October 23, 2014

Nasikh dan Mansyukh

PENDAHULUAN
                  A.    Latar Belakang                                                 
Dari awal hingga akhir al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya. Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan  pedoman  pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu  hukum-hubungan  antara  ketentuan undang-undang  yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.[1]
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."
            B.     Rumusan Masalah
                 1.      Apa pengertian nasikh dan mansyukh ?
                 2.      Apa saja tujuan nasikh dan mansyukh ?
                 3.      Bagaimana cara mengetahui nasikh dan mansukh?
                 4.      Apa saja syarat-syarat nasikh dan mansukh?
                 5.      Bagaimana kedudukan nasikh dan mansukh?
                 6.      Bagaimana ruang lingkup naskh?
                 7.      Bagaimana pembagian nasikh dan mansukh?
                 8.      Bagaimana macam-macam  nasikh dan mansukh?
                 9.      Bagaimana hikmah adanya naskh?


PEMBAHASAN
             A.    Pengertian Nasakh-Mansukh
Nasakh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk  beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu  Hasyim, pengertian  majazinya ialah pemindahan atau pengalihan.Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis. Perbedaan terma yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.[2]
Ulama mutaqaddim member batasan naskh sebagai dalil syar'I yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk  ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hokum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.[3]
Sebaliknya ulama mutaakhkhir  memperciut  batasan-batasan pengertian  tersebut  untuk  mempertajam  perbedaan   antara nasikh  dan  makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum  yang  datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan   hukum   yang terdahulu,   sehingga   ketentuan  yang  diberlakukan  ialah ketentuan  yang   ditetapkan   terakhir   dan   menggantikan ketentuan  yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari  satu  pengertian, dan  di  lain  pihak  dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian.




          B.     Tujuan Nasakh-Mansukh
Allah SWT menurunkan Syari’at as-samawi kepada para Rasul-Nya untuk memperbaiki umat dalam bidang aqidah, ibadah dan mua’malah. Oleh karena aqidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakan atas dasar yang sama yaitu, atas dasar tauhid uluhiyyah dan rububiyah, maka da’wah atau seruan yang disampaikan para rasul adalah sama (Q.S: al-Anbiya’: 25). Yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta meningkatkan dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan.[4]
C.    Cara mengetahui nasikh dan mansukh
Sebagaimana halnya dengan asbabun nuzu, maka nasikh dan mansukh tidak akan diterima apabia semata-mata hanya berdasar pada pendapat pribadi, dugaan atau desas-desus. Maka ada beberapa cara untuk mengetahui nasikh dan mansukh, antara lain:
·         Riwayat harus langsung berasal dari Rasulullah SAW.
·         Ijma’ (kesepakatan di kalangan umat tentang mana yang termasuk nasikh dan mana yang termasuk mansukh).
·         Pengetahuan tentang sejarah wahyu, yaitu mana yang diturunkan terlebih dahulu dan mana yang turun selanjutnya.

D.    Syarat-syarat Nasakh-Mansukh
1.      Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
2.      Dalil yang menghapus hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang kemudian dari yang hukum yang mansukh.
3.      Khitab yang mansukh humkumnya tidak terikat ( dibatasi ), dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu, dan yang demikian tidak dinamakan nasikh.[5]

E.     Kedudukan Naskh
Masalah naskh bukanlah  sesuatu  yang  berdiri  sendiri.  Ia merupakan  bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu  Ushul  Fiqh.  Karena  itu  masalah   naskh   merupakan techniseterm  dengan  batasan  pengertian  yang  baku. Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan  pendapat tentang  kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan). Ungkapan Imam Subki ini dapat dikaitkan  dengan  hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau  dari  segi  formalnya maka  fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari  segi  materinya,  maka  fungsi   penjelasannya   lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu  fungsi  pokok  bahwa  naskh  merupakan   salah   satu interpretasi hukum.[6]
F.      Ruang Lingkup Naskh
Imam Suyutti mengatakan ; Bahwa naskh hanya terjadi pada perintah( amr ), dan larangan ( nahyi ), baik yang diungkap dengan redaksi sharikh ( tegas ) atau yang tidak tegas, atau yang diungkap dengan kalimat berita ( khabar ), yang bermakna amr (perintah), atau yang bermakna nahy ( larangan ).[7] Dan persoalan tersebut, tidak berhubungan dengan persoalan, akidah, baik mengenai Dzat Allah dan sifat-sifatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-Nya, hari kiamat, janji dan ancaman, dan tidak bertentangan etika dan akhlaq, serta ibadah dan mua’malah, karena syari’at.
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ .
Artinya : “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.(QS. ِAs-Syuraa: 13)

G.    Pembagian Nasikh dan Mansukh
Pembagian Nasakh dapat diklarifikasikan kepada empat bagian :
1.      Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ( Nasakh semacam ini disepakati kebolehannya oleh para ulama dan telah terjadi secara hukum ), seperti ayat tetang idah yang masanya satu tahun menjadi empat bulan sepuluh hari. QS. Al-Baqarah : 240
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَاللهُ عَزِيزُُ حَكِيمُُ – البقرة : 240 -
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi bafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)
Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 234.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُ * - البقرة : 234 –

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. Al-Baqarah /2:234)

Dan hukum tersebut bagi yang tidak hamil, bagi yang hamil dinaskh denga ayat Al-Thalaq : 4
وَالاَّئِى يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاَثَةُ أَشْهُرٍ وَالاَّئِى لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حِمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا – الطلاق : 4 -
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(QS. 65:4)

2.      Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah. (Dalam hal ini para ulama membatasi hanya denga sunnah mutawatiroh, sebagaimana menurut imam Maliky, Abu Hanifah, mazhab al-Asy’ary dan Mu’tazilah), dan naskh ini ditolak oleh mazhab syafi’ih, dengan alasan ayat Al-Baqarah : 106, bahwa Al-Qur’an tidak lebih baik kedudukannya dengan as-sunnah.[8]

3.      Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an. (Naskh dalam semacam ini disepakati oleh jumhur ulama, dalam hal ini nabi memrintahkan kaum muslimin dalam menghadap kiblat Baitul Maqdis kemudian dinaskh oleh Al-Qur’an dalam surat al Baqarah ; 144) atau kewajiban puasa Asyura’, yang ditetapkan berdasarkan Sunnah kemudian dinaskh oleh firman Allah QS. Al-Baqarah : 185.
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (البقرة : 144 )
Artinya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabb-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah /2:144)

4.      Naskh as-Sunnah dengan As-Sunnah.
Dalam katagori ini, ulama membolehkan, dengan ketentuan :
a.       Naskh mutawwatir dengan mutawatir,
b.      Naskh ahad dengan ahad,
c.       Naskh ahad dengan mutawatir,
d.      Naskh mutawatir dengan ahad
Dan ulama menyepakati dalam tiga bentuk yang pertama, sedang bentuk keempat dalam perselisihan pendapat.

H.    Macam-macam Naskh
1.      Macam nasakh dalam Al-Qur’an
a.       Naskh hukum, tanpa naskh tilawah : Al-Qur’an telah memberikan penjelasan tentang hal ini dan naskh seperti ini telah dikenal baik oleh semua ulama dan para mufasir, yang mana masuk akal dan dapat diterima. Karena sesungguhnya hukum-hukum syar’i tidak diturunkan secara langsung sekaligus, namun bertahap, supaya umat terbiasa dengannya dan akal-akal memahaminya. Secara bertahap hukum-hukum yang pernah turun sebelumnya digantikan dengan hukum-hukum yang baru; namun lafadz-lafadz (ayat-ayat) hukum yang lama itu tetap ada karena mengandung rahasia Tuhan yang mendidik dan bermanfaat yang mana hanya Tuhan yang lebih tahu tentang alasannya.

b.      Naskh tilawah, tanpa naskh hukum : dalam hal ini, mereka membawakan contoh ayat rajam yang telah dibahas sebelumnya, yang mana ayatnya telah dihapus, namun hukumnya tetap ada sampai sekarang.

c.       Naskh tilawah dan hukum : dalam hal ini mereka membawakan ayat radha’ sebagai contohnya.

2.      Macam-macam naskh berpengganti dan tidak berpengganti.
a.       Naskh tanpa badal ( pengganti ), contoh, penghapusan besedekah sebelum berbicara kepada rasulullah, sebagaimana diperintahkannya dalam surat Al-Mujadilah : 12.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ (المجادلة: 12)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Mujadilah /58:12)
Ayat diatas, dinaskh dengan ayat al-Mujadilah : 13.
ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (المجادلة : 13)
Artinya : Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 58:13)

b.      Naskh dengan badal akhaf ( lebih ringan ), contohnya puasa masa dahulu, dalam Surat Al-Baqarah : 183 ( ayat Puasa ). Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ( البقرة : 187 )
Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu ( Al-Baqarah / 2 : 187 )

c.       Naskh dengan badal mumatsil ( sebanding ), Contohnya, tahwil kiblat, menghapus menghadap bait al-maqdis dengan menghadap kiblat ke ka’bah. Dengan firman Allah surat Al-Baqarah : 144
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ( البقرة : 144 )
Artinya : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. ( Al-Baqarah / 2 : 144 )

d.      Naskh dengan badal astqal ( lebih berat ), contohnya, menghapus hukuman penahanan di rumah pada awal islam, dalam ayat an Nisa’ : 15-16,
an nisa 15.png
4_16.png
Artinya : Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Dinaskh dengan An Nur : 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ (2)
Atau dengan didera 100 kali dan diasingkan bagi yang belum menikah ( gadis ), dan di dera 100 kali dan dirajam, bagi yang telah menikah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :
"orang tua laki-laki dan perempuan apabila berzina, maka rajamlah keduanya dengan pasti."

I.       Hikmah Adanya Naskh
Adanya nasakh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan, terhadap, perorangan, dan, bangsa-bangsa, dengan, sama. Jikaengkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pastikan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma  dan telur  kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya. Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup  tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.[9]

PENUTUP
 KESIMPULAN
Tujuan nasikh dan mansukh adalah untuk memperbaiki umat dalam bidang aqidah, ibadah dan mua’malah. ada beberapa cara untuk mengetahui nasikh dan mansukh, antara lain:
• Riwayat harus langsung berasal dari Rasulullah SAW.
• Ijma’ (kesepakatan di kalangan umat tentang mana yang termasuk nasikh dan mana yang termasuk mansukh).
• Pengetahuan tentang sejarah wahyu, yaitu mana yang diturunkan terlebih dahulu dan mana yang turun selanjutnya.
Syarat-syarat nasikh dan mansukh adalah:
1.Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
2. Dalil yang menghapus hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang kemudian dari yang hukum yang mansukh.
3. Khitab yang mansukh humkumnya tidak terikat ( dibatasi ), dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu, dan yang demikian tidak dinamakn nasikh.
Nasikh dan mansukh dibagia menjadi 4:
1.    Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2.    Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah
3.    Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an
4.    Naskh as-Sunnah dengan As-Sunnah.

SARAN
Dengan adanya makalah ini, penulis berharap agar dapat memenuhi tugas mata kuliah  Ulumul Quran dengan baik. Makalah ini disusun agar para pembaca dapat mengetahui tentang nasikh dan mansukh. Agar tidak terjadi kesalahan disarankan agar pembaca sapat mencari tahu lebih lanjut dari sumber-sumber yang ada. Demikianlah makalah ini kami buat semoga bermanfaat dan apabila ada kekurangan dan kesalahan kami mohon maaf.




DAFTAR PUSTAKA

'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah. Surabaya. Bina Ilmu. 1982.
Badr ad Din Muhammad bin 'Abdillah az Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulum al Quran, jilid II:78.
Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim. Ponorogo. Prodial Pratama Sejati Press. 2004.
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh. Jakarta. Prodial Pratama Sejati Press. 2002.
Al-Subki, Jam' al-Jawami'. Prodial Pratama Sejati Press. 2007.
Muslim, Al-Jami' al-Shahih. Prodial Pratama Sejati Press. 2005.
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan. Jakarta. Diadit Media . 2007.
Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-BayanAl-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil. Diadit Media . 2007.
Subhi ash Shalih, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin, Beirut 1988:271.





[1]Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan. Jakarta. Diadit Media . 2007. hal 25.
[2]Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh. Jakarta. Prodial Pratama Sejati Press. 2002. hal. 24.
[3]Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim. Ponorogo. Prodial Pratama Sejati Press. 2004. hal 56.
[4]'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah. Surabaya. Bina Ilmu. 1982.hal. 36.
[5]Subhi ash Shalih, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin, Beirut 1988:271.hal. 12.
[6]Badr ad Din Muhammad bin 'Abdillah az Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulum al Quran, jilid II:78.hal. 19.
[7]Imam Muslim, Al-Jami' al-Shahih. Prodial Pratama Sejati Press. 2005.hal.45.
[8]Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'. Prodial Pratama Sejati Press. 2007.hal.32.
[9]Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-BayanAl-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil. Diadit Media . 2007.hal. 37.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates