Baca Online New Moon part 22
22.
PENERBANGAN
DEMETRI
meninggalkan kami di ruang penerimaan ramu yang mewah dan ceria itu, tempar
wanita bernama Gianna bertugas di balik konter yang mengilat. Musik yang merdu
dan ramah mengalun dari pengeras suara yang tersembunyi.
"Jangan
keluar sebelum gelap," Demetri mengingarkan kami.
Edward mengangguk,
dan Demerri bergegas pergi. Gianna sama sekali tak terkejut mendengar perkataan
itu, meski matanya mengawasi jubah
yang dipinjam
Edward dengan mata menyipit, berspekulasi.
"Kau
baik-baik saja.'' tanya Edward pelan, terlalu pelan untuk bisa didengar oleh
wanita manusia itu. Suaranya kasar – kalau beledu bisa
dibilang kasar
– oleh perasaan cemas. Pasti karena masih tertekan oleh situasi kami, pikirku.
"Sebaiknya
segera dudukkan dia sebelum jatuh," kata Alice. Sepertinya dia akan
kehilangan kendali."
Saat itu barulah
aku sadar tubuhku gemetar, bergetar kuat, sekujurku berguncang sampai gigiku
gemeletukan dan ruangan di sekelilingku
berputar dan
pandanganku kabur. Selama sedetik sempat aku bertanya dalam hati, seperti inikah
yang Jacob rasakan sesaat sebelum meledak
menjadi werewolf.
Aku mendengar
suara yang tidak masuk akal, bunyi robekan aneh, meningkahi musik merdu yang
mengalun di latar belakang. Karena tubuhku terguncang hebat, aku tak bisa
memastikan dari mana suara itu berasal.
"Ssstt,
Bella, ssstt, bisik Edward sambil menarikku ke sofa paling jauh dari pandangan manusia
yang ingin tahu di meja.
"Kurasa dia
histeris. Mungkin sebaiknya kautampar saja dia," Alice menyarankan. Edward
memandangnya sekilas dengan kalut. Kemudian aku mengerti. Oh. Itu suaraku.
Bunyi robekan itu ternyata isak tangis yang keluar dari dadaku. Itulah yang
membuat tubuhku berguncang-guncang.
"Tidak
apa-apa, kau aman, tidak apa-apa," bujuk Edward berkali-kali. Ia
mengangkatku ke pangkuannya dan menyelubungi tubuhku dengan jubah wolnya yang
tebal, melindungiku dari kulitnya yang dingin.
Aku tahu sungguh
tolol bereaksi seperti ini. Siapa yang tahu sampai kapan aku bisa melihat wajahnya?
Ia selamat, aku selamat, dan ia bisa
meninggalkan
aku begitu kami bebas. Dengan mata dipenuhi air mata seperti ini hingga aku tak
bisa melihat garis-garis wajahnya dengan jelas
adalah
kesia-siaan—kegilaan. Namun di balik mataku, tempat air mata tak dapat menghapus
bayangan itu, aku masih dapat melihat wajah putih seorang wanita mungil yang mencengkeram
rosario.
"Orang-orang
itu," seduku.
"Aku
tahu," bisik Edward.
"Sungguh
mengerikan.”
“Ya. memang.
Seandainya kau tidak melihatnya tadi.”
Aku membaringkan
kepalaku di dadanya yang dingin, menyeka maniku dengan jubah yang tebal. Aku
menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berusaha menenangkan diri.
"Ada yang
bisa kubantu?” sebuah suara bertanya sopan. Ternyata Gianna, mencondongkan tubuh
di balik bahu Edward dengan raut wajah
prihatin namun
tetap profesional sekaligus menjaga jarak. Tampaknya ia sama sekali tidak merasa
risi berada hanya beberapa sentimeter dari
vampir yang galak.
Entah ia benar-benar tidak menyadarinya, atau sangat baik dalam menjalankan
tugasnya.
“Tidak,"
Edward menjawab dingin.
Gianna
mengangguk, tersenyum padaku, kemudian menghilang.
Aku menunggu sampai
ia jauh. "Apakah dia tahu apa yang berlangsung di sini?" tanyaku,
suaraku pelan dan parau. Aku mulai bisa menguasai diri, tarikan napasku mulai
tenang.
“Ya. Dia tahu
semuanya," Edward menjawab pertanyaanku.
“Tahukah dia
bahwa mereka akan membunuhnya suatu hari nanti?"
"Dia tahu
kemungkinannya begitu," jawab Edward.
Jawabannya
membuatku terkejut. Wajah Edward sulit dibaca. "Dia berharap mereka akan
memutuskan untuk mempertahankannya."
Aku merasa
darah surut dari wajahku. "Dia ingin menjadi salah satu dari mereka?"
Edward mengangguk,
matanya tajam menatap wajahku, mengamati reaksiku. Aku bergidik.
"Bagaimana mungkin dia menginginkan hal itu?” bisikku, lebih ditujukan pada
diriku sendiri, bukan karena ingin mendapat
jawaban.
"Bagaimana mungkin dia bisa setega itu, melihat orang-orang digelandang
memasuki ruangan mengerikan itu, dan ingin menjadi bagian dari semua itu?"
Edward tidak
menjawab. Ekspresinya berkerut, merespons perkataanku barusan. Saat aku menatap
wajahnya yang begitu rupawan, berusaha memahami perubahannya, mendadak terpikir
olehku bahwa aku benar-benar berada di sini, dalam pelukan Edward, betapapun singkatnya,
dan bahwa kami tidak—saat ini—hendak dibunuh.
"Oh,
Edward," isakku, dan aku menangis lagi. Reaksi yang benar-benar tolol. Air
mataku terlalu deras sehingga aku tak bisa melihat wajahnya lagi, dan itu tak
bisa dimaafkan. Padahal jelas aku hanya punya waktu sampai matahari terbenam. Bagaikan
kisah dongeng, dengan tenggat waktu yang akan mengakhiri keajaiban.
"Ada apa?"
tanya Edward, masih cemas, membelai-belai punggungku dengan tepukantepukan
lembut. Aku merangkul lehernya—apa hal terburuk yang bisa ia lakukan?
Paling-paling mendorongku jauhjauh—
dan merapatkan
tubuh lebih dekat lagi padanya. "Apakah aku gila bila aku justru merasa bahagia sekarang?" tanyaku. Suaraku
tercekat.
Edward tidak
mendorongku. Ia malah mendekapku erat-erat di dadanya yang sekeras es, begitu
eratnya hingga aku sulit bernapas, bahkan
dengan
paru-paruku yang telah utuh kembali.
"Aku
sangat mengerti maksudmu," bisiknya. “Tapi kita punya banyak alasan untuk
bahagia. Salah satunya, karena kira hidup."
"Ya."
aku setuju. "Itu alasan yang bagus.”
“Dan
bersama-sama,” desah Edward. Embusan napasnya begitu harum sehingga membuat
kepalaku melayang. Aku hanya mengangguk, yakin Edward tidak terlalu
bersungguh-sungguh dengan perkataannya
itu, seperti
halnya aku.
“Dan kalau beruntung,
kita akan tetap hidup besok."
“Mudah-mudahan,”
sahutku gelisah.
"Peluangnya
cukup bagus." Alice meyakinkanku. Selama ini ia lebih banyak diam,
sampai-sampai aku nyaris melupakan kehadirannya. "Aku akan bertemu lagi dengan
Jasper dalam waktu kurang dari 24 jam," ia menambahkan dengan nada puas. Betapa
beruntungnya Alice. Ia bisa memercayai masa depannya.
Aku tidak
mampu terlalu lama mengalihkan mata dari wajah Edward. Aku memandanginya terus,
sepenuh hati berharap masa depan tidak
akan datang. Bahwa
momen ini akan berlangsung selamanya, atau, kalau tidak bisa, bahwa aku tidak
akan ada lagi bila masa depan itu tiba.
Edward membalas
tatapanku, bola matanya yang gelap tampak lembut, dan mudah bagiku berpura-pura
ia merasakan hal yang sama denganku. Jadi itulah yang kulakukan. Berpurapura, untuk
membuat momen ini semakin indah. Ujung-ujung jari Edward menyusuri lingkaran di
bawah mataku. "Kau kelihatan capek sekali."
"Dan kau
kelihatan haus," aku balas berbisik, mengamati
memar ungu di bawah mata hitamnya. Edward
mengangkat bahu. "Tidak apa-apa."
"Kau
yakin? Aku bisa duduk dengan Alice," aku menawarkan diri, meski sebenarnya
tidak rela; aku lebih suka Edward membunuhku sekarang
daripada beringsut
satu sentimeter saja dari tempatku berada sekarang.
“Jangan konyol."
Edward mendesah; embusan napasnya yang wangi membelai-belai wajahku.
“Tidak pernah
aku sekuat ini mengendalikan diri dalam hal itu dibanding sekarang."
Berjuta pertanyaan
berkecamuk dalam benakku ingin kutanyakan padanya. Salah satunya sudah berada
di ujung bibirku sekarang, tapi kutelan kembali. Aku tidak ingin merusak
suasana, walaupun suasananya sangat tidak menyenangkan, di ruangan yang
membuatku
mual, di bawah
tatapan seorang calon monster.
Dalam pelukan
Edward, sungguh mudah berkhayal bahwa ia menginginkanku. Aku tidak mau
memikirkan motivasinya sekarang—apakah ia bersikap begini untuk membuatku
tenang selama kami masih dalam bahaya, atau ia hanya merasa bersalah karena
kami berada di sini dan lega karena ia tidak harus bertanggung jawab atas kematianku.
Mungkin perpisahan kami sudah cukup lama sehingga aku tidak membuatnya bosan
sekarang ini. Tapi semua itu bukan masalah. Aku jauh lebih bahagia dengan
berpurapura. Aku berbaring tenang dalam pelukannya, mengenang kembali wajahnya,
berpura-pura.
Edward
memandangi wajahku seolah-olah melakukan hal yang sama, sambil berdiskusi dengan
Alice bagaimana caranya pulang. Suara
mereka begitu
cepat dan rendah hingga aku tahu Gianna tidak bisa memahaminya. Aku sendiri nyaris tak bisa menangkapnya. Tapi
kedengarannya
seperti melibatkan pencurian mobil lagi. Malas-malasan aku berpikir apakah
Porsche kuning yang kami pakai sebelumnya sudah
kembali ke
tangan pemiliknya atau belum.
"Apa
maksudnya omongan tentang penyanyi itu?”
tanya Alice suatu saat.
“La tua cantante,” jawab Edward.
Suaranya membuat kata-kata itu terdengar mengalun seperti musik.
"Ya, itu,"
kata Alice, dan aku berkonsentrasi sesaat. Aku sendiri juga penasaran tadi. Aku
merasakan bahu Edward terangkat.
“Mereka mempunyai
julukan bagi orang yang aroma tubuhnya sama seperti aroma Bella di penciumanku.
Mereka menyebutnya menyanyiku
karena darahnya menyanyi untukku." Alice terbahak.
Aku lelah
sekali dan ingin tidur, tapi aku matimatian melawannya. Aku tidak mau
kehilangan satu detik pun bersamanya. Sesekali, sambil
berbicara
dengan Alice, Edward tiba-tiba membungkuk dan menciumku—bibirnya yang sehalus
kaca menyapu rambut, dahi, juga ujung hidungku. Setiap kali itu terjadi,
seolah-olah aliran listrik menyengat hatiku yang lama tertidur. Suara degupnya seakan
memenuhi seluruh penjuru ruangan.
Ini
surga—berada persis di tengah neraka. Aku benar-benar kehilangan orientasi
waktu. Jadi ketika lengan Edward memeluk lenganku lebih erat, dan baik ia
maupun Alice memandang ke ujung ruangan dengan ekspresi waswas, aku langsung
panik. Aku mengkeret dalam pelukan
Edward saat
Alec—matanya kini merah cemerlang, namun setelan jas abu-abu terangnya tetap
bersih tanpa noda meski habis makan sore—berjalan melewati pintu ganda. Ternyata
ia membawa kabar baik.
"Kalian
boleh pergi sekarang," kata Alec pada kami, nadanya sangat hangat, seperti
kawan lama.
"Kami
harap kalian segera pergi dari kota ini." Edward tidak mau berpura-pura
ramah; suaranya sedingin es. “Itu bukan masalah."
Alec tersenyum,
mengangguk, kemudian menghilang lagi.
“Ikuti lorong
sebelah kanan di tikungan sana, sampai ke deretan lift pertama,” Gianna memberi
tahu kami sementara Edward membantuku berdiri.
"Lobinya
dua lantai di bawah, langsung keluar ke jalan. Selamat jalan," ia
menambahkan dengan nada riang. Aku bertanya-tanya dalam hati,
apakah kecakapannya
dalam bekerja cukup untuk menyelamatkannya.
Alice
melontarkan pandangan sengit ke arahnya. Aku lega ada jalan keluar lain; aku
tidak yakin akan sanggup berjalan menyusuri lorong-lorong bawah tanah lagi.
Kami keluar melalui
lobi yang ditata dengan sangat mewah dan berselera tinggi. Akulah satusatunya yang
menoleh ke belakang, memandangi kastil abad pertengahan yang menaungi facade bisnis mewah. Aku tidak bisa
melihat menara itu dari sini, dan aku sangat bersyukur. Pesta masih berlangsung
meriah di jalan-jalan.
Lampu-lampu
jalan baru mulai menyala saat kami berjalan cepat menyusuri gang-gang sempit
beralas batu. Langit kelabu kusam semakin memudar di atas kepala, dan
bangunan-bangunan begitu padat
menyesaki
jalan hingga suasananya terasa lebih gelap.
Pestanya juga
lebih gelap. Jubah panjang Edward yang menjuntai tidak tampak mencolok seperti
yang mungkin akan terjadi pada malammalam
normal lain di
Volterra. Beberapa orang juga mengenakan jubah satin hitam, dan taring plastik
seperti yang pernah kulihat dipakai seorang
anak kecil di
alun-alun siang tadi tampaknya juga sangat populer di kalangan orang dewasa.
"Konyol,"
kecam Edward.
Aku tidak menyadari
kapan Alice menghilang dari sampingku. Aku menoleh untuk menanyakan sesuatu,
tapi ia tidak ada.
"Mana
Alice?" bisikku panik.
"Dia
pergi mengambil tas kalian dari tempat dia meninggalkannya siang tadi."
Aku bahkan
sudah lupa aku membawa sikat gigi. Informasi itu membuatku senang.
"Dia
mencuri mobil juga, pasti?" tebakku.
Edward
nyengir. "Tidak sampai kita berada di luar."
Rasanya jauh sekali
baru kami sampai di pintu gerbang. Edward bisa melihat aku kelelahan; ia merangkul
pinggangku dan memapahku hampir sepanjang perjalanan.
Aku bergidik
saat ia menarikku melewati gerbang batu hitam melengkung. Jeruji besar kuno yang
menggantung di atas tampak seperti pintu kerangkeng, mengancam hendak menimpa
kami, mengurung kami di dalam.
Edward
membimbingku ke mobil berwarna gelap, yang menunggu dalam lingkaran bayangan di
kanan gerbang dengan mesin menyala. Aku terkejut waktu Edward menyusup masuk ke
jok belakang bersamaku, tidak bersikeras mengemudikannya.
Alice meminta
maaf. "Maafkan aku." Ia melambaikan tangan ke dasbor. "Tidak
banyak pilihan."
"Tidak
apa-apa, Alice." Edward nyengir. "Tidak bisa selalu memilih 911
Turbo."
Alice
mendesah. "Aku harus memiliki salah satu mobil semacam itu secara legal.
Sungguh luar biasa."
"Nanti
kubelikan satu untuk hadiah Natal," janji Edward.
Alice menoleh
dan menatap Edward dengan senyum berseri-seri, dan itu membuatku khawatir, karena
saat itu ia sudah ngebut menuruni jalan
perbukitan
yang gelap dan berkelok-kelok.
"Kuning,"
katanya.
Edward tetap
merangkulku erat-erat. Dalam selubung jubah abu-abunya, aku merasa hangat dan
nyaman. Lebih dari nyaman.
"Kau bisa
tidur sekarang, Bella," bisiknya.
"Sudah
berakhir."
Aku tahu yang
dimaksud Edward adalah bahaya, mimpi buruk di kota kuno, tapi aku masih harus
menelan ludah dengan susah payah sebelum bisa menjawab.
“Aku tidak mau
tidur. Aku tidak capek." Kalimat terakhir itu tidak benar. Yang benar
adalah aku belum mau memejamkan mata. Mobil ini hanya
diterangi samar-samar
oleh nyala lampu panel dasbor, tapi itu sudah cukup untuk bisa melihat wajahnya.
Edward menempelkan
bibirnya di cekungan di bawah telingaku. "Cobalah," bujuknya. Aku menggeleng.
Edward mendesah. "Kau masih saja keras kepala."
Aku memang
keras kepala; mati-matian aku melawan kelopak mataku yang berat, dan aku
menang. Bagian tersulit adalah melewati jalan yang gelap; lampu-lampu benderang
di bandara Florence sedikit melegakan hati, begitu juga kesempatan untuk
menyikat gigi dan ganti baju dengan pakaian bersih; Alice membelikan Edward
baju baru juga, dan Edward membuang jubah hitamnya ke tong sampah di sebuah
gang. Penerbangan ke Roma hanya sebentar hingga
kelelahan tidak sempat
membuatku tertidur.
Tapi aku tahu penerbangan dari Roma ke Atlanta akan sangat berbeda, jadi kuminta
pramugari membawakan segelas Cocacola.
"Bella,”
tegur Edward tidak senang. Ia tahu biasanya aku tidak menolerir minuman yang
mengandung kafein. Alice duduk di belakang kami. Aku bisa mendengarnya berbisik-bisik
dengan Jasper di telepon.
"Aku
tidak mau tidur," aku mengingatkannya. Aku memberi alasan yang bisa
dipercaya karena itu memang benar. "Kalau aku memejamkan mata sekarang,
aku akan melihat hal-hal yang tidak ingin kulihat. Bisa-bisa aku malah bermimpi
buruk.”
Edward tidak
membantahku lagi setelah itu. Sebenarnya ini saat yang tepat sekali untuk mengobrol,
untuk mendapat jawaban yang kubutuhkan—dibutuhkan tapi tidak benar-benar diinginkan;
belum-belum aku sudah merasa sulit memikirkan apa yang bakal kudengar. Waktu
yang panjang membentang di hadapan kami tanpa gangguan apa pun, dan Edward
tidak mungkin melarikan diri dariku di atas pesawat—well,
setidaknya,
tidak semudah itu. Tidak ada yang bisa mendengar kami kecuali Alice; hari sudah
larut malam, dan sebagian besar penumpang mematikan lampu dan meminta bantal
dengan suara pelan. Mengobrol bisa membantuku melawan kelelahan. Namun, anehnya,
aku malah menutup mulutku rapat-rapat dari banjir pertanyaan.
Pertimbanganku
mungkin salah karena kelelahan, tapi aku berharap dengan menunda pembicaraan, aku
bisa meminta waktu beberapa jam dengannya nanti—memperpanjang kebersamaan ini
satu malam lagi, ala Scheherazade, Jadilah aku minum bergelas-gelas soda,
bahkan
berkedip pun
aku nyaris tak mau. Edward tampaknya
cukup senang bisa mendekapku dalam pelukannya,
jari-jarinya menelusuri wajahku lagi
dan lagi. Aku
juga menyentuh wajahnya. Aku tak sanggup menghentikan diriku sendiri, meski
takut itu akan menyakitiku nanti, kalau aku sudah sendirian lagi. Edward terus
saja menciumi
rambutku,
keningku, pergelangan tanganku. Tapi tak pernah bibirku, dan itu bagus.
Soalnya, berapa kali hati yang hancur lebur masih bisa diharapkan pulih
kembali' Beberapa hari terakhir ini, aku bertahan melewati berbagai peristiwa
yang seharusnya mengakhiri hidupku, tapi itu tidak membuatku merasa kuat. Malah
aku merasa sangat rapuh, seakan-akan satu kata saja sanggup menghancurkanku.
Edward juga
diam saja. Mungkin ia berharap aku akan tidur. Mungkin memang tak ada yang
ingin ia katakan. Aku memenangkan adu kekuatan melawan kelopak mataku yang
berat. Mataku masih terbuka
lebar saat
kami mencapai bandara di Atlanta, dan aku bahkan sempat melihat matahari terbit
di awan-awan di atas kota Seattle sebelum Edward menutup jendela rapat-rapat.
Aku bangga pada diriku sendiri. Tak satu menit pun terlewatkan. Baik Alice maupun
Edward sama sekali tidak terkejut melihat rombongan yang menunggu kedatangan kami
di Bandara Sea-Tac, tapi aku kaget luar biasa. Jasper adalah yang pertama kulihat—tampaknya
ia tidak melihatku sama sekali
Matanya hanya,
tertuju pada Alice. Alice bergegas mendapatkannya; mereka tidak berpelukan
seperti pasangan-pasangan lain yang bertemu di sini Keduanya hanya saling
memandang wajah masingmasing,
namun, entah
mengapa, momen itu justru terasa sangat pribadi sampai-sampai aku merasa perlu
membuang muka.
Carlisle dan Esme
menunggu di sudut sepi jauh dan antrean di depan metal detector. Dalam naungan
pilar besar. Esme mengulurkan tangan,
memelukku erat-erat
dengan sikap canggung, karena Edward tidak melepaskan pelukannya dariku.
"Terima
kasih banyak," bisiknya di telingaku.
Kemudian Esme memeluk
Edward, dan ia terlihat seperti ingin menangis.
"Jangan
pernah membuatku menderita seperti itu lagi,” Esme nyaris menggeram. Edward
menyeringai, penuh penyesalan. “Maaf, Mom.”
"Terima
kasih Bella,” kata Carlisle. “kami berutang budi padamu.”
“Ah, tidak,”
gumamku. Tiba-tiba saja aku merasa letih sekali karena begadang semalaman. Kepalaku
terasa lepas dari tubuhku.
“Dia sangat
kelelahan," Esme memarahi Edward.
"Mari
kita bawa dia pulang."
Tidak yakin apakah
saat ini ingin pulang, aku tersaruk-saruk, separo buta, melintasi bandara, Edward
menyeretku di satu sisi, sementara Esme di sisi lain. Aku tidak tahu apakah
Alice dan Jasper mengikuti di belakang kami atau tidak, dan aku terlalu lelah
untuk melihat.
Kurasa aku tertidur,
walaupun masih berjalan, saat kami sampai di mobil. Keterkejutan melihat Emmett
dan Rosalie bersandar pada sedan hitam di bawah cahaya buram lampu-lampu garasi
parkir membuatku tersentak. Edward mengejang.
"Jangan,"
bisik Esme. "Rosalie merasa bersalah."
"Memang
seharusnya begitu," tukas Edward, tidak berusaha memelankan suara.
"Itu
bukan salahnya." belaku, kata-kataku tidak terdengar jelas karena
kelelahan.
“Beri kesempatan
padanya untuk meminta maaf," pinta Esme. "Kami akan naik mobil
bersama Alice dan Jasper."
Edward memandang
garang pasangan vampir berambut pirang yang sangat memesona itu.
“Kumohon, Edward,"
ujarku. Sebenarnya aku juga tidak mau semobil dengan Rosalie, sama seperti
Edward, tapi cukup sudah aku menyebabkan perpecahan dalam keluarga ini. Edward
mendesah, lalu menarikku ke mobil. Emmett dan Rosalie naik ke kursi depan tanpa
bicara,
sementara Edward lagi-lagi menarikku ke kursi belakang. Aku tahu aku tidak akan
mampu melawan kelopak mataku lagi, jadi kubaringkan kepalaku di dadanya dengan
sikap kalah,membiarkan mataku terpejam. Kurasakan mesin mobil menderum pelan.
"Edward,"
Rosalie memulai.
"Aku
tahu." Nada kasar Edward terdengar tidak ramah.
"Bella?"
Rosalie bertanya lirih. Kelopak mataku menggeletar terbuka dengan shock Ini pertama kalinya ia berbicara
langsung padaku.
"Ya,
Rosalie?" sahutku, ragu-ragu.
“Aku sangat
menyesal, Bella. Aku merasa sangat bersalah telah menyebabkan semua ini, dan
sangat bersyukur kau cukup berani untuk pergi dan menyelamatkan saudaraku
setelah apa yang kuperbuat. Kuharap kau mau memaafkanku.”
Kata-katanya
canggung, terbata-bata karena malu, tapi terdengar tulus.
"Tentu
saja, Rosalie," gumamku, menyambar kesempatan apa saja untuk membuatnya
tidak membenciku lagi. “Ini bukan salahmu. Akulah
yang melompat
dari tebing sialan itu. Tentu saja aku memaafkanmu.”
Kata-kataku
terdengar mengantuk.
"Itu
tidak masuk hitungan sampai dia sadar,Rose,” Emmet terkekeh.
"Aku sadar
kok," tukasku; tapi suaraku terdengar seperti gumaman tidak jelas. Kemudian
suasana sunyi, kecuali derum pelan suara mesin. Aku pasti tertidur, karena
rasanya baru beberapa detik kemudian pintu terbuka dan Edward membopongku turun
dari mobil Mataku tidak mau membuka. Mulanya kukira kami masih di bandara.
Kemudian aku
mendengar suara Charlie.
"Bella!"
teriaknya dari jauh.
"Charlie,”
gumamku, berusaha menghalau kantuk yang melandaku.
“Ssstt"
bisik Edward. "Semua beres; kau sudah sampai di rumah dan aman. Tidur
sajalah."
“Berani-beraninya
kau menunjukkan mukamu lagi di sini." Charlie memaki Edward. Suaranya terdengar
jauh lebih dekat sekarang.
"Sudahlah,
Dad." erangku. Charlie tidak menggubrisku.
"Kenapa
dia," tuntut Charlie.
"Dia
hanya sangat lelah, Charlie,” Edward menenangkannya. "Biarkan dia
istirahat."
"Jangan
ajari aku!" teriak Charlie. "Berikan dia padaku. Jangan sentuh dia!'
Edward
berusaha menyerahkanku kepada Charlie, tapi aku mencengkeram tubuhnya kuatkuat,
tak mau melepaskannya. Aku bisa
merasakan
tangan ayahku menyentakkan lenganku.
“Hentikan,
Dad," sergahku lebih keras lagi. Aku berhasil memaksa kelopak mataku
membuka untuk menatap Charlie nanar. "Marah saja
padaku."
Saat itu kami
berada di depan rumahku. Pintu depan terbuka lebar. Awan yang menaungi di atas kepala
terlalu tebal hingga aku tak bisa memperkirakan jam berapa sekarang.
“Itu sudah pasti,"
tegas Charlie. "Masuk ke dalam."
“Ke. Turunkan
aku," desahku.
Edward menurunkan
aku. Bisa kulihat bahwa aku berdiri, tapi aku tidak bisa merasakan kakiku. Aku
maju sempoyongan, sampai trotoar berputar ke arah wajahku. Dengan tangkas
Edward menyambarku sebelum wajahku mencium beton.
"Izinkan
aku membawanya ke atas,” kata Edward. "Setelah itu aku akan pergi."
"Jangan,"
tangisku, panik. Aku belum mendapatkan penjelasan apa-apa. Ia tidak boleh pergi
dulu, setidaknya sampai ia menjelaskan semuanya, bukan begitu?
“Aku tidak akan
jauh-jauh," Edward berjanji, berbisik sangat pelan di telingaku sehingga
Charlie tidak mungkin bisa mendengar. Aku tidak mendengar Charlie menjawab,
tapi Edward berjalan memasuki rumah. Mataku hanya sanggup bertahan sampai
tangga. Hal terakhir yang kurasakan adalah tangan dingin Edward membuka
cengkeraman jari-jariku dari kemejanya.
0 komentar:
Post a Comment