Baca Online New Moon part 15
15.
TEKANAN
LIBURAN musim
semi lagi di Forks. Saat terbangun Senin pagi, aku berbaring di tempat tidur
beberapa detik, mencerna hal itu. Pada
liburan musim
semi tahun lalu, aku juga diburu vampir. Mudah-mudahan ini tak lantas menjadi
semacam tradisi. Sebentar saja aku sudah terbiasa dengan pola kehidupan di La
Push. Kebanyakan aku
melewatkan hari
Minggu di pantai, sementara Charlie nongkrong dengan Billy di rumah keluarga Black.
Aku dikira sedang bersama Jacob, tapi berhubung banyak yang harus dilakukan
Jacob, jadilah aku berkeliaran sendirian, merahasiakannya dari Charlie.
Saat mampir untuk
mengecek keadaanku, Jacob meminta maaf karena sering meninggalkanku. Menurutnya,
jadwalnya tidak selalu segila ini. Tapi sampai Victoria bisa dihentikan,
serigala-serigala itu harus tetap waspada penuh. Saat kami berjalan jalan
menyusur tepi pantai sekarang, Jacob selalu menggandeng tanganku. Ini membuatku
berpikir tentang komentar Jared tempo hari, tentang Jacob yang melibatkan
“ceweknya".
Kurasa memang begitulah yang tampak dari luar. Selama Jake dan aku tahu bagaimana
status sebenarnya hubungan kami, tak
seharusnya aku
membiarkan asumsi-asumsi semacam itu mengganggu pikiranku. Dan mungkin memang
tidak akan mengganggu, kalau saja aku tidak tahu Jacob akan sangat senang bila hubungan
kami menjadi seperti yang disangka orang. Tapi berhubung gandengan tangannya
terasa menyenangkan
karena membuat tanganku hangat, aku pun tidak memprotes.
Aku bekerja
pada hari Selasa sore—Jacob mengikutiku dengan motornya untuk memastikan aku
sampai di sana dengan selamat—dan itu tak luput dari perhatian Mike.
“Kau berkencan
dengan cowok dari La Push itu, ya? Yang kelas dua itu?" tanya Mike, tak
mampu menyembunyikan perasaan tak suka dalam nada suaranya.
Aku mengangkat
bahu. "Tidak dalam arti teknis. Tapi aku memang menghabiskan sebagian
besar waktuku dengan Jacob. Dia sahabatku."
Mata Mike menyipit
licik. "Jangan tipu dirimu sendiri, Bella. Cowok itu tergila-gila
padamu."
"Memang,"
aku mendesah. "Hidup memang rumit."
"Dan
cewek-cewek itu kejam," geram Mike pelan. Kurasa mudah saja berasumsi
demikian. Malam itu Sam dan Emily bergabung dengan Charlie dan aku, menikmati
hidangan pencuci mulut di rumah Billy. Emily membawa kue yang sanggup meluluhkan
hati lelaki mana pun yang bahkan lebih keras daripada Charlie. Bisa kulihat, melalui
obrolan yang mengalir lancar mengenai berbagai topik, bahwa kekhawatiran
Charlie tentang geng di La Push mulai mencair.
Jake dan aku
menyingkir ke luar, agar lebih leluasa mengobrol. Kami pergi ke garasinya dan duduk
di dalam Rabbit. Jacob menyandarkan kepala, wajahnya lesu karena lelah.
"Kau
butuh tidur, Jake."
"Nanti
juga bisa."
Jacob
mengulurkan tangan dan meraih tanganku. Kulitnya terasa sangat panas di
kulitku. "Apakah itu juga salah satu kekhasanmu sebagai werewolf?" tanyaku.
"Tubuh yang panas, maksudku."
"Yeah.
Suhu tubuh kami memang sedikit lebih panas daripada manusia normal. Sekitar
42-43 derajat. Aku tidak pernah kedinginan lagi. Aku bisa tahan dalam kondisi
begini"—ia mengibaskan tangan, menunjukkan kondisinya yang bertelanjang
dada—"di tengah badai salju dan tidak
merasa apa-apa.
Kepingan es langsung mencair begitu mengenai tubuhku."
"Dan
kalian semua pulih dengan cepat—itu juga kekhasan kalian sebagai werewolf?"
"Yeah,
mau lihat? Keren sekali lho." Mata Jacob terbuka dan ia nyengir. Tangannya
merogoh-rogoh ke dalam laci mobil. Sejurus kemudian tangannya keluar lagi,
menggenggam pisau lipat.
"Tidak,
aku tidak mau melihat!" teriakku begitu menyadari apa yang ada di benak
Jacob.
"Singkirkan
benda itu!"
Jacob
terkekeh, tapi mengembalikan pisau itu ke tempat semula. "Baiklah. Untung
juga kami cepat pulih. Kau kan tidak bisa menemui dokter bila suhu tubuhmu
setinggi kami, karena manusia normal pasti sudah mati.”
"Ya, benar
juga." Aku memikirkan hal itu sebentar. "Dan bertubuh sangat
besar—itu juga salah satu kekhasan kalian? Apakah karena itu
kalian semua
mengkhawatirkan Quil?"
"Itu dan
fakta bahwa kakek Quil mengatakan anak itu bisa mengoreng telur di dahinya.”
Wajah Jacob memperlihatkan ekspresi tak berdaya.
Takkan lama lagi.
Tidak ada batasan umur yang tepat. pokoknya seseorang akan semakin besar dan
semakin besar lalu tiba-tiba—" Jacob menghentikan kata-katanya dan sejurus
kemudian baru bisa bicara lagi. "Terkadang, kalau kau merasa sangat marah
atau sebangsanya, itu bisa memicu perubahan lebih cepat. Padahal aku tidak
sedang marah
mengenai sesuatu—aku malah sedang bahagia!” Jacob tertawa getir. "Karena
kau, sebagian besar. Itulah sebabnya ini tidak terjadi lebih cepat padaku.
Malah semakin membesar dalam diriku—membuatku jadi seperti bom waktu.
Tahukah kau apa
yang memicuku jadi berubah? Aku pulang dari nonton film dan kata Billy aku terlihat
aneh. Hanya itu, tapi aku langsung emosi.
Kemudian aku—aku
meledak. Aku sampai nyaris mengoyak-ngoyak wajahnya—ayahku sendiri!" Jacob
bergidik, wajahnya memucat.
"Separah
itukah, Jake?" tanyaku waswas, berharap aku bisa membantunya. "Apakah
kau merana?"
"Tidak,
aku tidak merana," jawabnya. "Tidak lagi.
Tidak karena sekarang
kau sudah tahu. Rasanya berat sekali, sebelum ini," Ia mencondongkan tubuhnya
sehingga pipinya menempel di puncak
kepalaku. Sejenak
ia terdiam, dan aku bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang ia pikirkan.
Mungkin aku tak ingin mengetahuinya.
"Apa
bagian yang paling sulit?" bisikku, masih berharap bisa membantu.
"Bagian
tersulit adalah merasa. tidak memiliki kendali," jawabnya lambat-lambat.
"Merasa seolaholah aku tak yakin pada diri sendiri – seperti misalnya kau
tidak seharusnya berdekatan denganku, bahwa tak seorang pun seharusnya berdekatan
denganku. Seolah-olah aku ini monster yang akan mencederai orang lain. Lihat
saja Emily.
Sam tak bisa
menguasai amarahnya satu detik saja.
dan saat itu Emily terlalu dekat dengannya. Dan
sekarang, tak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaikinya.
Aku bisa mendengar pikiranpikiran Sam
– aku tahu bagaimana rasanya.
"Siapa
sih yang ingin menjadi mimpi buruk, menjadi monster?
"Kemudian,
melihat betapa mudahnya aku melakukan semua itu, bahwa aku lebih hebat daripada
mereka semua—apakah itu berarti aku kurang manusia dibandingkan Embry atau Sam?
Kadang-kadang aku takut kehilangan diri sendiri."
"Apakah
itu sulit? Menemukan dirimu lagi?"
"Awalnya,"
jawab Jacob. "Butuh latihan untuk bisa berubah-ubah. Tapi lebih mudah
bagiku."
"Mengapa?"
tanyaku heran.
"Karena
Ephraim Black kakek ayahku, dan Quil Ateara kakek ibuku."
"Quil?"
tanyaku bingung.
"Kakek
buyut Billy," Jacob menjelaskan. "Quil yang kaukenal itu sepupu
jauhku."
“Tapi mengapa
penting sekali siapa kakek buyutmu?"
"Karena Ephraim
dan Quil tergabung dalam kawanan terakhir. Levi Uley anggota ketiga. Jadi aku
mewarisinya dari kedua pihak. Aku tidak mungkin bisa berkelit. Begitu juga
Quil."
Ekspresi Jacob
muram.
"Bagian
apa yang terbaik?" tanyaku, berharap bisa membuatnya gembira.
"Bagian
terbaik." ujarnya, tiba tiba tersenyum lagi, "adalah kecepatannya."
"Lebih
cepat daripada naik motor?" Jacob mengangguk, antusias. "Tak ada tandingannya."
"Seberapa
cepat kau bisa.?"
"Berlari?"
Jacob menyelesaikan pertanyaanku.
"Lumayan
cepat. Aku bisa mengukurnya dengan apa, ya? Kami berhasil menangkap. Siapa namanya?
Laurent? Aku yakin kau pasti bisa lebih
memahami hal
itu dibandingkan orang lain."
Itu benar. Aku
tidak bisa membayangkan hal itu—serigala berlari lebih cepat daripada vampir. Kalau
keluarga Cullen berlari, mereka semua jadi tak terlihat saking cepatnya.
“Nah, sekarang
giliranmu menjelaskan sesuatu yang tidak aku ketahui," kata Jacob. "Sesuatu
tentang vampir. Bagaimana kau bisa tahan,
berdekatan dengan
mereka? Apakah kau tidak takut?"
"Tidak,"
jawabku tajam. Nadaku membuatnya berpikir sebentar.
"Katakan,
mengapa pengisap darahmu membunuh si James itu?" tanyanya tiba-tiba.
"James
mencoba membunuhku—dia menganggapnya permainan. Dia kalah. Ingatkah kau musim semi
lalu waktu aku masuk rumah sakit di Phoenix?"
Jacob
terkesiap kaget. "Dia sudah sedekat itu?"
"Amat,
sangat dekat." Kuelus bekas lukaku. Jacob melihatnya, karena ia memegangi
tangan yang kugerakkan.
"Apa
itu?" Ia mengganti tangan, mengamati tangan kananku. "Ini bekas
lukamu yang aneh itu, yang dingin." Diamatinya bekas itu lebih dekat,
dengan
pemahaman baru, dan terkesiap.
“Ya, dugaanmu
tepat," kataku. "James menggigitku." Mata Jacob membelalak, dan
wajahnya berubah jadi kekuningan di balik permukaannya yang cokelat kemerahan.
Tampaknya ia
nyaris muntah.
"Tapi
kalau dia menggigitmu.? Bukankah seharusnya kau menjadi.?" Ia tersedak.
"Edward
menyelamatkanku dua kali," bisikku.
"Dia
mengisap racun itu dari dalam tubuhku—kau tahu kan, seperti mengisap bisa
ular." Aku mengejang saat kepedihan
itu melesat menjalar pinggir lubang. Tapi bukan aku satu-satunya yang
mengejang.
Aku bisa merasakan
tubuh Jacob bergetar di sampingku. Bahkan mobil pun sampai berguncang-guncang.
"Hati-hati,
Jake. Tenang. Tenangkan dirimu."
"Yeah,"
ia terengah-engah. "Tenang." Ia menggoyangkan kepalanya ke depan dan
ke belakang dengan gerak cepat. Sejurus kemudian, hanya tangannya yang
bergoyang.
"Kau
baik-baik saja?"
"Yeah,
hampir. Ceritakan hal lain. Beri sesuatu yang berbeda untuk dipikirkan."
"Apa yang
ingin kauketahui?"
"Entahlah."
Jacob memejamkan mata, berkonsentrasi, "Tentang kelebihan-kelebihan mereka.
Apakah ada anggota keluarga Cullen lain
yang memiliki.
bakat khusus? Misalnya membaca pikiran?"
Sejenak aku ragu.
Rasanya ini pertanyaan yang akan ditanyakan Jacob pada mata-mata, bukan temannya.
Tapi apa gunanya menyembunyikan apa yang kuketahui? Itu toh tidak berarti
apa-apa lagi sekarang, lagi pula itu bisa membantunya mengendalikan diri.
Maka aku pun
cepat-cepat berbicara, dengan bayangan wajah rusak Emily menghantui pikiran, dan
bulu kudukku meremang di kedua lenganku. Tak terbayangkan olehku bagaimana bila
serigala berbulu merah-cokelat itu mendadak muncul di dalam Rabbit ini—bisa-bisa
seluruh garasi ini porak-poranda bila Jacob berubah wujud
sekarang.
"Jasper
bisa. sedikit mengendalikan emosi orang-orang di sekitarnya. Bukan dalam arti negatif,
hanya menenangkan orang, semacam itu.
Mungkin itu
akan sangat membantu Paul," aku menambahkan, sedikit menyindir.
"Sementara Alice bisa melihat hal-hal yang akan terjadi. Masa depan,
begitulah, meski tidak persis benar. Hal-hal yang dia lihat bisa berubah bila
seseorang mengubah jalan yang sedang mereka lalui."
Seperti waktu
dia melihatku sekarat. dan dia melihatku menjadi seperti mereka. Dua hal yang ternyata
tidak terjadi. Dan tidak akan pernah
terjadi.
Kepalaku mulai pening—rasanya aku tak bisa mengisap cukup banyak oksigen dari
udara. Tidak ada paru-paru. Jacob sudah bisa menguasai diri sepenuhnya, tubuhnya
diam tak bergerak di sampingku.
"Mengapa
kau selalu melakukan itu?" tanyanya.
Ia menarik pelan
satu lenganku, yang mendekap dada, kemudian menyerah waktu aku bersikeras tak
mau melepaskannya. Aku bahkan tak sadar tanganku telah mendekap dada. "Kau
selalu berbuat begitu setiap kali kau merasa sedih. Mengapa?"
"Sakit
rasanya memikirkan mereka," bisikku.
"Rasanya
aku tak bisa bernapas. seolah-olah aku pecah berkeping-keping." Sungguh
aneh betapa banyaknya yang bisa kuungkapkan pada Jacob sekarang. Tak ada lagi
rahasia di antara kami. Jacob mengelus-elus rambutku. "Sudahlah, Bella,
sudahlah. Aku tidak akan mengungkitnya lagi. Maafkan aku."
"Aku
tidak apa-apa." Aku terkesiap. “Itu sudah biasa. Bukan salahmu.”
"Benar-benar
pasangan yang kacau ya, kita ini?”
sergah Jacob.
"Tak seorang pun di antara kita bisa mempertahankan kondisi normal."
"Menyedihkan,"
aku sependapat, masih belum bisa bernapas.
"Setidaknya
kita masih memiliki satu sama lain," kata Jacob, jelas-jelas merasa
terhibur oleh pemikiran itu.
Aku juga merasa
terhibur. "Setidaknya masih ada itu," aku sependapat.
Dan saat kami
bersama, semua baik-baik saja. Tapi ada tugas berat dan berbahaya yang wajib dilakukan
Jacob, jadi aku lebih sering sendirian,
terkungkung di
La Push demi keamananku sendiri, tanpa kegiatan yang bisa mengalihkan pikiran
dari semua kekhawatiranku.
Aku merasa
canggung karena harus selalu berada di rumah Billy. Aku belajar untuk mempersiapkan
diri menghadapi ujian Kalkulus minggu depan, tapi baru sebentar saja aku sudah bosan.
Kalau tidak ada hal pasti yang bisa dikerjakan, aku merasa harus berbasa-basi
dengan
Billy—tekanan
melakukan etika yang benar dalam bermasyarakat. Masalahnya, Billy bukan orang yang
enak diajak ngobrol, dan jadilah
kecanggungan
itu terus berlanjut.
Aku mencoba
main ke rumah Emily pada hari Rabu siang, untuk berganti suasana. Awalnya cukup
menyenangkan. Emily periang dan tidak pernah bisa duduk diam. Aku membuntutinya
sementara ia mondar-mandir ke sana kemari di sekeliling rumah dan halamannya
yang kecil mengosek lantai yang bersih tanpa noda, mencabuti rumput-rumput
liar, membetulkan engsel rusak, menenun benang wol dengan alat tenun kuno, dan
selalu saja memasak. Ia mengeluh sedikit tentang selera makan cowok-cowok itu
yang kian hari kian besar saja, tapi mudah dilihat bahwa ia sama sekali tidak
keberatan mengurus mereka. Bukan hal sulit bergaul dengannya—bagaimanapun, kami
sama-sama cewek serigala sekarang.
Tapi Sam datang
setelah aku berada di sana beberapa jam. Aku hanya bertahan sampai aku memastikan
Jacob baik-baik saja dan bahwa tidak ada kabar apa-apa, dan sesudahnya aku
bergegas pergi. Sulit rasanya menelan aura cinta dan kebahagiaan yang
melingkupi mereka dalam dosis begitu besar, tanpa kehadiran orang lain yang
bisa mengencerkannya.
Jadilah aku
berkeliaran di pantai, bolak-balik menyusuri tepi pantai yang berbatu-batu,
berulang kali. Menghabiskan waktu sendirian berdampak
buruk bagiku.
Setelah bisa bersikap jujur pada Jacob, aku jadi terlalu banyak membicarakan
dan memikirkan keluarga Cullen. Tak peduli betapa pun kerasnya aku mencoba
mengalihkan pikiran—padahal banyak yang harus kupikirkan: aku benar-benar sangat
khawatir memikirkan Jacob dan saudara-saudara serigalanya, aku takut
memikirkan
keselamatan Charlie dan orang-orang lain yang mengira mereka memburu binatang
aku semakin lama semakin dekat dengan Jacob tanpa pernah secara sadar
memutuskan untuk maju ke
arah itu dan
aku tak tahu bagaimana menyikapinya—namun tak satu pun dari semua masalah yang
sangat nyata dan sangat layak untuk
dipikirkan itu
sanggup mengalihkan pikiranku dari kepedihan di dadaku untuk waktu yang lama.
Akhirnya, aku
bahkan tidak sanggup berjalan lagi, karena tak bisa bernapas. Aku duduk di
sepetak bebatuan yang agak kering dan meringkuk seperti bola. Jacob menemukanku
dalam keadaan seperti itu,
dan kentara sekali
dan ekspresinya bahwa ia mengerti.
“Maaf,” ucapnya
langsung. Ia menarikku dari tanah dan melingkarkan kedua lengannya di pundakku.
Baru saat itulah aku sadar betapa
dingin tubuhku.
Kehangatannya membuatku bergetar, tapi setidaknya aku bisa bernapas dengan dia
di sana.
"Aku
mengacaukan liburan musim semimu,"
Jacob menyalahkan
diri sendiri sementara kami berjalan lagi menyusuri pantai.
"Tidak,
itu tidak benar. Aku toh tidak punya rencana apa-apa. Lagi pula, rasanya aku
tidak suka liburan musim semi."
"Besok
pagi aku bisa libur. Yang lain-lain bisa berpatroli tanpa aku. Kita akan
melakukan sesuatu yang menyenangkan."
Kata itu
terasa asing dalam kehidupanku sekarang, nyaris tidak bisa dimengerti. Aneh.
"Menyenangkan?"
"Kau
butuh bersenang-senang. Hmm." Mata Jacob menerawang ke ombak kelabu yang bergulung-gulung,
menimbang-nimbang. Saat
matanya
menyapu cakrawala, mendadak ia mendapat ilham.
"Aku
tahu!" serunya. "Ada lagi satu janji yang harus kutepati."
"Kau ini
ngomong apa?”
Jacob melepaskan
tanganku dan menuding ke arah selatan pantai, tempat pantai yang berbentuk bulan
sabit itu berakhir di tebing-tebing laut yang tinggi menjulang. Aku mengikuti
arah pandangnya, tak mengerti.
"Bukankah
aku sudah berjanji akan mengajakmu terjun dari tebing?"
Aku bergidik.
"Yeah,
memang akan sangat dingin—tapi tidak sedingin hari ini. Bisa kaurasakan cuaca
berubah? Tekanan udaranya? Besok pasti cuaca akan lebih hangat. Bagaimana, kau
mau?"
Air yang gelap
kelihatannya tidak mengundang, dan dilihat dari sini. Tebing-tebing itu bahkan terlihat
lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tapi sudah
berhari-hari aku tak lagi mendengar suara Edward. Mungkin itu juga bagian dari masalah.
Aku kecanduan suara dari delusiku. Keadaan jadi memburuk bila aku terlalu lama tidak
mendengar suara itu. Terjun dari tebing pasti bisa memulihkan keadaan.
“Jelas tentu
aku mau. Asyik."
“Kalau begitu
kita kencan," kata Jacob, menyampirkan lengannya di pundakku.
"Oke—sekarang
kau harus tidur." Aku tidak suka melihat lingkaran hitam di bawah matanya mulai
tampak terukir permanen di kulitnya.
Aku bangun pagi-pagi
sekali keesokan harinya dan menyelundupkan baju ganti ke mobil. Firasatku
mengatakan Charlie tidak bakal menyetujui rencana hari ini, sama seperti ia
tidak akan menyetujui rencana sepeda motor itu. Gagasan melupakan sejenak semua
kekhawatiranku membuatku nyaris merasa bersemangat. Mungkin memang akan menyenangkan.
Kencan dengan Jacob, kencan
dengan Edward.
Aku tertawa pahit. Boleh saja Jake berkata kami pasangan yang kacau—tapi akulah
sesungguhnya yang benar-benar kacau. Aku membuat werewolf terkesan sangat
normal. Aku mengira Jacob bakal menungguku di depan rumah, seperti yang biasa
ia lakukan setiap kali suara mesin trukku yang berisik mengabarkan kedatanganku.
Ketika dia tidak muncul aku mengira dia masih tidur. Aku akan menunggu – memberinya
kesempatan beristirahat sebanyak mungkin. Dia butuh istirahat, sekaligus
menunggu cuaca sedikit lebih menghangat. Perkiraan Jake ternyata benar; cuaca
berubah semalam.
Gumpalan awan
tebal kini menggelantung di atmosfer, membuat udara nyaris lembab; di bawah
"selimut"
kelabu itu, hawa panas dan pengap. Kutinggalkan sweterku di truk. Kuketuk pintu
pelan-pelan.
"Masuklah,
Bella," seru Billy. Billy duduk di meja dapur, makan sereal dingin.
"Jake
tidur?"
"Eh,
tidak." Billy meletakkan sendoknya, dan alisnya bertaut.
"Ada
apa?" desakku. Kentara sekali dari ekspresi Billy bahwa sesuatu telah
terjadi.
"Embry,
Jared, dan Paul menemukan jejak baru pagi-pagi sekali tadi. Sam dan Jake berangkat
untuk membantu. Sam optimis—vampir
perempuan itu
terpojok di sisi pegunungan. Menurut Sam, mereka punya peluang besar untuk mengakhirinya."
"Oh,
tidak, Billy," bisikku. "Oh, tidak."
Billy tertawa,
dalam dan rendah. "Sebegitu sukanya kau pada La Push hingga ingin memperpanjang
masa tahananmu di sini?"
"Jangan
bercanda, Billy. Ini terlalu mengerikan untuk dijadikan lelucon."
"Kau
benar," Billy sependapat, masih tersenyum. Mata tuanya mustahil dibaca.
"Yang satu ini sulit ditaklukkan.”
Aku menggigit
bibir.
"Bagi mereka,
ini tidak seberbahaya yang kaukira. Sam tahu apa yang harus dilakukan. Kau hanya
perlu mengkhawatirkan dirimu sendiri.
Vampir itu tidak
berniat melawan mereka. Dia hanya berusaha menghindari mereka. Dan menemukanmu."
"Bagaimana
Sam tahu apa yang harus dia lakukan?" aku, menepiskan kekhawatiran Billy terhadap
keselamatanku. “Mereka baru membunuh satu vampir bisa jadi itu hanya keberuntungan.”
"Kami
melaksanakan tugas kami dengan sangat serius, Bella. Tak ada yang terlupa.
Semua yang perlu mereka ketahui sudah diwariskan secara turun-temurun selama
beberapa generasi."
Keterangan itu
tidak lantas membuatku merasa lega seperti yang mungkin dimaksudkan Billy. Ingatan
tentang Victoria yang liar, garang, dan mematikan, terlalu kuat bercokol dalam
kepalaku. Kalau ia tidak bisa menghindari para werewolf, akhirnya ia akan
berusaha menerobos pertahanan mereka.
Billy kembali
menekuni sarapannya; aku duduk di sofa dan memindah-mindahkan saluran televisi tanpa
berniat menonton. Tapi itu tidak lama. Aku mulai merasa terperangkap di ruangan
kecil itu, sesak, gelisah karena tak bisa melihat ke luar jendela-jendela yang
tertutup tirai.
"Aku akan
ke pantai,” kataku tiba-tiba kepada Billy, lalu bergegas ke pintu. Berada di
luar ternyata tak banyak membantu. Awan-awan didorong ke bawah oleh beban yang tak
kasatmata hingga tidak membuat perasaan terperangkapku mereda. Anehnya, hutan
terkesan
kosong saat aku
berjalan menuju pantai. Tak terlihat olehku satu hewan pun—tidak ada burung, tidak
ada tupai. Telingaku juga tidak mendengar
kicauan
burung. Keheningan itu terasa mengerikan; bahkan desiran angin menerpa pepohonan
pun tidak ada.
Aku tahu semua
itu hanya karena cuaca, namun tetap saja aku gelisah Tekanan atmosfer yang
berat dan panas bisa dirasakan bahkan oleh pancaindra manusiaku yang lemah, dan
hal itu menandakan bakal terjadinya badai besar. Kondisi langit semakin
menguatkan dugaanku; awan bergulunggulung hebat padahal di daratan tak ada
angin.
Awan terdekat berwarna
abu-abu gelap, tapi di sela-selanya aku bisa melihat lapisan awan lain yang
berwarna ungu gelap. Langit memiliki
rencana yang
sangat dahsyat hari ini. Semua hewan di hutan pasti sudah berlindung. Begitu
sampai di pantai, aku menyesal telah datang ke sini—aku muak pada tempat ini.
Hampir setiap hari aku datang ke sini, berkeliaran sendirian. Apa bedanya
dengan mimpi-mimpi burukku? Tapi mau ke mana lagi? Aku terseokseok menghampiri driftwood, lalu duduk di ujungnya
supaya bisa bersandar di akarnya yang saling membelit. Dengan muram aku
menengadah ke langit yang murka, menunggu tetesan hujan pertama memecah
keheningan.
Aku berusaha
tidak memikirkan bahaya yang dihadapi Jacob dan teman-temannya. Karena tidak ada
apa-apa yang bisa menimpa Jacob. Aku tak tahan memikirkannya. Aku sudah terlalu
banyak kehilangan—apakah takdir akan merenggut sedikit kedamaian yang masih
tersisa? Sepertinya itu tidak adil, tidak seimbang. Tapi mungkin aku telah
melanggar suatu
aturan tak dikenal, melanggar batas yang membuatku jadi terkutuk. Mungkin salah
melibatkan diri dengan mitos dan legenda,
memunggungi
dunia manusia. Mungkin. Tidak. Tidak ada apa-apa yang akan menimpa Jacob. Aku harus
meyakini hal itu atau aku takkan bisa berfungsi.
"Argh!"
Aku mengerang, lalu melompat turun dari batang kayu. Aku tak sanggup duduk diam;
itu lebih parah daripada berjalan mondar-mandir.
Sebenarnya aku
sudah berharap akan mendengar suara Edward pagi ini. Sepertinya itu satu-satunya
hal yang membuatku bisa bertahan
melewati hari
ini. Lubang di dadaku belakangan ini mulai bernanah, seolah-olah membalas
dendam untuk waktu-waktu ketika kehadiran Jacob menjinakkannya. Bagian
pinggirnya panas membara.
Ombak semakin
menggelora saat aku berjalan, mulai mengempas bebatuan, tapi tetap belum ada angin.
Aku merasa ditekan oleh tekanan badai. Segalanya berpusar-pusar di
sekelilingku, tapi di tempatku berdiri, udara diam tak bergerak. Udara. menghantar gelombang listrik ringan—aku bisa
merasakan rambutku bergemerisik.
Di tengah laut,
ombak lebih ganas daripada di sepanjang tepi pantai. Kulihat gelombang menghantam
garis tebing, menyemburkan awan
putih buih
laut tinggi ke angkasa. Tak ada gerakan di udara, meski awan bergolak semakin
cepat sekarang. Kelihatannya mengerikan—seolah-olah awan-awan itu bergerak
sendiri. Aku menggigil, walaupun tahu itu hanya karena tekanan udara yang
sangat besar.
Tebing-tebing
itu menjulang bagaikan pisau hitam di langit yang murka. Saat memandanginya, ingatanku
melayang ke hari ketika Jacob bercerita tentang Sam dan "geng'-nya. Aku
ingat bagaimana cowok-cowok itu—para werewolf—melontarkan
diri ke angkasa. Bagaimana tubuh-tubuh itu jatuh dan berputar-putar ke bawah
masih tergambar jelas dalam ingatanku. Aku membayangkan perasaan bebas merdeka
saat jatuh. Aku membayangkan bagaimana suara Edward dalam pikiranku – marah,
sehalus beledu, sempurna. Panas di dadaku semakin menjadi-jadi.
Pasti ada cara
untuk memuaskan dahaga itu. Kepedihan di dadaku semakin lama semakin tak bisa
ditolerir lagi. Kupandangi tebing-tebing serta gelombang yang menghempas
bebatuan.
Well mengapa tidak? Mengapa tidak memuaskannya
saja sekarang?
Jacob sudah
berjanji akan mengajakku melompat dan tebing, bukan? Hanya karena ia tidak bisa
menemaniku, bukan berarti aku harus
melupakan kegiatan
untuk mengalihkan pikiran yang sangat kubutuhkan ini—semakin membutuhkannya
karena saat ini Jacob sedang mempertaruhkan nyawanya sendiri?
Mempertaruhkannya.
pada intinya, demi aku. Kalau bukan karena aku, Victoria tidak akan membunuhi
orang-orang di sini. melainkan di
tempat lain,
jauh dari sini. Kalau sampai terjadi apa-apa pada Jacob, akulah yang bersalah. Kesadaran
itu menikam hatiku dalam-dalam dan
membuatku berlari-lari
kecil kembali ke jalan menuju rumah Billy, tempat trukku berada. Aku tahu jalan
terdekat ke tebing-tebing, tapi aku harus mencari jalan kecil yang akan membawaku
sampai ke bibir tebing. Saat
menyusuri jalan
itu, aku mencari belokan atau percabangan, karena aku tahu Jake berniat mengajakku
melompat dari pinggir tebing yang
lebih rendah,
bukan dari puncaknya. Tapi jalan kecil itu hanya berupa satu garis yang
berkelokkelok menuju bibir tebing tanpa memberikan
pilihan lain.
Aku tak sempat lagi mencari jalan lain yang mengarah ke bawah—badai bergerak
semakin cepat sekarang. Angin akhirnya mulai
menyentuhku, awan-awan
menekan semakin dekat ke tanah. Begitu sampai di tempat jalan tanah itu melebar
menuju ngarai batu, tetesan hujan pertama jatuh dan membasahi wajahku.
Tidak sulit meyakinkan
diriku bahwa aku tidak sempat lagi mencari jalan lain—aku memang ingin melompat
dari puncak tebing. Bayangan inilah
yang bertahan
di kepalaku. Aku ingin terjun bebas yang akan terasa seperti terbang.
Aku tahu ini
hal paling tolol dan paling sembrono yang pernah kulakukan. Pikiran itu membuatku
tersenyum. Kepedihan itu mulai
mereda, seakan-akan
tubuhku tahu suara Edward beberapa detik lagi akan terdengar. Laut terdengar
sangat jauh, bahkan lebih jauh
daripada
sebelumnya, waktu aku berada di jalan setapak di tengah pepohonan. Aku meringis
membayangkan suhu air yang pasti sangat dingin. Tapi aku takkan membiarkannya
menghentikanku. Angin bertiup semakin kencang sekarang, membuat hujan
berpusar-pusar di sekelilingku.
Aku melangkah
ke pinggir tebing, mengarahkan mata ke ruang kosong di hadapanku. Jari-jari kakiku
meraba-raba ke depan tanpa melihat,
mengusap-usap
pinggir batu begitu menemukannya. Aku menghela napas dalamdalam dan menahannya.
menunggu.
"Bella."
Aku tersenyum
dan mengembuskan napas. Ya? Aku tidak menjawab dengan suara keras, takut
suaraku akan menghancurkan ilusi indah
itu. Edward
terdengar sangat nyata, sangat dekat. Hanya bila ia merasa tidak suka seperti
ini aku bisa mendengar kenangan nyata suaranya—
teksturnya yang
selembut beledu dan intonasi musikalnya yang menjadikannya suara paling sempurna
di antara segala suara.
"Jangan
lakukan ini," pintanya.
Kau yang menginginkan aku menjadi manusia,
aku mengingatkan dia. Well lihat aku sekarang.
"Please.
Demi aku."
Tapi kau tidak mau tinggal bersamaku selain dengan cara ini.
“Please.” Itu
hanyalah bisikan di tengah hujan yang tersapu angin, yang menerbangkan rambutku
dan membasah, bajuku membuat rubuhku basah kuyup seolah-olah ini lompatan
keduaku. Aku membungkuk dan bertumpu pada jantung kakiku.
"Jangan,
Bella!" Ia marah sekarang, dan amarah itu terasa sangat indah.
Aku tersenyum
dan mengangkat kedua lenganku lurus-lurus ke muka, seakan-akan hendak terjun, menengadahkan
wajahku ke hujan. Tapi karena terbiasa berenang di kolam umum selama bertahun-tahun—kaki
lebih dulu, pertama kali. Aku mencondongkan tubuh ke depan,
membungkuk
agar bisa meloncat lebih jauh. Dan
aku melemparkan tubuhku dari tepi tebing. Aku
menjerit saat tubuhku melayang di udara
terbuka seperti
meteor, tapi jeritanku adalah jeritan kegembiraan, bukan takut. Angin melawan, sia-sia
berusaha melawan gravitasi yang tak bisa
dikalahkan,
mendorongku dan memutar-mutar tubuhku dalam gaya spiral bagai roket menghunjam
bumi.
Yes! Kata itu bergema di benakku
begitu tubuhku membelah permukaan air. Air terasa seperti es, lebih dingin
daripada yang kutakutkan,
namun
kedinginan itu justru menambah kenikmatan yang kurasakan.
Aku bangga
pada diriku sendiri saat menghunjam semakin dalam ke air hitam yang membekukan.
Tak sedikit pun aku merasa takut— hanya murni adrenalin. Sungguh, terjun bebas sama
sekali tidak menakutkan. Mana tantangannya?
Saat itulah
arus air menangkapku. Pikiranku begitu terpusat pada ukuran tebing, pada bahaya
nyata ketinggiannya yang curam, hingga sama sekali tak memikirkan air gelap
yang menanti. Tak pernah terbayangkan olehku bahwa bahaya sesungguhnya
mengintai jauh di bawahku, di bawah ombak yang bergulung-gulung.
Rasanya ombak
seperti melawanku, melemparlemparkan
aku
bolak-balik di antara mereka seolah-olah mereka bertekad membagiku dengan mencabik-cabik
tubuhku. Aku tahu cara yang
benar
menghindari air pasang-surut yang saling bertabrakan: berenang paralel dengan
garis pantai, bukan berjuang sekuat tenaga menuju pantai. Tapi pengetahuan itu
tak banyak berguna karena aku
tidak tahu di
mana letak pantai. Aku bahkan tak tahu arah menuju permukaan.
Air yang
bergolak itu hitam pekat di segala arah; tak
ada cahaya setitik pun yang bisa membimbingku
ke atas. Gravitasi sangat kuat bila dibandingkan
udara, tapi itu belum ada apaapanya dibandingkan
dengan arus ombak—aku tak bisa merasakan
tarikan ke bawah, tarikan ke arah mana
pun. Yang kurasakan hanya arus yang begitu
kuat membuatku berputar-putar terus seperti
boneka kain.
Aku berusaha
keras menahan napas, mengunci bibir rapat-rapat untuk mempertahankan persediaan
oksigen terakhir yang masih tersisa.
Tak mengherankan
bila delusiku menghadirkan Edward di sana. Sudah sepantasnya, mengingat sebentar
lagi aku bakal mati. Aku justru heran
menyadari
betapa pastinya pengetahuan itu. Aku akan tenggelam. Aku sedang tenggelam.
"Berenanglah
terus!" Edward memohon dengan panik dalam pikiranku.
Ke mana? Tidak ada apa-apa
kecuali kegelapan. Tidak ada tempat ke mana aku bisa berenang.
“Hentikan
itu!” perintahnya. “Jangan beraniberani menyerah!”
Air yang
dingin membuat lengan dan kakiku mati
rasa. Aku tak lagi merasakan pukulan bertubi-tubi seperti tadi. Yang kurasakan
sekarang
hanya pusing,
berpusar-pusar tak berdaya di dalam air. Tapi aku mendengarkan kata-katanya.
Kupaksa kedua lenganku untuk terus menggapai-gapai, kakiku untuk menendang
lebih kuat, meski setiap
detik aku
dihadapkan pada arah yang baru. Gawat. Apa gunanya?
"Berjuang!"
teriaknya. "Sialan, Bella, berjuanglah terus."
Kenapa? Aku tidak ingin
berjuang lagi. Dan bukan karena kepalaku
terasa ringan, atau karena kedinginan, atau karena otot-otot lenganku gagal
berfungsi karena
kelelahan, yang membuatku merasa cukup
senang berada
di tempatku sekarang. Aku nyaris bahagia karena semua akan berakhir. Ini
kematian yang lebih mudah daripada kematian-kematian lain yang pernah kuhadapi.
Kedamaian yang ganjil.
Aku sempat berpikir
tentang hal-hal klise, tentang bagaimana kau seharusnya melihat kembali sekilas
perjalanan hidupmu. Ternyata aku
jauh lebih beruntung.
Siapa pula yang ingin melihat pemutaran ulang?
Aku melihat dia, dan aku tidak ingin lagi berjuang.
Begitu jelas, jauh lebih nyata daripada kenangan mana pun. Alam bawah sadarku
menyimpan kenangan
akan Edward dalam detail sempurna, menyimpannya untuk momen terakhir ini. Aku bisa
melihat wajahnya yang sempurna seolah-olah ia benar-benar di sana; kulitnya
yang
sedingin es
dalam nuansa warna yang tepat, bentuk bibirnya, garis dagunya, kilatan emas di matanya
yang berapi-api. Wajar saja ia marah,
karena aku menyerah.
Rahangnya terkatup rapat dan cuping hidungnya kembang-kempis oleh amarah.
"Tidak!
Bella, tidak!"
Telingaku dibanjiri
air yang membekukan, tapi suaranya terdengar lebih jelas daripada biasa. Aku mengabaikan
kata-katanya dan berkonsentrasi mendengarkan suaranya. Untuk apa berjuang jika
aku sudah
merasa sangat bahagia dalam keadaanku sekarang ini? Bahkan saat paruparuku seperti
dibakar karena membutuhkan
asupan udara
dan kakiku kejang karena air yang sedingin es, aku justru merasa bahagia. Aku
sudah lupa bagaimana rasanya kebahagiaan yang
sesungguhnya.
Kebahagiaan.
Itu membuat kematian jadi bisa dihadapi dengan lapang dada. Arus menang saat
itu, mendorongku dengan kasar membentur sesuatu yang keras, batu yang tak
kelihatan dalam gelap. Benda itu
menghantamku
dengan keras di bagian dada, membenturku seperti batang besi, dan udara melesat
keluar dari paru-paruku, meledak dalam
bentuk gumpalan
gelembung perak tebal. Batang besi itu seperti menyeretku, menarikku menjauhi Edward,
semakin dalam ke dasar samudra yang gelap.
Selamat tinggal, aku cinta padamu,
adalah hal terakhir yang kupikirkan.
0 komentar:
Post a Comment