October 01, 2014

Epilog New Moon

EPILOG—KESEPAKATAN
HAMPIR semuanya kembali normal—normal seperti sebelum masa ini, ketika aku berkeliaran laksana mayat hidup—dalam tempo sangat cepat, lebih daripada yang kuyakini bisa terjadi. Rumah sakit menerima Carlisle kembali dengan tangan terbuka, bahkan tidak merasa perlu menutupi kegembiraan mereka bahwa Esme tidak terlalu suka tinggal di LA. Gara-gara aku tidak ikut ulangan Kalkulus karena harus pergi ke luar negeri waktu itu, nilai Alice dan Edward saat ini lebih bagus daripada aku untuk bisa lulus SMA. Tibatiba kuliah menjadi prioritas (kuliah masih tetap merupakan rencana B, untuk jaga-jaga siapa tahu
tawaran Edward membuatku batal mengambil pilihan melakukannya dengan Carlisle sesudah lulus). Sudah banyak tenggat waktu pendaftaran yang kulewatkan, tapi Edward menyodorkan setumpuk formulir baru untuk kuisi setiap hari. Ia sudah mengembalikan berkas pendaftarannya ke Harvard, jadi tidak masalah baginya bila, gara-gara
aku terlalu banyak berleha-leha, kami terdampar di Peninsula Community College tahun depan. Charlie agak marah padaku, dan ia juga mendiamkan Edward. Tapi setidaknya Edward diizinkan – selama jam berkunjung yang sudah ditentukan—masuk ke rumah lagi. Tapi aku tidak diizinkan keluar dari sana.
Aku hanya boleh keluar untuk bersekolah dan bekerja, jadi dinding-dinding kelasku yang berwarna kuning kusam mendadak terasa begitu
mengundang bagiku. Itu berhubungan erat dengan orang yang duduk di meja di sebelahku.
Edward mengambil jadwalnya yang lama, jadi ia sekelas denganku di hampir semua pelajaran. Kelakuanku begitu aneh, sejak keluarga Cullen
"pindah" ke LA, sehingga tak ada yang mau duduk di sampingku. Bahkan Mike, yang dulu selalu bersemangat memanfaatkan setiap kesempatan, sekarang pun seperti menjaga jarak. Dengan kembalinya Edward, delapan bulan terakhir nyaris bagaikan mimpi buruk yang mengganggu. Nyaris, meski tidak persis seperti itu. Salah satunya, karena sekarang aku dihukum tidak boleh keluar rumah. Dan alasan lain, sebelum musim gugur waktu itu, aku tidak bersahabat dengan Jacob Black. Jadi, tentu saja, waktu itu aku belum merasa kehilangan dia.
Aku tidak bisa pergi ke La Push, dan Jacob tidak mau datang menemuiku. Ia bahkan tidak mau menerima teleponku. Kebanyakan aku menelepon ke sana malammalam, setelah Edward diusir – jam sembilan tepat oleh Charlie yang meski muram tapi tampaknya sangat senang bisa mengusir Edward – dan sebelum Edward menyusup kembali ke kamarku lewat jendela setelah Charlie tidur. Aku sengaja memilih waktu itu untuk melakukan panggilan yang sia-sia ini karena kulihat Edward selalu mengernyitkan muka setiap menyebut nama Jacob. Seperti tidak suka dan waswas. Mungkin bahkan marah. Kurasa itu karena Edward juga punya prasangka buruk terhadap werewolf, walaupun tidak sevokal Jacob terhadap "para pengisap darah”.
Jadi. aku jarang menyebut-nyebut nama Jacob. Dengan Edward di dekatku, sulit memikirkan hal-hal yang tidak membahagiakan – bahkan
memikirkan mantan sahabatku, yang saat ini mungkin sedang sangat tidak bahagia, gara-gara aku. Kalaupun aku memikirkan Jake, aku selalu merasa bersalah karena tidak sering memikirkan dia.
Dongeng itu sudah kembali. Sang pangeran sudah kembali, dan kutukan jahat dilenyapkan. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap karakter lain yang tertinggal dan tidak ikut bahagia. Apakah kisah ini juga akan berakhir bahagia selamanya untuk dia?
Minggu-minggu berlalu, dan Jacob masih tidak mau menjawab teleponku. Hal ini mulai membuatku terus-menerus khawatir. Seperti keran bocor di belakang kepalaku yang tidak bisa kumatikan atau kuabaikan. Tes, tes, tes. Jacob, Jacob, Jacob.
Jadi, meski jarang menyebut-nyebut nama Jacob, terkadang perasaan frustrasi dan gelisahku meluap juga.
"Benar-benar brengsek!" aku mengomel panjang pendek pada Sabtu siang saat Edward menjemputku dari tempat kerja. Lebih mudah
melampiaskan amarah daripada merasa bersalah.
"Ini sama saja dengan menghina!"
Aku sudah mencoba segala cara, dengan harapan mendapat respons berbeda. Kali ini aku mencoba menelepon Jake dari tempat kerja, tapi
teleponku dijawab Billy yang sama sekali tidak bisa membantu. Lagi-lagi.
"Kata Billy, Jacob tidak mau bicara denganku," aku meradang, memelototi hujan yang mengalir membasahi jendela mobil. “Masa dia ada di sana, tapi tidak mau berjalan tiga langkah saja untuk menerima telepon! Biasanya Billy hanya mengatakan Jacob keluar, sibuk, tidur, atau semacamnya Maksudku, bukan berarti aku tidak tahu dia bohong padaku tapi paling tidak cara itu masih lebih sopan. Kurasa Billy juga benci padaku sekarang. Tidak adil!"
"Bukan begitu, Bella," ucap Edward tenang.
"Tidak ada yang benci padamu."
"Rasanya seperti itu," gerutuku, melipat kedua lengan di dada. Sekarang itu hanya kebiasaan yang sulit diubah. Tidak ada lagi lubang di dadaku
kini—aku bahkan sudah nyaris tidak ingat perasaan hampa yang pernah kurasakan.
"Jacob tahu kami sudah kembali, dan aku yakin dia tahu pasti aku bersamamu," jelas Edward. "Dia tidak mau dekat-dekat denganku. Permusuhan itu sudah berurat akar dalam dirinya."
"Itu kan konyol. Dia tahu kau tidak. Seperti vampir-vampir lain."
"Bukan berarti tidak ada alasan untuk menjaga jarak."
Aku memandang garang melalui kaca depan mobil. Yang kulihat hanya wajah Jacob, terpasung dalam topeng getir yang kubenci itu.
"Bella, memang beginilah keadaannya," kata Edward kalem. "Aku bisa mengendalikan diri, tapi aku ragu dia bisa. Dia masih sangat muda. Besar kemungkinan akan terjadi perkelahian, dan aku tidak tahu apakah bisa menghentikannya sebelum aku membu—" Edward mendadak berhenti bicara, kemudian cepat-cepat melanjutkan. "Sebelum aku
menyakitinya. Kau tidak akan senang. Aku tidak ingin itu terjadi."
Aku ingat apa yang dikatakan Jacob di dapur waktu itu, mendengar kata-kata yang ia ucapkan sambil mengenang suaranya yang parau. Aku tidak yakin akan cukup bisa mengendalikan diri untuk menghadapinya. Mungkin kau juga tidak suka kalau aku membunuh temanmu. Tapi, Jacob ternyata mampu mengendalikan diri, waktu itu.
"Edward Cullen," bisikku. "Tadi kau mau mengatakan membunuhnya, kan? Iya, kan?”
Edward membuang muka, memandang ke hujan di luar. Di depan kami, lampu merah yang tadi tidak kusadari keberadaannya berubah menjadi
hijau dan Edward menjalankan mobilnya kembali, mengemudikannya sangat lamban. Tidak biasanya ia menyetir sepelan ini.
"Aku akan berusaha. sekuat tenaga. Untuk tidak melakukannya," kata Edward akhirnya. Kutatap ia dengan mulut ternganga lebar, tapi
Edward tetap memandang lurus ke depan. Kami berhenti sebentar di depan tanda stop di pojok jalan. Mendadak, aku ingat apa yang terjadi pada Paris ketika Romeo kembali. Pengarahan adegannya sederhana: Mereka bertarung. Paris kalah. Tapi ini konyol. Mustahil.
"Well" ujarku, menarik napas dalam-dalam, menggeleng untuk mengenyahkan kata-kata itu dari benakku. "Hal seperti itu takkan pernah
terjadi, jadi tidak ada alasan untuk mengkhawatirkannya. Dan kau tahu Charlie sedang memelototi jam sekarang. Sebaiknya cepat antar aku pulang sebelum aku dapat masalah lagi gara-gara pulang terlambat."
Aku menengadah padanya, tersenyum setengah hati.
Setiap kali menatap wajah Edward, wajah yang luar biasa sempurna itu, jantungku berdebar keras, kencang, dan sangat terasa dalam dadaku. Kali ini debaran itu berpacu lebih cepat dari pada biasanya. Aku mengenali ekspresinya yang membeku seperti patung itu.
"Kau memang akan dapat masalah lagi, Bella," bisiknya dari sela-sela bibirnya yang tidak bergerak.
Aku bergeser lebih dekat, mencengkeram lengan Edward sambil mengikuti arah pandangnya. Entah apa yang kukira bakal kulihat—mungkin Victoria berdiri di tengah jalan, rambut merah menyalanya
berkibar-kibar ditiup angin, atau sederet makhluk tinggi berjubah hitam. atau sekawanan werewolf yang marah. Tapi aku tidak melihat apa-apa.
"Apa? Ada apa?" Edward menghela napas dalam-dalam.
"Charlie."
"Ayahku?" pekikku.
Lalu Edward menunduk menatapku, dan ekspresinya cukup tenang hingga mampu meredakan sedikit kepanikanku.
"Charlie. mungkin tidak akan membunuhmu, tapi dia sedang berpikir-pikir untuk melakukannya," Edward memberitahu. Ia mulai menjalankan mobilnya, memasuki jalan rumahku, tapi melewati rumahku dan memarkir mobilnya di pinggir pepohonan.
"Memangnya aku melakukan kesalahan apa?" tanyaku terkesiap.
Edward menoleh ke belakang, ke arah rumah Charlie. Aku mengikuti arah pandangnya, dan melihat untuk pertama kalinya benda yang
terparkir di jalan masuk, persis di sebelah mobil patroli ayahku. Mengilat, warnanya merah terang, mustahil terlewatkan. Motorku, berdiri gagah di
sana. Kata Edward tadi, Charlie sudah siap membunuhku, jadi ia pasti sudah tahu – bahwa sepeda motor itu milikku. Hanya ada satu orang di balik pengkhianatan ini.
"Tidak!" seruku kaget. "Mengapa? Mengapa Jacob tega melakukan ini padaku?" Perasaan sakit karena dikhianati melanda hatiku. Padahal aku
sangat percaya pada Jacob – saking percayanya sampai aku menceritakan semua rahasiaku padanya. Seharusnya ia menjadi pelabuhan yang aman bagiku – orang yang selalu bisa kuandalkan.
Tentu saja hubungan kami saat ini sedang renggang tapi aku tidak mengira fondasi dasar hubungan kami telah berubah. Kusangka itu tidak
bisa berubah!
Kesalahan apa yang kulakukan sehingga pantas diganjar seperti ini? Charlie bakal sangat marah— dan lebih daripada itu, ia akan merasa sakit hati dan cemas. Apakah bebannya selama ini masih belum cukup? Tak pernah terbayang olehku Jake bisa begitu licik dan keju. Air mataku merebak, terasa perih di mataku, tapi itu bukan air mata kesedihan. Aku telah dikhianati. Tiba-tiba saja aku sangat marah sampai kepalaku berdenyut-denyut seperti mau meledak.
"Dia masih di sini?" desisku.
"Ya. Dia menunggu kita di sana," Edward memberi tahuku, mengangguk ke jalan setapak yang membelah pepohonan hutan yang rapat menjadi dua. Aku melompat turun dari mobil, menghambur ke arah pepohonan dengan kedua tangan sudah mengepal, siap meninju. Mengapa Edward harus lebih cepat daripada aku?
Ia sudah menyambar pinggangku sebelum aku sampai di jalan setapak itu.
"Lepaskan aku! Biar kubunuh dia! Dasar pengkhianat!' Aku meneriakkan makian itu ke arah pepohonan.
"Nanti Charlie dengar,” Edward mengingatkanku.
"Dan kalau dia sudah menyuruhmu masuk, dia bakal membeton pintunya, mencegahku masuk." Aku melirik ke arah rumah, dan sepertinya hanya sepeda motor merah mengilap itu saja yang tampak olehku. Aku marah sekali. Kepalaku berdenyut-denyut lagi.
"Beri aku kesempatan bicara sekali saja dengan Jacob kemudian aku akan menemui Charlie." Siasia saja aku memberontak minta dilepaskan.
"Jacob Black ingin bertemu denganku. Karena itulah dia masih di sini."
Aku langsung kaget—aku serta-merta berhenti meronta-ronta. Kedua tanganku terkulai lemas. Mereka bertarung; Paris kalah. Aku memang marah, tapi tidak semarah itu.
"Bicara?" tanyaku.
"Kurang-lebih begitu."
"Lebihnya bagaimana?" Suaraku bergetar. Edward merapikan rambutku yang jatuh di sekitar wajah. "Jangan khawatir, kedatangannya ke
sini bukan untuk berkelahi denganku. Dia bertindak sebagai. juru bicara bagi kawanannya."
"Oh."
Edward menengok lagi ke arah rumah, mempererat rangkulannya di pinggangku, lalu menarikku ke arah hutan. "Kita harus bergegas.
Charlie sudah mulai tidak sabar."
Kami tidak perlu pergi terlalu jauh; Jacob sudah menunggu tak jauh dari situ. Ia menunggu sambil bersandar di pohon berlumut, wajahnya keras dan getir, persis yang kubayangkan. Ia menatapku, kemudian Edward. Mulut Jacob menyeringai membentuk seringaian sinis, dan ia bergeser
menjauh dari tempatnya bersandar. Ia berdiri bertumpu pada bagian belakang kakinya yang telanjang, agak condong ke depan, mengepalkan kedua tangannya yang gemetar. Ia tampak lebih besar dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Entah bagaimana, meski rasanya mustahil, ia masih terus bertumbuh. Tubuhnya akan
menjulang melebihi Edward, kalau mereka berdiri bersisian. Tapi Edward langsung berhenti berjalan begitu kami melihat Jacob, menyisakan jarak yang cukup lebar di antara kami dan Jacob. Edward sengaja memosisikan tubuhnya begitu rupa sehingga aku berada di belakangnya. Aku menjulurkan badan melewati rubuhnya supaya bisa menatap Jacob— menuduhnya dengan mataku.
Tadinya aku mengira dengan melihat ekspresi Jacob yang sinis dan penuh kebencian akan membuatku semakin marah. Tapi ternyata aku
malah teringat saat terakhir kali melihatnya, dengan air mata berlinang. Amarahku melemah, menggeletar, sementara aku menatap Jacob.
Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya— aku tidak suka reuni kami harus terjadi seperti ini
"Bella," kata Jacob sebagai salam, mengangguk satu kali ke arahku tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Edward.
"Kenapa?" bisikku, berusaha menyembunyikan suara tercekat di kerongkonganku. "Tega-teganya kau berbuat begini padaku, Jacob?"
Seringaian sinis itu lenyap, namun wajahnya tetap keras dan kaku. "Ini yang terbaik."
“Apa maksud perkataanmu itu? Memangnya kau ingin Charlie mencekikku? Atau kau ingin dia kena serangan jantung, seperti Harry? Tak peduli betapapun marahnya kau padaku, tega-teganya kau melakukan ini padanya?"
Jacob meringis, alisnya bertaut, tapi ia tidak menjawab.
“Dia tidak ingin menyakiti siapa pun—dia hanya ingin kau dihukum, sehingga kau tidak diizinkan menghabiskan waktu denganku," gumam Edward, menjelaskan pikiran yang tak ingin diutarakan Jacob.
Mata Jacob menyala-nyala oleh kebencian saat ia me berengut marah pada Edward.
"Aduh, Jake!" erangku. "Aku memang sudah dihukum! Memangnya kaukira kenapa aku tidak ke La Push dan menendang bokongmu karena kau tidak mau menerima teleponku?"
Mata Jacob berkelebat ke arahku, untuk pertama kalinya tampak bingung. "Jadi karena itu?" tanyanya, kemudian ia mengunci mulut
rapat-rapat, seperti menyesal telah kelepasan bicara.
"Dia kira akulah yang tidak mengizinkan, bukan Charlie," Edward menjelaskan lagi.
"Hentikan," bentak Jacob. Edward tidak menanggapi.
Jacob bergetar hebat, kemudian ia menggertakkan giginya sekeras kepalan tangannya.
"Ternyata Bella tidak melebih-lebihkan waktu dia bercerita tentang. kemampuanmu," katanya dari sela-sela giginya. "Jadi kau pasti sudah tahu kenapa aku datang ke sini"
"Benar," jawab Edward lirih. "Tapi, sebelum kau mulai, aku perlu mengatakan sesuatu." Jacob menunggu, membuka dan menutup
telapak tangannya sementara berusaha mengendalikan getaran tubuhnya yang merayapi kedua lengan.
"Terima kasih," ucap Edward, dan suaranya bergetar karena ketulusan hatinya. "Aku tidak akan pernah bisa mengungkapkan betapa
besarnya rasa terima kasihku padamu. Aku berutang budi padamu sepanjang sisa. eksistensiku. Jacob menatapnya dengan pandangan kosong getaran tubuhnya langsung berhenti. Ia melirik cepat ke arahku, rapi raut wajahku sama bingungnya.
"Karena kau telah menjaga Bella," Edward mengklarifikasi, suaranya parau dan bersungguh sungguh. "Saat aku. tidak ada untuk menjaganya."
"Edward—" aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Edward mengangkat sebelah tangan, matanya tertuju kepada Jacob.
Ekspresi mengerti menyapu wajah Jacob sesaat sebelum topeng keras itu kembali. "Aku tidak melakukannya untukmu.”
“Aku tahu. Tapi itu tidak menghapus perasaan terima kasih yang kurasakan. Kurasa kau perlu tahu. Seandainya ada yang bisa kulakukan
untukmu, selama itu masih dalam kekuasaanku."
Jacob mengangkat sebelah alisnya yang hitam. Edward menggeleng. "Aku tidak punya kuasa dalam hal itu.”
"Kuasa siapa, kalau begitu?" geram Jacob.
Edward menunduk menatapku. "Kuasanya. Aku cepat belajar, Jacob Black, jadi aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Aku akan tetap di sini sampai dia menyuruhku pergi."
Sejenak aku terhanyut dalam tatapan mata emasnya. Tidak sulit memahami bagian percakapan yang tak bisa kudengar itu. Satusatunya
yang diinginkan Jacob dari Edward adalah pergi dari sini.
“Tidak akan," bisikku, mataku masih terpaku pada mata Edward.
Jacob membuat suara seperti mau muntah. Dengan enggan kualihkan tatapanku dari mata Edward, memandang Jacob dengan kening
berkerut. "Ada hal lain yang kubutuhkan, Jacob? Kau ingin aku kena masalah – misimu sudah tercapai. Bisa jadi Charlie akan mengirimku ke sekolah militer. Tapi itu tidak akan bisa membuatku menjauhi Edward. Tidak ada yang bisa melakukan hal itu. Jadi, apa lagi yang kauinginkan?"
Jacob tak mengalihkan tatapannya dari Edward.
"Aku hanya perlu mengingatkan teman-temanmu yang suka mengisap darah itu tentang beberapa poin penting dalam kesepakatan yang telah mereka sepakati. Hanya karena perjanjian itulah aku tidak mengoyak-ngoyak leher mereka saat ini juga."
"Kami belum lupa," sergah Edward, dan pada saat yang bersamaan aku menuntut, "Poin-poin penting apa?"
Jacob masih memandang Edward garang, tapi ia menjawab pertanyaanku. "Kesepakatan itu sangat spesifik. Kalau salah seorang di antara mereka menggigit manusia, gencatan senjata berakhir. Menggigit, bukan membunuh," ia menekankan.
Akhirnya, ia menatapku. Sorot matanya dingin. Detik ini juga aku menangkap maksudnya, kemudian wajahku berubah sedingin wajahnya.
"Itu sama sekali bukan urusanmu."
"Enak saja—" hanya itu yang sanggup dilontarkan Jacob.
Aku tidak mengira jawabanku yang terburuburu akan mendatangkan respons sekeras itu. Meski datang untuk menyampaikan peringatan itu,
Jacob pasti tidak tahu. Ia pasti mengira peringatan itu hanya sebagai tindakan pencegahan. Ia tidak sadar – atau tidak mau percaya – bahwa aku telah menentukan pilihan. Bahwa aku benar-benar berniat menjadi anggota keluarga Cullen. Jawabanku membuat Jacob nyaris kejangkejang. Ia menempelkan tinjunya kuat-kuat ke pelipis, memejamkan mata rapat-rapat dan membungkuk seperti berusaha mengendalikan entakan-entakan tubuhnya. Wajahnya berubah
hijau ke-kuningan di balik kulitnya yang cokelat kemerahan.
“Jake? Kau baik-baik saja?" tanyaku cemas.
Aku maju setengah langkah menghampirinya, tapi Edward menyambar tubuhku dan menarikku dengan kasar ke belakangnya. "Hati-hati! Dia tidak bisa menguasai diri,” ia mengingatkanku.
Tapi entah bagaimana Jacob sudah bisa menguasai diri; hanya kedua lengannya yang gemetar sekarang. Ia merengut menatap Edward
dengan kebencian menyala-nyala. "Ugh, Aku takkan mungkin menyakitinya."
Perubahan tekanan dalam kalimat Jacob barusan tidak luput dari perhatian Edward maupun aku, begitu juga dengan tuduhan yang
tersirat di dalamnya. Desisan pelan terlontar dari bibir Edward. Refleks Jacob mengepalkan tinjunya.
"BELLA!" raungan Charlie membahana dari arah rumah. "MASUK KE RUMAH SEKARANG JUGA!"
Kami langsung membeku, mendengarkan kesunyian yang mengikutinya.
Aku yang pertama bersuara; suaraku gemetar.
"Sialan."
Ekspresi marah Jacob sedikit melunak. "Aku benar-benar minta maaf soal itu," gumamnya. "Aku harus melakukan apa yang bisa kulakukan—aku harus berusaha."
“Trims." Suaraku yang bergetar menghancurkan kesinisanku. Aku melayangkan pandang ke ujung jalan setapak, setengah berharap Charlie menghambur menerobos semak-semak basah seperti banteng mengamuk. Aku akan menjadi bendera merahnya di skenario itu.
"Satu hal lagi," kata Edward padaku, kemudian ia berpaling kepada Jacob. “Kami tidak menemukan jejak Victoria di wilayah kami – kalian
sendiri bagaimana?"
Edward langsung tahu jawabannya begitu Jacob memikirkannya, tapi Jacob tetap menyuarakannya.
"Terakhir kalinya adalah waktu Bella. pergi. Kami biarkan saja dia mengira dia berhasil menerobos pertahanan kami—lalu kami mempersempit lingkaran, bersiap-siap menyerangnya."
Punggungku bagaikan disiram air es.
"Tapi kemudian dia melesat pergi seperti kelelawar melesat keluar dari neraka. Sepanjang yang bisa kami duga, dia cium bau adik perempuanmu dan langsung kabur. Sejak dia belum kembali mendekati tanah kami."
Edward mengangguk. "Kalau dia kembali, dia bukan masalah kalian lagi. Kami akan—"
"Dia membunuh di wilayah kami," desis Jacob.
"Dia milik kami!"
"Tidak—," aku mulai memprotes pernyataan mereka.
"BELLA! AKU MELIHAT MOBILNYA JADI AKU TAHU KAU ADA DI SANA! KALAU KAU TIDAK MASUK KE RUMAH DALAM SATU MENIT..!"
Charlie tidak menyelesaikan ancamannya.
"Ayo," ajak Edward.
Aku menoleh kepada Jacob, terbagi-bagi. Apakah aku akan melihatnya lagi? "Maaf," bisik Jacob pelan sekali sehingga aku baru mengerti setelah membaca gerak bibirnya.
"Bye, Bells.
"Kau sudah berjanji," aku mengingatkannya dengan sedih. "Masih berteman, kan?"
Jacob menggeleng lambat-lambat, dan gumpalan di tenggorokanku nyaris mencekikku.
"Kau tahu betapa sulitnya aku sudah berusaha menepati janji itu, tapi. aku tidak tahu bagaimana aku bisa terus mencobanya. Tidak sekarang."
Jacob berusaha keras mempertahankan mimik wajahnya yang seperti topeng, tapi mimik itu goyah kemudian lenyap. "Aku kehilangan kau, mulutnya bergerak-gerak tanpa suara. Sebelah tangannya terulur padaku, jari-jarinya membentang, seolah berharap jari-jari itu cukup panjang untuk menjembatani jarak yang membentang di antara
kami.
"Aku juga," ujarku tercekat. Tanganku terulur ke arahnya melintasi jarak yang lebar. Seolah terhubung, gema kepedihan hati Jacob memilin hatiku. Kesedihannya adalah kesedihanku juga.
"Jake." Aku maju selangkah menghampirinya.
Ingin rasanya aku memeluk pinggangnya dan menghapus ekspresi sedih di wajahnya. Edward menarikku lagi, lengannya menahan,
bukan melindungi.
"Tidak apa-apa," aku meyakinkan Edward, mendongak untuk membaca wajahnya dengan sorot percaya di mataku. Ia pasti mengerti. Mata Edward tak bisa dibaca, wajahnya tanpa ekspresi. Dingin. "Tidak, itu tidak benar."
"Lepaskan dia," geram Jacob, kembali marah.
"Dia ingin lepas! Jacob maju dua langkah lebarlebar. Kilatan antisipasi terpancar dari matanya. Dadanya seolah menggelembung saat ia bergetar. Edward mendorongku ke belakang punggungnya, berputar menghadapi Jacob.
"Tidak! Edward—!"
"ISABELLA SWAN!"
"Ayolah! Charlie marah!" Suaraku panik, tapi bukan karena Charlie sekarang. "Cepatlah!" Kutarik-tarik tangan Edward dan ia sedikit
rileks. Ditariknya aku kembali pelan-pelan matanya terus tertuju kepada Jacob sementara kami mundur. Jacob mengawasi kami dengan seringaian marah menghiasi wajahnya yang getir. Sorot antisipasi
tadi surut dari wajahnya, kemudian, tepat sebelum hutan memisahkan kami, wajahnya tiba-tiba berkerut menahan sakit.
Aku tahu pemandangan wajahnya yang terakhir itu akan terus menghantuiku sampai aku melihatnya tersenyum lagi. Dan saat itulah aku bersumpah bahwa aku akan melihatnya tersenyum, dan itu tidak lama lagi. Aku akan mencari jalan untuk mempertahankan
temanku. Edward tetap merangkul pinggangku, mendekapku erat-erat. Hanya itu yang membuat air mataku tidak tumpah. Aku punya banyak persoalan serius. Sahabatku menganggapku musuh. Victoria masih berkeliaran, membahayakan semua orang yang kusayangi. Kalau aku tidak segera menjadi vampir, keluarga Volturi akan membunuhku.
Dan kini, sepertinya bila aku berubah, para werewolf Quileute juga akan melakukan hal yang sama—selain berusaha membunuh keluarga masa
depanku juga. Sebenarnya menurutku mereka tidak bakal berhasil, tapi apakah sahabatku akan tewas dalam usahanya melakukan hal itu?
Benar-benar persoalan yang sangat serius. Jadi kenapa semua masalah itu mendadak terasa sangat tidak signifikan saat kami menerobos keluar
dari pepohonan dan aku melihat ekspresi di wajah Charlie yang ungu?
Edward meremasku lembut. "Tenang, ada aku.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Itu benar. Ada Edward di sini, dengan kedua lengannya memelukku. Aku sanggup menghadapi apa pun juga, selama ada dia. Kutegakkan bahuku dan berjalan maju menyongsong nasib, takdirku berjalan mantap mengiringiku.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates