Baca Online New Moon part 11
11.
SEKTE
SETIAP kali
aku membuka mata dan melihat cahaya matahari, menyadari aku telah selamat melewati
satu malam lagi, merupakan kejutan bagiku. Setelah pulih dari keterkejutan,
jantungku mulai berdetak kencang dan telapak tanganku berkeringat; aku baru
bisa bernapas lega setelah turun dari tempat tidur dan memastikan Charlie juga
selamat.
Kentara sekah
ia khawatir—melihatku meloncat kaget setiap kah mendengar suara keras, atau wajahku
tiba-tiba memucat tanpa alasan jelas. Dari pertanyaan-pertanyaan yang sesekali diajukannya,
Charlie sepertinya menyalahkan ketidakhadiran Jacob sebagai penyebabnya.
Ketakutan yang
selalu menghantui pikiranku biasanya mengalihkan perhatianku dari fakta bahwa
satu minggu lagi telah berlalu, tapi Jacob
masih belum meneleponku.
Tapi kalau aku bisa berkonsentasi pada kehidupan normal—kalau hidupku bisa
dibilang normal—hal ini membuatku gelisah.
Aku sangat
kehilangan dia. Rasanya sudah cukup parah ditinggal sendiri sebelum aku ketakutan
setengah mati begini. Sekarang, lebih dari sebelumnya aku rindu tawa lepasnya
yang riang dan cengirannya yang menular itu. Aku membutuhkan perasaan aman dan
waras
yang bisa
kuperoleh dengan nongkrong di garasinya serta tangan hangatnya menggenggam jari-jariku
yang dingin.
Aku separo berharap
ia bakal meneleponku hari Senin. Misalnya ada kemajuan soal Embry, bukankah ia
ingin melaporkannya? Aku ingin
memastikan
kecemasan terhadap temannyalah yang menyita seluruh waktunya, bukan karena ia tak
mau lagi berteman denganku.
Aku meneleponnya
Selasa, tapi tidak ada yang menjawab. Apakah saluran teleponnya rusak lagi?
Atau Billy
sekarang memasang caller ID? Hari
Rabu aku menelepon setiap setengah jam sekali
sampai jam sebelas malam, putus asa ingin
mendengar
kehangatan suara Jacob. Hari Kamis aku duduk di dalam truk di depan rumah—dengan
kedua pintu terkunci rapat—kunci truk di tangan, selama satu jam penuh. Aku berdebat
dengan diriku sendiri, berusaha membenarkan keinginan untuk pergi sebentar ke La
Push, tapi tak sanggup melakukannya. Aku tahu Laurent pasti sudah kembali ke Victoria
sekarang. Kalau aku pergi ke La Push, bisa-bisa aku menuntun salah seorang dari
mereka ke sana. Bagaimana kalau mereka menangkapku ketika Jake di dekatku?
Meski sangat menyakitkan bagiku, aku tahu lebih baik bagi Jacob bila ia menghindariku.
Lebih aman untuknya. Sudah cukup buruk aku tidak bisa menemukan jalan untuk
mengamankan Charlie. Kemungkinan
besar mereka akan
datang mencariku pada malam hari, dan alasan apa yang bisa kuutarakan untuk membuat
Charlie keluar dari rumah? Bisa saja aku menceritakan hal sebenarmu, capi ini
akan membuatnya mengurungku di ruangan tertutup rapat. Aku rela-rela saja
menjalani semua itu— menerima dengan tangan terbuka, malah—bila itu bisa
membuat Charlie aman. Tapi Victoria tetap akan datang ke rumah Charlie lebih
dulu, mencariku. Mungkin, bila ia menemukan aku di
sini, itu
sudah cukup baginya. Mungkin ia akan langsung pergi setelah selesai berurusan denganku.
Jadi aku tidak
bisa lari. Kalaupun bisa, mau pergi ke mana? Ke Renee? Aku bergidik membayangkan
diriku membawa bayangan mematikan itu ke dunia ibuku yang aman dan bermandikan
matahari. Aku tidak akan pernah membahayakan nyawanya seperti itu.
Kekhawatiran itu
meninggalkan lubang besar di perutku. Tak lama lagi aku akan punya dua lubang
yang sama persis. Malam itu Charlie kembali berbuat baik dan meneleponkan Harry
untukku, mencari tahu
apakah
keluarga Black sedang ke luar kota. Harry melaporkan bahwa Billy menghadiri
rapat dewan Rabu malam kemarin, dan tidak menyebut-nyebut bakal pergi ke mana
pun. Charlie mewanti-wantiku
untuk tidak
mengganggu mereka—Jacob pasti akan menelepon kalau sudah punya waktu.
Jumat siang,
saat mengendarai truk sepulang sekolah, pikiran itu sekonyong-konyong
menghantamku. Aku tidak sedang memerhatikan jalan yang sudah sangat kukenal,
membiarkan suara mesin menumpulkan otak dan membungkam kekhawatiranku, saat alam
bawah sadarku menyampaikan keputusan yang selama ini pasti
disimpulkan dalam
pikiranku tanpa aku sendiri mengetahuinya.
Begitu hal tersebut
terpikirkan olehku, aku merasa diriku benar-benar tolol karena tidak sejak dulu
teringat hal itu. Memang sih, aku sedang
banyak pikiran—vampir
yang terobsesi ingin membalas dendam, serigala mutan raksasa, lubang yang masih
basah di pusat dada—tapi setelah aku menjajarkan semua bukti yang ada, sungguh memalukan
bahwa kesimpulan ini begitu jelas. Jacob sengaja menghindariku. Kata Charlie,
ia tampak aneh, kesal. jawaban-jawaban Billy yang samar dan tidak membantu.
Astaga, aku tahu
persis apa yang terjadi pada Jacob. Pasti gara-gara Sam Uley. Bahkan mimpi burukku
pun berusaha memberi tahuku. Sam
berhasil
mendapatkan Jacob. Apa pun yang terjadi pada cowok-cowok lain di reservasi
telah terjadi juga pada temanku dan mereka mencurinya
dariku. Ia
diisap masuk ke sekte Sam.
Bukan karena
Jacob tak mau lagi berteman denganku, aku menyadari dengan perasaan terharu
yang tiba-tiba menyerbu. Kubiarkan trukku berhenti dengan mesin menyala di
depan rumahku. Apa yang sebaiknya
kulakukan? Aku
menimbang-nimbang bahaya dari setiap pilihan yang akan kuambil.
Kalau aku pergi
mencari Jacob, bisa-bisa aku menuntun Victoria atau Laurent ke rumahnya. Kalau
aku tidak pergi menemuinya, Sam akan
menariknya lebih
dalam lagi ke gengnya yang mengerikan itu. Mungkin akan terlambat kalau aku
tidak segera bertindak.
Seminggu telah
berlalu, dan belum ada vampir yang datang mencariku. Seminggu sudah lebih dari cukup
bagi mereka untuk kembali, jadi aku pasti bukan prioritas. Besar kemungkinan,
seperti yang sudah kuputuskan sebelumnya, mereka akan datang mencariku pada
malam hari. Peluang mereka mengikutiku ke La Push jauh lebih kecil daripada
peluang kehilangan Jacob karena terpengaruh Sam. Bahaya menyusuri jalanan hutan
yang terpencil sepadan dengan tujuanku. Ini bukan kunjungan iseng untuk mengetahui
apa "yang terjadi. Aku sudah tahu apa yang terjadi. Ini misi penyelamatan.
Aku akan berbicara dengan Jacob— menculiknya kalau perlu. Aku pernah melihat tayangan
di PBS tentang memprogram ulang orang-orang yang sudah dicuci otak. Pasti ada
cara untuk memulihkannya.
Kuputuskan
untuk menelepon Charlie lebih dulu. Mungkin apa pun yang sedang terjadi di La Push
saat ini memerlukan keterlibatan polisi. Aku menghambur masuk, tidak sabar lagi
ingin segera berangkat.
Charlie
sendiri yang mengangkat telepon.
"Kepala Polisi
Swan."
"Dad, ini
Bella.”
"Ada
apa?"
Kali ini aku
tidak bisa membantah asumsinya bahwa kalau aku menelepon pasti ada yang tidak beres.
Suaraku gemetar. "Aku mengkhawatirkan Jacob."
"Kenapa?"
tanya Charlie, terkejut oleh topik yang tidak terduga-duga itu.
“Kupikir. kupikir
sesuatu yang aneh sedang terjadi di reservasi. Jacob pernah cerita tentang hal-hal
aneh yang terjadi pada cowok-cowok lain
sepantarnya.
Sekarang, dia bertingkah sama seperti mereka dan aku takut."
"Hal-hal
seperti apa?" Charlie berbicara dengan nada profesional khas polisi. Itu
bagus; berarti ia menanggapi keluhanku dengan serius.
“Mula-mula dia
ketakutan, lalu dia menghindariku, dan sekarang. aku takut dia sudah bergabung
dengan geng aneh di sana, gengnya Sam. Gengnya Sam Uley."
“Sam Uley?"
ulang Charlie, terkejut lagi "Ya."
Suara Charlie
terdengar lebih rileks waktu ia menjawab. "Kurasa kau keliru, Bells. Sam
Uley itu anak baik. Well, sekarang dia
sudah dewasa.
Pemuda baik.
Coba saja kaudengar komentar Billy mengenai dia. Sam melakukan hal-hal positif dengan
para pemuda di reservasi. Dia itu yang—"
Charlie tak
melanjutkan kata-katanya, dan menurutku
ia tadi pasti hendak mengatakan sesuatu
tentang malam saat aku tersesat di hutan.
Aku buru-buru
meneruskan kata-kataku.
"Dad,
bukan begitu. Jacob takut padanya."
"Kau
sudah bicara pada Billy tentang hal ini?"
Charlie
berusaha menenangkanku sekarang. Aku langsung kehilangan perhatiannya begitu menyebut
nama Sam tadi.
"Billy
tidak merasa khawatir."
"Well, Bella, kalau begitu aku yakin
semua beres. Jacob kan, masih anak-anak; dia mungkin Cuma berulah. Aku yakin
dia baik-baik saja.
Bagaimanapun,
dia toh tidak bisa bersamamu terus setiap saat."
"Ini tidak
ada kaitannya denganku," aku bersikeras, tapi percuma saja, aku sudah
kalah.
"Menurutku,
kau tidak perlu khawatir soal ini. Biarkan Billy yang mengurus Jacob."
"Charlie."
Suaraku mulai merengek.
"Bells,
urusanku banyak sekali sekarang. Dua turis hilang dari jalan setapak di luar
danau sabit."
Suaranya terdengar
gelisah. "Masalah dengan serigala ini jadi semakin tak terkendali."
Sejenak
perhatianku teralih—terperangah, lebih tepatnya— oleh kabar itu. Tak mungkin
serigalaserigala itu sela menghadapi Laurent.
"Dad
yakin itu yang terjadi pada mereka?" tanya
“Itulah yang
kutakutkan. Sayang. Ada—" Charlie ragu-ragu sejenak. “Di sana ada
jejak-jejak lagi. dan. bercak darah juga kali ini"
“Oh! Kalau
begini pasti tidak terjadi konfrontasi. Laurent pasti berhasil lari dari
kejaran serigalaserigala itu, tapi mengapa? Apa yang kulihat di
padang rumput
waktu itu semakin lama semakin aneh—semakin mustahil untuk dipahami.
“Dengar, aku
benar-benar harus pergi. Jangan khawatirkan Jake, Bella. Aku yakin semuanya beres."
“Baiklah,"
sergahku pendek, frustrasi karena kata-katanya mengingatkanku pada krisis lebih
mendesak yang kuhadapi. "Bye."
Kututup telepon. Kupandangi pesawat telepon lama sekali. Masa
bodohlah, aku
memutuskan. Billy menjawab setelah dua deringan.
"Halo?"
"Hai,
Billy," sapaku, nyaris menggeram. Aku berusaha terdengar lebih ramah saat
meneruskan kata-kataku. "Bisa bicara dengan Jacob?”
"Jake
pergi."
Sangat
mengejutkan. "Anda tahu dia ke mana?"
"Pergi
dengan teman-temannya." Suara Billy hati-hati.
"Oh ya?
Ada yang kukenal? Quil?" Kentara sekali kata-kata itu tidak terlontar
dengan sikap biasabiasa saja seperti yang sebenarnya kumaksudkan.
"Bukan,"
jawab Billy lambat-lambat. "Kurasa dia tidak pergi bersama Quil hari
ini." Aku tahu lebih baik aku tidak menyebut nama Sam. "Embry?"
tanyaku.
Billy terkesan
lebih gembira karena bisa menjawab pertanyaan yang satu ini. "Yeah, dengan
Embry."
Itu sudah cukup
bagiku. Embry termasuk geng mereka. "Well,
bisa tolong suruh dia meneleponku kalau sudah pulang nanti,
ya?"
"Tentu,
tentu. Tidak masalah." Klik.
"Sampai
ketemu lagi, Billy," gerutuku di telepon yang sudah mati.
Aku mengendarai
trukku ke La Push, bertekad hendak menunggu. Aku akan duduk di depan rumahnya
semalaman kalau perlu. Aku akan bolos
sekolah. Cepat
atau lambat anak itu pasti pulang, dan kalau itu terjadi, ia harus bicara
denganku.
Otakku begitu
sibuk memikirkan perjalanan yang
selama ini begitu takut kulakukan hingga rasanya hanya butuh beberapa detik
saja untuk
sampai ke sana.
Tahu-tahu saja hutan sudah mulai menipis, dan aku tahu sebentar lagi aku akan
bisa melihat rumah-rumah kecil pertama di
reservasi. Berjalan
menjauh, di sisi kiri jalan, tampak cowok jangkung bertopi bisbol.
Napasku sempat
tercekat sesaat di tenggorokkan, berharap keberuntungan memihakku sekali itu,
dan aku tanpa sengaja
bertemu Jacob
tanpa perlu bersusah-payah. Tapi pemuda itu badannya terlalu lebar, dan rambut
di bawah topinya pendek. Bahkan dari belakang pun aku yakin itu Quil, meski ia
tampak lebih besar
daripada waktu
aku terakhir kali melihatnya. Ada apa dengan pemuda-pemuda Quileute ini? Apakah
mereka dicekoki hormon pertumbuhan hasil eksperimen?
Aku meminggirkan
trukku ke sisi jalan yang berlawanan arah dan berhenti di sebelahnya. Quil mendongak
saat mendengar raungan mesin trukku mendekat. Ekspresi Quil lebih membuatku
takut daripada
terkejut. Wajahnya
muram, suntuk, dan dahinya berlipat-lipat khawatir.
"Oh, hai,
Bella," ia menyapaku muram.
"Hai,
Quil. kau baik-baik saja?"
Quil menatapku
sedih. "Baik.”
"Mungkin
aku bisa mengantarmu ke suatu tempat?" aku menawarkan.
“Tentu
kurasa," gumamnya. Ia berjalan tersaruksaruk mengitari bagian depan truk
dan membuka pintu penumpang lalu naik.
“Ke
mana."
"Rumahku
di sisi utara, di belakang toko," katanya.
“Kau sudah
bertemu Jacob hari ini?" Pertanyaan itu terlontar dari mulutku bahkan
sebelum Quil selesai bicara.
Kutatap Quil
penuh semangat, menunggu jawabannya. Tapi Quil hanya memandang ke luar kaca
depan beberapa saat sebelum menjawab.
"Dari
jauh," jawab Quil akhirnya.
"Dari
jauh?" ulangku.
“Aku berusaha
mengikuti mereka—dia bersama Embry." Suara Quil rendah, sulit didengar di
selasela suara mesin. Aku mencondongkan tubuh lebih dekat. "Aku tahu
mereka melihatku. Tapi mereka malah berbelok dan menghilang di balik pepohonan.
Kurasa mereka tidak sendirian—kurasa Sam dan anggota gengnya ada bersama
mereka.
“Aku sudah
satu jam berkeliaran di hutan, memanggil-manggil mereka. Aku baru saja keluar ke
jalan lagi waktu kau datang.”
"Jadi Sam
berhasil mendapatkannya." Kata-kata itu tidak begitu jelas
terdengar—gigiku terkatup rapat.
Quil
memandangiku. "Jadi kau tahu soal itu?”
Aku mengangguk.
"Jake pernah bercerita padaku. sebelum ini.”
"Sebelum
ini," ulang Quil, dan mendesah.
"Jadi
Jacob sekarang sama parahnya dengan yang lain-lain?"
"Tidak
pernah meninggalkan Sam sedetik pun."
Quil membuang
muka dan meludah dari jendela yang terbuka.
"Dan sebelum
itu—apakah dia menghindari semua orang? Tingkahnya aneh?"
Suara Quil
rendah dan kasar. "Tidak selama yang lain-lain. Mungkin hanya satu hari.
Lalu Sam menemuinya."
"Menurutmu,
apa penyebabnya? Narkoba atau sebangsanya?”
"Aku tak
bisa membayangkan Jacob atau Embry terlibat
hal-hal kayak begitu. tapi aku tahu apa? Apa lagi kalau bukan itu? Dan mengapa
orangorang tua tidak khawatir?" Quil menggelenggelengkan kepala, dan rasa
takut kini terpancar dari matanya. "Jacob tak ingin menjadi bagian sekte
ini. Aku tidak mengerti apa yang bisa mengubahnya." Quil memandangiku,
wajahnya ketakutan. "Aku tidak ingin
menjadi yang
berikutnya."
Mataku membayangkan
ketakutan yang sama. Ini kedua kalinya aku mendengarnya digambarkan sebagai
sekte. Tubuhku bergidik. "Orangtuamu menanggapi ketakutanmu?"
Quil meringis.
"Yang benar saja. Kakekku duduk di dewan suku, sama seperti ayah Jacob.
Sam Uley itu pemuda terbaik yang pernah ada di sini, begitu menurut
kakekku."
Kami
berpandangan beberapa saat. Kami sudah sampai di La Push sekarang, dan trukku
nyaris merangkak di jalan yang lengang. Tampak olehku satu-satunya toko di desa
itu, tak jauh di depan.
“Aku turun
saja sekarang." kata Quil. "Rumahku di sana.” Ia menuding rumah petak
kayu di belakang toko. Kutepikan trukku, dan ia melompat
turun.
“Aku akan
menunggu Jacob," kataku kaku.
“Semoga
beruntung." Quil membanting pintu dan tersaruk-saruk menyusuri jalanan,
kepala tertunduk, bahu terkulai. Wajah Quil menghantuiku saat aku memutar truk,
kembali ke rumah keluarga Black. Ia takut menjadi yang berikutnya. Apa
sebenarnya yang terjadi di sini?
Aku berhenti di
depan rumah Jacob, mematikan mesin, dan menurunkan kaca jendela. Hari panas terik,
angin tidak bertiup. Kurumpangkan kedua kakiku di dasbor, siap menunggu.
Sebuah gerakan
berkelebat di sudut mataku— aku
menoleh dan melihat Billy memandangiku dari balik
jendela depan dengan mimik bingung. Aku melambai
dan menyunggingkan senyum kaku. Tapi tetap
di tempatku.
Mata Billy
menyipit; ia membiarkan tirai terjatuh menutupi kaca jendela.
Aku siap menunggu
selama mungkin, tapi aku berharap ada yang bisa kulakukan. Kukeluarkan bolpoin
dari dasar ransel, serta selembar kertas
ulangan lama. Aku
mulai mencoret-coret bagian belakang kertas itu.
Aku baru sempat
menggambar sebaris bentuk belah ketupat waktu mendadak ada yang menggedor pintu
trukku.
Aku terlonjak,
mendongak, mengira akan melihat Billy.
"Sedang
apa kau di sini, Bella?" geram Jacob.
Kupandangi
dia, terperangah takjub. Jacob berubah drastis selama beberapa minggu aku tidak
melihatnya. Hal pertama yang menarik
perhatianku adalah
rambutnya—rambutnya yang indah sudah lenyap, dipangkas pendek, menutupi kepalanya
bagaikan satin hitam mengilap.
Garis, garis
wajahnya tampak mengeras, lebih kaku menua. Leher dan bahunya juga berbeda,
tampak lebih padat. Tangannya, yang mencengkeram bingkai jendela, tampak besar
sekali, dengan otototot
tendon dan pembuluh
darah menonjol di balik kulitnya yang cokelat kemerahan. Tapi perubahan fisik
itu tidak penting.
Ekspresinyalah
yang membuatnya nyaris tak bisa dikenali lagi. Senyum terbuka dan ramah itu kini
lenyap, sama seperti rambutnya, sorot hangat
di matanya
yang gelap berganti dengan sorot tidak suka yang langsung terasa mengganggu.
Ada kegelapan dalam diri Jacob sekarang. Seolah-olah matahariku telah meledak.
"Jacob?"
bisikku.
Jacob hanya
menatapku, matanya tegang dan marah.
Sadarlah aku
kami tidak sendirian. Di belakangnya berdiri empat cowok lain; semuanya jangkung
dan berkulit cokelat kemerahan, rambut
hitam dipangkas
pendek seperti rambut Jacob. Mereka bisa disangka kakak-beradik—aku bahkan tak
bisa menentukan yang mana Embry di antara kelompok itu. Kemiripan mereka
semakin dipertegas dengan sorot tidak suka yang samasama terpancar dari setiap
pasang mata.
Setiap pasang kecuali
satu. Paling tua dengan jarak beberapa tahun, Sam berdiri paling belakang, wajahnya
tenang dan yakin. Aku harus menelan kembali kebencian yang merayap naik di kerongkonganku.
Ingin benar kuhajar dia. Tidak, aku ingin melakukan lebih daripada itu. Lebih
dari segalanya, aku ingin tampak garang dan mematikan, menjadi seseorang yang
membuat orang lain tak berani macam-macam. Seseorang yang bakal membuat Sam
Uley ketakutan setengah mati.
Aku ingin
menjadi vampir. Keinginan bengis itu membuatku terpana dan
terkejut. Itu
keinginan yang paling terlarang dari semuanya—bahkan saat aku menginginkannya hanya
untuk alasan kejam seperti ini untuk
mengalahkan musuh—karena
itulah yang paling menyakitkan. Masa depan itu sudah hilang untuk selama-lamanya,
tidak pernah benar-benar berada dalam jangkauanku. Aku berusaha mengendalikan diriku
lagi sementara lubang di dadaku berdenyutdenyut hampa.
“Kau mau
apa?" tuntut Jacob, ekspresinya
makin terlihat
tidak suka sementara ia menyaksikan berbagai emosi campur aduk di wajahku.
“Aku ingin bicara
denganmu," kataku dengan suara lemah. Aku berusaha fokus tapi aku masih kesal
karena membiarkan impian tabuku tadi lepas kendali.
"Silakan,"
desisnya dari sela-sela gigi yang terkatup rapat. Sorot matanya garang. Belum pernah
aku melihatnya menatap siapa pun seperti itu, apalagi aku. Hatiku sakit
sekali—sakitnya nyata, seperti tusukan di kepalaku.
"Sendirian!"
desisku, dan suaraku lebih kuat. Jacob menoleh ke belakang, dan aku tahu ke
mana matanya mengarah. Setiap pasang mata tertuju pada Sam untuk mengetahui
reaksinya. Sam mengangguk satu kali, wajahnya sama sekali tak tampak gelisah.
Ia melontarkan
komentar pendek
dalam bahasa yang mengalun dan tidak kukenal—aku hanya tahu itu bukan bahasa
Prancis ataupun Spanyol, tapi dugaanku,
itu bahasa Quileute.
Ia berbalik dan berjalan masuk ke rumah Jacob. Yang lain-lain, Paul, Jared, dan
Embry, seperti kuduga, mengikutinya
masuk.
"Oke."
Jacob tampaknya tidak terlalu marah lagi setelah yang lain-lain pergi. Wajahnya
kini sedikit lebih tenang, tapi juga lebih tidak berdaya. Sudutsudut mulutnya seperti
tertarik ke bawah secara permanen.
Aku menarik
napas dalam-dalam. "Kau tahu apa yang ingin kuketahui."
Jacob tidak
menjawab. Ia hanya menatapku getir.
Aku balas menatapnya
dan kesunyian berlanjut. Kepedihan di wajahnya membuat nyaliku lenyap. Aku
merasa kerongkonganku tercekat.
"Bisakah
kita jalan-jalan?" tanyaku, mumpung
masih bisa
bicara Jacob tidak menyahut; wajahnya tidak berubah.
Aku turun dari
truk, merasakan mata-mata yang tidak kelihatan menatapku dari balik jendela,
lalu mulai berjalan menuju pepohonan di utara. Kakiku menginjak rerumputan
lembab dan lumpur di
samping jalan,
dengan suara berdecit, dan, karena hanya itu satu-satunya suara yang terdengar,
awalnya aku mengira Jacob tidak mengikutiku.
Tapi waktu aku
menoleh, ia sudah berjalan di sisiku, entah bagaimana kakinya menemukan pijakan
yang tidak menimbulkan suara.
Aku merasa lebih
tenang saat mencapai tepi hutan, karena Sam tak mungkin bisa melihatku. Sementara
kami berjalan aku memeras otak,
memikirkan hal
yang tepat untuk diutarakan, tapi nihil. Sebaliknya aku malah semakin marah karena
Jacob tersedot semakin dalam.karena
Billy
membiarkan ini terjadi karena Sam bisabisanya berdiri di sana dengan sikap
tenang dan penuh percaya diri Jacob tiba-tiba mempercepat langkah, berjalan melewatiku
dengan mudah dengan kedua kakinya yang panjang, kemudian berbalik menghadapiku,
berdiri tepat
di tengah jalan setapak sehingga aku terpaksa berhenti juga.
Pikiranku
sempat beralih sejenak ke gerakgeriknya yang anggun dan mantap. Padahal selama ini
Jacob hampir sama kikuknya denganku
berkaitan
dengan pertumbuhan badannya yang tak pernah berakhir. Kapan itu berubah? Tapi
Jacob tidak memberiku kesempatan sama
sekali untuk
memikirkannya.
"Mari
kita tuntaskan,” katanya, suaranya keras dan parau.
Aku menunggu.
Ia tahu apa yang kuinginkan. "Itu tidak seperti yang kaukira."
Suaranya sekonyong-konyong terdengar letih. "Ternyata tidak seperti yang
kukira—aku salah besar."
"Jadi
apa, kalau begitu?"
Jacob
mengamati wajahku lama sekali, menimbang-nimbang. Amarah tak sepenuhnya enyah
dari matanya. "Aku tak bisa memberi tahumu," katanya akhirnya.
Rahangku mengeras,
dan aku berbicara dari sela-sela gigiku yang terkatup rapat. "Kusangka kita
berteman."
"Dulu kita
memang berteman." Ada sedikit penekanan pada kata dulu.
"Tapi kau
tidak membutuhkan teman lagi," tukasku masam. "Kau punya Sam. Bagus
sekali, bukan—sejak dulu kau memang kagum padanya."
"Aku
tidak memahaminya sebelum ini."
"Dan
sekarang kau sudah melihat kebenaran. Haleluya"
“Ternyata itu
tidak seperti yang kukira. Ini bukan salah Sam. Dia membantuku sebisa mungkin."
Suara Jacob berubah rapuh, dan ia
memandang melampaui
kepalaku, melewatiku, amarah membara di matanya.
“Dia membantumu,"
aku mengulangi dengan sikap ragu. "Jelas."
Tapi Jacob sepertinya
tidak mendengarkan. Ia menarik napas panjang dalam-dalam, berusaha menenangkan
diri. Ia sangat marah sampai-sampai tangannya gemetar.
"Jacob, please,” bisikku. “Bisakah kauceritakan
saja padaku apa yang sebenarnya terjadi? Mungkin aku bisa membantu."
"Tidak
ada yang bisa membantuku sekarang."
Kata-kata itu
meluncur dalam bentuk erangan pelan; suaranya pecah.
"Apa yang
dia lakukan padamu?" tuntutku, air mataku merebak. Aku mengulurkan tangan padanya,
seperti pernah kulakukan sebelumnya,
maju selangkah
dengan kedua lengan terbuka lebar.
Kali ini Jacob
mengelak, mengangkat kedua tangannya dengan sikap defensif. "Jangan sentuh
aku," bisiknya.
"Apakah Sam
menular?" gumamku. Air mata konyol itu lolos dari sudut-sudut mataku. Aku menyekanya
dengan punggung tangan, dan melipat
kedua lenganku
di dada.
"Berhentilah
menyalahkan Sam." Kata-kata itu terlontar cepat, seperti refleks. Kedua
tangan Jacob terangkat ke atas, hendak memilin rambut yang sudah tidak ada lagi,
kemudian terkulai lemas ke sisi tubuhnya.
"Kalau
begitu aku harus menyalahkan siapa?" sergahku.
Jacob menyunggingkan
senyum separo; hal yang muram dan aneh.
"Kau
tidak ingin mendengar jawabannya."
"Siapa bilang
tidak ingin!" sergahku. "Aku ingin tahu, dan aku ingin tahu
sekarang."
"Kau
keliru," Jacob balas membentak.
"Jangan
berani-berani mengatakan aku keliru—bukan aku yang dicuci otak! Katakan padaku sekarang
siapa yang bersalah dalam hal ini, kalau
bukan Sam-mu
yang berharga itu!"
"Kau
sendiri yang minta," Jacob menggeram padaku, matanya berkilat-kilat.
"Kalau kau ingin menyalahkan seseorang, mengapa tidak kauarahkan saja
jarimu pada makhluk-makhluk pengisap darah kotor dan berbau busuk yang sangat
kau cintai itu?”
Mulutku ternganga
dan napasku mengeluarkan suara terkesiap kaget. Aku membeku di tempat, tertusuk
oleh kata-katanya yang setajam pisau. Kepedihan mengoyak tubuhku dalam pola
familier, lubang basah itu terkoyak dari bagian dalam ke luar, tapi itu belum
apa-apa dibandingkan berbagai pikiran kalut yang berkecamuk dalam benakku.
Aku tak yakin
pendengaranku benar. Tidak sedikit pun
tampak tanda-tanda keraguan di wajahnya. Hanya
amarah.
Mulutku masih
terus menganga lebar.
"Sudah
kubilang kau pasti tidak ingin mendengarnya," tukas Jacob.
"Aku
tidak mengerti siapa yang kaumaksud," bisikku.
Jacob
mengangkat sebelah alis dengan sikap tak percaya. "Menurutku kau justru
sangat mengerti siapa yang kumaksud. Kau tidak menyuruhku mengucapkan namanya,
kan? Aku tidak mau menyakitimu."
“Aku tidak mengerti
siapa yang kaumaksud," ulangku seperti robot.
"Keluarga
Cullen,” jawabnya lambat-lambat, mengulur-ulur kata itu, mengamati wajahku saat
mengucapkannya. "Aku tahu itu—aku bisa melihat di matamu apa akibatnya
bila aku menyebut nama mereka."
Aku menggeleng-gelengkan
kepala, berusaha menyangkal sekaligus menjernihkan pikiran pada saat bersamaan.
Bagaimana ia bisa mengetahui hal ini? Dan apa hubungan semua itu dengan sekte Sam?
Apakah mereka sekelompok pembenci vampir? Apa gunanya membentuk kelompok semacam
itu bila tidak ada lagi vampir yang tinggal di Forks? Mengapa Jacob justru
mulai memercayai cerita-cerita tentang keluarga Cullen sekarang, setelah bukti
kehadiran mereka sudah lama lenyap, tidak akan pernah kembali lagi? Lama sekali
baru aku menemukan jawaban yang tepat. "Jangan katakan sekarang kau
percaya pada cerita-cerita takhayul Billy," kataku dengan sikap mengejek
yang tidak terlalu meyakinkan.
"Ternyata
dia lebih banyak tahu daripada yang kukira."
"Bersikaplah
serius, Jacob." Jacob menatapku garang, sorot matanya
mengkritik.
"Terlepas
dari soal takhayul," sergahku buruburu.
"Aku
tetap tidak mengerti mengapa kau menuduh keluarga." meringis—"Cullen.
Mereka pindah lebih dari setengah tahun lalu. Bagaimana mungkin kau menyalahkan
mereka atas apa yang dilakukan Sam sekarang?"
"Sam
tidak melakukan apa-apa, Bella. Dan aku tahu mereka sudah pindah. Tapi
terkadang. halhal tertentu terjadi, dan semuanya sudah
terlambat."
"Hal-hal
tertentu apa? Apa yang terlambat? Kau menyalahkan mereka karena apa?"
Jacob tiba-tiba
mendekatkan wajahnya ke wajahku, amarah berkobar-kobar di matanya.
"Karena
mereka ada," desisnya.
Aku terkejut
dan perhatianku tiba-tiba teralih karena mendadak muncul kata-kata peringatan
di benakku dalam suara Edward, padahal saat itu
aku bahkan
tidak sedang merasa takut.
"Diamlah
sekarang, Bella. Jangan desak dia,"
Edward
memperingatkan di telingaku. Sejak nama Edward menerobos keluar dari dinding
pertahanan tempatnya terkubur selama ini, aku tak bisa lagi menguncinya
rapat-rapat.
Nama itu tak lagi
menyakitkan hatiku – tidak selama detik-detik berharga saat aku bisa mendengar
suaranya. Jacob marah sekali di hadapanku, sekujur tubuhnya gemetar oleh
amarah.
Aku tidak
mengerti mengapa delusi Edward muncul tak terduga-duga dalam benakku. Jacob memang
marah, tapi ia tetap Jacob. Tidak ada
adrenalin,
tidak ada bahaya.
"Beri dia
kesempatan untuk menenangkan diri," suara Edward berkeras.
Aku
menggelengkan kepala bingung. "Sikapmu konyol,"
kataku pada mereka berdua.
“Terserah,"
sergah Jacob, kembali menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak mau berdebat denganmu.
Itu toh tidak penting lagi, karena sudah
telanjur."
"Apanya
yang sudah telanjur?" Jacob tidak kaget sedikit pun saat aku
meneriakkan
kata-kata itu di wajahnya.
"Ayo kita
kembali. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan."
Aku ternganga.
"Tentu saja masih ada! Kau belum menjelaskan apa-apa!'
Jacob berjalan
melewatiku, melangkah kembali ke rumah.
"Aku
bertemu Quil hari ini," teriakku. Jacob
menghentikan
langkah, tapi tidak berbalik. "Kau masih ingat temanmu, Quil? Yeah, dia
ketakutan." Jacob berbalik menghadapiku. Wajahnya sedih.
"Quil,"
hanya itu yang ia ucapkan
“Dia juga
mengkhawatirkanmu. Dia sangat ketakutan." Tatapan Jacob menerawang melewatiku
dengan sorot putus asa.
Aku semakin bersemangat
mengomporinya. "Dia takut ikan menjadi yang berikutnya."
Jacob berpegangan
pada sebatang pohon, wajahnya berubah kehijauan di bawah kulitnya yang merah
kecokelatan. "Dia takkan menjadi yang
berikutnya,"
gumam Jacob pada diri sendiri. "Tak mungkin. Sekarang semua sudah selesai.
Seharusnya ini semua tidak terjadi lagi. Kenapa?
Kenapa?"
Ia meninju pohon. Pohon itu tidak besar, namun ramping dan kira-kira hanya
semeter lebih tinggi daripada Jacob. Tapi aku tetap terkejut saat pohon itu
roboh dengan bunyi keras.
Jacob menatap pohon
itu dengan terkejut, lalu pandangannya berubah ngeri.
"Aku
harus kembali." Ia berbalik dan berjalan pergi sangat cepat hingga aku
harus berlari-lari kecil untuk menyamai langkahnya.
"Kembali
kepada Sam!"
"Bisa
dibilang begitu," kedengarannya persis seperti maksud Jacob. Ia bergumam
dan tak mau memandangku.
Aku
mengejarnya sampai ke truk. "Tunggu!" aku berteriak memanggil saat
Jacob mengarah ke rumahnya. Ia berbalik menghadapku, dan kulihat tangannya
gemetaran lagi.
"Pulanglah,
Bella. Aku tak bisa berteman denganmu lagi" Kepedihan yang kurasakan, meskipun
sepertinya konyol dan tak penting, benar-benar kuat. Air mata menggenangi
mataku lagi. "Apakah kau. mencampakkan aku?" Katakata yang keluar salah,
tapi itulah cara terbaik yang bisa kupikirkan untuk bertanya padanya.
Bagaimanapun
juga, apa yang Jake dan aku miliki lebih dari sekadar cinta monyet. Ini lebih
kuat daripada itu. Ia tertawa pahit. "Tidak. Jika aku mencampakkanmu, aku
akan bilang 'Kita lebih baik berteman.' Tapi sekarang, aku bahkan tak bisa
mengatakan itu."
"Jacob.
kenapa Sam tidak membolehkanmu punya teman lain? Please, Jake. Kau sudah janji. Aku
membutuhkanmu!" Kehampaan hidupku
sebelum ini—sebelum
Jacob membawa sedikit alasan untuk hidup lagi ke dalam hidupku—seakan bersiap
menghadangku. Kesepian mencekik
tenggorokanku.
"Maafkan
aku, Bella." Jacob mengucapkan setiap kata perlahan-lahan dengan suara
dingin yang sepertinya bukan miliknya. Aku tak percaya itu yang sebenarnya
ingin diucapkan Jacob. Sepertinya ada hal lain yang berusaha ia katakan lewat
sorot matanya yang marah, tapi aku tak bisa memahami pesan itu.
Mungkin ini
sama sekali bukan tentang Sam. Mungkin ini juga tak ada hubungannya dengan keluarga
Cullen. Mungkin Jacob hanya berusaha
keluar dari
situasi yang tak mungkin berubah, tak ada harapan. Mungkin seharusnya aku membiarkan
ia melakukan itu, jika itu yang terbaik
untuknya. Aku
harus melakukan itu. Itu hal yang benar.
Tapi aku
mendengar suaraku berbisik.
"Aku
minta maaf tak bisa. sebelum. kuharap aku bisa mengubah perasaanku terhadapmu, Jacob."
Aku putus asa, berusaha menggapai,
mengulur
kebenaran begitu jauhnya hingga katakataku nyaris melengkung menjadi
kebohongan.
"Mungkin.
mungkin aku bisa berubah," aku berbisik. "Mungkin, kalau kau
memberiku sedikit waktu. Tapi jangan menyerah terhadapku
sekarang,
Jake. Aku takkan bisa bertahan."
Wajahnya berubah
dari marah menjadi sedih dalam sedetik. Satu tangannya yang masih gemetaran terulur
menggapaiku.
"Tidak.
Jangan berpikir begitu, Bella, please.
Jangan salahkan dirimu, jangan pikir ini salahmu. Ini semua salahku. Sumpah,
ini sama sekali bukan salahmu.”
"Bukan
salahmu, tapi salahku," aku berbisik.
"Pasti
sudah ada yang baru untukmu."
"Aku
sungguh-sungguh, Bella. Aku tidak."
Jacob berjuang
menyelesaikan kalimatnya, suaranya semakin serak saat ia berusaha mengendalikan
emosi. Sorot matanya tersiksa.
"Aku
tidak cukup baik untuk menjadi temanmu lagi, atau apa pun. Aku tidak seperti
dulu lagi. Aku tidak baik."
"Apa?"
Kupandangi dia, bingung dan heran. "Kau ini bicara apa? Kau jauh lebih
baik daripada aku, Jake. Kau baik! Siapa yang mengatakan kau tidak baik? Sam?
Itu kebohongan yang keji, Jacob! Jangan biarkan dia berkata begitu
padamu!" aku tiba-tiba berteriak lagi.
Wajah Jacob keras
dan datar. "Tidak ada yang memberi tahuku. Aku tahu siapa diriku."
"Kau temanku,
itulah kau! Jake—jangan!" Jacob mundur menjauhi ku.
"Maafkan
aku, Bella," katanya lagi; kali ini hanya berupa gumaman lirih. Ia
berbalik dan hampirhampir berlari memasuki rumah.
Aku tak
sanggup bergerak dari tempatku berdiri. Kupandangi rumah kecil itu; tampaknya
rumah itu terlalu kecil untuk menampung empat cowok berbadan besar dan dua pria
yang bahkan lebih besar lagi. Tidak ada reaksi apa pun di dalam. Tidak ada
kibasan pada tirai jendela, tidak ada suara-suara ataupun gerakan. Rumah itu menatapku
kosong.
Hujan mulai
turun rintik-rintik, menusuk kulitku di sana-sini. Aku tak mampu mengalihkan pandangan
dari rumah itu. Jacob akan keluar lagi.
Pasti. Hujan
turun semakin deras, angin juga bertiup semakin kencang. Tetesan air tak lagi
jatuh dari atas; air hujan kini menyamping dari barat.
Tercium olehku
bau garam dan lautan. Rambutku menampari wajah, menempel di bagian-bagian yang basah
dan menjerat bulu mataku. Aku
menunggu. Akhirnya
pintu terbuka, dan dengan lega aku maju selangkah.
Billy menggelindingkan
kursi rodanya ke ambang pintu. Aku tidak melihat siapa-siapa di belakangnya.
“Charlie baru
saja menelepon, Bella. Kukatakan padanya kau sudah dalam perjalanan
pulang."
Matanya
menyorotkan rasa iba. Sorot iba itulah yang menggerakkanku. Aku tidak berkomentar.
Aku hanya berbalik seperti robot dan naik ke truk. Aku tadi membiarkan kacakaca
jendela terbuka, jadi jok mobilku kan dan basah. Tidak apa-apa. Aku toh sudah
kepalang basah kuyup.
Ini bukan apa-apa! Ini bukan apa-apa! Pikiranku
berusaha menghiburku. Itu benar. Im memang bukan apa-apa. Ini bukan akhir
dunia, tidak lagi.
Ini hanyalah akhir
dari secuil kedamaian yang tertinggal. Hanya itu.
Ini bukan apa-apa, aku sependapat,
lalu menambahkan, tapi ini cukup menyakitkan.
Kusangka selama ini Jake memulihkan lubang dalam diriku—atau setidaknya menambalnya,
menjaganya agar tidak terlalu menyakitiku.
Ternyata aku
salah. Ternyata selama ini ia memahat lubangnya sendiri, sehingga sekarang hatiku
bolong-bolong seperti keju Swiss. Dalam
hati aku bertanya-tanya
mengapa aku tidak hancur berkeping-keping.
Charlie sudah
menunggu di teras. Begitu trukku berhenti, ia menghampiriku.
"Billy menelepon.
Katanya kau bertengkardengan Jake-katanya kau sangat kalut,” ia menjelaskan
sambil membukakan pintu untukku.
Lalu ia
memandang wajahku. Ekspresi mengenali yang penuh kengerian tergambar di wajahnya.
Aku berusaha merasakan wajahku dari
dalam, untuk mencari
tahu apa yang dilihatnya.
Wajahku kosong
dan dingin, dan sadarlah aku wajahku ini mengingatkan Charlie pada apa. "Kejadiannya
tidak seperti itu," gumamku. Charlie merangkulku dan membantuku turun dari
truk. Ia tidak mengomentari bajuku yang basah kuyup.
"Kalau
begitu apa yang terjadi?" tanyanya sesampainya di dalam. Ditariknya
selimut yang tersampir di punggung sofa dan dililitkannya di
bahuku.
Sadarlah aku sekujur tubuhku masih gemetaran.
Suaraku hampa
tak bernyawa. "Kata Sam Uley, Jacob tidak boleh berteman lagi
denganku."
Charlie
melayangkan pandangan aneh ke arahku. "Siapa yang bilang begitu?"
"Jacob,"
jawabku, meski tidak persis begitu yang ia katakan. Tapi itu tetap benar.
Alis Charlie bertaut.
"Kau benar-benar merasa ada yang tidak beres dengan pemuda Uley ini?"
"Aku
yakin. Tapi Jacob tidak mau memberi tahu apa itu." Aku bisa mendengar air
menetes-netes dari bajuku ke lantai dan menciprat di linoleum.
"Aku mau
ganti baju dulu."
Charlie tenggelam
dalam pikirannya. "Oke," sahutnya sambil lalu.
Aku memutuskan
untuk mandi karena merasa sangat kedinginan, tapi air panas ternyata tidak bisa
memengaruhi suhu kulitku. Aku masih
kedinginan
ketika akhirnya aku menyerah dan mematikan air. Dalam suasana yang mendadak hening,
aku bisa mendengar Charlie berbicara
dengan seseorang
di bawah. Aku membungkus rubuhku dengan handuk, lalu membuka pintu kamar mandi
secelah.
Suara Charlie
terdengar marah. “Aku tidak percaya. Itu tidak masuk akal."
Kemudian suasana
sepi, dan barulah aku sadar Charlie sedang berbicara di telepon. Saru menit berlalu.
"Jangan
menyalahkan Bella!" Charlie tiba-tiba berteriak. Aku terlonjak. Ketika ia
bicara lagi, suaranya hati-hati dan lebih rendah. "Selama ini
Bella dengan
jelas menyatakan dia dan Jacob hanya berteman. Well, kalau memang begitu, mengapa
kau tidak mengatakannya sejak awal?
Tidak, Billy
menurutku dia benar dalam hal ini. Karena aku tahu bagaimana anak perempuanku, dan
kalau menurutnya Jacob ketakutan sebelum ini—" Charlie berhenti bicara,
dan waktu menjawab, ia nyaris berteriak lagi.
“Apa maksudmu
aku tidak kenal anak perempuanku sebaik yang kukira!" Ia mendengarkan
sebentar, dan responsnya sangat
pelan hingga
nyaris tak bisa kutangkap. "Kalau kaupikir aku akan mengingatkannya
tentang hal itu, sebaiknya kau berpikir lagi. Dia baru mulai bisa melupakannya,
dan sebagian besar karena Jacob, kurasa. Kalau apa pun yang dilakukan Jacob
dengan si Sam ini membuat Bella kembali terpuruk dalam depresi, maka Jacob
harus berurusan denganku. Kau memang temanku, Billy, tapi ini menyakiti
keluargaku." Charlie kembali terdiam saat Billy menjawab.
“Kau benar—sekali
saja anak-anak itu melanggar aturan, aku pasti akan tahu mengenainya. Kami akan
mengawasi situasi ini, kau boleh yakin akan hal itu." Ia bukan lagi Charlie;
sekarang ia Kepala Polisi Swan.
“Baik. Yeah. Bye." Telepon dibanting
keraskeras.
Aku berjingkat-jingkat
cepat melintasi lorong dan masuk ke kamarku. Charlie menggerutu marah di dapur.
Jadi Billy
hendak menyalahkan aku. Aku memberi harapan pada Jacob dan akhirnya ia muak. Sungguh
aneh, karena itu juga yang kutakutkan, tapi setelah mendengar perkataan Jacob
sore tadi, aku tidak percaya lagi bahwa itulah yang menjadi penyebabnya. Ada
hai lain selain cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan sungguh mengagetkan
bila Billy sampai harus menggunakan itu sebagai alasan. Itu membuatku
berpikir bahwa
rahasia apa pun yang mereka simpan pastilah lebih besar daripada yang selama ini
kubayangkan. Setidaknya Charlie memihakku sekarang.
Aku memakai
piama lalu merangkak naik ke tempat tidur. Hidup saat ini sudah terasa cukup gelap
hingga kubiarkan diriku melanggar janjiku
sendiri.
Lubang itu—sekarang ada lebih dari satu lubang—toh sudah terasa menyakitkan,
jadi mengapa tidak? Kutarik keluar kenanganku—
bukan kenangan
sesungguhnya yang pasti akan terlalu menyakiti, tapi kenangan palsu tentang suara
Edward dalam benakku sore tadi—dan
memutarnya
berulang kali di kepalaku sampai aku tertidur dengan air mata masih menuruni
wajahku yang kosong.
Mimpiku baru
malam ini. Hujan turun dan Jacob berjalan tanpa suara di sampingku, meski di bawah
kakiku tanah yang kuinjak bergemeretak
seperti
kerikil kering. Tapi ia bukan Jacob-ku; ia Jacob yang baru, masam, dan anggun.
Gaya berjalannya yang anggun dan mantap
mengingatkanku
pada seseorang yang lain, dan, saat kuperhatikan, garis-garis wajahnya berubah.
Kulitnya yang cokelat kemerahan memudar, meninggalkan seraut wajah putih pucat
bagai tulang. Matanya berubah warna menjadi emas. kemudian merah, lalu emas
lagi. Rambutnya yang dipangkas pendek acak-acakan tertiup angin,
berubah warna
menjadi tembaga begitu angin menyentuhnya. Dan wajahnya berubah sangat tampan
hingga membuat hatiku hancur
berkepingkeping.
Aku
mengulurkan tangan ke arahnya, tapi ia mundur selangkah, mengangkat kedua
tangan seperti tameng. Kemudian Edward menghilang. Aku tak yakin, waktu aku
terbangun di kegelapan, apakah aku baru mulai menangis, ataukah air mataku
mengalir saat aku tidur dan terus mengalir sampai sekarang. Kutatap langitlah kamar
yang gelap. Aku bisa merasakan sekarang sudah tengah malam – aku masih separo
tertidur, mungkin malah masih tidur. Kupejamkan mataku dengan letih, berdoa
semoga tidurku tidak diganggu mimpi lagi.
Saat itulah
aku mendengar suara yang membuatku terbangun tadi. Suara sesuatu yang tajam
menggesek permukaan jendela dan
menimbulkan
bunyi berderit yang melengking tinggi, seperti suara kuku menggores kaca.
0 komentar:
Post a Comment