Baca Online New Moon part 8
8.
ADRENALIN
"OKE,
yang mana kopling?"
Aku menuding
tuas di setang kiriku. Salah besar melepaskan pegangan. Sepeda motor yang berat
itu goyah di bawahku, terancam jatuh ke samping. Cepat-cepat kusambar lagi
setangnya, berusaha
menegakkannya.
"Jacob,
motornya tidak mau berdiri tegak," keluhku,
"Nanti
akan stabil kalau sudah jalan," janjinya.
"Sekarang,
mana rem?"
"Di
belakang kaki kananku."
"Salah."
Jacob
menyambar tangan kananku dan menekukkan jari-jariku ke tuas di belakang setang gas.
"Tapi
tadi kaubilang—"
"Ini rem
yang harus kaugunakan. Jangan pakai rem belakang dulu, itu untuk nanti, kalau
kau sudah bisa mengendarainya dengan benar."
"Kedengarannya
kok tidak benar," tukasku curiga. "Bukan kali kedua rem itu sama pentingnya?"
"Lupakan
saja rem belakang, oke? Ini—"Jacob menumpang, kan telapak tangannya ke
telapak tanganku dan menggerakkannya untuk meremas
tuas. "Begini caranya mengerem. Jangan
lupa." Ia meremas tanganku sekali lagi.
"Baiklah."
aku setuju.
“Gas?” Kuputar setang kanan.
"Gigi?"
Aku menyenggolnya
dengan tungkai kaki kiriku. "Bagus sekali. Kurasa kau sudah hafal namanama
bagiannya. Sekarang tinggal menjalankannya."
"He-eh,"
gumamku, tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Perutku melilit aneh dan rasanya
suaraku mau pecah. Aku takut sekali. Aku
berusaha
meyakinkan diri bahwa ketakutanku itu tak beralasan. Aku toh sudah pernah
melewati hal terburuk yang mungkin terjadi. Dibandingkan
dengan itu, mengapa
hal lain bisa membuatku takut? Seharusnya aku bisa menghadapi maut dengan
enteng dan berani.
Tapi perutku
tidak percaya. Kutatap jalan tanah yang membentang panjang di hadapanku, diapit
di sisi kiri dan kanannya dengan tetumbuhan hijau rimbun berkabut. Jalanannya berpasir
dan lembab. Lebih bagus daripada lumpur.
“Sekarang,
tekan koplingnya," Jacob memerintahkan.
Kuremas
kopling dengan jari-jari tanganku.
"Sekarang
ini penting, Bella," Jacob menekankan. "Jangan lepas kopling itu,
oke? Aku ingin kau menganggapnya granat aktif. Pinnya sudah dilepas dan
sekarang kau menahan pemicunya."
Aku meremasnya
semakin kuat.
"Bagus.
Kira-kira bisa tidak kau menyalakan mesin dengan mengengkol pedal
kakinya?"
"Kalau
aku memindahkan kakiku, aku bisa jatuh," kataku dengan rahang terkatup
rapat, jarijariku mencengkeram erat granat aktifku.
"Oke,
biar aku saja. Jangan lepaskan koplingnya."
Jacob mundur
selangkah, kemudian tiba-tiba mengengkol pedal keras-keras. Terdengar raungan pendek,
dan sepeda motor tersentak ke depan saking kerasnya Jacob mengengkol. Aku mulai
goyah ke samping, tapi Jacob buru-buru memegangi sepeda motor sebelum benda itu
jatuh bersamaku ke tanah.
"Tahan,"
ia menyemangati. "Koplingnya masih kaupegang?"
"Ya,"
jawabku.
"Jejakkan
kakimu—akan kucoba lagi." Jacob menumpukan tangannya ke sadel belakang,
untuk berjaga-jaga.
Empat kali mengengkol
baru mesinnya menyala. Bisa kurasakan motor itu bergetar di bawahku seperti
binatang yang marah. Kucengkeram kopling kuat-kuat sampai jari-jariku sakit.
"Cobalah
menggas," Jacob menyarankan. "Pelanpelan. Dan jangan lepaskan
koplingnya."
Ragu-ragu, kuputar
setang kanan. Meski hanya sedikit, namun sepeda motor menggeram di bawahku.
Kedengarannya marah dan lapar sekarang. Jacob tersenyum puas.
"Ingat bagaimana
caranya memasukkan gigi satu?' tanyanya.
"Ya."
"Well, lakukanlah."
"Oke"
Jacob menunggu
beberapa detik. "Kaki kiri," desaknya.
"Aku
sudah tahu,"
sergahku, menarik napas dalam-dalam
"Yakin
kau mau melakukannya?" tanya Jacob.
"Kelihatannya
kau takut."
"Aku
baik-baik saja,” bentakku. Kupelankan gas sedikit.
"Bagus
sekali," Jacob memujiku. "Sekarang, pelan-pelan sekali lepaskan kopling."
Jacob mundur
selangkah menjauhi motor."Kau mau aku melepaskan granat?" tanyaku tak
percaya. Pantas saja ia mundur.
"Begitulah
caramu menjalankan motor, Bella. Tapi lakukan sedikit demi sedikit."
Saat mulai
melonggarkan cengkeraman, aku shock bukan
main saat mendengar suara yang bukan milik cowok yang berdiri di sampingku.
"Ini
ceroboh, kekanak-kanakan, dan idiot, Bella," suara selembut sutra itu
menegur.
"Oh!"
aku terkesiap, dan tanganku terlepas dari kopling.
Sepeda motor
itu memberontak di bawahku, menyentakku maju dan ambruk ke tanah, separo bodinya
menindihku. Suara mesinnya terbatukbatuk lalu mati.
"Bella?"
Jacob menyentakkan sepeda motor berat itu dengan enteng. "Kau terluka?” Tapi
aku tidak mendengarkan.
"Sudah
kubilang," suara sempurna itu berbisik, sebening kristal.
"Aku
tidak apa-apa," gumamku, linglung.
Lebih dari
itu. Suara di kepalaku telah kembali. Masih terngiang-ngiang di telingaku—gaung
yang lembut dan sehalus beledu. Pikiranku berputar cepat memikirkan berbagai kemungkinan.
Tidak ada yang familier di sini—di jalanan yang tidak pernah kulihat, melakukan
sesuatu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya—tidak ada deja vu. Jadi halusinasi itu
pasti dipicu hal
lain. aku merasa adrenalin menderas kembali di pembuluh darahku, dan kurasa aku
tahu jawabannya. Kombinasi adrenalin dan bahaya, atau mungkin hanya ketololan. Jacob
menarikku berdiri.
"Kepalamu
terbentur?” tanyanya.
"Kelihatannya
tidak," Aku menganggukkan kepala ke depan dan ke belakang, mengecek.
"Motornya
tidak rusak, kan?" Pikiran itu membuatku waswas. Aku sangat ingin mencoba lagi,
segera. Bertindak ceroboh ternyata lebih
berhasil
daripada yang kukira. Tidak harus melakukan kecurangan. Mungkin aku sudah menemukan
cara untuk memunculkan halusinasi— itu jauh lebih penting.
"Tidak.
Mesinnya hanya mati," jawab Jacob, menyela spekulasi kilatku. "Kau
terlalu cepat melepas kopling."
Aku
mengangguk. "Ayo kita coba lagi"
"Kau
yakin?" tanya Jacob.
"Positif."
Kali ini aku
mencoba mengengkol sendiri. Sulit sekali; aku harus meloncat sedikit agar bisa menginjak
pedal sekuat tenaga, dan setiap kali melakukannya, sepeda motor itu seperti
mencoba menjatuhkanku. Tangan Jacob menggelayut di atas setang, siap
menangkapku kalau aku membutuhkannya.
Setelah beberapa
kali mencoba dengan benar, bahkan ditambah dengan beberapa kali percobaan yang
kurang tepat, baru mesinnya menyala dan meraung hidup di bawahku. Ingat bahwa
ibaratnya
aku sedang memegang
granat, aku bereksperimen dengan memutar-mutar handel gas. Mesin langsung menggeram
begitu handel gas diputar sedikit saja. Senyumku kini sama lebarnya dengan senyum
Jacob.
"Hati-hati
melepas koplingnya," Jacob mengingatkanku. "Kau ingin bunuh diri,
kalau begini? Jadi itu ya tujuannya?" suara itu berbicara
lagi, nadanya
galak.
Aku tersenyum
kaku—masih berfungsi ternyata—dan mengabaikan pertanyaan itu. Jacob tidak akan
membiarkan hal buruk menimpaku.
"Pulanglah
ke Charlie," suara itu memerintahkan.
Keindahannya membuatku terpesona. Aku tak sanggup
membiarkan ingatanku kehilangan
suara itu, tak peduli berapa pun
harga yang harus kubayar.
"Lepaskan
pelan-pelan," Jacob menyemangatiku.
"Baiklah,"
jawabku. Aku agak resah waktu menyadari perkataanku itu menjawab pertanyaan mereka
berdua.
Suara di kepalaku
lagi-lagi menggeram mengatasi raungan mesin motor. Berusaha fokus kali ini,
tidak membiarkan suara itu mengagetkanku lagi, aku melepaskan cengkeramanku
sedikit demi sedikit. Tahu-tahu giginya masuk dan motor menyentak maju.
Dan aku pun
terbang. Terpaan angin kencang yang tadi tidak ada
meniup kulitku
hingga melekat erat di tengkorak dan menerbangkan rambutku ke belakang dengan kekuatan
sangat besar, seolah-olah ada yang menjambaknya. Perasaan mulas yang kurasakan tadi
sebelum melaju lenyap sudah; adrenalin menderas di sekujur tubuh, menggelitik
urat-urat nadiku. Pohon-pohon lewat cepat di sebelahku, kabur menjadi dinding
hijau.
Tapi ini baru
gigi satu. Kakiku beringsut-ingsut maju mendekati gigi sementara tanganku
memutar setang untuk menambah gas.
"Tidak,
Bella!" suara semanis madu itu memerintahkan dengan nada marah, tepat di telingaku.
"Hati-hati!"
Pikiranku
sempat teralih sejenak dari kecepatan untuk menyadari bahwa jalanan ternyata
mulai menikung pelan ke kiri, tapi aku masih tetap
melaju lurus. Jacob
belum mengajariku caranya membelok.
"Rem,
rem," aku bergumam sendiri, dan secara naluri menginjak rem keras-keras
dengan kaki kanan, seperti yang biasa kulakukan saat menyetir mobil.
Motor mendadak
goyah di bawahku, pertama bergetar ke satu sisi dan baru kemudian ke sisi lain.
Motor itu menyeretku ke arah dinding hijau,
padahal
kecepatanku kelewat tinggi. Aku berusaha membelokkan setang ke arah berlawanan,
dan mendadak bobotku mendorong motor ke tanah, masih terus tergelincir ke arah
pepohonan.
Sepeda motor
itu kembali mendarat di atas tubuhku, meraung nyaring, menarikku melintasi pasir
basah hingga membentur sesuatu yang tidak
bergerak. Aku
tak bisa melihat. Wajahku tersungkur ke dalam lumut. Aku mencoba mengangkat
kepala, tapi sesuatu menghalangiku.
Aku pusing dan
bingung. Kedengarannya ada tiga hal yang menggeram—motor di atasku, suara di
kepalaku, dan sesuatu yang lain.
"Bella!"
Jacob berteriak, dan aku mendengar geraman motor lain berhenti Motor itu tak
lagi mengimpitku ke tanah, dan aku berguling untuk bernapas. Semua geraman itu diam.
"Wow,"
gumamku. Aku merasa sangat bergairah. Beginilah pasti resep jitu untuk
halusinasiadrenalin ditambah bahaya ditambah perbuatan
tolol. Sesuatu
yang mendekati itu, paling tidak.
"Bella!"
Jacob membungkuk cemas di atasku. Bella, kau masih hidup?"
"Aku
baik-baik saja!” seruku antusias. Aku meregangkan otot-otot lengan dan kakiku. Kelihatannya
semua masih berfungsi dengan baik.
“Ayo kita
lakukan lagi."
"Kurasa
jangan." Jacob masih terdengar waswas.
"Kurasa
sebaiknya kuantar kau ke rumah sakit dulu.”
"Aku
baik-baik saja."
“Ehm, Bella?
Di dahimu ada luka robek yang besar sekali, dan darahmu mengucur deras."
Jacob memberitahuku.
Aku meletakkan
tangan di kepala. Benar saja, tanganku jadi basah dan lengket. Aku tidak mencium
bau apa-apa kecuali lumut lembab di
wajahku, dan
itu mencegah datangnya mual.
"Oh,
maafkan aku, Jacob." Kutekan luka itu kuat-kuat, seolah-olah dengan begitu
aku bisa memaksa darah masuk kembali ke kepalaku.
"Untuk
apa kau meminta maaf karena berdarah?" tanya Jacob sambil memeluk pinggangku
dan membantuku berdiri. "Ayo kita pergi. Aku yang menyetir." Ia
mengulurkan tangan, meminta kunci.
"Sepeda-sepeda
motornya bagaimana?" tanyaku sambil menyerahkan kunci.
Jacob berpikir
sebentar. "Tunggu di sini. Dan ambil ini." Jacob membuka kausnya yang
sudah ternoda darah, lalu melemparnya ke arahku.
Kubuat kaus
itu menjadi buntalan dan kutempelkan ke dahiku. Aku mulai mencium baru darah;
aku menarik napas dalam-dalam lewat mulut dan mencoba berkonsentrasi pada hal lain.
Jacob melompat kembali menaiki sepeda motor hitam, menyalakan mesinnya dengan
hanya sekali mengengkol, lalu langsung ngebut, menghamburkan pasir dan
kerikil-kerikil kecil di belakangnya. Ia tampak atletis dan profesional saat
membungkuk ke
depan di atas setang, kepala merunduk, wajah maju, rambut mengilat
berkibarkibar menerpa kulit punggungnya yang cokelat
kemerahan.
Mataku menyipit iri. Aku yakin tidak terlihat seperti itu saat mengendarai
motor. Kaget juga aku menyadari betapa jauhnya aku
mengendarai
motorku. Aku nyaris tak bisa melihat Jacob di kejauhan waktu ia akhirnya sampai
ke trukku. Ia melemparkan sepeda motor ke bak truk dan berlari ke sisi kemudi.
Aku
benar-benar tidak keberatan waktu Jacob memacu
trukku hingga suara mesinnya meraung memekakkan
telinga. Kepalaku sedikit pusing,
perutku mual, tapi
lukaku tidak serius. Darah yang keluar dari luka kepala memang cenderung lebih
banyak. Jacob sebenarnya tak perlu sepanik itu.
Jacob
membiarkan mesin tetap menyala sementara ia berlari mendapatiku, melingkarkan lengannya
lagi ke pinggangku.
"Oke, ayo
kunaikkan kau ke truk."
"Sungguh,
aku tidak apa-apa," aku meyakinkan Jacob sementara ia membantuku naik.
"Jangan panik begitu. Darahnya hanya sedikit kok."
"Sedikit
bagaimana, ini banyak sekali,” kudengar Jacob menggerutu waktu ia lari
mengambil sepeda motorku.
"Sekarang,
mari kita pikirkan dulu masalah ini sebentar, kataku setelah Jacob naik lagi ke
mobil.
"Kalau kau
membawaku ke UGD seperti ini, Charlie pasti akan tahu nanti." Kulirik
tanah dan lumpur yang mengering di jinsku.
"Bella,
kurasa lukamu perlu dijahit. Aku tidak akan membiarkanmu mati kehabisan darah.”
“Itu, tidak
akan terjadi,” aku meyakinkannya.
“Kita antar
saja dulu motornya, kemudian mampir ke rumahku supaya aku bisa menghilangkan semua
bukti dan baru kemudian ke rumah sakit.”
"Bagaimana
dengan Charlie?
“"Katanya
tadi dia harus kerja."
“Kau yajin?”
“Percakah padaku.
Aku ini gampang berdarah. Ini tidak separah kelihatannya kok."
Jacob tidak senang
mendengarnya—sudut-sudut mulutnya tertekuk ke bawah—tapi ia tidak ingin menyusahkanku.
Aku memandang ke luar jendela, menempelkan kaus Jacob yang berlepotan darah ke
kepala, sementara ia membawa trukku menuju Forks.
Sepeda motor
itu jauh lebih baik daripada yang kubayangkan. Tujuan sesungguhnya tercapai.
Aku sudah berbuat curang—melanggar janjiku. Aku melakukan kecerobohan yang
tidak perlu. Sekarang aku tak lagi merasa terlalu merana karena kedua pihak
sudah sama-sama ingkar janji.
Dan, menemukan
kunci ke halusinasi! Setidaknya, begitulah yang kuharapkan. Aku akan menguji
teori itu sesegera mungkin. Mungkin
mereka bisa menanganiku
dengan cepat di UGD, jadi aku bisa mencobanya lagi nanti malam. Ngebut di jalan
seperti tadi rasanya luar biasa.
Terpaan angin
menampar wajahku, cepatnya motor melaju dan kebebasan yang kurasakan. mengingatkanku
pada kehidupan masa laluku, terbang menembus hutan lebat tanpa berjalan, menaiki
punggungnya sementara ia berlari – pikiranku berhenti sampai di situ,
membiarkan ingatanku terputus begitu saja karena mendadak
hatiku miris.
Aku meringis.
“Kau masih
baik-baik?” tanya Jacob.
"Yeah."
Aku berusaha tetap memperdengarkan nada tegar seperti sebelumnya.
"Omong-omong,"
imbuh Jacob. "Aku akan mencopot kabel rem kakimu malam ini."
Di rumah, yang
pertama kulakukan adalah menyempatkan diri melihat keadaanku di cermin; benar-benar
mengerikan. Darah mengering dalam
bentuk aliran
tebal di sepanjang pipi dan leherku, menempel di rambutku yang berlumpur.
Kuamati diriku dari sisi klinis, berpura-pura darah itu cat
supaya tidak
mual. Aku bernapas lewat mulut, dan tidak merasa ingin muntah.
Aku mencuci
muka sebisaku. Lalu kusembunyikan pakaian kotorku yang berlepotan darah di bagian
bawah keranjang cucian, lalu memakai jins baru dan kemeja (jadi tidak perlu memakainya
lewat kepala) sehati-hati mungkin.
Aku berhasil melakukannya
dengan satu tangan dan menjaga pakaianku tidak terkena noda darah.
"Cepatlah,"
seru Jacob.
"Oke, oke,"
aku balas berteriak. Setelah memastikan tidak meninggalkan bukti-bukti memberatkan,
aku turun ke lantai bawah.
"Bagaimana
kelihatannya?" tanyaku.
"Lebih
baik," ia mengakui.
"Tapi
apakah aku terlihat seperti tersandung di garasimu dan kepalaku membentur
palu?"
"Ya,
kurasa begitu."
"Baiklah
kalau begitu, kita berangkat."
Jacob bergegas
menggiringku keluar, dan bersikeras menyetir lagi. Kami sudah setengah jalan
menuju rumah sakit waktu aku sadar ia
masih tidak
memakai baju. Aku mengurutkan kening dengan perasaan
bersalah.
"Seharusnya tadi kita mengambil jaket untukmu.”
"Nanti
sandiwara kita terbongkar dong,” goda Jacob. "Lagi pula, udara tidak
dingin kok."
"Kau
bercanda, ya?” Aku gemetar, tanganku terulur untuk menyalakan pemanas. Kupandangi
Jacob untuk melihat apakah ia sengaja berlagak gagah supaya aku tidak khawatir,
tapi kelihatannya ia cukup nyaman. Sebelah tangannya bertengger di bagian
belakang kursiku, sementara aku justru meringkuk supaya tetap hangat.
Jacob benar-benar
terlihat lebih tua daripada enam belas tahun—bukan empat puluh, tapi mungkin
lebih tua dariku. Quil saja masih kalah berotot dibandingkan dia, padahal Jacob
menganggap dirinya kurus seperti tengkorak.
Ototototnya panjang
dan liat, tapi jelas kelihatan di balik kulitnya yang mulus. Warna kulitnya
cantik sekali, membuatku iri saja. Jacob sadar sedang diamati.
"Apa?"
tanyanya, mendadak canggung.
"Tidak apa-apa.
Hanya saja aku tidak menyadarinya sebelum ini. Tahukah kau bahwa kau lumayan
tampan?"
Begitu
kata-kata itu terlontar, aku khawatir ia akan salah menerima observasi
impulsifku itu. Tapi Jacob hanya memutar bola matanya.
"Kepalamu
terbentur keras sekali, ya?"
"Aku
serius."
"Well, kalau begitu, trims.
Kayaknya."
Aku nyengir.
"Sama-sama. Kayaknya."
Aku mendapat
tujuh jahitan untuk menutup luka di keningku. Setelah merasa perih karena mendapat
anestesi lokal, prosedurnya sendiri tidak
sakit. Jacob
memegangi tanganku sementara dr.Snow menjahit, dan aku berusaha untuk tidak memikirkan
betapa ironisnya itu.
Kami lama
sekali di rumah sakit. Setelah selesai, aku harus mengantar Jacob ke rumahnya
dan buru-buru pulang untuk memasak makan malam untuk Charlie. Charlie
sepertinya memercayai ceritaku bahwa aku jatuh di garasi Jacob. Bagaimanapun,
bukan baru kali ini aku pergi
sendiri ke
UGD.
Malam itu tidak
seburuk malam pertama itu, setelah aku mendengar suaranya yang sempurna di Port
Angeles. Lubang itu kembali menganga, seperti yang selalu terjadi setiap kali
aku jauh dari Jacob, tapi bagian pinggirnya tak lagi berdenyutdenyut nyeri. Aku
selalu menyusun rencana ke depan, menanti-nanti datangnya delusi lagi, dan
itu
mengalihkan perhatianku. Juga, aku tahu perasaanku akan lebih enak besok, saat
bertemu lagi dengan Jacob. Itu membuat lubang hampa dan kepedihan yang familier itu lebih mudah ditanggung;
sebentar lagi kelegaan akan kudapat.
Mimpi buruk
juga kehilangan sedikit potensinya. Aku takut pada kehampaan, seperti yang
selalu terjadi, tapi anehnya, aku juga tidak sabar menunggu saat-saat yang akan
membuatku menjerit dan kemudian tersadar. Aku tahu mimpi buruk itu pasti
berakhir.
Hari Rabu berikutnya,
sebelum aku sampai di rumah dan UGD, dr. Gerandy menelepon ayahku untuk mengingatkan
kemungkinan aku mengalami gegar otak dan menyarankannya untuk membangunkan aku
setiap dua jam sekali sepanjang malam untuk memastikan itu tidak
serius. Mata
Charlie menyipit curiga mendengar penjelasan lemahku yang lagi-lagi mengatakan
aku tersandung.
"Mungkin
sebaiknya kau jangan lagi nongkrong di garasi, Bella,” Charlie menyarankan saat
makan malam.
Aku panik,
khawatir Charlie bakal mengeluarkan semacam dekrit yang melarangku pergi ke La
Push, dan akibatnya aku tidak akan bisa mengendarai motorku lagi. Tapi aku tak
mau menyerah—hari ini
aku mengalami
halusinasi paling menakjubkan.
Delusiku yang
bersuara sehalus beledu itu berteriak-teriak padaku selama hampir lima menit sebelum
akhirnya aku menginjak rem kelewat
mendadak dan
tubuhku terlempar membentur pohon. Untuk itu aku rela merasakan sakit yang akan
kualami malam ini tanpa mengeluh.
“Aku bukannya
tersandung di garasi," aku buruburu memprotes. "Kami sedang hiking, dan aku tersandung batu."
"Sejak
kapan kau suka hiking?"
Charlie bertanya skeptis. "Kerja di Newton's membuatku ketularan demam
berpetualang," dalihku. "Setiap hari menjual berbagai perlengkapan hiking, lama-lama penasaran juga."
Charlie
menatapku tajam, tidak percaya.
“Aku akan
lebih berhati-hati," janjiku, diamdiam menyilangkan jari-jariku di bawah
meja.
"Aku
tidak keberatan kau hiking di
sekitar La Push, tapi jangan jauh-jauh dari kota, oke?"
"Kenapa?'
“Well, belakangan ini aku sering
mendapat laporan tentang kemunculan hewan-hewan liar. Petugas dari departemen
kehutanan akan mengecek laporan-laporan itu, tapi untuk sementara waktu."
“Oh, soal
beruang besar itu," kataku, mendadak paham. “Yeah, beberapa hiker yang
datang ke Newton's juga mengaku melihatnya. Dad yakin ada beruang grizzly
raksasa yang bermutasi di luar sana?"
Kening ayahku
berkerut. "Pokoknya ada sesuatu. Jangan jauh-jauh dari kota. oke?"
"Tentu, tentu,"
aku buru-buru menyahut. Kelihatannya Charlie tidak begitu puas.
"Charlie
mulai curiga," keluhku pada Jacob waktu aku menjemputnya sepulang sekolah
pada hari Jumat.
"Mungkin
untuk sementara kita jangan naik motor dulu." Jacob melihat ekspresi
penolakan di wajahku dan menambahkan, "Setidaknya untuk
satu-dua minggu
ini. Kau bisa kan menjauhi rumah sakit selama satu minggu?"
"Lantas,
kita ngapain dong?" omelku. Jacob tersenyum riang. "Terserah
kau."
Aku memikirkannya
sebentar—tentang apa yang kuinginkan.
Aku tidak suka
membayangkan bakal kehilangan kedekatanku dengan kenangan tak menyakitkan itu,
meski hanya beberapa detik— kenangan yang datang sendiri, tanpa aku perlu memikirkannya
secara sadar. Kalau aku tidak bisa naik motor, berarti aku harus mencari jalan
lain
untuk melakukan
hal yang berbahaya dan memicu adrenalin, dan untuk itu diperlukan pemikiran yang
serius serta kreativitas. Tidak melakukan
apa-apa untuk
sementara sepertinya tidak menarik. Bagaimana kalau aku depresi lagi, bahkan
walaupun sudah bersama Jake? Aku harus
tetap
menyibukkan diri. Mungkin ada jalan lain, resep lain. tempat lain.
Keliru besar mendatangi
rumahnya, jelas. Tapi kehadiranmu pasti terpatri di suatu tempat, di tempat
lain selain dalam diriku. Pasti ada tempat di mana kehadirannya terasa lebih
nyata di antara lokasi-lokasi penting yang sarat kenangan manusia-manusia lain.
Ada satu tempat
yang terlintas dalam benakku. Satu tempat yang akan selalu menjadi miliknya, bukan
milik orang lain. Tempat yang magis penuh cahaya. Padang rumput indah yang
hanya pernah kulihat sekali dalam hidupku, benderang oleh sinar matahari dan
kulitnya yang berpendar-pendar gemerlap.
Ide itu
berpotensi besar menjadi senjata makan tuan—bisa jadi itu malah akan sangat menyakitkan.
Bahkan memikirkannya saja sudah
membuat dadaku
nyeri oleh kehampaan. Sulit rasanya menahan perasaan tetap tenang, agar tidak
ketahuan. Tapi jelas, di sanalah tempatku pasti bisa mendengar suaranya. Lagi
pula. Aku sudah telanjur mengatakan pada Charlie bahwa aku pernah hiking.
"Apa yang
kaupikirkan sampai serius begitu?" tanya Jacob.
"Well." Aku mulai lambat-lambat.
"Dulu aku pernah menemukan tempat di dalam hutan—aku menemukannya waktu
aku sedang, eh, hiking.
Padang rumput kecil, pokoknya indah sekali. Entah apakah aku bisa menemukannya
lagi sendiri. Mungkin bisa kalau mencoba beberapa
kali."
“Kita bisa
memakai kompas dan peta," kata
Jacob penuh
percaya diri. "Kau tahu dari mana memulainya?"
“Ya, tepat
dari ujung jalan setapak di ujung jalan satu sepuluh berakhir. Arah selatan,
kalau tidak salah."
"Bagus,
Ayo kita cari." Seperti biasa, Jacob selalu bersemangat menerima ajakanku.
Tidak peduli betapa pun anehnya ajakanku itu.
Maka, Sabtu
siang aku mengikat sepatu bot hiking baruku—dibeli
paginya dengan memanfaatkan diskon dua puluh persen khusus
karyawan yang
kupakai untuk pertama kali—menyambar peta topografi Semenanjung Olympic, lalu
melaju ke La Push. Kami tidak langsung mulai; pertama-tama, Jacob tengkurap di
lantai ruang tamu—panjang
badannya mengisi
seluruh ruangan—dan, selama dua puluh menit penuh, menggambar jaring-jaring rumit
di bagian-bagian tertentu pada peta sementara aku bertengger di kursi dapur mengobrol
dengan Billy. Sepertinya Billy sama sekali tidak khawatir mendengar rencana
kami
pergi hiking. Aku terkejut juga karena Jacob menceritakan
padanya tentang rencana kami, padahal orang-orang banyak meributkan soal
beruang itu.
Aku ingin meminta Billy untuk tidak bercerita pada Charlie, tapi takut
permintaan itu justru mendorongnya berbuat sebaliknya.
"Mungkin
kita akan bertemu beruang super itu," canda Jacob, matanya tertuju pada
desainnya.
Aku cepat-cepat
melirik Billy, takut ia bakal bereaksi seperti Charlie.
Tapi Billy hanya
tertawa mendengar perkataan anaknya. "Mungkin sebaiknya kaubawa saja satu stoples
madu, untuk jaga-jaga."
Jacob terkekeh.
"Mudah-mudahan sepatu bot barumu bisa berlari cepat, Bella. Satu stoples madu
tidak cukup untuk menahan beruang yang
kelaparan."
"Aku
hanya perlu berlari lebih cepat darimu."
"Selamat
deh kalau begitu!" seru Jacob, memutar bola matanya sambil melipat peta.
"Ayo kita pergi.”
"Selamat
bersenang-senang," kata Billy sambil menggelinding menuju lemari es. Charlie
bukan tipe orang yang sulit, tapi sepertinya Billy jauh lebih longgar ketimbang
dia. Aku mengemudikan trukku sampai ke ujung
jalan tanah,
berhenti dekat papan petunjuk yang menandai awal jalan setapak. Sudah lama
sekah aku tak pernah lagi ke sini, dan perutku bereaksi dengan gugup. Bisa jadi
ini sangat gawat. Tapi akan setimpal dengan hasilnya kalau aku bisa mendengarnya.
“Aku turun dan
memandangi belukar hijau yang rapat.
“Aku pergi ke
arah ini," gumamku, menuding lurus ke depan.
"Hmmm,”
gumam Jake.
"Apa?”
Ia melihat ke
arah yang kutunjuk, lalu ke jalan setapak yang sudah ditandai dengan jelas, dan
kembali lagi.
"Aku
pasti mengira kau cewek penjelajah sejati."
“Enak
saja." Aku tersenyum lemah. "Aku ini pemberontak."
Jacob tertawa,
kemudian mengeluarkan peta kami.
"Tunggu
sebentar." Ia memegang kompas dengan sikap ahli, memutar peta hingga
mengarah ke tempat yang ia inginkan.
"Oke—garis
pertama pada peta. Ayo cabut."
Kentara sekali
Jacob harus memperlambat langkah demi aku, tapi ia tidak mengeluh. Aku berusaha
untuk tidak memikirkan perjalanan
terakhirku ke
bagian hutan ini, ditemani seseorang yang sama sekali berbeda.
Kenangan-kenangan normal masih tetap berbahaya. Kalau kubiarkan diriku tergelincir,
aku akan mendapati diriku mencengkeram dada untuk menahannya tetap utuh, megap-megap
kehabisan udara, dan bagaimana aku menjelaskan itu pada Jacob?
Ternyata tetap
memfokuskan diri pada masa sekarang tidak sesulit yang kuduga. Hutan ini sangat
mirip dengan bagian lain semenanjung, dan
kehadiran
Jacob membuat suasana hatiku sangat jauh berbeda.
Jacob bersiul-siul
riang, lagunya tidak kukenal, sambil mengayun-ayunkan kedua lengan dan berjalan
ringan menembus semak belukar yang kasar. Bayang-bayang tak tampak segelap
biasa.
Tidak dengan
ditemani matahari pribadiku. Sesekali Jacob mengecek kompas, memastikan kami
tetap di jalur yang benar. Kelihatannya ia
benar-benar paham
apa yang dilakukannya. Aku ingin memujinya, tapi lalu mengurungkan niat. Tak diragukan
lagi ia bakal menambahkan beberapa tahun ke usianya yang sudah menggelembung.
Pikiranku berkelana
sementara aku berjalan, dan rasa ingin tahuku muncul. Aku masih belum melupakan
pembicaraan kami waktu itu di tebingtebing laut—selama ini aku menunggu Jacob mengungkitnya
lagi, tapi kelihatannya itu tidak bakal terjadi.
"Hei.
Jake?" tanyaku ragu-ragu.
"Yeah?"
"Bagaimana
kabar. Embry? Dia sudah kembali normal?"
Jacob terdiam
sejenak, masih terus berjalan dengan
langkah-langkah panjang. Ketika berada kira-kira tiga meter di depan, ia
berhenti untuk
menungguku.
"Tidak.
Dia belum kembali normal," kata Jacob begitu aku sampai di dekatnya,
sudut-sudut mulutnya tertarik ke bawah. Ia belum mulai
berjalan lagi.
Seketika itu juga aku langsung menyesal sudah mengungkitnya.
"Masih
bersama Sam?"
"Yep."
Jacob
merangkul bahuku, dan ekspresinya tampak sangat galau sehingga aku tak berani menghalaunya
dengan guyonan, seperti yang
sebenarnya
ingin kulakukan.
"Mereka masih
memandangimu dengan sikap aneh?” aku separo berbisik. Pandangan Jacob
menerawang menembus
pepohonan.
"Kadang-kadang.”
“Dan Billy?”
“Sangat membantu,
seperti yang sudah-sudah,” tukas Jacob dengan nada masam bercampur marah yang
membuatku merasa tidak enak.
“Sofa kami
selalu siap menampungmu," aku menawarkan.
Jacob tertawa,
sikap masamnya yang tidak biasa mendadak lenyap. “Tapi coba bayangkan betapa membingungkannya
posisi Charlie—waktu Billy menelepon polisi bahwa aku diculik."
Aku tertawa,
senang melihat Jacob normal lagi. Kami berhenti waktu Jacob berkata kami sudah berjalan
hampir sepuluh kilometer, memotong ke barat sebentar, lalu kembali menyusuri
jalur lurus
sesuai gambar
dalam petanya. Semua tampak sama persis seperti jalan masuk tadi, dan aku punya
firasat pencarian tololku bisa dibilang gagal
total. Aku
terpaksa mengakuinya waktu akhirnya hari mulai gelap, hari yang tak bermatahari
meredup berganti malam tak berbintang, tapi Jacob justru lebih percaya diri.
“Asal kau yakin
kita memulainya dari tempat yang tepat." Ia menunduk menatapku.
"Ya, aku
yakin."
“Maka kita
pasti akan menemukannya," ia berjanji, menyambar tanganku dan menarikku menerobos
semak pakis. Begitu keluar dari dalam semak, kulihat trukku bertengger di
pinggir jalan. Jacob melambaikan tangannya dengan bangga.
"Percayalah
padaku."
"Kau
hebat," aku mengakui. "Tapi lain kali, jangan lupa bawa senter."
"Mulai
sekarang, hiking menjadi
kegiatan tetap kita setiap hari Minggu. Aku baru tahu ternyata jalanmu selamban
itu."
Aku menyentakkan
tanganku dari gandengannya dan berjalan sambil mengentak-entakkan kaki ke mobil,
sementara Jacob terkekeh melihat reaksiku.
"Bagaimana,
mau mencoba lagi besok?" tanyanya, menyusup masuk ke jok penumpang.
"Tentu.
Kecuali kau mau pergi tanpa aku supaya aku tidak menahanmu dengan
langkah-langkahku yang selamban siput.”
"Aku
tahan kok," Jacob meyakinkan aku. "Tapi kalau kita hiking lagi nanti, lebih baik kau memakai
moleskin–semacam sepatu (mokasin yang
terbuat dari kulit hewan berbulu. Berani
bertaruh, kakimu pasti lecet-lecet dengan sepatu bot barumu itu.”
"Sedikit,"
aku mengakui. Rasanya kakiku memang lecet semua.
"Mudah-mudahan
besok kita bisa melihat beruang. Aku agak kecewa juga soal itu."
"Ya, aku
juga," sergahku sinis. "Mungkin besok kita beruntung dan akan menjadi
mangsa binatang!"
"Beruang
tidak suka makan manusia. Kita toh tidak enak-enak amat." Jacob nyengir
padaku di dalam truk yang gelap. "Tentu saja, bisa jadi kau merupakan pengecualian.
Berani bertaruh, kau pasti enak sekali."
"Terima kasih
banyak," sahutku, membuang muka. Ia bukan orang pertama yang mengatakan hal
itu.
0 komentar:
Post a Comment