Sumpah [Qasam]
SUMPAH (QASAM)
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Ulumul
Qur’an
Dosen Pengampu : Yuyun Affandi, Dr., Hj., Lc., M.A.
Disusun Oleh :
Nana
Lutfiana (131311110)
Miftah Mursyidah (131311111)
Fikri Risma Dayanti (131311112)
Naili Mufrodah (131311113)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
MANAJEMEN
DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2014
I. PENDAHALUAN
1.
Latar Belakang
Sumpah (qasam) menurut pengertian syara’ yaitu
mentahkihkan atau menguatkan sesuatu
dengan menyebut nama Allah Swt. Adapun sumpah dengan menyabut selain dari pada
nama Allah atau sifat–sifat_Nya, seperti sumpah dengan makhluk tidak sah. Disamping itu qasam (sumpah) dalam pembicaraan
merupakan salah satu pengukuhan kalimat yang diselingi dengan bukti konkrit dan
dapat menyeret lawan untuk mengakui apa yang diingkarinya.
Dan hal inilah
merupakan salah satu cara yang ampuh untuk menyadarkan mereka.Sebagaimana di ketahui
bahwa sudah menjadi kebiasaan manusia dalam semua masa atau waktu jika
berbicara, berjanji dan bersemboyang, maka mereka selalu ingin memperkuatnya
dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan sumpah. Dengan sumpah,
pendengar akan yakin dan mantap dalam menerima dan mempercayai ucapan yang didengarnya.
Sebab pembicaraan yang diperkuat dengan itu, berarti sudah dipersaksikan di
hadapan Tuhan.[1]
2. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dari
qasam?
2.
Apa saja unsur-unsur dari qasam?
3.
Apa faedah
atau manfaat qasam dalam al-Qur’an ?
4.
Apa saja macam-macam
dari qasam ?
II.
PEMBAHASAN
A.
QASAM
DALAM QUR’AN
1.
Pengertian
Qasam
Istilah aqsamal-Qur’an terdiri atas
dua kata, yakni aqsam dan al-Qur’an, kata aqsam adalah bentuk jamak dari qasam, yang berati
“sumpah”.Secara etimologi aqsam merupakan lafal jamak dari kata qasam
(القسم)
yang berarti العطاع/القدر:
belanga, اليمين(sumpah),
الخلق/العادة (kebiasaan).
Sedang qasam (القسم) ini akar kata
dari fiil madhiقسم yang mempunyai
arti جزاء:
membagi, قدر:
menentukan, حلف:
sumpah.
Dalam buku Mabahis fi Ulum al-Qur’an juga dikemukakan
bahwa aqsam yang bentuk jamak dari qasam ini juga berarti al-hilf
dan al-yamin artinya sumpah.[2]Sedangkan
secara istilah aqasam dapat diartikan sebagai ungkapan yang dipakai guna
memberikan penegasan atau pengukuhan suatu pesan dengan menggunakan kata-kata
qasam. Selain pengertian tersebut, qasam dapat pula diartikan dengan gaya
bahasa al-Qur’an menegaskan atau mengukuhkan suatu pesan atau pernyataan
menyebut nama Allah atau ciptaan-Nya sebagai muqsam bih. Dalam al-Qur’an,
ungkapan untuk memaparkan qasam adakalanya dengan memakai kata aqasam, dan
kadang-kadang dengan menggunakan kata halafa.[3]
Karena qasam sering digunakan dalam
percakapan jadi ia diringkas, yaitu fi’il qasam dihilangkan dan dicukupkan
dengan “ba”. Kemudian “ba” pun diganti dengan “wawu” pada isim zahir, seperti :
(demi malam, bila menutupi {cahaya siang})
(al-lail:1), dan diganti dengan “ta” pada lafadz jalalah, misalnya : (Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan
tipu daya terhadap berhala-berhalamu.) (al-Anbiya’:57). Namun qasam “:ta”
ini jarang dipergunakan, sedang yang banyak ialah dengan “wawu”.
Qasam
dan yamin adalah dua kata sinonim,
mempunyai makna yang sama. Qasam didefinisikan sebagai “mengikat jiwa (hati)
agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan “suatu makna” yang
dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara I’tiqadi, oleh orang
yang bersumpah itu.”Bersumpah dinamakan juga dengan yamin (tangan kanan), karena orang Arab ketika sedang bersumpah
memegang tangan kanan sahabatnya.[4]
Para ulama berbeda pendapat tentang
hukum bersumpah, Imam Malik berpendapat bahwa hukum asal sumpah adalah ‘jaiz‘(boleh).
Hukumnya bisa menjadi sunnah apabila dimaksudkan untuk menekankan suatu masalah
keagamaan atau untuk mendorong orang melakukan sesuatu yang diperintahkan
agama, atau melarang orang berbuat sesuatu yang diperintahkan agama, atau
melarang orang berbuat sesuatu yang dilarang agama Jika sumpah hukumnya mubah,
maka melanggarnya pun mubah, tetapi harus membayar kafarat (denda), kecuali
jika pelanggaran sumpah itu lebih baik.
Imam Hambali berpendapat bahwa hukum
bersumpah itu tergantung kepada keadaannya. Bisa wajib, haram, makruh, sunnah
ataupun mubah. Jika yang disumpahkan itu menyangkut masalah yang wajib
dilakukan, maka hukum bersumpahnya adalah wajib. Sebaliknya jika bersumpah
untuk hal-hal yang diharamkan, maka hukum bersumpahnya juga sunnah dan
seterusnya.
Imam Syafi’i berpendapat hukum asal
sumpah adalah makruh. Tetapi bisa saja hukum bersumpah menjadi sunnah, wajib,
haram, atau mubah. Tergantung pada keadaaanya.
Menurut
Imam Hanafi asal hukum bersumpah adalah ‘jaiz‘, tetapi lebih baik tidak
terlalu banyak melakukan sumpah. Jika seseorang bersumpah akan melakukan
maksiat, wajib ia melanggar sumpahnya. Jika seseorang bersumpah akan
meninggalkan maksiat maka ia wajib melakukan sesuai dengan sumpahnya.[5]
Menurut Mazhab Hanafi sumpah itu ada tiga macam, yaitu :
Ø Al-Yaminul
Laghwi dan Status Hukumnya
Al-Yaminul
Laghwi ialah ungkapan sumpah yang tidak dimaksudkan sebagai sumpah, sekedar
pemanis kalimat. Misalnya, orang Arab biasa mengatakan, “WALLAHI LATA’KULANNA”
artinya “Demi Allah kamu benar-benar harus makan”, atau ‘WALLAHI LATASYRABANNA’
artinya “Demi Allah kamu benar-benar mesti minum”, dan semisalnya yang tidak
dimaksudkan untuk bersumpah. Sumpah seperti ini tidak teranggap dan tidak
mempunyai akibat hukum, sehingga si pengucap sumpah ini tidak terbebani hukum apa-apa.
Allah berfirman yang artinya:
“Allah
tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk
bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang disengaja
(untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
Ø Al-Yaminul
Ghamus dan Status Hukumnya
Al-yaminul
ghamus ialah sumpah palsu yang dimaksudkan hendak merampas hak-hak orang lain,
atau ditujukan untuk berbuat fasik dan khianat. Disebut demikian karena sumpah
ini mencelupkan pelakunya ke dalam perbuatan dosa kemudian ke dalam
neraka.Sumpah palsu ini termasuk dosa besar yang paling besar dan tidak bisa
ditebus dengan membayar kafarah.[6]
karena Allah swt menegaskan:
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang
kamu sengaja.”
(QS al-Maa-idah: 89).
Yamin
(sumpah) ini tidak sah, karena yamin yang sah bisa ditebus dengan
kafarah.Sumpah ini tidak mendatangkan kebaikan sedikitpun.
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu jadikan
sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir
kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena
kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu adzab yang besar.” (QS an-Nahl: 94).
Ø Al-Yaminul
Mun’aqidah (Sumpah yang Sah) dan Status Hukumnya
Al-yaminul
mun’aqidah ialah sumpah yang disengaja dan hendak dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh sebagai penguat untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu.
Jika yang bersangkutan melaksanakan sumpahnya dengan baik, maka ia tidak
terkena sanksi apa-apa; namun manakala ia melanggarnya, maka ia harus menebus
dengan membayar kafarah.[7]
Ini didasarkan pada firman Allah swt:
“Tetapi
Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah)
oleh hatimu.”
(QS al-Baqarah: 225).
“Tetapi
Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89)
2.
Unsur-Unsur
Qasam
Qasam
terbagi menjadi tiga unsure yaitu :
a. Adat
Qasam
Adalah sighat
yang digunakan untuk mnunjukkan qasam, baik dalam bentuk fi’il maupun huruf
seperti ba, ta, dan wawu sebagai pengganti fi’il qasam.[8]
b. Al-
Muqasam Bih
Adalah sesuatu
yang dijadikan sumpah oleh Allah. Sumpah dalam al qur’an ada kalanya dengan
memakai nama yang Agung (Allah), dan ada kalanya dengan menggunakan nama-nama
ciptaan-Nya.
c. Al-Muqasam
‘alaih/ jawab qasam.
Adalah suatu
pernyataan yang datang mengiringi qasam, berfungsi sebagai jawaban dari
qasam.Dalam al-Qur’an terdapat dua hmuqsam ‘alaih, yaitu yang disebutkan secara
tegas atau dibuang.[9]
3.
Macam-Macam
Qasam
Qasam mempunyai
dua macam yaitu sebagai berikut :
a. Zahir
(Jelas, Tegas)
Zahir adalah
sumpah yang didalamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya
ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena
dicukupkan dengan huruf jar berupa “ba”, “wawu” dan “ta”.
Di beberapa
tempat, fi’il qasam terkadang didahului (dimasuki) “LA” nafy, seperti :
(Tidak, Aku bersumpah dengan hari kiamat.Dan tidak,
Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).)
(al-Qiyamah:1-2)
b. Mudmar
Yaitu yang
didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia
ditunjukkan oleh “lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam, seperti pada
surat Ali Imron : 186.[10]
Kamu
sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu
sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu
dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang
menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang
demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.(QS: Ali Imran Ayat: 186)
4.
Tujuan
Qasam Dalam Al-Quran
Menurut
Manna al-Qhaththan, tujuan qasam dalam al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
1) Untuk
mengukuhkan dan mewujudkan muqsam’alaih. Karena itu, muksam’laih berupa sesuatu
yang layak untuk dijadikan sumpah, seperti hal-hal yang tersembunyi, jika qasam
itu dimasudkan untuk menetapkan kebenaran.
2) Menjelaskan
tauhid atau untuk menegaskan kebenaran al-Qur’an.
3) Menjelaskan
ancaman dan peringatan.
5.
Faedah
Aqasam dalam Al-Qur’an
Qasam
merupakan salah satu penguat perkataan yang mashyur untuk memantapkan dan
memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa.Qur’an al-Karim diturunkan untuk
seluruh manusiaa, dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya.Di
antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat
memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan
keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar dan
menetapkan hokum dengan cara paling sempurna.
Qasam
dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk mengikat jiwa (hati ) agar tidak
melakukan sesuatu, dengan ‘suatu makna’ yang dipandang besar , agung, baik
secara hakiki maupun secara I’tiqadi oleh orang yang bersumpah ( Al Khattan,
2001: 414 ). Realitas ini telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum Nabi
Muhammad menyampaikan risalahnya dan menjadi adat kebiasaan secara turun
temurun. Dalam prakteknya, mereka sering menggunakan kata Allah, meskipun
mereka dikenal dengan penyembah berhala ( paganism ). Hal ini telah disinyalir
oleh al-Qur’an dalam surat Al-Fathiir ayat 42 sebagai berikut:
Artinya :”dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan
sekuat-kuat sumpah; Sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan,
niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang
lain). tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, Maka kedatangannya itu
tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari (kebenaran).”
Kebiasaan-kebiasaan
qasam yang dilakukan oleh bangsa Arab ini tidak ditolak oleh Islam, tetapi
justru dijadikan sarana untuk mengkomusikasikan Al-Qur’an kepada mereka. Hal
ini terjadi mengingat Al-Qur’an diturunkan pada masyarakat arab yang
menggunakan bahasa Arab ( Hamzah, 2003: 207 ).
Seiring
dengan perkembangan zaman, qasam digunakan dalam berbagai hal, seperti sumpah
di pengadilan, sumpah jabatan, sumpah organisasi dan lain sebagainya.Melihat
reaitas ini, para alim merumuskan ketentuan qasam berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadits. Nasruddin Baidan ( 1998: 16 ) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaanya,
sumpah harus memenuhi 4 rukun, yaitu: muqsim(pelaku sumpah),muqsam bih
(sesuatu yang dipakai sumpah), adat qasam (alat untuk bersumpah), dan
muqsam “alaih ( jawab sumpah). Sedangkan Al Khattan menyebutkan 3 unsur
qasam, yaitu fi’il yang Ditransitifkan dengan “ba”, muqsam bih dan muqsam alaih
( Al Khattan, 2001: 414 ).
Mengingat
qasam merupakan sesuatu yang sakral, maka para alim menggali aturan hukum yang
dapat menempatkan sumpah ke dalam posisi yang tetap sakral, yaitu dengan
menetapkan konsekuensi yang harus diterima oleh orang yang melakukan sumpah
dusta atau melanggar sumpah. Konsekuensi yang dimaksud adalah membayar kafarah
sumpah sebagai berikut : Memerdekakan seorang budak, memberi makan sepuluh
orang miskin, dan memberi pakain kepada sepuluh orang miskin ( Ibrahim, 1992:
270 ). [11]
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qasam
secara etimologi adalah sumpah, secara terminologi
adalah mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan
suatu makna yang dipandang besar, baik secara hakiki maupun secara i’tiqadi,
oleh orang yang bersumpah itu. Qasam terbagi menjadi
tiga unsure yaitu :Adat Qasam, Al- Muqasam Bih, Al-Muqasam
‘alaih/ jawab qasam.Qasam mempunyai dua
macam yaitu : Zahir (Jelas, Tegas) dan Mudmar.
Faedah aqsam dalam al-Qur’an ialah : Menghilangkan keraguan,
melenyapkan kesalahpahaman,
menegakkan hujjah, menguatkan khabar, dan menetapkan hukum dengan cara yang paling sempurna.
B. Saran
Demikian makalah yang bisa penulis paparkan, semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca, dan semoga dapat menjadi bahan
bacaan dalam menambah pengetahuan / wawasan. Demi kesempurnaan
makalah ini kritik
dan saran, penulis
harapkan dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin,
Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar 1998).
Didin, Syaefuddin Buchari. Pedoman
Memahami Kandungan Al-Quran, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005).
Manna’ Khalil Al Qattan. Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013).
Qardhawi,
Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer.Terj.As’ad Yasin. (Jakarta: Gema Insani
Press 1995).
http://windasarivie.blogspot.com/2013/03/makalah-qasam-dalam-al-quran.html
30/04/2014,
Diakses pada 07-06-14.
[3] Didin Syaefuddin
Buchari, Pedoman Memahami Kandungan
Al-Quran, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005). Hlm. 173-174.
[4] Manna’ Khalil Al
Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), hlm. 414
[5]Yahya Ismail, Hubungan Penguasa
dan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, (terj. Andi Suharman), (Jakarta: Gema
Insani, 1995), hlm. 154.
[6]Syeik Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin, Majelis Dalam
Ramadhan,(terj. Adni Kurniawan), (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2007),
hlm. 384.
[7]‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih
Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, (terj. Ma’ruf Abdul
Jalil), (Pustaka As-Sunnah), hlm. 742 – 745.
[8].Didin Syaefuddin
Buchari, Pedoman Memahami Kandungan
Al-Quran, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005). Hlm. 176.
[9]Didin Syaefuddin Buchari,
Pedoman Memahami Kandungan Al-Quran,
(Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005). Hlm. 180
[10] Manna’ Khalil Al
Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013)hlm. 417-418.
[11]Nashruddin, Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Qardhawi1998),
Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer. Terj.As’ad Yasin.(Jakarta: Gema Insani
Press1995)
0 komentar:
Post a Comment