October 23, 2014

Sumpah [Qasam]

SUMPAH (QASAM)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Yuyun Affandi, Dr., Hj., Lc., M.A.



Disusun Oleh :

Nana Lutfiana              (131311110)
Miftah Mursyidah        (131311111)
Fikri Risma Dayanti     (131311112)
Naili Mufrodah            (131311113)



FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
MANAJEMEN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG

2014

I.      PENDAHALUAN
1.      Latar Belakang
Sumpah (qasam) menurut pengertian syara’ yaitu mentahkihkan atau menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah Swt. Adapun sumpah dengan menyabut selain dari pada nama Allah atau sifat–sifat_Nya, seperti sumpah dengan makhluk tidak sah. Disamping itu qasam (sumpah) dalam pembicaraan merupakan salah satu pengukuhan kalimat yang diselingi dengan bukti konkrit dan dapat menyeret lawan untuk mengakui apa yang diingkarinya.
Dan hal inilah merupakan salah satu cara yang ampuh untuk menyadarkan mereka.Sebagaimana di ketahui  bahwa sudah menjadi kebiasaan manusia dalam semua masa atau waktu jika berbicara, berjanji dan bersemboyang, maka mereka selalu ingin memperkuatnya dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan sumpah. Dengan sumpah, pendengar akan yakin dan mantap dalam menerima dan mempercayai ucapan yang didengarnya. Sebab pembicaraan yang diperkuat dengan itu, berarti sudah dipersaksikan di hadapan Tuhan.[1]
2.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari qasam?
2.      Apa saja unsur-unsur dari qasam?
3.      Apa faedah atau manfaat qasam dalam al-Quran ?
4.      Apa saja macam-macam dari qasam ?

II.  PEMBAHASAN
              A.    QASAM DALAM QUR’AN
1.    Pengertian Qasam
Istilah aqsamal-Quran terdiri atas dua kata, yakni aqsam dan al-Quran, kata aqsam adalah bentuk jamak dari qasam, yang berati “sumpah”.Secara etimologi aqsam merupakan lafal jamak dari kata qasam (القسم) yang berarti  العطاع/القدر: belanga,  اليمين(sumpah),  الخلق/العادة  (kebiasaan). Sedang qasam (القسم) ini akar kata dari fiil madhiقسم yang mempunyai arti جزاء: membagi, قدر: menentukan,  حلف: sumpah.
Dalam buku Mabahis fi Ulum al-Quran juga dikemukakan bahwa aqsam yang bentuk jamak dari qasam ini juga berarti al-hilf dan al-yamin artinya sumpah.[2]Sedangkan secara istilah aqasam dapat diartikan sebagai ungkapan yang dipakai guna memberikan penegasan atau pengukuhan suatu pesan dengan menggunakan kata-kata qasam. Selain pengertian tersebut, qasam dapat pula diartikan dengan gaya bahasa al-Qur’an menegaskan atau mengukuhkan suatu pesan atau pernyataan menyebut nama Allah atau ciptaan-Nya sebagai muqsam bih. Dalam al-Qur’an, ungkapan untuk memaparkan qasam adakalanya dengan memakai kata aqasam, dan kadang-kadang dengan menggunakan kata halafa.[3]
Karena qasam sering digunakan dalam percakapan jadi ia diringkas, yaitu fi’il qasam dihilangkan dan dicukupkan dengan “ba”. Kemudian “ba” pun diganti dengan “wawu” pada isim zahir, seperti :                     
(demi malam, bila menutupi {cahaya siang}) (al-lail:1), dan diganti dengan “ta” pada lafadz jalalah, misalnya : (Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu.) (al-Anbiya’:57). Namun qasam “:ta” ini jarang dipergunakan, sedang yang banyak ialah dengan “wawu”.
Qasam dan yamin adalah dua kata sinonim, mempunyai makna yang sama. Qasam didefinisikan sebagai “mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan “suatu makna” yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara I’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu.”Bersumpah dinamakan juga dengan yamin (tangan kanan), karena orang Arab ketika sedang bersumpah memegang tangan kanan sahabatnya.[4]
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum bersumpah, Imam Malik berpendapat bahwa hukum asal sumpah adalah ‘jaiz‘(boleh). Hukumnya bisa menjadi sunnah apabila dimaksudkan untuk menekankan suatu masalah keagamaan atau untuk mendorong orang melakukan sesuatu yang diperintahkan agama, atau melarang orang berbuat sesuatu yang diperintahkan agama, atau melarang orang berbuat sesuatu yang dilarang agama Jika sumpah hukumnya mubah, maka melanggarnya pun mubah, tetapi harus membayar kafarat (denda), kecuali jika pelanggaran sumpah itu lebih baik.
Imam Hambali berpendapat bahwa hukum bersumpah itu tergantung kepada keadaannya. Bisa wajib, haram, makruh, sunnah ataupun mubah. Jika yang disumpahkan itu menyangkut masalah yang wajib dilakukan, maka hukum bersumpahnya adalah wajib. Sebaliknya jika bersumpah untuk hal-hal yang diharamkan, maka hukum bersumpahnya juga sunnah dan seterusnya.
Imam Syafi’i berpendapat hukum asal sumpah adalah makruh. Tetapi bisa saja hukum bersumpah menjadi sunnah, wajib, haram, atau mubah. Tergantung pada keadaaanya.
Menurut Imam Hanafi asal hukum bersumpah adalah ‘jaiz‘, tetapi lebih baik tidak terlalu banyak melakukan sumpah. Jika seseorang bersumpah akan melakukan maksiat, wajib ia melanggar sumpahnya. Jika seseorang bersumpah akan meninggalkan maksiat maka ia wajib melakukan sesuai dengan sumpahnya.[5] Menurut Mazhab Hanafi sumpah itu ada tiga macam, yaitu :
Ø  Al-Yaminul Laghwi dan Status Hukumnya
Al-Yaminul Laghwi ialah ungkapan sumpah yang tidak dimaksudkan sebagai sumpah, sekedar pemanis kalimat. Misalnya, orang Arab biasa mengatakan, “WALLAHI LATA’KULANNA” artinya “Demi Allah kamu benar-benar harus makan”, atau ‘WALLAHI LATASYRABANNA’ artinya “Demi Allah kamu benar-benar mesti minum”, dan semisalnya yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah. Sumpah seperti ini tidak teranggap dan tidak mempunyai akibat hukum, sehingga si pengucap sumpah ini tidak terbebani hukum apa-apa.
Allah berfirman yang artinya:
“Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
Ø  Al-Yaminul Ghamus dan Status Hukumnya
Al-yaminul ghamus ialah sumpah palsu yang dimaksudkan hendak merampas hak-hak orang lain, atau ditujukan untuk berbuat fasik dan khianat. Disebut demikian karena sumpah ini mencelupkan pelakunya ke dalam perbuatan dosa kemudian ke dalam neraka.Sumpah palsu ini termasuk dosa besar yang paling besar dan tidak bisa ditebus dengan membayar kafarah.[6]
karena Allah swt menegaskan:
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).
Yamin (sumpah) ini tidak sah, karena yamin yang sah bisa ditebus dengan kafarah.Sumpah ini tidak mendatangkan kebaikan sedikitpun.
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu adzab yang besar.” (QS an-Nahl: 94).
Ø  Al-Yaminul Mun’aqidah (Sumpah yang Sah) dan Status Hukumnya
Al-yaminul mun’aqidah ialah sumpah yang disengaja dan hendak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sebagai penguat untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu. Jika yang bersangkutan melaksanakan sumpahnya dengan baik, maka ia tidak terkena sanksi apa-apa; namun manakala ia melanggarnya, maka ia harus menebus dengan membayar kafarah.[7] Ini didasarkan pada firman Allah swt:
“Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89)
2.      Unsur-Unsur Qasam
             Qasam terbagi menjadi tiga unsure yaitu :
a.       Adat Qasam
Adalah sighat yang digunakan untuk mnunjukkan qasam, baik dalam bentuk fi’il maupun huruf seperti ba, ta, dan wawu sebagai pengganti fi’il qasam.[8]
b.      Al- Muqasam Bih
Adalah sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah. Sumpah dalam al qur’an ada kalanya dengan memakai nama yang Agung (Allah), dan ada kalanya dengan menggunakan nama-nama ciptaan-Nya.
c.       Al-Muqasam ‘alaih/ jawab qasam.
Adalah suatu pernyataan yang datang mengiringi qasam, berfungsi sebagai jawaban dari qasam.Dalam al-Qur’an terdapat dua hmuqsam ‘alaih, yaitu yang disebutkan secara tegas atau dibuang.[9]
3.      Macam-Macam Qasam
Qasam mempunyai dua  macam yaitu sebagai berikut :
a.       Zahir (Jelas, Tegas)
Zahir adalah sumpah yang didalamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar berupa “ba”, “wawu” dan “ta”.
Di beberapa tempat, fi’il qasam terkadang didahului (dimasuki) “LA” nafy, seperti :
(Tidak, Aku bersumpah dengan hari kiamat.Dan tidak, Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).) (al-Qiyamah:1-2)
b.      Mudmar
Yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh “lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam, seperti pada surat Ali Imron : 186.[10]
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.(QS: Ali Imran Ayat: 186)
4.      Tujuan Qasam Dalam Al-Quran
Menurut Manna al-Qhaththan, tujuan qasam dalam al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
1)   Untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam’alaih. Karena itu, muksam’laih berupa sesuatu yang layak untuk dijadikan sumpah, seperti hal-hal yang tersembunyi, jika qasam itu dimasudkan untuk menetapkan kebenaran.
2)   Menjelaskan tauhid atau untuk menegaskan kebenaran al-Qur’an.
3)   Menjelaskan ancaman dan peringatan.

5.      Faedah Aqasam dalam Al-Qur’an
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang mashyur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa.Qur’an al-Karim diturunkan untuk seluruh manusiaa, dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya.Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar dan menetapkan hokum dengan cara paling sempurna.
Qasam dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk mengikat jiwa (hati ) agar tidak melakukan sesuatu, dengan ‘suatu makna’ yang dipandang besar , agung, baik secara hakiki maupun secara I’tiqadi oleh orang yang bersumpah ( Al Khattan, 2001: 414 ). Realitas ini telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad menyampaikan risalahnya dan menjadi adat kebiasaan secara turun temurun. Dalam prakteknya, mereka sering menggunakan kata Allah, meskipun mereka dikenal dengan penyembah berhala ( paganism ). Hal ini telah disinyalir oleh al-Qur’an dalam surat Al-Fathiir ayat 42 sebagai berikut:
Artinya :”dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah; Sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, Maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari (kebenaran).”
Kebiasaan-kebiasaan qasam yang dilakukan oleh bangsa Arab ini tidak ditolak oleh Islam, tetapi justru dijadikan sarana untuk mengkomusikasikan Al-Qur’an kepada mereka. Hal ini terjadi mengingat Al-Qur’an diturunkan pada masyarakat arab yang menggunakan bahasa Arab ( Hamzah, 2003: 207 ).
Seiring dengan perkembangan zaman, qasam digunakan dalam berbagai hal, seperti sumpah di pengadilan, sumpah jabatan, sumpah organisasi dan lain sebagainya.Melihat reaitas ini, para alim merumuskan ketentuan qasam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Nasruddin Baidan ( 1998: 16 ) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaanya, sumpah harus memenuhi 4 rukun, yaitu: muqsim(pelaku sumpah),muqsam bih (sesuatu yang dipakai sumpah), adat qasam (alat untuk bersumpah), dan muqsam “alaih ( jawab sumpah). Sedangkan Al Khattan menyebutkan 3 unsur qasam, yaitu fi’il yang Ditransitifkan dengan “ba”, muqsam bih dan muqsam alaih ( Al Khattan, 2001: 414 ).
Mengingat qasam merupakan sesuatu yang sakral, maka para alim menggali aturan hukum yang dapat menempatkan sumpah ke dalam posisi yang tetap sakral, yaitu dengan menetapkan konsekuensi yang harus diterima oleh orang yang melakukan sumpah dusta atau melanggar sumpah. Konsekuensi yang dimaksud adalah membayar kafarah sumpah sebagai berikut : Memerdekakan seorang budak, memberi makan sepuluh orang miskin, dan memberi pakain kepada sepuluh orang miskin ( Ibrahim, 1992: 270 ). [11]

 III.    PENUTUP
A.    Kesimpulan
Qasam secara etimologi adalah sumpah, secara terminologi adalah mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan suatu makna yang dipandang besar, baik secara hakiki maupun secara i’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu. Qasam terbagi menjadi tiga unsure yaitu :Adat Qasam, Al- Muqasam Bih, Al-Muqasam ‘alaih/ jawab qasam.Qasam mempunyai dua  macam yaitu : Zahir (Jelas, Tegas) dan Mudmar.
Faedah aqsam dalam al-Qur’an ialah : Menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar, dan menetapkan hukum dengan cara yang paling sempurna.
B.     Saran
Demikian makalah yang bisa penulis paparkan, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca, dan semoga dapat menjadi bahan bacaan dalam menambah pengetahuan / wawasan. Demi kesempurnaan makalah ini kritik dan saran, penulis harapkan dari pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  1998).
Didin, Syaefuddin Buchari. Pedoman Memahami Kandungan Al-Quran, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005).
Manna’ Khalil Al Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013).
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer.Terj.As’ad Yasin. (Jakarta: Gema Insani Press 1995).





[3] Didin Syaefuddin Buchari, Pedoman Memahami Kandungan Al-Quran, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005). Hlm. 173-174.
[4] Manna’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), hlm. 414
[5]Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, (terj. Andi Suharman), (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 154.

[6]Syeik Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin, Majelis Dalam Ramadhan,(terj. Adni Kurniawan), (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2007), hlm. 384.
[7]‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, (terj. Ma’ruf Abdul Jalil), (Pustaka As-Sunnah), hlm. 742 – 745.
[8].Didin Syaefuddin Buchari, Pedoman Memahami Kandungan Al-Quran, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005). Hlm. 176.
[9]Didin Syaefuddin Buchari, Pedoman Memahami Kandungan Al-Quran, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005). Hlm. 180
[10] Manna’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013)hlm. 417-418.
[11]Nashruddin, Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Qardhawi1998), Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer. Terj.As’ad Yasin.(Jakarta: Gema Insani Press1995)

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates