October 02, 2014

Baca Online New Moon part 8

 8. ADRENALIN
"OKE, yang mana kopling?"
Aku menuding tuas di setang kiriku. Salah besar melepaskan pegangan. Sepeda motor yang berat itu goyah di bawahku, terancam jatuh ke samping. Cepat-cepat kusambar lagi setangnya, berusaha
menegakkannya.
"Jacob, motornya tidak mau berdiri tegak," keluhku,
"Nanti akan stabil kalau sudah jalan," janjinya.
"Sekarang, mana rem?"
"Di belakang kaki kananku."
"Salah."
Jacob menyambar tangan kananku dan menekukkan jari-jariku ke tuas di belakang setang gas.
"Tapi tadi kaubilang—"
"Ini rem yang harus kaugunakan. Jangan pakai rem belakang dulu, itu untuk nanti, kalau kau sudah bisa mengendarainya dengan benar."
"Kedengarannya kok tidak benar," tukasku curiga. "Bukan kali kedua rem itu sama pentingnya?"
"Lupakan saja rem belakang, oke? Ini—"Jacob menumpang, kan telapak tangannya ke telapak tanganku dan menggerakkannya untuk meremas
tuas. "Begini caranya mengerem. Jangan lupa." Ia meremas tanganku sekali lagi.
"Baiklah." aku setuju.
“Gas?” Kuputar setang kanan.
"Gigi?"
Aku menyenggolnya dengan tungkai kaki kiriku. "Bagus sekali. Kurasa kau sudah hafal namanama bagiannya. Sekarang tinggal menjalankannya."
"He-eh," gumamku, tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Perutku melilit aneh dan rasanya suaraku mau pecah. Aku takut sekali. Aku
berusaha meyakinkan diri bahwa ketakutanku itu tak beralasan. Aku toh sudah pernah melewati hal terburuk yang mungkin terjadi. Dibandingkan
dengan itu, mengapa hal lain bisa membuatku takut? Seharusnya aku bisa menghadapi maut dengan enteng dan berani.
Tapi perutku tidak percaya. Kutatap jalan tanah yang membentang panjang di hadapanku, diapit di sisi kiri dan kanannya dengan tetumbuhan hijau rimbun berkabut. Jalanannya berpasir dan lembab. Lebih bagus daripada lumpur.
“Sekarang, tekan koplingnya," Jacob memerintahkan.
Kuremas kopling dengan jari-jari tanganku.
"Sekarang ini penting, Bella," Jacob menekankan. "Jangan lepas kopling itu, oke? Aku ingin kau menganggapnya granat aktif. Pinnya sudah dilepas dan sekarang kau menahan pemicunya."
Aku meremasnya semakin kuat.
"Bagus. Kira-kira bisa tidak kau menyalakan mesin dengan mengengkol pedal kakinya?"
"Kalau aku memindahkan kakiku, aku bisa jatuh," kataku dengan rahang terkatup rapat, jarijariku mencengkeram erat granat aktifku.
"Oke, biar aku saja. Jangan lepaskan koplingnya."
Jacob mundur selangkah, kemudian tiba-tiba mengengkol pedal keras-keras. Terdengar raungan pendek, dan sepeda motor tersentak ke depan saking kerasnya Jacob mengengkol. Aku mulai goyah ke samping, tapi Jacob buru-buru memegangi sepeda motor sebelum benda itu jatuh bersamaku ke tanah.
"Tahan," ia menyemangati. "Koplingnya masih kaupegang?"
"Ya," jawabku.
"Jejakkan kakimu—akan kucoba lagi." Jacob menumpukan tangannya ke sadel belakang, untuk berjaga-jaga.
Empat kali mengengkol baru mesinnya menyala. Bisa kurasakan motor itu bergetar di bawahku seperti binatang yang marah. Kucengkeram kopling kuat-kuat sampai jari-jariku sakit.
"Cobalah menggas," Jacob menyarankan. "Pelanpelan. Dan jangan lepaskan koplingnya."
Ragu-ragu, kuputar setang kanan. Meski hanya sedikit, namun sepeda motor menggeram di bawahku. Kedengarannya marah dan lapar sekarang. Jacob tersenyum puas.
"Ingat bagaimana caranya memasukkan gigi satu?' tanyanya.
"Ya."
"Well, lakukanlah."
"Oke"
Jacob menunggu beberapa detik. "Kaki kiri," desaknya.
"Aku sudah tahu," sergahku, menarik napas dalam-dalam
"Yakin kau mau melakukannya?" tanya Jacob.
"Kelihatannya kau takut."
"Aku baik-baik saja,” bentakku. Kupelankan gas sedikit.
"Bagus sekali," Jacob memujiku. "Sekarang, pelan-pelan sekali lepaskan kopling."
Jacob mundur selangkah menjauhi motor."Kau mau aku melepaskan granat?" tanyaku tak percaya. Pantas saja ia mundur.
"Begitulah caramu menjalankan motor, Bella. Tapi lakukan sedikit demi sedikit."
Saat mulai melonggarkan cengkeraman, aku shock bukan main saat mendengar suara yang bukan milik cowok yang berdiri di sampingku.
"Ini ceroboh, kekanak-kanakan, dan idiot, Bella," suara selembut sutra itu menegur.
"Oh!" aku terkesiap, dan tanganku terlepas dari kopling.
Sepeda motor itu memberontak di bawahku, menyentakku maju dan ambruk ke tanah, separo bodinya menindihku. Suara mesinnya terbatukbatuk lalu mati.
"Bella?" Jacob menyentakkan sepeda motor berat itu dengan enteng. "Kau terluka?” Tapi aku tidak mendengarkan.
"Sudah kubilang," suara sempurna itu berbisik, sebening kristal.
"Aku tidak apa-apa," gumamku, linglung.
Lebih dari itu. Suara di kepalaku telah kembali. Masih terngiang-ngiang di telingaku—gaung yang lembut dan sehalus beledu. Pikiranku berputar cepat memikirkan berbagai kemungkinan. Tidak ada yang familier di sini—di jalanan yang tidak pernah kulihat, melakukan sesuatu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya—tidak ada deja vu. Jadi halusinasi itu
pasti dipicu hal lain. aku merasa adrenalin menderas kembali di pembuluh darahku, dan kurasa aku tahu jawabannya. Kombinasi adrenalin dan bahaya, atau mungkin hanya ketololan. Jacob menarikku berdiri.
"Kepalamu terbentur?” tanyanya.
"Kelihatannya tidak," Aku menganggukkan kepala ke depan dan ke belakang, mengecek.
"Motornya tidak rusak, kan?" Pikiran itu membuatku waswas. Aku sangat ingin mencoba lagi, segera. Bertindak ceroboh ternyata lebih
berhasil daripada yang kukira. Tidak harus melakukan kecurangan. Mungkin aku sudah menemukan cara untuk memunculkan halusinasi— itu jauh lebih penting.
"Tidak. Mesinnya hanya mati," jawab Jacob, menyela spekulasi kilatku. "Kau terlalu cepat melepas kopling."
Aku mengangguk. "Ayo kita coba lagi"
"Kau yakin?" tanya Jacob.
"Positif."
Kali ini aku mencoba mengengkol sendiri. Sulit sekali; aku harus meloncat sedikit agar bisa menginjak pedal sekuat tenaga, dan setiap kali melakukannya, sepeda motor itu seperti mencoba menjatuhkanku. Tangan Jacob menggelayut di atas setang, siap menangkapku kalau aku membutuhkannya.
Setelah beberapa kali mencoba dengan benar, bahkan ditambah dengan beberapa kali percobaan yang kurang tepat, baru mesinnya menyala dan meraung hidup di bawahku. Ingat bahwa ibaratnya
aku sedang memegang granat, aku bereksperimen dengan memutar-mutar handel gas. Mesin langsung menggeram begitu handel gas diputar sedikit saja. Senyumku kini sama lebarnya dengan senyum Jacob.
"Hati-hati melepas koplingnya," Jacob mengingatkanku. "Kau ingin bunuh diri, kalau begini? Jadi itu ya tujuannya?" suara itu berbicara
lagi, nadanya galak.
Aku tersenyum kaku—masih berfungsi ternyata—dan mengabaikan pertanyaan itu. Jacob tidak akan membiarkan hal buruk menimpaku.
"Pulanglah ke Charlie," suara itu memerintahkan. Keindahannya membuatku terpesona. Aku tak sanggup membiarkan ingatanku kehilangan suara itu, tak peduli berapa pun harga yang harus kubayar.
"Lepaskan pelan-pelan," Jacob menyemangatiku.
"Baiklah," jawabku. Aku agak resah waktu menyadari perkataanku itu menjawab pertanyaan mereka berdua.
Suara di kepalaku lagi-lagi menggeram mengatasi raungan mesin motor. Berusaha fokus kali ini, tidak membiarkan suara itu mengagetkanku lagi, aku melepaskan cengkeramanku sedikit demi sedikit. Tahu-tahu giginya masuk dan motor menyentak maju.
Dan aku pun terbang. Terpaan angin kencang yang tadi tidak ada
meniup kulitku hingga melekat erat di tengkorak dan menerbangkan rambutku ke belakang dengan kekuatan sangat besar, seolah-olah ada yang menjambaknya. Perasaan mulas yang kurasakan tadi sebelum melaju lenyap sudah; adrenalin menderas di sekujur tubuh, menggelitik urat-urat nadiku. Pohon-pohon lewat cepat di sebelahku, kabur menjadi dinding hijau.
Tapi ini baru gigi satu. Kakiku beringsut-ingsut maju mendekati gigi sementara tanganku memutar setang untuk menambah gas.
"Tidak, Bella!" suara semanis madu itu memerintahkan dengan nada marah, tepat di telingaku. "Hati-hati!"
Pikiranku sempat teralih sejenak dari kecepatan untuk menyadari bahwa jalanan ternyata mulai menikung pelan ke kiri, tapi aku masih tetap
melaju lurus. Jacob belum mengajariku caranya membelok.
"Rem, rem," aku bergumam sendiri, dan secara naluri menginjak rem keras-keras dengan kaki kanan, seperti yang biasa kulakukan saat menyetir mobil.
Motor mendadak goyah di bawahku, pertama bergetar ke satu sisi dan baru kemudian ke sisi lain. Motor itu menyeretku ke arah dinding hijau,
padahal kecepatanku kelewat tinggi. Aku berusaha membelokkan setang ke arah berlawanan, dan mendadak bobotku mendorong motor ke tanah, masih terus tergelincir ke arah pepohonan.
Sepeda motor itu kembali mendarat di atas tubuhku, meraung nyaring, menarikku melintasi pasir basah hingga membentur sesuatu yang tidak
bergerak. Aku tak bisa melihat. Wajahku tersungkur ke dalam lumut. Aku mencoba mengangkat kepala, tapi sesuatu menghalangiku.
Aku pusing dan bingung. Kedengarannya ada tiga hal yang menggeram—motor di atasku, suara di kepalaku, dan sesuatu yang lain.
"Bella!" Jacob berteriak, dan aku mendengar geraman motor lain berhenti Motor itu tak lagi mengimpitku ke tanah, dan aku berguling untuk bernapas. Semua geraman itu diam.
"Wow," gumamku. Aku merasa sangat bergairah. Beginilah pasti resep jitu untuk halusinasiadrenalin ditambah bahaya ditambah perbuatan
tolol. Sesuatu yang mendekati itu, paling tidak.
"Bella!" Jacob membungkuk cemas di atasku. Bella, kau masih hidup?"
"Aku baik-baik saja!” seruku antusias. Aku meregangkan otot-otot lengan dan kakiku. Kelihatannya semua masih berfungsi dengan baik.
“Ayo kita lakukan lagi."
"Kurasa jangan." Jacob masih terdengar waswas.
"Kurasa sebaiknya kuantar kau ke rumah sakit dulu.”
"Aku baik-baik saja."
“Ehm, Bella? Di dahimu ada luka robek yang besar sekali, dan darahmu mengucur deras." Jacob memberitahuku.
Aku meletakkan tangan di kepala. Benar saja, tanganku jadi basah dan lengket. Aku tidak mencium bau apa-apa kecuali lumut lembab di
wajahku, dan itu mencegah datangnya mual.
"Oh, maafkan aku, Jacob." Kutekan luka itu kuat-kuat, seolah-olah dengan begitu aku bisa memaksa darah masuk kembali ke kepalaku.
"Untuk apa kau meminta maaf karena berdarah?" tanya Jacob sambil memeluk pinggangku dan membantuku berdiri. "Ayo kita pergi. Aku yang menyetir." Ia mengulurkan tangan, meminta kunci.
"Sepeda-sepeda motornya bagaimana?" tanyaku sambil menyerahkan kunci.
Jacob berpikir sebentar. "Tunggu di sini. Dan ambil ini." Jacob membuka kausnya yang sudah ternoda darah, lalu melemparnya ke arahku.
Kubuat kaus itu menjadi buntalan dan kutempelkan ke dahiku. Aku mulai mencium baru darah; aku menarik napas dalam-dalam lewat mulut dan mencoba berkonsentrasi pada hal lain. Jacob melompat kembali menaiki sepeda motor hitam, menyalakan mesinnya dengan hanya sekali mengengkol, lalu langsung ngebut, menghamburkan pasir dan kerikil-kerikil kecil di belakangnya. Ia tampak atletis dan profesional saat
membungkuk ke depan di atas setang, kepala merunduk, wajah maju, rambut mengilat berkibarkibar menerpa kulit punggungnya yang cokelat
kemerahan. Mataku menyipit iri. Aku yakin tidak terlihat seperti itu saat mengendarai motor. Kaget juga aku menyadari betapa jauhnya aku
mengendarai motorku. Aku nyaris tak bisa melihat Jacob di kejauhan waktu ia akhirnya sampai ke trukku. Ia melemparkan sepeda motor ke bak truk dan berlari ke sisi kemudi.
Aku benar-benar tidak keberatan waktu Jacob memacu trukku hingga suara mesinnya meraung memekakkan telinga. Kepalaku sedikit pusing,
perutku mual, tapi lukaku tidak serius. Darah yang keluar dari luka kepala memang cenderung lebih banyak. Jacob sebenarnya tak perlu sepanik itu.
Jacob membiarkan mesin tetap menyala sementara ia berlari mendapatiku, melingkarkan lengannya lagi ke pinggangku.
"Oke, ayo kunaikkan kau ke truk."
"Sungguh, aku tidak apa-apa," aku meyakinkan Jacob sementara ia membantuku naik. "Jangan panik begitu. Darahnya hanya sedikit kok."
"Sedikit bagaimana, ini banyak sekali,” kudengar Jacob menggerutu waktu ia lari mengambil sepeda motorku.
"Sekarang, mari kita pikirkan dulu masalah ini sebentar, kataku setelah Jacob naik lagi ke mobil.
"Kalau kau membawaku ke UGD seperti ini, Charlie pasti akan tahu nanti." Kulirik tanah dan lumpur yang mengering di jinsku.
"Bella, kurasa lukamu perlu dijahit. Aku tidak akan membiarkanmu mati kehabisan darah.”
“Itu, tidak akan terjadi,” aku meyakinkannya.
“Kita antar saja dulu motornya, kemudian mampir ke rumahku supaya aku bisa menghilangkan semua bukti dan baru kemudian ke rumah sakit.”
"Bagaimana dengan Charlie?
“"Katanya tadi dia harus kerja."
“Kau yajin?”
“Percakah padaku. Aku ini gampang berdarah. Ini tidak separah kelihatannya kok."
Jacob tidak senang mendengarnya—sudut-sudut mulutnya tertekuk ke bawah—tapi ia tidak ingin menyusahkanku. Aku memandang ke luar jendela, menempelkan kaus Jacob yang berlepotan darah ke kepala, sementara ia membawa trukku menuju Forks.
Sepeda motor itu jauh lebih baik daripada yang kubayangkan. Tujuan sesungguhnya tercapai. Aku sudah berbuat curang—melanggar janjiku. Aku melakukan kecerobohan yang tidak perlu. Sekarang aku tak lagi merasa terlalu merana karena kedua pihak sudah sama-sama ingkar janji.
Dan, menemukan kunci ke halusinasi! Setidaknya, begitulah yang kuharapkan. Aku akan menguji teori itu sesegera mungkin. Mungkin
mereka bisa menanganiku dengan cepat di UGD, jadi aku bisa mencobanya lagi nanti malam. Ngebut di jalan seperti tadi rasanya luar biasa.
Terpaan angin menampar wajahku, cepatnya motor melaju dan kebebasan yang kurasakan. mengingatkanku pada kehidupan masa laluku, terbang menembus hutan lebat tanpa berjalan, menaiki punggungnya sementara ia berlari – pikiranku berhenti sampai di situ, membiarkan ingatanku terputus begitu saja karena mendadak
hatiku miris. Aku meringis.
“Kau masih baik-baik?” tanya Jacob.
"Yeah." Aku berusaha tetap memperdengarkan nada tegar seperti sebelumnya.
"Omong-omong," imbuh Jacob. "Aku akan mencopot kabel rem kakimu malam ini."
Di rumah, yang pertama kulakukan adalah menyempatkan diri melihat keadaanku di cermin; benar-benar mengerikan. Darah mengering dalam
bentuk aliran tebal di sepanjang pipi dan leherku, menempel di rambutku yang berlumpur. Kuamati diriku dari sisi klinis, berpura-pura darah itu cat
supaya tidak mual. Aku bernapas lewat mulut, dan tidak merasa ingin muntah.
Aku mencuci muka sebisaku. Lalu kusembunyikan pakaian kotorku yang berlepotan darah di bagian bawah keranjang cucian, lalu memakai jins baru dan kemeja (jadi tidak perlu memakainya lewat kepala) sehati-hati mungkin.
Aku berhasil melakukannya dengan satu tangan dan menjaga pakaianku tidak terkena noda darah.
"Cepatlah," seru Jacob.
"Oke, oke," aku balas berteriak. Setelah memastikan tidak meninggalkan bukti-bukti memberatkan, aku turun ke lantai bawah.
"Bagaimana kelihatannya?" tanyaku.
"Lebih baik," ia mengakui.
"Tapi apakah aku terlihat seperti tersandung di garasimu dan kepalaku membentur palu?"
"Ya, kurasa begitu."
"Baiklah kalau begitu, kita berangkat."
Jacob bergegas menggiringku keluar, dan bersikeras menyetir lagi. Kami sudah setengah jalan menuju rumah sakit waktu aku sadar ia
masih tidak memakai baju. Aku mengurutkan kening dengan perasaan
bersalah. "Seharusnya tadi kita mengambil jaket untukmu.”
"Nanti sandiwara kita terbongkar dong,” goda Jacob. "Lagi pula, udara tidak dingin kok."
"Kau bercanda, ya?” Aku gemetar, tanganku terulur untuk menyalakan pemanas. Kupandangi Jacob untuk melihat apakah ia sengaja berlagak gagah supaya aku tidak khawatir, tapi kelihatannya ia cukup nyaman. Sebelah tangannya bertengger di bagian belakang kursiku, sementara aku justru meringkuk supaya tetap hangat.
Jacob benar-benar terlihat lebih tua daripada enam belas tahun—bukan empat puluh, tapi mungkin lebih tua dariku. Quil saja masih kalah berotot dibandingkan dia, padahal Jacob menganggap dirinya kurus seperti tengkorak.
Ototototnya panjang dan liat, tapi jelas kelihatan di balik kulitnya yang mulus. Warna kulitnya cantik sekali, membuatku iri saja. Jacob sadar sedang diamati.
"Apa?" tanyanya, mendadak canggung.
"Tidak apa-apa. Hanya saja aku tidak menyadarinya sebelum ini. Tahukah kau bahwa kau lumayan tampan?"
Begitu kata-kata itu terlontar, aku khawatir ia akan salah menerima observasi impulsifku itu. Tapi Jacob hanya memutar bola matanya.
"Kepalamu terbentur keras sekali, ya?"
"Aku serius."
"Well, kalau begitu, trims. Kayaknya."
Aku nyengir. "Sama-sama. Kayaknya."
Aku mendapat tujuh jahitan untuk menutup luka di keningku. Setelah merasa perih karena mendapat anestesi lokal, prosedurnya sendiri tidak
sakit. Jacob memegangi tanganku sementara dr.Snow menjahit, dan aku berusaha untuk tidak memikirkan betapa ironisnya itu.
Kami lama sekali di rumah sakit. Setelah selesai, aku harus mengantar Jacob ke rumahnya dan buru-buru pulang untuk memasak makan malam untuk Charlie. Charlie sepertinya memercayai ceritaku bahwa aku jatuh di garasi Jacob. Bagaimanapun, bukan baru kali ini aku pergi
sendiri ke UGD.
Malam itu tidak seburuk malam pertama itu, setelah aku mendengar suaranya yang sempurna di Port Angeles. Lubang itu kembali menganga, seperti yang selalu terjadi setiap kali aku jauh dari Jacob, tapi bagian pinggirnya tak lagi berdenyutdenyut nyeri. Aku selalu menyusun rencana ke depan, menanti-nanti datangnya delusi lagi, dan
itu mengalihkan perhatianku. Juga, aku tahu perasaanku akan lebih enak besok, saat bertemu lagi dengan Jacob. Itu membuat lubang hampa dan kepedihan yang familier itu lebih mudah ditanggung; sebentar lagi kelegaan akan kudapat.
Mimpi buruk juga kehilangan sedikit potensinya. Aku takut pada kehampaan, seperti yang selalu terjadi, tapi anehnya, aku juga tidak sabar menunggu saat-saat yang akan membuatku menjerit dan kemudian tersadar. Aku tahu mimpi buruk itu pasti berakhir.
Hari Rabu berikutnya, sebelum aku sampai di rumah dan UGD, dr. Gerandy menelepon ayahku untuk mengingatkan kemungkinan aku mengalami gegar otak dan menyarankannya untuk membangunkan aku setiap dua jam sekali sepanjang malam untuk memastikan itu tidak
serius. Mata Charlie menyipit curiga mendengar penjelasan lemahku yang lagi-lagi mengatakan aku tersandung.
"Mungkin sebaiknya kau jangan lagi nongkrong di garasi, Bella,” Charlie menyarankan saat makan malam.
Aku panik, khawatir Charlie bakal mengeluarkan semacam dekrit yang melarangku pergi ke La Push, dan akibatnya aku tidak akan bisa mengendarai motorku lagi. Tapi aku tak mau menyerah—hari ini
aku mengalami halusinasi paling menakjubkan.
Delusiku yang bersuara sehalus beledu itu berteriak-teriak padaku selama hampir lima menit sebelum akhirnya aku menginjak rem kelewat
mendadak dan tubuhku terlempar membentur pohon. Untuk itu aku rela merasakan sakit yang akan kualami malam ini tanpa mengeluh.
“Aku bukannya tersandung di garasi," aku buruburu memprotes. "Kami sedang hiking, dan aku tersandung batu."
"Sejak kapan kau suka hiking?" Charlie bertanya skeptis. "Kerja di Newton's membuatku ketularan demam berpetualang," dalihku. "Setiap hari menjual berbagai perlengkapan hiking, lama-lama penasaran juga."
Charlie menatapku tajam, tidak percaya.
“Aku akan lebih berhati-hati," janjiku, diamdiam menyilangkan jari-jariku di bawah meja.
"Aku tidak keberatan kau hiking di sekitar La Push, tapi jangan jauh-jauh dari kota, oke?"
"Kenapa?'
Well, belakangan ini aku sering mendapat laporan tentang kemunculan hewan-hewan liar. Petugas dari departemen kehutanan akan mengecek laporan-laporan itu, tapi untuk sementara waktu."
“Oh, soal beruang besar itu," kataku, mendadak paham. “Yeah, beberapa hiker yang datang ke Newton's juga mengaku melihatnya. Dad yakin ada beruang grizzly raksasa yang bermutasi di luar sana?"
Kening ayahku berkerut. "Pokoknya ada sesuatu. Jangan jauh-jauh dari kota. oke?"
"Tentu, tentu," aku buru-buru menyahut. Kelihatannya Charlie tidak begitu puas.
"Charlie mulai curiga," keluhku pada Jacob waktu aku menjemputnya sepulang sekolah pada hari Jumat.
"Mungkin untuk sementara kita jangan naik motor dulu." Jacob melihat ekspresi penolakan di wajahku dan menambahkan, "Setidaknya untuk
satu-dua minggu ini. Kau bisa kan menjauhi rumah sakit selama satu minggu?"
"Lantas, kita ngapain dong?" omelku. Jacob tersenyum riang. "Terserah kau."
Aku memikirkannya sebentar—tentang apa yang kuinginkan.
Aku tidak suka membayangkan bakal kehilangan kedekatanku dengan kenangan tak menyakitkan itu, meski hanya beberapa detik— kenangan yang datang sendiri, tanpa aku perlu memikirkannya secara sadar. Kalau aku tidak bisa naik motor, berarti aku harus mencari jalan lain
untuk melakukan hal yang berbahaya dan memicu adrenalin, dan untuk itu diperlukan pemikiran yang serius serta kreativitas. Tidak melakukan
apa-apa untuk sementara sepertinya tidak menarik. Bagaimana kalau aku depresi lagi, bahkan walaupun sudah bersama Jake? Aku harus
tetap menyibukkan diri. Mungkin ada jalan lain, resep lain. tempat lain.
Keliru besar mendatangi rumahnya, jelas. Tapi kehadiranmu pasti terpatri di suatu tempat, di tempat lain selain dalam diriku. Pasti ada tempat di mana kehadirannya terasa lebih nyata di antara lokasi-lokasi penting yang sarat kenangan manusia-manusia lain.
Ada satu tempat yang terlintas dalam benakku. Satu tempat yang akan selalu menjadi miliknya, bukan milik orang lain. Tempat yang magis penuh cahaya. Padang rumput indah yang hanya pernah kulihat sekali dalam hidupku, benderang oleh sinar matahari dan kulitnya yang berpendar-pendar gemerlap.
Ide itu berpotensi besar menjadi senjata makan tuan—bisa jadi itu malah akan sangat menyakitkan. Bahkan memikirkannya saja sudah
membuat dadaku nyeri oleh kehampaan. Sulit rasanya menahan perasaan tetap tenang, agar tidak ketahuan. Tapi jelas, di sanalah tempatku pasti bisa mendengar suaranya. Lagi pula. Aku sudah telanjur mengatakan pada Charlie bahwa aku pernah hiking.
"Apa yang kaupikirkan sampai serius begitu?" tanya Jacob.
"Well." Aku mulai lambat-lambat. "Dulu aku pernah menemukan tempat di dalam hutan—aku menemukannya waktu aku sedang, eh, hiking. Padang rumput kecil, pokoknya indah sekali. Entah apakah aku bisa menemukannya lagi sendiri. Mungkin bisa kalau mencoba beberapa
kali."
“Kita bisa memakai kompas dan peta," kata
Jacob penuh percaya diri. "Kau tahu dari mana memulainya?"
“Ya, tepat dari ujung jalan setapak di ujung jalan satu sepuluh berakhir. Arah selatan, kalau tidak salah."
"Bagus, Ayo kita cari." Seperti biasa, Jacob selalu bersemangat menerima ajakanku. Tidak peduli betapa pun anehnya ajakanku itu.
Maka, Sabtu siang aku mengikat sepatu bot hiking baruku—dibeli paginya dengan memanfaatkan diskon dua puluh persen khusus
karyawan yang kupakai untuk pertama kali—menyambar peta topografi Semenanjung Olympic, lalu melaju ke La Push. Kami tidak langsung mulai; pertama-tama, Jacob tengkurap di lantai ruang tamu—panjang
badannya mengisi seluruh ruangan—dan, selama dua puluh menit penuh, menggambar jaring-jaring rumit di bagian-bagian tertentu pada peta sementara aku bertengger di kursi dapur mengobrol dengan Billy. Sepertinya Billy sama sekali tidak khawatir mendengar rencana kami
pergi hiking. Aku terkejut juga karena Jacob menceritakan padanya tentang rencana kami, padahal orang-orang banyak meributkan soal
beruang itu. Aku ingin meminta Billy untuk tidak bercerita pada Charlie, tapi takut permintaan itu justru mendorongnya berbuat sebaliknya.
"Mungkin kita akan bertemu beruang super itu," canda Jacob, matanya tertuju pada desainnya.
Aku cepat-cepat melirik Billy, takut ia bakal bereaksi seperti Charlie.
Tapi Billy hanya tertawa mendengar perkataan anaknya. "Mungkin sebaiknya kaubawa saja satu stoples madu, untuk jaga-jaga."
Jacob terkekeh. "Mudah-mudahan sepatu bot barumu bisa berlari cepat, Bella. Satu stoples madu tidak cukup untuk menahan beruang yang
kelaparan."
"Aku hanya perlu berlari lebih cepat darimu."
"Selamat deh kalau begitu!" seru Jacob, memutar bola matanya sambil melipat peta. "Ayo kita pergi.”
"Selamat bersenang-senang," kata Billy sambil menggelinding menuju lemari es. Charlie bukan tipe orang yang sulit, tapi sepertinya Billy jauh lebih longgar ketimbang dia. Aku mengemudikan trukku sampai ke ujung
jalan tanah, berhenti dekat papan petunjuk yang menandai awal jalan setapak. Sudah lama sekah aku tak pernah lagi ke sini, dan perutku bereaksi dengan gugup. Bisa jadi ini sangat gawat. Tapi akan setimpal dengan hasilnya kalau aku bisa mendengarnya.
“Aku turun dan memandangi belukar hijau yang rapat.
“Aku pergi ke arah ini," gumamku, menuding lurus ke depan.
"Hmmm,” gumam Jake.
"Apa?”
Ia melihat ke arah yang kutunjuk, lalu ke jalan setapak yang sudah ditandai dengan jelas, dan kembali lagi.
"Aku pasti mengira kau cewek penjelajah sejati."
“Enak saja." Aku tersenyum lemah. "Aku ini pemberontak."
Jacob tertawa, kemudian mengeluarkan peta kami.
"Tunggu sebentar." Ia memegang kompas dengan sikap ahli, memutar peta hingga mengarah ke tempat yang ia inginkan.
"Oke—garis pertama pada peta. Ayo cabut."
Kentara sekali Jacob harus memperlambat langkah demi aku, tapi ia tidak mengeluh. Aku berusaha untuk tidak memikirkan perjalanan
terakhirku ke bagian hutan ini, ditemani seseorang yang sama sekali berbeda. Kenangan-kenangan normal masih tetap berbahaya. Kalau kubiarkan diriku tergelincir, aku akan mendapati diriku mencengkeram dada untuk menahannya tetap utuh, megap-megap kehabisan udara, dan bagaimana aku menjelaskan itu pada Jacob?
Ternyata tetap memfokuskan diri pada masa sekarang tidak sesulit yang kuduga. Hutan ini sangat mirip dengan bagian lain semenanjung, dan
kehadiran Jacob membuat suasana hatiku sangat jauh berbeda.
Jacob bersiul-siul riang, lagunya tidak kukenal, sambil mengayun-ayunkan kedua lengan dan berjalan ringan menembus semak belukar yang kasar. Bayang-bayang tak tampak segelap biasa.
Tidak dengan ditemani matahari pribadiku. Sesekali Jacob mengecek kompas, memastikan kami tetap di jalur yang benar. Kelihatannya ia
benar-benar paham apa yang dilakukannya. Aku ingin memujinya, tapi lalu mengurungkan niat. Tak diragukan lagi ia bakal menambahkan beberapa tahun ke usianya yang sudah menggelembung.
Pikiranku berkelana sementara aku berjalan, dan rasa ingin tahuku muncul. Aku masih belum melupakan pembicaraan kami waktu itu di tebingtebing laut—selama ini aku menunggu Jacob mengungkitnya lagi, tapi kelihatannya itu tidak bakal terjadi.
"Hei. Jake?" tanyaku ragu-ragu.
"Yeah?"
"Bagaimana kabar. Embry? Dia sudah kembali normal?"
Jacob terdiam sejenak, masih terus berjalan dengan langkah-langkah panjang. Ketika berada kira-kira tiga meter di depan, ia berhenti untuk
menungguku.
"Tidak. Dia belum kembali normal," kata Jacob begitu aku sampai di dekatnya, sudut-sudut mulutnya tertarik ke bawah. Ia belum mulai
berjalan lagi. Seketika itu juga aku langsung menyesal sudah mengungkitnya.
"Masih bersama Sam?"
"Yep."
Jacob merangkul bahuku, dan ekspresinya tampak sangat galau sehingga aku tak berani menghalaunya dengan guyonan, seperti yang
sebenarnya ingin kulakukan.
"Mereka masih memandangimu dengan sikap aneh?” aku separo berbisik. Pandangan Jacob menerawang menembus
pepohonan. "Kadang-kadang.”
“Dan Billy?”
“Sangat membantu, seperti yang sudah-sudah,” tukas Jacob dengan nada masam bercampur marah yang membuatku merasa tidak enak.
“Sofa kami selalu siap menampungmu," aku menawarkan.
Jacob tertawa, sikap masamnya yang tidak biasa mendadak lenyap. “Tapi coba bayangkan betapa membingungkannya posisi Charlie—waktu Billy menelepon polisi bahwa aku diculik."
Aku tertawa, senang melihat Jacob normal lagi. Kami berhenti waktu Jacob berkata kami sudah berjalan hampir sepuluh kilometer, memotong ke barat sebentar, lalu kembali menyusuri jalur lurus
sesuai gambar dalam petanya. Semua tampak sama persis seperti jalan masuk tadi, dan aku punya firasat pencarian tololku bisa dibilang gagal
total. Aku terpaksa mengakuinya waktu akhirnya hari mulai gelap, hari yang tak bermatahari meredup berganti malam tak berbintang, tapi Jacob justru lebih percaya diri.
“Asal kau yakin kita memulainya dari tempat yang tepat." Ia menunduk menatapku.
"Ya, aku yakin."
“Maka kita pasti akan menemukannya," ia berjanji, menyambar tanganku dan menarikku menerobos semak pakis. Begitu keluar dari dalam semak, kulihat trukku bertengger di pinggir jalan. Jacob melambaikan tangannya dengan bangga.
"Percayalah padaku."
"Kau hebat," aku mengakui. "Tapi lain kali, jangan lupa bawa senter."
"Mulai sekarang, hiking menjadi kegiatan tetap kita setiap hari Minggu. Aku baru tahu ternyata jalanmu selamban itu."
Aku menyentakkan tanganku dari gandengannya dan berjalan sambil mengentak-entakkan kaki ke mobil, sementara Jacob terkekeh melihat reaksiku.
"Bagaimana, mau mencoba lagi besok?" tanyanya, menyusup masuk ke jok penumpang.
"Tentu. Kecuali kau mau pergi tanpa aku supaya aku tidak menahanmu dengan langkah-langkahku yang selamban siput.”
"Aku tahan kok," Jacob meyakinkan aku. "Tapi kalau kita hiking lagi nanti, lebih baik kau memakai moleskinsemacam sepatu (mokasin yang terbuat dari kulit hewan berbulu. Berani bertaruh, kakimu pasti lecet-lecet dengan sepatu bot barumu itu.”
"Sedikit," aku mengakui. Rasanya kakiku memang lecet semua.
"Mudah-mudahan besok kita bisa melihat beruang. Aku agak kecewa juga soal itu."
"Ya, aku juga," sergahku sinis. "Mungkin besok kita beruntung dan akan menjadi mangsa binatang!"
"Beruang tidak suka makan manusia. Kita toh tidak enak-enak amat." Jacob nyengir padaku di dalam truk yang gelap. "Tentu saja, bisa jadi kau merupakan pengecualian. Berani bertaruh, kau pasti enak sekali."
"Terima kasih banyak," sahutku, membuang muka. Ia bukan orang pertama yang mengatakan hal itu.


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates