Metode Tafsir
METODE TAFSIR
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen
Pengampu : Yuyun Affandi,Dr.,Hj.,Lc.,M.A.
Disusun oleh :
1.
M. Ahsanul Waro (131311122)
2.
M. Nasik Alhamd (131311123)
3.
Akhlia Chairani (131311124)
4.
Umi Dzunur Aini (131311125)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ilmu-ilmu Al-Qur’an mutlak
harus dikuasai bagi mereka yang ingin menafsirkan Al-Qur’an, tanpa mengetahui
ilmu tersebut maka sulitlah untuk mengetahui dan memahami kebenaran yang
dimaksudkan Allah didalam kandungan isi Al-Qur’an, salah satu ilmu yang harus
dikuasai adalah ilmu tafsir yang merupakan salah satu alat untuk memahami dan
mengetahui isi yang dikandung didalam Al-Qur’an.
Ilmu tafsir itu sendiri
secara garis besar mempunyai dua komponen pokok yaitu komponen eksternal dan
komponan internal. Komponen eksternal ialah kaidah-kaidah yang mesti harus
dikuasai oleh seorang mufasir, namun hal tersebut tidak berkaitan langsung
dengan penafsiran, seperti jati diri Al-Qur’an dan kepribadian mufasir.
Dan dari uraian diatas maka
kami ingin sedikit membahas tentang komponen internal yang mempunyai empat
metode dalam penafsiran Al-Qur’an, yaitu : metode ijmali, tahlili, muqaran,
dan maudhu’i.
B. Rumusan
Masalah
a.
Apa pengertian metode tafsir ?
b.
Bagaimana sejarah dari metode tafsir ?
c.
Apakah sumber-sumber
tafsir ?
d.
Apa sajakah aspek-aspek tafsir ?
e.
Apa saja metode yang di gunakan dalam
penafsiran ?
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
METODE TAFSIR
Menurut Bahasa
tafsir berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna
yang abstrak. Menurut istilah, sebagaimana didefinisikan oleh Abu Hayyan,
tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafal-lafal Al-Qur’an,
tentang petunjuk-petunjuknya, dan hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri
maupun ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya. Az-Zarkasi
berpendapat, tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan
kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan
hikmahnya.[1]
Kata “tafsir”
diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira” yang berarti keterangan
atau uraian. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata “tafsir” menurut
pengertian bahasa adalah “Al-kast wa Al-izhhar” yang artinya menyingkap
(membuka) dan melahirkan. Pada dasarnya, pengertian “tafsir” berdasarkan bahasa
tidak akan lepas dari kandungan makna Al-idhah (menjelaskan), Al-bayan
(menerangkan), Al-kasyf (mengungkapkan),
Al-izhar (menampakkan), dan Al-ibanah (menjelaskan).[2]
Apapun pemaknaan
etimologi yang diberikan untuk kata tafsir tersebut, nampaknya semua mengacu
pada arti yang sama, yaitu menyingkap, membuka atau menjelaskan.
Sedangkan secara
terminologi, tafsir bisa didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang tata
cara melafazhkan, petunjuk-petunjuk dan hukum-hukum ifrad dan tarkibnya,
makna-makna yang dikandung oleh lafazh-lafazh murakkab dan ilmu-ilmu pelengkap
yang mendukungnya.[3]
B. SEJARAH
PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR
Sebagai sebuah produk pemikiran manusia, tafsir Al-Qur’an
telah menapaki perjalanan sejarahnya yang cukup panjang. Perjalanan sejarah
perkembangan tafsir Al-Qur’an bisa ditelusuri jejaknya hingga era awal
perkembangan Islam, yakni pada masa Rasulullah. Karena Rasulullah dianggap sebagai mufassir pertama
yang meretas jalan bagi tumbuh dan berkembangnya tafsir Al-Qur’an hingga dewasa
ini.
Untuk memudahkan penulisan
sejarah perkembangan tafsir ini, penulis hendak mengemukakan sejarah
perkembangannya berdasarkan periodisasi sejarah kodifikasinya yang, menurut
Quraisy Syihab, terpilih menjadi tiga periode:[4]
1. Periode Pra Kodifikasi: Masa Rasulullah-tabi’in
Periode yang berlangsung semenjak masa Rasulullah
hingga masa tabi’in, terhitung mulai awal pewahyuan hingga awal abad ke-2 H,
ini ditandai oleh belum terkodifikasikannya pemikiran tafsir dari mufasir era
tersebut.
2. Periode Awal Kodifikasi (awal abad ke-2 H sampai awal
abad ke-3 H)
Pelacakan sejarah kodifikasi tafsir Al-Qur’an tentu
saja tidak bisa dilepaskan dari sejarah kodifikasi hadits Nabi. Karena, sebagai
mana di ketahui, pada tahap awal penyusunan tafsir masih bercampur baur dengan
kodifikasi hadits.
3. Periode kemandirian kodifikasi (awal abad ke-3 H
hingga sekarang)
Seiring dengan perjalanan sejarah yang makin maju,
tradisi keilmuan semakin mengarah pada spesialisasi bidang kajian masing-masing.
Kodifikasi tafsir pun secara perlahan mulai terpisah hadits. Para ulama ahli
tafsir mulai memisahkan karya tafsirnya dari hadits untuk menjadi disiplin ilmu
yang berdiri sendri. Al-Qur’an mulai ditafsirkan secara berurutan ayat per ayat
sesuai mushaf.
Tafsir Al-Qur’an telah
tumbuh di masa Nabi Muhammad saw. Sendiri dan beliaulah penafsir awal
(Al-Mufasirul Awwal) terhadap kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud
wahyu yang diturunkan kepadanya sahabat-sahabat Rasul yang mulia, tidak ada yang
berani menafsirkan Al-Qur’an diketika Rasul masih hidup Rasul sendirilah yang
memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an.[5]
Sesudah Rasulullah wafat
barulah para sahabat yang alim yang mengetahui rahasia-rahasia Al-Qur’an dan
yang mendapat petunjuk langsung dari Nabi sendiri, merasa perlu bangun
menerangkan apa yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami
tentang maksud-maksud Al-Qur’an.
Banyak sahabat yang ahli
menafsir Al-Qur’an. Namun demikian yang terkenal diantara mereka, hanya 10
orang yaitu, khalifah yang empat, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay ibn Ka’ab, Zaid
ibn Tsabit, Abu Musa Al-Asyari dan Abdullah ibn Zubair. Para kholifah yang
banyak diterima tafsirnya dan disampaikan kepada masyarakat, ialah Ali ibn Abi
Thalib. Sedikit sekali diterima tafsir khalifah yang lain. Hal itu mungkin
karena beliau-beliau itu lebih duluan wafat.
Diantara sahabat yang 10
orang sangat layak dinamakan al-mufasir, ialah Abdullah ibn Abas yang telah
dido’akan oleh Nabi, semoga Allah memberikan kepadanya keluasan pemahaman dalam
agama dan keahlian dalam tafsir. Rasul menamakannya dengan Tarjamanul
Qur’an.
C. SUMBER-SUMBER TAFSIR
Para ulama ahli
tafsir mengatakan bahwa dalam upaya memahami dan menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an, seorang mufasir harus memenuhi kualifikasi-kualifikasi yang
ditentukan. Diantara kualifikasi-kualifikasi yang ditentukan adalah bahwa
seorang mufasir harus mengetahui sumber-sumber tafsir yang bisa dijadikan
referensi bagi produk-produk penafsirannya. Hal ini dimaksudkan agar dalam
memahami dan menafsirkan suatu produk penafsiran yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Adapun
sumber-sumber tafsir yang harus diketahui dan dijadikan referensi oleh seorang
mufasir adalah sebagai berikut:[6]
Pertama,
Al-Qur’an itu sendiri. Adalah langkah yang paling baik untuk menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an itu sendiri. Hal ini mengingat bahwa apa yang
dijelaskan secara mujmal dalam suatu ayat bisa jadi dijelaskan secara rinci
dalam ayat yang lain.
Sumber tafsir yang kedua adalah sunah. Sunah
merupakan sumber paling utama yang dibutuhkan oleh seorang mufassir dalam
rangka memahami makna, tujuan dan hukum yang terdapat dalam surat ayat surat,
baik yang berhubungan dengan akidah ataupun syari’ah.
Sumber tafsir yang ketiga adalah aqwal
al-shahabat. Sebagian ulama’ ahli
tafsir mengatakan bahwa qaul sahabat dalam menafsirkan dan mengakses ayat-ayat
al-Qur’an dianggap marfu’ sampai Nabi.
Sumber tafsir yang keempat adalah kemampuan
dalam memahami dan menguasai bahasa Arab. Sebagaimana telah dimaklumi,
al-Qur’an dibumikan dalam bahasa Arab. Maka penguasaan bahasa Arab, dengan
berbagai cabang ilmu yang terkait dengannya, adalah suatu keniscayaan yang
tidak bisa dihindari oleh seorang mufassir yang hendak menafsirkan al-Qur’an.
Sumber tafisr kelima adalah menafsirkan maksud dari
makna kalam dan tujuan syara’. Artinya, dalam menafsirkan al-Qur’an seorang
mufassir haruslah mendasarkan penafsirannya pada apa yang dikehendaki oleh
syara’ seperti yang ditunjukkan oleh makna kalam.
Kalau sumber tafsir yang ada tersebut dipegang secara
konsisten maka akan menghasilkan suatu penafsiran yang hidup.
C.
ASPEK-ASPEK TAFSIR
Menurut Ibnu Abbas ra. Ada
empat aspek tafsir:
a) Tafsir yang menerangkan halal dan haram, yang harus
diketahui oleh semua mukallaf.
b) Tafsir yang ditafsirkan oleh orang Arab dengan
kekuatan bahasanya (dipahami dengan kekuatan bahasa).
c) Tafsir yang ditafsirkan oleh para ulama.
d) Tafsir yang hanya Allah sendiri mengetahuinya.
Az Zarkasyi, di dalam
Al-Burhan, menerangkan pengertian yang ilmiah dari aspek-aspek ini.
Tafsir yang diketahui oleh
orang Arab dengan perantaraan bahsanya, ialah tafsir yang berdasarkan bahasa
dan i’rab. Tafsir yang harus diketahui oleh semua orang, ialah mengetahui apa
yang segera ditanggapi oleh pengertian, yaitu mengetahui makna Al-Qur’an dari
nash-nash yang mengandung hukum dan yang menunjukkan kepada keesaan Allah.[7]
E.
METODE DAN PENGERTIAN YANG DIGUNAKAN DALAM PENAFSIRAN
Ada beberapa
metode penafsiran Al-Qur’an yang umum digunakan para ulama tafsir. Penafsiran
yang lazim digunakan mereka ada yang bersifat meluas/melebar dan secara global,
tetapi ada juga yang menafsirkannya dengan cara melakukan studi perbandingan
(komparasi). Masih dalam kaitan dengan metode penafsiran Al-Qur’an, ada juga
yang melakukannya dengan cara yang sistematis. Berdasarkan Adb al-Hayy al-
Farmawi, menyebutkan empat macam metode (manhaj minhaj) penafsiran Al-Qur’an,
yaitu: al-manhaj al-tahlili, al-manhaj al-ijmali al-manhaj al-muqaran, dan
al-manhaj al-maudhu’i.[8]
1. Tafsir
al-Tahlili (Deskriptif-Analitis)
Secara harfiah,
al-tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Yang dimaksud dengan al-tahlili
ialah metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an
dengan mengikuti tertib susunan/urutan surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an itu
sendiri dengan sedikit-banyak melakukan analisis di dalamnya.
Metode tafsir
tahlili yang juga bisa disebut dengan metode tajzi’i tampak merupakan metode
tafsir yang paling tua usiannya.
Metode tahlili,
tegas M. Quraish Shihab, lahir jauh sebelum maudu’i. Ia dikenal, katakanlah,
sejak Tafsir al-Farra (w. 206 H/821 M), atau Ibn Majah (w. 237 H/851 M), atau
paling lambat al-Thabari (w. 310 H/922 M). Kitab –kitab tafsir Al-Qur’an yang
ditulis para mufassir masa-masa awal pembukuan tafsir hampir atau bahkan
semuanya menggunakan metode tahlili. Apakah itu dari kalangan tafsir bi
al-Thabari, maupun dari aliran tafsir bi al-ra’yi semisal karya Muhammad Fakhr
al-Din al-Razi al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib. Bahkan dari aliran tafsir bi al-isyarah/al-bathiniyyah
juga menampilkan tafsir dengan metode tahlili, seperti kitab tafsir Ghara’ib
Al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan yang dipersembahkan al-Naysaburi (w. 728 H/1328
M). Kecuali itu, metode tafsir tahlili terus berkembang pada masa-masa berikutnya.
Bahkan hinggga sekarang, al-tafsir al-tahlili masih tetap mengalir.
Untuk lebih
jelasnya, diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode tahlili ialah:
1. Jami’
al-Bayan ‘an Takwil Ayi Al-Qur’an (Himpunan Penjelasan tentang Takwil Ayat-ayat
Al-Qur’an), 15 jilid dengan jumlah halaman sekitar 7125, karangan Ibn Jarir
al-Thabari (w.310 H/ 922 M).
2. Tafsir
Al-Qur’an al-‘Azhim (Tafsir Al-Qur’an yang agung), 4 jilid dengan sekitar 2414
halaman (termasuk 58 halaman sisipan ilmu tafsir pada jilid terakhir), karya
al-Hafizh Imad al-Din Abi al-Fida’ Isma’il bin Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi
(w. 774 H/ 1343 M).
3. Tafsir
al-samarqandi (Bahr al- ‘Ulum/Lautan Ilmu), 3 juz, buah pena Nasr bin Muhammad
bin Ahmad Abu al-Laits al-Samarqandi (w.393 H/1002 M atau 376 H/986 M menurut
riwayat lain) dengan tebal halaman sebanyak 1891.
4. Al-Tafsir
Al-Qur’ani li Al-Qur’an (Tafsir Al-Qur’an untuk Al-Qur’an), 16 jilid dengan
tebal halaman lebih kurang 1767, karangan Abd al-Karim al-Khatib.
5. Al-Mizan
fi Tafsir Al-Qur’an (Neraca dalam Menafsirkan Al-Qur’an), 21 jilid dan
tiap-tiap jilid terdiri atas 330-an hingga 450-an halaman, karya al-‘Allamah
al-Sayyid Muhammad Husayn al-Thabathaba’i (1321-1402 H/1892-1981 M).
Tafsir tahlili
memiliki kelebihan dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang lain. Kelebihan
al-tafsir al-tahlili antara lain terletak pada keluasan dan keutuhannya dalam
memahami Al-Qur’an dari awal (surat Al-Fatihah) hinggga akhir secara utuh dan
menyeluruh. Cara memahami Al-Qur’an secara tartil ini telah dilakukan oleh para
sahabat yang terkesan sangat hati-hati dan penuh tanggung jawab. Kelebihan lain
dari metode tafsir al-tahlili ialah membahas Al-Qur’an dengan ruang lingkup
yang luas. meliputi aspek kebahasaan, sejarah, hukum, dan lain-lain.
Selanjutnya,
metode tafsir tahlili mempunyai kelemahan ialah kajiannya tidak mendalam, tidak
detail dan tidak tuntas dalam menyelesaikan topik-topik yang dibicarakan.
Kecuali itu, menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlili juga
memerlukan waktu yang cukup panjang dan menurut ketekunan. Tafsir tahlili,
kelemahannya juga terletak pada jalannya yang terseok-seok (tidak sistematis)
dan inilah yang dikritik oleh Rasyid Ridha.
2. Tafsir
al-Ijmali (Tafsir Global)
Secara lughawi,
kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global, dan penjumlahan. Dengan
demikian maka yang dimaksud dengan tafsir al-ijmali ialah penafsiran Al-Qur’an
yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Qur’an melalui
pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi pembahasan yang
panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.
Pembahasannya
hanya meliputi beberapa aspek dalam bahasa yang singkat semisal al-Tafsir al-Farid
li Al-Qur’an al-Madjid yang hanya mengedepankan arti kata-kata (al-mufradat),
sabab nuzul (latar belakang penurunan ayat) dan penjelasan singkat (al-ma’na)
yang sistematikannya sering diubah-ubah. Maksudnya, adakalanya mengedepankan
mufradat kemudian sabab nuzul dan al-ma’na, tetapi sering pula mendahulukan
al-ma’na dan sabab al-nuzul.
Ada beberapa
contoh kitab tafsir yang metode penafsirannya menggunakan metode global
(al-manhaj al- ijmali), di antaranya:
1. Al-Tafsir
al-Farid li Al-Qur’an al-Majid (Tafsir yang Tiada Taranya untuk Al-Qur’an yang
agung), 8 jilid dengan jumlah lebih kurang 3377 halaman, hasil usaha Dr. Muhammad
‘Adb al-Mun’im.
2. Kitab
al-Tashil li ‘Ulum al-Tanzil (Buku Mudah untuk Ilmu-ilmu Al-Qur’an), 2 jilid
dan 4 juz, masing-masing terdiri atas sekitar 195 halaman hingga 228 halaman,
susunan Muhammad bin Ahmad bin Juzzay al-Kalbi al-Gharnathi al-Andalusi
(741-792 H/1340-1389 M).
3. Al-Tafsir
al-Wadhih (Tafsir yang jelas), buah pena Dr. Muhammad Mahmud Hijazi, setebal 3
jilid dengan jumlah halaman hampir 3000.
4. Tafsir
Al-Qur’an al-Karim (Tafsir Al-Qur’an yang Mulia), karangan Mahmud Muhammad
Hadan ‘Ulwan dan Muhammad Ahmad Barmiq, 6 jilid dengan jumlah halaman kurang
lebih 3744.
5. Al-Muharir
al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz (Komentar Singkat dalam Menafsirkan
al-Kitab yang Mulia), Karya Abi Muhammad Abd al- Haqq Athiyyah al-harnathi
(481-541 H/1088-1146 M).
6. Fath
Al- Bayan fi Maqashid Al-Qur’an (Menggali Penjelasan Tujuan-tujuan Al-Qur’an),
karangan Imam al-Mujtahid, Shiddiq Hasan Khan (lahir 1248) sekitar 4800
halaman.
Menafsirkan
Al-Qur’an dengan metode ijmali (global) tampak sederhana, mudah, praktis, dan
cepat. Juga kelebihannya ialah pesan-pesan Al-Qur’an itu mudah ditangkap,
praktis dan mudah difahami, tidak berbelit-belit, pemahaman Al-Qur’an segera
dapat diserap oleh pembacanya, relatif lebih murni, dengan metode ini dapat
dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang tidak sejalan dengan martabat
Al-Qur’an.[9]
Inilah tampaknya kelebihan yang sesungguhnya
lebih tepat dikatakan sebagai kesederhanaan tafsir ijmali dibandingkkan dengan
metode tafsir yang lain. Adapun kelemahan dari tafsir ijmali ialah terletak
pada simplistisnya yang mengakibatkan jenis tafsir ini terlalu dangkal,
berwawasan khas Al-Qur’an yang demikian komprehensif, menjadikan petunjuk
Al-Qur’an bersifat parsial, Al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh,
sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh,
tidak terpecah. Dengan menggambarkan kedua ayat itu, akan diperoleh suatu
pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
3. Tafsir
al-Muqaran (Tafsir Perbandingan / Komparatif)
Al-Tafsir
al-muqaran ialah suatu metode penafsiran dimana mufassirnya berusaha
menafsirkan Al-Qur’an dengan cara mengkomparasikan berbagai pendapatan dari
kalangan para ulama ahli tafsir untuk kemudian mengemukakan penafsirannya
sendiri. Juga termasuk ke dalam metode komparasi (al-manhaj al-muqaran) ialah
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang selintas tinjau tampak berlawanan dengan
al-hadits, padahal dalam hakikatnya sama sekali tidak bertentangan.
Al-Tafsir
Muqaran juga bisa dilakukan dengan cara membanding-bandingkan antara aliran-aliran
tafsir dan antara mufasir yang ada satu dengan mufasir yang lain, maupun
perbandingan itu didasarkan pada perbedaan metode dan lain sebagainnya. [10]
Diantara contoh
kitab al-Tafsir Muqaran ialah:
1. Durrat
al-Tanzil wa Qurrat al-Takwil (Mutiara Al-Qur’an dan Kesejukan al-Takwil),
karya al-Khatib al-Iskafi (w.420 H/1029 M).
2. Al-Burhan
ji Tawjih Mutasyabih Al-Qur’an (Bukti Kebenaran dalam Pengarahan Ayat-ayat
Mutasyabih Al-Qur’an), karangan Taj al- Qarra’ al-Kirmani (w. 505 H/1111 M).
Tafsir
al-muqaran memiliki beberapa kelebihan. Diantaranya lebih bersifat objektif,
kritis, dan berwawasan luas. sedangkan kelemahannya antara lain terletak pada
kenyataan bahwa metode tafsir al-muqarin tidak bisa digunakan untuk menafsirkan
semua ayat Al-Qur’an seperti halnya pada tafsir tahlili dan ijmali.
4. Tafsir
al-Maudhu’i (Tematik)
Definisi Tafsir
maudhu’i seperti Dr. Mushthafa Muslim berpendapat Tafsir al-maudhu’i ialah
tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Al-Qur’an al-Karim yang (memiliki)
kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang bisa juga
disebut dengan metode-metode tauhidi (kesatuan) untuk kemudian melakukan
penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut cara-cara tertentu dan
berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan
mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubungkannya antara yang satu dengan yang
lain dengan korelasi yang bersifat komprehensif.[11]
Ada beberapa
contoh kitab tafsir yang menggunakan metode maudhu’i, diantaranya:
1. Al-Tibyan
fi Aqsam Al-Qur’an (penjelasan tentang Sumpah dalam Al-Qur’an), karangan Ibn
Qayyun Al-Jawziyyah (691-751 H/1921-1350 M).
2. Al-Mar’ah
fi Al-Qur’an (Wanita dalam Al-Qur’an), karya al-Ustadz Mahmud al-Aqqad.
3. Makanah
al-Mar’ah Al-Qur’an al-Karim wa al-Sunnah al-Shahihah (kedudukan Wanita dalam
Al-Qur’an al-Karim dan al-Sunnah al-Shahihah), buah pena Muhammad Biltaji.
4. Al-Riba
fi Al-Qur’an (Riba dalam Al-Qur’an), karya Abu al-A’la al-Maududi.
5. Ayat
al-Jihad fi Al-Karim Dirasatan Maudhu’iyyatan wa Tarikhiyyatan wa Bayaniyyatan
(ayat-ayat Jihad dalam Al-Qur’an al-Karim: Studi Tematik, Historis, dan
Analitis), yang disusun oleh Dr. Kamil Salamah al-Daqs.
6. Nahw
Tafsir Maudhu’i li-Suwar Al-Qur’an al-Karim (Sekitar Tafsir Maudhu’i bagi
Surat-surat Al-Qur’an al-Karun), karangan Muhammad al-Ghazali.
Metode tafsir
al-maudhu’i mempunyai beberapa kelebihan. Yang penting ialah bahwa metode ini
penafsirannya bersifat luas, mendalam, tuntas dan sekaligus dinamis. Adapun
kelemahannya antara lain sama dengan tafsir al-maqaran, yakni tidak dapat menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan seperti yang dapat dilakukan dengan
metode tahlilli dan ijmali.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut Bahasa tafsir berarti menjelaskan,
menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak.
Tafsir Al-Qur’an telah
tumbuh di masa Nabi Muhammad saw. Sendiri dan beliaulah penafsir awal
(Al-Mufasirul Awwal) terhadap kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud
wahyu yang diturunkan kepadanya sahabat-sahabat Rasul yang mulia, tidak ada
yang berani menafsirkan Al-Qur’an diketika Rasul masih hidup Rasul sendirilah
yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an.
Sesudah Rasulullah wafat
barulah para sahabat yang alim yang mengetahui rahasia-rahasia Al-Qur’an dan
yang mendapat petunjuk langsung dari Nabi sendiri, merasa perlu bangun
menerangkan apa yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami
tentang maksud-maksud Al-Qur’an.
Menurut Ibnu Abbas ra. Ada
empat aspek tafsir:
a) Tafsir yang menerangkan halal dan haram, yang harus
diketahui oleh semua mukallaf.
b) Tafsir yang ditafsirkan oleh orang Arab dengan
kekuatan bahasanya (dipahami dengan kekuatan bahasa).
c) Tafsir yang ditafsirkan oleh para ulama.
d) Tafsir yang hanya Allah sendiri mengetahuinya.
Metode tafsir ada
empat macam :
1. Al-Tahlili
2. Al-Ijmali
3. Al-Muqaran
4. Al-Maudhu’i
B. SARAN
Demikian
makalah ini penulis susun, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini tentunya
masih banyak kekurangan baik dari segi materi maupun segi tata bahasa. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna evaluasi
kedepannya. Semoga dibalik ketidaksempurnaan yang ada, makalah ini tetap dapat
memberikan manfaat yang baik bagi kita semua, Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Teungku
Muhammad Hasbi, ilmu-ilmu Al-Qur’an, Pustaka Rizky Putra, Semarang: 2002.
Al-Hafidz, Ahsin W, Kamus
Ilmu Al-Qur’an.
Cet:IV; Jakarta:
Amzah,
Jakarta: 2012.
Anwar, Rosihon, Ulumul Al-Qur’an. Bandung:
Pustaka
Setia. 2010.
Junaidi, Akhmad Arif, Pembaruan
Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Gunung Jati, Semarang: 2001.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Cet:
I; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013.
http://jonikawijaya.wordpress.com/makalah-ululumul-tafsir/html.
diakses pada tanggal 21 mei 2014
pukul
21:57 WIB.
[3]
Akhmad Arif Junaidi. Pembaruan Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Semarang: Gunung Jati, 2001), hlm. 15-16.
[4]
Akhmad Arif Junaidi, Pembaruan Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Semarang: Gunung Jati, 2001), hlm. 35-44.
[5]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 199-200.
[6] Akhmad Arif Junaidi. Pembaruan
Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Semarang:
Gunung Jati, 2001), hlm. 20-27.
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2002), hlm. 214-215.
[8]
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 378-379.
0 komentar:
Post a Comment