal," seruku, gembira. Aku duduk di sebelahnya dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Ia melingkarkan lengannya yang dingin di bahuku dan mendesah.
"Bella. Harus kami apakan kau?"
"Entahlah," aku mengakui. "Aku benar-benar sudah berusaha sekuat tenaga."
“Aku percaya padamu." Lalu kami terdiam
"Apakah—apakah dia." Aku menghela napas dalam-dalam. Lebih sulit menyebut namanya dengan suara keras, walaupun aku bisa memikirkannya sekarang. "Apakah Edward tahu kau di sini?" Aku tidak tahan untuk tidak bertanya. Bagaimanapun, itu kepedihanku. Aku
akan membereskannya setelah Alice pergi nanti, aku berjanji pada diriku sendiri, dan merasa mual memikirkannya.
"Tidak." Hanya ada satu kemungkinan bahwa itu benar.
"Dia tidak sedang bersama Carlisle dan Esme?"
"Dia datang beberapa bulan sekali."
"Oh." Kalau begitu ia pasti masih sibuk menikmati hal-hal lain yang bisa mengalihkan pikirannya. Aku memfokuskan rasa ingin tahuku pada topik lain yang lebih aman. "Kau hilang tadi kau terbang ke sini. Kau datang dari mana?"
"Aku sedang di Denali. Mengunjungi keluarga Tanya."
"Apakah Jasper ada di sini? Dia datang bersamamu?"
Alice menggeleng. "Dia tidak suka aku ikut campur. Kami sudah berjanji." Suaranya menghilang, kemudian nadanya berubah.
"Menurutmu Charlie tidak keberatan aku datang ke sini?" tanyanya, terdengar waswas.
"Charlie menganggapmu baik sekali, Alice"
"Well, sebentar lagi kita akan tahu."
Benar saja, beberapa detik kemudian aku mendengar suara mobil memasuki halaman. Aku melompat dan bergegas membukakan pintu.
Charlie tersaruk-saruk pelan meniti jalan, matanya tertuju ke tanah dan bahunya terkulai. Aku menghampirinya; ia bahkan tidak melihatku
sampai aku memeluk pinggangnya. Ia membalas pelukanku dengan sepenuh hati.
“Aku ikut sedih mendengar tentang Harry, Dad"
"Aku akan sangat kehilangan dia," gumam Charlie.
"Bagaimana keadaan Sue?"
"Dia seperti orang linglung, seperti belum bisa mencernanya. Sam menemaninya sekarang."
Volume suaranya hilang-timbul. "Kasihan anakanak itu. Leah hanya setahun lebih tua daripada kau, sementara Seth baru empat belas." Charlie menggeleng-gelengkan kepala. Sambil tetap merangkulku, Charlie berjalan lagi menuju pintu.
"Em, Dad?" Kupikir lebih baik aku mengingatkannya dulu. "Dad pasti tidak akan menyangka siapa yang sedang di sini sekarang."
Charlie menatapku kosong. Kepalanya menoleh dan melihat Mercedez yang diparkir di seberang jalan, cahaya lampu teras terpantul di bodinya
yang dicat hitam mengilat. Sebelum ia sempat bereaksi, Alice sudah berdiri di ambang pintu.
"Hai, Charlie," sapanya pelan. "Maaf aku datang pada saat yang sangat tidak tepat."
"Alice Cullen?" Charlie memicingkan mata, memandangi sosok mungil di depannya, seolaholah meragukan matanya sendiri. "Alice, benarkah
itu kau?"
"Ini memang aku," Alice membenarkan.
"Kebetulan aku sedang berada di sekitar sini."
"Apakah Carlisle.?"
“Tidak, aku sendirian."
Baik Alice maupun aku tahu bukan Carlisle sebenarnya yang ingin ditanyakan Charlie. Lengannya mencengkeram bahuku lebih erat.
"Dia boleh menginap di sini, kan?" pintaku. "Aku sudah memintanya."
"Tentu saja," jawab Charlie datar. "Kami senang menerimamu di sini, Alice."
"Terima kasih, Charlie. Aku tahu waktunya sangat tidak tepat."
"Tidak, tidak apa-apa, sungguh. Aku akan sangat sibuk melakukan apa yang bisa kulakukan untuk keluarga Harry; aku senang ada yang
menemani Bella."
"Makan malam sudah siap di meja, Dad," aku memberi tahu ayahku.
"Trims, Bell" Ia meremas bahuku sekali lagi sebelum tersaruk-saruk ke dapur. Alice kembali ke sofa, dan aku mengikutinya. Kali ini dialah yang merangkul bahuku
"Kau kelihatan capek."
"Yeah," aku sependapat, dan mengangkat bahu.
"Begitulah kalau habis mengalami peristiwa yang nyaris menyebabkan kematian. Jadi, apa pendapat Carlisle mengenai kedatanganmu ke
sini?"
"Dia tidak tahu. Dia dan Esme sedang pergi berburu. Beberapa hari lagi dia kembali."
"Kau tidak akan memberi tahu dia, kan. Kalau dia datang lagi nanti?'' tanyaku. Alice tahu yang kumaksud kali ini bukan Carlisle.
"Tidak. Bisa-bisa dia ngamuk nanti," jawab Alice muram. Aku tertawa, kemudian mendesah. Aku tidak kepingin tidur. Aku ingin berjaga
sepanjang malam, mengobrol dengan Alice. Lagi pula, tidak masuk akal bila aku lelah, karena seharian tadi aku tidur di sofa Jacob. Tapi
tenggelam benar-benar menguras habis tenagaku, tapi mataku tak mau diajak kompromi. Kuletakkan kepalaku bahunya yang sekeras batu, dan
terhanyut dalam tidur yang lebih tenang daripada yang bisa kuharapkan.
Aku bangun pagi-pagi sekali, dari tidur nyenyak tanpa mimpi, merasa segar bugar tapi kaku. Aku terbaring di sofa, di bawah selimut yang kusiapkan untuk Alice, dan aku bisa mendengarnya mengobrol dengan Charlie di dapur. Kedengarannya Charlie sedang membuatkan
sarapan untuknya.
"Seberapa parah keadaannya, Charlie?" tanya Alice lirih, dan awalnya kukira mereka sedang membicarakan keluarga Clearwater.
Charlie mendesah. "Parah sekali."
"Ceritakan semua padaku. Aku ingin tahu persis apa yang terjadi setelah kami pergi."
Sejenak tidak terdengar apa-apa kecuali pintu rak dapur ditutup dan pemantik api di kompor dinyalakan. Aku menunggu, tegang.
"Aku tidak pernah merasa begitu tak berdaya," Charlie memulai lambat-lambat. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Minggu pertama itu—aku sampai mengira mungkin dia perlu dirawat di rumah sakit. Dia tidak mau makan atau minum, juga tidak mau bergerak. Dr. Gerandy bolak-balik menyebut istilah 'katatonik’, tapi aku tidak mengizinkannya menemui Bella. Aku takut itu akan membuatnya ketakutan.”
“Tapi akhirnya dia normal lagi?"
"Aku meminta Renee datang dan membawanya ke Florida. Pokoknya aku tidak mau menjadi orang yang seandainya dia harus dirawat di rumah sakit atau sebangsanya. Aku berharap tinggal dengan ibunya bisa membantu. Tapi waktu kami mulai mengemasi pakaiannya, tiba-tiba saja dia bangun. Aku pernah melihat Bella mengamuk seperti itu. Dia bukan anak pemarah, tapi, ya ampun, saat itu dia mengamuk habis-habisan. Dia menghamburkan pakaiannya ke mana-mana dan berteriak-teriak, tidak mau disuruh pergi—kemudian akhirnya dia mulai menangis.
Menurutku, itulah titik baliknya. Aku tidak membantah waktu dia bersikeras ingin tetap tinggal di sini. dan awalnya dia benar-benar
seperti sudah membaik."
Suara Charlie menghilang. Sulit mendengarnya mencurahkan isi hati seperti ini, tahu betapa aku sudah sangat menyusahkannya.
"Tapi?” desak Alice.
"Dia kembali bersekolah dan bekerja, makan, tidur, dan mengerjakan PR. Dia menjawab bila ditanya. Tapi dia kosong. Matanya hampa.
Banyak hal kecil yang hilang—dia tidak mau mendengarkan musik lagi; aku bahkan pernah menemukan setumpuk CD rusak di tong sampah.
Dia tidak membaca; dia tidak mau berada di ruangan yang sama bila TV menyala, meskipun sejak dulu dia memang jarang nonton TV Akhirnya
aku mengerti—Bella sengaja menghindar dari segala sesuatu yang mengingatkannya pada dia.
"Kami nyaris tak bisa berbicara; aku sangat khawatir akan mengatakan hal-hal yang bisa membuatnya sedih—hal-hal kecil saja bisa
membuatnya kalut—dan dia tidak pernah memulai pembicaraan. Dia baru menjawab bila kutanya.
"Dia sendirian terus sepanjang waktu. Tidak pernah membalas telepon teman-temannya, dan setelah beberapa saat, mereka berhenti menelepon.Pendek kata, rasanya seperti tinggal dengan mayat hidup. Aku masih mendengar dia menjerit dalam tidurnya.”
Aku nyaris bisa melihatnya bergidik. Aku sendiri juga bergidik waktu ingat. Kemudian aku mendesah. Ternyata aku tidak berhasil memperdaya Charlie dengan berpura-pura terlihat baik-baik saja. Sedikit pun dia tidak terperdaya.
"Aku sangat menyesal mendengarnya, Charlie," ucap Alice, nadanya muram.
"Itu bukan salahmu." Cara Charlie mengucapkan hal itu menunjukkan dengan jelas bahwa ia  menganggap ada orang yang bertanggung jawab dalam hal itu. "Sejak dulu kau selalu baik padanya."
"Sepertinya dia sudah lebih baik sekarang"
"Yeah. Sejak dia bergaul dengan Jacob Black, aku melihat banyak kemajuan. Pipinya mulai merona lagi bila dia pulang, matanya juga kembali bercahaya. Dia lebih bahagia." Charlie terdiam sejenak, dan suaranya berbeda waktu berbicara lagi. "Jacob satu atau dua tahun lebih muda daripada Bella, dan aku tahu dia dulu menganggap
Jacob sebagai teman, tapi kurasa mungkin hubungan mereka sekarang lebih daripada itu, atau mengarah ke sana paling tidak." Charlie mengucapkannya dengan nada yang nyaris seperti mengajak perang. Itu peringatan, bukan bagi Alice, tapi agar Alice meneruskannya ke pihak lain.
"Walaupun lebih muda, Jake sangat dewasa," sambung Charlie, nadanya masih defensif. "Dia mengurus ayahnya secara fisik seperti Bella mengurus ibunya secara emosional. Itu mendewasakan dia. Anaknya juga tampan—mirip ibunya. Dia cocok dengan Bella," Charlie
menandaskan.
"Kalau begitu, untunglah Bella memiliki dia," Alice sependapat.
Charlie mengembuskan napas panjang, merasa tidak punya lawan lagi. "Oke, kurasa itu terlalu melebih-lebihkan. Entahlah. bahkan meskipun
sudah ada Jacob, sesekali aku masih melihat sesuatu di matanya, dan aku bertanya-tanya apakah bisa memahami betapa sakit hatinya
sesungguhnya. Itu tidak normal, Alice, dan itu. itu membuatku takut. Sama sekali tidak normal. Tidak seperti. ditinggal seseorang, tapi seolaholah seperti ada yang meninggal.” Suara Charlie pecah.
Memang seperti ada yang meninggal—seolaholah akulah yang meninggal. Karena rasanya lebih dari sekadar kehilangan seseorang yang merupakan cinta paling sejati dalam hidupku. Tapi juga kehilangan seluruh masa depan, seluruh keluarga— seluruh hidup yang telah kupilih.
Charlie melanjutkan ceritanya dengan nada tak berdaya. "Aku tidak tahu apakah Bella akan bisa melupakannya—aku tak yakin apakah dia bisa
pulih dari sesuatu seperti ini. Sejak dulu dia selalu konstan dalam segala hal. Dia bukan tipe orang yang melupakan masa lalu, atau yang bisa
berubah pikiran."
"Dia memang berbeda dari yang lain," Alice membenarkan dengan suara kering.
"Dan Alice." Charlie ragu-ragu sejenak. "Kau tahu aku sayang padamu, dan bisa kulihat dia senang bisa bertemu lagi denganmu, tapi. aku
agak khawatir bagaimana kunjunganmu ini akan berakibat padanya."
“Aku juga begitu, Charlie, aku juga begitu. Aku tidak akan datang seandainya tahu keadaannya seperti ini. Maafkan aku."
“Jangan meminta maaf, Sayang. Siapa yang tahu? Mungkin ini akan berdampak baik baginya."
"Mudah-mudahan kau benar."
Lama tidak terdengar suara apa-apa kecuali bunyi garpu menggesek piring dan suara Charlie mengunyah. Aku bertanya-tanya dalam hati di
mana Alice menyembunyikan makanannya.
“Alice, aku harus menanyakan sesuatu padamu," kata Charlie canggung. Alice tetap tenang. "Silakan."
"Dia tidak bermaksud kembali ke sini untuk berkunjung, bukan?" Aku bisa mendengar amarah tertahan dalam suara Charlie. Alice menjawab dengan nada lembut dan menenangkan. "Dia bahkan tidak tahu aku kemari. Terakhir kali aku bicara dengannya, dia sedang di Amerika Selatan."
Tubuhku langsung tegang mendengar informasi baru ini, dan membuka telingaku lebar-lebar.
"Baguslah kalau begitu," dengus Charlie. "Well, kuharap dia senang di sana."
Untuk pertama kali terdengar secercah nada kaku dalam suara Alice. "Aku tidak akan berasumsi apa-apa, Charlie." Aku tahu bagaimana
matanya berkilat bila ia menggunakan nada itu. Terdengar suara kursi didorong menjauhi meja, menggesek lantai dengan suara keras. Aku
membayangkan Charlie berdiri; tak mungkin Alice menghasilkan suara seberisik itu. Keran diputar, airnya menciprat membasahi piring.
Sepertinya mereka tidak akan membicarakan Edward lagi, maka kuputuskan sekaranglah waktunya bangun. Aku berbalik, sengaja membuat pegas sofa berderit. Lalu aku menguap dengan suara keras.
Suara-suara di dapur langsung terdiam. Aku menggeliat dan mengerang.
"Alice?" panggilku pura-pura lugu; suaraku yang parau karena tenggorokanku sakit membuat sandiwaraku semakin meyakinkan.
“Aku di dapur, Bella,” seru Alice, tak ada tandatanda dalam suaranya bahwa ia curiga aku menguping pembicaraan mereka tadi. Tapi ia
memang pandai menyembunyikan hal-hal semacam itu.
Charlie harus berangkat saat itu—ia akan membantu Sue Clearwater mengurus segala sesuatu berkaitan dengan pemakaman Harry. Ini
pasti akan jadi hari yang sangat panjang dan membosankan seandainya tidak ada Alice. Ia belum mengatakan kapan akan pergi, dan aku juga
tidak bertanya. Aku tahu itu takkan bisa dihindari, tapi aku sengaja tidak mau memikirkannya. Kami malah mengobrol tentang keluarganya—
semua kecuali satu. Carlisle bekerja shift malam di Ithaca dan
mengajar paruh waktu di Cornell. Esme merestorasi sebuah rumah yang didirikan pada abad ketujuh belas, sebuah monumen bersejarah, di hutan di utara kota. Emmett dan Rosalie sempat pergi berbulan madu lagi ke Eropa selama beberapa bulan, tapi sekarang sudah kembali.
Jasper juga berada di Cornell, kali ini belajar filosofi. Sementara Alice melakukan beberapa riset pribadi, berkaitan dengan informasi yang tanpa sengaja kutemukan untuknya musim semi lalu. Ia berhasil melacak keberadaan rumah sakit jiwa tempatnya menghabiskan tahun-tahun terakhirnya sebagai manusia. Kehidupan yang tidak diingatnya
sama sekali.
"Namaku dulu Mary Alice Brandon," Alice bercerita padaku dengan suara pelan. “Aku punya adik perempuan bernama Cynthia. Anak
perempuannya—keponakanku—masih hidup dan tinggal di Biloxi."
Kau berhasil mengetahui alasan mereka memasukkanmu ke tempat itu?” Apa yang membuat orangtua sanggup melakukan hal seekstrem itu? Walaupun putri mereka bisa melihat hal-hal yang akan terjadi di masa depan.
Alice menggeleng, mata topaz-nya berpikir. "Tak banyak yang bisa kutemukan mengenai mereka. Aku meneliti semua koran lama yang disimpan di mikrofilm. Keluargaku tidak sering disebut-sebut; mereka bukan bagian dari lingkaran sosial yang diberitakan di koran-koran. Yang ada hanya berita pertunangan kedua orangtuaku, juga pertunangan Cynthia," Nama itu diucapkan dengan sikap canggung. "Kelahiranku juga diumumkan. Begitu juga kematianku. Aku menemukan hiburanku. Aku juga mencuri formulir pendaftaranku ke
rumah sakit jiwa dari arsip lama rumah sakit. Tanggal aku masuk ke sana dan tanggal di nisanku sama."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa, dan, setelah terdiam sejenak, Alice beralih ke topik-topik lain yang lebih ringan. Keluarga Cullen telah berkumpul lagi sekarang, kecuali satu orang, menghabiskan liburan musim semi di Denali bersama Tanya dan keluarganya. Aku mendengarkan dengan penuh semangat, bahkan kabar-kabar yang paling remeh sekalipun. Alice tak pernah menyinggung orang yang paling menarik hatiku, dan aku mensyukurinya. Cukuplah mendengar cerita-cerita tentang keluarga yang dulu aku pernah bermimpi ingin menjadi bagian darinya.
Charlie baru kembali setelah hari gelap, dan ia tampak lebih lelah daripada malam sebelumnya. Ia akan kembali ke reservasi besok pagi-pagi sekali untuk menghadiri pemakaman Harry, jadi ia tidur lebih cepat. Aku tidur di sofa lagi bersama Alice. Charlie nyaris terlihat seperti orang asing saat berjalan menuruni tangga sebelum matahari terbit, mengenakan setelan jas tua yang tak pernah kulihat sebelumnya. Jasnya dibiarkan tak dikancing; kurasa pasti karena terlalu sesak
sehingga tidak bisa dikancing Dasinya agak terlalu lebar untuk mode saat ini Ia berjingkat-jingkat ke pintu, berusaha tidak membangunkan kami. Kubiarkan ia pergi. Pura-Pura tidur, seperti yang dilakukan Alice di kursi malas. Begitu Charlie keluar, Alice langsung duduk tegak. Di bawah selimut, ia berpakaian lengkap.
"Apa yang akan kita lakukan hari ini?" tanyanya.
"'Entahlah—kau melihat hal menarik yang bakal terjadi?"
Alice tersenyum dan menggeleng. "Tapi sekarang kan masih pagi sekali."
Sekian lama menghabiskan waktu di La Push berarti mengabaikan setumpuk pekerjaan di rumah, jadi aku memutuskan untuk membereskannya sekarang. Aku ingin melakukan sesuatu, apa saja, agar hidup Charlie lebih mudah—mungkin membuatnya senang bila pulang dan menemukan rumah bersih dan rapi. Aku memulainya dari kamar mandi—ruangan itulah yang paling menunjukkan tanda-tanda tidak terurus.
Sementara aku bekerja, Alice bersandar di ambang pintu dan mengajukan pertanyaan remeh tentang, Well, teman-teman SMA kami seru apa saja yang mereka kerjakan semenjak ia pergi. Wajahnya tetap tenang dan tanpa emosi, tapi aku bisa merasakan ketidaksukaannya waktu ia sadar betapa sedikitnya yang bisa kuceritakan padanya.
Atau mungkin itu hanya perasaan bersalahku setelah menguping pembicaraannya dengan Charlie kemarin pagi. Aku sedang sibuk berkutat dengan cairan pembersih, menggosok dasar bak mandi, waktu bel pintu berbunyi. Aku langsung menoleh pada Alice, dan ekspresinya terperangah, nyaris waswas, hal yang aneh; Alice tidak pernah terkejut.
"Sebentar!" seruku ke pintu depan, berdiri, lalu bergegas ke wastafel untuk membasuh kedua lenganku.
"Bella," kata Alice dengan secercah nada frustrasi dalam suaranya, "kurasa aku bisa menebak siapa yang datang itu, jadi kupikir ada
baiknya kalau aku pergi."
"Menebak?" aku menirukan. Sejak kapan Alice harus menebak sesuatu?
"Bila ini pengulangan dari ketidakmampuanku melihat masa depan seperti yang terjadi kemarin, maka besar kemungkinan yang datang itu Jacob Black atau salah seorang. temannya."
Aku menatap Alice, mulai paham. "Jadi kau tidak bisa melihat werewolf?"
Alice meringis. "Sepertinya begitu." Jelas ia jengkel oleh fakta ini—sangat jengkel. Bel pintu berdering lagi—berbunyi untuk kedua kalinya, cepat dan tidak sabar.
"Kau tidak perlu pergi ke mana-mana, Alice. Kau yang lebih dulu berada di sini."
Alice mengumandangkan tawa kecilnya yang merdu itu— ada nada sinis di sana. "Percayalah padaku—bukan ide bagus membiarkan aku berada
dalam ruangan yang sama dengan Jacob Black."
Alice mengecup pipiku sekilas sebelum lenyap di balik pintu kamar Charlie—dan keluar dari jendela kamar bagian belakang, tak diragukan lagi. Bel pintu kembali berdering.


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates