Baca Online New Moon part 13
13.
PEMBUNUH
KALAU saja itu orang lain dan bukan Jacob,
pikirku pada diri sendiri, menggeleng-gelengkan kepala saat melaju melintasi
jalan raya yang
membelah hutan
menuju La Push. Aku masih belum yakin aku melakukan hal yang benar, tapi aku
sudah berkompromi dengan diriku
sendiri. Aku
tak bisa memaafkan apa yang Jacob dan teman-temannya, kawanannya, lakukan.
Sekarang aku mengerti maksud perkataannya semalam—bahwa aku mungkin tidak ingin
menemuinya lagi—dan bahwa aku bisa meneleponnya seperti yang ia usulkan, tapi
rasanya itu pengecut. Setidaknya, aku harus bicara empat mata dengannya. Akan
kukatakan dengan
tegas padanya bahwa aku tak mungkin mengabaikan apa yang sedang terjadi. Aku
tak mungkin berteman dengan pembunuh
tanpa
mengatakan apa-apa, membiarkan pembunuhan itu terus berlanjut. Itu berarti aku sama
jahatnya dengan mereka.
Tapi aku tak
bisa tidak mengingatkan
dia juga. Aku harus berbuat sebisaku untuk melindunginya. Kuhentikan trukku di
depan rumah keluarga Black dengan bibir terkatup rapat. Cukup sudah
keterkejutanku
menghadapi kenyataan sahabatku werewolf.
Haruskah ia menjadi monster juga? Rumah itu gelap gulita, tak tampak cahaya
lampu di
jendela-jendelanya, tapi aku tak peduli kalaupun aku membangunkan mereka.
Tinjuku menggedor-gedor pintu depan dengan marah; gedorannya mengguncang
dinding-dinding.
"Silakan
masuk,” kudengar Billy berseru sejurus kemudian, dan sebuah lampu menyala. Kuputar
kenop pintu; ternyata tidak terkunci. Billy bersandar di pintu dekat dapur yang
kecil, di bahunya tersampir mantel mandi, ia belum duduk di kursi rodanya. Begitu
melihat siapa yang datang matanya melebar sedikit, kemudian wajahnya berubah
kaku.
"Well, selamat pagi, Bella. Mengapa
kau datang pagi-pagi buta
begini?"
"Hai,
Billy. Aku perlu bicara dengan Jake—di mana dia?"
"Ehm.
kurang tahu ya," dusta Billy, wajahnya tetap datar.
"Tahukah
kau apa yang dilakukan Charlie pagi ini?" tuntutku, muak melihatnya
mengulur-ulur waktu.
"Haruskah
aku tahu?"
"Dia dan
setengah isi kota turun ke hutan membawa senapan, memburu serigala-serigala raksasa."
Ekspresi Billy
berubah, tapi kemudian datar lagi.
"Jadi aku
ingin bicara dengan Jake mengenai hal itu. kalau kau tidak keberatan,"
lanjutku.
Billy mengerucutkan
bibirnya yang tebal. "Aku berani bertaruh Jake pasti masih tidur,"
kata Billy akhirnya, mengangguk ke lorong kecil di sebelah
kamar depan.
"Belakangan dia sering pulang larut malam. Anak itu buruh
istirahat—mungkin sebaiknya kau tidak membangunkan dia.”
"Sekarang
giliranku," gumamku pelan sambil berjalan menuju lorong. Billy mendesah. Kamar
Jacob yang kecil, yang sebenarnya lebih
mirip ruang
penyimpanan baju, adalah satusatunya pintu di lorong yang panjangnya tak sampai
satu meter. Aku tidak repot-repot mengetuk. Aku langsung membuka pintunya; pintu
itu membentur dinding dengan suara keras.
Jacob—masih
mengenakan celana olahraga hitam yang dipotong pendek seperti semalam—berbaring
diagonal di ranjang dobel yang mengisi seluruh ruangan dan hanya menyisakan
beberapa sentimeter saja di sisi-sisinya. Bahkan dalam posisi miring tempat tidur
itu masih kurang panjang; kaki Jacob tergantung di satu sisi dan kepalanya di
sisi lain. Ia tidur
nyenyak, mendengkur pelan dengan mulut terbuka. Bahkan suara pintu membentur
dinding tidak membuatnya tersentak.
Wajahnya damai
dalam tidur yang nyenyak, semua garis-garis amarah lenyap. Ada lingkaran di bawah
mata yang tidak kusadari sebelumnya.
Meski ukuran
tubuhnya sangat besar, ia kini tampak sangat muda, dan sangat letih. Perasaan iba
mengguncang hatiku.
Aku keluar
lagi dan menutup pintu dengan suara pelan. Billy memandangiku dengan sorot
ingin tahu dan waspada saat aku berjalan lambat-lambat kembali ke ruang depan.
"Sebaiknya
kubiarkan saja dia tidur sebentar."
Billy
mengangguk, kemudian kami berpandangan beberapa saat. Aku ingin sekali menanyakan
apa pendapat Billy tentang hal ini. Apa pendapatnya tentang perubahan yang
dialami putranya? Tapi aku tahu ia mendukung Sam sejak awal, jadi Kupikir
pembunuhan-pembunuhan itu pasti tidak berarti apa-apa baginya. Bagaimana ia membenarkan
hal ku pada dirinya sendiri, aku tak bisa membayangkan. Aku juga melihat banyak
pertanyaan berkecamuk di matanya yang gelap, tapi ia juga
tidak
menyuarakannya.
"Begini
saja," kataku, memecah keheningan yang sangat terasa. “Aku akan pergi ke
pantai sebentar. Kalau dia bangun, tolong katakan padanya aku menunggunya,
oke?"
"Tentu,
tentu," Billy menyanggupi.
Aku ragu
apakah Billy benar-benar akan menyampaikan pesanku. Well, kalaupun tidak, aku sudah
berusaha, kan? Aku mengendarai trukku ke First Beach dan memarkirnya di
lapangan tanah yang kosong. Hari
masih gelap—subuh
muram menjelang pagi yang berawan—dan waktu mematikan lampu truk aku nyaris tak
bisa melihat apa-apa. Aku harus
membiasakan
mataku dulu sebelum bisa menemukan jalan setapak yang membelah ilalang tinggi.
Udara di sini lebih dingin, angin bertiup
menerpa air
yang hitam, dan kujejalkan kedua tanganku dalam-dalam ke saku jaket musim dinginku.
Setidaknya hujan sudah berhenti.
Aku berjalan
menyusuri tepi pantai ke arah tembok laut sebelah utara. Tidak tampak Pulau St.
James maupun pulau-pulau lain, hanya
bentuk, bentuk
samar nun jauh di sana. Aku berjalan hatihati
meniti karang,
mewaspadai driftwood yang
mungkin bisa membuatku tersandung. Aku menemukan apa yang kucari sebelum menyadari
aku mencarinya. Benda itu muncul dari kegelapan setelah jaraknya hanya tinggal
beberapa meter: sebatang driftwood panjang
seputih tulang
yang terdampar
jauh ke karang. Akar-akarnya terpilin ke atas dan mengarah ke lautan, bagaikan ratusan
tentakel rapuh. Aku tak yakin apakah itu pohon yang sama tempat Jacob dan aku
mengobrol
untuk pertama
kalinya—obrolan yang mengawali begitu banyak benang kusut dalam hidupku—tapi sepertinya
lokasinya sama. Aku duduk di tempatku duduk dulu, dan memandang lautan yang tak
kelihatan.
Melihat Jacob
seperti itu—lugu dan rapuh dalam tidurnya—telah mengenyahkan semua perasaan jijikku,
melenyapkan semua amarahku. Aku masih tetap tak bisa menutup mata pada apa yang
terjadi, seperti yang tampaknya dilakukan Billy tapi aku juga tak bisa
menghakimi Jacob atas perbuatannya itu. Itulah yang namanya sayang.
Saat kau
menyayangi seseorang mustahil bersikap logis mengenai mereka. Jacob tetap
temanku, terlepas dari apakah ia membunuh orang atau tidak. Dan aku tak tahu
harus bagaimana menghadapi hal itu.
Saat membayangkan
Jacob tidur begitu damai, aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk melindunginya. Sungguh tidak
logis.
Logis atau tidak
aku terus saja membayangkan wajahnya yang damai, berusaha menemukan jawaban,
mencari cara untuk melindunginya,
sementara langit
perlahan-lahan berubah warna menjadi kelabu.
"Hai,
Bella."
Suara Jacob
datang dari kegelapan dan membuatku kaget. Suaranya lirih, nyaris malumalu, tapi
karena aku mengira bakal mendengar
kedatangannya
dari suara batu-batu yang terinjak, tetap saja suara itu membuatku kaget.
Tampak olehku siluetnya membelakangi matahari terbit— kelihatannya besar
sekali.
"Jake?"
Jacob berdiri beberapa langkah jauhnya, bergerak-gerak gelisah.
“Kata Billy kau
datang mencariku—tidak butuh waktu lama, kan? Sudah kukira kau pasti bisa menebaknya."
"Yeah,
aku ingat ceritanya sekarang," bisikku. Lama tidak terdengar apa-apa dan,
walaupun masih terlalu gelap untuk bisa melihat jelas,
kulitku bagai
tergelitik seolah-olah mata Jacob mengamati wajahku lekat-lekat. Pastilah sudah
cukup terang bagi Jacob untuk melihat ekspresiku, karena waktu ia bicara lagi,
suaranya mendadak berubah sinis.
"Kau toh
bisa menelepon saja," sergahnya kasar.
Aku
mengangguk. "Memang." Jacob mulai mondar-mandir di atas bebatuan. Kalau
kubuka telingaku lebar-lebar, aku bisa mendengar suara langkah kakinya
menginjak bebatuan di balik debur ombak. Batu-batu berderak seperti kastanyet
di telingaku.
"Mengapa
kau datang?" tuntutnya, tak menghentikan langkah-langkahnya yang marah.
"Kupikir
lebih baik kita bertemu langsung."
Jacob
mendengus. "Oh, jauh lebih baik."
"Jacob,
aku harus memperingatkanmu—"
"Tentang
para polisi hutan dan pemburu? Jangan khawatir. Kami sudah tahu."
"Jangan
khawatir?" tuntutku tak percaya. "Jake, mereka membawa senapan!
Mereka juga memasang perangkap dan menawarkan hadiah
uang
dan—"
"Kami
bisa menjaga diri," geramnya, masih terus mondar-mandir. "Mereka
takkan bisa menangkap apa-apa. Mereka hanya membuat keadaan lebih sulit—sebentar
lagi mereka juga akan menghilang."
"Jake!"
desisku.
“Apa? Memang
kenyataannya begitu kok."
Wajahku pucat
saking jijiknya. "Bisa-bisanya kau. merasa seperti itu? Kau kenal
orang-orang ini. Charlie juga ikut!” Pikiran itu membuat
perutku mulas.
Langkah Jacob
langsung berhenti. "Apa lagi yang bisa kami lakukan?” semburnya. Matahari
mengubah awan-awan menjadi merah muda keperakan di atas kami. Aku bisa melihat
ekspresinya sekarang; wajahnya marah, frustrasi, merasa dikhianati.
“Bisakah kau.,
Well berusaha
untuk tidak menjadi. werewolf?”
aku menyarankan sambil berbisik. Jacob melontarkan kedua tangannya ke udara.
"Kayak
aku punya pilihan saja!" teriaknya. "Dan apa gunanya itu, kalau kau
justru khawatir orangorang akan menghilang?"
“Aku tidak
mengerti." Jacob menatapku garang, matanya menyipit dan
mulutnya
terpilin membentuk seringai. "Tahukah kau apa yang membuatku sangat
marah?”
Aku terkejut
melihat ekspresinya yang garang. Jacob sepertinya menunggu jawaban, maka aku pun
menggeleng.
"Kau ini
benar-benar munafik, Bella—lihat saja, kau duduk di sana, takut padaku! Apakah
itu adil?" Kedua tangannya gemetar oleh amarah.
"Munafik? Mengapa takut pada monster
berarti aku munafik?"
“Ugh!” erang
Jacob, menekankan tinjunya yang gemetar ke pelipis dan memejamkan mata
rapatrapat.
"Coba
dengar omonganmu sendiri!"
"Apa?"
Jacob berjalan
dua langkah mendekatiku, mencondongkan tubuh di atasku dan menatapku berapi-api.
"Well, aku menyesal
aku tidak bisa
menjadi
monster yang tepat untukmu,
Bella. Kurasa aku tidak sehebat si pengisap darah itu, bukan?''
Aku melompat
berdiri dan balas memandangnya dengan sorot berapi-api juga. "Tidak,
memang tidak!" teriakku. "Masalahnya bukan siapa kau, tolol, tapi apa
yang kaulakukan!"
"Apa artinya
itu?" raung Jacob, sekujur tubuhnya gemetar menahan marah. Aku kaget bukan
kepalang waktu mendadak terdengar suara Edward mewanti-wantiku.
"Berhati-hatilah,
Bella," suaranya yang selembut beledu mengingatkan. "Jangan paksa
dia. Kau harus menenangkannya."
Bahkan suara di
kepalaku bersikap tidak masuk akal hari ini.
Tapi aku tetap
menurutinya. Aku rela melakukan apa saja demi suara itu.
"Jacob,"
aku memohon, mengubah nada suaraku jadi lembut dan datar. "Apakah
benarbenar perlu membunuh orang, Jacob? Apakah tidak ada cara lain? Maksudku,
kalau vampir bisa mencari jalan lain untuk bertahan tanpa membunuh orang, masa
kalian tidak bisa mencobanya juga?"
Jacob tertegak
kaget, seolah-olah kata-kataku tadi menyetrum sekujur tubuhnya. Alisnya terangkat
dan matanya membelalak lebar.
"Membunuh
orang?" tuntutnya.
"Memangnya
kaupikir kita sedang membicarakan apa?"
Tubuh Jacob sudah
tidak gemetar lagi. Kini ia menatapku dengan sikap tak percaya bercampur harap-harap
cemas. "Kusangka kita sedang
berbicara tentang
perasaan jijikmu terhadap werewolf!”
"Tidak,
Jake, bukan. Masalahnya bukan karena kau. werewolf.
Itu bukan masalah,” aku berjanji padanya, dan aku tahu saat mengucapkan
katakata itu bahwa aku bersungguh-sungguh. Aku benar-benar tak peduli bila ia
berubah menjadi werewolf—dia
tetap Jacob. "Kalau kau bisa mencari jalan untuk tidak melukai orang-orang.
hanya itu yang aku tidak suka Mereka tidak berdosa Jake, orang-orang seperti
Charlie, dan aku tak mungkin menutup mata sementara kau—"
"Hanya
itu? Sungguh?” Jacob menyela katakataku, senyumnya merekah. “Kau takut karena aku
ini pembunuh? Hanya itu alasanmu?"
"Apakah
itu belum cukup?" Tawa Jacob meledak.
"Jacob
Black, ini sangat tidak lucu!"
"Memang,
memang," Jacob sependapat, masih terus terbahak bahak.
Ia melangkah lebar-lebar
dan meraup tubuhku, memelukku erat-erat.
"Kau benar-benar
sungguh-sungguh, tidak keberatan kalau aku bermetamorfosis menjadi anjing
raksasa?" tanyanya, suaranya terdengar bahagia di telingaku.
"Tidak,"
aku terkesiap. "Tidak—bisa—napas—Jake!"
Jacob melepaskan
pelukannya, tapi meraih kedua tanganku. "Aku bukan pembunuh, Bella." Kutatap
wajahnya dengan saksama, dan tampak jelas itu benar. Perasaan lega meliputiku.
"Sungguh?"
tanyaku.
"Sungguh,"
janji Jacob dengan sikap khidmat.
Kuangkat kedua
lenganku dan kupeluk dia. Mengingatkanku pada hari pertama kami menjajal motor—tapi
tubuhnya lebih besar sekarang, dan
aku merasa
lebih seperti kanak-kanak. Seperti waktu itu juga, ia membelai rambutku.
“Maaf aku
mengataimu munafik," Jacob meminta maaf.
"Maaf aku
mengataimu pembunuh." Jacob tertawa.
Sesuatu
melintas dalam pikiranku saat itu, dan aku melepas pelukanku supaya bisa
menatap wajahnya. Alisku bertaut cemas. "Bagaimana
dengan Sam?
Dan yang lain-lain?"
Jacob menggeleng,
tersenyum seakan-akan beban berat terangkat dari bahunya. "Tentu saja tidak.
Tidak ingatkah kau bagaimana kami
menyebut diri
kami?"
Ingatan itu
sangat jelas—itu baru terpikir olehku hari ini, "Pelindung?"
"Tepat."
"Tapi aku
tidak mengerti. Apa yang terjadi di hutan? Para hiker yang hilang, bercak darah?" Wajah
Jacob langsung berubah serius dan
khawatir.
"Kami berusaha melakukan tugas kami, Bella. Kami berusaha melindungi
mereka, tapi kami selalu sedikit terlambat."
"Melindungi
mereka dari apa? Jadi benar-benar ada beruang di luar sana?"
"Bella,
Sayang, kami hanya melindungi orangorang dari satu hal—dari satu-satunya musuh kami.
Itu sebabnya kami ada—karena mereka juga
ada." Kutatap
Jacob dengan pandangan kosong selama satu detik sebelum akhirnya mengerti. Darah
langsung surut dari wajahku dan pekikan pelan tanpa kata terlontar dari
bibirku. Jacob mengangguk. "Sudah kuduga kau pasti bisa menyadari apa yang
sebenarnya terjadi."
"Laurent,"
bisikku. "Dia masih di sana."
Jacob mengerjapkan
mata dua kali, dan menelengkan kepala ke satu sisi. "Siapa Laurent?"
Aku berusaha menyortir
berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalaku agar bisa menjawab. "Kau tahu—kau
melihatnya di padang rumput. Kau kan ada di sana." Kata-kata itu terlontar
dengan nada takjub saat semuanya jadi jelas. “Kau ada di sana, karena itu dia
tidak jadi membunuhku.”
“Oh si lintah
berambut hitam itu?" Jacob menyeringai, Seringaiannya kaku dan garang.
“Jadi itukah namanya?"
Aku bergidik.
“Nekat benar kau?” bisikku. "Dia bisa membunuhmu! Jake, tidak sadarkah kau
betapa berbahaya—"
Lagi-lagi Jacob
memotong perkataanku dengan tertawa. "Bella, satu vampir bukan masalah
besar bagi sekawanan werewolf sebesar
kami. Begitu mudahnya sampai malah tidak terasa asyik lagi!”
"Apanya
yang mudah?”
"Membunuh
si pengisap darah yang akan membunuhmu. Tapi itu bukan berarti kami bisa digolongkan
sebagai pembunuh," Jacob buru-buru menambahkan. "Vampir kan bukan
manusia."
Aku hanya
dapat menggerak-gerakkan mulut tanpa suara. "Kau. membunuh. Laurent?"
Jacob
mengangguk. “Well, kami
melakukannya bersama-sama," ia membenarkan.
“Jadi Laurent
sudah mati?" bisikku.
Ekspresinya
berubah. "Kau tidak marah, kan? Dia
kan akan membunuhmu—dia memang berniat membunuh,
Bella, kami yakin itu sebelum kami menyerang.
Kau juga tahu itu, kan?"
"Aku tahu
itu. Tidak, aku tidak marah—aku." Aku merasa harus duduk. Aku mundur goyah
selangkah sampai tungkaiku menyentuh driftwood,
lalu mengenyakkan
tubuhku di sana. "Laurent sudah mati. Dia tidak akan kembali mencariku."
"Kau tidak
marah, kan? Dia bukan temanmu atau bagaimana, kan?”
“Temanku?"
Aku mendongak menatapnya, bingung dan pusing saking leganya. Aku mulai mengoceh,
mataku basah. "Tidak, Jake. Aku malah
sangat. sangat
lega. Kusangka dia akan menemukanku—setiap malam aku ketakutan menunggunya datang,
berharap dia cukup puas denganku dan tidak mengganggu Charlie. Aku sangat
ketakutan, Jacob. Tapi bagaimana? Dia kan vampir! Bagaimana kalian bisa membunuhnya?
Dia kan sangat kuat, sangat keras, seperti marmer."
Jacob duduk di
sebelahku, lengannya yang besar merengkuhku dengan sikap menenangkan.
"Karena
itulah kami diciptakan, Bells. Kami juga kuat. Kalau saja kau memberi tahuku
bahwa kau sangat ketakutan. Kau tak perlu takut."
"Kau kan
tidak ada," gumamku, pikiranku menerawang.
"Oh,
benar."
"Tunggu,
Jake—tapi kusangka kau sudah tahu. Semalam katamu tidak aman jika kau berada di
kamarku. Kusangka itu karena kau tahu ada
vampir yang
akan datang. Itu kan yang maksudmu?"
Jacob tampak
bingung sebentar, kemudian menunduk. "Tidak, bukan itu maksudku."
"Kalau
begitu kenapa menurutmu tidak aman bila
kau berada di kamarku?"
Jacob
menatapku dengan mata penuh penyesalan. "Maksudku bukannya tidak aman bagiku.
Aku justru memikirkan keselamatanmu."
"Apa
maksudmu?"
Jacob menunduk
dan menendang sebutir batu.
"Ada
lebih dari satu alasan kenapa aku tak seharusnya berada di dekatmu, Bella. Aku
tidak boleh membocorkan rahasia kami padamu, itu
salah satunya,
tapi alasan lain adalah karena ini tidak aman bagimu. Kalau aku sangat marah.
Dan emosiku tersulut. bisa-bisa kau terluka."
Aku memikirkan
penjelasannya baik-baik.
"Waktu
kau marah sebelumnya. waktu aku meneriakimu. dan tubuhmu gemetar.?"
“Yeah.” Jacob tertunduk
semakin dalam. "Tolol benar aku. Aku harus lebih bisa menahan diri. Aku sudah
bersumpah untuk tidak marah, apa pun yang kaukatakan padaku. Tapi. aku sangat marah
karena kupikir aku akan kehilangan kau. bahwa kau tak bisa menerima keadaanku
yang sebenarnya."
"Apa yang
akan terjadi. bila kau sangat marah?" bisikku.
"Aku akan
berubah menjadi serigala." Jacob balas berbisik.
"Tidak
perlu menunggu bulan purnama?"
Jacob memutar
bola matanya. "Versi Hollywood itu tak sepenuhnya benar." Lalu ia
mendesah, dan kembali serius. "Kau tidak perlu merasa terlalu takut.
Bells. Kami akan membereskan masalah ini. Dan kami akan menjaga Charlie serta
yang lainlain secara khusus—kami tidak akan membiarkannya celaka. Percayalah
padaku."
Sesuatu yang
amat sangat jelas, yang seharusnya langsung bisa kutangkap—tapi karena selama
ini pikiranku sibuk membayangkan Jacob dan teman-temannya berkelahi melawan
Laurent, hal itu benar-benar tak terpikir olehku—baru muncul dalam pikiranku
saat itu, ketika Jacob mulai berbicara dalam konteks sekarang.
Kami akan membereskan masalah ini.
Jadi ini belum
berakhir.
"Laurent
sudah tewas," aku terkesiap, sekujur tubuhku dingin seperti es.
“Bella?” tanya
Jacob waswas, menyentuh pipiku yang kelabu
“Kalau Laurent
sudah tewas. seminggu yang lalu. berarti ada orang lain yang membunuh orang-orang
itu sekarang."
Jacob mengangguk;
rahangnya terkatup rapat, dan ia berbicara dari sela-selanya. "Mereka
berdua. Kami menyangka pasangannya pasti ingin melawan kami—dalam kisah-kisah
kami, mereka biasanya sangat marah kalau kau membunuh pasangan mereka—tapi dia
terus-menerus lari menjauh, tapi lalu kembali lagi. Kalau saja kami tahu apa yang
diincarnya, akan lebih mudah melumpuhkannya. Tapi sikapnya tak masuk akal. Dia
terus saja menari-nari di pinggir, seperti menguji pertahanan kami, mencari jalan
masuk—tapi masuk ke mana? Dia ingin pergi ke mana? Menurut Sam, dia berusaha
memisahkan kami,
supaya
kesempatannya lebih besar."
Suara Jacob
berangsur-angsur menghilang sampai kedengarannya seperti berasal dari ujung terowongan
yang panjang; aku tak lagi bisa
menangkap kata
demi kata. Dahiku berkeringat dan perutku seperti diaduk-aduk, seperti waktu aku
flu perut dulu. Persis seperti waktu aku flu perut.
Aku cepat-cepat
berpaling darinya, dan membungkuk di atas driftwood.
Tubuhku terguncang, perutku yang kosong sangat mual, walaupun tak ada apa-apa
di dalamnya yang bisa dimuntahkan.
Victoria ada
di sini. Mencariku. Membunuhi orang-orang asing di hutan. Hutan tempat Charlie melakukan
pencarian. Kepalaku berputar cepat.
Jacob
menyambar bahuku—mencegahku ambruk dan mencium bebatuan. Aku bisa merasakan
embusan napasnya yang panas di
pipiku.
"Bella! Ada apa?"
"Victoria,"
aku terkesiap segera setelah bisa menarik napas di sela-sela serangan mual yang
melandaku.
Di kepalaku,
Edward menggeram marah mendengar nama itu.
Kubiarkan Jacob
menarikku dari posisi dudukku yang terkulai, ia meletakkanku dengan canggung di
pangkuannya, membaringkan kepalaku yang lunglai ke bahunya. Ia berusaha keras menyeimbangkanku,
menjagaku agar tidak terkulai lemas dan jatuh dari pangkuannya. Disingkirkannya
rambutku yang berkeringat dan wajahku.
"Siapa?"
tanya Jacob. "Kau bisa mendengarku, Bella? Bella?"
"Dia
bukan pasangan Laurent,” erangku di bahu Jacob. "Mereka hanya teman lama.”
"Kau mau
minum? Perlu dokter? Katakan padaku aku harus bagaimana," tuntut Jacob, bertubi-tubi.
"Aku
bukan sakit—aku takut," aku menjelaskan sambil berbisik. Istilah takut
kedengarannya tidak mencakup semua yang kurasakan.
Jacob menepuk-nepuk
punggungku. "Takut pada si Victoria ini?"
Aku
mengangguk, bergidik.
"Victoria
itu vampir wanita berambut merah?" Aku gemetar lagi, dan merintih,
"Ya."
"Bagaimana
kau bisa tahu dia bukan pasangannya?"
"Laurent
memberi tahuku bahwa James-lah pasangannya," aku menjelaskan, otomatis melemaskan
tanganku yang dihiasi bekas luka.
Jacob memalingkan
wajahku, merengkuhnya kuat-kuat dengan tangannya yang besar.
Ditatapnya
mataku lekat-lekat. "Ada hal lain yang dia ceritakan, Bella? Ini penting.
Kau tahu vampir wanita itu menginginkan apa?"
"Tentu
saja," bisikku. "Victoria menginginkan aku."
Mata Jacob
membelalak lebar, lalu menyipit.
"Mengapa?"
tuntutnya.
"Edward membunuh
James,'' bisikku. Jacob memegangiku sangat erat hingga aku tak perlu mencengkeram
lubang itu—pelukannya
membuatku
tetap utuh. "Victoria memang marah. Tapi kata Laurent, Victoria menganggap
lebih adil membunuhku daripada Edward. Pasangan sebagai ganti pasangan. Dia
tidak tahu—masih belum tahu, kurasa—bahwa. bahwa." Aku menelan ludah
dengan susah payah. "Bahwa hubungan kami sudah tidak seperti itu lagi.
Tidak bagi Edward, setidaknya."
Perhatian Jacob
sempat beralih sebentar mendengar perkataanku itu, ekspresinya campur aduk.
"Jadi itu yang terjadi? Mengapa keluarga
Cullen
pindah?"
"Bagaimanapun,
aku hanya manusia biasa. Tidak ada yang istimewa," aku menjelaskan,
mengangkat bahu lemah. Sesuatu yang kedengarannya seperti geraman— bukan geraman
sesungguhnya, hanya suara manusia yang mencoba meniru—bergemuruh di dada Jacob
di bawah telingaku. "Kalau si pengisap darah idiot itu benar-benar cukup
tolol untuk—"
"Please?
erangku. "Please. Jangan."
Jacob ragu-ragu,
lalu mengangguk satu kali.
"Ini
penting," katanya lagi, wajahnya kembali serius sekarang. "Inilah
tepatnya yang perlu kami ketahui. Kita harus segera memberi tahu yang
lain."
Jacob berdiri,
menarikku hingga ikut berdiri. Kedua tangannya tetap memegangi pinggangku sampai
ia yakin aku tidak akan jatuh.
"Aku
tidak apa-apa," dustaku.
Ia melepaskan
sebelah tangannya dari pinggangku dan ganti memegang tanganku. "Ayo kita
pergi."
Jacob
menarikku kembali ke truk.
“Kita mau ke
mana?" tanyaku.
“Aku belum yakin,"
Jacob mengakui. "Aku akan minta diadakan pertemuan. Hei, tunggu dulu di sini
sebentar, oke?” Jacob menyandarkanku ke sisi truk dan melepaskan tanganku.
“Kau mau ke
mana?”
“Sebentar lagi
aku kembali." janjinya. Lalu ia berbalik dan berlari cepat melintasi
lapangan parkir, menyeberang jalan, dan masuk ke balik
hutan yang
memagari tepi jalan. Ia lenyap di balik pepohonan gesit dan cekatan bagai rusa.
"Jacob!'
aku berteriak memanggilnya dengan suara serak, tapi ia sudah lenyap. Ini bukan saat
yang tepat untuk ditinggal sendirian. Beberapa detik setelah Jacob tidak terlihat,
aku sudah megap-megap kehabisan
napas. Kuseret
kakiku ke dalam truk, dan langsung mengunci pintu rapat-rapat. Namun aku belum
sepenuhnya merasa tenang. Victoria sudah memburuku. Hanya keberuntungan yang
membuatnya belum
menemukanku
sekarang—hanya keberuntungan dan lima werewolf
remaja. Aku mengembuskan napas tajam. Tak peduli apa yang
dikatakan Jacob, membayangkan ia berada di dekat Victoria sungguh mengerikan.
Aku tak peduli ia bisa berubah menjadi apa bila marah. Aku bisa melihat Victoria
dalam pikiranku, wajahnya liar, rambutnya seperti api, mematikan, tak terkalahkan.
Tapi, menurut
cerita Jacob, Laurent sudah mati. Apakah itu mungkin? Edward—otomatis aku mencengkeram
dadaku—pernah menjelaskan
padaku betapa sulitnya
membunuh vampir. Hanya vampir lain yang bisa melakukannya. Tapi kata Jacob tadi
karena itulah werewolf diciptakan.
Katanya ia
akan mengawasi Charlie secara khusus—bahwa sebaiknya aku memercayakan keselamatan
ayahku pada para werewolf
Bagaimana aku bisa memercayainya? Tak seorang pun dari kami aman! Apalagi
Jacob, bila ia berusaha menempatkan diri di antara Victoria dan
Charlie. di
antara Victoria dan aku. Rasanya aku ingin muntah lagi.
Ketukan tajam
di jendela membuatku memekik ketakutan—tapi ternyata hanya Jacob, yang sudah kembali.
Kubuka kunci pintu dengan jari-jari
gemetar
sekaligus bersyukur.
"Kau
benar-benar ketakutan, ya?" tanyanya sambil memanjat naik.
Aku
mengangguk.
"Tidak
perlu. Kami akan menjagamu—Charlie juga. Aku janji."
"Rasanya
lebih mengerikan membayangkan kau menemukan Victoria daripada Victoria
menemukan aku," bisikku.
Jacob tertawa.
"Kau harus lebih memercayai kami. Kalau tidak, itu sama saja
menghina."
Aku hanya
menggeleng. Aku sudah terlalu sering melihat vampir beraksi.
"Kau tadi
ke mana?" tanyaku. Jacob mengerucutkan bibir, dan tidak
mengatakan
apa-apa.
"Apa? Apa
itu rahasia?"
Jacob mengerutkan
kening. "Tidak juga. Agak aneh saja, tapi. Aku tidak ingin membuatmu ngeri."
"Aku
sudah agak terbiasa dengan hal-hal yang aneh sekarang ini." Aku mencoba
tersenyum meski tak berhasil. Jacob balas nyengir dengan enteng. "Kurasa mau
tidak mau kau harus terbiasa juga. Oke. Begini, saat kami menjadi serigala,
kami bisa saling mendengar."
Alisku bertaut
bingung.
"Bukan mendengar
suara-suara," sambung Jacob, "tapi kami bisa mendengar. pikiran—setidaknya
pikiran masing-masing—tak peduli
betapa pun jauhnya
kami. Itu sangat membantu bila kami berburu, namun di luar itu, justru terasa mengganggu.
Memalukan – membuat kita jadi tidak punya rahasia. Aneh, ya?”
“Jadi itu yang
kaumaksud semalam, waktu kauhilang kau akan memberitaku mereka bahwa kau datang
menemuiku, walaupun sebenarnya tak ingin?”
“Cerdas juga
kau.”
"Kau juga
pandai sekali menghadapi hal-hal aneh. Kusangka itu akan membuatmu merasa terganggu."
“Itu tidak.
kau bukan orang pertama yang kukenal yang bisa melakukan hal seperti itu. Jadi rasanya
tidak aneh bagiku."
“Benarkah?.
Tunggu—maksudmu para pengisap darah itu?"
"Kuharap
kau tidak menyebut mereka begitu." Jacob tertawa.
"Terserah.
Keluarga Cullen, kalau begitu?"
"Hanya.
hanya Edward." Diam-diam kulingkarkan sebelah tanganku ke tubuh. Jacob
tampak terkejut—terkejut yang tidak senang. "Kusangka itu hanya dongeng.
Aku memang pernah mendengar legenda tentang
vampir yang
bisa melakukan hal-hal istimewa, tapi kusangka itu hanya mitos."
"Apakah
masih ada yang hanya mitos?" tanyaku kecut.
Jacob merengut.
"Kurasa tidak. Oke, kita akan bertemu Sam dan yang lain-lain di tempat
kita naik motor dulu."
Aku menyalakan
mesin dan menjalankan trukku kembali di jalan.
“Jadi kau
berubah jadi serigala tadi, agar bisa berbicara pada Sam?" tanyaku,
penasaran. Jacob mengangguk, tampak malu-malu. "Hanya
sebentar – aku
mencoba untuk tidak memikirkanmu agar mereka tidak tahu apa yang terjadi. Aku takut
Sam akan menyuruhku untuk tidak mengajakmu."
"Itu
tidak akan menghentikanku." Aku tidak dapat mengenyahkan persepsiku bahwa
Sam jahat. Aku selalu mengatupkan gigiku rapat-rapat setiap kali mendengar
namanya.
"Well, tapi itu akan menghentikan
aku" kata Jacob, berubah muram. "Ingat bagaimana aku tak bisa
menyelesaikan kalimatku semalam?
Bagaimana aku
tak bisa menyampaikan ceritaku secara utuh?"
"Yeah.
Kau kelihatan seperti tercekik sesuatu." Jacob berdecak garang.
"Nyaris. Sam bilang, aku tidak boleh memberi tahumu. Dia itu. ketua
kawanan,
begitulah. Dia itu Alpha-nya. Bila dia menyuruh kami melakukan sesuatu, atau
tidak melakukan sesuatu—bila dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya, Well, kita tidak bisa
mengabaikannya
begitu saja."
"Aneh,"
gerutuku.
"Sangat,"
Jacob sependapat. "Itu semacam kekhasan werewolf.”
"Hah"
adalah respons terbaik yang terpikirkan olehku.
"Yeah,
hal semacam itu banyak sekali—hal-hal yang khas werewolf. Aku tak bisa
membayangkan keadaan Sam, berusaha menghadapinya sendirian. Bersama-sama
sebagai kawanan saja sudah cukup
buruk, apalagi
sendirian.
"Sam
pernah sendirian?"
"Yeah,”
Jacob merendahkan suaranya. "Waktu aku. berubah, itu peristiwa paling
buruk peristiwa paling mengerikan yang pernah
kualami—lebih
buruk daripada yang bisa ku bayangkan. Tapi aku tidak sendirian – ada
suarasuara di sana. dalam kepalaku, menjelaskan apa
yang terjadi
dan apa yang harus kulakukan. Dengan begitu aku bisa tetap mempertahankan kewarasanku.
kurasa. Tapi Sam.” Jacob
menggeleng-gelengkan
kepala. “Sam tidak dapat bantuan dan siapa pun."
Buruh waktu
cukup lama untuk bisa menerima semua ini. Saat Jacob menjelaskan seperti itu.
Sulit untuk tidak merasa kasihan pada Sam. Aku berulang kali harus mengingatkan
diri sendiri bahwa tak ada alasan untuk membencinya lagi.
“Apakah mereka
akan marah melihatku datang bersamamu?" tanyaku.
Jacob mengernyitkan
muka. "Mungkin. Mungkin sebaiknya aku—Tidak, tidak apa-apa.” Jacob
menenangkanku.
"Kau tahu
banyak hal yang bisa membantu kami. Kau kan bukannya tidak tahu apa-apa. Kau seperti.
entahlah, mata-mata atau apa. Kau
pernah berada
di belakang garis lawan."
Aku mengerutkan
kening. Itukah yang diinginkan Jacob dariku? Informasi dari "orang dalam"
yang bisa membantu mereka menghancurkan musuh? Tapi aku bukan matamata.
Selama ini aku
tidak mengumpulkan informasi apa-apa.
Belum-belum, perkataannya tadi membuatku merasa
seperti pengkhianat. Tapi aku ingin ia
menghentikan Victoria, kan? Tidak.
Aku memang ingin
Victoria dihentikan, kalau bisa sebelum ia menyiksaku sampai mati atau bertemu
Charlie atau membunuh orang asing lagi. Aku hanya tidak ingin Jacob menjadi
orang yang menghentikannya, atau yang mencoba menghentikannya. Aku tidak ingin
Jacob dekatdekat dengannya.
“Seperti soal
pengisap darah yang bisa membaca pikiran,” sambung Jacob, tak menyadari kebisuanku.
"Itu salah satu hal yang perlu kami
ketahui. Sungguh
menyebalkan bahwa ternyata cerita-cerita itu benar. Semuanya jadi lebih rumit Hei.
menurutmu si Victoria ini juga punya
kemampuan khusus?"
"Kurasa
tidak," jawabku ragu, kemudian mendesah. "Kalau ada, dia pasti sudah menceritakannya."
"Dia? Oh,
maksudmu Edward—uupps, maaf. Aku lupa. Kau tidak suka menyebut namanya. Atau
mendengarnya."
Kuremas
perutku, berusaha mengabaikan perasaan berdenyut-denyut di sekitar dadaku.
"Tidak
juga, tidak."
"Maaf."
"Bagaimana
kau bisa begitu mengenalku, Jacob? Terkadang seolah-olah kau bisa membaca pikiranku."
"Ah,
tidak. Aku hanya memerhatikan."
Kami sampai di
jalan tanah kecil tempat Jacob pertama kali mengajarku naik motor.
"Ini
tidak apa-apa?" tanyaku.
“Tentu,
tentu.”
Aku menepi dan
mematikan mesin
"Kau masih
merasa tidak bahagia, ya?" gumamnya.
Aku
mengangguk, mataku menerawang ke hutan yang muram.
“Apa menurutmu.
mungkin. sekarang ini kau jadi lebih baik tanpanya?"
Aku menghela
napas lambat-lambat, kemudian mengembuskannya. "Tidak."
“Karena dia
bukan yang terbaik—"
"Please,
Jacob," selaku, memohon sambil berbisik. "Bisakah kita tidak
membicarakan masalah ini? Aku tidak tahan!”
"Oke."
Jacob menarik napas dalam-dalam. "Maaf kalau aku mengungkit soal
itu."
"Jangan
merasa tidak enak. Kalau saja situasinya berbeda, justru menyenangkan akhirnya bisa
membicarakan hal ini dengan orang lain.
Jacob mengangguk.
"Yeah, menyimpan rahasia dirimu selama dua minggu saja rasanya sulit. Pastilah
berat sekali, tidak bisa membicarakannya dengan siapa pun.”
“Berat
sekali." aku membenarkan. Jacob terkesiap. “Mereka datang. Ayo
turun."
"Kau
yakin? tanyaku sementara Jacob membuka pintu truk. "Mungkin sebaiknya aku
tidak berada di sini."
“Mereka harus
bisa menerimanya," kata Jacob, kemudian nyengir. "Siapa sih yang
takut pada serigala besar yang jahat?”
"Ha
ha," sergahku. Tapi aku turun juga dari truk, bergegas mengitari bagian
depan untuk berdiri di samping Jacob. Aku masih ingat jelas
monster-monster
raksasa yang kulihat di padang rumput waktu itu. Kedua tanganku gemetar, seperti
tangan Jacob tadi, tapi lebih karena takut ketimbang marah.
Jacob meraih tanganku
dan meremasnya. "Itu mereka."
0 komentar:
Post a Comment