Ilmu Munasabah
ILMU MUNASABAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Yuyun Affandi Lc. MA.
Disusun Oleh:
Nis Himayah (131311114)
Mita
Lia Sofiana (131311115)
Umi Fatmah (131311116)
Zahrotu Millah (131311117)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
MANAJEMEN DAKWAH
Institut Agama Islam Negeri ( IAIN )
WALISONGO Semarang
Tahun 2014
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang kekal, yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah, sebagai bukti besar atas
kenabian. Di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang sedemikian luasnya, yang
apabila ditelaah dan dipelajari, akan memberikan penerangan serta pembimbing
manusia menuju jalan yang lurus.
Kaum muslimin sendiri membutuhkan banyak kitab tafsir dan ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan Al-Qur’an untuk memahaminya. Ilmu Munasabah
merupakan bagian dari ilmu-ilmu Al-Qur’an yang posisinya sangat penting dalam
rangka menjadikan keseluruhan ayat Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh. Hal ini karena satu ayat dengan yang lain memiliki
keterkaitan, sehingga bisa saling menafsirkan.[1]
Dari sisi manapun Al-Qur’an selalu melahirkan cabang ilmu pengetahuan.
Termasuk dari segi hubungan antara bagian dengan bagian Al-Qur’an, seperti
hubungan antara ayat dengan ayat, antara surat dengan surat dan lainnya yang
juga melahirkan salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam lapangan ilmu-ilmu
Al-Qur’an, yaitu ilmu munasabah. Keberadaan ilmu munasabah sebagai
salah satu cabang dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an memiliki andil yang cukup besar dalam
menentukan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, maka rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut:
a. Apakah pengertian munasabah?
b. Apakah bentuk-bentuk munasabah?
c. Apakah macam-macam ilmu munasabah?
d. Bagaimanakah cara mencari dan menentukan munasabah?
e. Apakah urgensi ilmu munasabah?
f. Apakah manfaat ilmu munasabah?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Munasabah
Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari
asal kata nasaba-yunasibu-munasabahan yang berarti musyakalah (keserupaan)[2], dan
muqarabah. Lebih jelas mengenai pengertian munasabah secara etimologis
disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Qur”an bahwa munasabah merupakan
ilmu yag mulia yang menjadi teka-teki akal fikiran, dan yang dapat digunakan
untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan
secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama
terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai
munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya,
mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat
yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan
(ta’arudh).
Manna
Al-Qathan dalam mabahis fi ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu
kata dengan kata yang lain dan satu ayat dengan ayat yang lain atau antara satu
surat dengan surat yang lain. Menurut M Hasbi Ash Shiddieq membatasi pengertian
munasabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja.
Dalam
pengertian istilah, munasabah diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah
korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha
pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang
dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap
rahasia illahi, sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang meragukan Al-Qur’an
sebagai wahyu. [3]
Secara harfiah, kata munasabah
(منا سبة)
berarti perhubungan, pertautan, persesuaian, kecocokan, dan kepantasan. Secara
etimologi kata munasabah dalam Kamus Ilmu Al-Qur’an, menurut Asy-Syuthi
berarti Al-Musyakalah (keserupaan) dan Al-Muqarabah (kedekatan).[4]
Secara terminologi, munasabah
berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al-Qur’an. Ibnu Arabi,
sebagaimana dikutip oleh Imam Asy-Syuthi, mendefinisikan munasabah itu kepada keterkaitan ayat-ayat
Al-Qur’an antara
sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu
ungkapan yang rapi dan sistematis.[5] Dari sini dapat dipahami bahwa munasabah adalah suatu yang membahas tentang segi-segi hubungan, keterkaitan
atau keserasian Al-Qur’an
antara satu bagian dengan bagian lainnya dalam berbagai
bentuk, seperti hubungan antara kata/kalimat dengan kata/kalimat, antar ayat
dengan ayat, antara awal surat dengan akhir surat, antara surat yang satu
dengan surat lainnya, dan seterusnya hingga dapat dipahami bahawa Al-Qur’an
merupakan satu kesatuan yang utuh.
Terdapat beberapa definisi munasabah
menurut para ahli, di antaranya sebagai berikut:[6]
a.
Az-Zakarsyi
mendefinisikan munasabah sebagai suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala
dihadapkan kepada akal, pasti akal itu menerimanya.
b.
Manna’ Qathan
mendefinisikan bahwa munasabah adalah sisi keterkaitan antara beberapa
ungkapan di dalam satu ayat, atau antar ayat pada pada beberapa ayat, atau
antar surah di dalam Al-Qur’an.
c.
Ibnu Al-Arabi
mendefinisikan munasabah sebagai keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an
sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan
keteraturan redaksi.
d. Menurut Al-Biqa’I:” munasabah
adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau
urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.[7]
Tertib urut-urutan surat terutama ayat-ayat Al-Qur’an
yang oleh kebanyakan ulama diyakini bersifat kauqifi,
atau sudah diberikan dari Allah apa adanya, sehingga
mendorong kita untuk mengilustrasikan Al-Qur’an berbentuk bundar dari pada
memahaminya dalam konteks persegi panjang. Dengan cara pandang seperti inilah, maka akan
terasa lebih mudah memahami munasabah Al-Qur’an. Bukan saja dari segi
kata demi kata, bagian demi bagian, dan ayat demi ayat, melainkan juga antara surat demi surat, di mana antara surat
demi surat tersebut terdapat hubungan yang sangat erat, termasuk antara
hubungan surat An-Nas [144] sebagai surat yang terakhir dengan surat Al-Fatihah
[1] yang ditetapkan sebagai surat pertama.[8]
Dari sinilah, dapat dipahami bahwa munasabah adalah ilmu yang membahas hikmah
korelasi antar bagian Al-Qur’an, di mana munasabah merupakan usaha pemikiran manusia
dalam menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh
akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia Illahi, sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang meragukan
Al-Qur’an sebagai wahyu.
Tokoh yang pertama kali melakukan kajian
terhadap ilmu munasabah adalah Abu Bakr An-Naysaburi. Selain darinya,
terdapat pula Abu Ja’far Zubair dengan karyanya “Al-Burhan fi Munasabah
Tartib Suwar Al-qur’an”, Burhanuddin Al-Biqa’i dengan karyanya “Nuzhum Adh-Dhurar fi Tanasub” dan
As-Sayuti dengan karyanya “Tanasuq
Adh-Dhurar fi Tanasub As-Suwar”.
B.
Bentuk-Bentuk Munasabah
Secara garis besar bentuk munasabah
Al-Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu: zhahir (jelas) dan mudhmar (tersembunyi) :[9]
1.
Munasabah Zhahir. Munasabah Zhahir terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang
lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan
yang lain. Deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu
materi, terkadang ayat yang berupa satu penguat,
penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian, atau pembatas dengan ayat yang
lain.[10] Munasabah
Zhahir terdiri dari beberapa bentuk, yaitu:
a.
Suatu
ayat yang menyempurnakan penjelasan dari ayat sebelumnya. Hal ini dapat
dipahami bahwa penjelasan suatu ayat mengenai suatu persoalan kadang-kadang
belum sempurna atau lengkap, kemudian ayat berikutnya menyempurnakan penjelasan
dari ayat tersebut. Misalnya, dapat dilihat dalam firman Allah surah Al-Baqarah (2) ayat 3-5, yaitu:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3} وَالَّذِينِ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِاْلآخِرَةِ هُمْ يُوِقنُونَ {4}
أُولَـئِكَ عَلَى هُدًى مِن رَبِّهِمْ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون
Artinya:
“Orang-orang yang beriman
dengan ghaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan rezeki yang Kami berikan
kepadanya (dijalan Allah).۞
Dan orang-orang yang beriman dengan apa yang diturunkan sebelumnya, serta
mereka meyakini akan adanya hari akhir. ۞Mereka itu mendapatkan petunjuk dari Tuhannya, dan
mereka itu mendapatkan kemenangan. ۞”
Dari
ayat ketiga, menjelaskan tentang karakteristik orang-orang yang bertakwa, yaitu
orang-orang yang beriman dengan hal-hal yang ghaib, mendirikan sholat,dan
membantu jalan Allah dengan harta yang dimilikinya. Karakteristik orang
bertaqwa ini belum tuntas dijelaskan dalam ayat tersebut, maka ayat ke empat
dan kelima yang menjelaskan lebih lanjut. Dimana, orang-orang bertaqwa selain
beriman dengan yang ghaib, sholat, dan bersedekah, juga ditandai dengan
keyakinannya terhadap Al-Qur’an dan kitab sebelumnya sebagai wahyu yang datang
dari Allah serta meyakini adanya hari akhir. Ketaqwaan dengan karakteristik
semacam ini berefek positif terhadap orang yang bertaqwa itu sendiri, yaitu
memperoleh hidayah dan kemenangan dari Allah. Jadi, ayat 4-5 berfungsi untuk
menyempurnakan penjelasan ayat 3.
b.
Tawkid (menguatkan).
Dalam ilmu munasabah, tawkid
berarti menguatkan isi kandungan dari satu ayat dengan ayat lainnya. Sebagai
contoh terdapat dalam firman Allah surah Al-Baqarah (2) ayat 149-150:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (٩٤١) وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (۰۵١)
Artinya:
“Dan
dari manapun
kamu keluar, maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Sesungguhnya hal
itu benar-benar yang hak, berasal dari Tuhanmu. Dan tiadalah Tuhanmu lalai dari
apa yang kamu kerjakan. . ۞
Dan dari manapun
kamu keluar, maka palingkanlah mukamu ke arah Majidil Haram. Dan di manapun kamu
berada, palingkanlah
mukamu kearahnya, agar tidak lagi menjadi hujjah
bagi manusia atasmu kecuali orang-orang yang dzalim diantara mereka. Maka
janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Dan Aku
benar-benar telah menyempuranakan nikmat-Ku atasmu, semoga kamu mendapat
petunjuk. ۞”
Ayat
149 memperbincangkan mengenai kemestian berkiblat ke Masjidil Haram. Dan diantara isi
kandungan ayat 150 juga menjelaskan perintah berkiblat ke Masjidil Haram. Maka munasabah
ayat 149 dan ayat 150 adalah tawkid, yaitu ayat 150 menguatkan isi kandungan
ayat sebelumnya,
tetapi ayat 150 itu tidak hanya semata-mata menguatkan saja, karena didalamnya termuat pula pesan-pesan yang lain yakni
hikmah kenapa kiblat itu dipalingkan ke Masjidil
Haram, dan menanamkan sikap kehati-hatian bagi
orang mukmin terhadap orang kafir, serta optimis berpegang pada ajaran Al-Qur’an dan tidak
perlu takut
juga kepada orang-orang kafir tersebut.
c.
Tafsir (menjelaskan).
Makna tafsir dalam munasabah Al-Qur’an
dapat dipahami sebagai
ayat yang menjelaskan ayat sebelumnya. Kadang-kadang ada ayat yang membicarakan
suatu permasalahan dan istilah, tetapi ayat itu tidak menjelaskan maksud
permasalahan dan masalah itu. Kemudian ayat berikutnya menjelaskan makna,
konsep atau karakteristik. Maka munasabah antara kedua ayat tersebut
terdapat pada hubungan penjelas (mufasir) dengan yang dijelaskan, yang
berarti bahwa ayat kedua yang
menjelaskan maksud atau makna ayat pertama. Contoh mengenai munasabah
ini dapat disimak dalam firman Allah surah Al-Baqarah (2) 26-27. Di mana ayat
pertama menggunakan istilah fasiqin, tetapi tidak menjelaskan maksud
atau karaktaeristik fasiqin itu sendiri. Oleh sebab itu, ayat 27 yang
menjelaskan maksud dan kriteria
fasiqin pada ayat 26.
Allah berfirman:
انَّ اللهَ لا يِسْتَحْيِ آنْ يِضْرِبَ مَثَلا مَابَعُوْضَةً فَمَا
فَوْقَهَاۗ فِأمَّا الّذِيْنَ آمَنُوْا فِيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ
رَبّهِمْ ۚ وَاَمَّا الّذِيْنَ كَفَرُوْا فَيَقُوْلُوْنَ مَاذَآ اَرَادَ اللهُ
بِهذَا مَثَلاۢ يُضِلُّ بِه كَثِيْرًا وَيَهْدِيْ بِه كَثِيْرًا ۗ وَمَا يُضِلُّ بِه إلاالْفسِقِيْنَ ۙ الّذِيْنَ يَنْقُضُوْنَ عَهْدًاللهِ مِنْ بَعْدِ مِيْثقِه
وَيَقْطَعُوْنَ مَآ اَمَرَاللهُ بِه اَنْ يُّوْصَلَ وَيُفْسِدُوْنَ فِى الارْضِ
ۗ أولٰئِكَ هُمُ الخٰسِرُوْنَ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat
perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. adapun orang-orang
yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka,
tetapi mereka yang kafir menyatakan:”apakah maksud Allah menjadikan ini untuk
perumpamaan?” dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan
dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberinya petunjuk. . Dan
tidak ada yang disesatkan Allah kecuali
orang-orang yang fasik, ۞ (yaitu) orang-orangg yang
melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa
yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. . ۞”
Seperti yang kita tahu bahwa
Al-Qur’an dalam membimbing
manusia selalu menggunakan fenomena alam dan isinya sebagi media, termasuk
binatang-binatang kecil seperti laba-laba, semut, dan lebah. Orang-orang kafir
menanggapi secara negatif, mereka semakin sesat dengan tanggapan negatifnya
itu. Ayat 26 ini menggambarkan
tanggapan mereka, yaitu ماَ ذَا أَرَدَالله
بِهَذَا مَثَلاً
(apa yang Allah inginkan dengan perumpamaan ini?). Justru itu, mereka
menjadi sesat dan fasiq. Akan tetapi, ayat 26 tidak menjelaskan maksud fasiq
dan karakteristiknya. Maka ayat 27 menjelaskan maksud dan karakteristik fasiq
tersebut, yaitu memungkiri janji, memutuskan silaturahmi, dan berbuat
kerusakan. Kemudian dengan
sebab perbuatan inilah,
mereka menjadi orang-orang yang merugi.
2.
Munasabah Mudhmar (tersembunyi). Munasabah Mudhmar adalah keterkaitan atau keserasian
yang tidak jelas; pada lahiriahnya seolah-olah, suatu ayat terasing dari ayat
yang lain atau alur pembicaraannya tidak ada tetersambungan. Tetapi, apabila
dianalisis secara mendalam maka akan terlihat keterkaitannya. Munasabah ayat-ayat
seperti ini dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
a.
Ayat tersebut dihubungkan dengan huruf ‘athaf, seperti terlihat
dalam Surah Saba’ (34) ayat 2:
يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا
يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ الرَّحِيمُ الْغَفُورُ ﴿۲﴾
Artinya:
“Allah mengetahui apa-apa yang masuk kedalam bumi dan
apa-apa yang keluar daripadanya. Allah mengetaui apa-apa yang turun dari langit
dan apa-apa yang naik keatasnya. Dandia-lah Maha Penyayang lagi Maha
Pengampun.”
Ungkapan مَا يَلِجُ فِى الۡاَرۡضِ وَمَا يَخۡرُجُ مِنۡهَا
seolah-olah tidak berhubungan dengan ungkapan وَمَا يَنۡزِلُ
مِنَ السَّمَآءِ وَمَا يَعۡرُجُ فِيۡهَا sebab yang pertama berbicara tentang yang
sesuatu yang masuk dan keluar dari bumi sedangkan yang terakhir berbicara
tentang sesuatu yang turun dan naik ke langit. Akan tetapi, kedua ungkapan itu
masih berhubungan dan saling terkait antara satu dengan yang lain. Sebab fokus
pembicaraannya adalah masalah ilmu Tuhan. Dia mengetahui apa saja yang terjadi
dilangit dan bumi.
Jadi kedua ungkapan ini membicarakan topik yang sama, yaitu ilmu Allah. oleh
sebab itu, keduanya dihubungkan dengan waw ‘athaf.
b.
Al-Mudhaddah (berlawanan). Hal ini berarti dua ayat berurutan yanng memperbincangkan dua
hal yang berlawanan seperti surga dan neraka, serta kafir dan iman. Contohnya
dapat terlihat pada Surah An-Nisa’ (4) ayat 150, 151, dan 152, yang artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan
bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya,
dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap
sebagian (yang lain) ”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan
(tengah) diantara yang demikian (iman atau kafir). ۞
Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. ۞Orang-orang yang beriamn kepada Allah dan para
rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, kelak Allah
akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.۞”
Ayat 150-151 bercerita tentang
karakteristik orang-orang kafir dan balasan atas mereka sedangkan ayat 152
bercerita tentang orang-orang mukmin dan balasan atas mereka, dimana mereka
mempercayai semua rasulyang diutus oleh Allah. Maka Allah memberikan balasan
dan mengampuni mereka.
Secara zhahir, kedua
kelompok ayat (150-151 dan 152) ini tidak mempunyai hubungan sebab ayat pertama
berbicara tentang orang kafir sedangkan yang terakhir berbicara tentang orang
mukmin, dan keduanya tidak pula di hubungkan dengan waw’ athaf akan
tetapi, jika dilihat lebih dalam hubungan itu akan melihat; di mana lazimnya
Al-Qur’an berceritatentang iman dan mukmin kemudian diiringi dengan
perbincangan mengenai orang kafir.
Jadi dapat dipahami bahwa hal
ini bermaksud memotivasi manusia agar menghindari kekafiran dan berpegang
kepada iman. Inilah salah satu metode Al-Qur’an dalam memberi pengajaran kepada
umat manusia. Maka, kedua ayat tersebut dalam satu kerangka.
c.
Istithrad (sampai), yaitu perincangan suatu ayat mengenai suatu masalah sampai kepada
hal lain yang tidak berkaitan langsung dengan masalah yang sedang
diperbincangkan itu. Hal ini seperti yang terdapat dalam Surah Al-A’raf (7)
ayat 26:
يَا بَنِي
آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا
وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُم
يَذَّكَّرُونَ
Artinya:
“Hai anak adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian
untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa
itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Kata وَلِبَاسُ التَّقْوَى dalam
ayat ini tidak terlihat ada kaitannya dengan ungkapan sebelumnya, sebab
ungkapan sebelumnya berbicara tentanng pakaian penutup aurat sedangkan وَلِبَاسُ التَّقْوَى
(pakaian takwa) bukan pakaian fisik sebagai penutup aurat. Jadi, secara zhahir
kata وَلِبَاسُ التَّقْوَىtidak ada hubungannya dengan
aurat. Akan tetapi, hubungannya terlihat pada pakaian sebagai penutup aurat
yang merupakan bagian dari takwa.
Dengan
demikian, penjelasan Al-Qur’an (istidhrad) hal-hal yang dibicarakan
sehingga sampai pada hal-hal yang lain. Di mana hal lain tersebut juga
merupakanbagian dari karakteristik yang sedang dibicarakan. Atau hal lain itu
mempunyai hukum yang sama dengan apa yang sedang yang dibicarakan.
C.
Macam-Macam Ilmu Munasabah
Menurut Chaerudji
A. Chalik, munasabah dapat dilihat dari dua segi, yaitu sifat dan
materi.[11]
1.
Dilihat dari segi sifatnya, munasabah dapat terbagi menjadi dua:
a.
Zhahir Al-iribath, yaitu persesuaian atau kaitan yang tampak jelas, karena kaitan kalimat
yang satu dengan yang lain erat sekali sehingga yang satu tidak bisa menjadi
kalimat yang sempurna apabila dipisah dengan kalimat yang lainnya, seolah ayat
tersebut merupakan satu kesatuan yang sama. Misalnya dalam surah Al-Isra’ ayat 1-2:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا
مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا
حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-isra:17:1)
وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى
لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلَّا تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلًا
“Dan kami berikan kepada Musa kitab (taurat) dan Kami jadikan kitab taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman) janganlah kamu mengambil
penolong selain Aku.”(Al-Isra :17:2)
Munasabah dari kedua ayat tersebut tampak
jelas, yaitu bahwa kedua Nabi (Muhammad Saw dan Musa as diangkat oleh Allah Swt
sebagai Nabi dan Rasul, dan keduanya diisrakan. Nabi Muhammad dari Masjidil Haram
ke Masjidil Aqsa, sedangkan Nabi Musa dari Mesir, ketika ia keluar dari negeri
tersebut dalam keadaan ketakutan menuju madyan.
b.
Khafiy Al-iribath, yaitu persesuaian atau kaitan
yang sama antara ayat yang satu dengan ayat yang lain sehingga tidak tampak
adanya hubungan antar keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surah itu
berdiri sendiri-, baik karena ayat yang satu itu di athafkan kepada yang
lain, maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Misalnya dapat kita lihat surah Al-Baqarah ayat 189 dan 190:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ
مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ
مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ
أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ{189}
“Mereka bertanya kepadamu
tentang bulan sabit, katakanlah:”Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadah) haji, dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah
dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu adalah kebajikan orang bertakwa. Dan masuklah ke rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Al-Baqarah:2:189)
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ
يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ {190}
“Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas.” (Al-baqarah:2:190)
Munasabah antara kedua ayat tersebut
adalah ketika waktu haji umat Islam dilarang perang, tetapi jika umat islam
diserang lebih dahulu, maka serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada
musim haji.
2.
Dilihat dari materinya, munasabah dapat terbagi menjadi dua, yaitu munasabah
antar ayat dan munasabah antar surat:
a.
Munasabah antarayat
Munasabah antarayat, yaitu munasabah antar ayat yang satu dengan yang
lain, berbentuk persambugan-persambungan ayat. Meliputi, pertama di athaf kannya ayat yang satu
dengan ayat yang lain. Kedua tidak di athaf kannnya. Ketiga digabungkannya dua hal yang sama. Keempat dikumpulkan dua hal yang
kontradiksi. Kelima dipindahkannya satu pembicaraan ke pembicaraan yang lain. Contohnya dapat dilihat dalam surah Al-Baqarah ayat 2-3:
ذَلِكَ
الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ{2}
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguaan
padanya,petunjuk bagi mereka uang bertakwa.” (Al-Baqarah:2:2)
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3}
“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang
gaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka.”
(Al-Baqarah:2:3)
(Al-Baqarah:2:3)
Munasabah antarayat
mencakup beberapa bentuk, yaitu:[12]
1.
Munasabah antar nama surah dan tujuan
turunkannya
Setiap surah mempunyai tema
pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing,
seperti surah Al-Baqarah(2), dan surah Yusuf (18), surah An-naml (27), dan
surah Al jinn (72).
2.
Munasabah antarbagian surah
Munasabah antar surah (ayat
atau beberapa ayat) sering berbentuk korelasi Al-tadhadadh (perlawanaan)
seperti terlihat pada firman Allah berikut :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam
di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar
daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia
bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan (Al-Hadid[57]:4)
Pada ayat tersebut terdapat kata “yaliju” (masuk) dan kata “yakhruju”(keluar),
serta kata “yanzilu” (turun) dan kata ya’ruju (naik) yang memiliki korelasi
perlawanan.
3.
Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering
terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas.
4.
Munasabah antar suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat sampingnya
Dalam surat Al-Baqarah ayat 1-20, misalnya, Allah memulai penjelasan-Nya.
Tentang kebenaran dan fungsi Al-Qur’an bagi orang-orang bertakwa. Dalam
kelompok ayat berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat
mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
5.
Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat
Munasabah ini mengandung tujuan tertentu. Diantaranya
memantapkan (tamkin) makna yang terkandung dalam ayat. Misalnya:
انك لاتسمع الموتىزلاتسمع الصم الد عاء إذا ولوا مدبرين{80}
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan
(tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila
mereka telah berpaling membelakang (An-Naml[27]:80)”
Kalimat idza wallau mudbirin
merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.
6.
Munasabah antar awal dengan akhir surah yang sama
Munasabah ini arti bahwa awal suatu surah menjelaskan
pokok pikiran tertentu, lalu pokok pikiran ini dikuatkan kembali di akhir
surah. Misalnya terdapat pada surah Al-Hasyr, munasabah ini dari sisi kesamaan
kondisi, yaitu segala yang ada baik di langit maupun di bumi yang menyucikan Allah
Sang pencipta keduanya.
سبح لله ما في السموات و ما في الارض وهو العزيز الحكي{1}
“Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di
langit dan bumi dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr:59:1)
b.
Munasabah antarsurah
Munasabah antarsurah tidak lepas dari
pandangan holistik Al-Qur’an yang menyatakan Al-Qur’an sebagai “ilmu
kesatuan”yang “bagian-bagian strukturnya terkait secara integral”. Pemabahasan
tentang munasabah antarsurah dimulai dengan memposisikan surah
Al-Fatihah sebagai ummu Al-Kitab (induk Al-Qur’an), sehingga penempatan
surah tersebut sebagai surah pembuka adalah sesuai dengan posisinya yang
merangkum keseluruhan isi Al-Qur’an.
Contoh lain dari munasabah antarsurah adalah
tampak dari munasabah antarsurah Al-Baqarah dengan Ali ‘Imran. Keduanya
menggambarkan hubungan antara”dalil” dengan “keragu-raguan akan dalil”.
Maksudnya, surah Al-Baqarah “merupakan surah yang mengajukan dalil mengenai
hukum”, karena surah ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara surah Ali ‘Imran
“sebagai jawaban atas keragu-raguan pada musuh Islam”.
D.
Cara Mencari dan Menentukan Munasabah
Dalam
mengetahui munasabah suatu ayat dengan ayat lain atau ayat sebelum dan
sesudahnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Adapun beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam mengetahui, mencari, maupun menentukan munasabah adalah:[13]
1.
Topik inti yang diperbincangkan dalam ayat.
Maksud dari hal ini yaitu mufassir perlu mengetahui terlebih dahulu
mengenai permasalahan utama yang diperbincangkan oleh suatu ayat. Adapun cara
yang digunakan dalam menentukan masalah utama yakni melalui istilah-istilah
yang digunakan dan alur pembicaraannya. Permasalahan utama itu mungkin terdapat
dalam ayat yang akan ditafsirkan atau mungkinjuga terdapat dalam ayat
sebelumnya, di mana ayat yang akan ditafsirkan itu subtopiknya atau penjelasan
lebih lanjut tentang permasalahan utama.
2.
Topik inti itu biasanya mempunyai
sub-subtopik. Jika topik inti telah diketahui, maka perlu pula dilihat dan
dipahami hal-hal yang dicakupi oleh topik inti tersebut.
3.
Sub-subtopik itu mempunyai unsur-unsur tersendiri pula.
Hal ini berarti masing-masing ayat, ada yang memperbincangkan mengenai
topik inti, subtopik, dan ada pula yang memperbincangkan unsur-unsur yang
terdapat pada subtopik tersebut. Munasabah Al-Qur’an dapat pula dilihat
dari sisi ini.
Sebagai contoh dapat terlihat pada Surat Al-Baqarah (2) ayat 177 sampai 178.
Secara lahir dapat dilihat bahwa ayat ini mungkin tidak terlihat berhbungan
antara satu ayat dengnan ayat lainnya. Di mana ayat 177 memperbincanngkan
tentanng kriteria orang-orang baik (al-birr), yaitu orang-orang yang
benar bertaqwa. Hal ini dapat ditandai dengan beriman, beribadah dan menjaga
hubungan sosial. Sedangkan pada ayat 178 dan seterusnya memperbincangkan mengsenai hukum
qisas, wasiat, wasiat, puasa, dan larangan mengambil harta orang lain dengan
jalan yang batil.[14]
Akan tetapi, jika dikaji lebih mendalam ternyata ayat-ayat tersebut saling
berkaitan atau berhubungan satu sama lainnya. Ayat 177 mengandung topik utama
perbincangan, yakni konsep takwa, keimanan, dan kebaikan. Di mana orang yang
benar-benar baik, bertakwa, dan beriman adalah mereka yang memiliki keyakinan
kepada Allah dan rukun iman lainnya yang diaktualisaikan dalam berbagai bentuk
ibadah. Selain itu, mereka adalah orang-orang yang menjaga hubungan sosial,
meliputi perhatian kepada mereka yang tidak mampu, dan pergaulan baik antar
sesama seperti saling menolong, menepati janji, bersabar, toleransi, dll.
Inilah topik utama perbincangan ayat 177.
Sedangkan ayat 178 sampai 178 adalah aktualisasi lebih luas dan mengandung
rincian ketakwaan, keimanan, dan kebaikan itu. Di mana orang yang benar-benar
baik, beriman, dan bertakwa itu adalah mereka yang berusaha pula menegakkan
hukum Allah. Seperti yang kemudian diperbincangkan ayat 178, di mana hukum
Allah yaitu qisas, berwasiat, berpuasa, dan tidak mengambil harta orang lain
dengan jalan yang batil.
E.
Urgensi Ilmu Munasabah
Jumhur ulama
telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surah merupakan urutan-urutan taukifiy.[15] Keseluruhan
teks dalam Al-Qur’an merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling
berkaitan. Tentu untuk melakukan pembacaan holistik pembaca Al-Qur’an tersebut
membutuhkan metodelogi dan pendekatan yang memadai. Untuk itu perlu dipikirkan
metode dan pendekatan dalam ilmu munasabah. [16]
Ilmu munasabah
Al-Qur’an sangat penting dikuasai dalam menafsirkannya. Di mana ia sangat
membantu mufassir dalam memahami dan mengeluarkan isi kandungan Al-Qur’an.
Memahami Al-Qur’an dengan bantuan ilmu munasabah dapat berarti
menginstinbatkan makna ayat sesuai dengan konteksnya.[17]
Tanpa memperhatikan aspek munasabah,
mungkin akan terjadi pemahaman di luar konteks ayat atau bahkan kekeliruan
dalam memahaminya, karena pada dasarnya Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Baik antar ayat maupun antar surat.
Ayat
Al-Qur’an sendiri banyak bercerita mengenai umat-umat terdahulu, baik
perristiwa-peristiwa yang dialaminya maupun kewajiiban-kewajiban yang pernah
dibebankan pula pada mereka. Jadi, jika suatu ayat dipelajari tanpa melihat
hubungan dengan ayat lainnya, maka dimungkinkan akan terjadinya penetapan hukum
yang pada dasarnya hanya dibebankan pada umat-umat sebelum Nabi Muhammag SAW. Hukum tersebut tentunnya tidak diwajibkan pada umat
Nabi Muhammad SAW.
F.
Manfaat Ilmu Munasabah
Terdapat berbagi
manfaat dalam mempelajari ilmu munasabah, di antaranya adalah:
1.
Dapat mengembangkan
bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al- Qur’an kehilangan relevensi
antara satu bagian dan bagian lainnya. Pada dasarnya Al-Qur’an
meerupakan satu kesatuan yang utuh, jadi antar tema maupun bagian dalam
Al-Qur’an saling terkait satu sama
lainnya.
2.
Mengetahui persambungan atau hubungan antara
bagian-bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar
surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadapkitab
Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.
Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balagha-an
bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya,
serta penyesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4.
Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat
yang lain. [18]
Dari sinilah akan memudahkan dalam menafsirkan
hungan antar satu ayat maupun surat. Sehingga akan mencegah kesalahan dalam
penafsiran ayat-ayat atau surah-surah dalam Al-Qur’an.
5.
Menjadikan bagian-bagian kalam saling terkait
sehingga penyusunnya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya
tersusun harmonis. Karena pada dasarnya, seperti yang ditegaskan
Al-Qurthubi bahwa Al-Qur’an laksana satu surat yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Di mana kesatuan Al-Qur’an yang saling terkait dengan susunan
yang harmonis dan sistematis.
6.
Mengetahui prinsip-prinsip kalam yang dipakainya maupun
menafsirkan Al-Qur’an. Dengan demikian maka munasabah akan mempermudah memperjelas hokum dalam Al-Qur’an itu
sendiri.[19]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a.
Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari
asal kata nasaba-yunasibu-munasabahan yang berarti musyakalah (keserupaan)[20], dan
muqarabah.
Secara
terminologi, munasabah berarti hubungan atau
keterkaitan dan keserasian
antara ayat-ayat Al-Qur’an.
Terdapat beberapa definisi munasabah menurut para
ahli, di antaranya yang dikemukakan oleh Az-Zakarsyi, Manna’ Qathan, Ibnu
Al-Arabi, Al-Biqa’I, di mana masing-masing mempunyai pendapat dengan
konteks penulisan yang berbeda, teapi maknanya sama.
b.
Bentuk munasabah
Al-Qur’an secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: zhahir
(jelas) yang terdiri atas beberapa bentuk; Suatu ayat yang menyempurnakan
penjelasan dari ayat sebelumnya, tawkid
(menguatkan), dan tafsir (menjelaskan). Serta mudhmar (tersembunyi), yang dapat dilihat dari beberapa aspek: Ayat
tersebut dihubungkan dengan huruf ‘athaf, Al-Mudhaddah (berlawanan), Istithrad (sampai).
c. Macam-macam ilmu munasabah. menurut
Chaerudji A. Chalik, (munasabah) dapat dilihat dari dua segi, yaitu
sifat dan materi.
1.
Dilihat dari segi sifatnya, munasabah dapat terbagi menjadi dua
yakni Zhahir Al-iribath dan Khafiy al-iribath.
2.
Dilihat dari segi materinya, dapat terbagi menjadi dua, yaitu munasabah antar
ayat (terdiri dari: munasabah antar nama surah dan tujuan
turunkannya, munasabah antarbagian surah, munasabah antarayat yang letaknya berdampingan, munasabah
antar suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat sampingnya, munasabah
antar fashilah (pemisah) dan isi ayat, dan munasabah antar awal dengan
akhir surah yang sama), serta munasabah
antarsurat.
d. Cara mencari dan menentukan munasabah, yakni
dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: topik inti yang
diperbincangkan dalam ayat, topik inti itu biasanya mempunyai sub-subtopik, dan
sub-subtopik itu mempunyai unsur-unsur tersendiri pula. Dengan mengerti dan
memahami hal-hal tersebut, maka akan mempermudah dalam mencari dan menentukan munasabah.
e. Urgensi ilmu munasabah adalah sebagai
metode dan pendekatan untuk melakukan pembacaan holistik dari Al-Qur’an, sangat
membantu mufassir dalam memahami dan mengeluarkan isi kandungan Al-Qur’an,
ataupun dapat digunakan dalam mengetahui penetapan hukum yang terjadi pada
umat-umat sebelum Raasulullah.SAW.
f. Manfaat ilmu Munasabah antara lain:
1. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-
Qur’an kehilangan relevensi antara satu bagian dan bagian lainnya.
2. Mengetahui persambungan atau hubungan
antara bagian-bagian Al-Qur’an.
3. Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balagha-an
bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya.
4. Menjadikan bagian-bagian kalam saling
terkait.
5. Dapat membantu dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungannya.
6. Mengetahui prinsip-prinsip kalam yang
dipakainya maupun menafsirkan Al-Qur’an.
B.
Saran
Penulis
berharap dengan adanya makalah ini, dapat memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an dengan baik dan
benar. Di sisi lain, penulis juga berharap dengan adanya makalah ini akan bisa menjadi
bahan bacaan yang baik. Baik untuk mahasiswa maupun kalangan akademika pada
khususnya. Sebagai motivasi maupun inspirasi
dalam mengembangkan kreativitasnya.
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan,
karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Cet:IV; Jakarta: AMZAH.
2012.
Anwar, Rosihon. Ulum
Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. 2010.
Hermawan, Acep. Ulumul Quran. Cet:
I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011.
Ichwan, Muhammad Nor. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2008.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Cet:
I; Jakarta: Rajawali Pers. 2013.
Yusuf, Kadar M. Studi Al-Qur’an. Cet:
I; Jakarta: AMZAH. 2009.
Anonim. Makalah Ilmu Munasabah dalam Al-Qur’an. http://coretanbinderhijau.blogspot.com/2013/02/makalah-ilmu-munasabah-dalam-al-quran.html, diakses pada tanggal 6 April 2014 pukul 20:43 WIB.
Ramadlan, Jaib Najhan. Pengertian Al-Qur’an Kitab Suci Ummat, http://jaibnajhan.blogspot.com/2012/12/pengertian-alquran-kitab-suci-ummat, diakses pada tanggal 09 Mei 2014 pukul 20.00 WIB.
[1]Jaib Najhan Ramadlan, Pengertian Al-Qur’an Kitab Suci Ummat, http://jaibnajhan.blogspot.com/2012/12/pengertian-alquran-kitab-suci-ummat
, diakses pada tanggal 09 Mei 2014 pukul 20.00 WIB.
[2] Badr al-Din al-Zarkasyi, al Burhany fii ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa
al_Nasyir, 1972), hlm. 35-36.
[10] Anonim. Makalah Ilmu Munasabah dalam
Al-Qur’an. http://coretanbinderhijau.blogspot.com/2013/02/makalah-ilmu-munasabah-dalam-al-quran.html, diakses pada tanggal 6 April 2014 pukul 20:43 WIB.
[11]Acep Hermawan, Ulumul Quran, (Cet:
I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 124-126.
[16]Acep Hermawan, Ulumul Quran,(Cet:I;
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.123-124.
[19]
Muhammad Nor
ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an, (Semarang,: Pustaka Rizki Putra,2008), hlm. 140.
[20] Badr al-Din al-Zarkasyi, al Burhany fii ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa
al_Nasyir, 1972), hlm. 35-36.
0 komentar:
Post a Comment