Baca Online New Moon part 19
19.
BERPACU
KAMI berhasil
naik pesawat hanya beberapa detik sebelum jadwal keberangkatan, dan siksaan sesungguhnya
dimulai. Pesawat bertengger di apron dengan mesin menyala sementara para
pramugari
melenggang—begitu santainya—di sepanjang lorong pesawat, menepuk-nepuk tas yang
disimpan di kompartemen di atas tempat duduk, memastikan semuanya beres.
Pilot-pilot mencondongkan tubuh dari kokpit, mengobrol dengan pramugari-pramugari
ketika mereka lewat.
Tangan Alice
terasa keras di pundakku, menahanku tetap di kursi sementara aku bergerakgerak gelisah.
“Ini lebih
cepat daripada berlari," Alice mengingatkanku dengan suara pelan. Aku
hanya mengangguk sambil terus bergerakgerak. Akhirnya pesawat bergulir pelan,
sedikit demi sedikit menambah kecepatan dan itu semakin menyiksaku. Kusangka
aku bakal lega setelah pesawat akhirnya lepas landas, tapi ketidaksabaran yang
kurasakan ternyata tak
berkurang
juga.
Alice sudah mengangkat
telepon dari punggung kursi di depannya sebelum pesawat berhenti menanjak, sengaja
memunggungi pramugari yang menatapnya tidak setuju. Namun sesuatu di ekspresiku
membuat pramugari itu mengurungkan niatnya untuk menghampiri dan menegur kami.
Aku berusaha
menulikan telinga dari bisik-bisik Alice dengan Jasper; aku tak ingin mendengar
kata-katanya lagi, tapi ada juga beberapa yang
tanpa sengaja
terdengar olehku.
“Aku tidak yakin,
aku bolak-balik melihatnya melakukan berbagai hal berbeda, berkali-kali berubah
pikiran. Pembunuhan massal di kota,
menyerang
penjaga, mengangkat mobil di atas kepala di alun-alun kota. kebanyakan hal-hal yang
akan mengekspos mereka—dia tahu itu cara
paling cepat
memaksa mereka bereaksi.
"Tidak,
tidak bisa." Suara Alice semakin pelan hingga nyaris tak terdengar,
walaupun aku duduk hanya beberapa sentimeter di sebelahnya. Aku menajamkan pendengaran.
"Katakan pada Emmett, jangan. Well,
susul Emmett dan Rosalie dan bawa mereka kembali. Pikirkan baik-baik, Jasper. Kalau
dia melihat salah seorang di antara kita, menurutmu, apa yang akan dia
lakukan?"
Alice mengangguk.
"Tepat sekali. Menurutku Bella-lah satu-satunya kesempatan—kalau masih ada
kesempatan. aku akan melakukan apa pun yang masih bisa dilakukan, tapi siapkan
Carlisle; kemungkinannya kecil."
Lalu ia
tertawa, kemudian suaranya tercekat.
“Aku juga
sudah memikirkan hal itu. Ya, aku janji." Suaranya berubah memohon.
"Jangan ikuti aku. Aku janji, Jasper. Bagaimanapun caranya,
aku akan
keluar. Dan aku cinta padamu.” Alice menutup telepon, dan bersandar di kursinya
dengan mata terpejam. "Aku benci harus
berbohong padanya.”
"Ceritakan
semua padaku, Alice," pintaku. “Aku tidak mengerti. Menapa kau menyuruh
Jasper menghentikan Emmett, menapa mereka tidak
boleh datang
menolong kita?"
"Dua alasan,"
bisik Alice, matunya masih terpejam. "Yang pertama sudah kukatakan padanya.
Kami bisa saja berusaha menghentikan
Edward
sendiri—kalau Emmett bisa menemukannya, mungkin kami bisa meyakinkan dia bahwa
kau masih hidup. Tapi kami takkan berhasil mendekati Edward diam-diam. Dan
kalau dia melihat kami datang mencarinya, dia justru akan bertindak lebih
cepat. Dia akan melemparkan Buick ke tembok batu atau semacamnya, dan
keluarga
Volturi akan melumpuhkannya.
"Ada
alasan kedua tentu saja, alasan yang tidak
bisa kuungkapkan pada Jasper. Karena bila mereka ada di sana dan
keluarga Volturi
membunuh Edward,
mereka pasti akan melawan keluarga Volturi, Bella." Alice membuka matanya dan
menatapku, memohon. "Kalau saja ada kesempatan kami bisa menang. kalau
saja ada kesempatan kami berempat bisa menyelamatkan saudara kami dengan bertempur
untuknya, mungkin ceritanya akan lain. Tapi kami tidak bisa, dan, Bella, aku tidak
sanggup kehilangan Jasper seperti itu."
Sadarlah aku
mengapa mata Alice memohon pengertianku. Ia melindungi Jasper, dengan mempertaruhkan
nyawa kami sendiri, dan
mungkin nyawa Edward
juga. Aku mengerti, dan aku tidak berpikir buruk tentangnya. Aku mengangguk.
“Apakah Edward
tidak bisa mendengarmu?" tanyaku. "Tidak bisakah dia tahu, begitu mendengar pikiranmu, bahwa aku masih hidup, bahwa
tidak ada gunanya melakukan hal ini?"
Bukan berarti
kalau aku sudah mati ia bisa dibenarkan melakukannya. Aku masih tidak percaya
ia sanggup bereaksi seperti ini. Sungguh
tak masuk
akal! Aku ingat sangat jelas katakatanya hari itu di sofa, ketika kami nonton
Romeo dan Juliet bunuh diri, yang satu menyusul yang lain. Aku tidak mau hidup tanpa kau,
begitu kata Edward waktu itu, seolah-olah itu kesimpulan yang sangat jelas.
Tapi kata-kata yang diucapkannya di hutan saat ia meninggalkanku telah
membuyarkan
semua
itu—secara paksa.
"Kalau
dia mendengarkan," Alice menjelaskan.
"Tapi
percaya atau tidak, mungkin saja untuk membohongi pikiranmu. Seandainya kau
sudah meninggal, aku akan tetap berusaha menghentikannya. Dan aku akan berpikir
'Bella masih hidup, Bella masih hidup’ sekuat tenaga. Dia tahu itu " Kukertakkan
gigiku dengan perasaan frustrasi.
"Kalau
kami bisa melakukan ini tanpa kau, Bella, aku tidak akan membahayakan keselamatanmu
seperti ini. Tindakanku ini sangat
tidak bisa
dibenarkan."
"Jangan
tolol. Itu hal terakhir yang seharusnya kaukhawatirkan" Aku menggeleng
dengan sikap tak sabar. "Ceritakan apa yang kaumaksud waktu bilang kau
tidak suka harus membohongi Jasper."
Alice menyunggingkan
senyum muram. "Aku berjanji padanya akan keluar sebelum mereka membunuhku
juga. Padahal aku tidak bisa
menjamin—itu
sangat tidak mungkin." Alice mengangkat alis, seolah-olah berusaha meyakinkanku
untuk lebih serius lagi menanggapi
bahaya itu.
"Siapa
sebenarnya keluarga Volturi ini?" tanyaku berbisik. "Apa yang membuat
mereka jauh lebih berbahaya dari pada Emmett, Jasper, Rosalie, dan kau?"
Sulit membayangkan hal lain yang lebih mengerikan daripada itu.
Alice menarik
napas dalam-dalam, sekonyongkonyong melayangkan pandangan tidak suka ke balik
bahuku Aku menoleh dan masih sempat
melihat lelaki
yang duduk di seberang gang membuang muka. seakan-akan tidak sedang menguping
pembicaraan kami. Kelihatannya ia
pengusaha,
bersetelan jas lengkap dengan dasi dan laptop di pangkuan. Ketika aku
menatapnya kesal, lelaki itu membuka komputer dan dengan lagak terang-terangan
memasang headphone di telinganya.
Aku mencondongkan
tubuh lebih dekat kepada Alice. Bibirnya tepat di telingaku saat ia membisikkan
ceritanya.
"Aku
kaget waktu kau mengenali nama itu," katanya. "Bahwa kau langsung
mengerti maksudku—waktu kukatakan Edward pergi ke
Italia. Awalnya
kukira aku harus menjelaskan. Seberapa banyak yang sudah diceritakan Edward padamu?"
"Dia
hanya mengatakan mereka keluarga tua yang berkuasa, seperti bangsawan. Bahwa
kau tidak boleh membuat mereka kesal kecuali kau
ingin.
mati," bisikku. Kata terakhir itu sangat sulit diucapkan.
"Kau
harus mengerti," ujar Alice, suaranya lebih lambat, lebih terukur.
"Kami keluarga Cullen unik dalam banyak hal, lebih daripada yang
kauketahui. Sebenarnya. justru tidak normal kalau begitu banyak di antara kami
bisa hidup bersama dalam damai. Sama halnya dengan keluarga Tanya di utara, dan
Carlisle berspekulasi bahwa dengan
tidak mengisap
darah manusia, akan lebih mudah bagi kami untuk bisa hidup beradab, membentuk ikatan
yang didasarkan pada kasih, bukan sematamata untuk bertahan hidup atau perasaan
nyaman. Bahkan kelompok kecil James yang terdiri atas tiga vampir itu bisa
dikatakan besar—dan kaulihat sendiri betapa mudahnya Laurent meninggalkan
mereka. Biasanya jenis kami bepergian sendirian, atau berpasang-pasangan.
Keluarga
Carlisle yang terbesar saat ini, sepanjang pengetahuanku, kecuali satu keluarga
lain. Keluarga Volturi.
"Aslinya,
mereka bertiga, Aro, Caius, dan Marcus."
“Aku pernah
melihat mereka," gumamku. "Di lukisan di ruang kerja Carlisle."
Alice mengangguk.
"Dua wanita bergabung dengan mereka kemudian, dan mereka berlima membentuk
keluarga. Entahlah, tapi menurutku
usia merekalah
yang memberi mereka kemampuan untuk hidup bersama dengan damai. Usia mereka tiga
ribu tahun lebih. Atau mungkin bakat khusus mereka yang membuat mereka sengaja
bertoleransi. Seperti
Edward dan aku, Aro dan Marcus juga. berbakat."
Alice
melanjutkan ceritanya sebelum aku sempat bertanya. “Atau mungkin juga kecintaan
mereka pada kekuasaan yang menyatukan mereka. Menyebut mereka dengan istilah
bangsawan adalah sangat tepat."
"Tapi
kalau hanya lima—"
"Lima yang
membentuk keluarga," Alice mengoreksi. "Itu belum termasuk pengawal mereka."
Aku menghela
napas dalam-dalam.
"Kedengarannya.
serius."
"Oh,
memang," Alice meyakinkan aku. “Ada sembilan pengawal tetap, begitulah
yang terakhir kami dengar. Yang lain-lain. tidak tetap. Gontaganti. Dan banyak
di antara mereka juga berbakat– dengan bakat-bakat luar biasa, membuat apa yang
bisa kulakukan terlihat seperti tipuan murahan. Mereka dipilih keluarga Volruri
karena kemampuan mereka, baik cara fisik maupun yang lain."
Aku membuka mulut,
tapi lalu menutupnya lagi. Kurasa aku tak ingin tahu seberapa kecil peluang
menang dari mereka. Alice mengangguk lagi, seolah-olah mengerti apa yang
kupikirkan. "Mereka jarang terlibat
konfrontasi.
Tak ada yang setolol itu hingga mau mencari gara-gara dengan mereka. Mereka
tetap tinggal di kota dan hanya pergi untuk
melaksanakan
kewajiban."
“Kewajiban?"
aku keheranan.
"Edward
tidak menceritakan padamu apa yang mereka lakukan?”
"Tidak,"
jawabku, merasa wajahku kosong tanpa ekspresi.
Alice melongok
lagi ke balik bahuku, ke arah si lelaki pengusaha, lalu mendekatkan bibirnya
yang sedingin es ke telingaku.
"Ada
alasan mengapa Edward menyebut mereka bangsawan. kelas penguasa. Selama
beribu-ribu tahun, mereka menjadi pihak yang menegakkan peraturan kami—itu
berarti menghukum para pelanggarnya. Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan
tegas."
Mataku
terbelalak shock.
"Jadi ada peraturan?" tanyaku, suaraku kelewat keras.
"Ssstt!"
"Kenapa
tak ada yang memberi tahuku sebelumnya?" bisikku marah. "Maksudku,
aku ingin menjadi salah satu dari kalian! Kenapa tidak ada yang menjelaskan
aturan-aturannya padaku?"
Alice berdecak
melihat reaksiku. "Peraturannya tidak terlalu rumit, Bella. Hanya ada satu
larangan—dan kalau kaupikir benar-benar, kau mungkin bisa menebaknya
sendiri."
Aku berpikir
sebentar. "Tidak, aku tidak tahu." Alice menggeleng, kecewa.
"Mungkin aturannya terlalu jelas. Kami – hanya harus merahasiakan eksistensi
kami."
“Oh,” gumamku.
Memang jelas
sekali.
“Itu masuk akal,
dan kebanyakan kami tidak butuh diawasi,” lanjut Alice. "Tapi setelah
beberapa abad, terkadang salah seorang di antara kami ada yang bosan. Atau
gila. Entahlah. Dan saat itulah keluarga Volturi menengahi sebelum perbuatan para
vampir itu bisa mengakibatkan hal buruk bagi mereka, atau bagi kami
semua."
"Jadi
Edward."
"Berencana
melecehkan peraturan itu di kota mereka sendiri—kota yang diam-diam telah
mereka kuasai selama tiga ribu tahun, sejak Zaman
Etruria.
Saking protektifnya terhadap kota mereka, mereka tidak mengizinkan perburuan di
dalam tembok kota. Bisa jadi Volterra kota teraman di dunia—setidaknya dari
serangan vampir."
"Tapi katamu
tadi mereka tidak pernah meninggalkan kota. Lantas bagaimana mereka makan?"
"Mereka
tidak pergi. Mereka membawa makanan mereka dari luar, terkadang dari
tempat-tempat sangat jauh. Dengan begitu para pengawal punya kegiatan lain bila
tidak sedang menghabisi para vampir yang membelot. Atau melindungi Volterra dari
hal-hal yang tak diinginkan."
"Dari
situasi seperti ini, seperti Edward," aku menyelesaikan kalimatnya.
Menakjubkan betapa mudahnya mengucapkan nama Edward sekarang.
Aku tak yakin
apa perbedaannya. Mungkin karena aku tak berniat hidup lebih lama lagi kalau
tak bisa bertemu dengannya. Atau tidak hidup sama sekali,
kalau kami terlambat. Tenang rasanya karena tahu aku bisa mengakhirinya dengan mudah.
"Aku ragu
mereka pernah menghadapi situasi seperti ini,” gumam Alice, kesal. "Tak
banyak vampir yang ingin bunuh diri."
Suara yang keluar
dari mulutku sangat pelan, tetapi Alice sepertinya mengerti itu jerit
kesedihan. Ia dengan lengannya yang kurus dan kokoh.
“Kita akan berusaha
semampu kita, Bella. Ini belum berakhir.”
“Memang
belum.” Aku membiarkan Alice menghiburku, meski tahu ia menganggap peluang kami
sangat kecil. “Dan keluarga Volturi akan
menghabisi
kita kalau kita gagal.”
Alice
menegang. “Sepertinya kau malah senang.” Aku mengangkat bahu.
“Hentikan,
Bella, atau kita berbalik di New York dan kembali ke Forks.”
“Apa?”
“Kau tahu
maksudku. Kalau kita terlambat menyelamatkan Edward, aku akan berusaha sekuat
tenaga mengembalikanmu ke Charlie, dan aku tak mau kau berulah macam-macam. Mengerti?”
"Tentu,
Alice." Alice mundur sedikit agar bisa memelototiku.
"Jangan
macam-macam."
"Sumpah
pramuka " tukasku. Alice memutar bola matanya.
"Biarkan
aku berkonsentrasi sekarang. Aku akan mencoba melihat apa yang
direncanakannya."
Sebelah tangan
Alice tetap merangkulku, tapi ia menyandarkan kepalanya ke kursi dan memejamkan
mata. Ia menempelkan tangan
satunya ke sisi
wajah, mengusap-usapkan ujung jarinya ke pelipis.
Aku mengawasinya
dengan takjub. Akhirnya ia diam, tak bergerak sama sekali.
Menit-menit
berlalu, dan kalau aku tidak mengenalnya, aku mungkin mengira Alice tertidur. Aku
tidak berani mengganggunya untuk bertanya.
Aku tidak mengizinkan
diriku membayangkan kengerian yang akan kami hadapi, atau, yang lebih mengerikan,
kemungkinan bahwa kami bakal
gagal—tidak
kalau aku tak ingin menjerit sekeraskerasnya.
Aku juga tak
bisa mengantisipasi apa-apa. Mungkin kalau aku sangat, sangat, sangat beruntung,
aku bisa menyelamatkan Edward, bagaimanapun caranya. Tapi aku tidak setolol
itu, mengira dengan menyelamatkannya, aku bisa tinggal bersamanya. Aku tidak
berbeda, tidak lebih istimewa daripada sebelumnya. Tak ada alasan baru mengapa
ia menginginkanku sekarang. Bertemu dengannya dan kemudian kehilangan dia lagi.
Kulawan rasa sedih
itu. Ini harga yang harus kubayar untuk menyelamatkan hidupnya. Aku akan membayarnya.
Film diputar, dan penumpang di sebelahku memasang headphone. Terkadang aku
melihat juga sosok-sosok yang berkelebat di layar monitor yang
kecil, tapi
tidak tahu apakah itu film roman atau horor.
Rasanya seperti
berabad-abad baru pesawat mulai mengurangi ketinggian untuk mendarat di New
York City. Alice bergeming dalam trance-nya. Aku bingung harus bagaimana.
Kuulurkan tanganku untuk menyentuhnya, tapi lalu kutarik lagi. Ini terjadi
belasan kali sebelum pesawat terguncang menyentuh landasan.
"Alice,"
kataku akhirnya. “Alice, kita harus turun."
Aku menyentuh
lengannya. Pelan-pelan sekali mata Alice terbuka. Ia menggeleng sebentar.
“Ada yang
baru?" tanyaku pelan, takut terdengar lelaki di sebelahku.
“Tidak
juga," jawab Alice sambil mengembuskan napas, nyaris tak bisa kutangkap.
"Dia semakin dekat. Dia sedang memutuskan bagaimana dia
akan
memintanya.”
“Kami harus
berlari mengejar pesawat yang akan membawa kami ke Italia, tapi itu bagus –
lebih baik begitu daripada harus menunggu. Alice
memejamkan
mata dan kembali hanyut ke trance seperti sebelumnya. Aku menunggu sesabar mungkin.
Ketika hari kembali gelap aku membuka penutup jendela untuk memandang ke luar,
ke kegelapan yang menghampar tak ada bedanya dengan memandangi penutup jendela.
Aku bersyukur selama beberapa bulan ini aku banyak berlatih mengendalikan
pikiran. Jadi, alihalih memikirkan berbagai kemungkinan
mengerikan,
tak peduli apa pun kata Alice, aku tidak berniat tetap hidup, aku
berkonsentrasi memikirkan masalah-masalah lain yang lebih ringan. Misalnya
saja, apa yang akan kukatakan pada Charlie sepulangnya aku nanti? Itu masalah pelik
yang cukup menyita pikiran selama beberapa
jam. Dan
Jacob? Ia berjanji akan menunggu, tapi apakah janji itu masih berlaku? Apakah
aku akan sendirian di Forks nanti, tanpa siapa-siapa sama sekali? Mungkin aku
tidak ingin bertahan hidup, tak peduli apa pun yang terjadi. Rasanya baru
beberapa detik kemudian Alice mengguncang bahuku—ternyata aku ketiduran.
"Bella,"
desisnya, suaranya agak terlalu keras di kabin gelap yang dipenuhi orang-orang
yang sedang tidur. Aku tidak mengalami disorientasi—tidurku belum cukup lama.
"Ada
apa?"
Mata Alice
berkilat di bawah lampu baca remang-remang
dari barisan di belakang kami.
"Tidak
ada apa-apa." Alice tersenyum senang.
"Kabar
baik. Mereka berunding, tapi sudah memutuskan untuk menolak
permintaannya."
"Keluarga
Volturi?" gumamku, masih mengantuk.
"Tentu
saja, Bella, perhatikan. Aku bisa melihat apa yang akan mereka katakan."
"Beritahu
aku."
Seorang
pramugara berjingkat-jingkat menyusuri lorong, menghampiri kami. "Boleh
saya ambilkan bantal untuk Anda?" Bisikan pelannya
seperti
menegur kami karena kami bercakap-cakap cukup keras.
"Tidak,
terima kasih." Alice menengadah dan tersenyum lebar padanya, senyumnya
luar biasa manis. Pramugara itu tampak keheranan saat
berbalik dan
tersaruk-saruk kembali ke tempatnya.
"Beritahu
aku," bisikku, nyaris tak terdengar. Alice berbisik-bisik di telingaku.
"Mereka tertarik padanya—menurut mereka, bakat Edward bisa sangat berguna.
Mereka akan menawarinya tinggal bersama mereka."
"Apa yang
akan dikatakan Edward?"
"Aku
belum bisa melihatnya, tapi berani taruhan pasti seru" Alice nyengir lagi.
"Ini kabar baik pertama—titik terang pertama. Mereka tertarik;
mereka benar-benar
tak ingin menghancurkan dia—mubazir, begitulah istilah yang akan digunakan
Aro—dan mungkin itu cukup membuat
Edward menjadi
kreatif. Semakin banyak waktu yang dia habiskan untuk memikirkan rencananya, semakin
baik bagi kita."
Penjelasan itu
tak cukup membuatku berharap, membuatku merasakan kelegaan yang jelas sekali dirasakan
Alice. Masih begitu banyak kemungkinan kami bisa terlambat. Dan kalau aku tidak
bisa melewati tembok kota Volturi, aku tidak akan mampu menghentikan Alice
menyeretku kembali ke rumah.
"Alice?"
"Apa?"
"Aku
bingung. Bagaimana kau bisa melihat sejelas itu? Sementara di lain waktu, kau
melihat kejadian-kejadian yang sangat jauh – peristiwa
Peristiwa yang
tidak terjadi?'
“Mata Alice berubah
kaku. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah ia bisa menebak isi pikiranku. "Aku
bisa melihatnya dengan jelas karena peristiwanya langsung dan dekat, dan karena
aku benar-benar berkonsentrasi. Kejadian-kejadian yang sangat jauh datang
sendiri – itu hanya pencuatan sekelebat, kemungkinan-kemungkinan sama. Tambahan
lagi, aku melihat jenisku lebih jelas daripada aku melihat jenismu. Edward bahkan
lebih mudah lagi, karena hubunganku sangat dekat dengannya.”
"Kau bisa
melihatku kadang-kadang," aku mengingatkannya.
Alice menggeleng.
"Tidak sejelas aku melihat Edward."
Aku mendesah.
"Kalau saja kau benar-benar bisa melihat masa depanku dengan tepat.
Awalnya, waktu kau pertama kali melihat hal-hal tentang aku, bahkan sebelum
kita bertemu."
"Apa
maksudmu?"
“Kau melihatku
menjadi seperti kalian." Aku mengatakannya nyaris tanpa suara. Alice
mendesah. "Itu merupakan kemungkinan pada waktu itu."
"Pada
waktu itu," aku mengulangi.
“Sebenarnya,
Bella." Alice ragu-ragu sejenak, kemudian sepertinya mengambil pilihan.
"Jujur saja, rasanya ini jadi
semakin konyol. Aku berdebat dengan diriku, apakah aku harus mengubahmu sendiri.”
Kutatap Alice,
membeku oleh perasaan shock.
Serta-merta pikiranku menolak kata-katanya. Aku tidak boleh terlalu berharap,
takut ia berubah
pikiran. "Apakah
aku membuatmu takut?" tanya Alice.
"Kusangka
memang itulah yang kau inginkan."
"Memang!"
aku terkesiap. "Oh, Alice, lakukan sekarang! Aku bisa membantumu—dan aku
tidak akan memperlambat larimu. Gigit aku!"
"Ssstt,"
Alice memperingatkan. Si pramugara lagi-lagi melihat ke arah kami.
"Cobalah berpikir jernih," bisiknya. "Waktunya tidak cukup. Kita
harus sampai
di Volterra besok. Padahal kalau aku menggigitmu, kau akan menggeliat-geliat
kesakitan berhari-hari." Alice mengernyitkan muka. "Dan bayangkan
saja bagaimana reaksi para penumpang
lain."
Aku menggigit
bibir. "Kalau kau tidak melakukannya sekarang, kau akan berubah pikiran."
"Tidak"
Alice mengerutkan kening, ekspresinya tidak senang. "Kurasa aku tidak akan
berubah pikiran. Edward pasti akan marah, tapi apa lagi
yang bisa dia
lakukan?"
Jantungku berdegup
semakin kencang. "Tidak ada."
Alice tertawa
pelan, kemudian mendesah. "Kau terlalu percaya padaku, Bella. Aku tidak
yakin apakah aku bisa. Bisa-bisa kau malah terbunuh
nanti."
“Aku berani
mengambil risiko itu."
"Kau ini
sangat aneh, bahkan untuk ukuran manusia.”
“Trims.”
"Oh Well, saat ini, ini kan hanya
hipotesis. Pertama-tama, kita harus bisa melewati hari esok lebih dulu.”
"Benar
sekali," Tapi setidaknya aku punya sesuatu yang bisa diharapkan seandainya
kami selamat melewati hari esok. Kalau Alice benarbenar
menepati
janjinya—dan kalau dia tidak membunuhku—maka Edward boleh mengejar apa saja
yang dia inginkan untuk mengalihkan pikirannya, dan aku bisa mengikutinya. Aku
tidak akan membiarkannya memikirkan hal lain.
Mungkin, kalau
aku cantik dan kuat, dia tidak ingin memikirkan hal lain.
"Tidurlah
lagi," Alice menyuruhku. “Aku akan membangunkanmu kalau ada perkembangan baru."
"Baiklah,"
gerutuku, yakin aku takkan bisa tidur lagi. Alice mengangkat kedua kakinya ke
kursi, merangkulnya dengan kedua tangan dan
meletakkan
dahinya ke lutut. Ia bergoyang majumundur
sambil
berkonsentrasi. Aku meletakkan kepalaku ke kursi, menatapnya, dan tahu-tahu
waktu aku sadar, kulihat Alice menurunkan penutup jendela dengan keras, menghalangi
cahaya matahari yang mulai merekah di ufuk timur.
"Apa yang
terjadi?” gumamku.
"Mereka
sudah menolak permintaannya," kata Alice pelan. Aku langsung bisa melihat
antusiasme Alice lenyap sama sekali. Suaraku tercekat di tenggorokkan karena
panik.
"Apa yang
akan Edward lakukan?”
"Kacau
sekali awalnya. Aku hanya bisa melihat sepotong-potong, rencananya berubah-ubah
sangat cepat."
"Apa saja
rencananya?" desakku.
"Waktunya
sangat tidak tepat," bisik Alice.
"Awalnya
dia memutuskan untuk berburu."
Alice
menatapku, melihat mimik tak mengerti tergambar
di wajahku.
"Di
kota," ia menjelaskan. "Dia sudah hampir melakukannya. Tapi dia
berubah pikiran pada saat-saat terakhir."
“Dia tidak mau
mengecewakan Carlisle," gumamku. Tidak pada akhirnya.
"Mungkin,"
Alice sependapat.
"Cukupkah
waktunya?" Saat aku bicara, terasa ada perubahan tekanan udara dalam kabin
pesawat. Aku bisa merasakan pesawat mengurangi
ketinggian.
"Mudah-mudahan
cukup—kalau Edward tetap pada keputusan terakhirnya, mungkin."
“Apa
itu?"
"Mudah
saja. Dia akan berdiri di bawah terik matahari."
Berdiri di
bawah terik matahari. Hanya itu. Itu saja sudah cukup. Bayangan Edward berdiri di
tengah padang rumput—kulitnya berkilauan dan berpendar-pendar seolah-olah
terbuat dari jutaan berlian—terpatri sangat jelas dalam ingatanku. Tak seorang
manusia pun yang melihatnya akan melupakannya. Keluarga Volturi tidak mungkin mengizinkan
itu terjadi. Tidak bila mereka ingin tetap merahasiakan keberadaan mereka di
kota itu. Kupandangi seberkas cahaya abu-abu yang menerobos masuk lewat
jendela-jendela terbuka.
"Kita
akan terlambat" bisikku, kerongkonganku tercekat oleh kepanikan.
Alice
menggeleng. "Saat ini, dia cenderung ingin melakukan hal yang
melodramatis. Dia ingin dirinya ditonton sebanyak mungkin orang, jadi dia akan
memilih alun-alun utama, di bawah menara jam. Tembok-tembok di sana tinggi. Dia
akan menunggu sampai matahari tepat di atas kepala.
"Jadi
kita punya waktu sampai tengah hari?”
"Kalau
kita beruntung. Kalau dia tetap dengan keputusannya."
Suara pilot
bergaung melalui interkom, mengumumkan, pertama dalam bahasa Prancis lalu
Inggris, bahwa kami akan segera mendarat. Lampu sabuk pengaman menyala dengan
suara berdenting.
"Seberapa
jauh perjalanan dari Florence ke Volterra?”
"Tergantung
seberapa cepat kau menyetir. Bella?”
“Ya?” Alice
menatapku dengan sikap spekulatif.
"Bagaimana
pendapatmu tentang pencurian mobil mewah?
Sebuah Porsche
kuning terang berhenti dengan suara rem berdecit nyaring beberapa meter di depanku
yang berjalan mondar-mandir, tulisan TURBO dengan huruf-huruf melengkung perak terpampang
di bagian belakangnya. Semua orang di trotoar bandara yang penuh sesak
memerhatikan
mobil itu.
"Cepat,
Bella!" Alice berteriak tak sabar lewat jendela yang terbuka.
Aku berlari ke
pintu dan melompat masuk, rasanya ingin sekali menutupi wajahku dengan stoking
hitam seperti pencuri.
"Ya
ampun, Alice," keluhku. “Apa kau tidak bisa memilih mobil lain yang lebih
mencolok untuk dicuri?"
Interior mobil
itu berlapis kulit hitam, dan jendela-jendelanya dilapisi kaca film gelap. Rasanya
lebih aman berada di dalam, seperti malam hari. Alice meliuk-liukkan mobil,
terlalu kencang, menerobos lalu lintas bandara yang ramai— menyusup di antara
ruang-ruang lowong tipis di
antara mobil-mobil
sementara aku tegang ketakutan dan tanganku meraba-raba mencari sabuk pengaman.
"Pertanyaan
yang lebih penting," Alice mengoreksi, "apakah aku tidak bisa mencuri
mobil lain yang bisa berlari lebih cepat, dan jawabannya
tidak. Aku
beruntung."
“Aku yakin akan
sangat menenteramkan kalau jalan-jalan diblokir.”
Alice tertawa
keras. "Percayalah padaku, Bella. Kalaupun ada pemblokiran jalan, itu
terjadi di belakang kita." Diinjaknya pedal gas dalam-dalam, seolah ingin
membuktikan kata-katanya. Mungkin seharusnya aku melihat-lihat pemandangan di
luar jendela, ke kota Florence kemudian Tuscan yang kulewati dengan sangat cepat
hingga pemandangan terlihat kabur. Ini perjalanan pertamaku ke mana pun, dan
mungkin juga yang terakhir. Tapi cara Alice menyetir membuatku ngeri, meskipun
aku tahu aku bisa memercayainya di balik kemudi. Dan aku terlalu tersiksa oleh
perasaan gelisah hingga tak ingin melihat perbukitan atau kota-kota berpagar tembok
yang tampak bagaikan kastil di kejauhan.
"Ada lagi
yang kaulihat?"
"Ada
sesuatu yang terjadi," gumam Alice.
"Semacam
festival. Jalan-jalan dipenuhi orang dan bendera-bendera merah. Sekarang
tanggal berapa?”
Aku tidak
yakin. "Tanggal sembilan belas, mungkin?'
"Well, ironis sekali. Ini hari Santo
Marcus."
"Berarti
apa?"
Alice berdecak
kesal. "Kota itu menyelenggarakan perayaan setiap tahun. Menurut legenda,
seorang misionaris Katolik, Pastor Marcus-Marcus dari Volturi, begitulah –
berhasil mengenyahkan semua vampir dari Voltetra 1500 tahun yang lalu. Konon,
sang pastor menjadi martir di Rumania, dalam upayanya menghilangkan wabah.
Tentu saja itu hanya omong kosong – vampir itu tidak pernah meninggalkan kota.
Tapi dari sanalah hal-hal takhayul seperti salib dan bawang putih berasal.
Pastor Marcus sukses menggunakannya. Dan vampir tak pernah mengganggu Volterra,
jadi pasti mujarab.”
Alice sinis.
"Itu lantas menjadi semacam perayaan di kota, dan penghargaan bagi
kepolisian – bagaimanapun, Volterra kota yang luar biasa aman. Polisilah yang
mendapat nama.”
Sadarlah aku
apa yang dimaksud Alice dengan ironis.
"Mereka pasti tidak senang kalau Edward mengacaukan semuanya justru Pada
Hari Santo Marcus, kan?"
Alice
menggeleng, ekspresinya muram. Tidak. Mereka akan bertindak sangat cepat. Aku membuang
muka, berjuang melawan kegelisahan yang membuat gigiku ingin menggigit bibir
bawahku. Sekarang bukan saat yang tepat untuk berdarah. Mengerikan, bagaimana
matahari tampak sangat tinggi di langit yang biru pucat.
“Dia masih berencana
menunggu sampai tengah hari?" tanyaku.
“Ya. Dia
memutuskan untuk menunggu. Dan mereka menunggunya."
"Katakan
padaku apa yang harus kulakukan."Mata Alice tetap tertuju ke jalan yang
berliku—jarum spidometer menyentuh angka paling kanan
pada piringan.
"Kau
tidak perlu melakukan apa-apa. Dia hanya harus melihatmu sebelum beranjak ke
tempat terang. Dan dia harus melihatmu sebelum
melihatku."
"Bagaimana
caranya?”
Mobil merah kecil
tampak seperti ngebut dalam posisi
mundur saat Alice melesat menyalipnya. “Aku akan mengantarmu sedekat mungkin ke
sana, kemudian
kau harus berlari ke arah yang kutunjukkan.” Aku mengangguk.
"Usahakan
agar tidak tersandung" Alice menambahkan. Tidak ada waktu untuk gegat otak
hari ini."
Aku mengerang.
Itu sangat khas aku—mengacaukan semuanya, menghancurkan dunia, hanya gara-gara
kikuk sesaat. Matahari terus menanjak di langit sementara Alice berpacu
menduluinya. Cahayanya sangat terik, dan itu membuatku panik. Jangan-jangan Edward
nanti merasa tak perlu menunggu sampai tengah hari.
"Itu,"
kata Alice tiba-tiba, menuding kota kastil di puncak bukit terdekat.
Aku menatapnya,
merasakan untuk pertama kalinya secercah ketakutan baru. Setiap menit sejak kemarin
pagi—rasanya seperti sudah seminggu yang lalu—saat Alice mengucapkan namanya di
kaki tangga, hanya ada satu ketakutan. Meski begitu, sekarang, saat aku menatap
tembok-tembok bata merah kuno serta menara-menara yang menjulang di puncak
bukit terjal, aku merasakan ketakutan lain yang lebih egois merayapi hatiku. Menurutku
kota itu sangat cantik. Namun kota itu benar-benar membuatku sangat ketakutan. "Volterra,"
kata Alice dengan suara datar dan dingin.
0 komentar:
Post a Comment