Baca Online New Moon part 7
7.
PENGULANGAN
ENTAH apa yang
kulakukan di sini. Apakah aku berusaha
mendorong diriku kembali ke keadaan seperti zombie? Apakah aku
sudah berubah menjadi masokis—senang disiksa? Seharusnya aku langsung ke La
Push. Aku merasa jauh. jauh lebih sehat bila bersama Jacob, Ini bukan hal yang
sehat untuk dilakukan.
Tapi aku terus
saja mengendarai trukku pelanpelan menembus jalan yang ditumbuhi semaksemakliar
di kiri-kanan-nya, meliuk-liuk
menerobos pepohonan
yang melengkung di atas kepala bagai terowongan hijau yang hidup. Kedua tanganku
gemetar, dan aku mempererat cengkeramanku pada setir.
Aku tahu sebagian
alasanku melakukan ini karena mimpi buruk itu; sekarang setelah aku benar-benar
terbangun, kehampaan mimpi itu
menggerogoti
saraf-sarafku, seperti anjing mengkhawatirkan di mana tulangnya dikubur. Ada sesuatu
yang harus dicari. Tak bisa diraih dan
mustahil,
tidak peduli dan tidak perhatian. tapi dia ada di luar sana, di suatu tempat.
Aku harus memercayai hal itu.
Sebagian yang lain
adalah sensasi pengulangan aneh seperti yang kurasakan di sekolah tadi, tanggal
yang kebetulan itu. perasaan bahwa aku memulai dari awal lagi—mungkin akan
begitulah hari pertamaku jadinya bila aku sungguh-sungguh menjadi orang yang paling
tidak biasa di kafeteria siang itu.
Kata-kata itu
memenuhi kepalaku, tanpa nada, seolah-olah aku membaca dan bukan mendengarnya
langsung:
Nantinya akan terasa seolah-olah aku tak pernah ada.
Aku membohongi
diri sendiri dengan membagi alasan kedatanganku ke sini menjadi hanya dua bagian.
Aku tak mau mengakui motivasi terbesar. Karena secara mental itu tidak waras. Sebenarnya,
aku ingin mendengar suaranya lagi, seperti delusi aneh yang kualami Jumat malam
lalu. Untuk waktu yang singkat itu, ketika suaranya datang dari bagian lain
selain ingatan sadarku, ketika suaranya terdengar sempurna dan semanis madu,
bukan gaung lemah seperti yang biasa dimunculkan kenanganku, aku bisa mengingatnya
tanpa merasa sedih. Itu tidak
bertahan lama;
kepedihan itu kembali menyerangku, sesuatu yang aku yakin pasti akan terjadi
setelah aku melakukan tindakan ceroboh
ini. Tapi momen-momen
berharga saat aku bisa mendengarnya lagi bagaikan rayuan yang tak bisa ditolak.
Aku harus mencari cara untuk mengulangi pengalaman itu. atau mungkin istilah
yang lebih tepat adalah episode.
Aku berharap deja vu adalah kuncinya. Itu sebabnya
aku akan pergi ke rumahnya, yang tak pernah kuinjak lagi sejak pesta ulang
tahunku
yang sial itu,
beberapa bulan silam. Tumbuh-tumbuhan lebat dan nyaris menyerupai hutan belantara
merayap lamban di samping jendela trukku, meluncur dan meluncur terus. Kupercepat
laju trukku, mulai gelisah. Sudah berapa lama aku menyetir? Bukankah seharusnya
aku sudah sampai di rumah itu? Tetumbuhan begitu menyemak hingga jalan yang
kulalui tampak asing.
Bagaimana
kalau aku tak bisa menemukannya?
Aku bergidik.
Bagaimana kalau tidak ada bukti nyata
sama sekali?
Kemudian
kelebatan pepohonan mulai merenggang, persis seperti yang kucari, hanya saja sekarang
tidak terlalu kentara. Flora di sini tidak
menunggu lama
untuk mengklaim kembali tanah yang dibiarkan tak dijaga. Pakis-pakisan tinggi sudah
menyusup ke padang rumput di sekeliling rumah, mengimpit batang-batang pohon
cedar, bahkan sampai ke teras yang lebar. Seolah-olah halaman dibanjiri—setinggi
pinggang—dengan gelombang hijau berombak-ombak.
Dan rumah itu
ada di sana, tapi tidak sama. Meski tidak ada yang berubah di bagian luar, namun
kekosongan berteriak dari jendelajendelanya yang melompong. Mengerikan. Untuk pertama
kali semenjak melihat rumah indah ini, aku merasa ini tempat yang tepat untuk
kediaman vampir.
Kuinjak rem dalam-dalam,
berpaling. Aku tak berani maju lebih jauh lagi.
Tapi tak ada
yang terjadi. Tidak ada suara apaapa dalam benakku.
Aku membiarkan
mesin truk tetap menyala dan melompat ke dalam lautan pakis. Mungkin, seperti Jumat
malam lalu, kalau aku melangkah maju. Pelan-pelan aku berjalan menghampiri
bagian depan rumah yang sepi dan kosong, mesin trukku menggemuruh menenangkan
di belakangku. Aku berhenti sesampainya di tangga teras, karena tidak
ada apa-apa di
sini. Tidak tersisa sedikit pun kesan bahwa mereka pernah di sini. bahwa ia
pernah di sini. Rumah itu memang masih berdiri kokoh, tapi itu tidak banyak
berarti. Realita konkretnya tidak
akan mengenyahkan
kehampaan mimpi burukku. Aku tidak berjalan lebih dekat lagi. Aku tidak ingin
melongok ke dalam jendela. Entah mana yang lebih berat dilihat. Bila
ruangan-ruangan di dalamnya melompong, bergaung kosong dari lantai ke
langit-langit, itu pasti akan sangat menyakitkan.
Seperti waktu
nenekku meninggal, saat ibuku berkeras menyuruhku tetap di luar sebelum Beliau dimakamkan.
Alasannya, aku tidak perlu melihat Gran seperti itu, mengingatnya seperti itu,
lebih baik mengingatnya seperti waktu ia masih hidup.
Tapi apakah tidak
lebih buruk bila semuanya tetap sama? Bila sofa-sofa itu masih berada di tempat
aku terakhir kali melihatnya, lukisanlukisan
masih
terpajang di dinding—dan lebih parah lagi, piano itu masih bertengger di panggungnya
yang rendah? Itu hanya bisa ditandingi dengan rumah ini lenyap tanpa bekas, melihat
benda-benda itu teronggok begitu saja. Bahwa semua masih sama, tak disentuh dan
dilupakan,
ditinggalkan pemiliknya. Sama seperti aku.
Aku berbalik
memunggungi kekosongan yang menyayat hati itu dan bergegas kembali ke truk. Hampir
saja aku berlari. Aku ingin secepatnya
pergi dari
sini, kembali ke dunia manusia. Aku merasa diriku hampa, dan aku ingin bertemu Jacob.
Mungkin ada penyakit lain yang berkembang dalam diriku, kecanduan lain, seperti
kekebasan yang kurasakan sebelumnya. Aku tak peduli. Kuinjak pedal gas
dalam-dalam, memacu
trukku secepat
mungkin, menggelinding menuju "obat" yang dapat memuaskan
kecanduanku.
Jacob sudah
menungguku. Dadaku seakan merileks begitu melihatnya, membuatku mudahbernapas.
"Hai,
Bella," serunya.
Aku tersenyum
lega. “Hai, Jacob" Kulambaikan tangan pada Billy yang memandang ke luar jendela.
"Ayo kita
segera bekerja," kata Jacob dengan suara pelan namun bersemangat.
Entah
bagaimana aku bisa tertawa. "Kau benarbenar belum
muak padaku, ya?" aku penasaran. Ia sendiri
pasti mulai bertanya-tanya, sebegitu putus asanya
aku ingin punya teman.
Jacob berjalan
menduluiku mengitari rumah untuk menuju garasi.
"Nggak.
Belum."
"Tolong
beritahu aku kapan aku mulai membuatmu kesal. Aku tidak mau menjadi pengganggu."
"Oke."
Jacob tertawa, suaranya sengau. "Tapi kalau aku jadi kau, aku tidak bakal
terlalu berharap."
Saat melangkah
memasuki garasi, aku shock melihat
motor merah itu sudah berdiri, tampak lebih
mirip motor daripada onggokan besi tua.
“Jake, hebat
benar kau," desahku.
Lagi-lagi Jake
tertawa. "Aku jadi obsesif bila sedang mengerjakan proyek." Ia mengangkat
bahu. "Kalau pintar sih, seharusnya aku berlama-lama mengerjakannya."
"Kenapa?"
Jacob menunduk,
berdiam diri lama sekali hingga aku sempat bertanya-tanya apakah ia mendengar
pertanyaanku. Akhirnya, ia bertanya
padaku,
"Bella, seandainya aku berkata tidak bisa membetulkan sepeda-sepeda motor
itu, apa yang akan kaukatakan?"
Aku juga tidak
langsung menjawab, dan Jacob mendongak untuk mengecek ekspresiku.
"Aku akan
berkata. sayang sekali, tapi berani taruhan, kita pasti bisa mencari kegiatan
lain untuk dilakukan. Kalau kepepet sih, kita bahkan
bisa
mengerjakan PR bersama."
Jacob
tersenyum, dan bahunya kembali rileks. Ia duduk di sebelah motor dan memungut
obeng.
"Menurutmu
kau masih akan datang ke sini kalau aku sudah selesai memperbaikinya,
begitu?"
"Jadi
maksudmu itu ya?" Aku menggeleng.
"Kurasa aku
memang sengaja memanfaatkan keahlian mekanikmu yang kelewat murah itu. Tapi selama
kau masih mengizinkan aku datang ke sini, aku pasti datang."
"Berharap
ketemu Quil lagi?" godanya.
"Ketahuan
deh."
Jacob terkekeh.
"Kau benar-benar suka menghabiskan waktu bersamaku?" tanyanya, takjub.
"Suka,
suka sekali. Dan akan kubuktikan. Aku harus kerja besok, tapi Rabu-nya kita
bisa melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya
dengan
perbengkelan."
"Seperti
apa?"
"Entahlah.
Kita bisa pergi ke rumahku supaya kau tidak tergoda untuk menjadi obsesif. Kau
bisa membawa tugas sekolahmu—kau pasti banyak ketinggalan pelajaran, karena aku
tahu aku pun begitu."
"Boleh
juga bikin PR bareng." Jacob mengernyit dan aku bertanya-tanya dalam hati
berapa banyak PR yang sudah lalai ia kerjakan agar bisa
bersamaku.
"Benar,"
aku sependapat. "Kita harus mulai menunjukkan sikap bertanggung jawab
sesekali, kalau tidak Billy dan Charlie tidak bakal semudah ini memberi izin,"
Aku membuat isyarat yang menggambarkan kami sebagai kesatuan. Jacob senang
melihatnya—wajahnya berseri-seri.
"Mengerjakan
PR sekali seminggu?" usulnya.
“Mungkin lebih
baik dua kali," aku menyarankan, membayangkan setumpuk PR yang baru saja
diberikan hari ini. Jacob mengembuskan napas berat. Lalu ia mengulurkan tangan
melewati kotak perkakas,
mengambil kantong
kertas. Dari dalamnya ia mengeluarkan dua kaleng soda, membuka satu dan
menyodorkannya padaku. Lalu dibukanya
kaleng kedua
dan diangkatnya dengan sikap seperti hendak bersulang.
"Ini
untuk tanggung jawab," katanya. "Dua kali seminggu."
"Dan kecerobohan
pada setiap hari di antaranya," aku menekankan
Jacob nyengir
dan menempelkan kalengnya ke kalengku.
Aku sampai di
rumah lebih malam daripada yang kurencanakan, dan mendapati Charlie sudah memesan
pizza dan bukannya menungguku
pulang. Ia
tidak menerima permintaan maafku.
"Tidak
apa-apa," ia meyakinkan aku. "Sesekali kau pantas mendapat istirahat
dari tugas memasak."
Aku tahu Charlie
hanya merasa lega karena aku masih bersikap layaknya manusia normal, dan tidak
ingin merusak suasana.
Aku mengecek
e-mail dulu sebelum mulai mengerjakan PR. Ternyata ada balasan dari Renee. Ia
bersemangat sekali mengomentari setiap hal
yang kutulis
kemarin, jadi aku pun membalasnya dengan penjelasan panjang-lebar tentang kegiatanku
hari ini. Semua kecuali tentang sepeda motor. Bahkan Renee yang periang itu
bakal jantungan kalau kuceritakan.
Suasana
sekolah hari Selasa lumayan menyenangkan – Angela dan Mike sepertinya siap menyambutku
kembali dengan tangan terbuka—
dengan berbaik
hati melupakan sikapku yang menyimpang beberapa bulan terakhir ini.
Sementara Jess
masih menolak. Aku jadi penasaran jangan-jangan ia membutuhkan surat permintaan
maaf resmi atas insiden di Port Angeles
tempo hari. Mike
riang dan cerewet sekali saat bekerja.
Seolah-olah
selama ini ia menyimpan bahan obrolan
selama satu semester dan menumpahkan semuanya
sekarang. Aku mendapati diriku bisa tersenyum
dan tertawa bersamanya, meski tidak semudah
bila aku bersama Jacob. Kelihatannya tidak
ada maksud apa-apa di baliknya, sampai tiba waktunya
untuk pulang.
Mike memasang
tanda "TUTUP" di etalase sementara aku melipat rompiku dan menjejalkannya
di bawah konter.
"Menyenangkan
sekali malam ini," kata Mike senang.
"Yeah,"
aku sependapat, meski lebih suka menghabiskan soreku di garasi.
"Sayang kau
harus keluar sebelum filmnya selesai minggu lalu."
Aku agak bingung
mengikuti jalan pikirannya. Kuangkat bahuku. "Kurasa aku memang
penakut."
"Maksudku,
seharusnya kau nonton film yang lebih bagus, yang kau suka," ia
menjelaskan.
"Oh,"
gumamku, masih bingung.
"Seperti
misalnya Jumat ini. Bersamaku. Kita bisa pergi nonton film yang tidak seram
sama sekali.”
Kugigit
bibirku. Aku tidak ingin merusak hubunganku dengan Mike, tidak bila dialah
salah satu dari sedikit orang yang siap memaafkanku atas sikap gilaku. Tapi
ini, lagi-lagi, terasa sangat familier. Seakan-akan
peristiwa
tahun lalu tak pernah terjadi. Kalau saja kali ini aku bisa memakai Jess
sebagai alasan.
“Maksudmu
berkencan?" tanyaku. Bersikap jujur mungkin langkah terbaik yang bisa diambil
saat ini. Langsung ke pokok masalah.
Mike mencerna
nada suaraku. "Kalau kau mau. Tapi tidak perlu begitu juga."
"Aku
tidak mau berkencan," jawabku lambatlambat, menyadari betapa benar hal
itu. Seisi dunia terasa sangat jauh denganku sekarang.
"Hanya sebagai
teman?" Mike mengusulkan. Bola matanya yang biru jernih sekarang tidak tampak
terlalu bersemangat. Kuharap ia
bersungguh-sungguh
waktu mengatakan kami bisa jadi teman saja.
"Pasti
asyik. Tapi sayangnya aku sudah punya acara Jumat nanti, jadi bagaimana kalau
minggu depan?"
"Kau mau
ngapain?" tanyanya, lebih ingin tahu daripada yang kurasa ingin ia
tunjukkan.
"Bikin
PR. Aku sudah. janji akan belajar bersama teman.”
"Oh. Oke.
Mungkin minggu depan."
Mike mengantarku
ke trukku, sikapnya tidak seceria tadi. Aku jadi teringat bulan-bulan pertamaku
di Forks. Lingkaran kehidupanku
seolah kembali
ke titik awal, dan sekarang semuanya terasa bagaikan gema—gema yang kosong,
tanpa ketertarikan seperti dulu.
Esok malamnya
Charlie tidak kelihatan kaget sedikit pun melihat Jacob dan aku berselonjor di lantai
ruang tamu dengan buku pelajaran
bertebaran di
mana-mana, jadi kurasa ia dan Billy diam-diam membicarakan kegiatan kami.
“Hai, Anak-anak,"
sapanya, matanya mengarah ke dapur. Aroma lasagna yang kubuat sesorean tadi—sementara
Jacob menonton dan sesekali mencicipi—menguar ke ruang depan; aku sengaja berbuat
baik, berusaha menebus dosa gara-gara membiarkan Charlie memesan pizza terus.
Jacob ikut
makan malam bersama kami, lalu pulang sambil membawa sepiring makanan untuk Billy.
Dengan enggan ia menambahkan satu tahun lagi ke umurku yang masih bisa
dinegosiasikan karena kepiawaianku memasak.
Hari Jumat
kami nongkrong di garasi, dan Sabtu-nya, usai bekerja di Newtons, kami bikin PR
lagi. Charlie merasa cukup yakin aku sudah
kembali waras
sehingga mau pergi memancing bersama Harry. Waktu ia pulang, kami sudah selesai
mengerjakan PR—merasa sangat
bertanggung
jawab dan dewasa—dan sedang menonton Monster Garage di Discovery Channel.
"Mungkin
sebaiknya aku pulang," Jacob mendesah. "Ternyata sudah malam
sekali."
"Oke,
baiklah," gerutuku. "Kuantar kau pulang."
Jacob tertawa
melihat ekspresiku yang keberatan—sepertinya itu membuatnya senang.
"Besok
kembali bekerja," kataku begitu kami sudah aman di dalam truk. "Jam
berapa kau mau aku datang?"
Ada kesan
riang yang tak bisa dijelaskan terpancar dari senyumnya. "Kutelepon kau
dulu, oke?"
"Tentu."
Keningku berkerut, bertanya-tanya ada apa. Senyum Jacob semakin lebar.
Aku membersihkan
rumah keesokan paginya— sambil menunggu Jacob menelepon sekaligus berusaha
mengenyahkan mimpi burukku yang
terakhir. Pemandangannya
berubah. Semalam aku berkelana di tengah lautan pakis yang diselingi pohon
hemlock raksasa di sana-sini. Tidak ada apa-apa lagi di sana, dan aku tersesat,
menggelandang tanpa tujuan dan sen dirian, tidak mencari apa-apa. Ingin rasanya
kumarahi diriku sendiri karena pergi ke sana minggu lalu.
Kutepiskan mimpi
itu dari pikiran sadarku, berharap mimpi tersebut akan terkunci rapat di suatu
tempat dan tidak muncul lagi. Charlie sedang mencuci mobil patrolinya di luar, jadi
ketika telepon berdering, aku langsung menjatuhkan sikat WC dan lari ke bawah
untuk mengangkatnya.
"Halo?"
jawabku terengah-engah.
"Bella."
kata Jacob, nadanya aneh dan formal.
"Hai,
Jake"
"Aku
yakin kita. ada kencan hari ini," katanya, nadanya sarat makna
terselubung.
Butuh waktu
sedetik bagiku untuk mencernanya. "Sudah selesai? Aku tidak percaya!"
Waktunya benar-benar
tepat. Aku membutuhkan sesuatu yang bisa mengalihkan pikiranku dari mimpi buruk
dan kehampaan.
"Yeah,
dua-duanya sudah berfungsi lagi."
"Jacob,
kau ini benar-benar, tidak diragukan lagi, orang paling berbakat dan hebat yang
pernah kukenal. Usiamu bertambah sepuluh tahun karena ini."
"Keren!
Jadi sekarang aku sudah separo baya."
Aku tertawa.
"Aku akan segera ke sana!" Kulempar semua peralatan bersih-bersihku
ke bawah konter kamar mandi, lalu kusambar jaketku.
"Mau ke
rumah Jake," kata Charlie waktu aku berlari melewatinya. Itu bukan
pertanyaan.
“Yep,"
sahutku sambil meloncat ke truk.
"Aku
nanti akan ke kantor," Charlie berseru padaku.
“Oke,"
aku balas berteriak, memutar kunci. Charlie mengatakan sesuatu, tapi aku tak
bisa mendengarnya dengan jelas karena terhalang raungan mesin truk. Ke
dengarannya seperti,
"Buru-buru
amat?"
Kuparkir
trukku di sisi rumah keluarga Black, dekat pepohonan, supaya kami bisa lebih
mudah menyelundupkan sepeda-sepeda motor itu keluar. Waktu aku turun, secercah
warna berkelebat menarik perhatianku—dua motor mengilap, satu merah, satu
hitam, tersembunyi di balik semak, tidak tampak dari rumah. Jacob sudah siap.
Sepotong pita
biru diikat membentuk pita kecil di setiap setang motor. Aku tertawa melihatnya
sewaktu Jacob menghambur keluar rumah.
"Siap?"
tanyanya pelan, matanya berbinar-binar.
Aku menengok
ke belakang bahunya, tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran Billy.
"Yeah,"
jawabku, tapi tidak merasa terlalu bersemangat seperti sebelumnya; aku mencoba
membayangkan diriku benar-benar menunggangi sepeda motor itu.
Dengan enteng
Jacob menaikkan sepeda-sepeda motor itu ke bak belakang trukku, membaringkannya
dengan hati-hati agar tidak
terlihat.
"Ayo,"
ajaknya, suaranya lebih tinggi daripada biasanya karena bersemangat. "Aku
tahu tempat yang aman—tidak ada yang akan memergoki kita di sana."
Kami ke luar
kota menuju selatan. Jalan tanah berkelok-kelok keluar-masuk hutan—terkadang tidak
tampak pemandangan lain selain pepohonan, dan sejurus kemudian tiba-tiba tampak
pemandangan indah Samudera Pasifik membentang luas, jauh hingga ke batas
cakrawala,
abu-abu gelap
di bawah awan-awan. Kami berada di atas pantai, di puncak tebing-tebing yang
membatasi pantai di sini, dan pemandangannya seakan membentang luas hingga ke
ujung bumi.
Aku mengendarai
trukku pelan-pelan, supaya bisa dengan aman memandangi samudra luas sesekali,
sementara jalan berkelok-kelok semakin dekat ke tebing-tebing laut. Jacob
bercerita tentang keberhasilannya memperbaiki kedua sepeda motor itu, tapi
penjelasannya mulai mengarah ke hal-hal teknis, jadi aku tidak begitu
memerhatikan. Saat itulah aku melihat empat orang berdiri di
tubir batu,
terlalu dekat ke pinggir tebing. Dari jauh aku tidak bisa menebak usia mereka,
tapi asumsiku mereka lelaki dewasa. Meski hari ini dingin, kelihatannya mereka
hanya mengenakan celana pendek.
Kulihat lelaki
yang tubuhnya paling tinggi maju semakin dekat ke pinggir tebing. Otomatis aku memperlambat
laju truk, kakiku ragu-ragu di pedal
rem.
Dan detik berikutnya,
lelaki itu menjatuhkan dirinya dari pinggir tebing.
"Tidak!"
teriakku, menginjak rem dalam-dalam.
"Ada apa?"
Jacob balas berteriak, kaget.
"Orang
itu—dia baru saja melompat dari pinggir tebing! Mengapa mereka tidak
mencegahnya? Kita harus menelepon ambulans!" Kubentangkan pintu truk
lebar-lebar dan melompat keluar, tindakan
yang sama
sekali tak masuk akal. Jalan tercepat ke pesawat telepon adalah kembali ke
rumah Billy
Tapi aku tidak
memercayai apa yang baru saja kulihat. Mungkin di alam bawah sadarku, aku berharap
akan melihat sesuatu yang berbeda bila
tidak
dihalangi kaca depan trukku. Jacob tertawa, dan aku berbalik menatapnya dengan
panik. Apakah ia begitu tidak punya perasaan, begitu tega?
"Mereka hanya
terjun dari tebing, Bella. Rekreasi. Di La Push kan tidak ada mal," Jacob menggoda,
meski ada secercah nada kesal dalam
suaranya.
"Terjun
dari tebing?" ulangku, bingung. Tak percaya rasanya melihat sosok kedua
melangkah ke pinggir tebing, diam sejenak, kemudian dengan sangat anggun
melompat ke udara. Ia melayang untuk waktu yang rasanya seperti berabad-abad bagiku,
sebelum akhirnya membelah ombak kelabu gelap dengan mulus, jauh di bawah sana.
"Wow.
Tinggi sekali." Aku masuk kembali ke truk, sambil terus memandangi kedua
penerjun yang tersisa. "Tingginya tidak mungkin kurang dari tiga puluh
meter."
"Well, yeah, kebanyakan dari kami
terjun dari posisi yang agak
lebih ke bawah, dari batu yang menjorok
ke luar tebing itu." Jacob menuding ke
luar jendela.
Tempat yang ditunjukkannya memang tampak jauh lebih masuk akal.
"Orang-orang itu sinting. Mungkin hanya ingin pamer. Maksudku, yang benar
saja, hari ini kan dingin sekali. Airnya pasti sangat dingin." Jacob
mengernyit tak setuju, seolah-olah adegan berbahaya tadi menyinggungnya secara
pribadi. Aku agak terkejut
juga
melihatnya. Kukira Jacob hampir tak pernah marah.
"Kau
pernah terjun dari tebing?" Kata "kami" yang diucapkannya tadi
tak luput dari pendengaranku.
"Tentu,
tentu," Ia mengangkat bahu dan nyengir.
"Asyik
kok. Agak ngeri, memacu adrenalin."
Aku menoleh kembali
memandangi tebing-tebing itu, dan melihat sosok ketiga mondar-mandir di pinggir
tebing. Belum pernah aku menyaksikan
sesuatu yang
senekat itu seumur hidupku. Mataku membelalak, dan aku tersenyum. "Jake,
kau harus mengajakku terjun dari tebing kapan-kapan.
Jacob menatapku
dengan kening berkerut, wajahnya tidak setuju. "Bella, baru saja kau mau memanggilkan
ambulans untuk Sam," ia
mengingatkanku.
Kaget juga aku, ia bisa mengenali siapa orang tadi dari kejauhan.
"Aku
ingin mencoba," aku berkeras, bergerak untuk turun lagi dari truk.
Jacoh
menyambar pergelangan tanganku.
“Jangan hari
ini ok?: Bisakah kira menunggu setidaknya sampai cuaca menghangat?"
“Oke, baik."
aku setuju. Dengan pintu terbuka,angin sedingin es membuat bulu kudukku meremang.
"Tapi aku ingin melakukannya dalam waktu dekat.”
"Dalam waktu
dekat." Jacob memutar bola matanya. "Terkadang kau sedikit aneh,
Bella. Kau tahu itu?"
Aku mendesah.
"Ya."
“Dan kita tidak
akan terjun dari puncak." Aku menonton, takjub, saat pemuda ketiga memulai
terjunnya dengan berlari lebih dulu dan
melontarkan diri
lebih jauh ke udara kosong daripada kedua temannya yang lain. Pemuda itu meliuk
dan berputar-putar di angkasa saat terjun
bebas, seperti
penerjun payung. Ia tampak benarbenar bebas—tanpa beban dan bersikap sesuka hati.
"Baiklah."
aku setuju. "Setidaknya untuk pertama kali."
Sekarang
giliran Jacob yang mendesah. "Jadi, tidak, kita menjajal motor kita?"
tuntut Jacob.
"Oke,
oke," jawabku, mengalihkan mata dari orang terakhir yang menunggu di
tebing. Kukenakan lagi sabuk pengamanku dan menutup
pintu. Mesin
masih menyala, meraung keras bila tidak dijalankan. Kami kembali melaju.
“Jadi siapa
mereka—orang-orang gila itu?" tanyaku.
Jacob mengeluarkan
suara seperti kesal dari tenggorokannya. "Mereka geng La Push."
"Kalian
punya geng?" tanyaku. Sadarlah aku suaraku terdengar kagum.
Jacob langsung
tertawa melihat reaksiku. "Tidak seperti itu. Sumpah, mereka itu seperti
pengawas sekolah yang melenceng dari tugasnya. Mereka tidak suka bikin ulah,
melainkan menjaga ketenteraman." Jacob mendengus. "Pernah, suatu kali
ada pemuda dari daerah Makah rez sana, badannya juga besar, pokoknya
penampilannya sangar. Well, menurut
kabar burung, pemuda itu menjual sabu ke anak-anak, dan Sam Uley serta para
muridnya mengusir pemuda itu dari tanah
kami. Mereka
selalu saja mendengung-dengungkan soal tanah kami dan harga diri suku. konyol
juga lama-lama. Parahnya lagi, dewan suku
menganggap serius
mereka. Kata Embry, dewan suku benar-benar bertemu Sam secara teratur."
Jacob menggeleng-gelengkan
kepala, wajahnya menunjukkan mimik tidak suka. "Embry juga pernah
mendengar dari Leah Clearwater bahwa
geng itu menyebut diri mereka
'pelindung’ atau semacam itulah."
Tangan Jacob mengepal,
sepertinya gatal ingin meninju sesuatu. Belum pernah aku melihatnya seperti
itu.
Kaget juga aku
mendengar nama Sam Uley disebut-sebut. Aku tidak ingin nama itu membawa kembali
ingatan tentang mimpi burukku, jadi aku buru-buru menyampaikan hasil pengamatan
sekilasku untuk mengalihkan perhatian. "Kau tidak terlalu menyukai
mereka."
"Kelihatan,
ya?" tanyanya sarkastis.
"Well. Kedengarannya mereka tidak
melakukan hal yang tidak baik" Aku berusaha menenangkan Jacob, membuatnya
riang kembali. "Hanya saja
sikap mereka
memang agak terlalu sok alim untuk anak geng."
"Yeah.
Sok alim itu istilah yang tepat. Mereka selalu ingin pamer—seperti terjun
tebing itu. Mereka bertingkah seperti. seperti, entahlah.
Seperti cowok-cowok
macho. Dulu pernah, waktu nongkrong di toko bersama Embry dan Quil, semester
lalu, Sam datang bersama kronikroninya,
Jared dan
Paul. Quil mengatakan sesuatu, kau kan tahu dia suka omong besar dan omongannya
membuat Paul jengkel. Matanya
langsung
berubah gelap, dan dia seperti tersenyum—bukan, dia memamer kan giginya rapi tidak
tersenyum—dan sepertinya dia marah sekali sampai-sampai sekujur tubuhnya
bergetar atau bagaimana. Tapi Sam meletakkan tangannya di dada Paul dan
menggeleng. Paul memandanginya sebentar dan kemudian tenang kembali. Terus
terang,
seolah-olah Sam-lah yang bisa menenangkannya—seakan-akan Paul bakal mencabik-cabik
kami kalau tidak dihentikan Sam."
Jacob
mengerang. "Seperti film western kacangan. Kau tahu kan, Sam itu besar
sekali, umurnya saja sudah dua puluh. Tapi Paul juga masih enam belas, lebih
pendek daripada aku dan tidak segempal Quil. Kurasa, salah satu dari kami bisa saja
mengalahkannya."
Cowok macho?
aku sependapat. Aku bisa melihatnya dalam benakku ketika Jacob menggambarkannya,
dan itu mengingatkanku pada
sesuatu. tiga
cowok jangkung berkulit gelap berdiri diam dan saling merapat di ruang tamu rumah
ayahku. Gambarnya miring ke satu sisi,
karena
kepalaku terbaring di sofa sementara dr.Gerandy dan Charlie membungkuk di
atasku . Apakah mereka itu geng Sam?
Aku cepat-cepat
berbicara lagi untuk mengalihkan perhatianku dari kenangan itu.
"Apakah
Sam tidak sedikit terlalu tua untuk hal semacam ini?"
"Yeah.
Seharusnya dia kuliah, tapi dia tetap tinggal di sini. Sudah begitu, tidak ada
yang mempermasalahkannya pula. Padahal, dewan suku
marah besar waktu
kakak perempuanku menolak tawaran beasiswa parsial dan lebih memilih menikah.
Tapi, oh tidak, Sam Uley tidak mungkin melakukan kesalahan."
Wajah Jacob
mengeras oleh amarah—amarah dan perasaan lain yang awalnya tidak kukenali.
"Kedengarannya
sangat menjengkelkan dan.aneh. Tapi aku tidak mengerti mengapa kau memasukkannya
ke hati." Kulirik wajahnya,
berharap aku
tidak membuatnya tersinggung.
Jacob mendadak
tenang, memandang ke luar jendela.
"Belokannya
terlewat," katanya datar.
Aku membuat
putaran berbentuk huruf U yang lebar sekali; sampai nyaris menabrak pohon saat lingkaran
yang kubuat membuat trukku terseok hingga ke setengah badan jalan.
"Terima kasih
peringatannya," gerutuku sambil mulai menyusuri jalan kecil.
"Maaf,
tadi aku sedang tidak memerhatikan jalan." Sejenak tidak ada yang bicara.
"Kau bisa
berhenti di mana saja di sepanjang jalan ini," kata Jacob lirih.
Aku menepikan
truk dan mematikan mesin. Telingaku berdenging oleh kesunyian yang mendadak.
Kami turun, lalu Jacob berjalan ke belakang untuk menurunkan sepeda motor. Aku mencoba
membaca ekspresinya. Ada hal lain yang membuatnya gundah. Pertanyaanku tadi
tepat mengenai sasaran. Jacob tersenyum setengah hati sambil mendorong motor
merah itu ke sisiku. "Selamat ulang tahun yang terlambat. Kau siap?"
"Rasanya
sudah." Tiba-tiba saja motor itu tampak mengancam, menakutkan, waktu aku sadar
sebentar lagi aku akan mengendarainya.
"Kita
akan pelan-pelan saja," Jacob berjanji.
Hati-hati
kusandarkan motor itu ke bemper truk sementara Jacob menurunkan motornya.
"Jake."
Aku ragu-ragu sejenak waktu ia kembali mengitari truk.
"Yeah?"
"Apa sebenarnya
yang membuatmu merasa terganggu? Mengenai Sam. maksudku? Apakah ada masalah
lain?" Ku, pandangi wajahnya, tapi ia
tidak marah.
Ia menatap tanah dan menendangkan sepatunya ke roda depan sepeda motornya
berkalikali. seperti mengulur-ulur waktu.
Jacob
mendesah. "Hanya. cara mereka memperlakukan
aku. Membuatku takut." Katakata itu
mulai berhamburan keluar dari mulutnya.
"Kau
tahu, dewan suku terdiri atas para anggota yang kedudukannya setara, tapi
kalaupun ada pemimpin, pemimpinnya adalah ayahku. Aku tidak pernah bisa
mengerti mengapa orang-orang memperlakukan dia seperti itu. Mengapa opininya
yang paling didengar. Pasti ada hubungannya dengan ayahnya dan ayah dari
ayahnya. Kakek buyutku, Ephraim Black, bisa dibilang kepala suku kami yang
terakhir, dan mereka masih mendengarkan perkataan Billy, mungkin karena itu.
"Tapi aku
sama saja seperti orang-orang lain. Tidak ada yang memperlakukan aku secara istimewa.
sampai sekarang."
Aku
terperangah mendengarnya. "Sam memperlakukan mu secara istimewa?"
"Yeah,"
jawab Jacob, mendongak dan memandangku dengan sorot galau. "Dia memandangiku
seperti menunggu sesuatu. seperti berharap aku akan bergabung dengan geng tololnya
itu suatu saat nanti. Dia lebih memerhatikan aku daripada pemuda-pemuda lain. Aku
tidak suka."
“Kau tidak
perlu bergabung dengan geng apa pun." Suaraku marah. Ini benar-benar
meresahkan hati Jacob, dan itu membuatku marah.
Memangnya para
"pelindung" ini pikir siapa mereka?
“Yeah.” Kaki
Jacob masih terus menendangnendang roda.
"Apa?"
Aku tahu pasti masih ada lagi. Jacob mengerutkan kening, alisnya bertaut seperti
kalau ia tampak sedih dan khawatir, bukannya marah. "Ini tentang Embry.
Dia selalu menghindariku belakangan ini"
Pikiran itu
sepertinya tidak ada hubungannya dengan
masalah tadi, tapi aku ingin tahu apakah masalah
yang dihadapinya dengan sahabatnya itu gara-gara
aku. "Kau kan bersamaku terus akhirakhir ini,"
aku mengingatkan dia, merasa egois. Ternyata
selama ini aku memonopoli dia.
"Tidak,
bukan gara-gara itu. Bukan hanya aku yang merasa begitu—Quil juga, dan
orang-orang lain. Embry tidak sekolah selama satu minggu, tapi tidak pernah ada
di rumah bila kami mencoba menemuinya. Dan waktu dia kembali, dia tampak. dia
tampak kalut. Ketakutan. Quil dan
aku berusaha
membujuknya untuk menceritakan masalah yang dihadapinya, tapi dia tidak mau bicara
pada kami berdua."
Kupandangi
Jacob, menggigit bibir dengan cemas—ia benar-benar ketakutan. Tapi Jacob tidak balas
menatapku. Ia memandangi kakinya yang menendang-nendang karet ban. Temponya
makin lama makin cepat.
"Lalu
minggu ini, tak ada hujan tak ada angin, Embry mulai bergabung dengan Sam dan
temantemannya yang lain. Dia tadi juga ada di tebing."
Suaranya
rendah dan tegang.
Akhirnya Jacob
menatapku juga. "Bella, dulu mereka lebih sering mengganggu Embry daripada
aku. Embry bahkan tidak mau berurusan dengan mereka. Tapi sekarang dia
membuntuti Sam ke mana-mana seolah-olah dia sudah bergabung dalam sebuah sekte.
"Dan hal
yang sama juga terjadi pada Paul. Persis sama. Dia bukan teman Sam. Lalu
tahutahu dia tidak masuk sekolah beberapa minggu,
dan ketika
kembali, mendadak Sam seperti memiliki dia. Entah apa maksudnya. Aku tidak mengerti,
dan aku merasa harus mencari tahu,
karena Paul
temanku dan. Sam menatapku dengan sikap aneh. dan.” suara Jacob menghilang.
"Kau
sudah membicarakan ini dengan Billy?" tanyaku. Ketakutannya mulai menular.
Bulu kuduk di sekujur tubuhku meremang. Kini wajahnya tersaput amarah.
"Sudah," dengusnya. "Benar-benar membantu.”
"Apa kata
ayahmu?"
Ekspresi Jacob
sinis, dan saat berbicara, ia menirukan suara ayahnya yang berat. "Tidak
ada yang perlu kaukhawatirkan sekarang, Jacob.
Beberapa tahun
lagi, kalau kau tidak. Well,
akan kujelaskan nanti." Dan kemudian suaranya biasa lagi. "Bagaimana
penjelasan seperti itu bisa
membuatku mengerti?
Apakah ayahku berusaha menjelaskan bahwa ini disebabkan oleh pubertas tolol,
usia akil balig dan sebangsanya? Ini soal lain. Ada yang tidak beres."
Jacob menggigit-gigit
bibir bawahnya dan meremas kedua tangannya. Kelihatannya ia seperti mau
menangis. Instingku langsung menyuruhku merangkulnya, memeluk pinggangnya dan
menempelkan wajahku
ke dadanya. Ia
besar sekali, aku merasa seperti anak kecil yang memeluk orang dewasa.
"Oh,
Jake, semua pasti beres!" aku meyakinkannya. "Kalau keadaan bertambah
parah, kau bisa tinggal bersamaku dan Charlie. Jangan
takut, akan
kita cari jalan keluarnya!"
Jacob membeku
sedetik, kemudian kedua lengannya yang panjang merangkulku ragu-ragu.
"Trims,
Bella." Suaranya lebih serak daripada biasa.
Sesaat kami
berdiri diam sambil berpelukan, dan itu tidak membuatku kalut; malah, aku
merasa nyaman bisa bersentuhan dengannya. Berbeda sama sekali dengan saat
terakhir kali seseorang memelukku seperti ini. Ini pelukan persahabatan. Dan
Jacob orangnya sangat hangat.
Aneh juga
bagiku, bisa sedekat ini—lebih secara emosional daripada fisik, meski kedekatan
fisik juga merupakan hal yang aneh bagiku—dengan sesama manusia. Itu bukan
gayaku yang biasa. Normalnya, tidak mudah bagiku berhubungan dengan manusia,
dalam tahapan yang sangat mendasar. Tidak dengan manusia.
"Kalau
tahu begini reaksimu, aku akan lebih sering panik." Suara Jacob ringan,
terdengar normal lagi, dan tawanya menggemuruh di telingaku. Jari-jemarinya
menyentuh rambutku, lembut dan hati-hati.
Well, bagiku ini persahabatan. Aku
cepat-cepat melepaskan diri, tertawa
bersamanya,
tapi dalam hati bertekad untuk mengembalikan keadaan ke perspektif semula.
"Sulit dipercaya
aku dua tahun lebih tua darimu," tukasku, memberi penekanan pada kata "lebih
tua". "Kau membuatku merasa seperti orang kerdil." Berdiri
sedekat ini dengannya, aku benarbenar harus mendongak tinggi-tinggi untuk bisa melihat
wajahnya.
"Kau selalu
saja lupa umurku sudah empat puluhan.”
“Oh,
benar."
Jacob menepuk-nepuk
kepalaku. "Kau seperti boneka kecil,” godanya. "Boneka
porselen."
Aku memutar bola
mataku, mundur lagi selangkah. "Sudahlah, jangan mulai lagi dengan ejekanmu
soal albino itu.”
"Serius
nih, Bella, kau yakin kau bukan albino?"
Jacob mendekatkan
tangannya yang kemerahan itu ke tanganku, perbedaannya sangat mencolok.
"Aku
belum pernah melihat orang yang lebih pucat daripada kau. Well. Kecuali–" Jacob tidak meneruskan
kata-katanya, dan aku membuang
muka berusaha
tidak memahami apa yang hendak ia katakan.
“Bagaimana,
jadi naik motor atau tidak?”
“Ayolah,”
ajakku, lebih antusias daripada setengah menit sebelumnya. Kalimat Jacob yang tidak
selesai tadi mengingatkanku pada alasan
mengapa aku
datang ke sini.
0 komentar:
Post a Comment