Baca Online New Moon part 9
9.
KAMBING CONGEK
WAKTU mulai
berjalan jauh lebih cepat dibanding sebelumnya. Sekolah, bekerja, dan Jacob—meski
tidak selalu dalam urutan itu— membentuk pola yang rapi dan mudah diikuti. Dan keinginan
Charlie terwujud: aku tidak merana lagi. Tentu saja. aku tidak bisa sepenuhnya
menipu diri
sendiri. Saat
berhenti untuk menginventarisasi hidupku, sesuatu yang kuusahakan untuk tidak terlalu
sering kulakukan, aku tak bisa mengabaikan implikasinya terhadap tingkah lakuku.
Aku seperu
bulan tersesat—planetku hancur dalam skenario film rentang kepedihan hati yang menimbulkan
perubahan besar—yang tetap, walau bagaimanapun, bergerak dalam orbitnya yang
kecil
dan sempit mengitari
ruang angkasa yang kini kosong melompong, mengabaikan hukum gravitasi.
Aku semakin
piawai naik motor, dan itu berarti aku tidak membuat Charlie khawatir lagi
karena terlalu sering jatuh. Tapi itu juga berarti suara di kepalaku mulai
menghilang, sampai aku tidak mendengarnya lagi sama sekali. Diam-diam aku panik.
Aku semakin kalap mencari padang rumput itu. Aku memeras otak mencari aktivitas
lain yang
bisa memicu
idrenalin.
Aku tak lagi
memerhatikan hari-hari yang berlalu – tidak ada alasan untuk itu. karena aku berusaha
sebisa mungkin hidup di masa kini,
tanpa masa lalu
yang menghilang, atau masa depan yang menjelang. Karena itulah aku terkejut waktu
Jacob mengungkit tanggal berapa sekarang saat kami bertemu untuk mengerjakan
PR. Ia sudah menungguku waktu aku berhenti di depan rumahnya.
"Selamat
Hari Valentine," kata Jacob, tersenyum, tapi menunduk saat menyapaku.
Ia mengulurkan
kotak kecil berwarna pink, menaruhnya di telapak tangan.
"Well, aku merasa tolol sekali,"
gumamku. "Ini Hari Valentine?”
Jacob menggeleng
dengan lagak pura-pura sedih. "Terkadang kau ini seperti tidak ada di sini
saja. Ya, sekarang tanggal 14 Februari. Nah,
maukah kau menjadi
Valentine-ku? Berhubung kau tidak membelikan sekotak cokelat seharga lima puluh
sen, paling tidak itulah yang bisa
kaulakukan."
Aku mulai
merasa tidak enak. Kata-katanya bernada menyindir, tapi hanya di permukaan. "Apa
tepatnya kewajiban menjadi Valentine?"
aku mengelak.
"Biasalah—menjadi
budak seumur hidup, semacam itu."
"Oh, Well, kalau hanya itu." Kuterima
kotak cokelat itu. Tapi aku berusaha memikirkan cara untuk menegaskan
batas-batas itu. Lagi. Bersama Jacob, sepertinya batas-batas itu sering kali
kabur.
"Jadi, apa
yang akan kita lakukan besok? Hiking,
atau UGD?"
"Hiking,” aku memutuskan. "Bukan
hanya kau yang bisa obsesif. Aku mulai berpikir janganjangan tempat itu hanya
khayalanku saja." Aku
mengerutkan
kening dan menerawang.
"Kita pasti
bisa menemukannya,” Jacob meyakinkanku. "Sepeda motor hari Jumat?” ia menawarkan.
Aku melihat
kesempatan dan langsung menyambarnya tanpa meluangkan waktu untuk memikirkannya
masak-masak lebih dulu.
"Jumat
nanti aku akan pergi nonton film. Sudah lama sekali aku berjanji pada
teman-teman sekafeteriaku untuk pergi bareng." Mike pasti
senang. Tapi
wajah Jacob langsung berubah. Aku sempat menangkap secercah ekspresi di matanya
yang gelap sebelum ia menunduk dan memandang tanah.
“Kau ikut,
kan?" aku cepat-cepat menambahkan.
"Atau kau
merasa bergaul dengan serombongan murid senior itu sangat membosankan?"
Ternyata aku tetap tak bisa menjaga jarak dengannya. Aku tidak tega melukai
hati Jacob; kami seperti memiliki hubungan khusus yang aneh, dan kesedihannya
menusuk hatiku juga. Apalagi, aku senang membayangkan diriku ditemani olehnya melewati
"cobaan" ini—aku memang sudah berjanji pada Mike, tapi tidak merasa
terlalu antusias melakukannya.
“Kau ingin aku
ikut, bersama teman-temanmu yang lain?"
“Ya,"
dengan jujur aku mengakui, meski dalam hati tahu ini hanya akan membuat
masalah. "Aku akan lebih senang kalau ada kau. Ajak Quil
sekalian, biar
lebih ramai."
"Quil
bakal kalang-kabut. Cewek-cewek senior."
Jacob terkekeh
dan memutar bola matanya. Aku tidak menyebut nama Embry, begitu juga dia. Aku
ikut tertawa. "Akan kucoba memberinya
pilihan yang
cantik-cantik."
Aku mengutarakan
maksudku pada Mike di kelas Bahasa Inggris.
"Hei,
Mike," sapaku setelah kelas berakhir. "Kau tidak ada acara Jumat
malam nanti?"
Mike mengangkat
wajah, mata birunya langsung penuh
harap. "Tidak ada. Mau pergi bareng?"
Aku menyusun kalimatku
dengan hati-hati. "Aku sedang berpikir-pikir untuk pergi
beramai-ramai"—aku menekankan kata itu—"nonton Crosshairs"
Sebelumnya aku
sudah melakukan penelitian lebih dulu—bahkan sampai membaca resensi film segala
untuk memastikan aku tidak bakal kecele nanti. Konon katanya film itu
bergelimang darah dari awal sampai akhir. Aku belum begitu pulih untuk tahan menyaksikan
film cinta-cintaan.
"Kedengarannya
asyik, kan?"
"Tentu,"
sahut Mike, kentara sekali kurang bersemangat.
"Asyik."
Sedetik kemudian,
wajahnya kembali ceria hingga hampir mendekati level kegembiraannya tadi.
"Bagaimana kalau kita ajak Angela dan Ben?
Atau Eric dan
Katie?"
Ia bertekad membuat
acara jalan-jalan ini menjadi semacam kencan ganda rupanya.
"Bagaimana
kalau dua-duanya?" saranku. "Dan Jessica juga. tentu saja. Juga Tyler
dan Conner, dan mungkin Lauren,” aku menambahkan dengan enggan. Aku kan sudah
berjanji akan membawa banyak pilihan untuk Quil.
"Oke,"
gumam Mike, usahanya gagal.
"Dan,"
lanjutku, "aku juga akan mengajak beberapa teman dari La Push. Jadi
sepertinya kita membutuhkan Suburban-mu kalau semua ikut."
Mata Mike
menyipit curiga.
"Ini
teman-temanmu yang selama ini sering belajar bareng kau?"
“Yep, tepat sekali,"
jawabku riang. "Walaupun kau bisa menganggapnya tutoring—mereka baru kelas
dua SMA"
"Oh,"
kata Mike terkejut. Setelah berpikir sedetik, ia tersenyum.
Namun akhirnya
Suburban itu tidak diperlukan. Jessica dan Lauren langsung bilang sibuk begitu
Mike mengatakan akulah yang merencanakan acara pergi bareng ini. Eric dan Katie
sudah punya
rencana sendiri—mau
merayakan tiga minggu mereka pacaran atau apa. Lauren sudah lebih dulu menyatroni
Tyler dan Conner sebelum Mike, jadi mereka juga bilang sibuk. Bahkan Quil pun
batal ikut—dihukum tidak boleh keluar rumah gara-gara berkelahi di sekolah.
Akhirnya, hanya Angela dan Ben yang bersedia, juga Jacob tentu saja.
Meski begitu,
jumlah pengikut yang berkurang banyak itu tidak mengurangi kegembiraan Mike. Yang
ia ocehkan melulu tentang hari Jumat.
"Kau
yakin tidak mau menonton Tomorrow and Forever saja?" tanyanya saat makan
siang, menyebut judul film komedi romantis yang sedang
menduduki
peringkat teratas dalam deretan filmfilm box office. "Menurut resensi
Rotten Tomatoes, filmnya bagus banget lho."
"Aku
ingin nonton Crosshairs? aku bersikeras.
"Aku
sedang mood nonton film-film action. Yang banyak darah dan isi perutnya!''
"Oke."
Mike berpaling, tapi aku masih sempat melihat ekspresinya yang menganggapku
sinting.
Sesampainya di
rumah sepulang sekolah, sebuah mobil yang sangat familier terparkir di depan
rumahku. Jacob berdiri bersandar di kap
mesin,
seringai lebar menghiasi wajahnya.
"Tidak
mungkin!" teriakku sambil melompat turun dari truk. "Kau sudah
selesai! Aku tidak percaya! Kau sudah selesai memermak si Rabbit!"
Jacob berseri-seri.
"Baru semalam. Ini perjalanan pertamanya."
"Luar
biasa." Kuangkat tanganku untuk ber-high five.
Jacob memukulkan
telapak tangannya ke telapak tanganku, tapi membiarkannya tetap menempel di
sana, memilin jari-jarinya dengan jari
jariku.
"Jadi,
boleh tidak aku mengendarainya malam ini?"
"Jelas
boleh," jawabku, lalu mendesah.
"Ada
apa?"
"Aku
menyerah—aku tidak bisa mengungguli ini. Jadi kau menang. Kau yang paling
tua."
Jacob mengangkat
bahu, tidak terkejut melihatku menyerah. "Itu sudah jelas."
Suburban Mike
muncul di tikungan, berdegukdeguk. Kutarik tanganku dari tangan Jacob, dan kulihat
ia mengernyit.
"Aku
ingat cowok ini," katanya pelan ketika Mike memarkir mobilnya di seberang
jalan. "Dia cowok yang mengira kau pacarnya. Dia masih salah sangka?"
Aku mengangkat
sebelah alisku. "Sebagian orang sulit menerima penolakan."
"Bagaimanapun,"
kata Jacob sambil merenung,
"terkadang
kegigihan bisa membuahkan hasil."
"Lebih
sering menjengkelkan, tapi."
Mike turun dari
mobil dan menyeberang jalan. "Hai, Bella,” ia menyapaku, kemudian matanya berubah
waswas pada waktu menengadah memandangi Jacob. Kulirik Jacob sebias berusaha
objektif. Ia
sama sekali tidak mirip anak kelas 2 SMA. Badannya besar sekali—kepala Mike
nyaris tidak sampai sebahu Jacob; aku bahkan tak ingin membayangkan tinggi, ku
kalau aku berdiri di sebelahnya—dan wajahnya juga tampak lebih tua daripada biasa,
bahkan sebulan yang lalu sekalipun.
"Hai.
Mike! Kau masih ingat Jacob Black?"
“Tidak juga.”
Mike mengulurkan tangan.
"Teman
lama keluarga,” Jacob memperkenalkan diri, menjabat tangan Mike. Mereka
bersalaman dengan keras. Setelah melepaskan genggamannya. Mike meregangkan
jari-jarinya. Kudengar telepon berdering dari dapur.
“Kuangkat dulu
ya— siapa tahu dari Charlie," kataku pada mereka, lalu berlari masuk. Ternyata
Ben. Angela terserang flu perut, dan ia
enggan pergi sendiri
tanpa Angela. Ia meminta maaf karena batal pergi dengan kami. Aku berjalan lambat-lambat
menghampiri kedua cowok yang sedang menunggu itu, menggelengkan kepala. Aku benar-benar
berharap Angela cepat sembuh, tapi harus kuakui aku agak kesal oleh
perkembangan
tak terduga ini. Jadi sekarang hanya tinggal kami bertiga, Mike, Jacob, dan
aku—benar-benar menyenangkan, pikirku, sinis bercampur muram.
Keliatannya
Jake dan Mike tidak berusaha mengakrabkan diri selama kepergianku. Mereka berdiri
terpisah beberapa meter, saling
memunggungi sambil
menungguku; ekspresi Mike masam, meski Jacob tetap seceria biasa.
“Ang sakit,”
aku memberi tahu dengan muram.
"Dia dan
Ben tidak bisa ikut.”
“Kurasa flu
itu mulai menulari anak-anak lain. Austin dan Conner hari ini juga tidak masuk.
Mungkin lain kali saja kita pergi," Mike
menyarankan.
Sebelum aku
sempat mengiyakan, Jacob sudah angkat bicara.
"Aku sih
masih tetap ingin pergi. Tapi kalau kau lebih suka tidak pergi, Mike—"
"Tidak,
aku ikut," potong Mike. "Aku hanya memikirkan Angela dan Ben. Ayo
kita pergi," Ia mulai berjalan menghampiri Suburban-nya.
"Hei, kau
keberatan tidak kalau Jacob yang menyetir?" tanyaku. "Aku sudah
bilang dia boleh menyetir tadi—dia baru saja selesai memperbaiki
mobilnya. Dia
memermaknya dari nol lho," pamerku, bangga seperti ibu yang anaknya juara kelas.
"Terserah,"
bentak Mike.
"Baiklah
kalau begitu," sahut Jacob, seakanakan semua beres. Di antara kami
bertiga, dialah yang kelihatannya paling santai. Mike naik ke kursi belakang
Rabbit dengan ekspresi jijik.
Jacob, seperti
biasa, bersikap riang, mengobrol ramai sampai aku sama sekali lupa pada Mike yang
merajuk tanpa suara di kursi belakang.
Kemudian Mike
mengubah strategi. Ia mencondongkan tubuh, meletakkan dagunya di bahu kursi;
pipinya nyaris menyentuh pipiku. Aku bergeser sedikit, memunggungi jendela.
"Radionya
rusak, ya?" tanya Mike, nadanya sedikit marah, memotong omongan Jacob.
"Tidak,"
jawab Jacob "Tapi Bella tidak suka musik."
Kupandangi Jacob,
terkejut. Aku tidak pernah bilang begitu padanya.
"Bella?"
tanya Mike, jengkel.
Dia benar
gumamku, sambil masih terus memandangi profil Jacob yang tenang.
"Kok bisa
kau tidak suka musik?" tuntut Mike
Aku mengangkat
bahu. "Entahlah. Jengkel saja mendengarnya.”
“Hmph,” Mike
duduk bersandar. Waktu kami sampai di bioskop, Jacob
mengulurkan
selembar sepuluh dolar.
“Apa ini?”
tolakku.
“Aku belum cukup
umur untuk nonton film ini," ia mengingatkanku.
“Aku tertawa
keras-keras. "Jadi usia relatif tak ada gunanya, ya. Apakah Billy akan
membunuhku kalau aku menyelundupkanmu masuk?”
“Tidak. Aku
sudah bilang padanya kau berencana mengorupsi keluguanku "
Aku terkikik,
dan Mike mempercepat langkah untuk
mengimbangi kami.
Aku nyaris
berharap Mike memutuskan untuk tidak ikut saja. Ia masih terus merajuk—merusak suasana
saja. Tapi aku juga tak ingin berkencan sendirian dengan Jacob. Itu tidak akan
membantu apa-apa.
Filmnya tepat
seperti yang diramalkan. Di bagian awalnya saja sudah empat orang yang ditembak
dan satu dipenggal kepalanya. Cewek di depanku menutup mata dan memalingkan
wajah ke dada teman kencannya. Si cowok menepuk-nepuk bahu si cewek, sambil sesekali
nyengir. Mike sepertinya tidak menonton. Wajahnya kaku sementara
matanya memelototi
tirai di aras layar. Aku menyiapkan diri untuk bertahan selama dua jam,
menonton warna-warna dan gerakangerakan
di layar,
bukannya melihat bentuk-bentuk orang, mobil, dan rumah. Tapi kemudian Jacob mulai
tertawa.
"Apa?"
bisikku.
"Oh,
ayolah!" Jacob balas mendesis. "Masa darah menyembur sejauh itu.
Ketahuan banget bohongnya!"
Lagi-lagi ia
tertawa, saat tiang bendera menombak seorang pria ke tembok beton. Sesudah itu
aku benar-benar menonton filmnya, tertawa bersamanya saat adegannya makin lama makin
konyol. Bagaimana aku bisa melawan garis batas dalam hubungan kami yang makin
lama
makin kabur
ini kalau aku sangat menikmati kebersamaanku dengannya?
Baik Jacob
maupun Mike sama-sama menumpangkan lengannya di lengan kursiku, satu di kiri,
satu di kanan. Tangan mereka sama-sama
ditumpangkan
dengan sikap santai, telapak tangan menghadap ke atas, dalam posisi yang kelihatannya
tidak natural. Seperti jebakan beruang dari baja, terbuka dan siap menjerat mangsa.
Jacob punya kebiasaan meraih tanganku setiap kali ada kesempatan, tapi di sini,
di dalam
bioskop yang
gelap, dengan Mike melihat, hal itu bisa diartikan berbeda—dan aku yakin ia
tahu itu.
Aku tidak percaya
Mike memikirkan hal yang sama, tapi tangannya melakukan hal yang sama seperti
yang dilakukan Jacob.
Kulipat kedua
tanganku erat-erat di dada dan berharap tangan mereka akan berhenti beraksi. Mike-lah
yang pertama menyerah. Ketika film
sudah berjalan
kira-kira setengahnya, ia menarik lengannya dan nun condongkan tubuh ke depan, memegang
kepalanya dengan tangan. Mulanya kukira ia bereaksi pada sesuatu yang ada di
layat,
tapi kemudian
ia mengerang.
"Mike,
kau tidak apa apa?" bisikku. Pasangan di depan kami menoleh dan memandangi
Mike waktu ia mengerang lagi.
“Tidak,” jawabnya
terengah. “Sepertinya aku sakit."
Aku bisa melihat
kilauan keringat di wajahnya dengan bantuan cahaya dari layar. Mike mengerang
lagi, lalu bangkit dan menghambur ke pintu. Aku berdiri untuk mengikutinya, dan
Jacob langsung meniruku.
“Kau tidak perlu
ikut. Jangan biarkan delapan dolarmu terbuang sia-sia," desakku saat
berjalan menyusuri gang di tengah deretan kursi bioskop.
"Tidak
apa-apa. Kau benar-benar jago memilih film, Bella. Filmnya konyol banget,”
Suara Jacob berubah dari berbisik menjadi normal, begitu kami keluar dari
teater.
Tidak tampak
tanda-tanda Mike di ruang tunggu, dan aku senang Jacob tadi memutuskan keluar
bersamaku—ia bisa menyelinap ke toilet
cowok untuk
mengecek keberadaan Mike di sana. Beberapa detik kemudian, Jacob kembali.
“Oh, memang benar
dia ada di sana," katanya, memutar bola matanya. "Dasar lembek. Seharusnya
kau mengajak orang yang perutnya lebih kuat. Orang yang tertawa kalau melihat darah
membuat cowok lembek muntah."
"Akan
kubuka mataku lebar-lebar, kalau-kalau ada orang seperti itu."
Kami hanya
berdua di ruang tunggu. Kedua teater sedang memutar film, jadi ruang tunggu kosong
melompong—cukup sunyi sehingga kami
bisa mendengar
bunyi berondong jagung meletupletup di kios makanan di lobi.
Jacob duduk di
bangku berlapis beledu yang menempel di dinding, menepuk-nepuk tempat kosong di
sebelahnya.
"Kedengarannya
dia bakal lama di dalam sana," katanya, menjulurkan kakinya yang panjang, bersiap-siap
menunggu. Sambil mendesah aku ikut duduk bersamanya. Tampaknya Jacob berpikir
untuk mengaburkan
garis batas di
antara kami lagi. Benar saja, begitu aku duduk, ia membuat gerakan untuk
merangkul pundakku.
"Jake,"
protesku, berkelit. Jacob menurunkan tangannya, tidak tampak tersinggung oleh penolakanku
tadi. Ia mengulurkan tangan dan
dengan mantap
meraih tanganku, menarik pinggangku waktu aku berusaha berkelit lagi. Dari mana
ia memperoleh kepercayaan dirinya itu?
"Tunggu
sebentar, Bella," katanya, suaranya tenang. "Jawab dulu
pertanyaanku."
Aku meringis.
Aku tidak ingin melakukan ini. Tidak sekarang, tidak nanti. Tidak ada hal lain yang
tersisa dalam hidupku saat ini yang lebih penting daripada Jacob Black. Tapi
sepertinya ia bertekad ingin mengacaukan semuanya.
"Apa?"
gerutuku masam.
"Kau suka
padaku, kan?"
"Kau tahu
aku suka padamu."
"Lebih
daripada badut yang sedang muntahmuntah di dalam sana itu, kan?" Jacob
menuding pintu toilet.
"Ya,"
aku mendesah.
"Lebih
daripada cowok-cowok yang kaukcnal?"
Sikapnya
kalem, tenang—seolah-olah jawabanku tidak penting, atau ia sudah tahu
jawabannya.
"Lebih
daripada cewek-cewek juga," jawabku.
"Tapi hanya
itu," katanya, dan itu bukan pertanyaan.
Sulit sekali
menjawabnya, sulit mengucapkan kata itu. Apakah ia bakal sakit hati dan menghindariku?
Bagaimana aku bisa kuat menghadapinya?
"Ya,"
bisikku.
Jacob nyengir.
"Itu tidak apa-apa, tahu. Asalkan kau paling suka padaku. Dan kau
menganggapku ganteng—kayaknya Aku siap menjadi orang yang gigih dan
menjengkelkan."
"Perasaanku
tidak akan berubah,” kataku, dan meski berusaha agar suaraku tetap normal, aku bisa
mendengar nada sedih di dalamnya.
Ekspresinya
seperti berpikir, tak lagi menggoda.
"Pasti
masih karena yang satu itu, kan?"
Aku meringis.
Lucu juga bagaimana ia seolah tahu untuk tidak mengucapkan namanya—seperti sebelumnya
di mobil mengenai musik. Jacob menangkap banyak hal tentang aku tanpa aku perlu
menjelaskannya.
"Kau
tidak perlu membicarakannya," kata Jacob. Aku mengangguk, bersyukur.
"Tapi
jangan marah padaku kalau aku mendekatimu terus, oke?" Jacob menepuk-nepuk
punggung tanganku. "Karena aku tidak mau menyerah. Aku masih punya banyak
waktu."
Aku mendesah.
"Seharusnya kau tidak menyianyiakannya
untukku,"
kataku, meski aku menginginkannya. Apalagi karena ia mau
menerimaku
dalam keadaanku yang seperti ini—barang rusak, apa adanya.
"Aku
memang ingin melakukannya, selama kau masih suka bersamaku."
"Aku
tidak bisa membayangkan aku tidak suka
bersamamu,” ungkapku jujur.
Jacob
berseri-seri. "Itu sudah cukup buatku."
"Hanya
saja jangan berharap lebih," aku mengingatkan, mencoba menarik tanganku.
Jacob terus memeganginya dengan gigih.
"Ini
tidak membuatmu rikuh, kan?" tanyanya, meremas jari-jariku.
"Tidak,"
desahku. Sejujurnya, rasanya menyenangkan. Tangannya jauh lebih hangat daripada
tanganku; aku selalu merasa kedinginan
belakangan
ini.
"Dan kau
tidak peduli pada apa yang dia pikirkan." Jacob menyentakkan ibu jarinya
ke arah toilet.
"Kurasa
tidak."
"Kalau
begitu apa masalahnya?"
"Masalahnya,"
ujarku, "karena ini artinya berbeda bagiku dan bagimu."
"Well," Jacob mempererat
genggamannya. "Itu masalahku, kan?"
"Terserahlah,"
gerutuku. "Jangan lupa, tapi."
"Aku
tidak akan lupa. Pin-nya sudah dilepaskan dari granatnya, sekarang, he?"
Ia menohokkan jarinya ke rusukku.
Aku memutar
bola mata. Kurasa kalau ia ingin menjadikan masalah ini sebagai lelucon, itu
haknya. Jacob berdecak pelan sebentar waktu jari
manisnya
menelusuri bekas luka di sisi tanganku. "Lucu juga bekas lukamu di sini
ini," katanya tiba-tiba, memuntir tanganku untuk
mengamatinya.
"Bagaimana kejadiannya?”
Telunjuk tangannya
yang satu lagi menyusuri tepian bekas luka panjang berbentuk bulan sabit keperakan
yang nyaris tak terlihat di kulitku yang
pucat.
Aku merengut.
"Masa aku harus mengingat dari mana saja semua bekas lukaku berasal?"
Aku menunggu
kenangan itu menghantamku— membuka lubang yang menganga. Tapi seperti yang
sudah sering kali terjadi, kehadiran Jacob
menjagaku
tetap utuh.
"Bekas
luka ini dingin," gumamnya, menekan pelan tempat James dulu melukaiku
dengan giginya.
Kemudian Mike
tersaruk saruk keluar dari toilet, wajahnya kelabu dan berkeringat. Ia tampak kepayahan.
“Oh,
Mike," aku kaget.
“Keberatan
tidak kalau kita pulang lebih cepat?" bisiknya.
"Tidak,
tentu saja tidak.” Kutarik tanganku dan berdiri untuk membantu Mike berjalan.
Ia tampak limbung.
“Filmnya
terlalu sadis untukmu?" tanya Jacob tanpa perasaan.
Pelototan Mike
garang sekali. "Aku bahkan tidak sempat melihatnya," gumamnya.
"Aku sudah mual sejak sebelum lampu-lampu dimatikan."
“Kenapa kau
diam saja?" kumarahi dia sementara kami berjalan sempoyongan menuju pintu
keluar.
“Aku berharap
nanti akan hilang sendiri," jawab Mike.
"Tunggu
sebentar," kata Jacob sesampainya kami di pintu. Ia cepat-cepat berjalan
kembali ke kios makanan.
"Boleh
minta wadah popcorn kosong?" tanyanya pada cewek penjaga kios. Cewek itu
memandang Mike satu kali, lalu langsung menyodorkan wadah kosong pada Jacob.
“Bawa dia
keluar, please,"
pinta si penjaga kios.
Jelas, cewek
itulah yang kebagian tugas mengepel. Kuseret Mike ke udara luar yang dingin dan
basah. Ia menghela napas dalam-dalam. Jacob berjalan tepat di belakang kami. Ia
membantuku menaikkan Mike ke kursi belakang, lalu menyodorkan wadah itu padanya
dengan mimik
serius. "Please,”
hanya itu yang Jacob katakan.
Kami membuka semua
jendela, supaya udara malam yang dingin berembus masuk, berharap itu bisa
membantu Mike merasa lebih sehat. Aku memeluk kedua kakiku dengan kedua tangan
agar tetap hangat.
"Kedinginan
lagi?" tanya Jacob, merangkul pundakku sebelum aku sempat menjawab.
"Kau
tidak?" Jacob menggeleng.
"Kau
pasti demam atau sebangsanya," gerutuku.
Aku sendiri
membeku kedinginan. Kusentuh keningnya dengan jari-jariku, dan kepalanya memang
panas.
"Astaga,
Jake—badanmu panas sekali!"
"Aku
merasa baik-baik saja." Ia mengangkat bahu. "Sehat walafiat."
Aku mengerutkan
kening dan menyentuh kepalanya lagi. Kulitnya membara di bawah jarijariku.
"Tanganmu
sedingin es," protes Jacob.
"Mungkin
memang aku yang kedinginan," aku mengalah.
Mike mengerang
di kursi belakang, lalu muntah ke dalam wadah. Aku meringis, berharap perutku tahan
mendengar dan mencium baunya. Jacob menoleh cemas untuk memastikan mobilnya
tidak terkena muntahan.
Jarak terasa semakin
panjang dalam perjalanan pulang. Jacob diam, merenung. Ia membiarkan lengannya
tetap melingkari pundakku, dan rasanya begitu hangat hingga angin dingin terasa
nyaman. Aku memandang ke luar kaca depan, hatiku diliputi perasaan bersalah.
Seharusnya aku
tidak memberi harapan pada Jacob. Itu kulakukan murni karena egois. Tak peduli
aku sudah berusaha memperjelas posisiku. Kalau ia merasa masih ada harapan,
meskipun sedikit, untuk mengubah hubungan ini menjadi lebih dari sekadar
persahabatan, itu berarti aku masih kurang jelas dalam memberinya penjelasan.
Bagaimana
caraku menjelaskan supaya ia mengerti? Aku ini cangkang kosong. Ibarat rumah tak
berpenghuni—ditinggalkan— selama berbulanbulan aku tak bisa didiami. Sekarang
aku sedikit lebih baik. Ruang depan sudah diperbaiki. Tapi hanya itu—hanya satu
ruang kecil. Padahal Jacob pantas mendapatkan lebih baik daripada itu—lebih
baik daripada sekadar
satu ruangan yang sudah nyaris ambruk dan kemudian dibetulkan.
Sebanyak apa
pun yang ia lakukan tidak akan bisa membuatku berfungsi kembali. Namun aku tahu
aku takkan mau menjauhinya,
bagaimanapun
juga. Aku terlalu membutuhkannya, dan aku egois. Mungkin aku bisa lebih
memperjelas sisiku, supaya ia mau
meninggalkan
aku. Pikiran itu membuatku bergidik, dan Jacob mempererat rangkulannya. Aku
mengantar Mike pulang dengan Suburbannya, sementara Jacob mengikuti di belakang
untuk
mengantarku pulang.
Jacob lebih banyak diam sepanjang perjalanan menuju rumahku, dan aku bertanya-tanya
dalam hati apakah ia memikirkan hal-hal yang sama seperti yang kupikirkan.
Mungkin saja
ia berubah pikiran.
“Sebenarnya
aku ingin mampir, karena kita pulang lebih cepat," kata Jacob sambil menghentikan
mobilnya di samping trukku. "Tapi kurasa kau benar bahwa aku demam. Aku
mulai merasa sedikit. aneh."
"Oh
tidak, jangan sampai kau sakit juga! Kau mau aku mengantarmu pulang?"
"Tidak"
Jacob menggeleng, alisnya bertaut. “Aku belum merasa sakit. Hanya. tidak enak
badan. Kalau terpaksa sekali, aku akan berhenti di pinggir jalan."
"Maukah kau
meneleponku begitu sampai di rumah?" tanyaku cemas.
"Tentu,
tentu." Jacob mengerutkan kening, memandang lurus ke kegelapan, dan
menggigit bibir.
Kubuka pintu
untuk turun, tapi Jacob meraih
pergelangan
tanganku dengan lembut dan memeganginya. Aku kembali merasakan betapa panas
kulitnya bersentuhan dengan kulitku.
"Ada apa,
Jake?" tanyaku.
"Ada
sesuatu yang ingin kukatakan padamu, Bella. tapi kurasa ini akan terdengar
gombal." Aku mendesah. Ini pasti kelanjutan pembicaraan
di teater
tadi. "Silakan."
"Begini,
aku tahu kau sering merasa tidak bahagia. Dan mungkin ini tidak membantu
apaapa, tapi aku ingin kau tahu aku akan selalu
mendampingimu.
Aku tidak akan mengecewakanmu—aku berjanji kau akan selalu bisa mengandalkan
aku. Wow, kedengarannya benar-benar gombal. Tapi kau tahu itu, kan? Bahwa aku
tidak akan pernah, tidak sekali pun, menyakitimu?"
"Yeah,
Jake. Aku tahu itu. Dan aku memang sudah mengandalkanmu, mungkin lebih daripada
yang kau tahu."
Senyum merekah
di wajahnya, seperti matahari terbit merekah merah di awan-awan, dan aku ingin memotong
lidahku sendiri. Semua yang kukatakan memang benar, tapi seharusnya aku
berbohong. Mengatakan hal sebenarnya adalah salah, itu hanya akan menyakiti
hatinya. Aku akan mengecewakannya.
Mimik aneh melintas
di wajahnya. "Kurasa aku benar-benar harus pulang sekarang," katanya.
Aku cepat-cepat turun.
"Telepon
aku!" teriakku begitu ia beranjak pergi.
Kupandangi
mobilnya berlalu, dan sepertinya ia masih bisa mengemudikan mobilnya dengan
baik, paling tidak. Kupandangi jalanan yang kosong setelah mobilnya lenyap,
perasaanku juga sedikit tidak enak, tapi bukan karena alasan fisik.
Kalau saja
Jacob Black terlahir sebagai saudara lelakiku, saudara laki-laki kandung,
sehingga aku memiliki hak hukum atas dirinya yang membuatku bebas dari perasaan
bersalah. Tuhan tahu aku tidak pernah berniat memanfaatkan Jacob, tapi perasaan
bersalah yang kurasakan saat ini mau tak mau membuatku berpikir bahwa
jangan-jangan memang itulah yang kulakukan. Terlebih lagi, aku tidak pernah
berniat mencintai dia. Satu hal yang kuketahui benar—dan aku meyakininya dari lubuk
hatiku yang terdalam, dari pusat tulang-tulangku, dari puncak kepala hingga ujung
kaki, dari dalam dadaku yang hampa— cinta
memberi orang
kekuatan untuk menghancurkanmu. Aku hancur luluh dan tidak bisa diperbaiki lagi.
Tapi aku membutuhkan Jacob sekarang, membutuhkannya seperti obat. Aku sudah
terlalu lama memanfaatkannya sebagai kruk, dan aku terjerumus lebih dalam
daripada yang awalnya kurencanakan dengan orang lain.
Sekarang aku
tak tega menyakiti hatinya, tapi aku juga
tak bisa menahan diri untuk terus-menerus menyakitinya.
Ia mengira waktu dan kesabaran akan
mengubahku, dan, walaupun aku tahu ia salah
besar, tapi aku juga tahu aku akan membiarkannya
mencoba.
Ia sahabatku. Aku
akan selalu sayang padanya, tapi itu takkan pernah cukup. Aku masuk untuk
menunggu telepon dan menggigiti kuku.
"Filmnya
sudah selesai?" tanya Charlie kaget waktu aku berjalan masuk. Ia duduk di
lantai, tak sampai setengah meter dari TV. Pasti pertandingannya seru sekali.
"Mike
tiba-tiba sakit," aku menjelaskan.
"Semacam
flu perut.”
"Kau
tidak apa-apa?"
"Sekarang
sih aku baik-baik saja," jawabku ragu. Jelas, aku juga sudah tertular.
Aku bersandar
di konter dapur, tanganku hanya beberapa sentimeter dari telepon, berusaha menunggu
dengan sabar. Aku teringat mimik aneh di wajah Jacob sebelum pulang tadi, dan
jari-jariku mengetuk-ngetuk konter. Seharusnya aku tadi memaksanya supaya mau
diantar pulang. Kupandangi jam dinding sementara menit-menit berlalu. Sepuluh.
Lima belas. Bahkan kalau aku yang menyetir, hanya butuh waktu lima belas menit
untuk sampai ke sana, dan Jacob menyetir
mobilnya lebih
cepat daripada aku. Delapan belas menit. Kuangkat telepon dan kuhubungi nomornya.
Teleponku berdering
dan berdering. Mungkin Billy sudah tidur. Mungkin aku salah menekan nomor.
Kucoba lagi. Pada deringan kedelapan, saat aku sudah hampir menyerah, Billy
menjawab.
"Halo?"
tanyanya. Suaranya waswas, seperti mengharapkan kabar buruk.
"Billy,
ini aku, Bella—Jake sudah sampai di rumah belum? Dia berangkat dari sini dua
puluh menit yang lalu."
"Dia
sudah sampai," jawab Billy datar.
"Seharusnya
dia meneleponku." Aku agak kesal.
"Dia
merasa tidak enak badan waktu berangkat tadi, jadi aku khawatir."
"Dia. terlalu
sakit sehingga tidak bisa menelepon. Dia sedang kurang sehat sekarang.”
Nada suara
Billy seperti berjarak. Aku sadar ia pasti ingin menemani Jacob.
"Beritahu
aku bila butuh bantuan,” aku menawarkan. "Aku bisa datang ke sana."
Aku teringat pada Billy, terikat pada kursi rodanya, sementara Jake mengurus
dirinya sendiri.
"Tidak,
tidak," tolak Billy cepat-cepat. "Kami baik-baik saja. Kau di rumah
saja."
Caranya
mengatakan itu nyaris kasar.
“Oke
"jawabku.
"Bye,
Bella."
Well, paling tidak ia sudah sampai di
rumah. Anehnya, kekhawatiranku tak kunjung mereda. Aku menaiki tangga dengan
langkah-langkah berat,
cemas. Mungkin
aku bisa ke rumahnya besok sebelum bekerja, untuk mengecek keadaannya. Aku bisa
membawakan sup—kalau tidak salah
masih ada sekaleng
sup Campbells tersimpan di suatu tempat.
Aku sadar
semua rencana itu buyar ketika mendadak terjaga jauh lebih awal—jamku menunjukkan
pukul setengah lima pagi—dan bergegas ke kamar mandi. Charlie menemukanku di
sana setengah jam kemudian, terbaring di lantai, pipiku menempel di pinggir bak
mandi yang dingin.
Ia menatapku
lama sekali.
"Flu
perut," akhirnya ia berkata.
"Ya,"
erangku.
“Kau butuh
sesuatu?" tanyanya.
"Hubungi
keluarga Newton, please?”
pintaku dengan suara serak. "Katakan aku ketularan Mike, jadi tidak bisa
masuk hari ini. Sampaikan juga permintaan maafku."
"Tentu,
bukan masalah," Charlie meyakinkanku. Sepanjang sisa hari itu kuhabiskan
di lantai kamar mandi, tidur beberapa jam dengan kepala
dibaringkan di
atas handuk. Charlie mengatakan dirinya harus bekerja, tapi aku curiga itu hanya
alasan karena ia butuh akses ke kamar mandi. Ia meninggalkan segelas air di lantai
agar aku tidak dehidrasi.
Aku terbangun
waktu ia datang. Kulihat hari sudah gelap di kamarku—hari sudah malam. Charlie
menaiki tangga untuk mengecek kondisiku.
"Masih
hidup?"
"Begitulah,"
jawabku.
"Kau
menginginkan sesuatu?"
"Tidak,
trims."
Charlie
ragu-ragu sejenak, jelas bingung harus melakukan apa. "Oke, kalau
begitu," katanya, lalu turun lagi ke dapur. Kudengar telepon berdering
beberapa menit kemudian. Charlie berbicara dengan seseorang dengan suara pelan,
lalu menutup telepon.
"Mike
sudah sembuh," serunya padaku.
Well, pertanda bagus. Dia jatuh sakit
kurang lebih delapan jam sebelum aku. Jadi tinggal delapan jam lagi. Pikiran
itu membuat perutku mual, dan kuangkat tubuhku untuk membungkuk di atas toilet.
Aku ketiduran lagi
di atas handuk, tapi waktu terbangun aku sudah berbaring di tempat tidur dan di
luar jendela tampak terang. Aku tidak ingat pindah; Charlie pasti menggendongku
ke kamar—ia juga meninggalkan segelas air di atas nakas.
Tenggorokanku
kering kerontang. Kureguk habis isi
gelasku, meski rasanya aneh. Perlahan-lahan
aku bangkit, berusaha untuk tidak
memicu timbulnya rasa mual lagi. Aku lemah,
dan mulutku tidak enak, tapi perutku baikbaik saja.
Kulirik jam.
Dua puluh
empat jamku sudah berlalu. Aku tidak memaksakan diri, dan hanya makan biskuit
asin untuk sarapan. Charlie tampak lega melihatku pulih. Begitu yakin tidak
akan tergeletak lagi seharian di lantai kamar mandi, kutelepon Jacob.
Jacob sendiri
yang menjawab, tapi begitu mendengar suaranya, aku tahu ia belum sembuh.
"Halo?"
Suaranya serak, parau.
"Oh,
Jake," aku mengerang bersimpati.
"Suaramu
aneh."
"Aku
memang merasa aneh," bisiknya.
“Aku sangat
menyesal mengajakmu pergi denganku. Ini menyebalkan."
"Aku senang
kok pergi." Suaranya masih berbisik. "Jangan salahkan dirimu. Ini
bukan salahmu."
"Kau pasti
sembuh sebentar lagi," aku meyakinkannya. "Waktu aku bangun tadi
pagi, ternyata aku sudah sembuh."
"Memangnya
kau sakit?" tanyanya datar.
"Ya, aku
juga ketularan. Tapi sekarang aku sudah sembuh."
"Baguslah,"
Suaranya hampa.
"Jadi kau
pasti juga akan sembuh dalam beberapa jam," aku menyemangatinya. Aku
nyaris tidak mendengar jawabannya.
"Kurasa
sakitku tidak sama denganmu."
"Kau
bukannya flu perut?" tanyaku, bingung.
"Bukan.
Ini lain."
“Apa yang
terasa tidak enak?"
"Semuanya,"
bisik Jacob. "Sekujur tubuhku sakit."
Kesakitan di
suaranya nyaris nyata.
"Apa yang
bisa kubantu, Jake? Aku bisa membawakan apa untukmu?"
"Tidak
ada. Kau tidak bisa datang ke sini."
Sikapnya
kasar. Aku jadi teringat sikap Billy tempo hari.
"Aku kan
sudah terekspos dengan penyakit apa pun yang merongrongmu saat ini," aku mengingatkan.
Jacob
mengabaikan perkataanku. "Aku akan meneleponmu kalau bisa. Aku akan
memberi tahu kapan kau bisa datang lagi."
"Jacob—"
"Aku
harus pergi," katanya, mendadak buruburu.
"Telepon
aku kalau kau sudah merasa lebih sehat."
"Baiklah,"
sahutnya, tapi suaranya terdengar pahit dan aneh.
Ia terdiam
beberapa saat. Aku menunggunya mengucapkan selamat berpisah, tapi ia juga menunggu.
"Sampai
ketemu lagi," kataku akhirnya.
"Tunggu
sampai aku menelepon," katanya lagi.
"Oke.
Bye, Jacob."
"Bella,"
ia membisikkan namaku, kemudian menutup telepon.
0 komentar:
Post a Comment