Baca Online New Moon part 12
12.
PENYUSUP
KEDUA mataku
membelalak ngeri, padahal aku sangat kelelahan dan bingung sampai-sampai tak yakin
apakah aku sudah bangun atau masih tidur. Sesuatu menggaruk-garuk kaca
jendelaku lagi dengan suara melengking tinggi yang sama. Bingung dan kikuk
karena mengantuk, aku tersaruk-saruk turun dari tempat tidur dan melangkah ke
jendela, mengerjap-ngerjapkan air mata yang masih menggenang di mataku.
Sosok hitam besar
bergelantungan goyah di sisi luar kaca jendela, menerjang ke arahku seperti hendak
menabrak kaca. Aku terhuyung-huyung mundur, ngeri, kerongkonganku tercekat hendak
menjerit.
Victoria. Ia
datang mencariku. Mati aku.
Jangan Charlie
juga!
Kutelan lagi jeritan
yang sudah menggumpal di tenggorokanku Aku tak boleh bersuara. Entah bagaimana
caranya. Pokoknya jangan sampai
Charlie datang
memeriksa. Kemudian suara parau yang sudah sangat
kukenal keluar
dari sosok gelap itu.
“Bella!” sosok
itu mendesis. "Aduh! Brengsek, buka jendelanya! ADUH!”
Butuh dua
detik untuk mengenyahkan rasa takut sebelum aku bisa bergerak, tapi kemudian aku
bergegas ke jendela dan mendorong kacanya. Awan-awan diterangi cahaya remang di
baliknya cukup untuk membuatku bisa mengenal, sosok itu.
"Sedang apa kau?" aku
terkesiap.
Jacob bergelayut
goyah di pucuk tanaman yang tumbuh di tengah-tengah halaman kecil Charlie. Bobot
tubuhnya membuat pohon itu merunduk ke arah rumah dan sekarang ia
berayun—kalanya bergelantungan enam meter di atas tanah—tak sampai semeter dariku.
Ranting-ranting kurus di pucuk pohon menggaruk-garuk dinding rumah lagi dengan
suaranya yang berderit-derit.
“Aku mencoba
menepati"—Jacob terengahengah, memindahkan berat badannya saat puncak pohon
memantulkannya— janjiku!"
Aku mengerjapkan
pandanganku yang kabur, mendadak yakin aku tengah bermimpi.
“Kapan kau pernah
berjanji untuk bunuh diri dengan jatuh dari pohon Charlie?”
Jacob mendengus,
menganggap gurauanku tidak lucu, mengayunkan kaki agar bisa lebih seimbang.
"Minggir,"
perintahnya.
"Apa?"
Jacob mengayunkan
kalanya lagi, ke belakang dan ke depan, meningkatkan momentum. Sadarlah aku apa
yang hendak dilakukannya.
"Jangan.
Jake!"
Tapi aku merunduk
juga ke samping, karena sudah terlambat. Sambil menggeram Jacob menerjang ke
jendela kamarku yang terbuka.
Jeritan lain
siap terlontar dari kerongkonganku saat menunggu Jacob terjatuh dan mati—atau paling
tidak cedera membentur papan kayu. Tapi aku benar-benar shock waktu ia dengan tangkas mengayun
masuk ke dalam kamar, mendarat dengan tumit mencium lantai dan suara berdebum pelan.
Tatapan kami
otomatis mengarah ke pintu, menahan napas, menunggu apakah suara tadi membangunkan
Charlie. Kesunyian berlalu
beberapa detik,
kemudian kami mendengar suara dengkur tertahan Charlie. Cengiran lebar
lambat-lambat merekah di wajah Jacob; tampaknya ia sangat puas pada diri
sendiri.
Itu bukan
cengiran seperti yang selama ini kukenal dan kusukai—tapi cengiran baru, yang
seolah mengejek keluguannya dulu, di wajah baru yang kini menjadi milik Sam. Itu
agak keterlaluan bagiku.
Aku menangisi
cowok ini sampai ketiduran.
Penolakan kasarnya
tadi meninggalkan lubang baru yang menyakitkan di dadaku. Ia meninggalkan mimpi
buruk yang baru, seperti infeksi pada luka—penghinaan setelah perlakuan buruk. Dan
sekarang ia datang ke kamarku, tersenyum mengejek seolah-olah semua itu tak pernah
terjadi. Dan lebih parahnya lagi, walaupun kedatangannya berisik dan canggung,
ulahnya mengingatkanku pada Edward ketika dulu ia sering menyusup masuk lewat
jendela malammalam, dan kenangan itu semakin memedihkan luka hatiku yang belum
sembuh.
Semua ini, ditambah
fakta bahwa aku sangat kelelahan, membuat suasana hatiku jadi buruk.
"Keluar!"
desisku, sebisa mungkin membuat bisikanku terdengar ketus.
Jacob mengerjapkan
mata, wajahnya berubah kosong karena terkejut.
"Tidak,"
protesnya. "Aku datang untuk meminta maaf."
"Aku
tidak terima!”
Aku berusaha
mendorongnya kembali ke luar jendela—bagaimanapun juga, kalau ini mimpi, ia tidak
akan cedera apa-apa. Tapi ternyata tak ada gunanya. Aku tak sanggup
menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Cepat-cepat kujatuhkan tanganku, lalu mundur
menjauhinya.
Ia tidak mengenakan
pakaian, walaupun angin yang bertiup masuk dari jendela cukup dingin untuk
membuatku gemetar, dan aku merasa tak
nyaman memegang
dadanya yang telanjang. Kulitnya panas membara, seperti kepalanya waktu aku
terakhir kali menyentuhnya dulu. Seolah-olah ia masih demam tinggi.
Ia tidak
kelihatan sakit. Ia terlihat besar.
Jacob mencondongkan tubuh ke arahku, besar sekali hingga menutupi jendela,
bingung melihat reaksiku yang sengit. Sekonyong-konyong aku tak sanggup menanggungnya
lagi—rasanya seolah-olah semua akibat dari kurang tidur yang kualami sekian
lama menerjangku sekaligus. Aku capek sekali hingga rasanya ingin ambruk ke
lantai saat itu juga.
Tubuhku limbung,
dan aku berjuang keras menjaga mataku tetap terbuka.
"Bella?"
bisik Jacob waswas. Diraihnya sikuku waktu aku limbung lagi, lalu digiringnya
aku ke tempat tidur. Kakiku lunglai begitu aku sampai di
pinggir tempat
tidur, dan kujatuhkan kepalaku yang lemas ke kasur.
"Hei, kau
baik-baik saja?" tanya Jacob, perasaan waswas membuat keningnya berkerut.
Aku menengadah
memandanginya, air mata di pipiku belum sepenuhnya kering. "Bagaimana aku bisa
baik-baik saja, Jacob?"
Kesedihan menggantikan
sebagian kepahitan di wajahnya. "Benar," Jacob sependapat, lalu menghela
napas dalam-dalam. "Brengsek. Well,
aku—aku minta
maaf, Bella" Permintaan maaf itu tulus, tak diragukan lagi, meski masih
ada kerutkerut marah di wajahnya.
"Mengapa
kau datang ke sini? Aku tidak menginginkan permintaan maaf darimu, Jake."
"Aku tahu,"
bisiknya. "Tapi aku tak bisa membiarkan kita berpisah seperti sore tadi. Benarbenar
tidak menyenangkan. Maafkan aku."
Aku menggeleng
letih. "Aku tidak mengerti sama sekali."
“Aku tahu. Aku
ingin menjelaskan—" Mendadak Jacob berhenti bicara, mulutnya ternganga,
hampir seolah-olah ada sesuatu yang memutus aliran udaranya. Lalu ia menghirup
napas dalam-dalam.
"Tapi aku
tak bisa menjelaskan," katanya, masih marah. "Kalau saja aku
bisa."
Kubiarkan
kepalaku jatuh ke tangan. Pertanyaanku terbenam oleh lenganku.
"Kenapa?" Jacob terdiam sesaat. Kuputar wajahku ke satu
sisi—terlalu
letih untuk menegakkannya—untuk melihat ekspresinya. Wajahnya membuatku terkejut.
Matanya menyipit, giginya terkatup rapat, dahinya berkerut-kerut seolah sedang
mengerah kan segenap kekuatan.
"Ada
apa?" tanyaku.
Jacob mengembuskan
napas berat, dan aku sadar selama ini ia juga menahan napas. "Aku tidak
bisa melakukannya," gumamnya, frustrasi.
“Melakukan
apa?”
Jacob mengabaikan
pertanyaanku. "Dengar, Bella, pernahkah kau punya rahasia yang tidak bisa
kauceritakan pada siapa-siapa?"
Ia menatapku
dengan sorot mengerti, dan pikiranku langsung melompat ke keluarga Cullen. Mudah-mudahan
saja ekspresiku tidak terlihat bersalah. "Sesuatu yang tidak bisa
kauberitahukan pada Charlie, pada ibumu?" desaknya. "Sesuatu yang
bahkan tak bisa kaubicarakan denganku? Bahkan sekarang pun tidak?"
Aku merasakan
tatapanku mengeras. Aku tidak menjawab pertanyaannya, meski tahu ia akan mengartikan
itu sebagai pembenaran.
"Bisakah
kau mengerti bahwa. situasiku saat ini juga kurang-lebih sama?" Ia kembali
terbatabata, seolah berusaha mencari kata-kata yang
tepat.
"Terkadang loyalitas menghalangimu melakukan hal yang kauinginkan.
Terkadang kau tidak bisa menceritakan rahasia itu karena tidak berhak
menceritakannya."
Aku tak bisa
membantah. Ia benar sekali—aku menyimpan rahasia yang tak berhak kuceritakan, namun
yang wajib kulindungi. Rahasia yang, tibatiba, seolah-olah ia tahu mengenainya.
Aku masih belum memahami hubungan antara rahasia ini dengan dia, atau Sam, atau
Billy. Apa hubungannya semua ini dengan mereka, apalagi sekarang keluarga
Cullen sudah pergi?
"Aku tak
tahu mengapa kau datang ke sini, Jacob, kalau tujuanmu hanya untuk berteka-teki
denganku, bukannya memberi jawaban."
"Maafkan
aku" bisiknya. "Ini benar-benar membuatku frustrasi."
Beberapa saat
kami berpandangan di kamar yang gelap, wajah kami sama-sama tidak memiliki harapan.
"Bagian
yang paling menyakitiku," kata Jacob sekonyong-konyong, "adalah bahwa
kau sebenarnya sudah tahu. Aku sudah menceritakan
semuanya
padamu!"
"Apa
maksudmu?"
Jacob
terkesiap kaget, kemudian mencondongkan tubuhnya ke arahku, wajahnya berubah
dari tidak memiliki harapan ke penuh semangat meluap-luap hanya dalam hitungan detik.
Ia menatap mataku berapi-api, wajahnya antusias
dan penuh semangat. Ia mengucapkan kata-kata itu tepat di mukaku; embusan
napasnya sepanas kulitnya.
"Kurasa aku
tahu bagaimana mengakalinya—karena sebenarnya kau sudah tahu, Bella! Aku tidak
boleh menceritakannya padamu, tapi lain
halnya kalau
kau bisa menebaknya!
Aku tidak bisa dibilang membocorkan rahasia!"
"Kau mau
aku menebak? Menebak apa?"
"Rahasiaku!
Kau pasti bisa—kau sudah tahu jawabannya!"
Aku mengerjap
dua kali, mencoba menjernihkan pikiran. Aku lelah sekali. Tak satu pun
perkataan Jacob masuk akal bagiku.
Jacob melihat
ekspresiku yang kosong, kemudian wajahnya kembali mengeras, mengerahkan segenap
kekuatan. "Tunggu, aku akan memberimu sedikit bantuan" katanya. Apa pun
yang coba ia lakukan, itu sangat sulit karena napasnya sampai terengah-engah.
"Bantuan?"
tanyaku, berusaha mengikuti pembicaraannya.
Kelopak mataku
terasa berat, tapi kupaksa mataku agar tetap terbuka.
"Yeah,"
ujarnya, napasnya berat. "Seperti petunjuk, misalnya.”
Jacob merengkuh
wajahku dengan tangannya yang besar dan kelewat panas, memegangnya hanya
beberapa sentimeter dari wajahnya.
Ditatapnya mataku
dalam-dalam sementara ia berbisik, seolah-olah berusaha memberi tahukan sesuatu
di balik kata-kata yang ia ucapkan.
"Kau masih
ingat waktu kita pertama kali bertemu—di tepi pantai di La Push?"
"Tentu
saja masih."
"Ceritakan
padaku mengenainya."
Aku menarik
napas dalam-dalam dan mencoba berkonsentrasi. "Kau menanyakan trukku."
Jacob
mengangguk, mendorongku untuk melanjutkan. "Kita mengobrol tentang Rabbit."
"Teruskan."
"Kita
berjalan-jalan di tepi pantai." Pipiku mulai panas di bawah telapak tangan
Jacob saat pikiranku melayang ke hari itu, tapi Jacob tidak menyadarinya,
karena kulitnya sendiri panas. Waktu itu aku mengajaknya jalan-jalan, menggodanya
dengan maksud ingin menggali
informasi
darinya. Jacob mengangguk, cemas menunggu kelanjutannya.
Suaraku nyaris
tak terdengar. "Kau menceritakan kisah- kisah menyeramkan. legenda suku
Quileute."
Jacob
memejamkan mata dan membukanya lagi. "Ya." Kata itu terucap dengan
tegang, bersungguh sungguh, seolah-olah ia sedang berada di tepi sesuatu yang
vital. Ia berbicara lambat-lambat, setiap kata diucapkan dengan jelas. "Kau
ingat apa yang kuceritakan waktu itu?"
Bahkan dalam
gelap, ia pasti bisa melihat perubahan rona wajahku. Bagaimana aku bisa melupakannya?
Tanpa menyadari apa yang ia
lakukan, Jacob
memberi tahu apa yang perlu kuketahui hari itu—bahwa Edward adalah vampir. Jacob
menatapku dengan mata yang tahu terlalu
banyak.
"Pikirkan baik-baik" katanya.
"Ya, aku
ingat," desahku.
Jacob menghela
napas dalam-dalam, berusaha keras mengendalikan perasaannya. "Apa kau
ingat semua cerita—" Ia tak mampu menyelesaikan pertanyaan. Mulutnya
ternganga seakan-akan sesuatu mengganjal kerongkongannya.
"Semua
ceritanya?" tanyaku.
Jacob
mengangguk bisu. Kepalaku seperti diaduk-aduk. Hanya satu cerita yang benar-benar
penting. Aku tahu Jacob juga menceritakan hal-hal lain, tapi aku tak bisa mengingat
cerita pendahuluannya yang tidak
penting,
apalagi otakku saat ini rasanya tumpul saking lelahnya. Aku mulai
menggeleng-gelengkan kepala.
Jacob mengerang
dan melompat turun dari tempat tidur. Ia menekankan tinjunya ke kening dan
bernapas dengan cepat dan marah. "Kau sudah tahu, kau sudah tahu,"
gerutunya pada diri sendiri.
"Jake?
Jake, please,
aku lelah sekali. Aku tidak bisa berpikir sekarang. Mungkin besok."
Jacob menarik
napas untuk menenangkan diri dan mengangguk. "Mungkin nanti kau akan
ingat. Kurasa aku mengerti mengapa kau hanya ingat satu cerita saja,"
imbuhnya dengan nada menyindir
dan getir.
"Kau keberatan, tidak, kalau aku bertanya sesuatu tentang hal itu?"
tanyanya, nadanya masih sinis. "Sudah sejak lama aku ingin tahu.”
“Tentang apa?”
tanyaku waswas.
"Tentang
cerita vampir yang kuceritakan padamu."
Kupandangi dia
dengan sorot waspada, tak mampu menjawab. Tanpa menunggu persetujuanku, Jacob
tetap mengajukan pertanyaannya.
"Benarkah
waktu itu kau memang tidak tahu?" tanyanya, suaranya berubah parau.
"Benarkah aku yang pertama kali memberi tahumu siapa dia sesungguhnya?"
Bagaimana ia bisa mengetahuinya? Mengapa
ia memutuskan untuk percaya, mengapa baru sekarang? Gigiku mengatup rapat. Kubalas
tatapannya,
tak berniat menjawab. Jacob menyadarinya.
"Kau
mengerti kan, apa yang kumaksud dengan loyalitas?"
gumamnya, suaranya semakin parau.
"Hal yang
sama juga terjadi padaku, tapi lebih parah. Kau tak bisa membayangkan betapa kuatnya
aku terikat."
Aku tidak suka
itu—tidak suka melihatnya memejamkan mata seolah-olah kesakitan saat mengatakan
dirinya terikat tadi. Lebih dari sekadar
tidak suka—aku
sadar bahwa aku benci, membenci apa
pun yang menyakitinya. Sangat benci. Wajah
Sam memenuhi pikiranku.
Bagiku, ini semua
intinya adalah sesuatu yang secara sukarela dilakukan. Aku menjaga rahasia keluarga
Cullen karena cinta: tidak berbalas, tapi sejati. Bagi Jacob, tidak harus
menjadi seperti itu.
"Apakah kau
tak bisa membebaskan diri?" bisikku, menyentuh pinggiran kasar di bagian belakang
rambutnya yang pendek
Tangan Jacob
mulai gemetar, tapi ia tidak membuka mata. "Tidak. Aku terikat di dalamnya
seumur hidup. Seperti hukuman penjara seumur
hidup."
Tawa sinis. "Lebih lama daripada itu, mungkin."
"Tidak, Jake,"
erangku. "Bagaimana kalau kita kabur? Hanya kau dan aku. Bagaimana kalau
kita lari dari rumah, dan meninggalkan Sam?"
"Ini
bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan kabur dari rumah, Bella,"
bisik Jacob. "Aku mau saja kabur bersamamu, tapi. seandainya
bisa."
Bahunya kini ikut gemetar. Ia menghela napas dalam-dalam. "Sudahlah, aku
harus pergi."
"Kenapa?"
"Pertama,
sepertinya kau nyaris ambruk setiap saat. Kau butuh tidur—aku ingin kau sehat
dan bugar sehingga bisa berpikir jernih. Kau harus bisa menyimpulkannya, kau
harus bisa"
"Lalu
kenapa lagi?"
Kening Jacob berkerut.
"Aku harus menyelinap pergi diam-diam—seharusnya aku tak boleh menemuimu.
Mereka pasti bertanya-tanya di mana aku sekarang." Mulutnya berkerut.
"Kurasa aku harus tetap menceritakannya pada mereka."
"Kau tidak
perlu mengatakan apa-apa pada mereka" desisku.
"Bagaimanapun,
aku akan tetap mengatakannya."
Amarah
berkobar dalam dadaku. "Aku benci mereka!"
Jacob menatapku
dengan mata membelalak lebar, terkejut. "Tidak, Bella. Jangan benci mereka.
Ini bukan salah
Sam ataupun salah satu dari mereka. Seperti sudah kukatakan padamu sebelumnya—ini
salahku. Sesungguhnya Sam itu.
Well, luar biasa baik. Jared dan Paul
juga baik, walaupun Paul agak sedikit. Dan Embry temanku sejak dulu. Tidak ada
yang berubah dalam hal itu—satu-satunya yang belum berubah. Aku benarbenar merasa
tak enak hati kalau ingar bagaimana dulu aku punya pandangan jelek terhadap Sam.”
Sam luar biasa
baik? Kupandangi Jacob dengan sikap tidak percaya, tapi tak kutanggapi. "Kalau
begitu, mengapa kau tidak boleh
menemuiku?"
tuntutku.
"Karena
tidak aman," gumam Jacob, menunduk. Kata-katanya membuatku bergidik ngeri.
Jadi ia juga tahu itu? Tak ada orang lain yang tahu kecuali aku. Tapi ia
benar—sekarang ini tengah malam, waktu yang tepat untuk berburu. Jacob tak
seharusnya berada di kamarku. Kalau ada yang datang mencariku, aku harus
sendirian.
"Kalau
aku menganggapnya terlalu. terlalu berisiko," bisiknya, "aku tidak
mungkin datang. Tapi, Bella," ia menatapku lagi, "aku pernah
berjanji
padamu. Aku tidak menyangka janji itu akan begitu sulit ditepati, tapi bukan
berarti aku tidak akan berusaha."
Jacob melihat
ekspresi tak mengerti di wajahku.
"Setelah
nonton film konyol waktu itu," ia mengingatkan aku. "Aku berjanji padamu,
aku tidak akan pernah menyakitimu. Aku benar-benar
melanggar
janjiku sendiri sore tadi, ya?"
"Aku tahu
kau tidak bermaksud melakukannya, Jake. Tidak apa-apa."
“Trims, Bella."
Jacob meraih tanganku. "Aku akan melakukan apa pun yang bisa kulakukan agar
bisa berada di sisimu, sesuai janjiku." Tibatiba
ia nyengir. Bukan
cengiranku, bukan cengiran Sam, tapi kombinasi aneh keduanya. "Akan sangat
membantu bila kau bisa menyimpulkannya sendiri, Bella. Cobalah untuk
benar-benar berusaha."
Aku meringis
lemah. "Akan kucoba."
“Dan aku akan
berusaha menemuimu lagi nanti," Jacob mendesah. "Dan mereka pasti
akan berusaha mencegahku melakukannya."
"Jangan
dengarkan mereka."
"Akan kucoba,"
Jacob menggeleng, seolah meragukan dirinya sendiri. "Begitu kau bisa menebaknya,
segeralah datang dan beritahu aku."
Mendadak ia
teringat sesuatu, sesuatu yang membuat kedua tangannya gemetar. "Kalau kau.
kalau kau masih mau menemuiku."
"Mengapa
aku tidak mau menemuimu?"
Wajah Jacob
berubah keras dan pahit, wajah yang seratus persen milik Sam. "Oh, ada
saja alasannya, pasti" tukasnya kasar. "Dengar, aku
benar-benar
harus pergi. Bisakah kau melakukan sesuatu untukku?"
Aku hanya
mengangguk, takut melihat perubahan dalam dirinya.
"Paling
tidak telepon aku—kalau kau tidak mau menemuiku lagi. Beritahu aku kalau memang
begitu."
"Itu
tidak akan terjadi—"
Jacob
mengangkat sebelah tangan, menghentikan
kata-kataku. "Pokoknya beritahu aku."
Ia berdiri dan
berjalan ke jendela.
"Jangan
tolol, Jake," tukasku. "Bisa-bisa kakimu patah nanti. Lewat pintu
saja. Charlie tidak akan memergokimu."
"Aku
tidak akan kenapa-kenapa," tukasnya, tapi berbalik menuju pintu juga. Ia
ragu-ragu waktu melewatiku, menatapku dengan ekspresi seolaholah sesuatu
menusuknya. Ia mengulurkan sebelah tangan, memohon.
Aku menerima uluran
tangannya, dan tiba-tiba ia menyentakku—kasar sekali—hingga aku tertarik turun
dari tempat tidur dan menabrak dadanya.
"Siapa
tahu aku tak bisa bertemu lagi denganmu," bisiknya di rambutku, memelukku sangat
erat hingga tulang-tulangku terasa seperti mau remuk.
"Tidak bisa—bernapas!"
aku megap-megap. Jacob langsung melepas pelukannya, sebelah tangannya memegang
pinggangku agar aku tidak
terjatuh. Ia
mendorongku, kali ini lebih lembut, kembali ke tempat tidur.
"Tidurlah,
Bells. Kau harus bisa berpikir jernih. Aku tahu kau pasti bisa melakukannya.
Aku ingin kau mengerti. Aku tak ingin kehilangan kau, Bella. Tidak karena
masalah ini."
Jacob mencapai
pintu hanya dalam sekali melangkah, membukanya pelan-pelan, kemudian lenyap di
baliknya. Aku mencoba mendengar suara langkah-langkah kakinya menuruni tangga,
tapi tidak terdengar apa-apa.
Aku berbaring
lagi di tempat tidur, benakku berputar. Aku terlalu bingung, terlalu letih. Kupejamkan
mata, berusaha mencerna semuanya,
tapi detik
berikutnya ketidaksadaran menelanku begitu cepat hingga terasa membingungkan.
Bukan tidur
damai tanpa mimpi seperti dambaanku yang
kudapatkan—tentu saja bukan. Lagi-lagi
aku melihat diriku di hutan, dan mulai
berkeliaran
seperti yang selalu kulakukan. Dengan cepat aku menyadari ini bukan mimpi yang
sama seperti biasa. Pertama, karena aku
tidak merasakan
dorongan untuk berjalan tak tentu arah atau melakukan pencarian; aku hanya sekadar
berkeliaran karena kebiasaan, karena
memang itulah
yang biasanya kulakukan di sini. Sebenarnya, ini bahkan bukan hutan yang sama. Aromanya
berbeda, begitu juga cahayanya. Hutan ini tidak berbau tanah lembab, melainkan
berbau asin air laut. Aku tak bisa melihat langit; meski begitu, matahari pasti
bersinar—dedaunan di atasku berwarna hijau zambrud.
Ini hutan di sekitar
La Push—dekat pantai di sana, aku yakin. Aku tahu bila aku menemukan pantai,
aku pasti bisa melihat matahari. Maka aku
mempercepat
langkah, mengikuti suara debur ombak yang samar-samar terdengar di kejauhan. Dan
mendadak muncul Jacob, Ia menyambar tanganku, menarikku kembali ke bagian hutan
paling gelap.
"Jacob,
ada apa?" tanyaku. Wajahnya ketakutan seperti anak kecil, dan rambutnya
kembali indah, diikat ke belakang membentuk ekor kuda yang tergerai di pangkal
leher. Ia menarikku sekuat tenaga, tapi aku menolak; aku tak ingin masuk ke kegelapan.
"Lari,
Bella, kau harus lari!" bisiknya, ketakutan.
Serbuan
gelombang deja vu yang
sekonyongkonyong datang begitu kuat hingga nyaris membangunkanku.
Sekarang aku
tahu mengapa aku mengenali tempat ini. Karena aku pernah berada di sana sebelumnya,
di mimpi yang lain. Sejuta tahun yang lalu, bagian dari kehidupan yang sama
sekali berbeda. Ini mimpi yang pernah kudapat pada malam setelah aku
berjalan-jalan dengan Jacob di pantai, malam pertama aku tahu Edward itu vampir.
Mengenang kembali hari itu bersama Jacob pastilah yang memicu timbulnya mimpi
ini dari kenanganku yang terkubur. Terpisah dari mimpi itu sekarang, aku menunggu
mimpi itu berlanjut. Cahaya menghampiriku dari pantai. Beberapa saat lagi Edward
akan keluar dari pepohonan, kulitnya berkilau redup, matanya hitam dan
berbahaya. Ia akan melambai ke arahku, dan tersenyum. Wajahnya setampan
malaikat, giginya runcingruncing dan tajam. Tapi aku terlampau cepat. Ada hal
lain yang harusnya terjadi lebih dulu. Jacob menjatuhkan tanganku dan menjerit.
Gemetar dan mengentak-entak, ia terjatuh ke tanah dekat kakiku.
“Jacob!”
jeritku, rapi ia sudah lenyap. Sebagai gantinya kini tampak serigala berbulu merah-cokelat
dengan mata gelap dan cerdas.
Mimpiku
melenceng jauh, seperti kereta api yang keluar dari rel.
Ini bukan serigala
yang sama seperti yang pernah kuimpikan di kehidupan lain. Ini serigala besar
berbulu cokelat kemerahan yang berdiri dekat sekali denganku di padang rumput, seminggu
yang lalu. Serigala raksasa yang sangat besar, lebih besar daripada beruang.
Serigala itu
menatapku saksama, berusaha menyampaikan sesuatu yang penting dengan matanya
yang cerdas. Mata hitam-cokelat yang
familier,
seperti mata Jacob Black. Aku terbangun sambil menjerit sekeras-kerasnya. Aku
nyaris berharap Charlie akan datang untuk mengecek keadaanku kali ini. Ini
bukan jeritanku yang biasa.
Kubenamkan
kepalaku di bantal dan berusaha meredam
jeritan histeris yang hendak keluar dari kerongkonganku.
Kutekan bantal kuat-kuat ke
wajahku, bertanya-tanya
dalam hati apakah aku juga bisa membungkam fakta yang baru saja berhasil
kuhubungkan.
Tapi Charlie
tidak datang, dan akhirnya aku bisa juga meredam jeritan aneh yang keluar dari
tenggorokanku. Aku ingat semuanya sekarang—setiap kata yang keluar dari mulut
Jacob pada hari itu di pantai,
bahkan bagian
sebelum ia sampai ke cerita tentang para vampir, atau "yang berdarah
dingin" menurut istilahnya. Terutama bagian pertama.
“Apakah kau tahu tentang legenda kamu tentang asal-muasal
kami-maksudku suku Quikute?” tanyanya.
“Tidak juga," aku mengakui.
“Well ada banyak legenda, sebagian bahkan dipercaya sudah
ada sejak Zaman Air Bah—konon, suku Quileute kuno mengikat kano mereka di
Pucukpucuk pohon tertinggi di pegunungan untuk bisa selamat,
seperti Nabi Nuh dan bahteranya!” Ia tersenyum, untuk menunjukkan ia sendiri
tidak begitu memercayai cerita-cerita sejarah. "Legenda lain mengatakan
kami keturunan serigala—dan bahwa sampai sekarang serigala masih berkerabat dengan
kami. Hukum adat melarang kami
membunuh mereka. "Lalu ada cerita-cerita tentang yang
berdarah
dingin." Suara Jacob terdengar sedikit lebih rendah.
"Yang berdarah dingin?"
"Ya. Ada cerita-cerita tentang yang berdarah dingin,
cerita-cerita itu sama tuanya dengan legenda serigala, dan ada juga yang masih
cukup baru. Menurut legenda, kakek buyutku sendiri mengenal sebagian dari
mereka. Dialah yang membuat kesepakatan untuk menghalau mereka dari tanah kami."
Jacob memutar bola matanya.
"Kakek buyutmu?"
"Beliau itu tetua suku, seperti ayahku. Begini, yang
berdarah dingin itu musuh alami serigala—Well, bukan serigala sungguhan, tapi
serigala yang menjelma menjadi manusia, seperti leluhur kami. Kau bisa
menyebutnya werewolf."
"Werewolf punya musuh?"
"Hanya satu."
Sesuatu
menyumbat kerongkonganku, mencekikku. Aku berusaha menelannya, tapi benda itu
tersangkut di sana. tak bergerak. Aku
berusaha
meludahkannya.
"Werewolf,” aku terkesiap.
Ya, kata itulah
yang tadi menyumbat tenggorokanku. Dunia seolah jungkir balik, miring pada
porosnya. Tempat macam apakah ini? Benarkah ada dunia di mana legenda-legenda
kuno berkeliaran di
sepanjang
perbatasan kota-kota kecil, berhadapan dengan monster-monster mistis? Apakah
itu berarti setiap kisah dongeng didasarkan pada sesuatu yang benar-benar
nyata? Adakah hal yang waras
atau normal sama
sekak, atau semuanya hanya magis dan kisah-kisah hantu?
Kucengkeram
kepalaku kuat-kuat, menjaganya agar tidak meledak.
Sebuah suara
kecil garing dalam benakku bertanya mengapa aku begitu kalut. Bukankah aku sudah
menerima keberadaan vampir sejak dulu—
dan tanpa
histeris sama sekali? Benar sekali, aku ingin balas meneriaki suara itu.
Tidakkah saru mitos sudah cukup untuk siapa
pun, cukup
untuk seumur hidup? Lagi pula, sebelumnya tidak ada satu momen pun di mana aku
tak sepenuhnya menyadari bahwa Edward Cullen bukan manusia biasa. Jadi bukan
hal mengagetkan waktu aku tahu siapa ia sebenarnya—karena jelas sekali ia itu
berbeda.
Tapi Jacob? Jacob,
yang hanyalah Jacob, dan tidak lebih daripada itu? Jacob, temanku? Jacob,
satu-satunya manusia yang bisa memahamiku. Dan ia bahkan bukan manusia. Kulawan
dorongan untuk menjerit lagi. Jadi, apa arti semua itu bagiku? Aku tahu jawaban
pertanyaan itu. Berarti ada yang benar-benar tidak beres denganku.
Bagaimana bisa
hidupku dipenuhi karakterkarakter dari film horor? Bagaimana mungkin aku bisa
begitu peduli pada mereka sehingga hatiku terasa seperti direnggutkan dan
dadaku setiap kali mereka pergi mengikuti jalan hidup mistis mereka? Di
kepalaku segalanya berputar dan bergerak, berubah posisi sehingga hal-hal yang
tadinya berarti sesuatu, sekarang memiliki arti berbeda.
Berarti tidak
ada sekte. Tidak pernah ada sekte, tidak pernah ada geng. Tidak, ternyata
bahkan lebih buruk daripada itu. Yang ada ternyata adalah kawanan.
Kawanan yang
terdiri atas lima werewolf raksasa
aneka warna yang waktu itu berjalan melewatiku di padang rumput Edward.
Mendadak, aku
merasa harus bergegas. Mataku melirik jam—masih terlalu pagi, tapi aku tak peduli.
Aku harus pergi ke La Push sekarang. Aku harus menemui Jacob supaya ia bisa
memberi tahuku bahwa aku tidak hilang ingatan.
Kusambar baju
bersih pertama yang bisa kutemukan, tak peduli apakah serasi atau tidak, lalu
berlari menuruni tangga, melompati dua anak
tangga sekaligus.
Nyaris saja aku bertabrakan dengan Charlie saat menghambur di lorong, menuju ke
pintu.
"Mau ke
mana kau?" tanyanya, terkejut melihatku, sama seperti aku terkejut
melihatnya.
"Kau tahu
sekarang jam berapa?"
"Yeah.
Aku harus menemui Jacob."
"Kusangka
urusan dengan Sam—"
"Itu
tidak penting, aku harus bicara dengannya sekarang juga."
"Sekarang
masih terlalu pagi." Kening Charlie berkerut ketika ekspresiku tidak
berubah. "Tidak mau sarapan dulu?"
"Tidak
lapar." Kata-kata meluncur cepat dari bibirku. Charlie menghalangi
jalanku. Aku menimbang-nimbang untuk merunduk
mengitarinya
dan kabur secepat-cepatnya, tapi aku tahu aku harus memberi penjelasan nanti.
"Sebentar
lagi aku kembali, oke?" Charlie mengerutkan kening. "Langsung ke rumah
Jacob, kan? Tidak mampir-mampir dulu?"
Tentu saja
tidak. mau mampir ke mana? Katakataku berkejaran, karena aku begitu
terburuburu.
"Entahlah,"
Charlie mengakui. “Hanya saja. Well,
terjadi penyerangan lagi – serigala-serigala itu lagi. Dekat sekali dengan
pemukiman penduduk di sumber air panas sana—kali ini ada saksi mata yang
menyaksikan. Korban hanya beberapa meter dari jalan saat menghilang. Istrinya
melihat serigala abu-abu besar beberapa menit kemudian,
waktu dia sedang
mencari suaminya, lalu lari mencari bantuan."
Perutku langsung
mulas mendengarnya. "Orang itu diterkam serigala?"
"Tidak
ada tanda-tanda keberadaan orang itu—yang ada hanya bercak darah" Wajah
Charlie tampak galau. "Para polisi hutan menyisir hutan
dengan
bersenjata lengkap, membawa sukarelawan yang juga bersenjata. Banyak pemburu
yang ingin terlibat—tersedia hadiah bagi yang bisa menembak mati serigala. Itu
berarti akan banyak tembakmenembak di hutan, dan itu membuatku khawatir."
Charlie menggeleng. "Kalau orang-orang terlalu bersemangat, bisa terjadi
banyak kecelakaan."
“Mereka akan
menembaki serigala-serigala itu?" Suaraku naik tiga oktaf.
"Apa lagi
yang bisa kita lakukan? Ada apa?" tanya Charlie, matanya yang tegang
menelisik wajahku. Rasanya aku seperti mau pingsan;
wajahku pasti
lebih pucat daripada biasanya, toh bukan aktivis lingkungan hidup, kan?"
ku tak mampu menjawab.
Seandainya
Charlie tidak sedang memandangiku, aku pasti sudah menyurukkan kepalaku antara
lutut. Aku lupa pada para hiker
yang hilang
itu, juga jejak-jejak berdarah. aku tidak menghubungkan fakta-fakta itu dengan kesadaran
pertamaku.
"Dengar,
Sayang, ini tidak perlu membuatmu ketakutan. Asalkan kau tetap di kota atau
dijalan raya—tidak berhenti-berhenti—oke?"
"Oke,"
sahutku lemah.
"Pergi
dulu ya." Kutatap Charlie lekat-lekat untuk pertama kali,
dan kulihat ia
melilitkan sarung pistolnya ke pinggang dan memakai sepatu hiking.
"Kau
tidak akan ikut terjun mencari serigalaserigala itu kan, Dad?"
"Aku
harus membantu, Bells. Banyak orang menghilang."
Suaraku naik
lagi, nyaris histeris sekarang.
"Jangan!
Jangan, jangan pergi. Terlalu berbahaya!"
"Aku
harus melakukan tugasku, Nak. Jangan pesimis begitu—aku akan baik-baik
saja" Charlie berbalik ke pintu, membukanya dan
memeganginya.
"Kau mau pergi?"
Aku ragu-ragu,
perutku masih seperti diadukaduk. Apa
yang bisa kukatakan untuk menghentikannya?
Kepalaku pusing sekali, tak
mampu berpikir
apa-apa.
"Bells?"
"Mungkin
sekarang memang masih terlalu pagi untuk pergi ke La Push," bisikku.
"Aku
setuju," kata Charlie, lalu melangkah keluar ke tengah hujan, menutup
pintu di belakangnya. Begitu Charlie lenyap dari pandangan, aku merosot lemas
ke lantai dan menyurukkan kepalaku di antara lutut.
Haruskah aku
menyusul Charlie? Apa yang bisa kukatakan?
Dan bagaimana
dengan Jacob? Jacob sahabatku; aku harus memperingatkan dia. Kalau dia benar-benar
– aku meringis dan memaksa diriku memikirkan istilah itu – werewolf (dan aku tahu itu
benar, aku bisa merasakannya), itu berarti orang-orang akan menembaki dia! Aku
harus memberitahu Jacob dan teman-temannya bahwa orang-orang akan berusaha
membunuh mereka bila mereka berkeliaran sebagai serigala raksasa.
Aku harus membentahu
mereka supaya berhenti. Mereka harus berhenti! Charlie ada di hutan. Pedulikah
mereka pada hal itu? Aku penasaran. Hingga saat ini, hanya orang-orang asing
yang
hilang. Apakah
itu berarti sesuatu, atau hanya kebetulan?
Aku harus percaya
bahwa Jacob, paling tidak, peduli pada hal itu.
Bagaimanapun,
aku harus mengingatkan dia. Atau perlukah aku?
Jacob sahabatku,
tapi benarkah ia juga monster? Monster sungguhan? Monster jahat? Haruskah aku
mengingatkan dia, padahal dia dan
teman-temannya.
pembunuh? Padahal mereka begitu tega membantai para hiker yang tidak berdosa? Seandainya
mereka benar-benar makhluk jahat seperti yang ada di film-film horor, salahkah bila
aku melindungi mereka?
Mau tak mau
aku jadi membandingkan Jacob dan teman-temannya dengan keluarga Cullen. Kudekap
tubuhku erat-erat. melawan lubang itu, saat aku memikirkan mereka. Aku tidak
tahu apa-apa tentang werewolf,
itu sudah jelas. Paling-paling aku membayangkan
mereka mendekati
sosok seperti yang sering digambarkan di film-film – makhluk setengah manusia
berbadan besar dan berbulu lebat atau
semacam itu –
itu pun kalau aku membayangkan mereka. Jadi aku tak tahu apa yang membuat mereka
berburu, apakah karena kelaparan atau
kehausan atau
hanya dorongan untuk membunuh.
Sulit
menilainya, karena aku tidak tahu apa-apa. Tapi pasti tidak lebih sulit
daripada yang dialami keluarga Cullen dalam upaya mereka menjadi makhluk yang baik.
Ingatanku melayang kepada Esme—air mataku merebak saat membayangkan wajahnya
yang teduh dan baik—serta bagaimana, meski sikapnya begitu keibuan dan penuh
kasih
sayang, ia
terpaksa menahan napas, merasa malu sekali, dan lari menjauhiku waktu aku
berdarah.
Tak mungkin
lebih sulit daripada itu. Aku juga teringat pada Carlisle, yang selama
berabad-abad berjuang mengajari dirinya sendiri untuk
mengabaikan
darah, sehingga ia bisa menyelamatkan nyawa manusia sebagai dokter.
Tidak ada yang
lebih sulit daripada itu. Para werewolf
memilih jalan berbeda. Sekarang, apa yang seharusnya aku pilih?
0 komentar:
Post a Comment