October 23, 2014

Ilmu Munasabah

ILMU MUNASABAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Yuyun Affandi Lc. MA.
Disusun Oleh:
Nis Himayah              (131311114)
Mita Lia Sofiana        (131311115)
Umi Fatmah               (131311116)
Zahrotu Millah           (131311117)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
MANAJEMEN DAKWAH
Institut Agama Islam Negeri ( IAIN ) WALISONGO Semarang
Tahun 2014


PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang kekal, yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah, sebagai bukti besar atas kenabian. Di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang sedemikian luasnya, yang apabila ditelaah dan dipelajari, akan memberikan penerangan serta pembimbing manusia menuju jalan yang lurus.
Kaum muslimin sendiri membutuhkan banyak kitab tafsir dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an untuk memahaminya. Ilmu Munasabah merupakan bagian dari ilmu-ilmu Al-Qur’an yang posisinya sangat penting dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh. Hal ini karena satu ayat dengan yang lain memiliki keterkaitan, sehingga bisa saling menafsirkan.[1]
Dari sisi manapun Al-Qur’an selalu melahirkan cabang ilmu pengetahuan. Termasuk dari segi hubungan antara bagian dengan bagian Al-Qur’an, seperti hubungan antara ayat dengan ayat, antara surat dengan surat dan lainnya yang juga melahirkan salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam lapangan ilmu-ilmu Al-Qur’an, yaitu ilmu munasabah. Keberadaan ilmu munasabah sebagai salah satu cabang dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an memiliki andil yang cukup besar dalam menentukan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

B.                Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut:
a.    Apakah pengertian munasabah?
b.    Apakah bentuk-bentuk munasabah?
c.    Apakah macam-macam ilmu munasabah?
d.   Bagaimanakah cara mencari dan menentukan munasabah?
e.    Apakah urgensi ilmu munasabah?
f.     Apakah manfaat ilmu munasabah?
PEMBAHASAN
A.               Pengertian Munasabah
Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata nasaba-yunasibu-munasabahan yang berarti musyakalah (keserupaan)[2], dan muqarabah. Lebih jelas mengenai pengertian munasabah secara etimologis disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Qur”an bahwa munasabah merupakan ilmu yag mulia yang menjadi teka-teki akal fikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).
Manna Al-Qathan dalam mabahis fi ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dan satu ayat dengan ayat yang lain atau antara satu surat dengan surat yang lain. Menurut M Hasbi Ash Shiddieq membatasi pengertian munasabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja.
Dalam pengertian istilah, munasabah diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia illahi, sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu. [3]
Secara harfiah, kata munasabah (منا سبة) berarti perhubungan, pertautan, persesuaian, kecocokan, dan kepantasan. Secara etimologi kata munasabah dalam Kamus Ilmu Al-Qur’an, menurut Asy-Syuthi berarti Al-Musyakalah (keserupaan) dan Al-Muqarabah (kedekatan).[4]
 Secara terminologi, munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al-Qur’an. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh Imam Asy-Syuthi, mendefinisikan munasabah itu kepada keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapi dan sistematis.[5] Dari sini dapat dipahami bahwa munasabah  adalah suatu yang membahas tentang segi-segi hubungan, keterkaitan atau keserasian Al-Qur’an antara satu bagian dengan bagian lainnya dalam berbagai bentuk, seperti hubungan antara kata/kalimat dengan kata/kalimat, antar ayat dengan ayat, antara awal surat dengan akhir surat, antara surat yang satu dengan surat lainnya, dan seterusnya hingga dapat dipahami bahawa Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh.
Terdapat beberapa definisi munasabah menurut para ahli, di antaranya sebagai berikut:[6]
a.       Az-Zakarsyi mendefinisikan munasabah sebagai suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu menerimanya.
b.      Manna’ Qathan mendefinisikan bahwa munasabah adalah sisi keterkaitan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antar ayat pada pada beberapa ayat, atau antar surah di dalam Al-Qur’an.
c.       Ibnu Al-Arabi mendefinisikan munasabah sebagai keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
d.      Menurut Al-Biqa’I:” munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.[7]
Tertib urut-urutan surat terutama ayat-ayat Al-Qur’an yang oleh kebanyakan ulama diyakini bersifat kauqifi, atau sudah diberikan dari Allah apa adanya, sehingga mendorong kita untuk mengilustrasikan Al-Qur’an berbentuk bundar dari pada memahaminya dalam konteks persegi panjang.  Dengan cara pandang seperti inilah, maka akan terasa lebih mudah memahami munasabah Al-Qur’an. Bukan saja dari segi kata demi kata, bagian demi bagian, dan ayat demi ayat, melainkan juga antara surat demi surat, di mana antara surat demi surat tersebut terdapat hubungan yang sangat erat, termasuk antara hubungan surat An-Nas [144] sebagai surat yang terakhir dengan surat Al-Fatihah [1] yang ditetapkan sebagai surat pertama.[8]
Dari sinilah, dapat dipahami bahwa munasabah adalah ilmu yang membahas hikmah korelasi antar bagian Al-Qur’an, di mana munasabah merupakan usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia Illahi, sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu. 
Tokoh yang pertama kali melakukan kajian terhadap ilmu munasabah adalah Abu Bakr An-Naysaburi. Selain darinya, terdapat pula Abu Ja’far Zubair dengan karyanya “Al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar Al-qur’an”, Burhanuddin Al-Biqa’i dengan karyanya “Nuzhum Adh-Dhurar fi Tanasub” dan As-Sayuti dengan karyanya “Tanasuq Adh-Dhurar fi Tanasub As-Suwar”.








B.               Bentuk-Bentuk Munasabah
Secara garis besar bentuk munasabah Al-Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: zhahir (jelas) dan mudhmar (tersembunyi) :[9]
1.             Munasabah Zhahir. Munasabah Zhahir terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi, terkadang ayat yang berupa satu penguat, penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian, atau pembatas dengan ayat yang lain.[10] Munasabah Zhahir  terdiri dari beberapa bentuk, yaitu:
a.         Suatu ayat yang menyempurnakan penjelasan dari ayat sebelumnya. Hal ini dapat dipahami bahwa penjelasan suatu ayat mengenai suatu persoalan kadang-kadang belum sempurna atau lengkap, kemudian ayat berikutnya menyempurnakan penjelasan dari ayat tersebut. Misalnya, dapat dilihat dalam firman Allah surah Al-Baqarah (2) ayat 3-5, yaitu:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3} وَالَّذِينِ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِاْلآخِرَةِ هُمْ يُوِقنُونَ {4} أُولَـئِكَ عَلَى هُدًى مِن رَبِّهِمْ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dengan ghaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan rezeki yang Kami berikan kepadanya (dijalan Allah).۞ Dan orang-orang yang beriman dengan apa yang diturunkan sebelumnya, serta mereka meyakini akan adanya hari akhir. ۞Mereka itu mendapatkan petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itu mendapatkan kemenangan. ۞
       Dari ayat ketiga, menjelaskan tentang karakteristik orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang beriman dengan hal-hal yang ghaib, mendirikan sholat,dan membantu jalan Allah dengan harta yang dimilikinya. Karakteristik orang bertaqwa ini belum tuntas dijelaskan dalam ayat tersebut, maka ayat ke empat dan kelima yang menjelaskan lebih lanjut. Dimana, orang-orang bertaqwa selain beriman dengan yang ghaib, sholat, dan bersedekah, juga ditandai dengan keyakinannya terhadap Al-Qur’an dan kitab sebelumnya sebagai wahyu yang datang dari Allah serta meyakini adanya hari akhir. Ketaqwaan dengan karakteristik semacam ini berefek positif terhadap orang yang bertaqwa itu sendiri, yaitu memperoleh hidayah dan kemenangan dari Allah. Jadi, ayat 4-5 berfungsi untuk menyempurnakan penjelasan ayat 3.

b.        Tawkid (menguatkan). Dalam ilmu munasabah, tawkid berarti menguatkan isi kandungan dari satu ayat dengan ayat lainnya. Sebagai contoh terdapat dalam firman Allah surah Al-Baqarah (2) ayat 149-150:

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (٩٤١) وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (۰۵١) 
Artinya:
“Dan dari manapun kamu keluar, maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Sesungguhnya hal itu benar-benar yang hak, berasal dari Tuhanmu. Dan tiadalah Tuhanmu lalai dari apa yang kamu kerjakan. . ۞ Dan dari manapun kamu keluar, maka palingkanlah mukamu ke arah Majidil Haram. Dan di manapun kamu berada, palingkanlah mukamu kearahnya, agar tidak lagi menjadi hujjah bagi manusia atasmu kecuali orang-orang yang dzalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Dan Aku benar-benar telah menyempuranakan nikmat-Ku atasmu, semoga kamu mendapat petunjuk. ۞

       Ayat 149 memperbincangkan mengenai kemestian berkiblat ke Masjidil Haram. Dan diantara isi kandungan ayat 150 juga menjelaskan perintah berkiblat ke Masjidil Haram. Maka munasabah ayat 149 dan ayat 150 adalah tawkid, yaitu ayat 150 menguatkan isi kandungan ayat sebelumnya, tetapi ayat 150 itu tidak hanya semata-mata menguatkan saja, karena didalamnya termuat pula pesan-pesan yang lain yakni hikmah kenapa kiblat itu dipalingkan ke Masjidil Haram, dan menanamkan sikap kehati-hatian bagi orang mukmin terhadap orang kafir, serta optimis  berpegang pada ajaran Al-Qur’an dan tidak perlu  takut juga kepada orang-orang kafir tersebut.

c.         Tafsir (menjelaskan). Makna tafsir dalam munasabah Al-Qur’an dapat dipahami sebagai ayat yang menjelaskan ayat sebelumnya. Kadang-kadang ada ayat yang membicarakan suatu permasalahan dan istilah, tetapi ayat itu tidak menjelaskan maksud permasalahan dan masalah itu. Kemudian ayat berikutnya menjelaskan makna, konsep atau karakteristik. Maka munasabah antara kedua ayat tersebut terdapat pada hubungan penjelas (mufasir) dengan yang dijelaskan, yang berarti bahwa ayat kedua yang menjelaskan maksud atau makna ayat pertama. Contoh mengenai munasabah ini dapat disimak dalam firman Allah surah Al-Baqarah (2) 26-27.  Di mana ayat pertama menggunakan istilah fasiqin, tetapi tidak menjelaskan maksud atau karaktaeristik fasiqin itu sendiri. Oleh sebab itu, ayat 27 yang menjelaskan maksud dan kriteria fasiqin pada ayat 26. Allah berfirman:
انَّ اللهَ لا يِسْتَحْيِ آنْ يِضْرِبَ مَثَلا مَابَعُوْضَةً فَمَا فَوْقَهَاۗ فِأمَّا الّذِيْنَ آمَنُوْا فِيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبّهِمْ ۚ وَاَمَّا الّذِيْنَ كَفَرُوْا فَيَقُوْلُوْنَ مَاذَآ اَرَادَ اللهُ بِهذَا مَثَلاۢ يُضِلُّ بِه كَثِيْرًا وَيَهْدِيْ بِه كَثِيْرًا ۗ وَمَا يُضِلُّ بِه إلاالْفسِقِيْنَ ۝ۙ الّذِيْنَ يَنْقُضُوْنَ عَهْدًاللهِ مِنْ بَعْدِ مِيْثقِه وَيَقْطَعُوْنَ مَآ اَمَرَاللهُ بِه اَنْ يُّوْصَلَ وَيُفْسِدُوْنَ فِى الارْضِ ۗ  أولٰئِكَ هُمُ الخٰسِرُوْنَ ۝
Artinya:
 “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir menyatakan:”apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?” dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberinya petunjuk. . Dan tidak ada  yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, ۞ (yaitu) orang-orangg yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. . ۞

       Seperti yang kita tahu bahwa Al-Qur’an dalam membimbing manusia selalu menggunakan fenomena alam dan isinya sebagi media, termasuk binatang-binatang kecil seperti laba-laba, semut, dan lebah. Orang-orang kafir menanggapi secara negatif, mereka semakin sesat dengan tanggapan negatifnya itu. Ayat 26 ini menggambarkan tanggapan mereka, yaitu ماَ ذَا أَرَدَالله بِهَذَا مَثَلاً (apa yang Allah inginkan dengan perumpamaan ini?). Justru itu, mereka menjadi sesat dan fasiq. Akan tetapi, ayat 26 tidak menjelaskan maksud fasiq dan karakteristiknya. Maka ayat 27 menjelaskan maksud dan karakteristik fasiq tersebut, yaitu memungkiri janji, memutuskan silaturahmi, dan berbuat kerusakan. Kemudian dengan sebab perbuatan inilah, mereka menjadi orang-orang yang merugi.

2.             Munasabah Mudhmar (tersembunyi). Munasabah Mudhmar adalah keterkaitan atau keserasian yang tidak jelas; pada lahiriahnya seolah-olah, suatu ayat terasing dari ayat yang lain atau alur pembicaraannya tidak ada tetersambungan. Tetapi, apabila dianalisis secara mendalam maka akan terlihat keterkaitannya. Munasabah ayat-ayat seperti ini dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
a.         Ayat tersebut dihubungkan dengan huruf ‘athaf, seperti terlihat dalam Surah Saba’ (34) ayat 2:
يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ الرَّحِيمُ الْغَفُورُ‏ ﴿۲﴾  
  
Artinya:
Allah mengetahui apa-apa yang masuk kedalam bumi dan apa-apa yang keluar daripadanya. Allah mengetaui apa-apa yang turun dari langit dan apa-apa yang naik keatasnya. Dandia-lah Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.”
       Ungkapan  مَا يَلِجُ فِى الۡاَرۡضِ وَمَا يَخۡرُجُ مِنۡهَا seolah-olah tidak berhubungan dengan ungkapan وَمَا يَنۡزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَا يَعۡرُجُ فِيۡهَا  sebab yang pertama berbicara tentang yang sesuatu yang masuk dan keluar dari bumi sedangkan yang terakhir berbicara tentang sesuatu yang turun dan naik ke langit. Akan tetapi, kedua ungkapan itu masih berhubungan dan saling terkait antara satu dengan yang lain. Sebab fokus pembicaraannya adalah masalah ilmu Tuhan. Dia mengetahui apa saja yang terjadi dilangit dan bumi.
       Jadi kedua ungkapan ini membicarakan topik yang sama, yaitu ilmu Allah. oleh sebab itu, keduanya dihubungkan dengan waw ‘athaf.

b.        Al-Mudhaddah (berlawanan). Hal ini berarti dua ayat berurutan yanng memperbincangkan dua hal yang berlawanan seperti surga dan neraka, serta kafir dan iman. Contohnya dapat terlihat pada Surah An-Nisa’ (4) ayat 150, 151, dan 152, yang artinya :

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain) ”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) diantara yang demikian (iman atau kafir). ۞ Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. ۞Orang-orang yang beriamn kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.۞

       Ayat 150-151 bercerita tentang karakteristik orang-orang kafir dan balasan atas mereka sedangkan ayat 152 bercerita tentang orang-orang mukmin dan balasan atas mereka, dimana mereka mempercayai semua rasulyang diutus oleh Allah. Maka Allah memberikan balasan dan mengampuni mereka.
       Secara zhahir, kedua kelompok ayat (150-151 dan 152) ini tidak mempunyai hubungan sebab ayat pertama berbicara tentang orang kafir sedangkan yang terakhir berbicara tentang orang mukmin, dan keduanya tidak pula di hubungkan dengan waw’ athaf akan tetapi, jika dilihat lebih dalam hubungan itu akan melihat; di mana lazimnya Al-Qur’an berceritatentang iman dan mukmin kemudian diiringi dengan perbincangan mengenai orang kafir.
       Jadi dapat dipahami bahwa hal ini bermaksud memotivasi manusia agar menghindari kekafiran dan berpegang kepada iman. Inilah salah satu metode Al-Qur’an dalam memberi pengajaran kepada umat manusia. Maka, kedua ayat tersebut dalam satu kerangka.
  
c.         Istithrad (sampai), yaitu perincangan suatu ayat mengenai suatu masalah sampai kepada hal lain yang tidak berkaitan langsung dengan masalah yang sedang diperbincangkan itu. Hal ini seperti yang terdapat dalam Surah Al-A’raf (7) ayat 26:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُم يَذَّكَّرُونَ   
Artinya:
Hai anak adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
  
        Kata  وَلِبَاسُ التَّقْوَى dalam ayat ini tidak terlihat ada kaitannya dengan ungkapan sebelumnya, sebab ungkapan sebelumnya berbicara tentanng pakaian penutup aurat sedangkan وَلِبَاسُ التَّقْوَى (pakaian takwa) bukan pakaian fisik sebagai penutup aurat. Jadi, secara zhahir kata وَلِبَاسُ التَّقْوَىtidak ada hubungannya dengan aurat. Akan tetapi, hubungannya terlihat pada pakaian sebagai penutup aurat yang merupakan bagian dari takwa.
       Dengan demikian, penjelasan Al-Qur’an (istidhrad) hal-hal yang dibicarakan sehingga sampai pada hal-hal yang lain. Di mana hal lain tersebut juga merupakanbagian dari karakteristik yang sedang dibicarakan. Atau hal lain itu mempunyai hukum yang sama dengan apa yang sedang yang dibicarakan.

C.               Macam-Macam Ilmu Munasabah
Menurut Chaerudji A. Chalik, munasabah dapat dilihat dari dua segi, yaitu sifat dan materi.[11]
1.             Dilihat dari segi sifatnya, munasabah dapat terbagi menjadi dua:
a.       Zhahir Al-iribath, yaitu persesuaian atau kaitan yang tampak jelas, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna apabila dipisah dengan kalimat yang lainnya, seolah ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang sama. Misalnya dalam surah Al-Isra’ ayat 1-2:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
 “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al-isra:17:1)
وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلَّا تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلًا 
 Dan kami berikan kepada Musa kitab (taurat) dan Kami jadikan kitab taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman) janganlah kamu mengambil penolong selain Aku.(Al-Isra :17:2)

          Munasabah dari kedua ayat tersebut tampak jelas, yaitu bahwa kedua Nabi (Muhammad Saw dan Musa as diangkat oleh Allah Swt sebagai Nabi dan Rasul, dan keduanya diisrakan. Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, sedangkan Nabi Musa dari Mesir, ketika ia keluar dari negeri tersebut dalam keadaan ketakutan menuju madyan.

b.        Khafiy Al-iribath, yaitu persesuaian atau kaitan yang sama antara ayat yang satu dengan ayat yang lain sehingga tidak tampak adanya hubungan antar keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri-, baik karena ayat yang satu itu di athafkan kepada yang lain, maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Misalnya dapat kita lihat surah Al-Baqarah ayat 189 dan 190:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ{189}

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah:”Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji, dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu adalah kebajikan orang bertakwa. Dan masuklah ke rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Al-Baqarah:2:189)
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ {190}

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas.” (Al-baqarah:2:190)

       Munasabah antara kedua ayat tersebut adalah ketika waktu haji umat Islam dilarang perang, tetapi jika umat islam diserang lebih dahulu, maka serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.

2.             Dilihat dari materinya, munasabah dapat terbagi menjadi dua, yaitu munasabah antar ayat dan munasabah antar surat:
a.       Munasabah antarayat
Munasabah antarayat, yaitu munasabah antar ayat yang satu dengan yang lain, berbentuk persambugan-persambungan ayat. Meliputi, pertama di athaf kannya ayat yang satu dengan ayat yang lain. Kedua tidak di athaf kannnya. Ketiga digabungkannya dua  hal yang sama. Keempat dikumpulkan dua hal yang kontradiksi. Kelima dipindahkannya satu pembicaraan ke pembicaraan yang lain. Contohnya dapat dilihat dalam surah Al-Baqarah ayat 2-3:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ{2}
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguaan padanya,petunjuk bagi mereka uang bertakwa.” (Al-Baqarah:2:2)
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3}
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka.”
 (Al-Baqarah:2:3)

Munasabah antarayat mencakup  beberapa bentuk, yaitu:[12]
1.             Munasabah antar nama surah dan tujuan turunkannya
          Setiap surah mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing, seperti surah Al-Baqarah(2), dan surah Yusuf (18), surah An-naml (27), dan surah Al jinn (72).


2.             Munasabah antarbagian surah
                       Munasabah antar surah (ayat atau beberapa ayat) sering berbentuk korelasi Al-tadhadadh (perlawanaan) seperti terlihat pada firman Allah berikut :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (Al-Hadid[57]:4)
                 Pada ayat tersebut terdapat kata “yaliju” (masuk) dan kata “yakhruju”(keluar), serta kata “yanzilu” (turun) dan kata ya’ruju (naik) yang memiliki korelasi perlawanan.
3.             Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
                 Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas.
4.             Munasabah antar suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat sampingnya
                 Dalam surat Al-Baqarah ayat 1-20, misalnya, Allah memulai penjelasan-Nya. Tentang kebenaran dan fungsi Al-Qur’an bagi orang-orang bertakwa. Dalam kelompok ayat berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
5.             Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat
          Munasabah ini mengandung tujuan tertentu. Diantaranya memantapkan (tamkin) makna yang terkandung dalam ayat. Misalnya:
انك لاتسمع الموتىزلاتسمع الصم الد عاء إذا ولوا مدبرين{80}
Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang (An-Naml[27]:80)
                Kalimat idza wallau mudbirin merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.
6.             Munasabah antar awal dengan akhir surah yang sama
          Munasabah ini arti bahwa awal suatu surah menjelaskan pokok pikiran tertentu, lalu pokok pikiran ini dikuatkan kembali di akhir surah. Misalnya terdapat pada surah Al-Hasyr, munasabah ini dari sisi kesamaan kondisi, yaitu segala yang ada baik di langit maupun di bumi yang menyucikan Allah Sang pencipta keduanya.
سبح لله ما في السموات و ما في الارض وهو العزيز الحكي{1}
“Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr:59:1)

b.      Munasabah antarsurah
Munasabah antarsurah tidak lepas dari pandangan holistik Al-Qur’an yang menyatakan Al-Qur’an sebagai “ilmu kesatuan”yang “bagian-bagian strukturnya terkait secara integral”. Pemabahasan tentang munasabah antarsurah dimulai dengan memposisikan surah Al-Fatihah sebagai ummu Al-Kitab (induk Al-Qur’an), sehingga penempatan surah tersebut sebagai surah pembuka adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum  keseluruhan isi Al-Qur’an.
Contoh lain dari munasabah antarsurah adalah tampak dari munasabah antarsurah Al-Baqarah dengan Ali ‘Imran. Keduanya menggambarkan hubungan antara”dalil” dengan “keragu-raguan akan dalil”. Maksudnya, surah Al-Baqarah “merupakan surah yang mengajukan dalil mengenai hukum”, karena surah ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara surah Ali ‘Imran “sebagai jawaban atas keragu-raguan pada musuh Islam”.  


D.               Cara Mencari dan Menentukan Munasabah
Dalam mengetahui munasabah suatu ayat dengan ayat lain atau ayat sebelum dan sesudahnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengetahui, mencari, maupun menentukan munasabah adalah:[13]
1.         Topik inti yang diperbincangkan dalam ayat.
Maksud dari hal ini yaitu mufassir perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai permasalahan utama yang diperbincangkan oleh suatu ayat. Adapun cara yang digunakan dalam menentukan masalah utama yakni melalui istilah-istilah yang digunakan dan alur pembicaraannya. Permasalahan utama itu mungkin terdapat dalam ayat yang akan ditafsirkan atau mungkinjuga terdapat dalam ayat sebelumnya, di mana ayat yang akan ditafsirkan itu subtopiknya atau penjelasan lebih lanjut tentang permasalahan utama.
2.          Topik inti itu biasanya mempunyai sub-subtopik. Jika topik inti telah diketahui, maka perlu pula dilihat dan dipahami hal-hal yang dicakupi oleh topik inti tersebut.
3.         Sub-subtopik itu mempunyai unsur-unsur tersendiri pula.
Hal ini berarti masing-masing ayat, ada yang memperbincangkan mengenai topik inti, subtopik, dan ada pula yang memperbincangkan unsur-unsur yang terdapat pada subtopik tersebut. Munasabah Al-Qur’an dapat pula dilihat dari sisi ini.
Sebagai contoh dapat terlihat pada Surat Al-Baqarah (2) ayat 177 sampai 178. Secara lahir dapat dilihat bahwa ayat ini mungkin tidak terlihat berhbungan antara satu ayat dengnan ayat lainnya. Di mana ayat 177 memperbincanngkan tentanng kriteria orang-orang baik (al-birr), yaitu orang-orang yang benar bertaqwa. Hal ini dapat ditandai dengan beriman, beribadah dan menjaga hubungan sosial. Sedangkan pada ayat 178 dan seterusnya memperbincangkan mengsenai hukum qisas, wasiat, wasiat, puasa, dan larangan mengambil harta orang lain dengan jalan yang batil.[14]
Akan tetapi, jika dikaji lebih mendalam ternyata ayat-ayat tersebut saling berkaitan atau berhubungan satu sama lainnya. Ayat 177 mengandung topik utama perbincangan, yakni konsep takwa, keimanan, dan kebaikan. Di mana orang yang benar-benar baik, bertakwa, dan beriman adalah mereka yang memiliki keyakinan kepada Allah dan rukun iman lainnya yang diaktualisaikan dalam berbagai bentuk ibadah. Selain itu, mereka adalah orang-orang yang menjaga hubungan sosial, meliputi perhatian kepada mereka yang tidak mampu, dan pergaulan baik antar sesama seperti saling menolong, menepati janji, bersabar, toleransi, dll. Inilah topik utama perbincangan ayat 177.
Sedangkan ayat 178 sampai 178 adalah aktualisasi lebih luas dan mengandung rincian ketakwaan, keimanan, dan kebaikan itu. Di mana orang yang benar-benar baik, beriman, dan bertakwa itu adalah mereka yang berusaha pula menegakkan hukum Allah. Seperti yang kemudian diperbincangkan ayat 178, di mana hukum Allah yaitu qisas, berwasiat, berpuasa, dan tidak mengambil harta orang lain dengan jalan yang batil. 

E.                Urgensi Ilmu Munasabah
Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surah merupakan urutan-urutan taukifiy.[15] Keseluruhan teks dalam Al-Qur’an merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling berkaitan. Tentu untuk melakukan pembacaan holistik pembaca Al-Qur’an tersebut membutuhkan metodelogi dan pendekatan yang memadai. Untuk itu perlu dipikirkan metode dan pendekatan dalam ilmu munasabah. [16]
Ilmu munasabah Al-Qur’an sangat penting dikuasai dalam menafsirkannya. Di mana ia sangat membantu mufassir dalam memahami dan mengeluarkan isi kandungan Al-Qur’an. Memahami Al-Qur’an dengan bantuan ilmu munasabah dapat berarti menginstinbatkan makna ayat sesuai dengan konteksnya.[17]
Tanpa memperhatikan aspek munasabah, mungkin akan terjadi pemahaman di luar konteks ayat atau bahkan kekeliruan dalam memahaminya, karena pada dasarnya Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Baik antar ayat maupun antar surat.
            Ayat Al-Qur’an sendiri banyak bercerita mengenai umat-umat terdahulu, baik perristiwa-peristiwa yang dialaminya maupun kewajiiban-kewajiban yang pernah dibebankan pula pada mereka. Jadi, jika suatu ayat dipelajari tanpa melihat hubungan dengan ayat lainnya, maka dimungkinkan akan terjadinya penetapan hukum yang pada dasarnya hanya dibebankan pada umat-umat sebelum Nabi Muhammag SAW. Hukum  tersebut tentunnya tidak diwajibkan pada umat Nabi Muhammad SAW.

F.                Manfaat Ilmu Munasabah
Terdapat berbagi manfaat dalam mempelajari ilmu munasabah, di antaranya adalah:
1.            Dapat mengembangkan  bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al- Qur’an kehilangan relevensi antara satu bagian dan bagian lainnya. Pada dasarnya Al-Qur’an meerupakan satu kesatuan yang utuh, jadi antar tema maupun bagian dalam Al-Qur’an  saling terkait satu sama lainnya.
2.             Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian-bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadapkitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.             Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balagha-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta penyesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4.             Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain. [18]
Dari sinilah akan memudahkan dalam menafsirkan hungan antar satu ayat maupun surat. Sehingga akan mencegah kesalahan dalam penafsiran ayat-ayat atau surah-surah dalam Al-Qur’an.
5.             Menjadikan bagian-bagian kalam saling terkait sehingga penyusunnya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis. Karena pada dasarnya, seperti yang ditegaskan Al-Qurthubi bahwa Al-Qur’an laksana satu surat yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Di mana kesatuan Al-Qur’an yang saling terkait dengan susunan yang harmonis dan sistematis. 
6.             Mengetahui prinsip-prinsip kalam yang dipakainya maupun menafsirkan Al-Qur’an. Dengan demikian maka munasabah akan mempermudah memperjelas hokum dalam Al-Qur’an itu sendiri.[19]










PENUTUP
A.                Kesimpulan
a.       Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata nasaba-yunasibu-munasabahan yang berarti musyakalah (keserupaan)[20], dan muqarabah.
Secara terminologi, munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al-Qur’an. Terdapat beberapa definisi munasabah menurut para ahli, di antaranya yang dikemukakan oleh Az-Zakarsyi, Manna’ Qathan, Ibnu Al-Arabi, Al-Biqa’I, di mana masing-masing mempunyai pendapat dengan konteks penulisan yang berbeda, teapi maknanya sama.
b.      Bentuk munasabah Al-Qur’an secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: zhahir (jelas) yang terdiri atas beberapa bentuk; Suatu ayat yang menyempurnakan penjelasan dari ayat sebelumnya,  tawkid (menguatkan), dan tafsir (menjelaskan). Serta  mudhmar (tersembunyi), yang dapat dilihat dari beberapa aspek: Ayat tersebut dihubungkan dengan huruf ‘athaf, Al-Mudhaddah (berlawanan),  Istithrad (sampai).
c.       Macam-macam ilmu munasabah. menurut Chaerudji A. Chalik, (munasabah) dapat dilihat dari dua segi, yaitu sifat dan materi.
1.      Dilihat dari segi sifatnya, munasabah dapat terbagi menjadi dua yakni  Zhahir Al-iribath dan Khafiy al-iribath.
2.      Dilihat dari segi materinya, dapat terbagi menjadi dua, yaitu munasabah antar ayat (terdiri dari: munasabah antar nama surah dan tujuan turunkannya, munasabah antarbagian surah, munasabah antarayat yang letaknya berdampingan, munasabah antar suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat sampingnya, munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat, dan munasabah antar awal dengan akhir surah yang sama), serta  munasabah antarsurat.
d.      Cara mencari dan menentukan munasabah, yakni dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: topik inti yang diperbincangkan dalam ayat, topik inti itu biasanya mempunyai sub-subtopik, dan sub-subtopik itu mempunyai unsur-unsur tersendiri pula. Dengan mengerti dan memahami hal-hal tersebut, maka akan mempermudah dalam mencari dan menentukan munasabah.
e.       Urgensi ilmu munasabah adalah sebagai metode dan pendekatan untuk melakukan pembacaan holistik dari Al-Qur’an, sangat membantu mufassir dalam memahami dan mengeluarkan isi kandungan Al-Qur’an, ataupun dapat digunakan dalam mengetahui penetapan hukum yang terjadi pada umat-umat sebelum Raasulullah.SAW.
f.       Manfaat ilmu Munasabah antara lain:
1.      Dapat mengembangkan  bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al- Qur’an kehilangan relevensi antara satu bagian dan bagian lainnya.
2.      Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian-bagian Al-Qur’an.
3.      Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balagha-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya.
4.      Menjadikan bagian-bagian kalam saling terkait.
5.      Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungannya.
6.      Mengetahui prinsip-prinsip kalam yang dipakainya maupun menafsirkan Al-Qur’an.

B.                Saran
            Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an dengan baik dan benar. Di sisi lain, penulis juga berharap dengan adanya makalah ini akan bisa menjadi bahan bacaan yang baik. Baik untuk mahasiswa maupun kalangan akademika pada khususnya. Sebagai motivasi maupun inspirasi dalam mengembangkan kreativitasnya.
            Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Cet:IV; Jakarta: AMZAH. 2012.
Anwar, Rosihon. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. 2010.
Hermawan, Acep.  Ulumul Quran. Cet: I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011.
 Ichwan, Muhammad Nor. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2008.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Cet: I; Jakarta: Rajawali Pers. 2013.
Yusuf, Kadar  M. Studi Al-Qur’an. Cet: I; Jakarta: AMZAH. 2009.
Anonim. Makalah Ilmu Munasabah dalam Al-Qur’an.  http://coretanbinderhijau.blogspot.com/2013/02/makalah-ilmu-munasabah-dalam-al-quran.html, diakses pada tanggal 6 April 2014 pukul 20:43 WIB.
Ramadlan, Jaib Najhan. Pengertian Al-Qur’an Kitab Suci Ummat, http://jaibnajhan.blogspot.com/2012/12/pengertian-alquran-kitab-suci-ummat, diakses pada tanggal 09 Mei 2014 pukul 20.00 WIB.




[1]Jaib Najhan Ramadlan, Pengertian Al-Qur’an Kitab Suci Ummat, http://jaibnajhan.blogspot.com/2012/12/pengertian-alquran-kitab-suci-ummat , diakses pada tanggal 09 Mei 2014 pukul 20.00 WIB.
[2] Badr al-Din al-Zarkasyi, al Burhany fii ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al_Nasyir, 1972), hlm. 35-36.
[3] Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmui Tafsir, (Jakarta:Bulan Bintang, 1965), hlm. 95.
[4] Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Cet: IV; Jakarta: AMZAH, 2012), hlm. 197.
[5] Kadar  M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Cet: I; Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 101.
[6] Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Cet: IV; Jakarta: AMZAH, 2012), hlm. 197.
[7] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 82-83.
[8] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,(Cet: I; Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm 237-238.
[9] Kadar  M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Cet: I; Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 102.
[10] Anonim. Makalah Ilmu Munasabah dalam Al-Qur’an.  http://coretanbinderhijau.blogspot.com/2013/02/makalah-ilmu-munasabah-dalam-al-quran.html, diakses pada tanggal 6 April 2014 pukul 20:43 WIB.
[11]Acep Hermawan,  Ulumul Quran, (Cet: I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 124-126.
[12]Acep Hermawan,  Ulumul Quran,(Cet: I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 127-132.
[13]Kadar  M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Cet: I; Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 109-111.
[14] Kadar  M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Cet: I; Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 110.
[15] Urutan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu.
[16]Acep Hermawan,  Ulumul Quran,(Cet:I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.123-124.
[17]Kadar  M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Cet: I; Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 111.
[18] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm. 96-97.
[19] Muhammad  Nor ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an, (Semarang,: Pustaka Rizki Putra,2008), hlm. 140.
[20] Badr al-Din al-Zarkasyi, al Burhany fii ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al_Nasyir, 1972), hlm. 35-36.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates