Epilog New Moon
EPILOG—KESEPAKATAN
HAMPIR
semuanya kembali normal—normal seperti sebelum masa ini, ketika aku berkeliaran
laksana mayat hidup—dalam tempo sangat cepat, lebih daripada yang kuyakini bisa
terjadi. Rumah sakit menerima Carlisle kembali dengan tangan terbuka, bahkan
tidak merasa perlu menutupi kegembiraan mereka bahwa Esme tidak terlalu suka
tinggal di LA. Gara-gara aku tidak ikut ulangan Kalkulus karena harus pergi ke
luar negeri waktu itu, nilai Alice dan Edward saat ini lebih bagus daripada aku
untuk bisa lulus SMA. Tibatiba kuliah menjadi prioritas (kuliah masih tetap merupakan
rencana B, untuk jaga-jaga siapa tahu
tawaran Edward
membuatku batal mengambil pilihan melakukannya dengan Carlisle sesudah lulus).
Sudah banyak tenggat waktu pendaftaran yang kulewatkan, tapi Edward menyodorkan
setumpuk formulir baru untuk kuisi setiap hari. Ia sudah mengembalikan berkas
pendaftarannya ke Harvard, jadi tidak masalah baginya bila, gara-gara
aku terlalu
banyak berleha-leha, kami terdampar di Peninsula Community College tahun depan.
Charlie agak marah padaku, dan ia juga mendiamkan Edward. Tapi setidaknya
Edward diizinkan – selama jam berkunjung yang sudah ditentukan—masuk ke rumah
lagi. Tapi aku tidak diizinkan keluar dari sana.
Aku hanya boleh
keluar untuk bersekolah dan bekerja, jadi dinding-dinding kelasku yang berwarna
kuning kusam mendadak terasa begitu
mengundang
bagiku. Itu berhubungan erat dengan orang yang duduk di meja di sebelahku.
Edward mengambil
jadwalnya yang lama, jadi ia sekelas denganku di hampir semua pelajaran. Kelakuanku
begitu aneh, sejak keluarga Cullen
"pindah"
ke LA, sehingga tak ada yang mau duduk di sampingku. Bahkan Mike, yang dulu
selalu bersemangat memanfaatkan setiap kesempatan, sekarang pun seperti menjaga
jarak. Dengan kembalinya Edward, delapan bulan terakhir nyaris bagaikan mimpi
buruk yang mengganggu. Nyaris, meski tidak persis seperti itu. Salah satunya,
karena sekarang aku dihukum tidak boleh keluar rumah. Dan alasan lain, sebelum musim
gugur waktu itu, aku tidak bersahabat dengan Jacob Black. Jadi, tentu saja,
waktu itu aku belum merasa kehilangan dia.
Aku tidak bisa
pergi ke La Push, dan Jacob tidak mau datang menemuiku. Ia bahkan tidak mau
menerima teleponku. Kebanyakan aku menelepon ke sana malammalam, setelah Edward
diusir – jam sembilan tepat oleh Charlie yang meski muram tapi tampaknya sangat
senang bisa mengusir Edward – dan sebelum Edward menyusup kembali ke kamarku lewat
jendela setelah Charlie tidur. Aku sengaja memilih waktu itu untuk melakukan
panggilan yang sia-sia ini karena kulihat Edward selalu mengernyitkan muka
setiap menyebut nama Jacob. Seperti tidak suka dan waswas. Mungkin bahkan marah.
Kurasa itu karena Edward juga punya prasangka buruk terhadap werewolf, walaupun tidak
sevokal Jacob terhadap "para pengisap darah”.
Jadi. aku jarang
menyebut-nyebut nama Jacob. Dengan Edward di dekatku, sulit memikirkan hal-hal
yang tidak membahagiakan – bahkan
memikirkan mantan
sahabatku, yang saat ini mungkin sedang sangat tidak bahagia, gara-gara aku.
Kalaupun aku memikirkan Jake, aku selalu merasa bersalah karena tidak sering
memikirkan dia.
Dongeng itu
sudah kembali. Sang pangeran sudah kembali, dan kutukan jahat dilenyapkan. Aku
tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap karakter lain yang tertinggal dan
tidak ikut bahagia. Apakah kisah ini juga akan berakhir bahagia selamanya untuk
dia?
Minggu-minggu
berlalu, dan Jacob masih tidak mau menjawab teleponku. Hal ini mulai membuatku
terus-menerus khawatir. Seperti keran bocor di belakang kepalaku yang tidak
bisa kumatikan atau kuabaikan. Tes, tes, tes. Jacob, Jacob, Jacob.
Jadi, meski
jarang menyebut-nyebut nama Jacob, terkadang perasaan frustrasi dan gelisahku meluap
juga.
"Benar-benar
brengsek!" aku mengomel panjang pendek pada Sabtu siang saat Edward menjemputku
dari tempat kerja. Lebih mudah
melampiaskan
amarah daripada merasa bersalah.
"Ini sama
saja dengan menghina!"
Aku sudah
mencoba segala cara, dengan harapan mendapat respons berbeda. Kali ini aku mencoba
menelepon Jake dari tempat kerja, tapi
teleponku
dijawab Billy yang sama sekali tidak bisa membantu. Lagi-lagi.
"Kata
Billy, Jacob tidak mau bicara denganku," aku meradang, memelototi hujan
yang mengalir membasahi jendela mobil. “Masa dia ada di sana, tapi tidak mau berjalan
tiga langkah saja untuk menerima telepon! Biasanya Billy hanya mengatakan Jacob
keluar, sibuk, tidur, atau semacamnya Maksudku, bukan berarti aku tidak tahu
dia bohong padaku tapi paling tidak cara itu masih lebih sopan. Kurasa Billy
juga benci padaku sekarang. Tidak adil!"
"Bukan
begitu, Bella," ucap Edward tenang.
"Tidak
ada yang benci padamu."
"Rasanya
seperti itu," gerutuku, melipat kedua lengan di dada. Sekarang itu hanya
kebiasaan yang sulit diubah. Tidak ada lagi lubang di dadaku
kini—aku bahkan
sudah nyaris tidak ingat perasaan hampa yang pernah kurasakan.
"Jacob
tahu kami sudah kembali, dan aku yakin dia tahu pasti aku bersamamu,"
jelas Edward. "Dia tidak mau dekat-dekat denganku. Permusuhan itu sudah
berurat akar dalam dirinya."
"Itu kan
konyol. Dia tahu kau tidak. Seperti vampir-vampir lain."
"Bukan
berarti tidak ada alasan untuk menjaga jarak."
Aku memandang
garang melalui kaca depan mobil. Yang kulihat hanya wajah Jacob, terpasung dalam
topeng getir yang kubenci itu.
"Bella,
memang beginilah keadaannya," kata Edward kalem. "Aku bisa
mengendalikan diri, tapi aku ragu dia bisa. Dia masih sangat muda. Besar kemungkinan
akan terjadi perkelahian, dan aku tidak tahu apakah bisa menghentikannya
sebelum aku membu—" Edward mendadak berhenti bicara, kemudian cepat-cepat
melanjutkan. "Sebelum aku
menyakitinya.
Kau tidak akan senang. Aku tidak ingin itu terjadi."
Aku ingat apa
yang dikatakan Jacob di dapur waktu
itu, mendengar kata-kata yang ia ucapkan sambil
mengenang suaranya yang parau. Aku
tidak yakin
akan cukup bisa mengendalikan diri untuk menghadapinya. Mungkin kau juga tidak suka kalau aku membunuh temanmu.
Tapi, Jacob ternyata mampu
mengendalikan diri, waktu itu.
"Edward Cullen,"
bisikku. "Tadi kau mau mengatakan membunuhnya, kan? Iya, kan?”
Edward
membuang muka, memandang ke hujan di luar. Di depan kami, lampu merah yang tadi
tidak kusadari keberadaannya berubah menjadi
hijau dan
Edward menjalankan mobilnya kembali, mengemudikannya sangat lamban. Tidak
biasanya ia menyetir sepelan ini.
"Aku akan
berusaha. sekuat tenaga. Untuk tidak melakukannya," kata Edward akhirnya. Kutatap
ia dengan mulut ternganga lebar, tapi
Edward tetap
memandang lurus ke depan. Kami berhenti sebentar di depan tanda stop di pojok jalan.
Mendadak, aku ingat apa yang terjadi pada Paris ketika Romeo kembali. Pengarahan
adegannya sederhana: Mereka bertarung. Paris kalah. Tapi ini konyol. Mustahil.
"Well" ujarku, menarik napas
dalam-dalam, menggeleng untuk mengenyahkan kata-kata itu dari benakku.
"Hal seperti itu takkan pernah
terjadi, jadi
tidak ada alasan untuk mengkhawatirkannya. Dan kau tahu Charlie sedang
memelototi jam sekarang. Sebaiknya cepat antar aku pulang sebelum aku dapat
masalah lagi gara-gara pulang terlambat."
Aku menengadah
padanya, tersenyum setengah hati.
Setiap kali
menatap wajah Edward, wajah yang luar biasa sempurna itu, jantungku berdebar keras,
kencang, dan sangat terasa dalam dadaku. Kali ini debaran itu berpacu lebih
cepat dari pada biasanya. Aku mengenali ekspresinya yang membeku seperti patung
itu.
"Kau
memang akan dapat masalah lagi, Bella," bisiknya dari sela-sela bibirnya
yang tidak bergerak.
Aku bergeser lebih
dekat, mencengkeram lengan Edward sambil mengikuti arah pandangnya. Entah apa
yang kukira bakal kulihat—mungkin Victoria berdiri di tengah jalan, rambut
merah menyalanya
berkibar-kibar
ditiup angin, atau sederet makhluk tinggi berjubah hitam. atau sekawanan werewolf yang marah. Tapi aku
tidak melihat apa-apa.
"Apa? Ada
apa?" Edward menghela napas dalam-dalam.
"Charlie."
"Ayahku?"
pekikku.
Lalu Edward
menunduk menatapku, dan ekspresinya cukup tenang hingga mampu meredakan sedikit
kepanikanku.
"Charlie.
mungkin tidak akan membunuhmu, tapi dia sedang berpikir-pikir untuk melakukannya,"
Edward memberitahu. Ia mulai menjalankan mobilnya, memasuki jalan rumahku, tapi
melewati rumahku dan memarkir mobilnya di pinggir pepohonan.
"Memangnya
aku melakukan kesalahan apa?" tanyaku terkesiap.
Edward menoleh
ke belakang, ke arah rumah Charlie. Aku mengikuti arah pandangnya, dan melihat
untuk pertama kalinya benda yang
terparkir di
jalan masuk, persis di sebelah mobil patroli ayahku. Mengilat, warnanya merah
terang, mustahil terlewatkan. Motorku, berdiri gagah di
sana. Kata Edward
tadi, Charlie sudah siap membunuhku, jadi ia pasti sudah tahu – bahwa sepeda
motor itu milikku. Hanya ada satu orang di balik pengkhianatan ini.
"Tidak!"
seruku kaget. "Mengapa? Mengapa Jacob tega melakukan ini padaku?"
Perasaan sakit karena dikhianati melanda hatiku. Padahal aku
sangat percaya
pada Jacob – saking percayanya sampai aku menceritakan semua rahasiaku padanya.
Seharusnya ia menjadi pelabuhan yang aman bagiku – orang yang selalu bisa
kuandalkan.
Tentu saja
hubungan kami saat ini sedang renggang tapi aku tidak mengira fondasi dasar hubungan
kami telah berubah. Kusangka itu tidak
bisa berubah!
Kesalahan apa
yang kulakukan sehingga pantas diganjar seperti ini? Charlie bakal sangat
marah— dan lebih daripada itu, ia akan merasa sakit hati dan cemas. Apakah
bebannya selama ini masih belum cukup? Tak pernah terbayang olehku Jake bisa
begitu licik dan keju. Air mataku merebak, terasa perih di mataku, tapi itu
bukan air mata kesedihan. Aku telah dikhianati. Tiba-tiba saja aku sangat marah
sampai kepalaku berdenyut-denyut seperti mau meledak.
"Dia
masih di sini?" desisku.
"Ya. Dia
menunggu kita di sana," Edward memberi tahuku, mengangguk ke jalan setapak
yang membelah pepohonan hutan yang rapat menjadi dua. Aku melompat turun dari
mobil, menghambur ke arah pepohonan dengan kedua tangan sudah mengepal, siap
meninju. Mengapa Edward harus lebih cepat daripada aku?
Ia sudah menyambar
pinggangku sebelum aku sampai di jalan setapak itu.
"Lepaskan
aku! Biar kubunuh dia! Dasar pengkhianat!' Aku meneriakkan makian itu ke arah pepohonan.
"Nanti
Charlie dengar,” Edward mengingatkanku.
"Dan
kalau dia sudah menyuruhmu masuk, dia bakal membeton pintunya, mencegahku
masuk." Aku melirik ke arah rumah, dan sepertinya hanya sepeda motor merah
mengilap itu saja yang tampak olehku. Aku marah sekali. Kepalaku berdenyut-denyut
lagi.
"Beri aku
kesempatan bicara sekali saja dengan Jacob kemudian aku akan menemui
Charlie." Siasia saja aku memberontak minta dilepaskan.
"Jacob
Black ingin bertemu denganku. Karena itulah dia masih di sini."
Aku langsung
kaget—aku serta-merta berhenti meronta-ronta. Kedua tanganku terkulai lemas. Mereka
bertarung; Paris kalah. Aku memang marah, tapi tidak semarah itu.
"Bicara?"
tanyaku.
"Kurang-lebih
begitu."
"Lebihnya
bagaimana?" Suaraku bergetar. Edward merapikan rambutku yang jatuh di sekitar
wajah. "Jangan khawatir, kedatangannya ke
sini bukan
untuk berkelahi denganku. Dia bertindak sebagai. juru bicara bagi
kawanannya."
"Oh."
Edward
menengok lagi ke arah rumah, mempererat rangkulannya di pinggangku, lalu menarikku
ke arah hutan. "Kita harus bergegas.
Charlie sudah
mulai tidak sabar."
Kami tidak
perlu pergi terlalu jauh; Jacob sudah menunggu tak jauh dari situ. Ia menunggu
sambil bersandar di pohon berlumut, wajahnya keras dan getir, persis yang
kubayangkan. Ia menatapku, kemudian Edward. Mulut Jacob menyeringai membentuk
seringaian sinis, dan ia bergeser
menjauh dari tempatnya
bersandar. Ia berdiri bertumpu pada bagian belakang kakinya yang telanjang, agak
condong ke depan, mengepalkan kedua tangannya yang gemetar. Ia tampak lebih besar
dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Entah bagaimana, meski rasanya
mustahil, ia masih terus bertumbuh. Tubuhnya akan
menjulang
melebihi Edward, kalau mereka berdiri bersisian. Tapi Edward langsung berhenti
berjalan begitu kami melihat Jacob, menyisakan jarak yang cukup lebar di antara
kami dan Jacob. Edward sengaja memosisikan tubuhnya begitu rupa sehingga aku berada
di belakangnya. Aku menjulurkan badan melewati rubuhnya supaya bisa menatap
Jacob— menuduhnya dengan mataku.
Tadinya aku mengira
dengan melihat ekspresi Jacob yang sinis dan penuh kebencian akan membuatku
semakin marah. Tapi ternyata aku
malah teringat
saat terakhir kali melihatnya, dengan air mata berlinang. Amarahku melemah, menggeletar,
sementara aku menatap Jacob.
Sudah lama
sekali aku tidak bertemu dengannya— aku tidak suka reuni kami harus terjadi
seperti ini
"Bella,"
kata Jacob sebagai salam, mengangguk satu kali ke arahku tanpa mengalihkan pandangannya
sedikit pun dari Edward.
"Kenapa?"
bisikku, berusaha menyembunyikan suara tercekat di kerongkonganku.
"Tega-teganya kau berbuat begini padaku, Jacob?"
Seringaian sinis
itu lenyap, namun wajahnya tetap keras dan kaku. "Ini yang terbaik."
“Apa maksud
perkataanmu itu? Memangnya kau ingin Charlie mencekikku? Atau kau ingin dia
kena serangan jantung, seperti Harry? Tak peduli betapapun marahnya kau padaku,
tega-teganya kau melakukan ini padanya?"
Jacob
meringis, alisnya bertaut, tapi ia tidak menjawab.
“Dia tidak
ingin menyakiti siapa pun—dia hanya ingin kau dihukum, sehingga kau tidak
diizinkan menghabiskan waktu denganku," gumam Edward, menjelaskan pikiran
yang tak ingin diutarakan Jacob.
Mata Jacob menyala-nyala
oleh kebencian saat ia me berengut marah pada Edward.
"Aduh, Jake!"
erangku. "Aku memang sudah dihukum! Memangnya kaukira kenapa aku tidak ke
La Push dan menendang bokongmu karena kau tidak mau menerima teleponku?"
Mata Jacob
berkelebat ke arahku, untuk pertama kalinya tampak bingung. "Jadi karena itu?"
tanyanya, kemudian ia mengunci mulut
rapat-rapat, seperti
menyesal telah kelepasan bicara.
"Dia kira
akulah yang tidak mengizinkan, bukan Charlie," Edward menjelaskan lagi.
"Hentikan,"
bentak Jacob. Edward tidak menanggapi.
Jacob bergetar
hebat, kemudian ia menggertakkan giginya sekeras kepalan tangannya.
"Ternyata
Bella tidak melebih-lebihkan waktu dia bercerita tentang. kemampuanmu,"
katanya dari sela-sela giginya. "Jadi kau pasti sudah tahu kenapa aku
datang ke sini"
"Benar,"
jawab Edward lirih. "Tapi, sebelum kau mulai, aku perlu mengatakan
sesuatu." Jacob menunggu, membuka dan menutup
telapak
tangannya sementara berusaha mengendalikan getaran tubuhnya yang merayapi kedua
lengan.
"Terima
kasih," ucap Edward, dan suaranya bergetar karena ketulusan hatinya.
"Aku tidak akan pernah bisa mengungkapkan betapa
besarnya rasa
terima kasihku padamu. Aku berutang budi padamu sepanjang sisa. eksistensiku. Jacob
menatapnya dengan pandangan kosong getaran tubuhnya langsung berhenti. Ia
melirik cepat ke arahku, rapi raut wajahku sama bingungnya.
"Karena kau
telah menjaga Bella," Edward mengklarifikasi, suaranya parau dan bersungguh
sungguh. "Saat aku. tidak ada untuk menjaganya."
"Edward—"
aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Edward mengangkat sebelah
tangan, matanya tertuju kepada Jacob.
Ekspresi mengerti
menyapu wajah Jacob sesaat sebelum topeng keras itu kembali. "Aku tidak melakukannya
untukmu.”
“Aku tahu. Tapi
itu tidak menghapus perasaan terima kasih yang kurasakan. Kurasa kau perlu tahu.
Seandainya ada yang bisa kulakukan
untukmu,
selama itu masih dalam kekuasaanku."
Jacob mengangkat
sebelah alisnya yang hitam. Edward menggeleng. "Aku tidak punya kuasa dalam
hal itu.”
"Kuasa
siapa, kalau begitu?" geram Jacob.
Edward menunduk
menatapku. "Kuasanya. Aku cepat belajar, Jacob Black, jadi aku tidak akan melakukan
kesalahan yang sama dua kali. Aku akan tetap di sini sampai dia menyuruhku
pergi."
Sejenak aku terhanyut
dalam tatapan mata emasnya. Tidak sulit memahami bagian percakapan yang tak
bisa kudengar itu. Satusatunya
yang diinginkan
Jacob dari Edward adalah pergi dari sini.
“Tidak akan,"
bisikku, mataku masih terpaku pada mata Edward.
Jacob membuat
suara seperti mau muntah. Dengan enggan kualihkan tatapanku dari mata Edward,
memandang Jacob dengan kening
berkerut.
"Ada hal lain yang kubutuhkan, Jacob? Kau ingin aku kena masalah – misimu
sudah tercapai. Bisa jadi Charlie akan mengirimku ke sekolah militer. Tapi itu tidak akan bisa membuatku
menjauhi Edward. Tidak ada yang bisa melakukan hal itu. Jadi, apa lagi yang kauinginkan?"
Jacob tak
mengalihkan tatapannya dari Edward.
"Aku
hanya perlu mengingatkan teman-temanmu yang suka mengisap darah itu tentang
beberapa poin penting dalam kesepakatan yang telah mereka sepakati. Hanya karena
perjanjian itulah aku tidak mengoyak-ngoyak leher mereka saat ini juga."
"Kami
belum lupa," sergah Edward, dan pada saat yang bersamaan aku menuntut,
"Poin-poin penting apa?"
Jacob masih memandang
Edward garang, tapi ia menjawab pertanyaanku. "Kesepakatan itu sangat spesifik.
Kalau salah seorang di antara mereka menggigit manusia, gencatan senjata
berakhir. Menggigit, bukan membunuh," ia menekankan.
Akhirnya, ia
menatapku. Sorot matanya dingin. Detik ini juga aku menangkap maksudnya, kemudian
wajahku berubah sedingin wajahnya.
"Itu sama
sekali bukan urusanmu."
"Enak
saja—" hanya itu yang sanggup dilontarkan Jacob.
Aku tidak mengira
jawabanku yang terburuburu akan mendatangkan respons sekeras itu. Meski datang
untuk menyampaikan peringatan itu,
Jacob pasti
tidak tahu. Ia pasti mengira peringatan itu hanya sebagai tindakan pencegahan.
Ia tidak sadar – atau tidak mau percaya – bahwa aku telah menentukan pilihan.
Bahwa aku benar-benar berniat menjadi anggota keluarga Cullen. Jawabanku membuat
Jacob nyaris kejangkejang. Ia menempelkan tinjunya kuat-kuat ke pelipis,
memejamkan mata rapat-rapat dan membungkuk seperti berusaha mengendalikan entakan-entakan
tubuhnya. Wajahnya berubah
hijau ke-kuningan
di balik kulitnya yang cokelat kemerahan.
“Jake? Kau
baik-baik saja?" tanyaku cemas.
Aku maju setengah
langkah menghampirinya, tapi Edward menyambar tubuhku dan menarikku dengan
kasar ke belakangnya. "Hati-hati! Dia tidak bisa menguasai diri,” ia
mengingatkanku.
Tapi entah
bagaimana Jacob sudah bisa menguasai diri; hanya kedua lengannya yang gemetar
sekarang. Ia merengut menatap Edward
dengan kebencian
menyala-nyala. "Ugh, Aku takkan mungkin menyakitinya."
Perubahan
tekanan dalam kalimat Jacob barusan tidak luput dari perhatian Edward maupun
aku, begitu juga dengan tuduhan yang
tersirat di
dalamnya. Desisan pelan terlontar dari bibir Edward. Refleks Jacob mengepalkan
tinjunya.
"BELLA!"
raungan Charlie membahana dari arah rumah. "MASUK KE RUMAH SEKARANG
JUGA!"
Kami langsung
membeku, mendengarkan kesunyian yang mengikutinya.
Aku yang
pertama bersuara; suaraku gemetar.
"Sialan."
Ekspresi marah
Jacob sedikit melunak. "Aku benar-benar minta maaf soal itu,"
gumamnya. "Aku harus melakukan apa yang bisa kulakukan—aku harus berusaha."
“Trims."
Suaraku yang bergetar menghancurkan kesinisanku. Aku melayangkan pandang ke
ujung jalan setapak, setengah berharap Charlie menghambur menerobos semak-semak
basah seperti banteng mengamuk. Aku akan menjadi bendera merahnya di skenario
itu.
"Satu hal
lagi," kata Edward padaku, kemudian ia berpaling kepada Jacob. “Kami tidak
menemukan jejak Victoria di wilayah kami – kalian
sendiri
bagaimana?"
Edward langsung
tahu jawabannya begitu Jacob memikirkannya, tapi Jacob tetap menyuarakannya.
"Terakhir
kalinya adalah waktu Bella. pergi. Kami biarkan saja dia mengira dia berhasil
menerobos pertahanan kami—lalu kami mempersempit lingkaran, bersiap-siap
menyerangnya."
Punggungku
bagaikan disiram air es.
"Tapi
kemudian dia melesat pergi seperti kelelawar melesat keluar dari neraka.
Sepanjang yang bisa kami duga, dia cium bau adik perempuanmu dan langsung
kabur. Sejak dia belum kembali mendekati tanah kami."
Edward mengangguk.
"Kalau dia kembali, dia bukan masalah kalian lagi. Kami akan—"
"Dia
membunuh di wilayah kami," desis Jacob.
"Dia
milik kami!"
"Tidak—,"
aku mulai memprotes pernyataan mereka.
"BELLA!
AKU MELIHAT MOBILNYA JADI AKU TAHU KAU ADA DI SANA! KALAU KAU TIDAK MASUK KE
RUMAH DALAM SATU MENIT..!"
Charlie tidak
menyelesaikan ancamannya.
"Ayo,"
ajak Edward.
Aku menoleh
kepada Jacob, terbagi-bagi. Apakah aku akan melihatnya lagi? "Maaf,"
bisik Jacob pelan sekali sehingga aku baru mengerti setelah membaca gerak
bibirnya.
"Bye,
Bells.
"Kau
sudah berjanji," aku mengingatkannya dengan sedih. "Masih berteman,
kan?"
Jacob menggeleng
lambat-lambat, dan gumpalan di tenggorokanku nyaris mencekikku.
"Kau tahu
betapa sulitnya aku sudah berusaha menepati janji itu, tapi. aku tidak tahu
bagaimana aku bisa terus mencobanya. Tidak sekarang."
Jacob berusaha
keras mempertahankan mimik wajahnya yang seperti topeng, tapi mimik itu goyah kemudian
lenyap. "Aku kehilangan kau, mulutnya bergerak-gerak tanpa suara. Sebelah
tangannya terulur padaku, jari-jarinya membentang, seolah berharap jari-jari
itu cukup panjang untuk menjembatani jarak yang membentang di antara
kami.
"Aku
juga," ujarku tercekat. Tanganku terulur ke arahnya melintasi jarak yang
lebar. Seolah terhubung, gema kepedihan hati Jacob memilin hatiku. Kesedihannya
adalah kesedihanku juga.
"Jake."
Aku maju selangkah menghampirinya.
Ingin rasanya
aku memeluk pinggangnya dan menghapus ekspresi sedih di wajahnya. Edward
menarikku lagi, lengannya menahan,
bukan
melindungi.
"Tidak apa-apa,"
aku meyakinkan Edward, mendongak untuk membaca wajahnya dengan sorot percaya di
mataku. Ia pasti mengerti. Mata Edward tak bisa dibaca, wajahnya tanpa ekspresi.
Dingin. "Tidak, itu tidak benar."
"Lepaskan
dia," geram Jacob, kembali marah.
"Dia
ingin lepas! Jacob maju dua langkah lebarlebar. Kilatan antisipasi terpancar
dari matanya. Dadanya seolah menggelembung saat ia bergetar. Edward mendorongku
ke belakang punggungnya, berputar menghadapi Jacob.
"Tidak!
Edward—!"
"ISABELLA
SWAN!"
"Ayolah!
Charlie marah!" Suaraku panik, tapi bukan karena Charlie sekarang.
"Cepatlah!" Kutarik-tarik tangan Edward dan ia sedikit
rileks. Ditariknya
aku kembali pelan-pelan matanya terus tertuju kepada Jacob sementara kami
mundur. Jacob mengawasi kami dengan seringaian marah menghiasi wajahnya yang
getir. Sorot antisipasi
tadi surut dari
wajahnya, kemudian, tepat sebelum hutan memisahkan kami, wajahnya tiba-tiba berkerut
menahan sakit.
Aku tahu
pemandangan wajahnya yang terakhir itu
akan terus menghantuiku sampai aku melihatnya
tersenyum lagi. Dan saat itulah aku
bersumpah bahwa aku akan melihatnya tersenyum,
dan itu tidak lama lagi. Aku akan
mencari jalan untuk mempertahankan
temanku. Edward
tetap merangkul pinggangku, mendekapku erat-erat. Hanya itu yang membuat air
mataku tidak tumpah. Aku punya banyak persoalan serius. Sahabatku menganggapku
musuh. Victoria masih berkeliaran, membahayakan semua orang yang kusayangi. Kalau
aku tidak segera menjadi vampir, keluarga Volturi akan membunuhku.
Dan kini, sepertinya
bila aku berubah, para werewolf Quileute
juga akan melakukan hal yang sama—selain berusaha membunuh keluarga masa
depanku juga.
Sebenarnya menurutku mereka tidak bakal berhasil, tapi apakah sahabatku akan tewas
dalam usahanya melakukan hal itu?
Benar-benar
persoalan yang sangat serius. Jadi kenapa semua masalah itu mendadak terasa sangat
tidak signifikan saat kami menerobos keluar
dari pepohonan
dan aku melihat ekspresi di wajah Charlie yang ungu?
Edward
meremasku lembut. "Tenang, ada aku.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Itu benar. Ada Edward di sini, dengan
kedua lengannya memelukku. Aku sanggup menghadapi apa pun juga, selama ada dia.
Kutegakkan bahuku dan berjalan maju menyongsong nasib, takdirku berjalan mantap
mengiringiku.
0 komentar:
Post a Comment