October 23, 2014

Metode Tafsir

METODE TAFSIR
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Yuyun Affandi,Dr.,Hj.,Lc.,M.A.

Disusun oleh :
1.    M. Ahsanul Waro           (131311122)
2.    M. Nasik Alhamd           (131311123)               
3.    Akhlia Chairani              (131311124)
4.    Umi Dzunur Aini            (131311125)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Ilmu-ilmu Al-Qur’an mutlak harus dikuasai bagi mereka yang ingin menafsirkan Al-Qur’an, tanpa mengetahui ilmu tersebut maka sulitlah untuk mengetahui dan memahami kebenaran yang dimaksudkan Allah didalam kandungan isi Al-Qur’an, salah satu ilmu yang harus dikuasai adalah ilmu tafsir yang merupakan salah satu alat untuk memahami dan mengetahui isi yang dikandung didalam Al-Qur’an.
Ilmu tafsir itu sendiri secara garis besar mempunyai dua komponen pokok yaitu komponen eksternal dan komponan internal. Komponen eksternal ialah kaidah-kaidah yang mesti harus dikuasai oleh seorang mufasir, namun hal tersebut tidak berkaitan langsung dengan penafsiran, seperti jati diri Al-Qur’an dan kepribadian mufasir.
Dan dari uraian diatas maka kami ingin sedikit membahas tentang komponen internal yang mempunyai empat metode dalam penafsiran Al-Qur’an, yaitu : metode ijmali, tahlili, muqaran, dan maudhu’i.

B.  Rumusan Masalah
a.    Apa pengertian metode tafsir ?
b.    Bagaimana sejarah dari metode tafsir ?
c.    Apakah sumber-sumber tafsir ?
d.   Apa sajakah aspek-aspek tafsir ?
e.    Apa saja metode yang di gunakan dalam penafsiran ?


PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN METODE TAFSIR
Menurut Bahasa tafsir berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Menurut istilah, sebagaimana didefinisikan oleh Abu Hayyan, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafal-lafal Al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, dan hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya. Az-Zarkasi berpendapat, tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.[1]
Kata “tafsir” diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira” yang berarti keterangan atau uraian. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata “tafsir” menurut pengertian bahasa adalah “Al-kast wa Al-izhhar” yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Pada dasarnya, pengertian “tafsir” berdasarkan bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna Al-idhah (menjelaskan), Al-bayan (menerangkan), Al-kasyf  (mengungkapkan), Al-izhar (menampakkan), dan Al-ibanah (menjelaskan).[2]
Apapun pemaknaan etimologi yang diberikan untuk kata tafsir tersebut, nampaknya semua mengacu pada arti yang sama, yaitu menyingkap, membuka atau menjelaskan.
Sedangkan secara terminologi, tafsir bisa didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang tata cara melafazhkan, petunjuk-petunjuk dan hukum-hukum ifrad dan tarkibnya, makna-makna yang dikandung oleh lafazh-lafazh murakkab dan ilmu-ilmu pelengkap yang mendukungnya.[3]

B.  SEJARAH  PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR
Sebagai sebuah produk pemikiran manusia, tafsir Al-Qur’an telah menapaki perjalanan sejarahnya yang cukup panjang. Perjalanan sejarah perkembangan tafsir Al-Qur’an bisa ditelusuri jejaknya hingga era awal perkembangan Islam, yakni pada masa Rasulullah. Karena Rasulullah dianggap sebagai mufassir pertama yang meretas jalan bagi tumbuh dan berkembangnya tafsir Al-Qur’an hingga dewasa ini.
Untuk memudahkan penulisan sejarah perkembangan tafsir ini, penulis hendak mengemukakan sejarah perkembangannya berdasarkan periodisasi sejarah kodifikasinya yang, menurut Quraisy Syihab, terpilih menjadi tiga periode:[4]
1. Periode Pra Kodifikasi: Masa Rasulullah-tabi’in
Periode yang berlangsung semenjak masa Rasulullah hingga masa tabi’in, terhitung mulai awal pewahyuan hingga awal abad ke-2 H, ini ditandai oleh belum terkodifikasikannya pemikiran tafsir dari mufasir era tersebut.
2. Periode Awal Kodifikasi (awal abad ke-2 H sampai awal abad ke-3 H)
Pelacakan sejarah kodifikasi tafsir Al-Qur’an tentu saja tidak bisa dilepaskan dari sejarah kodifikasi hadits Nabi. Karena, sebagai mana di ketahui, pada tahap awal penyusunan tafsir masih bercampur baur dengan kodifikasi hadits.
3. Periode kemandirian kodifikasi (awal abad ke-3 H hingga sekarang)
Seiring dengan perjalanan sejarah yang makin maju, tradisi keilmuan semakin mengarah pada spesialisasi bidang kajian masing-masing. Kodifikasi tafsir pun secara perlahan mulai terpisah hadits. Para ulama ahli tafsir mulai memisahkan karya tafsirnya dari hadits untuk menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendri. Al-Qur’an mulai ditafsirkan secara berurutan ayat per ayat sesuai mushaf.
Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh di masa Nabi Muhammad saw. Sendiri dan beliaulah penafsir awal (Al-Mufasirul Awwal) terhadap kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya sahabat-sahabat Rasul yang mulia, tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an diketika Rasul masih hidup Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an.[5]
Sesudah Rasulullah wafat barulah para sahabat yang alim yang mengetahui rahasia-rahasia Al-Qur’an dan yang mendapat petunjuk langsung dari Nabi sendiri, merasa perlu bangun menerangkan apa yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud Al-Qur’an.
Banyak sahabat yang ahli menafsir Al-Qur’an. Namun demikian yang terkenal diantara mereka, hanya 10 orang yaitu, khalifah yang empat, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa Al-Asyari dan Abdullah ibn Zubair. Para kholifah yang banyak diterima tafsirnya dan disampaikan kepada masyarakat, ialah Ali ibn Abi Thalib. Sedikit sekali diterima tafsir khalifah yang lain. Hal itu mungkin karena beliau-beliau itu lebih duluan wafat.
Diantara sahabat yang 10 orang sangat layak dinamakan al-mufasir, ialah Abdullah ibn Abas yang telah dido’akan oleh Nabi, semoga Allah memberikan kepadanya keluasan pemahaman dalam agama dan keahlian dalam tafsir. Rasul menamakannya dengan Tarjamanul Qur’an.

C.  SUMBER-SUMBER TAFSIR
Para ulama ahli tafsir mengatakan bahwa dalam upaya memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, seorang mufasir harus memenuhi kualifikasi-kualifikasi yang ditentukan. Diantara kualifikasi-kualifikasi yang ditentukan adalah bahwa seorang mufasir harus mengetahui sumber-sumber tafsir yang bisa dijadikan referensi bagi produk-produk penafsirannya. Hal ini dimaksudkan agar dalam memahami dan menafsirkan suatu produk penafsiran yang dapat dipertanggung jawabkan.
Adapun sumber-sumber tafsir yang harus diketahui dan dijadikan referensi oleh seorang mufasir adalah sebagai berikut:[6]
Pertama, Al-Qur’an itu sendiri. Adalah langkah yang paling baik untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an itu sendiri. Hal ini mengingat bahwa apa yang dijelaskan secara mujmal dalam suatu ayat bisa jadi dijelaskan secara rinci dalam ayat yang lain.
Sumber tafsir yang kedua adalah sunah. Sunah merupakan sumber paling utama yang dibutuhkan oleh seorang mufassir dalam rangka memahami makna, tujuan dan hukum yang terdapat dalam surat ayat surat, baik yang berhubungan dengan akidah ataupun syari’ah.
Sumber tafsir yang ketiga adalah aqwal al-shahabat.  Sebagian ulama’ ahli tafsir mengatakan bahwa qaul sahabat dalam menafsirkan dan mengakses ayat-ayat al-Qur’an dianggap marfu’ sampai Nabi.
Sumber tafsir yang keempat adalah kemampuan dalam memahami dan menguasai bahasa Arab. Sebagaimana telah dimaklumi, al-Qur’an dibumikan dalam bahasa Arab. Maka penguasaan bahasa Arab, dengan berbagai cabang ilmu yang terkait dengannya, adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh seorang mufassir yang hendak menafsirkan al-Qur’an.
Sumber tafisr kelima adalah menafsirkan maksud dari makna kalam dan tujuan syara’. Artinya, dalam menafsirkan al-Qur’an seorang mufassir haruslah mendasarkan penafsirannya pada apa yang dikehendaki oleh syara’ seperti yang ditunjukkan oleh makna kalam.
Kalau sumber tafsir yang ada tersebut dipegang secara konsisten maka akan menghasilkan suatu penafsiran yang hidup.

C. ASPEK-ASPEK TAFSIR
Menurut Ibnu Abbas ra. Ada empat aspek tafsir:
a)    Tafsir yang menerangkan halal dan haram, yang harus diketahui oleh semua mukallaf.
b)   Tafsir yang ditafsirkan oleh orang Arab dengan kekuatan bahasanya (dipahami dengan kekuatan bahasa).
c)    Tafsir yang ditafsirkan oleh para ulama.
d)   Tafsir yang hanya Allah sendiri mengetahuinya.
Az Zarkasyi, di dalam Al-Burhan, menerangkan pengertian yang ilmiah dari aspek-aspek ini.
Tafsir yang diketahui oleh orang Arab dengan perantaraan bahsanya, ialah tafsir yang berdasarkan bahasa dan i’rab. Tafsir yang harus diketahui oleh semua orang, ialah mengetahui apa yang segera ditanggapi oleh pengertian, yaitu mengetahui makna Al-Qur’an dari nash-nash yang mengandung hukum dan yang menunjukkan kepada keesaan Allah.[7]

E. METODE DAN PENGERTIAN YANG DIGUNAKAN DALAM PENAFSIRAN
Ada beberapa metode penafsiran Al-Qur’an yang umum digunakan para ulama tafsir. Penafsiran yang lazim digunakan mereka ada yang bersifat meluas/melebar dan secara global, tetapi ada juga yang menafsirkannya dengan cara melakukan studi perbandingan (komparasi). Masih dalam kaitan dengan metode penafsiran Al-Qur’an, ada juga yang melakukannya dengan cara yang sistematis. Berdasarkan Adb al-Hayy al- Farmawi, menyebutkan empat macam metode (manhaj minhaj) penafsiran Al-Qur’an, yaitu: al-manhaj al-tahlili, al-manhaj al-ijmali al-manhaj al-muqaran, dan al-manhaj al-maudhu’i.[8]

1.    Tafsir al-Tahlili (Deskriptif-Analitis)
Secara harfiah, al-tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Yang dimaksud dengan al-tahlili ialah metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengikuti tertib susunan/urutan surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri dengan sedikit-banyak melakukan analisis di dalamnya.
Metode tafsir tahlili yang juga bisa disebut dengan metode tajzi’i tampak merupakan metode tafsir yang paling tua usiannya.
Metode tahlili, tegas M. Quraish Shihab, lahir jauh sebelum maudu’i. Ia dikenal, katakanlah, sejak Tafsir al-Farra (w. 206 H/821 M), atau Ibn Majah (w. 237 H/851 M), atau paling lambat al-Thabari (w. 310 H/922 M). Kitab –kitab tafsir Al-Qur’an yang ditulis para mufassir masa-masa awal pembukuan tafsir hampir atau bahkan semuanya menggunakan metode tahlili. Apakah itu dari kalangan tafsir bi al-Thabari, maupun dari aliran tafsir bi al-ra’yi semisal karya Muhammad Fakhr al-Din al-Razi al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib. Bahkan dari aliran tafsir bi al-isyarah/al-bathiniyyah juga menampilkan tafsir dengan metode tahlili, seperti kitab tafsir Ghara’ib Al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan yang dipersembahkan al-Naysaburi (w. 728 H/1328 M). Kecuali itu, metode tafsir tahlili terus berkembang pada masa-masa berikutnya. Bahkan hinggga sekarang, al-tafsir al-tahlili masih tetap mengalir.
Untuk lebih jelasnya, diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode tahlili ialah:
1.    Jami’ al-Bayan ‘an Takwil Ayi Al-Qur’an (Himpunan Penjelasan tentang Takwil Ayat-ayat Al-Qur’an), 15 jilid dengan jumlah halaman sekitar 7125, karangan Ibn Jarir al-Thabari (w.310 H/ 922 M).
2.    Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (Tafsir Al-Qur’an yang agung), 4 jilid dengan sekitar 2414 halaman (termasuk 58 halaman sisipan ilmu tafsir pada jilid terakhir), karya al-Hafizh Imad al-Din Abi al-Fida’ Isma’il bin Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi (w. 774 H/ 1343 M).
3.    Tafsir al-samarqandi (Bahr al- ‘Ulum/Lautan Ilmu), 3 juz, buah pena Nasr bin Muhammad bin Ahmad Abu al-Laits al-Samarqandi (w.393 H/1002 M atau 376 H/986 M menurut riwayat lain) dengan tebal halaman sebanyak 1891.
4.    Al-Tafsir Al-Qur’ani li Al-Qur’an (Tafsir Al-Qur’an untuk Al-Qur’an), 16 jilid dengan tebal halaman lebih kurang 1767, karangan Abd al-Karim al-Khatib.
5.    Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an (Neraca dalam Menafsirkan Al-Qur’an), 21 jilid dan tiap-tiap jilid terdiri atas 330-an hingga 450-an halaman, karya al-‘Allamah al-Sayyid Muhammad Husayn al-Thabathaba’i (1321-1402 H/1892-1981 M).
Tafsir tahlili memiliki kelebihan dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang lain. Kelebihan al-tafsir al-tahlili antara lain terletak pada keluasan dan keutuhannya dalam memahami Al-Qur’an dari awal (surat Al-Fatihah) hinggga akhir secara utuh dan menyeluruh. Cara memahami Al-Qur’an secara tartil ini telah dilakukan oleh para sahabat yang terkesan sangat hati-hati dan penuh tanggung jawab. Kelebihan lain dari metode tafsir al-tahlili ialah membahas Al-Qur’an dengan ruang lingkup yang luas. meliputi aspek kebahasaan, sejarah, hukum, dan lain-lain.
Selanjutnya, metode tafsir tahlili mempunyai kelemahan ialah kajiannya tidak mendalam, tidak detail dan tidak tuntas dalam menyelesaikan topik-topik yang dibicarakan. Kecuali itu, menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlili juga memerlukan waktu yang cukup panjang dan menurut ketekunan. Tafsir tahlili, kelemahannya juga terletak pada jalannya yang terseok-seok (tidak sistematis) dan inilah yang dikritik oleh Rasyid Ridha.

2.    Tafsir al-Ijmali (Tafsir Global)
Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global, dan penjumlahan. Dengan demikian maka yang dimaksud dengan tafsir al-ijmali ialah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Qur’an melalui pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.
Pembahasannya hanya meliputi beberapa aspek dalam bahasa yang singkat semisal al-Tafsir al-Farid li Al-Qur’an al-Madjid yang hanya mengedepankan arti kata-kata (al-mufradat), sabab nuzul (latar belakang penurunan ayat) dan penjelasan singkat (al-ma’na) yang sistematikannya sering diubah-ubah. Maksudnya, adakalanya mengedepankan mufradat kemudian sabab nuzul dan al-ma’na, tetapi sering pula mendahulukan al-ma’na dan sabab al-nuzul.
Ada beberapa contoh kitab tafsir yang metode penafsirannya menggunakan metode global (al-manhaj al- ijmali), di antaranya:
1.    Al-Tafsir al-Farid li Al-Qur’an al-Majid (Tafsir yang Tiada Taranya untuk Al-Qur’an yang agung), 8 jilid dengan jumlah lebih kurang 3377 halaman, hasil usaha Dr. Muhammad ‘Adb al-Mun’im.
2.    Kitab al-Tashil li ‘Ulum al-Tanzil (Buku Mudah untuk Ilmu-ilmu Al-Qur’an), 2 jilid dan 4 juz, masing-masing terdiri atas sekitar 195 halaman hingga 228 halaman, susunan Muhammad bin Ahmad bin Juzzay al-Kalbi al-Gharnathi al-Andalusi (741-792 H/1340-1389 M).
3.    Al-Tafsir al-Wadhih (Tafsir yang jelas), buah pena Dr. Muhammad Mahmud Hijazi, setebal 3 jilid dengan jumlah halaman hampir 3000.
4.    Tafsir Al-Qur’an al-Karim (Tafsir Al-Qur’an yang Mulia), karangan Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan Muhammad Ahmad Barmiq, 6 jilid dengan jumlah halaman kurang lebih 3744.
5.    Al-Muharir al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz (Komentar Singkat dalam Menafsirkan al-Kitab yang Mulia), Karya Abi Muhammad Abd al- Haqq Athiyyah al-harnathi (481-541 H/1088-1146 M).
6.    Fath Al- Bayan fi Maqashid Al-Qur’an (Menggali Penjelasan Tujuan-tujuan Al-Qur’an), karangan Imam al-Mujtahid, Shiddiq Hasan Khan (lahir 1248) sekitar 4800 halaman.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ijmali (global) tampak sederhana, mudah, praktis, dan cepat. Juga kelebihannya ialah pesan-pesan Al-Qur’an itu mudah ditangkap, praktis dan mudah difahami, tidak berbelit-belit, pemahaman Al-Qur’an segera dapat diserap oleh pembacanya, relatif lebih murni, dengan metode ini dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang tidak sejalan dengan martabat Al-Qur’an.[9]
 Inilah tampaknya kelebihan yang sesungguhnya lebih tepat dikatakan sebagai kesederhanaan tafsir ijmali dibandingkkan dengan metode tafsir yang lain. Adapun kelemahan dari tafsir ijmali ialah terletak pada simplistisnya yang mengakibatkan jenis tafsir ini terlalu dangkal, berwawasan khas Al-Qur’an yang demikian komprehensif, menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial, Al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah. Dengan menggambarkan kedua ayat itu, akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.

3.    Tafsir al-Muqaran (Tafsir Perbandingan / Komparatif)
Al-Tafsir al-muqaran ialah suatu metode penafsiran dimana mufassirnya berusaha menafsirkan Al-Qur’an dengan cara mengkomparasikan berbagai pendapatan dari kalangan para ulama ahli tafsir untuk kemudian mengemukakan penafsirannya sendiri. Juga termasuk ke dalam metode komparasi (al-manhaj al-muqaran) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang selintas tinjau tampak berlawanan dengan al-hadits, padahal dalam hakikatnya sama sekali tidak bertentangan.
Al-Tafsir Muqaran juga bisa dilakukan dengan cara membanding-bandingkan antara aliran-aliran tafsir dan antara mufasir yang ada satu dengan mufasir yang lain, maupun perbandingan itu didasarkan pada perbedaan metode dan lain sebagainnya. [10]
Diantara contoh kitab al-Tafsir Muqaran ialah:
1.    Durrat al-Tanzil wa Qurrat al-Takwil (Mutiara Al-Qur’an dan Kesejukan al-Takwil), karya al-Khatib al-Iskafi (w.420 H/1029 M).
2.    Al-Burhan ji Tawjih Mutasyabih Al-Qur’an (Bukti Kebenaran dalam Pengarahan Ayat-ayat Mutasyabih Al-Qur’an), karangan Taj al- Qarra’ al-Kirmani (w. 505 H/1111 M).
Tafsir al-muqaran memiliki beberapa kelebihan. Diantaranya lebih bersifat objektif, kritis, dan berwawasan luas. sedangkan kelemahannya antara lain terletak pada kenyataan bahwa metode tafsir al-muqarin tidak bisa digunakan untuk menafsirkan semua ayat Al-Qur’an seperti halnya pada tafsir tahlili dan ijmali.

4.    Tafsir al-Maudhu’i (Tematik)
Definisi Tafsir maudhu’i seperti Dr. Mushthafa Muslim berpendapat Tafsir al-maudhu’i ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Al-Qur’an al-Karim yang (memiliki) kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang bisa juga disebut dengan metode-metode tauhidi (kesatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubungkannya antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang bersifat komprehensif.[11]
Ada beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode maudhu’i, diantaranya:
1.    Al-Tibyan fi Aqsam Al-Qur’an (penjelasan tentang Sumpah dalam Al-Qur’an), karangan Ibn Qayyun Al-Jawziyyah (691-751 H/1921-1350 M).
2.    Al-Mar’ah fi Al-Qur’an (Wanita dalam Al-Qur’an), karya al-Ustadz Mahmud al-Aqqad.
3.    Makanah al-Mar’ah Al-Qur’an al-Karim wa al-Sunnah al-Shahihah (kedudukan Wanita dalam Al-Qur’an al-Karim dan al-Sunnah al-Shahihah), buah pena Muhammad Biltaji.
4.    Al-Riba fi Al-Qur’an (Riba dalam Al-Qur’an), karya Abu al-A’la al-Maududi.
5.    Ayat al-Jihad fi Al-Karim Dirasatan Maudhu’iyyatan wa Tarikhiyyatan wa Bayaniyyatan (ayat-ayat Jihad dalam Al-Qur’an al-Karim: Studi Tematik, Historis, dan Analitis), yang disusun oleh Dr. Kamil Salamah al-Daqs.
6.    Nahw Tafsir Maudhu’i li-Suwar Al-Qur’an al-Karim (Sekitar Tafsir Maudhu’i bagi Surat-surat Al-Qur’an al-Karun), karangan Muhammad al-Ghazali.
Metode tafsir al-maudhu’i mempunyai beberapa kelebihan. Yang penting ialah bahwa metode ini penafsirannya bersifat luas, mendalam, tuntas dan sekaligus dinamis. Adapun kelemahannya antara lain sama dengan tafsir al-maqaran, yakni tidak dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan seperti yang dapat dilakukan dengan metode tahlilli dan ijmali.




PENUTUP


A. KESIMPULAN
Menurut Bahasa tafsir berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak.
Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh di masa Nabi Muhammad saw. Sendiri dan beliaulah penafsir awal (Al-Mufasirul Awwal) terhadap kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya sahabat-sahabat Rasul yang mulia, tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an diketika Rasul masih hidup Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an.
Sesudah Rasulullah wafat barulah para sahabat yang alim yang mengetahui rahasia-rahasia Al-Qur’an dan yang mendapat petunjuk langsung dari Nabi sendiri, merasa perlu bangun menerangkan apa yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud Al-Qur’an.
Menurut Ibnu Abbas ra. Ada empat aspek tafsir:
a)    Tafsir yang menerangkan halal dan haram, yang harus diketahui oleh semua mukallaf.
b)   Tafsir yang ditafsirkan oleh orang Arab dengan kekuatan bahasanya (dipahami dengan kekuatan bahasa).
c)    Tafsir yang ditafsirkan oleh para ulama.
d)   Tafsir yang hanya Allah sendiri mengetahuinya.
Metode tafsir ada empat macam :
1. Al-Tahlili
2. Al-Ijmali
3. Al-Muqaran
4. Al-Maudhu’i




B. SARAN
Demikian makalah ini penulis susun, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini tentunya masih banyak kekurangan baik dari segi materi maupun segi tata bahasa. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna evaluasi kedepannya. Semoga dibalik ketidaksempurnaan yang ada, makalah ini tetap dapat memberikan manfaat yang baik bagi kita semua, Amin.

















DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, ilmu-ilmu Al-Qur’an, Pustaka Rizky Putra, Semarang: 2002.

Al-Hafidz, Ahsin W, Kamus Ilmu Al-Qur’an. Cet:IV; Jakarta: Amzah, Jakarta: 2012.

Anwar, Rosihon, Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. 2010.

Junaidi, Akhmad Arif, Pembaruan Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Gunung Jati, Semarang: 2001.

Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Cet: I; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013.





[1] Ahsin W. Al-Hafidz, kamus Ilmu Al-Qur’an, (Cet: IV; Jakarta: AMZAH, 2012), hlm. 282.
[2] Rosihon Anwar, Ulumul Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 209.
[3] Akhmad Arif Junaidi. Pembaruan Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Semarang: Gunung Jati, 2001), hlm. 15-16.
[4] Akhmad Arif Junaidi, Pembaruan Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Semarang: Gunung Jati, 2001), hlm. 35-44.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 199-200.
[6] Akhmad Arif Junaidi. Pembaruan Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Semarang: Gunung Jati, 2001), hlm. 20-27.
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 214-215.
[8] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 378-379.
[10] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,(Cet: I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 383.
[11] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,(Cet I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 391.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates