Nasikh dan Mansyukh
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dari awal hingga
akhir al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan
lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u
ba'dhuhu ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama,
cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa
Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang
mengetahui maksudnya. Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk
pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ketentuan-ketentuan
induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan
pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi
dalam ilmu hukum-hubungan antara ketentuan
undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya
dari undang undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang
harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat
dengan ayat lainnya.[1]
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum.
Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum
masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya.
Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang,
yang biasa dikenal "interpretasi historis."
B.
Rumusan Masalah
2. Apa saja
tujuan nasikh dan mansyukh ?
3. Bagaimana
cara mengetahui nasikh dan mansukh?
4. Apa saja syarat-syarat
nasikh dan mansukh?
5. Bagaimana
kedudukan nasikh dan mansukh?
6. Bagaimana
ruang lingkup naskh?
7. Bagaimana
pembagian nasikh dan mansukh?
8. Bagaimana macam-macam
nasikh dan mansukh?
9. Bagaimana
hikmah adanya naskh?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasakh-Mansukh
Nasakh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi
etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan,
penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim,
pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan.Diantara pengertian
etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis. Perbedaan
terma yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada
sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.[2]
Ulama mutaqaddim member batasan naskh sebagai dalil
syar'I yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang
mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah
ketentuan/hokum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya,
sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga
mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas (muthlaq).
Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu
pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian
pula pengertian syarat dan sifatnya.[3]
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut
batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam
perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau
muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk
ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan
hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan
yang ditetapkan terakhir dan
menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah,
di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian,
dan di lain pihak dalam perkembangan selanjutnya- naskh
membatasinya hanya pada satu pengertian.
B. Tujuan
Nasakh-Mansukh
Allah SWT menurunkan Syari’at as-samawi kepada para
Rasul-Nya untuk memperbaiki umat dalam bidang aqidah, ibadah dan mua’malah.
Oleh karena aqidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan
karena ditegakan atas dasar yang sama yaitu, atas dasar tauhid uluhiyyah dan
rububiyah, maka da’wah atau seruan yang disampaikan para rasul adalah sama
(Q.S: al-Anbiya’: 25). Yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan memelihara
keselamatan masyarakat serta meningkatkan dengan ikatan kerjasama dan
persaudaraan.[4]
C. Cara mengetahui nasikh dan mansukh
Sebagaimana halnya dengan asbabun nuzu, maka nasikh
dan mansukh tidak akan diterima apabia semata-mata hanya berdasar pada pendapat
pribadi, dugaan atau desas-desus. Maka ada beberapa cara untuk mengetahui
nasikh dan mansukh, antara lain:
·
Riwayat harus langsung berasal dari Rasulullah SAW.
·
Ijma’ (kesepakatan di kalangan umat tentang mana yang
termasuk nasikh dan mana yang termasuk mansukh).
·
Pengetahuan tentang sejarah wahyu, yaitu mana yang
diturunkan terlebih dahulu dan mana yang turun selanjutnya.
D. Syarat-syarat
Nasakh-Mansukh
1. Hukum yang
mansukh adalah hukum syara’
2. Dalil yang
menghapus hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang kemudian dari yang hukum
yang mansukh.
3. Khitab yang
mansukh humkumnya tidak terikat ( dibatasi ), dengan waktu tertentu. Sebab jika
tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu, dan yang
demikian tidak dinamakan nasikh.[5]
E.
Kedudukan Naskh
Masalah naskh bukanlah sesuatu yang
berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam
disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Karena
itu masalah naskh merupakan techniseterm
dengan batasan pengertian yang baku. Dalam kaitan ini
Imam Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan
naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan). Ungkapan
Imam Subki ini dapat dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut
jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari
segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila
ditinjau dari segi materinya, maka fungsi
penjelasannya lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat
dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh
merupakan salah satu interpretasi hukum.[6]
F.
Ruang Lingkup Naskh
Imam Suyutti mengatakan ; Bahwa naskh hanya terjadi
pada perintah( amr ), dan larangan ( nahyi ), baik yang diungkap dengan redaksi
sharikh ( tegas ) atau yang tidak tegas, atau yang diungkap dengan kalimat berita
( khabar ), yang bermakna amr (perintah), atau yang bermakna nahy ( larangan ).[7]
Dan persoalan tersebut, tidak berhubungan dengan persoalan, akidah, baik
mengenai Dzat Allah dan sifat-sifatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-Nya, hari kiamat,
janji dan ancaman, dan tidak bertentangan etika dan akhlaq, serta ibadah dan
mua’malah, karena syari’at.
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ
إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا
الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ .
Artinya : “Dia
telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa
yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.(QS. ِAs-Syuraa: 13)
G.
Pembagian Nasikh dan Mansukh
Pembagian Nasakh dapat diklarifikasikan kepada empat
bagian :
1.
Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ( Nasakh semacam ini
disepakati kebolehannya oleh para ulama dan telah terjadi secara hukum ),
seperti ayat tetang idah yang masanya satu tahun menjadi empat bulan sepuluh
hari. QS. Al-Baqarah : 240
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا
إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَاللهُ عَزِيزُُ حَكِيمُُ – البقرة :
240 -
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia
diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya,
(yaitu) diberi bafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu
(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma'ruf terhadap
diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah
2:240)
Dinaskh
dengan ayat Al-Baqarah : 234.
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرُ * - البقرة : 234 –
Artinya: “Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali)
memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. Al-Baqarah /2:234)
Dan hukum tersebut bagi yang tidak hamil, bagi yang
hamil dinaskh denga ayat Al-Thalaq : 4
وَالاَّئِى
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلاَثَةُ أَشْهُرٍ وَالاَّئِى لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاَتُ اْلأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حِمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ
أَمْرِهِ يُسْرًا – الطلاق : 4 -
Artinya : Dan
perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-perempuanmu
jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(QS. 65:4)
2.
Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah. (Dalam hal ini para
ulama membatasi hanya denga sunnah mutawatiroh, sebagaimana menurut imam
Maliky, Abu Hanifah, mazhab al-Asy’ary dan Mu’tazilah), dan naskh ini ditolak
oleh mazhab syafi’ih, dengan alasan ayat Al-Baqarah : 106, bahwa Al-Qur’an
tidak lebih baik kedudukannya dengan as-sunnah.[8]
3.
Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an. (Naskh dalam semacam
ini disepakati oleh jumhur ulama, dalam hal ini nabi memrintahkan kaum muslimin
dalam menghadap kiblat Baitul Maqdis kemudian dinaskh oleh Al-Qur’an dalam
surat al Baqarah ; 144) atau kewajiban puasa Asyura’, yang ditetapkan
berdasarkan Sunnah kemudian dinaskh oleh firman Allah QS. Al-Baqarah : 185.
قَدْ نَرَى
تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنتُمْ فَوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ
الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (البقرة : 144 )
Artinya: Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat
dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar
dari Rabb-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka
kerjakan. (QS. Al-Baqarah /2:144)
4.
Naskh as-Sunnah dengan As-Sunnah.
Dalam
katagori ini, ulama membolehkan, dengan ketentuan :
a.
Naskh mutawwatir dengan mutawatir,
b.
Naskh ahad dengan ahad,
c.
Naskh ahad dengan mutawatir,
d.
Naskh mutawatir dengan ahad
Dan ulama menyepakati dalam tiga bentuk yang pertama,
sedang bentuk keempat dalam perselisihan pendapat.
H.
Macam-macam Naskh
1. Macam nasakh
dalam Al-Qur’an
a. Naskh hukum, tanpa naskh tilawah : Al-Qur’an telah
memberikan penjelasan tentang hal ini dan
naskh seperti ini telah dikenal baik oleh semua ulama dan para mufasir, yang mana
masuk akal dan dapat diterima. Karena sesungguhnya hukum-hukum syar’i tidak
diturunkan secara langsung sekaligus, namun bertahap, supaya umat terbiasa
dengannya dan akal-akal memahaminya. Secara bertahap hukum-hukum yang pernah
turun sebelumnya digantikan dengan hukum-hukum yang baru; namun lafadz-lafadz
(ayat-ayat) hukum yang lama itu tetap ada karena mengandung rahasia Tuhan yang
mendidik dan bermanfaat yang mana hanya Tuhan yang lebih tahu tentang
alasannya.
b. Naskh tilawah, tanpa naskh hukum : dalam hal ini,
mereka membawakan contoh ayat rajam yang telah dibahas sebelumnya, yang mana
ayatnya telah dihapus, namun hukumnya tetap ada sampai sekarang.
c. Naskh
tilawah dan hukum : dalam hal ini mereka membawakan ayat radha’ sebagai
contohnya.
2. Macam-macam
naskh berpengganti dan tidak berpengganti.
a.
Naskh tanpa badal ( pengganti ), contoh, penghapusan
besedekah sebelum berbicara kepada rasulullah, sebagaimana diperintahkannya
dalam surat Al-Mujadilah : 12.
•يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ
نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا
فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ (المجادلة: 12)
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih;
jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Mujadilah /58:12)
Ayat diatas, dinaskh dengan ayat al-Mujadilah : 13.
ءَأَشْفَقْتُمْ
أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا
وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (المجادلة : 13)
Artinya : Apakah kamu takut
akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan
Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat
kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
58:13)
b.
Naskh dengan badal akhaf ( lebih ringan ), contohnya
puasa masa dahulu, dalam Surat Al-Baqarah : 183 ( ayat Puasa ). Dinaskh dengan
ayat Al-Baqarah : 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ( البقرة :
187 )
Artinya : Dihalalkan bagi
kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu (
Al-Baqarah / 2 : 187 )
c.
Naskh dengan badal mumatsil ( sebanding ), Contohnya,
tahwil kiblat, menghapus menghadap bait al-maqdis dengan menghadap kiblat ke
ka’bah. Dengan firman Allah surat Al-Baqarah : 144
قَدْ نَرَى
تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ( البقرة : 144 )
Artinya : Sungguh Kami
(sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. ( Al-Baqarah / 2 : 144 )
d.
Naskh dengan badal astqal ( lebih berat ), contohnya,
menghapus hukuman penahanan di rumah pada awal islam, dalam ayat an Nisa’ :
15-16,
Artinya : Dan (terhadap) para
wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi
diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka
menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan
keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika
keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Dinaskh dengan An Nur : 2
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ
وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ
الْمُؤْمِنِينَ (2)
Atau dengan didera 100 kali dan diasingkan bagi yang belum menikah ( gadis
), dan di dera 100 kali dan dirajam, bagi yang telah menikah, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah SWT :
"orang tua laki-laki dan perempuan apabila berzina, maka rajamlah
keduanya dengan pasti."
I.
Hikmah Adanya Naskh
Adanya nasakh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari
sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya
Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu
20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an
sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, khususnya di bidang hukum.
Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci
lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj
(bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana
sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap
diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah
al-Khaliq diberlakukan, terhadap, perorangan, dan, bangsa-bangsa, dengan, sama.
Jikaengkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pastikan
mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim,
baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia
dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu
berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang
tua dan seterusnya. Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah
yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya,
Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang
aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.[9]
PENUTUP
KESIMPULAN
Tujuan nasikh dan mansukh adalah untuk
memperbaiki umat dalam bidang aqidah, ibadah dan mua’malah. ada beberapa cara
untuk mengetahui nasikh dan mansukh, antara lain:
• Riwayat harus langsung berasal
dari Rasulullah SAW.
• Ijma’
(kesepakatan di kalangan umat tentang mana yang termasuk nasikh dan mana yang
termasuk mansukh).
• Pengetahuan
tentang sejarah wahyu, yaitu mana yang diturunkan terlebih dahulu dan mana yang
turun selanjutnya.
Syarat-syarat
nasikh dan mansukh adalah:
1.Hukum yang
mansukh adalah hukum syara’
2. Dalil
yang menghapus hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang kemudian dari
yang hukum yang mansukh.
3. Khitab
yang mansukh humkumnya tidak terikat ( dibatasi ), dengan waktu tertentu. Sebab
jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu, dan yang
demikian tidak dinamakn nasikh.
Nasikh dan
mansukh dibagia menjadi 4:
1.
Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2.
Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah
3.
Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an
4.
Naskh as-Sunnah dengan As-Sunnah.
SARAN
Dengan
adanya makalah ini, penulis berharap agar dapat memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Quran dengan baik. Makalah ini disusun
agar para pembaca dapat mengetahui tentang nasikh dan mansukh. Agar tidak
terjadi kesalahan disarankan agar pembaca sapat mencari tahu lebih lanjut dari
sumber-sumber yang ada. Demikianlah makalah ini kami buat semoga bermanfaat dan
apabila ada kekurangan dan kesalahan kami mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah. Surabaya. Bina Ilmu. 1982.
Badr ad Din Muhammad bin 'Abdillah az Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulum al Quran, jilid
II:78.
Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim. Ponorogo. Prodial Pratama Sejati
Press. 2004.
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh. Jakarta. Prodial Pratama Sejati Press. 2002.
Al-Subki, Jam'
al-Jawami'. Prodial Pratama Sejati Press. 2007.
Muslim, Al-Jami'
al-Shahih. Prodial Pratama Sejati Press. 2005.
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan. Jakarta. Diadit Media . 2007.
Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-BayanAl-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil. Diadit Media .
2007.
Subhi ash Shalih, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Dar al Qolam li
al Malayin, Beirut 1988:271.
[2]Imam Abu Zahrah, Ushul
al-Fiqh. Jakarta. Prodial Pratama Sejati Press. 2002. hal. 24.
[3]Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim. Ponorogo.
Prodial Pratama Sejati Press. 2004. hal 56.
[4]'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat
al-Nabawiyyah. Surabaya. Bina Ilmu. 1982.hal. 36.
[5]Subhi ash Shalih, Mabahits fi
'Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin, Beirut 1988:271.hal. 12.
[6]Badr ad Din Muhammad bin 'Abdillah az
Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulum al Quran, jilid II:78.hal. 19.
[8]Imam Al-Subki, Jam'
al-Jawami'. Prodial Pratama Sejati Press. 2007.hal.32.
[9]Muhammad Ali Al-Shabuni,
Rawai'al-BayanAl-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil. Diadit Media . 2007.hal. 37.
0 komentar:
Post a Comment