October 01, 2014

Baca Online New Moon part 12

12. PENYUSUP
KEDUA mataku membelalak ngeri, padahal aku sangat kelelahan dan bingung sampai-sampai tak yakin apakah aku sudah bangun atau masih tidur. Sesuatu menggaruk-garuk kaca jendelaku lagi dengan suara melengking tinggi yang sama. Bingung dan kikuk karena mengantuk, aku tersaruk-saruk turun dari tempat tidur dan melangkah ke jendela, mengerjap-ngerjapkan air mata yang masih menggenang di mataku.
Sosok hitam besar bergelantungan goyah di sisi luar kaca jendela, menerjang ke arahku seperti hendak menabrak kaca. Aku terhuyung-huyung mundur, ngeri, kerongkonganku tercekat hendak menjerit.
Victoria. Ia datang mencariku. Mati aku.
Jangan Charlie juga!
Kutelan lagi jeritan yang sudah menggumpal di tenggorokanku Aku tak boleh bersuara. Entah bagaimana caranya. Pokoknya jangan sampai
Charlie datang memeriksa. Kemudian suara parau yang sudah sangat
kukenal keluar dari sosok gelap itu.
“Bella!” sosok itu mendesis. "Aduh! Brengsek, buka jendelanya! ADUH!”
Butuh dua detik untuk mengenyahkan rasa takut sebelum aku bisa bergerak, tapi kemudian aku bergegas ke jendela dan mendorong kacanya. Awan-awan diterangi cahaya remang di baliknya cukup untuk membuatku bisa mengenal, sosok itu.
"Sedang apa kau?" aku terkesiap.
Jacob bergelayut goyah di pucuk tanaman yang tumbuh di tengah-tengah halaman kecil Charlie. Bobot tubuhnya membuat pohon itu merunduk ke arah rumah dan sekarang ia berayun—kalanya bergelantungan enam meter di atas tanah—tak sampai semeter dariku. Ranting-ranting kurus di pucuk pohon menggaruk-garuk dinding rumah lagi dengan suaranya yang berderit-derit.
“Aku mencoba menepati"—Jacob terengahengah, memindahkan berat badannya saat puncak pohon memantulkannya— janjiku!"
Aku mengerjapkan pandanganku yang kabur, mendadak yakin aku tengah bermimpi.
“Kapan kau pernah berjanji untuk bunuh diri dengan jatuh dari pohon Charlie?”
Jacob mendengus, menganggap gurauanku tidak lucu, mengayunkan kaki agar bisa lebih seimbang.
"Minggir," perintahnya.
"Apa?"
Jacob mengayunkan kalanya lagi, ke belakang dan ke depan, meningkatkan momentum. Sadarlah aku apa yang hendak dilakukannya.
"Jangan. Jake!"
Tapi aku merunduk juga ke samping, karena sudah terlambat. Sambil menggeram Jacob menerjang ke jendela kamarku yang terbuka.
Jeritan lain siap terlontar dari kerongkonganku saat menunggu Jacob terjatuh dan mati—atau paling tidak cedera membentur papan kayu. Tapi aku benar-benar shock waktu ia dengan tangkas mengayun masuk ke dalam kamar, mendarat dengan tumit mencium lantai dan suara berdebum pelan.
Tatapan kami otomatis mengarah ke pintu, menahan napas, menunggu apakah suara tadi membangunkan Charlie. Kesunyian berlalu
beberapa detik, kemudian kami mendengar suara dengkur tertahan Charlie. Cengiran lebar lambat-lambat merekah di wajah Jacob; tampaknya ia sangat puas pada diri sendiri.
Itu bukan cengiran seperti yang selama ini kukenal dan kusukai—tapi cengiran baru, yang seolah mengejek keluguannya dulu, di wajah baru yang kini menjadi milik Sam. Itu agak keterlaluan bagiku.
Aku menangisi cowok ini sampai ketiduran.
Penolakan kasarnya tadi meninggalkan lubang baru yang menyakitkan di dadaku. Ia meninggalkan mimpi buruk yang baru, seperti infeksi pada luka—penghinaan setelah perlakuan buruk. Dan sekarang ia datang ke kamarku, tersenyum mengejek seolah-olah semua itu tak pernah terjadi. Dan lebih parahnya lagi, walaupun kedatangannya berisik dan canggung, ulahnya mengingatkanku pada Edward ketika dulu ia sering menyusup masuk lewat jendela malammalam, dan kenangan itu semakin memedihkan luka hatiku yang belum sembuh.
Semua ini, ditambah fakta bahwa aku sangat kelelahan, membuat suasana hatiku jadi buruk.
"Keluar!" desisku, sebisa mungkin membuat bisikanku terdengar ketus.
Jacob mengerjapkan mata, wajahnya berubah kosong karena terkejut.
"Tidak," protesnya. "Aku datang untuk meminta maaf."
"Aku tidak terima!”
Aku berusaha mendorongnya kembali ke luar jendela—bagaimanapun juga, kalau ini mimpi, ia tidak akan cedera apa-apa. Tapi ternyata tak ada gunanya. Aku tak sanggup menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Cepat-cepat kujatuhkan tanganku, lalu mundur menjauhinya.
Ia tidak mengenakan pakaian, walaupun angin yang bertiup masuk dari jendela cukup dingin untuk membuatku gemetar, dan aku merasa tak
nyaman memegang dadanya yang telanjang. Kulitnya panas membara, seperti kepalanya waktu aku terakhir kali menyentuhnya dulu. Seolah-olah ia masih demam tinggi.
Ia tidak kelihatan sakit. Ia terlihat besar. Jacob mencondongkan tubuh ke arahku, besar sekali hingga menutupi jendela, bingung melihat reaksiku yang sengit. Sekonyong-konyong aku tak sanggup menanggungnya lagi—rasanya seolah-olah semua akibat dari kurang tidur yang kualami sekian lama menerjangku sekaligus. Aku capek sekali hingga rasanya ingin ambruk ke lantai saat itu juga.
Tubuhku limbung, dan aku berjuang keras menjaga mataku tetap terbuka.
"Bella?" bisik Jacob waswas. Diraihnya sikuku waktu aku limbung lagi, lalu digiringnya aku ke tempat tidur. Kakiku lunglai begitu aku sampai di
pinggir tempat tidur, dan kujatuhkan kepalaku yang lemas ke kasur.
"Hei, kau baik-baik saja?" tanya Jacob, perasaan waswas membuat keningnya berkerut.
Aku menengadah memandanginya, air mata di pipiku belum sepenuhnya kering. "Bagaimana aku bisa baik-baik saja, Jacob?"
Kesedihan menggantikan sebagian kepahitan di wajahnya. "Benar," Jacob sependapat, lalu menghela napas dalam-dalam. "Brengsek. Well,
aku—aku minta maaf, Bella" Permintaan maaf itu tulus, tak diragukan lagi, meski masih ada kerutkerut marah di wajahnya.
"Mengapa kau datang ke sini? Aku tidak menginginkan permintaan maaf darimu, Jake."
"Aku tahu," bisiknya. "Tapi aku tak bisa membiarkan kita berpisah seperti sore tadi. Benarbenar tidak menyenangkan. Maafkan aku."
Aku menggeleng letih. "Aku tidak mengerti sama sekali."
“Aku tahu. Aku ingin menjelaskan—" Mendadak Jacob berhenti bicara, mulutnya ternganga, hampir seolah-olah ada sesuatu yang memutus aliran udaranya. Lalu ia menghirup napas dalam-dalam.
"Tapi aku tak bisa menjelaskan," katanya, masih marah. "Kalau saja aku bisa."
Kubiarkan kepalaku jatuh ke tangan. Pertanyaanku terbenam oleh lenganku. "Kenapa?" Jacob terdiam sesaat. Kuputar wajahku ke satu
sisi—terlalu letih untuk menegakkannya—untuk melihat ekspresinya. Wajahnya membuatku terkejut. Matanya menyipit, giginya terkatup rapat, dahinya berkerut-kerut seolah sedang mengerah kan segenap kekuatan.
"Ada apa?" tanyaku.
Jacob mengembuskan napas berat, dan aku sadar selama ini ia juga menahan napas. "Aku tidak bisa melakukannya," gumamnya, frustrasi.
“Melakukan apa?”
Jacob mengabaikan pertanyaanku. "Dengar, Bella, pernahkah kau punya rahasia yang tidak bisa kauceritakan pada siapa-siapa?"
Ia menatapku dengan sorot mengerti, dan pikiranku langsung melompat ke keluarga Cullen. Mudah-mudahan saja ekspresiku tidak terlihat bersalah. "Sesuatu yang tidak bisa kauberitahukan pada Charlie, pada ibumu?" desaknya. "Sesuatu yang bahkan tak bisa kaubicarakan denganku? Bahkan sekarang pun tidak?"
Aku merasakan tatapanku mengeras. Aku tidak menjawab pertanyaannya, meski tahu ia akan mengartikan itu sebagai pembenaran.
"Bisakah kau mengerti bahwa. situasiku saat ini juga kurang-lebih sama?" Ia kembali terbatabata, seolah berusaha mencari kata-kata yang
tepat. "Terkadang loyalitas menghalangimu melakukan hal yang kauinginkan. Terkadang kau tidak bisa menceritakan rahasia itu karena tidak berhak menceritakannya."
Aku tak bisa membantah. Ia benar sekali—aku menyimpan rahasia yang tak berhak kuceritakan, namun yang wajib kulindungi. Rahasia yang, tibatiba, seolah-olah ia tahu mengenainya. Aku masih belum memahami hubungan antara rahasia ini dengan dia, atau Sam, atau Billy. Apa hubungannya semua ini dengan mereka, apalagi sekarang keluarga Cullen sudah pergi?
"Aku tak tahu mengapa kau datang ke sini, Jacob, kalau tujuanmu hanya untuk berteka-teki denganku, bukannya memberi jawaban."
"Maafkan aku" bisiknya. "Ini benar-benar membuatku frustrasi."
Beberapa saat kami berpandangan di kamar yang gelap, wajah kami sama-sama tidak memiliki harapan.
"Bagian yang paling menyakitiku," kata Jacob sekonyong-konyong, "adalah bahwa kau sebenarnya sudah tahu. Aku sudah menceritakan
semuanya padamu!"
"Apa maksudmu?"
Jacob terkesiap kaget, kemudian mencondongkan tubuhnya ke arahku, wajahnya berubah dari tidak memiliki harapan ke penuh semangat meluap-luap hanya dalam hitungan detik. Ia menatap mataku berapi-api, wajahnya antusias dan penuh semangat. Ia mengucapkan kata-kata itu tepat di mukaku; embusan napasnya sepanas kulitnya.
"Kurasa aku tahu bagaimana mengakalinya—karena sebenarnya kau sudah tahu, Bella! Aku tidak boleh menceritakannya padamu, tapi lain
halnya kalau kau bisa menebaknya! Aku tidak bisa dibilang membocorkan rahasia!"
"Kau mau aku menebak? Menebak apa?"
"Rahasiaku! Kau pasti bisa—kau sudah tahu jawabannya!"
Aku mengerjap dua kali, mencoba menjernihkan pikiran. Aku lelah sekali. Tak satu pun perkataan Jacob masuk akal bagiku.
Jacob melihat ekspresiku yang kosong, kemudian wajahnya kembali mengeras, mengerahkan segenap kekuatan. "Tunggu, aku akan memberimu sedikit bantuan" katanya. Apa pun yang coba ia lakukan, itu sangat sulit karena napasnya sampai terengah-engah.
"Bantuan?" tanyaku, berusaha mengikuti pembicaraannya.
Kelopak mataku terasa berat, tapi kupaksa mataku agar tetap terbuka.
"Yeah," ujarnya, napasnya berat. "Seperti petunjuk, misalnya.”
Jacob merengkuh wajahku dengan tangannya yang besar dan kelewat panas, memegangnya hanya beberapa sentimeter dari wajahnya.
Ditatapnya mataku dalam-dalam sementara ia berbisik, seolah-olah berusaha memberi tahukan sesuatu di balik kata-kata yang ia ucapkan.
"Kau masih ingat waktu kita pertama kali bertemu—di tepi pantai di La Push?"
"Tentu saja masih."
"Ceritakan padaku mengenainya."
Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba berkonsentrasi. "Kau menanyakan trukku."
Jacob mengangguk, mendorongku untuk melanjutkan. "Kita mengobrol tentang Rabbit."
"Teruskan."
"Kita berjalan-jalan di tepi pantai." Pipiku mulai panas di bawah telapak tangan Jacob saat pikiranku melayang ke hari itu, tapi Jacob tidak menyadarinya, karena kulitnya sendiri panas. Waktu itu aku mengajaknya jalan-jalan, menggodanya dengan maksud ingin menggali
informasi darinya. Jacob mengangguk, cemas menunggu kelanjutannya.
Suaraku nyaris tak terdengar. "Kau menceritakan kisah- kisah menyeramkan. legenda suku Quileute."
Jacob memejamkan mata dan membukanya lagi. "Ya." Kata itu terucap dengan tegang, bersungguh sungguh, seolah-olah ia sedang berada di tepi sesuatu yang vital. Ia berbicara lambat-lambat, setiap kata diucapkan dengan jelas. "Kau ingat apa yang kuceritakan waktu itu?"
Bahkan dalam gelap, ia pasti bisa melihat perubahan rona wajahku. Bagaimana aku bisa melupakannya? Tanpa menyadari apa yang ia
lakukan, Jacob memberi tahu apa yang perlu kuketahui hari itu—bahwa Edward adalah vampir. Jacob menatapku dengan mata yang tahu terlalu
banyak. "Pikirkan baik-baik" katanya.
"Ya, aku ingat," desahku.
Jacob menghela napas dalam-dalam, berusaha keras mengendalikan perasaannya. "Apa kau ingat semua cerita—" Ia tak mampu menyelesaikan pertanyaan. Mulutnya ternganga seakan-akan sesuatu mengganjal kerongkongannya.
"Semua ceritanya?" tanyaku.
Jacob mengangguk bisu. Kepalaku seperti diaduk-aduk. Hanya satu cerita yang benar-benar penting. Aku tahu Jacob juga menceritakan hal-hal lain, tapi aku tak bisa mengingat cerita pendahuluannya yang tidak
penting, apalagi otakku saat ini rasanya tumpul saking lelahnya. Aku mulai menggeleng-gelengkan kepala.
Jacob mengerang dan melompat turun dari tempat tidur. Ia menekankan tinjunya ke kening dan bernapas dengan cepat dan marah. "Kau sudah tahu, kau sudah tahu," gerutunya pada diri sendiri.
"Jake? Jake, please, aku lelah sekali. Aku tidak bisa berpikir sekarang. Mungkin besok."
Jacob menarik napas untuk menenangkan diri dan mengangguk. "Mungkin nanti kau akan ingat. Kurasa aku mengerti mengapa kau hanya ingat satu cerita saja," imbuhnya dengan nada menyindir
dan getir. "Kau keberatan, tidak, kalau aku bertanya sesuatu tentang hal itu?" tanyanya, nadanya masih sinis. "Sudah sejak lama aku ingin tahu.”
“Tentang apa?” tanyaku waswas.
"Tentang cerita vampir yang kuceritakan padamu."
Kupandangi dia dengan sorot waspada, tak mampu menjawab. Tanpa menunggu persetujuanku, Jacob tetap mengajukan pertanyaannya.
"Benarkah waktu itu kau memang tidak tahu?" tanyanya, suaranya berubah parau. "Benarkah aku yang pertama kali memberi tahumu siapa dia sesungguhnya?"
Bagaimana ia bisa mengetahuinya? Mengapa ia memutuskan untuk percaya, mengapa baru sekarang? Gigiku mengatup rapat. Kubalas
tatapannya, tak berniat menjawab. Jacob menyadarinya.
"Kau mengerti kan, apa yang kumaksud dengan loyalitas?" gumamnya, suaranya semakin parau.
"Hal yang sama juga terjadi padaku, tapi lebih parah. Kau tak bisa membayangkan betapa kuatnya aku terikat."
Aku tidak suka itu—tidak suka melihatnya memejamkan mata seolah-olah kesakitan saat mengatakan dirinya terikat tadi. Lebih dari sekadar
tidak suka—aku sadar bahwa aku benci, membenci apa pun yang menyakitinya. Sangat benci. Wajah Sam memenuhi pikiranku.
Bagiku, ini semua intinya adalah sesuatu yang secara sukarela dilakukan. Aku menjaga rahasia keluarga Cullen karena cinta: tidak berbalas, tapi sejati. Bagi Jacob, tidak harus menjadi seperti itu.
"Apakah kau tak bisa membebaskan diri?" bisikku, menyentuh pinggiran kasar di bagian belakang rambutnya yang pendek
Tangan Jacob mulai gemetar, tapi ia tidak membuka mata. "Tidak. Aku terikat di dalamnya seumur hidup. Seperti hukuman penjara seumur
hidup." Tawa sinis. "Lebih lama daripada itu, mungkin."
"Tidak, Jake," erangku. "Bagaimana kalau kita kabur? Hanya kau dan aku. Bagaimana kalau kita lari dari rumah, dan meninggalkan Sam?"
"Ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan kabur dari rumah, Bella," bisik Jacob. "Aku mau saja kabur bersamamu, tapi. seandainya
bisa." Bahunya kini ikut gemetar. Ia menghela napas dalam-dalam. "Sudahlah, aku harus pergi."
"Kenapa?"
"Pertama, sepertinya kau nyaris ambruk setiap saat. Kau butuh tidur—aku ingin kau sehat dan bugar sehingga bisa berpikir jernih. Kau harus bisa menyimpulkannya, kau harus bisa"
"Lalu kenapa lagi?"
Kening Jacob berkerut. "Aku harus menyelinap pergi diam-diam—seharusnya aku tak boleh menemuimu. Mereka pasti bertanya-tanya di mana aku sekarang." Mulutnya berkerut. "Kurasa aku harus tetap menceritakannya pada mereka."
"Kau tidak perlu mengatakan apa-apa pada mereka" desisku.
"Bagaimanapun, aku akan tetap mengatakannya."
Amarah berkobar dalam dadaku. "Aku benci mereka!"
Jacob menatapku dengan mata membelalak lebar, terkejut. "Tidak, Bella. Jangan benci mereka.
Ini bukan salah Sam ataupun salah satu dari mereka. Seperti sudah kukatakan padamu sebelumnya—ini salahku. Sesungguhnya Sam itu.
Well, luar biasa baik. Jared dan Paul juga baik, walaupun Paul agak sedikit. Dan Embry temanku sejak dulu. Tidak ada yang berubah dalam hal itu—satu-satunya yang belum berubah. Aku benarbenar merasa tak enak hati kalau ingar bagaimana dulu aku punya pandangan jelek terhadap Sam.”
Sam luar biasa baik? Kupandangi Jacob dengan sikap tidak percaya, tapi tak kutanggapi. "Kalau begitu, mengapa kau tidak boleh
menemuiku?" tuntutku.
"Karena tidak aman," gumam Jacob, menunduk. Kata-katanya membuatku bergidik ngeri. Jadi ia juga tahu itu? Tak ada orang lain yang tahu kecuali aku. Tapi ia benar—sekarang ini tengah malam, waktu yang tepat untuk berburu. Jacob tak seharusnya berada di kamarku. Kalau ada yang datang mencariku, aku harus sendirian.
"Kalau aku menganggapnya terlalu. terlalu berisiko," bisiknya, "aku tidak mungkin datang. Tapi, Bella," ia menatapku lagi, "aku pernah
berjanji padamu. Aku tidak menyangka janji itu akan begitu sulit ditepati, tapi bukan berarti aku tidak akan berusaha."
Jacob melihat ekspresi tak mengerti di wajahku.
"Setelah nonton film konyol waktu itu," ia mengingatkan aku. "Aku berjanji padamu, aku tidak akan pernah menyakitimu. Aku benar-benar
melanggar janjiku sendiri sore tadi, ya?"
"Aku tahu kau tidak bermaksud melakukannya, Jake. Tidak apa-apa."
“Trims, Bella." Jacob meraih tanganku. "Aku akan melakukan apa pun yang bisa kulakukan agar bisa berada di sisimu, sesuai janjiku." Tibatiba
ia nyengir. Bukan cengiranku, bukan cengiran Sam, tapi kombinasi aneh keduanya. "Akan sangat membantu bila kau bisa menyimpulkannya sendiri, Bella. Cobalah untuk benar-benar berusaha."
Aku meringis lemah. "Akan kucoba."
“Dan aku akan berusaha menemuimu lagi nanti," Jacob mendesah. "Dan mereka pasti akan berusaha mencegahku melakukannya."
"Jangan dengarkan mereka."
"Akan kucoba," Jacob menggeleng, seolah meragukan dirinya sendiri. "Begitu kau bisa menebaknya, segeralah datang dan beritahu aku."
Mendadak ia teringat sesuatu, sesuatu yang membuat kedua tangannya gemetar. "Kalau kau. kalau kau masih mau menemuiku."
"Mengapa aku tidak mau menemuimu?"
Wajah Jacob berubah keras dan pahit, wajah yang seratus persen milik Sam. "Oh, ada saja alasannya, pasti" tukasnya kasar. "Dengar, aku
benar-benar harus pergi. Bisakah kau melakukan sesuatu untukku?"
Aku hanya mengangguk, takut melihat perubahan dalam dirinya.
"Paling tidak telepon aku—kalau kau tidak mau menemuiku lagi. Beritahu aku kalau memang begitu."
"Itu tidak akan terjadi—"
Jacob mengangkat sebelah tangan, menghentikan kata-kataku. "Pokoknya beritahu aku."
Ia berdiri dan berjalan ke jendela.
"Jangan tolol, Jake," tukasku. "Bisa-bisa kakimu patah nanti. Lewat pintu saja. Charlie tidak akan memergokimu."
"Aku tidak akan kenapa-kenapa," tukasnya, tapi berbalik menuju pintu juga. Ia ragu-ragu waktu melewatiku, menatapku dengan ekspresi seolaholah sesuatu menusuknya. Ia mengulurkan sebelah tangan, memohon.
Aku menerima uluran tangannya, dan tiba-tiba ia menyentakku—kasar sekali—hingga aku tertarik turun dari tempat tidur dan menabrak dadanya.
"Siapa tahu aku tak bisa bertemu lagi denganmu," bisiknya di rambutku, memelukku sangat erat hingga tulang-tulangku terasa seperti mau remuk.
"Tidak bisa—bernapas!" aku megap-megap. Jacob langsung melepas pelukannya, sebelah tangannya memegang pinggangku agar aku tidak
terjatuh. Ia mendorongku, kali ini lebih lembut, kembali ke tempat tidur.
"Tidurlah, Bells. Kau harus bisa berpikir jernih. Aku tahu kau pasti bisa melakukannya. Aku ingin kau mengerti. Aku tak ingin kehilangan kau, Bella. Tidak karena masalah ini."
Jacob mencapai pintu hanya dalam sekali melangkah, membukanya pelan-pelan, kemudian lenyap di baliknya. Aku mencoba mendengar suara langkah-langkah kakinya menuruni tangga, tapi tidak terdengar apa-apa.
Aku berbaring lagi di tempat tidur, benakku berputar. Aku terlalu bingung, terlalu letih. Kupejamkan mata, berusaha mencerna semuanya,
tapi detik berikutnya ketidaksadaran menelanku begitu cepat hingga terasa membingungkan.
Bukan tidur damai tanpa mimpi seperti dambaanku yang kudapatkan—tentu saja bukan. Lagi-lagi aku melihat diriku di hutan, dan mulai
berkeliaran seperti yang selalu kulakukan. Dengan cepat aku menyadari ini bukan mimpi yang sama seperti biasa. Pertama, karena aku
tidak merasakan dorongan untuk berjalan tak tentu arah atau melakukan pencarian; aku hanya sekadar berkeliaran karena kebiasaan, karena
memang itulah yang biasanya kulakukan di sini. Sebenarnya, ini bahkan bukan hutan yang sama. Aromanya berbeda, begitu juga cahayanya. Hutan ini tidak berbau tanah lembab, melainkan berbau asin air laut. Aku tak bisa melihat langit; meski begitu, matahari pasti bersinar—dedaunan di atasku berwarna hijau zambrud.
Ini hutan di sekitar La Push—dekat pantai di sana, aku yakin. Aku tahu bila aku menemukan pantai, aku pasti bisa melihat matahari. Maka aku
mempercepat langkah, mengikuti suara debur ombak yang samar-samar terdengar di kejauhan. Dan mendadak muncul Jacob, Ia menyambar tanganku, menarikku kembali ke bagian hutan
paling gelap.
"Jacob, ada apa?" tanyaku. Wajahnya ketakutan seperti anak kecil, dan rambutnya kembali indah, diikat ke belakang membentuk ekor kuda yang tergerai di pangkal leher. Ia menarikku sekuat tenaga, tapi aku menolak; aku tak ingin masuk ke kegelapan.
"Lari, Bella, kau harus lari!" bisiknya, ketakutan.
Serbuan gelombang deja vu yang sekonyongkonyong datang begitu kuat hingga nyaris membangunkanku.
Sekarang aku tahu mengapa aku mengenali tempat ini. Karena aku pernah berada di sana sebelumnya, di mimpi yang lain. Sejuta tahun yang lalu, bagian dari kehidupan yang sama sekali berbeda. Ini mimpi yang pernah kudapat pada malam setelah aku berjalan-jalan dengan Jacob di pantai, malam pertama aku tahu Edward itu vampir. Mengenang kembali hari itu bersama Jacob pastilah yang memicu timbulnya mimpi ini dari kenanganku yang terkubur. Terpisah dari mimpi itu sekarang, aku menunggu mimpi itu berlanjut. Cahaya menghampiriku dari pantai. Beberapa saat lagi Edward akan keluar dari pepohonan, kulitnya berkilau redup, matanya hitam dan berbahaya. Ia akan melambai ke arahku, dan tersenyum. Wajahnya setampan malaikat, giginya runcingruncing dan tajam. Tapi aku terlampau cepat. Ada hal lain yang harusnya terjadi lebih dulu. Jacob menjatuhkan tanganku dan menjerit. Gemetar dan mengentak-entak, ia terjatuh ke tanah dekat kakiku.
“Jacob!” jeritku, rapi ia sudah lenyap. Sebagai gantinya kini tampak serigala berbulu merah-cokelat dengan mata gelap dan cerdas.
Mimpiku melenceng jauh, seperti kereta api yang keluar dari rel.
Ini bukan serigala yang sama seperti yang pernah kuimpikan di kehidupan lain. Ini serigala besar berbulu cokelat kemerahan yang berdiri dekat sekali denganku di padang rumput, seminggu yang lalu. Serigala raksasa yang sangat besar, lebih besar daripada beruang.
Serigala itu menatapku saksama, berusaha menyampaikan sesuatu yang penting dengan matanya yang cerdas. Mata hitam-cokelat yang
familier, seperti mata Jacob Black. Aku terbangun sambil menjerit sekeras-kerasnya. Aku nyaris berharap Charlie akan datang untuk mengecek keadaanku kali ini. Ini bukan jeritanku yang biasa.
Kubenamkan kepalaku di bantal dan berusaha meredam jeritan histeris yang hendak keluar dari kerongkonganku. Kutekan bantal kuat-kuat ke
wajahku, bertanya-tanya dalam hati apakah aku juga bisa membungkam fakta yang baru saja berhasil kuhubungkan.
Tapi Charlie tidak datang, dan akhirnya aku bisa juga meredam jeritan aneh yang keluar dari tenggorokanku. Aku ingat semuanya sekarang—setiap kata yang keluar dari mulut Jacob pada hari itu di pantai,
bahkan bagian sebelum ia sampai ke cerita tentang para vampir, atau "yang berdarah dingin" menurut istilahnya. Terutama bagian pertama.
“Apakah kau tahu tentang legenda kamu tentang asal-muasal kami-maksudku suku Quikute?” tanyanya.
“Tidak juga," aku mengakui.
“Well ada banyak legenda, sebagian bahkan dipercaya sudah ada sejak Zaman Air Bah—konon, suku Quileute kuno mengikat kano mereka di
Pucukpucuk pohon tertinggi di pegunungan untuk bisa selamat, seperti Nabi Nuh dan bahteranya!” Ia tersenyum, untuk menunjukkan ia sendiri tidak begitu memercayai cerita-cerita sejarah. "Legenda lain mengatakan kami keturunan serigala—dan bahwa sampai sekarang serigala masih berkerabat dengan kami. Hukum adat melarang kami
membunuh mereka. "Lalu ada cerita-cerita tentang yang berdarah
dingin." Suara Jacob terdengar sedikit lebih rendah.
"Yang berdarah dingin?"
"Ya. Ada cerita-cerita tentang yang berdarah dingin, cerita-cerita itu sama tuanya dengan legenda serigala, dan ada juga yang masih cukup baru. Menurut legenda, kakek buyutku sendiri mengenal sebagian dari mereka. Dialah yang membuat kesepakatan untuk menghalau mereka dari tanah kami." Jacob memutar bola matanya.
"Kakek buyutmu?"
"Beliau itu tetua suku, seperti ayahku. Begini, yang berdarah dingin itu musuh alami serigala—Well, bukan serigala sungguhan, tapi serigala yang menjelma menjadi manusia, seperti leluhur kami. Kau bisa menyebutnya werewolf."
"Werewolf punya musuh?"
"Hanya satu."
Sesuatu menyumbat kerongkonganku, mencekikku. Aku berusaha menelannya, tapi benda itu tersangkut di sana. tak bergerak. Aku
berusaha meludahkannya.
"Werewolf,” aku terkesiap.
Ya, kata itulah yang tadi menyumbat tenggorokanku. Dunia seolah jungkir balik, miring pada porosnya. Tempat macam apakah ini? Benarkah ada dunia di mana legenda-legenda kuno berkeliaran di
sepanjang perbatasan kota-kota kecil, berhadapan dengan monster-monster mistis? Apakah itu berarti setiap kisah dongeng didasarkan pada sesuatu yang benar-benar nyata? Adakah hal yang waras
atau normal sama sekak, atau semuanya hanya magis dan kisah-kisah hantu?
Kucengkeram kepalaku kuat-kuat, menjaganya agar tidak meledak.
Sebuah suara kecil garing dalam benakku bertanya mengapa aku begitu kalut. Bukankah aku sudah menerima keberadaan vampir sejak dulu—
dan tanpa histeris sama sekali? Benar sekali, aku ingin balas meneriaki suara itu. Tidakkah saru mitos sudah cukup untuk siapa
pun, cukup untuk seumur hidup? Lagi pula, sebelumnya tidak ada satu momen pun di mana aku tak sepenuhnya menyadari bahwa Edward Cullen bukan manusia biasa. Jadi bukan hal mengagetkan waktu aku tahu siapa ia sebenarnya—karena jelas sekali ia itu berbeda.
Tapi Jacob? Jacob, yang hanyalah Jacob, dan tidak lebih daripada itu? Jacob, temanku? Jacob, satu-satunya manusia yang bisa memahamiku. Dan ia bahkan bukan manusia. Kulawan dorongan untuk menjerit lagi. Jadi, apa arti semua itu bagiku? Aku tahu jawaban pertanyaan itu. Berarti ada yang benar-benar tidak beres denganku.
Bagaimana bisa hidupku dipenuhi karakterkarakter dari film horor? Bagaimana mungkin aku bisa begitu peduli pada mereka sehingga hatiku terasa seperti direnggutkan dan dadaku setiap kali mereka pergi mengikuti jalan hidup mistis mereka? Di kepalaku segalanya berputar dan bergerak, berubah posisi sehingga hal-hal yang tadinya berarti sesuatu, sekarang memiliki arti berbeda.
Berarti tidak ada sekte. Tidak pernah ada sekte, tidak pernah ada geng. Tidak, ternyata bahkan lebih buruk daripada itu. Yang ada ternyata adalah kawanan.
Kawanan yang terdiri atas lima werewolf raksasa aneka warna yang waktu itu berjalan melewatiku di padang rumput Edward.
Mendadak, aku merasa harus bergegas. Mataku melirik jam—masih terlalu pagi, tapi aku tak peduli. Aku harus pergi ke La Push sekarang. Aku harus menemui Jacob supaya ia bisa memberi tahuku bahwa aku tidak hilang ingatan.
Kusambar baju bersih pertama yang bisa kutemukan, tak peduli apakah serasi atau tidak, lalu berlari menuruni tangga, melompati dua anak
tangga sekaligus. Nyaris saja aku bertabrakan dengan Charlie saat menghambur di lorong, menuju ke pintu.
"Mau ke mana kau?" tanyanya, terkejut melihatku, sama seperti aku terkejut melihatnya.
"Kau tahu sekarang jam berapa?"
"Yeah. Aku harus menemui Jacob."
"Kusangka urusan dengan Sam—"
"Itu tidak penting, aku harus bicara dengannya sekarang juga."
"Sekarang masih terlalu pagi." Kening Charlie berkerut ketika ekspresiku tidak berubah. "Tidak mau sarapan dulu?"
"Tidak lapar." Kata-kata meluncur cepat dari bibirku. Charlie menghalangi jalanku. Aku menimbang-nimbang untuk merunduk
mengitarinya dan kabur secepat-cepatnya, tapi aku tahu aku harus memberi penjelasan nanti.
"Sebentar lagi aku kembali, oke?" Charlie mengerutkan kening. "Langsung ke rumah Jacob, kan? Tidak mampir-mampir dulu?"
Tentu saja tidak. mau mampir ke mana? Katakataku berkejaran, karena aku begitu terburuburu.
"Entahlah," Charlie mengakui. “Hanya saja. Well, terjadi penyerangan lagi – serigala-serigala itu lagi. Dekat sekali dengan pemukiman penduduk di sumber air panas sana—kali ini ada saksi mata yang menyaksikan. Korban hanya beberapa meter dari jalan saat menghilang. Istrinya melihat serigala abu-abu besar beberapa menit kemudian,
waktu dia sedang mencari suaminya, lalu lari mencari bantuan."
Perutku langsung mulas mendengarnya. "Orang itu diterkam serigala?"
"Tidak ada tanda-tanda keberadaan orang itu—yang ada hanya bercak darah" Wajah Charlie tampak galau. "Para polisi hutan menyisir hutan
dengan bersenjata lengkap, membawa sukarelawan yang juga bersenjata. Banyak pemburu yang ingin terlibat—tersedia hadiah bagi yang bisa menembak mati serigala. Itu berarti akan banyak tembakmenembak di hutan, dan itu membuatku khawatir." Charlie menggeleng. "Kalau orang-orang terlalu bersemangat, bisa terjadi banyak kecelakaan."
“Mereka akan menembaki serigala-serigala itu?" Suaraku naik tiga oktaf.
"Apa lagi yang bisa kita lakukan? Ada apa?" tanya Charlie, matanya yang tegang menelisik wajahku. Rasanya aku seperti mau pingsan;
wajahku pasti lebih pucat daripada biasanya, toh bukan aktivis lingkungan hidup, kan?" ku tak mampu menjawab.
Seandainya Charlie tidak sedang memandangiku, aku pasti sudah menyurukkan kepalaku antara lutut. Aku lupa pada para hiker
yang hilang itu, juga jejak-jejak berdarah. aku tidak menghubungkan fakta-fakta itu dengan kesadaran pertamaku.
"Dengar, Sayang, ini tidak perlu membuatmu ketakutan. Asalkan kau tetap di kota atau dijalan raya—tidak berhenti-berhenti—oke?"
"Oke," sahutku lemah.
"Pergi dulu ya." Kutatap Charlie lekat-lekat untuk pertama kali,
dan kulihat ia melilitkan sarung pistolnya ke pinggang dan memakai sepatu hiking.
"Kau tidak akan ikut terjun mencari serigalaserigala itu kan, Dad?"
"Aku harus membantu, Bells. Banyak orang menghilang."
Suaraku naik lagi, nyaris histeris sekarang.
"Jangan! Jangan, jangan pergi. Terlalu berbahaya!"
"Aku harus melakukan tugasku, Nak. Jangan pesimis begitu—aku akan baik-baik saja" Charlie berbalik ke pintu, membukanya dan
memeganginya. "Kau mau pergi?"
Aku ragu-ragu, perutku masih seperti diadukaduk. Apa yang bisa kukatakan untuk menghentikannya? Kepalaku pusing sekali, tak
mampu berpikir apa-apa.
"Bells?"
"Mungkin sekarang memang masih terlalu pagi untuk pergi ke La Push," bisikku.
"Aku setuju," kata Charlie, lalu melangkah keluar ke tengah hujan, menutup pintu di belakangnya. Begitu Charlie lenyap dari pandangan, aku merosot lemas ke lantai dan menyurukkan kepalaku di antara lutut.
Haruskah aku menyusul Charlie? Apa yang bisa kukatakan?
Dan bagaimana dengan Jacob? Jacob sahabatku; aku harus memperingatkan dia. Kalau dia benar-benar – aku meringis dan memaksa diriku memikirkan istilah itu – werewolf (dan aku tahu itu benar, aku bisa merasakannya), itu berarti orang-orang akan menembaki dia! Aku harus memberitahu Jacob dan teman-temannya bahwa orang-orang akan berusaha membunuh mereka bila mereka berkeliaran sebagai serigala raksasa.
Aku harus membentahu mereka supaya berhenti. Mereka harus berhenti! Charlie ada di hutan. Pedulikah mereka pada hal itu? Aku penasaran. Hingga saat ini, hanya orang-orang asing yang
hilang. Apakah itu berarti sesuatu, atau hanya kebetulan?
Aku harus percaya bahwa Jacob, paling tidak, peduli pada hal itu.
Bagaimanapun, aku harus mengingatkan dia. Atau perlukah aku?
Jacob sahabatku, tapi benarkah ia juga monster? Monster sungguhan? Monster jahat? Haruskah aku mengingatkan dia, padahal dia dan
teman-temannya. pembunuh? Padahal mereka begitu tega membantai para hiker yang tidak berdosa? Seandainya mereka benar-benar makhluk jahat seperti yang ada di film-film horor, salahkah bila aku melindungi mereka?
Mau tak mau aku jadi membandingkan Jacob dan teman-temannya dengan keluarga Cullen. Kudekap tubuhku erat-erat. melawan lubang itu, saat aku memikirkan mereka. Aku tidak tahu apa-apa tentang werewolf, itu sudah jelas. Paling-paling aku membayangkan
mereka mendekati sosok seperti yang sering digambarkan di film-film – makhluk setengah manusia berbadan besar dan berbulu lebat atau
semacam itu – itu pun kalau aku membayangkan mereka. Jadi aku tak tahu apa yang membuat mereka berburu, apakah karena kelaparan atau
kehausan atau hanya dorongan untuk membunuh.
Sulit menilainya, karena aku tidak tahu apa-apa. Tapi pasti tidak lebih sulit daripada yang dialami keluarga Cullen dalam upaya mereka menjadi makhluk yang baik. Ingatanku melayang kepada Esme—air mataku merebak saat membayangkan wajahnya yang teduh dan baik—serta bagaimana, meski sikapnya begitu keibuan dan penuh kasih
sayang, ia terpaksa menahan napas, merasa malu sekali, dan lari menjauhiku waktu aku berdarah.
Tak mungkin lebih sulit daripada itu. Aku juga teringat pada Carlisle, yang selama berabad-abad berjuang mengajari dirinya sendiri untuk
mengabaikan darah, sehingga ia bisa menyelamatkan nyawa manusia sebagai dokter.

Tidak ada yang lebih sulit daripada itu. Para werewolf memilih jalan berbeda. Sekarang, apa yang seharusnya aku pilih?

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates