Baca Online New Moon part 14
14.
KELUARGA
AKU mengkeret
di samping Jacob, mataku menyapu hutan, mencari werewolf lain. Ketika mereka
muncul, melangkah keluar dari sela-sela
pepohonan, penampilan
mereka tak seperti yang kuharapkan. Sejak tadi, yang ada dalam pikiranku hanyalah
bayangan para serigala. Tapi yang kulihat ini adalah empat cowok setengah
telanjang bertubuh sangat besar. Sekali lagi, mereka mengingatkanku pada kakak-beradik,
kembar empat. Dari cara mereka berjalan yang nyaris sinkron satu sama lain, berdiri
di seberang jalan di depan kami, bagaimana mereka semua memiliki otot-otot yang
panjang dan liat di bawah kulit yang sama-sama cokelat kemerahan, rambut hitam
mereka sama-sama
dipangkas pendek,
serta bagaimana ekspresi mereka mendadak berubah pada saat yang tepat sama.
Awalnya mereka
datang dengan sikap ingin tahu dan hati-hati. Tapi begitu melihatku di sana, separo
tersembunyi di samping Jacob, amarah
mereka
langsung meledak pada detik yang sama.
Sam masih yang
paling besar, walaupun Jacob sebentar lagi bakal menyainginya. Sam sudah tidak bisa
lagi disebut remaja. Wajahnya sudah lebih tua – bukan berarti sudah keriput
atau ada tandatanda
penuaan, tapi
dalam hal kematangan, serta ekspresi sabarnya.
“Apa yang
kaulakukan, Jacob?” tuntutnya.
Salah seorang
di antara mereka, yang tidak kukenal—Jared atau Paul—merangsek melewati Sam dan
langsung menyemprot Jacob sebelum ia
bisa membela
diri.
"Mengapa
kau tidak bisa mengikuti aturan, Jacob?" teriaknya, mengangkat kedua
tangannya ke udara. "Apa sih yang kaupikirkan? Apakah dia lebih penting
daripada segalanya—daripada seluruh suku? Daripada orang-orang yang bakal terbunuh?”
"Dia bisa
membantu," jawab Jacob pelan.
"Membantu!"
teriak cowok yang marah itu.
Kedua
lengannya mulai gemetar. "Oh, mana mungkin! Aku yakin si pencinta lintah
itu setengah mati ingin membantu kita!"
“Jangan bicara
tentang dia seperti itu!" Jacob balas berteriak, tersinggung mendengar
sindiran itu. Sekujur tubuh cowok itu bergetar hebat, mulai dari bahu hingga ke
punggung.
"Paul!
Tenang!" Sam memerintahkan.
Paul menggerakkan
kepala ke belakang dan ke depan, bukan membantah, tapi seolah-olah seperti berusaha
berkonsentrasi.
“Ya ampun,
Paul," gerutu salah seorang di antara mereka— mungkin Jared.
"Kendalikan dirimu."
Paul memuntir
kepalanya ke arah Jared, bibirnya menekuk ke belakang dengan sikap kesal. Lalu
ia beralih menatapku garang. Jacob maju
selangkah
untuk menamengiku. Tindakannya itu justru membuat amarah Paul semakin
menjadi-jadi.
"Betul
sekali, lindungi dia!" raung Paul marah. Tubuhnya kembali bergetar,
berguncang hebat, dan kepala sampai kaki Ia mengedikkan kepalanya, geraman
terlontar dari sela-sela giginya.
"Paul!"
Sam dan Jacob berteriak berbarengan.
Paul seperti
terjungkal ke depan, tubuhnya bergetar dahsyat. Sebelum tubuhnya mencium tanah,
terdengar suara robekan keras, dan tubuh
cowok itu
meledak. Bulu-bulu perak gelap menyembur keluar dari
tubuhnya, mengubahnya
menjadi makhluk yang lima kali lebih besar
daripada ukuran sebenarnya—makhluk itu sangat besar dan berdiri
dengan sikap
membungkuk, siap menerkam.
Moncong serigala
itu tertarik ke belakang, menampakkan gigi-giginya, dan sebuah geraman lagi
menggemuruh dari dadanya yang besar. Bola
matanya yang
gelap dan berapi-api terpaku padaku.
Detik itu juga
Jacob berlari menyeberang jalan, langsung menghampiri monster itu.
"Jacob!" jeritku.
Setengah jalan,
sekujur tubuh Jacob bergetar hebat. Ia melompat maju, menerjang dalam posisi kepala
lebih dulu ke udara yang kosong.
Diiringi suara
robekan nyaring, Jacob juga meledak. Ia meledak keluar dari
kulitnya—cabikancabikan kain hitam dan Putih terpental ke udara.
Kejadiannya
begitu cepat hingga seandainya aku berkedip, seluruh proses transformasi itu
pasti akan luput dari penglihatanku. Sedetik
sebelumnya
Jacob melompat tinggi ke udara, derik berikutnya ia sudah berubah menjadi
serigala cokelat kemerahan—sangat besar hingga rasanya tak masuk akal bagiku
bagaimana makhluk sebesar itu bisa berada di dalam diri Jacob— menerkam monster
berbulu perak yang merunduk.
Jacob
membungkam serangan si werewolf dengan
langsung menerkam kepalanya. Geramangeraman marah bergema seperti halilintar
memantul di
pepohonan. Cabikan-cabikan kain hitam dan putih—sisasisa pakaian Jacob jatuh ke
tanah tempat ia menghilang tadi.
“Jacob!"
jeritku lagi, terhuyung-huyung maju.
"Tetaplah
di tempatmu, Bella," Sammemerintahkan. Sulit mendengar suaranya di antara
raungan dua serigala yang sedang bertarung. Keduanya saling menggigit dan merobek,
gigi mereka yang tajam saling mengarah ke tenggorokkan masing-masing. Serigala
Jacob tampaknya berada di atas angin—tubuhnya jelas lebih besar daripada
serigala yang lain, dan kelihatannya juga lebih kuat. Ia memukulkan bahunya
berkali-kali ke tubuh si serigala abu-abu, memukul mundur ke arah hutan.
"Bawa
Bella ke rumah Emily," teriak Sam pada yang lain, yang menonton pertarungan
itu dengan asyik. Jacob berhasil mendorong serigala kelabu itu keluar dari
jalan, dan mereka lenyap ke balik
hutan, walaupun
geraman-geraman mereka masih terdengar nyaring. Sam lari mengejar mereka, menendang
sepatunya hingga terlepas sambil berlari. Saat melesat memasuki pepohonan, sekujur
tubuhnya bergetar dari kepala sampai kaki. Geraman dan suara moncong dikatupkan
dengan keras berangsur-angsur lenyap. Tiba-tiba suara itu hilang sama sekali
dan jalanan langsung lengang. Salah satu cowok itu tertawa.
Aku menoleh
dan menatapnya–mataku yang membelalak terasa membeku, seakan-akan aku tak bisa
mengerjapkan mata. Cowok itu sepertinya menertawakan ekspresiku.
"Well, jarang-jarang kan, kau melihat
yang seperti itu," tawanya terkekeh-kekeh. Samar-samar aku mengenali wajahnya—lebih
kurus daripada yang lain. Embry Call.
"Kalau
aku sih sudah sering," sergah cowok yang lain, Jared, menggerutu.
"Setiap hari, malah."
"Ah, Paul
kan tidak setiap hari lepas kendali seperti tadi," sergah Embry tak
setuju, sambil terus nyengir. "Mungkin dua dalam tiga kali kesempatan."
Jared berhenti
untuk memungut sesuatu yang berwarna putih dari tanah. Ia mengacungkannya pada
Embry; benda ini menggelantung lemas di tangannya.
"Hancur
sama sekali," kata Jared. "Padahal kata Billy, ini sepatu terakhir
yang bisa dibelinya—kurasa mulai sekarang Jacob harus bertelanjang
kaki."
"Yang
satu ini selamat," kata Embry, mengacungkan kets putih. "Jadi Jake
bisa melompat-lompat," imbuhnya sambil tertawa.
Jared mulai
mengumpulkan cabikan-cabikan kain dari tanah. "Bisa tolong ambilkan sepatu
Sam? Yang lain-lain akan langsung dibuang ke
tong
sampah."
Embry menyambar
sepatu-sepatu itu, lalu berlari-lari kecil ke tempat Sam menghilang tadi. Sejurus
kemudian ia muncul lagi dengan jins
dipotong pendek
tersampir di lengan. Jared mengumpulkan cabikan-cabikan pakaian Jacob dan Paul.
Mendadak ia seperti teringat padaku.
Ia
memandangiku dengan saksama, menilai.
"Hei, kau
tidak mau pingsan atau muntah atau sebangsanya, kan?" desaknya.
“Rasanya
tidak,” jawabku terkesiap.
“Kau kelihatan
agak pucat. Mungkin sebaiknya kau duduk.”
“Oke,” gumamku.
Untuk kedua kalinya pagi itu, aku menyurukkan kepalaku di antara lutut.
"Jake
seharusnya memperingatkan kami," keluh Embry.
“Seharusnya
dia tidak mengajak ceweknya. Memangnya apa yang dia harapkan bakal terjadi?”
“Well, ketahuan deh kalau kita
serigala," desah Embry. "Hebat, Jake."
Aku menengadahkan
wajah dan memelototi kedua cowok yang sepertinya menganggap semua ini masalah
kecil. "Kalian sama sekali tidak khawatir memikirkan keselamatan
mereka?" tuntutku.
Embry
mengerjapkan mata satu kali, terkejut.
"Khawatir?
Mengapa?"
"Bisa-bisa
mereka saling melukai!"
Embry dan Jared
tertawa terbahak-bahak. "Aku justru berharap Paul berhasil
menggigitnya," sergah Jared. "Biar tahu rasa dia."
Aku langsung
pucat.
"Hah,
yang benar saja!" Embry tidak sependapat.
"Kau
lihat tidak Jake tadi? Begitu dilihatnya Paul lepas kendali, dia hanya butuh
waktu, berapa, setengah detik untuk menyerang? Anak itu benarbenar berbakat."
"Paul
sudah lebih lama bertarung. Taruhan sepuluh dolar, dia pasti berhasil
meninggalkan bekas luka di tubuh Jake."
“Taruhan
diterima. Jake sangat alami. Paul tidak bakal punya kesempatan."
Mereka
bersalaman, nyengir.
Aku berusaha menghibur diri melihat sikap
mereka yang seolah
tak peduli, tapi aku tak sanggup mengenyahkan bayangan brutal serigalaserigala yang
bertarung itu dari kepala ku. Perutku mulas, perih dan kosong, kepalaku
berdenyutdenyut karena khawatir.
"Ayo kita
ke rumah Emily. Dia pasti sudah menyiapkan makanan." Embry menunduk memandangiku.
"Keberatan tidak mengantar kami
ke sana?"
"Tidak
masalah," jawabku dengan suara tercekik.
Jared mengangkat
sebelah alis. "Mungkin sebaiknya kau saja yang nyetir, Embry. Dia masih kelihatan
seperti mau muntah."
"Ide
bagus. Mana kuncinya?" Embry bertanya padaku.
"Masih di
lubangnya."
Embry membuka
pintu penumpang. "Naiklah," katanya dengan nada riang, mengangkatku
dengan sebelah tangan dan mendudukkanku di jok mobil. Diamatinya ruang kosong
yang tersisa di kabin depan. "Kau terpaksa duduk di bak belakang" katanya
pada Jared.
"Tidak
apa-apa. Soalnya aku gampang jijik. Aku tidak mau berada di dalam sana kalau
dia muntah nanti."
"Aku
berani bertaruh dia lebih kuat daripada itu. Dia kan bergaul dengan
vampir."
“Lima
dolar?" tanya Jared.
"Beres.
Aku jadi merasa tidak enak, mengambil uangmu seperti ini."
Embry naik dan
menyalakan mesin sementara Jared melompat cekatan ke bak belakang. Begitu pintu
ditutup, Embry bergumam padaku, "Jangan muntah, oke? Aku cuma punya
sepuluh dolar, dan kalau Paul menggigit Jacob."
"Oke."
Bisikku .
Embry menjalankan
truk. mengantar kami kembali ke perkampungan.
"Hei.
bagaimana cara Jake mengakali aturan itu?”
"'Mengakali.
apa?"
"Eh, perintah
itu. Kau tahu, untuk tidak membocorkan rahasia. Bagaimana cara dia memberi tahu
hal ini padamu?"
"Oh, itu,"
kataku, ingat bagaimana Jacob berusaha keras menahan keinginan untuk membeberkan
hal sebenarnya padaku semalam.
"Dia
tidak mengatakan apa-apa. Aku bisa menebak dengan benar."
Embry
mengerucutkan bibir, tampak terkejut.
"Hmm.
Kurasa boleh juga kalau begitu."
"Kita mau
ke mana?" tanyaku.
"Ke rumah
Emily. Dia pacar Sam. bukan, sekarang sudah tunangannya, kurasa. Mereka akan
menemui kami di sana setelah Sam berhasil
melerai mereka.
Dan setelah Paul dan Jake berhasil mendapat baju lagi, kalau masih ada baju Paul
yang tersisa."
"Apakah
Emily tahu tentang.?"
“Yeah. Dan hei,
jangan memandangi dia terus, ya? Sam bakal marah."
Aku
mengerutkan kening padanya. "Kenapa aku ingin memandanginya terus?"
Embry tampak
tidak enak hati. "Seperti yang kaulihat barusan tadi, ada risikonya
bergaul dengan werewolf Ia
buru-buru mengubah topik.
"Hei, kau
tidak marah kan, soal si pengisap darah berambut hitam yang di padang rumput
itu? Kelihatannya dia bukan temanmu, tapi." Embry
mengangkat
bahu.
"Tidak,
dia bukan temanku."
"Baguslah.
Kami tidak mau memulai sesuatu, melanggar kesepakatan, kau tahu."
"Oh ya,
Jake pernah bercerita tentang kesepakatan itu, dulu sekali. Kenapa membunuh Laurent
berarti melanggar kesepakatan?”
"Laurent,"
Embry mengulangi, mendengus, seolah-olah geli vampir itu memiliki nama. "Well, teknisnya sih, kami membuat
kesepakatan itu
dengan keluarga
Cullen. Kami tidak boleh menyerang salah seorang di antara mereka, keluarga
Cullen, setidaknya, di luar tanah kami—
kecuali mereka
lebih dulu melanggar kesepakatan. Kami tidak tahu si pengisap darah berambut
hitam itu kerabat mereka atau bukan. Kelihatannya kau mengenalnya."
"Mereka
melanggar kesepakatan kalau melakukan apa?"
"Kalau
mereka menggigit manusia. Jake tidak mau menunggu sampai sejauh itu."
"Oh. Eh,
trims. Aku senang kalian tidak menunggu sampai dia menggigitku."
"Sama-sama."
Embry terdengar seperti bersungguh-sungguh. Embry mengemudikan truk hingga
melewati rumah yang terletak paling timur di sisi jalan raya sebelum berbelok
memasuki sepotong jalan tanah yang sempit, "Trukmu lamban,” komentarnya.
"Maaf."
Di ujung jalan
tampak rumah mungil yang dulu berwarna abu-abu. Hanya ada satu jendela sempit di
samping pintu biru yang sudah kusam dimakan cuaca, tapi kotak jendela bawahnya
penuh bunga marigold jingga
dan kuning cerah, memberi kesan ceria pada rumah itu.
Embry membuka
pintu mobil dan menghirup udara dalam-dalam. “Mmmm, Emily sedang memasak."
Jared melompat
turun dan bak belakang dan langsung menuju pintu, tapi Embry menghentikannya
dengan meletakkan tangan di dadanya. Ia menatapku dengan penuh arti dan berdehamdeham.
“Aku tidak
bawa dompet," dalih Jared.
"Tidak
apa-apa. Aku tidak akan lupa."
Mereka menaiki
satu undakan dan masuk ke rumah tanpa mengeruk pintu. Aku mengikuti dengan
malu-malu. Ruang depan, seperti halnya rumah Billy, sebagian besar berupa
dapur. Seorang wanita muda, berkulit sehalus satin berwarna tembaga dan rambut
lurus panjang berwarna hitam seperti bulu gagak, berdiri di konter dekat bak
cuci piring, mengeluarkan kue-kue muffin dari loyang dan menaruhnya di piring
kertas. Sesaat aku sempat mengira alasan Embry mengatakan padaku untuk tidak memandanginya adalah karena gadis itu
sangat cantik.
Kemudian gadis itu bertanya, "Kalian lapar?"
dengan suara merdu
mengalun, dan memalingkan wajah sepenuhnya menghadap kami, senyum tersungging
di separuh bagian wajahnya.
Sisi kanan wajahnya
dipenuhi bekas luka yang memanjang dari batas rambut hingga ke dagu, tiga garis
merah panjang dan tebal, berwarna terang meski luka itu sudah lama sembuh. Satu
garis menarik sisi bawah sudut matanya yang hitam dan berbentuk kenan, garis
yang lain memilin sisi kanan mulutnya menjadi seringaian permanen.
Bersyukur karena
sudah diperingatkan Embry, aku buru-buru mengalihkan pandangan ke kue, kue
muffin di tangannya. Baunya sangat lezat – seperti blueberry segar.
"Oh,"
seru Emily, terkejut. "Siapa ini?"
Aku menengadah,
berusaha memfokuskan pandangan pada sisi kiri wajahnya.
"Bella
Swan," Jared menjawab pertanyaannya sambil mengangkat bahu. Rupanya, aku
pernah menjadi topik pembicaraan sebelum ini. "Siapa
lagi?"
"Bukan
Jacob namanya kalau tidak bisa mengakali perintah,” gumam Emily. Ia memandangiku,
dan tak satu pun dari dua bagian wajah yang dulu cantik itu terlihat ramah.
"Jadi, kau ini si cewek vampir."
Aku mengejang.
"Ya. Kalau kau cewek serigala?" Emily tertawa, begitu pula Embry dan
Jared. Sisi kiri wajahnya berubah hangat. "Kurasa begitu." Ia berpaling
kepada Jared. "Mana Sam?"
"Bella,
eh, membuat Paul kaget tadi pagi."
Emily memutar
bola matanya yang tidak cacat.
"Ah,
Paul," desahnya. "Kira-kira lama atau tidak? Aku baru mau mulai
memasak telur."
"Jangan
khawatir," Embry menenangkan. "Kalau mereka terlambat, kami tidak
akan membiarkan makanannya mubazir."
Emily
terkekeh, lalu membuka lemari es. "Tidak diragukan lagi," ujarnya
sependapat. "Bella, kau lapar? Silakan ambil muffin-nya."
"Trims."
Aku mengambil satu dari piring dan mulai menggigiti pinggirnya. Rasanya lezat,
dan terasa nyaman di perutku yang mual. Embry
meraih kue
ketiga dan menjejalkannya ke mulut.
"Sisakan untuk
saudara-saudaramu,” tegur Emily memukul kepalanya dengan sendok kayu. Istilah
itu membuatku terajut, tapi yang lain-lain
sepertinya
tidak menganggapnya aneh.
"Dasar
rakus,” komentar Jared.
Aku bersandar
di konter dan menonton mereka bertiga salin, mengejek seperti keluarga. Dapur Emily
menyenangkan, cemerlang dengan rak-rak dapur berwarna putih dan lantai papan
dan kayu berwarna pucat. Di atas meja bulat kecil, sebuah teko porselen biru-putih
yang sudah retak penuh berisi bunga-bunga liar. Embry dan Jared terlihat seperti
di rumah sendiri di sini.
Emily mengocok
telur dalam porsi sangat besar, beberapa lusin sekaligus, di mangkuk kuning besar.
Ia menyingsingkan lengan bajunya yang berwarna lembayung muda, dan aku bisa
melihat bekas-bekas luka membentang sepanjang lengan hingga ke punggung tangan
kanan. Bergaul dengan werewolf memang
benar-benar berisiko, tepat seperti yang dikatakan Embry tadi. Pintu depan
terbuka, dan Sam melangkah
masuk.
"Emily,"
sapanya, nadanya penuh cinta hingga aku merasa malu, sepera pengganggu, saat
kulihat Sam berjalan melintasi ruangan hanya dalam satu langkah lebar dan
merengkuh wajah Emily dengan telapak tangannya yang lebar. Ia membungkuk dan mengecup bekas luka gelap di pipi kanan Emily
sebelum mengecup bibirnya.
"Hei,
jangan begitu dong," Jared protes. "Aku sedang makan."
"Kalau
begitu tutup mulut dan makan sajalah," usul Sam, mencium bibir Emily yang
hancur itu sekali lagi.
“Ugh,"
erang Embry.
Ini lebih parah
daripada film romantis mana pun; adegan itu begitu nyata mendendangkan kebahagiaan,
kehidupan, dan cinta sejati. Kuletakkan muffin-ku dan kulipat kedua lenganku di
dadaku yang kosong. Kupandangi bunga-bunga itu, berusaha mengabaikan momen
intim mereka, serta luka hatiku sendiri yang berdenyut-denyut nyeri.
Aku bersyukur
karena perhatianku kemudian beralih pada Jacob dan Paul yang menerobos masuk
melalui pintu, shock berat
karena mereka
tertawa-tawa. Kulihat
Paul meninju bahu Jacob dan Jacob membalas dengan menyikut pinggangnya. Mereka
tertawa lagi. Kelihatannya
mereka tidak
kurang sesuatu apa pun. Jacob memandang sekeliling ruangan, berhenti begitu
melihatku bersandar, canggung dan rikuh,
di konter di
pojok dapur.
"Hei,
Bells," ia menyapaku riang. Disambarnya dua muffin ketika berjalan
melewati meja lalu berdiri di sampingku. "Maaf soal tadi,” gumamnya pelan.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Jangan
khawatir, aku baik-baik saja. Muffinnya enak" Kuambil lagi muffinya dan
mulai menggigitinya lagi. Dadaku langsung terasa lebih
enak begitu
Jacob ada di sampingku.
"Oh, ya
ampun!" raung Jared, menyela kami. Aku menengadah, dan melihat Jared serta
Embry mengamati garis merah muda samar di
lengan atas
Paul. Embry nyengir, girang.
"Lima
belas dolar," soraknya.
"Itu
gara-gara kau?" bisikku pada Jacob, teringat taruhan mereka.
"Aku nyaris
tidak menyentuhnya kok. Saat matahari terbenam nanti lukanya pasti sudah sembuh."
"Saat
matahari terbenam?" Kupandangi garis di lengan Paul. Aneh, tapi
kelihatannya luka itu seperti sudah berumur beberapa minggu.
“Khas werewolf,” bisik Jacob.
Aku mengangguk,
berusaha untuk tidak terlihat bingung.
“Kau baik-baik
saja?” tanyaku pada Jacob dengan suara pelan.
“Tergores pun
tidak,” Ekspresinya puas.
“Hei, guys,” seru Sam dengan suara nyaring,
menyela obroli dalam ruangan kecil itu. Emily sedang menghadap kompor
mengaduk-aduk
adonan telur dalam
wajan besar, tapi sebelah tangan Sam masih memegang bagian atas punggung Emily
gerakan yang tidak disadarinya.
“Jacob punya
informasi untuk kita."
Paul tidak tampak
terkejut. Jacob pasti sudah menjelaskan tentang ini padanya dan Sam. Atau. mereka
mendengar pikiran Jacob.
“Aku tahu apa yang
diinginkan si rambut merah itu." Jacob menujukan perkataannya pada Jared dan
Embry. "Itulah yang ingin kusampaikan pada kalian sebelumnya."
Ditendangnya kaki kursi yang diduduki Paul.
"Lalu?"
tanya Jared.
Wajah Jacob
berubah serius. "Dia memang berusaha membalas dendam atas kematian pasangannya—tapi
ternyata pasangannya
bukanlah si
pengisap darah berambut hitam yang kita bunuh. Keluarga Cullen membunuh pasangannya
tahun lalu, jadi sekarang dia
mengincar
Bella."
Itu
bukan berita baru bagiku, tapi tetap saja aku bergidik ngeri mendengarnya. Jared,
Embry, dan Emily menatapku dengan
mulut
ternganga kaget.
"Dia kan
hanya gadis biasa," protes Embry.
"Aku
tidak berkata itu masuk akal. Tapi itulah sebabnya si pengisap darah berusaha
menerobos pertahanan kita. Dia berniat pergi ke Forks."
Mereka terus
menatapku dengan mulut masih terbuka lebar selama beberapa saat. Kutundukkan kepalaku.
"Bagus
sekali," kata Jared akhirnya, senyuman mulai bermain di bibirnya.
"Kita punya umpan."
Dengan
kecepatan mengagumkan Jacob menyambar pembuka kaleng dari konter dan melemparkannya
ke kepala Jared. Tangan Jared
terangkat lebih
cepat daripada yang kupikir mungkin terjadi, dan menangkapnya tepat sebelum alat
itu menghantam wajahnya.
"Bella bukan umpan."
"Kau tahu
maksudku," tukas Jared, tidak merasa malu.
"Jadi
kita akan mengubah pola kita," kata Sam, mengabaikan pertengkaran mereka.
"Kita akan mencoba meninggalkan beberapa lubang, dan melihat apakah dia
akan terperangkap di dalamnya. Kita harus berpencar, dan aku tidak suka itu. Tapi
kalau dia memang benar-benar mengincar Bella, dia mungkin tidak akan berusaha memanfaatkan
kekuatan kita yang terpecah."
“Quil harus
segera bergabung dengan kita,"
gumam Embry.
“Dengan begitu kita bisa berpencar dalam jumlah sama besar.”
Semua menunduk.
Aku melirik wajah Jacob, dan ekspresinya tampak tak berdaya, seperti kemarin
sore, di depan rumahnya. Walaupun
sekarang
mereka kelihatannya sudah bisa menerima takdir mereka, di sini di dapur yang ceria ini. tak seorang werewolf pun menginginkan
nasib yang
sama menimpa teman mereka.
"Well, kita tidak boleh mengandalkan
hal ini."
kata Sam
pelan, kemudian melanjutkan kata, katanya dengan suara biasa. "Paul,
Jared, dan Embry akan bertugas di perimeter luar sementara Jacob dan aku bertugas
di bagian dalam. Kita akan bersatu lagi setelah berhasil menjebaknya.”
Kulihat Emily
tidak terlalu suka mendengar Sam akan berada di kelompok yang lebih kecil. Kekhawatirannya
membuatku menengadah dan menatap Jacob, ikut khawatir juga. Sam menatap mataku.
“Menurut Jacob, sebaiknya kau lebih banyak menghabiskan waktu di sini. di La Push.
Dia takkan bisa menemukanmu semudah itu. untuk berjaga-jaga."
"Bagaimana
dengan Charlie?” tuntutku.
"March Madness
masih berlangsung," kata Jacob. "Kurasa Billy dan Harry bisa mengajak
Charlie ke sini bila tidak sedang bekerja."
"Tunggu.”
sergah Sam. mengangkat sebelah tangan. Ia melirik Emily sebentar, lalu
melirikku.
"Menurut
Jacob itulah yang terbaik, tapi kau harus memutuskannya sendiri. Sebaiknya kau pertimbangkan
benar-benar risiko kedua pilihan
itu dengan
sangat serius. Kaulihat sendiri tadi pagi betapa mudahnya keadaan berubah
menjadi berbahaya di sini, betapa cepatnya situasi menjadi tak terkendali. Jika
kau memutuskan untuk tinggal bersama kami, aku tak bisa menjamin keselamatanmu."
"Aku
tidak akan melukainya," gumam Jacob, menunduk.
“Sam berlagak
seolah-olah tidak mendengar perkataannya. "Kalau ada tempat lain di mana
kau merasa aman."
Aku menggigit
bibir. Ke mana aku bisa pergi yang tidak akan membahayakan keselamatan orang
lain? Aku bergidik ngeri membayangkan diriku menyeret Renee ke dalam persoalan
ini –
menariknya ke tengah
lingkaran sasaran tembak yang kukenakan. "Aku tidak ingin membawa Victoria
ke tempat lain,” bisikku.
Sam mengangguk.
"Itu benar. Lebih baik membawanya ke sini, tempat kita bisa menghabisinya."
Aku tersentak.
Aku tidak ingin Jacob ataupun yang lain berusaha menghabisi Victoria. Kulirik wajah
Jacob; ekspresinya tenang, nyaris sama seperti yang kuingat sebelum masalah
serigala ini mengemuka, dan tampak benar-benar tidak peduli bila harus memburu
vampir.
"Kau akan
berhati-hati, kan?" tanyaku, menelan ludah dengan suara keras.
Cowok-cowok
terpekik karena geli. Semua menertawakanku—kecuali Emily. Ia menatap mataku,
dan tiba-tiba aku bisa melihat kesimetrisan di balik wajahnya yang cacat. Wajahnya
masih cantik, dan terlihat hidup dengan keprihatinan yang bahkan lebih besar
daripada yang kurasakan. Aku terpaksa membuang muka, sebelum cinta di balik
keprihatinan itu bisa membuat hatiku nyeri lagi.
"Makanan
sudah siap," serunya kemudian, dan pembicaraan strategis itu langsung
berhenti. Cowok-cowok itu bergegas mengitari meja—yang
tampak kecil
dan terancam hancur berantakan oleh ulah mereka—dan langsung menyikat habis wajan
ukuran prasmanan berisi telur yang
diletakkan
Emily di tengah mereka dengan kecepatan yang mampu memecahkan rekor. Emily makan
sambil bersandar di konter seperti aku—menghindari hiruk-pikuk di meja
makan—dan mengawasi mereka dengan sorot sayang. Ekspresinya jelas menyata kan
bahwa inilah keluarganya.
Intinya, bukan
ini yang kuharapkan dari sekawanan werewolf.
Aku menghabiskan hari itu di La Push, kebanyakan di rumah Billy. Ia
meninggalkan pesan di telepon Charlie dan di kantor polisi, dan saat
makan malam, Charta
datang membawa dua pizza. Untung juga ia membawa dua pizza ukuran besar; satu dihabiskan
sendiri oleh Jacob.
Kulihat Charlie
mengawasi kami dengan sikap curiga sepanjang malam, terutama Jacob yang banyak
berubah. Ia menanyakan rambutnya;
Jacob hanya
mengangkat bahu dan menjawab bahwa begini lebih nyaman.
Aku tahu
begitu Charlie dan aku pulang nanti, Jacob akan langsung berangkat—berlari-lari
sebagai serigala, seperti yang dilakukannya tanpa henti sepanjang hari tadi. Ia
dan saudarasaudaranya
melakukan
semacam pengawasan terus-menerus, mencari tanda-tanda kembalinya Victoria. Tapi
karena mereka mengejarnya dari sumber air panas semalam—mengejarnya hingga setengah
perjalanan menuju Canada, menurut Jacob— ia belum lagi menampakkan batang
hidungnya. Aku
sama sekali tak berharap ia bakal menyerah. Aku tidak seberuntung itu. Jacob mengantarku
ke truk sehabis makan malam dan berdiri terus dekat jendela, menunggu Charlie
menjalankan mobilnya lebih dulu.
"Jangan
takut malam ini," pesan Jacob, sementara Charlie pura-pura mengalami
kesulitan dengan sabuk pengamannya. "Kami ada di luar
sana,
berjaga-jaga."
"Aku tidak
akan mengkhawatirkan diriku sendiri," janjiku.
"Konyol.
Memburu vampir kan menyenangkan. Ini justru bagian terbaik dari semua kekacauan
ini."
Aku
menggeleng. "Kalau aku konyol, berarti kau sinting."
Jacob
terkekeh. "Istirahatlah, Bella, Sayang. Kau kelihatan capek sekali.”
"Akan
kucoba."
Charlie menekan
klakson dengan sikap tidak sabar.
“Sampai
besok,” seru Jacob. “Datanglah pagipagi sekali."
"Pasti."
Charlie mengikutiku
pulang ke rumah. Aku tak begitu memerhatikan lampu-lampu di kaca spionku. Aku
malah sibuk memikirkan di mana
Sam, Jared, Embry,
dan Paul berada sekarang, berlari-lari di kegelapan malam. Aku bertanyatanya dalam
hati apakah Jacob sudah bergabung
dengan mereka.
Sesampai di rumah, aku bergegas menuju
tangga, tapi
Charlie membuntuti tepat di belakangku.
"Sebenarnya
ada apa, Bella?" tuntutnya sebelum aku sempat meloloskan diri.
"Kusangka Jacob bergabung dengan geng dan kalian berselisih paham."
"Kami
sudah baikan."
"Dan
gengnya?"
"Entahlah—siapa
sih yang bisa mengerti cowokcowok remaja? Mereka itu misterius. Tapi aku sudah
berkenalan dengan Sam Uley dan tunangannya, Emily. Kelihatannya mereka ramah kok."
Aku mengangkat bahu. "Mungkin semua hanya salah paham."
Wajah Charlie
berubah. "Aku malah belum dengar dia dan Emily sudah resmi bertunangan. Baguslah
kalau begitu. Gadis malang."
“Dad tahu apa
yang terjadi padanya?"
"Diserang
beruang, di kawasan utara sana, saat musim salmon bertelur—kecelakaan tragis.
Sudah lebih dari setahun berlalu sejak saat itu. Dengardengar, Sam sangat
terpukul oleh kejadian itu."
"Sungguh
tragis," aku menirukan. Lebih dari setahun lalu. Aku berani bertaruh
peristiwa itu terjadi ketika baru ada satu werewolf
di La Push.
Aku bergidik membayangkan
perasaan Sam setiap kali memandang wajah Emily.
Malam itu. lama
sekali aku berbaring dengan mata nyalang, mencoba memilah-milah kembali berbagai
peristiwa yang kualami seharian tadi.
Kuulangi lagi saat
makan malam bersama Billy, Jacob dan Charlie. hingga ke siang yang panjang di rumah
keluarga Black, harap-harap cemas menunggu kabar dari Jacob, ke dapur Emily, hingga
ke kengerian yang kurasakan saat para werewolf
itu bertarung, juga saat berbicara dengan Jacob di tepi pantai.
Aku memikirkan
perkataan Jacob tadi pagi, tentang kemunafikan. Lama sekali aku memikirkan hal
itu. Aku tidak suka menganggap diriku
munafik, tapi
apa gunanya membohongi diri sendiri?
Aku meringkuk
rapat-rapat. Tidak, Edward bukan pembunuh. Bahkan di masa lalunya yang kelam,
ia tidak pernah membunuh orang yang
tidak
bersalah, paling tidak. Tapi bagaimana kalau ia dulu pembunuh?
Bagaimana kalau,
selama aku mengenalnya, ia tidak berbeda dengan vampir-vampir lain? Bagaimana
bila saat itu banyak orang menghilang
dari hutan,
seperti yang terjadi sekarang? Apakah itu akan membuatku menjauhinya?
Aku menggeleng
sedih. Cinta itu tak masuk akal, aku mengingatkan diri sendiri. Semakin kau mencintai
seseorang, semakin pikiranmu menjadi tidak rasional. Aku berguling dan berusaha
memikirkan hal lain—lantas memikirkan Jacob serta saudarasaudaranya, berlari-lari
di luar sana dalam gelap.
Aku tertidur
dengan benak dipenuhi bayangan serigala, tak terlihat di malam hari, menjagaku
dari bahaya. Waktu bermimpi, aku berdiri lagi di hutan, tapi aku tidak berkeliaran.
Aku memegangi tangan Emily yang cacat sementara kami menghadap ke arah bayang-bayang
dan dengan cemas menunggu para werewolf
kami kembali ke rumah.
0 komentar:
Post a Comment