Baca Online New Moon part 23
23.
KEBENARAN
RASANYA aku tidur
lama sekali—sekujur tubuhku kaku, seolah-olah aku tidak bergerak sama sekali
selama itu. Pikiranku linglung dan
lamban; berbagai
mimpi aneh—mimpi dan mimpi buruk—berpusar-pusar dalam benakku. Semua tampak
sangat jelas. Kengerian dan kebahagiaan, semua berbaur jadi kebingungan yang
aneh. Ada
perasaan tak
sabar bercampur ketakutan, keduanya bagian dari mimpi penuh frustrasi saat kakiku
tak bisa berlari cepat. Dan di mana-mana
ada monster,
musuh-musuh bermata merah yang lebih menyeramkan daripada sesama mereka yang lebih
beradab. Mimpi itu masih terpatri kuat – aku bahkan masih ingat nama-namanya.
Tapi bagian yang paling kuat dan paling jelas dari mimpi itu bukanlah kengeriannya.
Melainkan kehadiran malaikat itulah yang paling jelas kuingat.
Sulit rasanya
membiarkan malaikat itu pergi dan bangun. Mimpi ini tak mau disingkirkan begitu
saja ke gudang mimpi yang tak ingin kudatangi
lagi. Aku melawannya
dengan susah payah saat pikiranku mulai lebih awas, terfokus pada kenyataan.
Aku tak ingat hari apa ini, tapi aku
yakin ada yang
menungguku, entah ku Jacob, sekolah, pekerjaan, atau hal lain. Aku menarik napas
dalam-dalam, bertanya-tanya dalam hati
bagaimana aku
sanggup menjalani satu hari lagi.
Sesuatu yang
dingin menyentuh dahiku lembut sekali. Kupejamkan mataku lebih rapat. Rupanya
aku masih bermimpi, tapi anehnya, rasanya sungguh sangat nyata. Aku sudah
hampir terbangun.
beberapa detik
lagi, dan mimpi akan lenyap.
Tapi aku sadar
mimpi itu terasa kelewat nyata, kelewat nyata sehingga tak mungkin terjadi. Lengan
sekeras batu yang kubayangkan memeluk
tubuhku amat
terlalu kokoh. Kalau kubiarkan lebih lama lagi, aku akan menyesal nanti. Dengan
keluhan menyerah, kubuka paksa kelopak mataku untuk menghalau ilusi itu.
"Oh!"
aku terkesiap kaget, dan melemparkan tinjuku ke muka.
Well jelas, aku sudah kelewatan; salah
besar membiarkan imajinasiku jadi tak terkendali. Oke, mungkin
"membiarkan" bukan istilah yang tepat.
Aku memaksanya
menjadi tak terkendali—bisa dibilang aku dikuntit halusinasiku sendiri—dan sekarang
pikiranku meledak.
Dibutuhkan kurang
dari setengah detik untuk menyadari bahwa, kepalang basah sudah telanjur sinting,
ada baiknya kunikmati saja delusiku, mumpung delusinya menyenangkan.
Aku membuka
lagi mataku – dan Edward masih di sana, wajahnya yang sempurna hanya beberapa sentimeter
dari wajahku.
“Aku membuatmu
takut, ya?” suaranya yang rendah bernada cemas.
Ini bagus sekali,
sebagai delusi. Wajahnya, suaranya, aroma tubuhnya, segalanya – semua jauh
lebih baik daripada tenggelam. Kilasan
khayalanku
yang rupawan itu mengawasi perubahan ekspresiku dengan waswas. Matanya hitam
pekat, dengan bayangan menyerupai memar
di bawahnya.
Itu membuatku terkejut; Edward halusinasiku biasanya muncul dalam keadaan kenyang.
Aku mengerjap
dua kali, susah payah berusaha mengingat hal terakhir yang aku yakin nyata.
Alice juga ada dalam mimpiku, dan bertanya-tanya apakah ia benar-benar kembali,
atau itu hanya khayalan. Kalau tidak salah, ia kembali pada hari aku nyaris
tenggelam waktu itu.
"Oh.
brengsek" makiku parau. Tenggorokanku seperti tersumbat.
"Ada apa,
Bella?”
Aku mengerutkan
kening pada Edward, tidak bahagia. Wajahnya bahkan jauh lebih cemas daripada
sebelumnya.
“Aku sudah
mati, kan?" erangku. "Aku benarbenar tenggelam. Brengsek, brengsek,
brengsek! Charlie pasti sedih sekali."
Kening Edward
berkerut. "Kau belum mati"
"Kalau
begitu, mengapa aku tidak bangunbangun juga?" tantangku, mengangkat alis.
"Kau
sudah bangun, Bella."
Aku menggeleng.
"Tentu, tentu. Kau memang ingin aku mengira begitu. Kemudian keadaan akan lebih
parah waktu aku terbangun nanti. Kalau aku masih bisa bangun, dan itu tidak
akan terjadi, karena aku sudah mati. Gawat. Kasihan Charlie. Juga Renee dan
Jake." Suaraku menghilang, ngeri membayangkan apa yang telah kulakukan.
“Aku bisa
mengerti kau salah mengartikan aku dengan mimpi buruk." Senyum Edward yang
berumur singkat terlihat muram. "Tapi aku tidak
bisa membayangkan
apa yang telah kaulakukan sehingga kau masuk neraka. Memangnya kau banyak
membunuh orang selagi aku tidak ada?"
Aku meringis.
"Jelas tidak. Kalau saat ini aku berada di neraka, kau tidak akan ada di
sini bersamaku." Edward mendesah.
Pikiranku semakin
jernih. Mataku berkelebat sebentar dari wajahnya—meski sebenarnya enggan-—ke
jendela yang gelap dan terbuka, lalu
kembali
padanya. Kupandangi dia sambil mengingat-ingat. dan aku merasakan rona merah yang
tidak familier menjalari pipiku dengan hangat saat lambat laun aku menyadari
bahwa Edward sungguh-sungguh, benar-benar ada di sini bersamaku, tapi aku malah
membuang-buang waktu dengan menjadi idiot.
"Kalau
begitu, semua itu benar-benar terjadi?"
Nyaris sulit
mengubah mimpiku menjadi kenyataan. Rasanya aku belum bisa menerima konsep itu.
"Tergantung."
Senyum Edward masih kaku.
"Kalau yang
kaumaksud adalah kita hampir dibantai di Italia, ya, itu benar.”
"Aneh
sekali," renungku. "Aku benar-benar pergi ke Italia. Tahukah kau, aku
bahkan tak pernah pergi lebih jauh dari Alburquerque?”
Edward memutar
bola matanya. "Mungkin sebaiknya kau tidur lagi. Kau masih linglung."
"Aku
sudah tidak capek lagi.” Pikiranku kembali jelas sekarang. "Jam berapa
sekarang? Sudah berapa lama aku tertidur?”
"Sekarang
baru jam satu pagi lewat sedikit. Jadi, kira-kira empat belas jam."
Aku menggeliat
saat Edward bicara. Tubuhku kaku sekali.
"Charlie?"
tanyaku
Edward mengerutkan
kening. “Tidur. Mungkin kau tahu saat ini aku melanggar aturan. Well, teknisnya sih tidak, karena
kata Charlie aku tidak boleh menjejakkan kaki lagi melewati pintu, sementara
aku masuk lewat jendela. Tapi meski begitu, maksudnya sudah jelas.”
"Charlie
melarangmu datang ke sini?" tanyaku, perasaan tak percaya dengan cepat
melebur menjadi amarah.
Sorot mara Edward
sedih. "Memangnya apa yang kauharapkan?"
Sorot mataku
marah. Aku harus bicara dengan ayahku—mungkin sekarang saat yang tepat untuk mengingatkan
ayahku bahwa secara hukum aku sudah dianggap dewasa. Itu tidak berarti banyak tentu
saja, kecuali dalam hal prinsip. Sebentar lagi tidak ada lagi alasan untuk
melarangku. Aku mengalihkan pikiran ke hal-hal lain yang tidak
terlalu
menyakitkan.
"Ceritanya
bagaimana?" tanyaku, benar-benar ingin tahu, sekaligus berusaha keras
menjaga agar obrolan terus berlangsung juga untuk
menenangkan diriku
sendiri, supaya aku tidak membuat Edward kabur ketakutan oleh kerinduan menggebu-gebu
yang bergejolak dalam diriku.
"Apa
maksudmu?"
“Aku harus menceritakan
apa pada Charlie? Apa alasanku menghilang selama. omong-omong berapa hari aku
pergi?" Aku berusaha menghitunghitung.
“Hanya tiga hari.”
Tatapan Edward mengeras, tapi kali ini senyumnya lebih alami. “Sebenarnya, aku
berharap kau punya penjelasan bagus.
Soalnya aku tidak
tahu harus memberi alasan apa.”
Aku mengerang.
"Hebat."
"Well mungkin Alice bisa memberi alasan
yang tepat," kata Edward, berusaha menghibur hatiku. Dan aku merasa terhibur.
Siapa yang peduli apa yang harus kuhadapi nanti? Setiap detik ia di sini – begitu
dekat, wajahnya yang sempurna berkilau dalam keremangan cahaya yang dipantulkan
angka-angka jam alarmku – sangatlah berharga dan tidak patut disia-siakan.
"Jadi,"
aku memulai, memilih pertanyaan yang paling tidak penting—walaupun tetap sangat
menarik—sebagai permulaan. Aku sudah
diantarkan
dengan selamat sampai ke rumah, jadi sebentar lagi Edward mungkin akan
memutuskan untuk pergi, kapan saja. Aku harus membuatnya terus bicara. Lagi
pula, surga sementara ini tidak sepenuhnya komplet tanpa suaranya. "Apa
yang kaulakukan selama ini sampai tiga hari yang lalu?"
Wajah Edward langsung
kecut. "Tidak ada yang menarik."
"Tentu
saja tidak," gumamku.
"Mengapa
kau mengernyitkan muka seperti itu?"
"Well.." aku mengerucutkan bibir,
menimbangnimbang.
"Seandainya
kau, misalnya, hanya mimpi, jawaban seperti itulah yang pasti akan kauucapkan.
Imajinasiku pasti sudah mentok."
Edward mendesah.
"Kalau aku menceritakannya padamu, apakah akhirnya kau akan percaya bahwa
kau tidak sedang bermimpi buruk?" ,
"Mimpi
buruk!" ulangku sinis. Edward menunggu jawabanku. "Mungkin,"
jawabku secelah berpikir sejenak. “Kalau menceritakannya padaku."
"Selama
ini aku. berburu."
"Masa
hanya itu yang kaulakukan?” kritikku.
“Itu jelas
tidak membuktikan aku sudah terbangun.”
Edward
ragu-ragu, kemudian berbicara lambatlambat, memilih kata-kata dengan saksama.
"Aku bukan berburu makanan. sebenarnya aku
mencoba
belajar. mencari jejak. Aku kurang bagus dalam hal itu.”
“Apa yang
kaulacak?" tanyaku, tertarik.
"Bukan sesuatu
yang penting." Kata-kata Edward tidak sejalan dengan ekspresinya; ia tampak
gelisah, tidak nyaman.
"Aku
tidak mengerti."
Edward
ragu-ragu; wajahnya, mengilat oleh bias hijau aneh lampu jam, tampak terkoyak.
"Aku—"
Edward menarik napas dalam-dalam.
"Aku
berutang maaf padamu. Tidak, tentu saja aku berutang banyak padamu, jauh lebih
banyak daripada itu. Tapi kau harus tahu—" kata-kata mulai mengalir sangat
cepat. Seingatku, beginilah cara Edward bicara bila sedang gelisah, sehingga aku
harus berkonsentrasi penuh untuk menangkap semuanya— "bahwa aku sama
sekali tidak tahu. Aku tidak menyadari kekacauan yang kutinggalkan. Kusangka
kau aman di sini. Sangat aman. Aku tidak mengira Victoria—" bibir Edward melengkung
ke belakang saat mengucapkan nama itu—"akan kembali. Harus kuakui, ketika melihatnya
waktu itu, aku lebih memerhatikan pikiran James. Tapi aku sama sekali tidak
melihat respons semacam ini dalam dirinya. Bahwa dia bahkan memiliki hubungan
dengan James. Kurasa aku mengerti sekarang—Victoria sangat yakin pada James,
jadi tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa James bisa gagal. Rasa percaya
diri yang terlalu berlebihanlah yang menutupi perasaannya
terhadap James
– itu membuatku tidak melihat besarnya cinta Victoria kepada James, serta hubungan
batin yang terjalin di antara mereka.
"Bukan
berarti tindakanku meninggalkanmu menghadapi
bahaya semacam itu bisa dimaafkan. Waktu
aku mendengar apa yang kaukatakan pada Alice—apa
yang dilihatnya sendiri—waktu aku sadar
ternyata kau sampai harus bergaul dengan werewolf, werewolf yang tidak dewasa,
kasar, makhluk terburuk lain
selain Victoria—" Edward
bergidik dan
serbuan kata-katanya terhenti sejenak. "Ketahuilah, aku sama sekali tidak
tahu tentang hal ini. Aku merasa muak, muak luar
biasa, bahkan
sampai sekarang, setiap kali aku bisa melihat dan merasakan kau aman dalam pelukanku.
Sungguh bodoh dan tolol aku ini—"
"Hentikan,"
aku memotong perkataannya. Edward menatapku sedih, dan aku berusaha menemukan
kata-kata yang tepat—yang akan membebaskan Edward dari kewajiban rekaannya sendiri
ini, yang membuatnya sangat menderita. Tidak mudah mengutarakannya. Entah
apakah aku bisa mengucapkannya tanpa menangis. Tapi aku harus mencoba
melakukannya dengan benar. Aku tidak mau menjadi sumber perasaan bersalah dan
kesedihan dalam hidupnya. Seharusnya
Edward
bahagia, tak peduli bagaimana akibatnya bagiku.
Aku benar-benar
berharap bisa menunda bagian terakhir pembicaraan kami ini. Soalnya, ini hanya akan
mengakhiri lebih cepat pertemuan kami. Mengandalkan latihan selama
berbulan-bulan untuk berusaha bersikap normal di hadapan Charlie, aku memasang
ekspresi datar.
"Edward,"
kataku. Mengucapkan namanya membuat tenggorokanku serasa terbakar. Aku bisa merasakan
bayangan lubang itu,, siap menganga kembali dan mengoyak dadaku begitu Edward pergi
nanti. Entah bagaimana aku bisa bertahan nanti. "Ini harus dihentikan
sekarang. Kau tidak boleh berpikir begitu. Kau tidak bisa membiarkan. rasa
bersalah ini menguasai hidupmu. Kau tidak bisa bertanggung jawab atas hal-hal
yang terjadi padaku di sini. Itu bukan salahmu, itu hanyalah bagian dari
bagaimana kehidupan sebenarnya bagiku. Jadi, kalau aku tersandung di depan bus atau
hal lain suatu saat nanti, kau harus sadar bukan tugasmu untuk menyalahkan
dirimu. Kau tidak boleh langsung kabur ke Italia hanya karena kau merasa bersalah
tidak bisa menyelamatkan aku. Bahkan seandainya aku terjun dari tebing itu
untuk mati,
itu pilihanku sendiri, bukan kesalahanmu. Aku tahu sudah menjadi sifatmu menanggung
rasa bersalah untuk segala sesuatunya, tapi kau benar-benar tidak bisa membiarkan
hal itu membuatmu melakukan halhal ekstrem! Itu sangat tidak bertanggung jawab—
pikirkan Esme
dan Carlisle dan—"
Aku nyaris tak
bisa menahan tangis. Aku berhenti untuk menarik napas dalam-dalam, berharap bisa
menenangkan diri. Aku harus membebaskannya. Aku harus memastikan ini tidak akan
pernah terjadi lagi.
“Isabella Marie
Swan," bisik Edward, ekspresi ganjil melintasi wajahnya. Ia nyaris tampak
marah.
"Jadi kau
yakin aku meminta Volturi membunuhku karena merasa bersalah?"
Aku bisa
merasakan wajahku memancarkan sikap tidak mengerti. "Memangnya bukan
karena itu?"
"Merasa
bersalah? Memang sangat. Lebih daripada yang bisa kaupahami."
“Jadi. apa
maksudmu? Aku tidak mengerti."
"Bella,
aku datang ke keluarga Volturi karena kukira kau sudah mati," ujarnya,
suaranya lembut, matanya berapi-api. “Bahkan seandainya aku tidak punya andil
dalam kematianmu"—Edward bergidik saat membisikkan kata terakhir itu –
“seandainya pun itu bukan salahku, aku akan tetap pergi ke Italia. Jelas, seharusnya aku lebih
berhati-hati—
seharusnya aku
langsung bicara pada Alice, bukan menerima begitu saja perkataan Rosalie. Tapi,
bayangkan saja, aku harus berpikir bagaimana waktu pemuda itu berkata Charlie
sedang menghadiri pemakaman? Apa kemungkinannya?
"Kemungkinannya."
lalu Edward menggerutu, terusik. Suaranya pelan sekali hingga aku tidak yakin
mendengar perkataannya dengan benar.
"Kemungkinannya
selalu berlawanan dengan keinginan kita. Kesalahan demi kesalahan. Aku tidak
akan pernah mengkritik Romeo lagi."
"Tapi aku
masih belum mengerti," kataku.
"Justru
itulah intinya. Memangnya kenapa?"
"Maaf?"
"Memangnya
kenapa kalau aku sudah mati?"
Edward menatapku
ragu beberapa saat sebelum menjawab. "Kau tidak ingat apa yang pernah kukatakan
padamu sebelumnya?”
"Aku
ingat semua yang pernah kaukatakan padaku." Termasuk kata-kata yang
menegaskan semuanya. Edward membelai bibir bawahku dengan ujungujung jarinya
yang dingin. "Bella, sepertinya kau salah mengerti." Ia memejamkan
mata, menggerakkan kepala ke depan dan ke belakang dengan senyum miring
menghiasi wajahnya yang
rupawan. Bukan
senyum bahagia. "Kukira aku sudah menjelaskan dengan sangat jelas sebelumnya.
Bella, aku tak sanggup hidup di dunia
kalau kau
tidak ada."
“Aku." Kepalaku
berputar sementara aku mencari-cari kara yang tepat. "Bingung."
Benar. Penjelasannya sungguh tidak masuk akal bagiku.
Edward menatap
mataku dalam-dalam dengan tatapannya Kang tulus dan bersungguh-sungguh.
"Aku
pembohong besar, Bella, aku harus jadi pembohong besar begitu.”
Aku mengejang,
otot-ototku mengunci seolah bersiap
menahan benturan. Otot dadaku mengejang,
sakitnya luar biasa. Edward mengguncang
bahuku, berusaha melenturkan posturku
yang kaku. "Dengarkan kata-kataku
sampai selesai! Aku ini pembohong
besar, tapi
kau juga terlalu cepat percaya padaku."
Edward
meringis. "Itu. sangat menyakitkan." Aku menunggu, masih kaku.
"Saat
kita di hutan, waktu aku mengucapkan selamat tinggal—"
Aku tidak
mengizinkan diriku mengingat kenangan buruk itu. Aku berusaha keras tetap berada
di masa sekarang saja.
"Waktu
itu kau tidak mau melepaskan aku," bisiknya. "Aku bisa melihatnya.
Aku tidak ingin melakukannya—sungguh sangat menyakitkan bagiku melakukannya—tapi
aku tahu kalau aku tidak bisa meyakinkanmu bahwa aku tidak mencintaimu lagi, pasti
baru lama sekali kau bisa kembali menjalani hidup. Aku berharap, bila kau mengira
aku sudah tidak mencintaimu lagi, maka kau pun akan melakukan hal yang
sama."
"Perpisahan
seketika," bisikku dari sela-sela bibir yang tak bergerak.
"Tepat
sekali. Tapi aku tak pernah membayangkan ternyata mudah saja
membohongimu! Kusangka
itu mustahil dilakukan bahwa kau akan sangat meyakini hal yang sebenarnya sehingga
aku harus berbohong dulu mati-matian sebelum aku bisa menanamkan sedikit saja
benih keraguan dalam pikiranmu. Aku bohong, dan aku sangat menyesal—menyesal karena
menyakitimu, menyesal karena itu upaya yang sia-sia. Menyesal karena aku tidak
bisa melindungimu dari diriku yang sebenarnya. Aku berbohong untuk
menyelamatkanmu, tapi ternyata
tidak
berhasil. Maafkan aku.
"Tapi
bagaimana bisa kau malah percaya padaku?
Padahal sudah ribuan kali aku menyatakan
cintaku padamu, bagaimana kau bisa
membiarkan
satu kata saja menghancurkan kepercayaanmu padaku?"
Aku tidak
menjawab. Aku terlalu shock untuk
bisa membentuk respons yang rasional.
"Aku bisa
melihatnya di matamu, kau sejujurnya percaya aku tidak menginginkanmu lagi.
Konsep yang paling absurd dan konyol—seolah-olah aku bisa bertahan tanpa
membutuhkanmu!"
Aku masih
kaku. Kata-katanya tidak kumengerti, karena tidak masuk akal. Edward
mengguncang bahuku lagi, tidak keraskeras, tapi cukup membuat gigiku gemeletuk sedikit.
"Bella,"
desahnya. "Sungguh, apa yang ada dalam pikiranmu waktu itu!"
Dan tangisku
pun pecah. Air mata menggenang dan kemudian mengalir deras di kedua pipiku.
"Sudah
kukira," isakku. "Sudah kukira aku pasti bermimpi."
"Keterlaluan
benar kau ini," sergah Edward, lalu tertawa-tawanya keras dan frustrasi.
"Bagaimana caranya aku menjelaskan supaya kau mau percaya padaku? Kau tidak
sedang tidur, dan kau belum mati. Aku ada di sini, dan aku cinta padamu. Aku selalu
mencintaimu, dan akari selalu mencintaimu. Aku memikirkanmu, melihat wajahmu
dalam pikiranku, setiap detik selama kita berpisah. Waktu kubilang aku tidak
menginginkanmu lagi, bisa dibilang itu semacam sumpah palsu yang
paling
konyol."
Aku menggeleng
sementara air mata terus menetes dari sudut-sudut mataku.
''Kau tidak percaya
padaku, kan?” bisiknya, wajahnya yang pucat sekarang lebih pucat daripada
biasanya – aku bisa melihatnya bahkan di bawah cahaya lampu remang-remang.
“Mengapa kau malah percaya pada kebohongan, dan bukan kebenaran?”
"Memang
tidak pernah masuk akal bahwa kau mencintaiku," aku menjelaskan suaraku
tercekat. "Sejak dulu aku tahu itu.” Mata Edward menyipit, dagunya
mengeras.
"Akan
kubuktikan bahwa kau sudah bangun," janjinya. Ia merengkuh wajahku di
antara kedua tangannya yang sekeras besi, tak menggubris
pemberontakanku
saat aku berusaha memalingkan wajah.
"Kumohon,
jangan," bisikku. Edward berhenti, bibirnya hanya beberapa
sentimeter
dari bibirku.
"Mengapa
tidak?" tuntutnya. Napasnya berembus di wajahku, membuat kepalaku berputar.
"Kalau
nanti aku terbangun"—Edward membuka mulut untuk protes, maka aku pun
buru-buru mengoreksi—"oke, lupakan itu—kalau kau pergi lagi nanti, tanpa
ini pun keadaan sudah cukup sulit."
Edward mundur
sedikit, menatap wajahku.
"Kemarin,
ketika aku hendak menyentuhmu, kau sangat. ragu-ragu, begitu hati-hati, tapi
tetap sama. Aku ingin tahu mengapa. Apakah karena aku terlambat? Karena aku
terlalu menyakiti hatimu? Karena kau sudah mencintai orang lain, seperti yang
kumaksudkan bagimu? Kalau
memang begitu,
itu. cukup adil. Aku tidak akan mencela keputusanmu. Jadi, tidak usah mencoba menjaga
perasaanku, please—ceritakan
saja
padaku sekarang
apakah kau masih mencintaiku atau aduk setelah semua yang kulakukan padamu. Bisakah
kau?" bisik Edward.
"Pertanyaan
idiot macam apa itu?"
"Jawab
saja. Please."
Lama sekali
kutatap Edward dengan tajam. "Perasaanku terhadapmu takkan pernah berubah.
Tentu saja aku cinta padamu—dan itu tak bisa
diganggu gugat
lagi!"
"Hanya
itu yang perlu kudengar."
Lalu bibir
Edward menempel di bibirku, dan aku tak mampu melawannya. Bukan karena ia
ribuan kali lebih kuat daripada aku, tapi karena pertahanan diriku langsung
ambruk begitu bibir kami bertemu. Ciuman kali ini tidak sehati-hati ciuman lain
yang bisa kuingat, tapi itu bukan masalah. Kalau memang aku akan menghancurkan diriku
lebih jauh lagi, maka lebih baik sekalian saja. Maka aku pun membalas
ciumannya, jantungku berdebar-debar tidak berirama saat napasku
memburu dan
jari-jariku membelai wajahnya dengan rakus. Aku bisa merasakan tubuhnya yang sekeras
marmer menempel di setiap lekuk
tubuhku, dan
aku sangat gembira ia tidak mendengarkan aku—tak ada kepedihan di dunia yang
dapat membenarkan kehilangan cinta ini.
Tangan Edward meraba
wajahku, sama seperti tanganku meraba wajahnya, dan saat bibir kami terpisah
sejenak beberapa detik, ia membisikkan namaku.
Ketika
kepalaku mulai terasa pusing, Edward menarik tubuhnya, tapi menempelkan
telinganya di dadaku. Aku berbaring di sana, nanar, menunggu napasku tenang
kembali.
"Omong-omong;
kata Edward dengan nada biasa-biasa saja. “Aku tidak akan meninggalkanmu."
Aku tidak
mengatakan apa-apa, dan Edward sepertinya bisa mendengar nada skeptis dalam diamku.
Ia mengangkat wajahnya dan menatapku lekatlekat.
"Aku
tidak akan pergi ke mana-mana. Tidak tanpa kau," ia menambahkan dengan
nada lebih serius. "Dulu aku meninggalkanmu karena ingin kau punya kesempatan
untuk menjalani hidup yang normal dan bahagia sebagai manusia. Aku bisa melihat
akibatnya bila kau terus bersamaku—membuatmu terus-menerus dalam bahaya, merenggutmu
dari duniamu, mempertaruhkan nyawamu setiap kali aku bersamamu. Jadi aku harus
berusaha. Aku harus melakukan sesuatu, dan tampaknya, pergi adalah satu-satunya
jalan. Kalau aku tidak beranggapan kau akan lebih baik, aku tidak akan pernah
pergi. Aku terlalu egois. Hanya kau yang lebih penting daripada apa yang
kuinginkan yang kubutuhkan. Apa yang kuinginkan dan kubutuhkan adalah
bersamamu, dan aku tahu aku tidak akan pernah cukup kuat
meninggalkanmu
lagi. Terlalu banyak alasan untuk tinggal—syukurlah! Sepertinya kau tidak bisa aman,
tak peduli betapa pun jauhnya jarak di
antara
kita."
"Jangan
janjikan apa-apa," bisikku. Kalau aku membiarkan diriku berharap, tapi
ternyata harapanku kosong. itu akan membunuhku.
Seandainya semua
vampir yang tak kenal belas kasihan itu tak sanggup menghabisiku, kehilangan harapan
pasti bisa melakukannya. Bola mata Edward yang hitam berkilat marah.
"Jadi kau
– pikir aku bohong sekarang?"
“Tidak—tidak bohong."
Aku menggeleng, berusaha berpikir jernih. Mempelajari hipotesis bahwa ia memang
mencintaiku, namun tetap
berpikir
objektif dan klinis, sehingga aku tidak akan jatuh dalam perangkap harapan.
"Kau memang bersungguh-sungguh. sekarang. Tapi bagaimana dengan besok,
kalau kau memikirkan kembali semua alasan mengapa kau meninggalkanku dulu? Atau
bulan depan, kalau
Jasper lepas
kendali lagi terhadapku?"
Edward
tersentak. Ingatanku melayang ke hari-hari terakhir hidupku sebelum Edward
meninggalkanku, berusaha melihatnya melalui saringan apa yang dikatakannya
padaku sekarang. Dari sudut
pandang itu,
membayangkan bahwa ia meninggalkanku saat masih mencintaiku, meninggalkanku
demi aku, aku jadi mengerti sikapnya yang dingin dan menjauhiku. "Kau toh tidak
melakukannya tanpa memikirkannya masakmasak lebih dulu, kan?" tebakku.
"Nanti pun kau
akan melakukan
apa yang kauanggap benar."
"Aku tidak
setegar yang kaukira," sergah Edward. "Benar atau salah tidak lagi
berarti banyak buatku; aku akan tetap kembali. Sebelum
Rosalie
mengabarkan berita itu padaku, aku sudah tidak lagi berusaha menjalani hidup
seminggu demi seminggu, atau bahkan sehari demi sehari. Aku berjuang untuk bisa
bertahan hidup dari satu jam ke satu jam berikutnya. Hanya soal waktu saja—dan
tidak lama lagi sebenarnya—aku akan muncul lagi di depan jendelamu dan memohon
agar kau mau
menerimaku kembali. Aku tidak keberatan memohon sekarang, kalau memang itu maumu."
Aku meringis.
"Kumohon, seriuslah.”
"Oh, aku
serius kok," tegas Edward, sikapnya garang sekarang. "Bisakah kau
mencoba mendengarkan apa yang akan kukatakan padamu? Maukah kau memberiku
kesempatan menjelaskan apa artinya kau bagiku?”
Edward menunggu,
mengamati wajahku saat ia berbicara untuk memastikan aku benar-benar mendengarkan.
"Sebelum
kau. Bella, hidupku bagaikan malam tanpa
bulan. Gelap pekat, tapi bintang-bintang—titik-titik cahaya dan alasan.
Kemudian kau
melintasi
langitku bagaikan meteor. Tiba-tiba saja semua seperti terbakar; ada
kegemerlapan, ada keindahan. Setelah kau tidak ada, setelah meteor tadi lenyap
di batas cakrawala, semuanya hitam
kembali. Tidak
ada yang berubah, tapi mataku sudah dibutakan oleh cahaya terang tadi. Aku tidak
bisa lagi melihat bintang-bintang. Jadi tidak ada alasan lagi untuk apa pun
juga.”
Aku ingin
memercayainya. Tapi ini hidupku tanpa dia yang Edward lukiskan, bukan sebaliknya.
"Matamu
akan menyesuaikan diri lagi," gumamku.
"Itulah
masalahnya—tidak bisa."
"Bagaimana
dengan hal-hal yang bisa mengalihkan pikiranmu?"
Edward tertawa
tanpa emosi. "Itu hanya bagian dari kebohonganku, Sayang. Tidak ada yang
bisa mengalihkan pikiran dari. dari penderitaan.
Jantungku sudah
hampir sembilan puluh tahun tak lagi berdetak, tapi ini berbeda. Rasanya seakan-akan
jantung hatiku hilang—seolah-olah
rongga dadaku
kosong. Seakan-akan, segala sesuatu dalam diriku kutinggalkan di sini bersamamu."
"Lucu,"
gumamku.
Edward mengangkat
sebelah alisnya yang sempurna itu. "Lucu?"
Maksudku aneh—kukira
hanya aku yang merasa seperti itu. Banyak sekali bagian diriku yang hilang juga.
Sudah lama sekali aku tak pernah benarbenar bisa bernapas." Kuisi
paru-paruku dengan udara, menikmati sensasinya. "Dan jantungku. Jelas-jelas
sudah hilang."
Edward memejamkan
mata dan menempelkan telinganya dadaku lagi. Kubiarkan pipiku menempel di
rambutnya, merasakan teksturnya di kulitku, menghirup aroma wangi tubuhnya. "Kalau
begitu, melacak tidak bisa mengalihkan pikiran?" tanyaku, ingin tahu,
sekaligus ingin mengalihkan pikiranku sendiri. Aku sudah nyaris berharap lagi.
Aku tidak akan mampu menghentikan diri terlalu lama. Jantungku
berdetak,
menyanyi di dadaku.
"Tidak."
Edward mendesah. "Itu tidak pernah menjadi sesuatu yang dilakukan untuk mengalihkan
pikiran. Itu kewajiban."
"Apa
maksudmu?"
"Maksudnya,
walaupun aku tidak pernah mengharapkan akan muncul bahaya dari Victoria, aku
tidak akan membiarkannya lolos begitu saja
setelah. Well, seperti kataku tadi, aku payah dalam
hal itu. Aku berhasil melacaknya sampai jauh ke Texas, tapi kemudian aku
mengikuti
petunjuk palsu
sampai ke Brazil—padahal sebenarnya dia malah datang ke sini." Edward mengerang.
"Aku bahkan tidak berada di benua
yang benar!
Dan sementara itu, lebih buruk daripada ketakutanku yang paling buruk—"
"Kau
memburu Victoria?" aku setengah memekik begitu bisa menemukan suaraku,
melesat naik dua oktaf.
Dengkur Charlie
di kejauhan terhenti, dan sejurus kemudian mulai lagi dengan berirama.
"Tidak
berhasil," jawab Edward, mengamati ekspresi garangku dengan mimik bingung.
"Tapi pasti bisa lebih baik lain kali. Dia tidak akan
menodai udara
yang segar ini dengan menari napas dan mengembuskannya lebih lama lagi.”
"Itu.
tidak bisa," akhirnya aku bisa juga bersuara. Gila. Walaupun dibantu
Emmett atau Jasper sekalipun. Ini lebih buruk daripada
bayanganku
yang lain: Jacob Black berdiri berhadap-hadapan dengan sosok Victoria yang kejam
dan buas. Aku tak sanggup membayangkan
Edward di sana,
walaupun ia jauh lebih bisa bertahan daripada sahabatku yang setengah manusia
itu.
"Sudah
terlambat baginya. Aku mungkin masih bisa mengabaikan kejadian waktu itu, tapi
tidak sekarang, setelah—" Aku menyelanya lagi, berusaha memperdengarkan
nada tenang. "Bukankah kau baru saja berjanji tidak akan meninggalkan
aku?" tanyaku, melawan kata-kata yang kuucapkan, tidak mengizinkannya
tertanam di hatiku. "Janji
itu tidak
sejalan dengan ekspedisi pelacakan yang memakan waktu lama, bukan?”
Kening Edward
berkerut. Geraman pelan terdengar dari dadanya. "Aku akan menepati janjiku,
Bella. Tapi Victoria—" geraman itu semakin
jelas terdengar—"harus
mati. Segera." "Tak usah tergesa-gesa," ujarku, berusaha menyembunyikan
kepanikanku. "Mungkin dia tidak akan kembali. Gerombolan Jake mungkin berhasil
membuatnya kabur ketakutan. Sungguh tidak ada alasan untuk tetap mencarinya.
Selain
itu, aku punya
masalah lain yang lebih besar ketimbang Victoria."
Mata Edward
menyipit, tapi ia mengangguk.
"Memang
benar. Masalah werewolf memang
masalah besar."
Aku mendengus.
"Yang kumaksud bukan Jacob. Masalahku jauh lebih parah daripada segerombolan
serigala remaja yang berbuat onar."
Kelihatannya
Edward ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengurungkannya. Giginya terkatup
dengan suara berdetak, dan ia berbicara di sela-selanya. "Benarkah?"
tanyanya. “Kalau begitu, apa masalah terbesarmu? Masalah yang membuat kembalinya
Victoria mencarimu terasa bagaikan persoalan
sepele bila dibandingkan
dengannya?"
"Bagaimana
kalau yang kedua terberat?" elakku.
"Baiklah,"
Edward setuju, curiga. Aku terdiam. Aku tidak yakin bisa menyebutkan namanya.
“Ada pihak-pihak lain yang akan datang
mencariku,"
aku mengingatkannya dengan bisikan pelan.
Edward mendesah,
tapi reaksinya tidak sekuat yang kubayangkan, apalagi bila dibandingkan dengan
responsnya terhadap Victoria tadi.
"Jadi keluarga
Volturi hanya yang kedua terberat?"
"Sepertinya
kau tidak kalut mendengarnya," komentarku.
"Well, kita punya banyak waktu untuk memikirkannya
masak-masak. Bagi mereka waktu artinya sangat jauh berbeda denganmu, atau bahkan
aku. Mereka menghitung tahun seperti kau menghitung hari. Aku tidak heran bila
kau sudah berumur tiga puluh tahun baru mereka teringat lagi padamu,"
imbuh Edward enteng. Kengerian melandaku.
Tiga puluh
tahun.
Kalau begitu,
janji-janji Edward tidak berarti apa-apa, pada akhirnya. Bila suatu hari nanti
aku akan mencapai umur tiga puluh tahun, berarti Edward tidak mungkin berencana
tinggal lama. Kepedihan mengetahui hal itu membuatku sadar bahwa aku mulai
berharap, tanpa mengizinkan
diriku
melakukannya.
"Kau
tidak perlu takut," ujar Edward, cemas saat melihat air mataku mulai
merebak lagi. “Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu."
"Selama
kau ada di sini." Bukan berarti aku peduli apa yang terjadi pada diriku
setelah ia pergi. Edward merengkuh wajahku dengan kedua tangannya yang sekeras
batu, memegangnya eraterat sementara matanya yang sekelam malam menatap mataku
lekat-lekat dengan daya gravitasi yang menyerupai lubang hitam.
"Tapi
kauhilang tadi tiga puluh!” bisikku. Air mata merembes keluar dari sudut mata.
"Jadi apa? Kau akan tinggal, tapi membiarkan aku menjadi
tua? Yang
benar saja."
Sorot mata
Edward melembut, sementara mulutnya mengeras. "Tepat seperti itulah yangakan
kulakukan. Pilihan apa lagi yang kupunya?
Aku tidak bisa
hidup tanpa kau, tapi aku tidak mau menghancurkan jiwamu."
“Apakah itu
sungguh-sungguh karena." Aku berusaha menjaga suaraku tetap datar, tapi pertanyaan
ini terlalu sulit untuk dilontarkan. Aku ingat bagaimana ekspresi Edward waktu
Aro nyaris memohon padanya untuk mempertimbangkan ide membuatku abadi. Ekspresi
muak itu. Apakah
kengototan Edward
untuk tetap mempertahankan aku sebagai manusia sungguh-sungguh karena jiwaku,
atau karena ia tak yakin dirinya menginginkan aku bersamanya sebegitu lama?
“Ya?"
tanya Edward, menunggu pertanyaanku. Aku malah mengajukan pertanyaan lain.
Hampir— tapi tidak persis—sama susahnya.
"Tapi
bagaimana kalau nanti aku sudah tua sekali dan orang-orang mengira aku ibumu? Nenekmu?"
Suaraku pucat oleh perasaan jijik—aku
bisa melihat
wajah Gran lagi dalam mimpiku tentang bayangan dalam cermin waktu itu. Seluruh
wajah Edward melembut sekarang. Ia mengusap air mata dari pipiku dengan
bibirnya.
"Itu
tidak penting bagiku," embusan napasnya menerpa kulitku. "Kau akan
selalu menjadi orang yang paling cantik bagiku. Tentu saja." Edward ragu-ragu,
sedikit tersentak. "Kalau kau menjadi lebih tua daripada aku – kalau kau
menginginkan sesuatu yang lebih – aku bisa memahaminya, Bella. Aku berjanji
tidak akan menghalangimu kalau kau ingin meninggalkan aku."
Mata Edward
tampak bagaikan batu akik cair dan benar-benar tulus. Ia berbicara seolah-olah telah
memikirkan rencana tolol ini masak-masak.
"Kau
tentunya sadar suatu saat nanti aku akan mati, bukan?" desakku.
Edward juga
sudah memikirkan hal itu. "Aku akan menyusulmu secepat aku bisa."
"Ini
benar-benar." Aku mencari kata yang tepat. "Gila."
"Bella, hanya
itu satu-satunya cara yang tertinggal—"
"Mari
kita mundur dulu sejenak," tukasku; merasa marah membuatku jauh lebih
mudah untuk berpikir jernih dan tegas. "Kau pasti masih
ingat pada
keluarga Volturi, kan? Aku tidak bisa tetap menjadi manusia selamanya. Mereka
akan membunuhku. Walaupun seandainya mereka tidak memikirkan aku sampai aku
berumur tiga puluh tahun"—aku mendesiskan kalimat itu—"apa kau benar-benar
mengira mereka bakal lupa?"
"Tidak,"
jawab Edward lambat-lambat, menggelengkan kepala. "Mereka tidak akan lupa.
Tapi."
"Tapi?"
Edward
menyeringai sementara aku menatapnya kecut. Mungkin bukan aku satu-satunya yang
sinting di sini. "Aku punya beberapa rencana."
"Dan
rencana-rencana itu," tukasku, suaraku semakin masam dalam setiap katanya.
"Rencanarencana
itu pasti berpusat padaku yang tetap menjadi manusia.”
Sikapku membuat ekspresi Edward mengeras
"Itu
sudah jelas." Nadanya kasar, wajahnya yang bak malaikat itu arogan. Kami
bertatapan garang beberapa saat.
Kemudian aku
menarik napas dalam-dalam, menegakkan bahu, dan mendorong lengan Edward jauh-jauh
supaya bisa duduk tegak.
"Kau
ingin aku pergi?" tanya Edward, dan hatiku terasa nyeri melihat bagaimana
pemikiran itu menyakiti hatinya, meski ia berusaha tidak
menunjukkannya.
"Tidak."
jawabku. "Aku yang akan pergi."
"Boleh aku
bertanya kau akan ke mana?" tanyanya.
"Aku akan
pergi ke rumahmu," jawabku, masih menggapai-gapai tanpa melihat.
Edward berdiri
dan menghampiriku. "Ini sepatumu. Kau akan naik apa ke sana?"
"Trukku."
“Suaranya
mungkin akan membuat Charlie terbangun," kata Edward sebagai upaya untuk membuatku
mengurungkan niat.
Aku mendesah.
“Aku tahu. Tapi jujur saja, sekarang pun aku pasti akan dihukum tidak boleh keluar
rumah beberapa minggu. Jadi mumpung
sudah basah,
kecebur saja sekalian."
"Itu
tidak benar Charlie pasti akan menyalahkan aku, bukan kau."
"Kalau
punya ide lain yang lebih baik, katakan saja."
“Tetaplah di sini."
Edward menyarankan, tapi ekspresinya tidak berharap.
“Jangan harap.
Tapi silakan saja kalau kau mau tetap di sini. Anggap saja di rumah
sendiri," dorongku, kaget sendiri mendengar betapa
wajarnya
caraku menyindir, lalu bergegas menuju pintu. Tiba-tiba saja Edward sudah
berdiri di hadapanku, menghalangi jalan. Aku mengerutkan kening, dan berbalik
menuju jendela. Tidak terlalu tinggi kok dari tanah, dan di bawah sebagian
besar berupa rerumputan.
"Oke,"
desah Edward. "Aku akan membopongmu."
Aku mengangkat
bahu. "Terserah. Tapi mungkin sebaiknya kau juga berada di sana."
"Mengapa
begitu?"
"Karena
kalau kau sudah punya pendapat, sulit sekali mengubah pendapatmu. Jadi aku
yakin kau pasti ingin mendapat kesempatan mengutarakan pandangan-pandanganmu."
"Pandangan-pandanganku
mengenai apa?" tanya Edward dari sela-sela rahangnya yang terkatup rapat.
"Ini
bukan lagi hanya mengenai kau. Kau bukan pusat semesta alam, tahu." Kalau
pusat semesta alam pribadiku, tentu saja, adalah cerita lain. "Kalau kau
akan membuat keluarga Volturi mendatangi kita hanya gara-gara hal tolol seperti
mempertahankan aku sebagai manusia, maka
keluargamu
perlu didengar juga pendapatnya."
"Pendapat
mereka mengenai apa?" tanya Edward, setiap kata diucapkan dengan jelas.
"Ketidakabadianku.
Aku akan melakukan voting untuk menentukannya."
0 komentar:
Post a Comment