Baca Online New Moon part 17
17.
TAMU
DIAM tak bergerak
dan putih, dengan mata hitam besar terpaku di wajahku, tamuku menunggu,
bergeming di tengah ruang depan,
cantik luar
biasa. Sesaat lututku gemetar, dan aku nyaris rubuh.
Detik
berikutnya aku menghambur menghampirinya.
"Alice,
oh, Alice!" pekikku, menubruknya. Aku lupa betapa kerasnya tubuh Alice;
rasanya seperti menabrak dinding semen.
"Bella?"
Suara Alice lega bercampur bingung. Aku memeluknya erat-erat, terengah-engah karena
berusaha menghirup sebanyak mungkin
aroma
kulitnya. Baunya lain dari yang lain—bukan beraroma bunga ataupun
rempah-rempah, juga bukan wangi jeruk ataupun musk. Tak satu parfum pun di
dunia ini yang bisa menandinginya. Ingatanku tidak bisa mengingatnya dengan
tepat. Aku tidak sadar saat napasku yang terengahengah berubah menjadi sesuatu
yang lain – aku baru sadar bahwa aku menangis tersedu-sedu ketika Alice menyeretku
ke sofa ruang tamu dan menarikku ke pangkuannya. Rasanya seperti meringkuk dalam
pelukan patung baru, tapi lekukan tubuh patung batu itu pas benar dengan bentuk
tubuhku. Alice mengusap-usap punggungku dengan lembut, menungguku menguasai
diri kembali.
"Aku.
maafkan aku," isakku. "Aku hanya sangat bahagia bertemu
denganmu!"
"Sudahlah,
Bella. Semua baik-baik saja."
"Ya,"
isakku. Dan, kali ini, sepertinya memang begitu.
Alice mendesah.
"Aku sudah lupa betapa emosionalnya kau," katanya, nadanya terdengar tidak
suka.
Aku mendongak
dan memandangnya dari selasela air mataku. Leher Alice tegang, menjauhiku, bibirnya
terkatup rapat. Matanya hitam kelam.
"Oh"
aku mengembuskan napas, menyadari masalahnya. Alice haus. Dan aromaku menggoda.
Sudah lama sekali aku tak pernah lagi memikirkan hal semacam itu.
"Maaf."
"Ini
salahku sendiri. Sudah lama sekali aku tidak berburu. Seharusnya aku tidak
membiarkan diriku sehaus itu. Tapi aku terburu-buru hari ini."
Tatapannya
yang diarahkan padaku sangat garang.
"Omong-omong,
maukah kau menjelaskan padaku bagaimana caranya sampai kau masih hidup?" Pertanyaan
ini membuatku kaget dan langsung menghentikan sedu-sedanku. Aku langsung menyadari
apa yang terjadi, dan mengapa Alice datang ke sini.
Aku menelan
ludah dengan suara keras. "Kau melihatku jatuh."
"Tidak,"
sergah Alice, matanya menyipit. "Aku melihatmu melompat.”
Aku mengerucutkan
bibir sambil berusaha memikirkan penjelasan yang tidak terdengar sinting. Alice
menggelengkan kepala. "Sudah kubilang
padanya ini
bakal terjadi, tapi dia tidak percaya padaku. 'Bella sudah berjanji,’” Alice
menirukan suara Edward dengan sangat sempurna hingga membuatku membeku shock saat kepedihan merobek tubuhku. '"Jangan
mencoba melihat masa depannya juga,'" sambung Alice, masih mengutip kata-kata
Edward. "'Kita sudah cukup membuatnya menderita.'
"Tapi
meski tidak mencari, bukan berarti aku tidak melihat," lanjut Alice.
"Aku bukannya mengawasimu, sumpah, Bella. Hanya saja sudah
terjalin
hubungan batin denganmu, jadi. Waktu aku melihatmu melompat, tanpa pikir
panjang aku langsung naik pesawat. Aku tahu pasti sudah terlambat, tapi aku
tidak bisa tidak melakukan apa-apa. Kemudian aku sampai di sini, berpikir mungkin
aku bisa membantu Charlie, dan tahutahu kau datang." Alice
menggeleng-gelengkan
kepala, kali
ini karena bingung. Suaranya tegang.
"Aku
melihatmu tercebur ke air dan aku menunggu dan menunggumu muncul kembali, tapi
kau tidak keluar-keluar juga. Apa yang terjadi? Dan tega benar kau berbuat
begitu kepada Charlie? Pernahkah kau berhenti sejenak untuk memikirkan
dampaknya bagi dia? Dan bagi kakakku? Apa kau pernah berpikir apa yang Edward—"
Aku langsung
memotongnya saat itu juga, begitu mendengarnya menyebut nama Edward. Tadi kubiarkan
saja dia nyerocos, bahkan setelah aku sadar dia salah paham, hanya untuk
mendengar suaranya yang bagaikan denting lonceng merdu itu. Tapi sekarang sudah
saatnya menyela.
"Alice,
aku bukan mau bunuh diri.” Alice menatapku ragu. "Jadi maksudmu, kau tidak
terjun dari tebing?"
"Bukan,
tapi." aku meringis. "Itu kulakukan hanya untuk
bersenang-senang." Ekspresinya mengeras.
"Aku
pernah melihat teman-teman Jacob terjun dari tebing," sergahku.
"Kelihatannya. asyik, dan aku
sedang bosan."
Ia menunggu.
"Aku
tidak mengira badai akan memengaruhi arus air. Sebenarnya, aku bahkan tidak memikirkan
air sama sekali."
Alice tidak
percaya begitu saja. Kentara sekali ia masih mengira aku mencoba bunuh diri. Kuputuskan
untuk mengalihkan pikirannya. “Jadi
kalau kau melihatku
terjun, mengapa kau tidak melihat Jacob?”
Alice menelengkan
kepalanya ke satu sisi, perhatiannya terusik.
Aku melanjutkan.
"Memang benar aku mungkin sudah tenggelam seandainya Jacob tidak melompat menyusulku.
Well, oke, bukan
mungkin lagi. Tapi untunglah dia menyusulku, dan dia menarikku ke
permukaan, dan
kurasa dia menyeretku ke pantai, walaupun saat itu aku pingsan jadi tidak tahu
apaapa. Aku tidak mungkin tenggelam lebih dari satu menit sebelum dia
menyambarku. Bagaimana kau bisa tidak melihatnya?"
Kening Alice
berkerut bingung. "Ada orang yang menarikmu keluar?"
"Ya.
Jacob menyelamatkan aku."
Kutatap Alice
dengan sikap ingin tahu sementara berbagai emosi berkecamuk di wajahnya. Ia
merasa terganggu oleh sesuatu—visinya yang tidak sempurna? Tapi aku tak yakin.
Kemudian ia mencondongkan tubuh dan mengendus bahuku. Aku langsung mengejang.
"Jangan
konyol," kecamnya, mengendusiku lagi.
"Kau
sedang apa?"
Alice mengabaikan
pertanyaanku. "Siapa yang bersamamu barusan? Kedengarannya kalian tadi bertengkar."
"Jacob
Black. Dia. sahabatku, begitulah. Setidaknya, dulu." Ingatanku melayang
pada wajah Jacob yang marah dan merasa dikhianati, bertanya-tanya dalam hati
apa statusnya bagiku sekarang.
Alice mengangguk,
sepertinya sibuk memikirkan hal lain.
"Apa?"
"Entahlah,"
tukasnya. "Aku tak yakin itu berarti apa."
"Well, aku tidak tewas,
setidaknya." Alice memutar bola matanya. “Sungguh tolol Edward, mengira
kau bisa bertahan hidup sendirian. Belum pernah kulihat orang yang begitu mudah
tersangkut pada hal-hal tolol yang mengancam nyawa."
"Aku
bertahan kok," tegasku.
Alice
memikirkan hal lain. "Jadi, kalau arus air terlalu kuat bagimu, bagaimana
Jacob ini bisa menolongmu?"
"Jacob
itu. kuat"
Alice mendengar
keengganan dalam suaraku, dan alisnya terangkat.
Aku menggigit bibir
sejenak. Ini rahasia atau bukan? Dan kalau ini rahasia, kepada siapa aku lebih
berpihak? Jacob, atau Alice?
Terlalu sulit
menyimpan rahasia, aku memutuskan. Jacob tahu semuanya, jadi mengapa Alice tidak?
"Begini, Well dia itu. werewolf,” aku mengakui dengan
sikap buru-buru. "Suku Quileute berubah menjadi serigala bila ada vampir
di sekitar mereka. Mereka sudah kenal Carlisle sejak dulu sekali. Apakah saat
itu kau sudah bersama Carlisle?”
Alice ternganga
sejenak, tapi sejurus kemudian pulih dari kekagetannya, matanya mengerjap cepat.
"Well, kalau begitu
pantas ada bau itu,”
gerutunya.
"Tapi apakah itu menjelaskan apa yang tidak kulihat?" Ia berpikir,
kening porselennya berkerut.
"Bau?"
ulangku.
"Baumu
tidak enak," cetus Alice sambil lalu, keningnya masih berkerut. "Werewolf? Kau yakin soal
itu?"
"Yakin
sekali," aku memastikan, meringis saat teringat bagaimana Paul dan Jacob
bertarung di jalan. "Kalau begitu kau masih belum bersama
Carlisle waktu
terakhir kali ada werewolf di
Forks?"
"Belum.
Aku belum menemukannya." Alice masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Tibatiba matanya membelalak, dan ia berpaling,
menatapku
dengan ekspresi shock.
"Sahabatmu werewolf?”
Aku mengangguk
malu-malu. "Ini sudah berlangsung berapa lama?"
"Belum lama,"
jawabku, suaraku terdengar defensif. "Dia baru beberapa minggu menjadi werewolf!”
Alice
membelalak memandangiku. "Werewolf
yang masih muda? Itu bahkan lebih parah! Edward benar—kau magnet yang menarik bahaya.
Bukankah kau
seharusnya menghindari bahaya?"
"Tidak
ada yang salah dengan werewolf!”
gerutuku, tersinggung mendengar nadanya yang mengkritik.
"Sampai
amarah mereka meledak." Alice menggeleng kuat-kuat. "Dasar kau, Bella.
Orang lain pasti bakal hidup lebih baik setelah para vampir meninggalkan kota.
Tapi kau langsung bergaul dengan monster-monster pertama yang bisa
kautemukan."
Aku tidak ingin
berdebat dengan Alice—aku masih gemetaran saking gembira karena ia benarbenar, sungguh-sungguh
ada di sini, hingga aku
bisa menyentuh
kulit marmernya dan mendengar suaranya yang seperti genta angin—tapi ia sangat keliru.
"Tidak,
Alice, para vampir tidak sepenuhnya pergi—tidak
semuanya, paling tidak. Justru itulah masalahnya.
Kalau bukan karena para werewolf itu, Victoria pasti sudah berhasil
menemukanku sekarang. Well kalau bukan karena Jake dan teman-temannya, Laurent pasti berhasil
membunuhku
sebelum Victoria, kurasa, jadi—"
"Victoria?"
desis Alice. "Laurent?"
Aku
mengangguk, sedikit waswas melihat ekspresi yang terpancar dari mata hitamnya. Kutuding
dadaku sendiri. "Magnet yang menarik bahaya, ingat?"
Alice
menggeleng-geleng lagi. "Ceritakan semua padaku— dari awal."
Aku memoles awal
kisahku, sengaja melewatkan cerita tentang motor dan suara-suara itu, tapi membeberkan
semua yang terjadi sampai hari ini. Alice tidak menyukai penjelasan singkatku
tentang kebosanan dan lompat tebing, jadi aku buru-buru menceritakan tentang
api aneh yang kulihat di air dan apa perkiraanku mengenainya. Matanya menyipit
hingga nyaris segaris di bagian itu. Aneh juga melihatnya begitu. begitu
berbahaya—seperti vampir. Aku menelan ludah dengan susah payah
dan melanjutkan
kisahku tentang Harry. Alice mendengarkan ceritaku tanpa menyela. Sesekali, ia
menggeleng, dan kerutan di keningnya
semakin dalam
hingga tampak seperti terpahat secara permanen di kulit marmernya. Ia tidak berbicara
dan, akhirnya, aku terdiam, dicekam
kesedihan karena
kematian Harry. Pikiranku melayang pada Charlie; sebentar lagi ia pulang. Bagaimana
kira-kira kondisinya?
"Kepergian
kami sama sekali tidak membawa kebaikan bagimu, ya?" gumam Alice.
Aku tertawa
satu kali—kedengarannya agak histeris. "Memang tujuannya bukan itu, kan? Kalian
pergi bukan demi kebaikanku."
Alice merengut
memandangi lantai beberapa saat.
"Well, kurasa aku
bertindak impulsif hari ini tadi.
Mungkin seharusnya aku tidak ikut campur."
Bisa kurasakan
darah surut dari wajahku. Perutku langsung
mulas. "Jangan pergi, Alice," bisikku.
Jari-jariku mencengkeram kerah kemeja
putihnya dan
aku mulai tak bisa bernapas.
"Kumohon,
jangan tinggalkan aku."
Mata Alice
membelalak semakin lebar, "Baiklah," ia memberi penekanan pada setiap
katanya. "Aku tidak akan ke mana-mana malam ini. Tarik napas dalam-dalam."
Aku berusaha
menuruti, meski rasanya itu mustahil. Alice memandangi wajahku sementara aku berkonsentrasi
menarik napas. Ia menunggu
sampai aku
lebih tenang untuk berkomentar.
"Kau
kelihatan kacau sekali, Bella."
"Aku kan
tadi tenggelam," aku mengingatkannya.
"Bukan
itu maksudku. Kau berantakan." Aku tersentak. "Dengar, aku sudah
berusaha semampuku."
"Apa
maksudmu?"
“Ini tidak
mudah. Aku sedang berjuang mengatasinya."
Kening Alice
berkerut. "Sudah kubilang pada Edward," katanya pada diri sendiri.
"Alice,"
aku mendesah. "Kaukira kau bakal menemukan apa tadi? Maksudku, selain aku
mati? Apakah kau berharap akan menemukanku dalam keadaan ceria dan
bernyanyi-nyanyi gembira? Kau kan tahu bagaimana aku."
"Memang.
Tapi harapanku begitu."
"Kalau
begitu berarti aku bukan orang paling tolol di dunia.”
Telepon
berdering.
“Itu pasti
Charlie," kataku, berdiri dengan susah payah. Kusambar tangan Alice yang
sekeras batu dan kuseret ia bersamaku ke dapur. Aku takkan melepaskannya dari
pandanganku.
"Charlie?"
seruku di corong telepon.
"Bukan,
ini aku," sahut Jacob.
"Jake!"
Alice mengamati
ekspresiku. "Hanya ingin memastikan kau masih hidup," kata Jacob
masam.
"Aku
baik-baik saja. Sudah kubilang itu bukan—"
”Yeah. Aku
mengerti. Bye," Jacob langsung menutup telepon.
Aku mendesah
dan menengadahkan kepala, menatap langit-langit. "Gawat."
Alice meremas
tanganku. "Mereka tidak suka aku datang."
"Memang tidak.
Tapi itu toh bukan urusan mereka."
Alice merangkul
bahuku. "Jadi apa yang kita lakukan sekarang?" tanyanya. Sesaat ia
seperti bicara pada dirinya sendiri. "Banyak yang harus dilakukan.
Membereskan yang belum selesai."
"Melakukan
apa?"
Wajah Alice mendadak
terlihat hati-hati. "Aku tidak begitu yakin. aku harus menemui
Carlisle."
Apakah dia harus
pergi secepat ini? Perutku langsung mulas.
"Tidak
bisakah kau tinggal dulu di sini?" pintaku. "Please? Sebentar saja. Aku sangat rindu
padamu." Suaraku pecah.
"Kalau menurutmu
itu ide bagus" Matanya terlihat tidak senang. "Menurutku itu ide bagus. Kau bisa
menginap di sini – Charlie pasti senang sekali."
"Aku kan
punya rumah, Bella" Aku mengangguk, kecewa tapi tidak menyerah. Alice
ragu-ragu, mengamanku.
"Well aku kan perlu mengambil baju
ganti, paling tidak."
Aku
memeluknya. "Alice, kau baik sekali!"
"Dan kurasa
aku harus berburu. Segera," imbuhnya kaku.
"Uups"
Aku langsung mundur selangkah.
"Kau bisa
kan, menghindari masalah satu jam saja?" tanyanya skeptis. Kemudian,
sebelum aku sempat menjawab, Alice mengacungkan satu jari dan memejamkan mata.
Wajahnya datar dan kosong selama beberapa detik.
Kemudian matanya
terbuka dan ia menjawab pertanyaannya sendiri. "Ya, kau akan baik-baik saja.
Setidaknya malam ini." Ia meringis. Bahkan saat mengernyit seperti itu, ia
masih terlihat seperti malaikat.
"Nanti
kau kembali, kan?" tanyaku, suaraku kecil. "Aku janji—satu jam."
Kulirik jam di
meja dapur. Alice tertawa dan mencondongkan tubuh cepat-cepat untuk mengecup
pipiku. Detik berikutnya ia sudah pergi.
Aku menarik
napas dalam-dalam. Alice akan kembali. Tiba-tiba aku merasa jauh lebih enak. Banyak
sekali yang harus kulakukan untuk
menyibukkan diri
sambil menunggu. Mandi jelas jadi prioritas pertama. Sambil menanggalkan pakaian,
aku mengendusi bahuku, tapi tidak bisa
mencium bau
apa pun kecuali bau garam dan rumput laut. Aku jadi penasaran apa maksud Alice mengatakan
tubuhku bau sekali.
Setelah tubuhku
bersih, aku kembali ke dapur. Tidak terlihat tanda-tanda Charlie sudah makan, jadi
mungkin ia lapar jika pulang nanti. Aku
bergumam tanpa
nada sambil menyibukkan diri di dapur.
Sementara
kaserol hari Kamis kemarin sedang dipanaskan di microwave, aku memasang seprai
di sofa dan meletakkan bantal tua. Alice tidak membutuhkannya, tapi Charlie
perlu melihatnya. Aku berhati-hati untuk tidak mengawasi jam dinding. Tak ada
alasan untuk panik; Alice sudah berjanji.
Aku tergesa-gesa
menghabiskan makananku tanpa merasakannya—yang kurasakan hanya perih saat
makanan meluncur di tenggorokanku yang luka. Kebanyakan aku haus; pasti ada
setengah galon air laut yang terminum olehku. Tingginya kadar garam dalam
tubuhku membuatku
dehidrasi. Aku
beranjak untuk mencoba nonton TV sambil menunggu.
Ternyata Alice
sudah di sana, duduk di tempat tidurnya yang telah kusiapkan. Matanya bagaikan butterscotch cair. Ia tersenyum
dan menepuknepuk bantal. "Trims."
"Kau
datang lebih awal," seruku, gembira. Aku duduk di sebelahnya dan
menyandarkan kepalaku di bahunya. Ia melingkarkan lengannya yang dingin di
bahuku dan mendesah.
"Bella.
Harus kami apakan kau?"
"Entahlah,"
aku mengakui. "Aku benar-benar sudah berusaha sekuat tenaga."
“Aku percaya
padamu." Lalu kami terdiam
"Apakah—apakah
dia." Aku menghela napas dalam-dalam. Lebih sulit menyebut namanya dengan
suara keras, walaupun aku bisa memikirkannya sekarang. "Apakah Edward tahu
kau di sini?" Aku tidak tahan untuk tidak bertanya. Bagaimanapun, itu
kepedihanku. Aku
akan membereskannya
setelah Alice pergi nanti, aku berjanji pada diriku sendiri, dan merasa mual memikirkannya.
"Tidak."
Hanya ada satu kemungkinan bahwa itu benar.
"Dia
tidak sedang bersama Carlisle dan Esme?"
"Dia
datang beberapa bulan sekali."
"Oh."
Kalau begitu ia pasti masih sibuk menikmati hal-hal lain yang bisa mengalihkan pikirannya.
Aku memfokuskan rasa ingin tahuku pada topik lain yang lebih aman. "Kau
hilang tadi kau terbang ke sini. Kau datang dari mana?"
"Aku
sedang di Denali. Mengunjungi keluarga Tanya."
"Apakah
Jasper ada di sini? Dia datang bersamamu?"
Alice menggeleng.
"Dia tidak suka aku ikut campur. Kami sudah berjanji." Suaranya menghilang,
kemudian nadanya berubah.
"Menurutmu
Charlie tidak keberatan aku datang ke sini?" tanyanya, terdengar waswas.
"Charlie
menganggapmu baik sekali, Alice"
"Well, sebentar lagi kita akan
tahu."
Benar saja,
beberapa detik kemudian aku mendengar suara mobil memasuki halaman. Aku melompat
dan bergegas membukakan pintu.
Charlie
tersaruk-saruk pelan meniti jalan, matanya tertuju ke tanah dan bahunya
terkulai. Aku menghampirinya; ia bahkan tidak melihatku
sampai aku memeluk
pinggangnya. Ia membalas pelukanku dengan sepenuh hati.
“Aku ikut
sedih mendengar tentang Harry, Dad"
"Aku akan
sangat kehilangan dia," gumam Charlie.
"Bagaimana
keadaan Sue?"
"Dia
seperti orang linglung, seperti belum bisa mencernanya. Sam menemaninya
sekarang."
Volume
suaranya hilang-timbul. "Kasihan anakanak itu. Leah hanya setahun lebih
tua daripada kau, sementara Seth baru empat belas." Charlie
menggeleng-gelengkan kepala. Sambil tetap merangkulku, Charlie berjalan lagi menuju
pintu.
"Em,
Dad?" Kupikir lebih baik aku mengingatkannya dulu. "Dad pasti tidak
akan menyangka siapa yang sedang di sini sekarang."
Charlie
menatapku kosong. Kepalanya menoleh dan melihat Mercedez yang diparkir di
seberang jalan, cahaya lampu teras terpantul di bodinya
yang dicat hitam
mengilat. Sebelum ia sempat bereaksi, Alice sudah berdiri di ambang pintu.
"Hai,
Charlie," sapanya pelan. "Maaf aku datang pada saat yang sangat tidak
tepat."
"Alice
Cullen?" Charlie memicingkan mata, memandangi sosok mungil di depannya,
seolaholah meragukan matanya sendiri. "Alice, benarkah
itu kau?"
"Ini
memang aku," Alice membenarkan.
"Kebetulan
aku sedang berada di sekitar sini."
"Apakah
Carlisle.?"
“Tidak, aku
sendirian."
Baik Alice
maupun aku tahu bukan Carlisle sebenarnya yang ingin ditanyakan Charlie. Lengannya
mencengkeram bahuku lebih erat.
"Dia
boleh menginap di sini, kan?" pintaku. "Aku sudah memintanya."
"Tentu
saja," jawab Charlie datar. "Kami senang menerimamu di sini,
Alice."
"Terima
kasih, Charlie. Aku tahu waktunya sangat tidak tepat."
"Tidak, tidak
apa-apa, sungguh. Aku akan sangat sibuk melakukan apa yang bisa kulakukan untuk
keluarga Harry; aku senang ada yang
menemani
Bella."
"Makan
malam sudah siap di meja, Dad," aku memberi tahu ayahku.
"Trims,
Bell" Ia meremas bahuku sekali lagi sebelum tersaruk-saruk ke dapur. Alice
kembali ke sofa, dan aku mengikutinya. Kali ini dialah yang merangkul bahuku
"Kau
kelihatan capek."
"Yeah,"
aku sependapat, dan mengangkat bahu.
"Begitulah
kalau habis mengalami peristiwa yang nyaris menyebabkan kematian. Jadi, apa pendapat
Carlisle mengenai kedatanganmu ke
sini?"
"Dia
tidak tahu. Dia dan Esme sedang pergi berburu. Beberapa hari lagi dia
kembali."
"Kau
tidak akan memberi tahu dia, kan. Kalau dia datang lagi nanti?'' tanyaku. Alice
tahu yang kumaksud kali ini bukan Carlisle.
"Tidak.
Bisa-bisa dia ngamuk nanti," jawab Alice muram. Aku tertawa, kemudian
mendesah. Aku tidak kepingin tidur. Aku ingin berjaga
sepanjang malam,
mengobrol dengan Alice. Lagi pula, tidak masuk akal bila aku lelah, karena seharian
tadi aku tidur di sofa Jacob. Tapi
tenggelam
benar-benar menguras habis tenagaku, tapi mataku tak mau diajak kompromi. Kuletakkan
kepalaku bahunya yang sekeras batu, dan
terhanyut
dalam tidur yang lebih tenang daripada yang bisa kuharapkan.
Aku bangun
pagi-pagi sekali, dari tidur nyenyak tanpa mimpi, merasa segar bugar tapi kaku.
Aku terbaring di sofa, di bawah selimut yang kusiapkan untuk Alice, dan aku
bisa mendengarnya mengobrol dengan Charlie di dapur. Kedengarannya Charlie
sedang membuatkan
sarapan
untuknya.
"Seberapa
parah keadaannya, Charlie?" tanya Alice lirih, dan awalnya kukira mereka
sedang membicarakan keluarga Clearwater.
Charlie
mendesah. "Parah sekali."
"Ceritakan
semua padaku. Aku ingin tahu persis apa yang terjadi setelah kami pergi."
Sejenak tidak terdengar
apa-apa kecuali pintu rak dapur ditutup dan pemantik api di kompor dinyalakan.
Aku menunggu, tegang.
"Aku
tidak pernah merasa begitu tak berdaya," Charlie
memulai lambat-lambat. "Aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan. Minggu pertama itu—aku sampai mengira mungkin dia perlu
dirawat di rumah sakit. Dia
tidak mau makan atau minum, juga
tidak mau bergerak. Dr. Gerandy bolak-balik menyebut
istilah 'katatonik’, tapi aku tidak mengizinkannya
menemui Bella. Aku takut itu akan
membuatnya ketakutan.”
“Tapi akhirnya
dia normal lagi?"
"Aku meminta
Renee datang dan membawanya ke Florida. Pokoknya aku tidak mau menjadi orang yang
seandainya dia harus dirawat di rumah sakit atau sebangsanya. Aku berharap
tinggal dengan ibunya bisa membantu. Tapi waktu kami mulai mengemasi
pakaiannya, tiba-tiba saja dia bangun. Aku pernah melihat Bella mengamuk seperti
itu. Dia bukan anak pemarah, tapi, ya ampun, saat itu dia mengamuk
habis-habisan. Dia menghamburkan pakaiannya ke mana-mana dan berteriak-teriak,
tidak mau disuruh pergi—kemudian akhirnya dia mulai menangis.
Menurutku, itulah
titik baliknya. Aku tidak membantah waktu dia bersikeras ingin tetap tinggal di
sini. dan awalnya dia benar-benar
seperti sudah
membaik."
Suara Charlie
menghilang. Sulit mendengarnya mencurahkan isi hati seperti ini, tahu betapa
aku sudah sangat menyusahkannya.
"Tapi?”
desak Alice.
"Dia
kembali bersekolah dan bekerja, makan, tidur, dan mengerjakan PR. Dia menjawab
bila ditanya. Tapi dia kosong. Matanya hampa.
Banyak hal kecil
yang hilang—dia tidak mau mendengarkan musik lagi; aku bahkan pernah menemukan
setumpuk CD rusak di tong sampah.
Dia tidak
membaca; dia tidak mau berada di ruangan yang sama bila TV menyala, meskipun sejak dulu dia memang jarang nonton TV
Akhirnya
aku mengerti—Bella
sengaja menghindar dari segala sesuatu yang mengingatkannya pada dia.
"Kami
nyaris tak bisa berbicara; aku sangat khawatir akan mengatakan hal-hal yang
bisa membuatnya sedih—hal-hal kecil saja bisa
membuatnya kalut—dan
dia tidak pernah memulai pembicaraan. Dia baru menjawab bila kutanya.
"Dia
sendirian terus sepanjang waktu. Tidak pernah membalas telepon teman-temannya,
dan setelah beberapa saat, mereka berhenti menelepon.Pendek kata, rasanya
seperti tinggal dengan mayat hidup. Aku masih mendengar dia menjerit dalam
tidurnya.”
Aku nyaris
bisa melihatnya bergidik. Aku sendiri juga bergidik waktu ingat. Kemudian aku mendesah.
Ternyata aku tidak berhasil memperdaya Charlie dengan berpura-pura terlihat baik-baik
saja. Sedikit pun dia tidak terperdaya.
"Aku
sangat menyesal mendengarnya, Charlie," ucap Alice, nadanya muram.
"Itu
bukan salahmu." Cara Charlie mengucapkan hal itu menunjukkan dengan jelas
bahwa ia menganggap ada orang yang
bertanggung jawab dalam hal itu. "Sejak dulu kau selalu baik padanya."
"Sepertinya
dia sudah lebih baik sekarang"
"Yeah.
Sejak dia bergaul dengan Jacob Black, aku melihat banyak kemajuan. Pipinya mulai
merona lagi bila dia pulang, matanya juga kembali bercahaya. Dia lebih
bahagia." Charlie terdiam sejenak, dan suaranya berbeda waktu berbicara lagi.
"Jacob satu atau dua tahun lebih muda daripada Bella, dan aku tahu dia
dulu menganggap
Jacob sebagai
teman, tapi kurasa mungkin hubungan mereka sekarang lebih daripada itu, atau
mengarah ke sana paling tidak." Charlie mengucapkannya dengan nada yang
nyaris seperti mengajak perang. Itu peringatan, bukan bagi Alice, tapi agar
Alice meneruskannya ke pihak lain.
"Walaupun
lebih muda, Jake sangat dewasa," sambung Charlie, nadanya masih defensif.
"Dia mengurus ayahnya secara fisik seperti Bella mengurus ibunya secara
emosional. Itu mendewasakan dia. Anaknya juga tampan—mirip ibunya. Dia cocok
dengan Bella," Charlie
menandaskan.
"Kalau
begitu, untunglah Bella memiliki dia," Alice sependapat.
Charlie
mengembuskan napas panjang, merasa tidak punya lawan lagi. "Oke, kurasa
itu terlalu melebih-lebihkan. Entahlah. bahkan meskipun
sudah ada
Jacob, sesekali aku masih melihat sesuatu di matanya, dan aku bertanya-tanya apakah
bisa memahami betapa sakit hatinya
sesungguhnya.
Itu tidak normal, Alice, dan itu. itu membuatku takut. Sama sekali tidak
normal. Tidak seperti. ditinggal seseorang, tapi seolaholah seperti ada yang
meninggal.” Suara Charlie pecah.
Memang seperti ada yang
meninggal—seolaholah akulah yang meninggal. Karena rasanya lebih dari sekadar
kehilangan seseorang yang merupakan cinta paling sejati dalam hidupku. Tapi juga
kehilangan seluruh masa depan, seluruh keluarga— seluruh hidup yang telah
kupilih.
Charlie melanjutkan
ceritanya dengan nada tak berdaya. "Aku tidak tahu apakah Bella akan bisa melupakannya—aku
tak yakin apakah dia bisa
pulih dari
sesuatu seperti ini. Sejak dulu dia selalu konstan dalam segala hal. Dia bukan
tipe orang yang melupakan masa lalu, atau yang bisa
berubah
pikiran."
"Dia
memang berbeda dari yang lain," Alice membenarkan dengan suara kering.
"Dan
Alice." Charlie ragu-ragu sejenak. "Kau tahu
aku sayang padamu, dan bisa kulihat dia senang
bisa bertemu lagi denganmu, tapi. aku
agak khawatir
bagaimana kunjunganmu ini akan berakibat padanya."
“Aku juga
begitu, Charlie, aku juga begitu. Aku tidak akan datang seandainya tahu
keadaannya seperti ini. Maafkan aku."
“Jangan
meminta maaf, Sayang. Siapa yang tahu? Mungkin ini akan berdampak baik
baginya."
"Mudah-mudahan
kau benar."
Lama tidak terdengar
suara apa-apa kecuali bunyi garpu menggesek piring dan suara Charlie mengunyah.
Aku bertanya-tanya dalam hati di
mana Alice
menyembunyikan makanannya.
“Alice, aku
harus menanyakan sesuatu padamu," kata Charlie canggung. Alice tetap
tenang. "Silakan."
"Dia
tidak bermaksud kembali ke sini untuk berkunjung, bukan?" Aku bisa
mendengar amarah tertahan dalam suara Charlie. Alice menjawab dengan nada lembut
dan menenangkan. "Dia bahkan tidak tahu aku kemari. Terakhir kali aku bicara
dengannya, dia sedang di Amerika Selatan."
Tubuhku langsung
tegang mendengar informasi baru ini, dan membuka telingaku lebar-lebar.
"Baguslah
kalau begitu," dengus Charlie. "Well,
kuharap dia senang di sana."
Untuk pertama
kali terdengar secercah nada kaku dalam suara Alice. "Aku tidak akan berasumsi
apa-apa, Charlie." Aku tahu bagaimana
matanya
berkilat bila ia menggunakan nada itu. Terdengar suara kursi didorong menjauhi
meja, menggesek lantai dengan suara keras. Aku
membayangkan
Charlie berdiri; tak mungkin Alice menghasilkan suara seberisik itu. Keran
diputar, airnya menciprat membasahi piring.
Sepertinya
mereka tidak akan membicarakan Edward
lagi, maka kuputuskan sekaranglah waktunya
bangun. Aku berbalik, sengaja
membuat pegas sofa berderit. Lalu aku
menguap dengan suara keras.
Suara-suara di
dapur langsung terdiam. Aku menggeliat dan mengerang.
"Alice?"
panggilku pura-pura lugu; suaraku yang parau karena tenggorokanku sakit membuat
sandiwaraku semakin meyakinkan.
“Aku di dapur,
Bella,” seru Alice, tak ada tandatanda dalam suaranya bahwa ia curiga aku menguping
pembicaraan mereka tadi. Tapi ia
memang pandai
menyembunyikan hal-hal semacam itu.
Charlie harus
berangkat saat itu—ia akan membantu Sue Clearwater mengurus segala sesuatu
berkaitan dengan pemakaman Harry. Ini
pasti akan jadi
hari yang sangat panjang dan membosankan seandainya tidak ada Alice. Ia belum
mengatakan kapan akan pergi, dan aku juga
tidak
bertanya. Aku tahu itu takkan bisa dihindari, tapi aku sengaja tidak mau
memikirkannya. Kami malah mengobrol tentang keluarganya—
semua kecuali
satu. Carlisle bekerja shift malam
di Ithaca dan
mengajar paruh
waktu di Cornell. Esme merestorasi sebuah rumah yang didirikan pada abad
ketujuh belas, sebuah monumen bersejarah, di hutan di utara kota. Emmett dan
Rosalie sempat pergi berbulan madu lagi ke Eropa selama beberapa bulan, tapi
sekarang sudah kembali.
Jasper juga
berada di Cornell, kali ini belajar filosofi. Sementara Alice melakukan
beberapa riset pribadi, berkaitan dengan informasi yang tanpa sengaja kutemukan
untuknya musim semi lalu. Ia berhasil melacak keberadaan rumah sakit jiwa tempatnya
menghabiskan tahun-tahun terakhirnya sebagai manusia. Kehidupan yang tidak diingatnya
sama sekali.
"Namaku dulu
Mary Alice Brandon," Alice bercerita padaku dengan suara pelan. “Aku punya
adik perempuan bernama Cynthia. Anak
perempuannya—keponakanku—masih
hidup dan tinggal di Biloxi."
Kau berhasil
mengetahui alasan mereka memasukkanmu ke tempat itu?” Apa yang membuat orangtua
sanggup melakukan hal seekstrem itu? Walaupun putri mereka bisa melihat hal-hal
yang akan terjadi di masa depan.
Alice
menggeleng, mata topaz-nya berpikir. "Tak banyak yang bisa kutemukan
mengenai mereka. Aku meneliti semua koran lama yang disimpan di mikrofilm.
Keluargaku tidak sering disebut-sebut; mereka bukan bagian dari lingkaran
sosial yang diberitakan di koran-koran. Yang ada hanya berita pertunangan kedua
orangtuaku, juga pertunangan Cynthia," Nama itu diucapkan dengan sikap canggung.
"Kelahiranku juga diumumkan. Begitu juga kematianku. Aku menemukan
hiburanku. Aku juga mencuri formulir pendaftaranku ke
rumah sakit jiwa
dari arsip lama rumah sakit. Tanggal aku masuk ke sana dan tanggal di nisanku sama."
Aku tidak tahu
harus mengatakan apa, dan, setelah terdiam sejenak, Alice beralih ke
topik-topik lain yang lebih ringan. Keluarga Cullen telah berkumpul lagi
sekarang, kecuali satu orang, menghabiskan liburan musim semi di Denali bersama
Tanya dan keluarganya. Aku mendengarkan dengan penuh semangat, bahkan kabar-kabar
yang paling remeh sekalipun. Alice tak pernah menyinggung orang yang paling menarik
hatiku, dan aku mensyukurinya. Cukuplah mendengar cerita-cerita tentang
keluarga yang dulu aku pernah
bermimpi ingin menjadi bagian darinya.
Charlie baru
kembali setelah hari gelap, dan ia tampak lebih lelah daripada malam
sebelumnya. Ia akan kembali ke reservasi besok pagi-pagi sekali untuk
menghadiri pemakaman Harry, jadi ia tidur lebih cepat. Aku tidur di sofa lagi
bersama Alice. Charlie nyaris terlihat seperti orang asing saat berjalan
menuruni tangga sebelum matahari terbit, mengenakan setelan jas tua yang tak
pernah kulihat sebelumnya. Jasnya dibiarkan tak dikancing; kurasa pasti karena
terlalu sesak
sehingga tidak
bisa dikancing Dasinya agak terlalu lebar untuk mode saat ini Ia
berjingkat-jingkat ke pintu, berusaha tidak membangunkan kami. Kubiarkan ia
pergi. Pura-Pura tidur, seperti yang dilakukan Alice di kursi malas. Begitu
Charlie keluar, Alice langsung duduk tegak. Di bawah selimut, ia berpakaian
lengkap.
"Apa yang
akan kita lakukan hari ini?" tanyanya.
"'Entahlah—kau
melihat hal menarik yang bakal terjadi?"
Alice
tersenyum dan menggeleng. "Tapi sekarang kan masih pagi sekali."
Sekian lama
menghabiskan waktu di La Push berarti mengabaikan setumpuk pekerjaan di rumah,
jadi aku memutuskan untuk membereskannya sekarang. Aku ingin melakukan sesuatu,
apa saja, agar hidup Charlie lebih mudah—mungkin membuatnya senang bila pulang dan
menemukan rumah bersih dan rapi. Aku memulainya dari kamar mandi—ruangan itulah
yang paling menunjukkan tanda-tanda tidak terurus.
Sementara aku
bekerja, Alice bersandar di ambang pintu dan mengajukan pertanyaan remeh tentang,
Well, teman-teman
SMA kami seru apa saja yang mereka kerjakan semenjak ia pergi. Wajahnya tetap
tenang dan tanpa emosi, tapi aku bisa merasakan ketidaksukaannya waktu ia sadar
betapa sedikitnya yang bisa kuceritakan padanya.
Atau mungkin
itu hanya perasaan bersalahku setelah menguping pembicaraannya dengan Charlie
kemarin pagi. Aku sedang sibuk berkutat dengan cairan pembersih, menggosok
dasar bak mandi, waktu bel pintu berbunyi. Aku langsung menoleh pada Alice, dan
ekspresinya terperangah, nyaris waswas, hal yang aneh; Alice tidak pernah
terkejut.
"Sebentar!"
seruku ke pintu depan, berdiri, lalu bergegas ke wastafel untuk membasuh kedua lenganku.
"Bella,"
kata Alice dengan secercah nada frustrasi dalam suaranya, "kurasa aku bisa
menebak siapa yang datang itu, jadi kupikir ada
baiknya kalau
aku pergi."
"Menebak?"
aku menirukan. Sejak kapan Alice harus menebak sesuatu?
"Bila ini
pengulangan dari ketidakmampuanku melihat masa depan seperti yang terjadi
kemarin, maka besar kemungkinan yang datang itu Jacob Black atau salah seorang.
temannya."
Aku menatap Alice,
mulai paham. "Jadi kau tidak bisa melihat werewolf?"
Alice meringis.
"Sepertinya begitu." Jelas ia jengkel oleh fakta ini—sangat jengkel. Bel
pintu berdering lagi—berbunyi untuk kedua kalinya, cepat dan tidak sabar.
"Kau
tidak perlu pergi ke mana-mana, Alice. Kau yang lebih dulu berada di
sini."
Alice mengumandangkan
tawa kecilnya yang merdu itu— ada nada sinis di sana. "Percayalah padaku—bukan
ide bagus membiarkan aku berada
dalam ruangan
yang sama dengan Jacob Black."
Alice mengecup
pipiku sekilas sebelum lenyap di balik pintu kamar Charlie—dan keluar dari
jendela kamar bagian belakang, tak diragukan lagi. Bel pintu kembali berdering.
0 komentar:
Post a Comment