Baca Online New Moon part 20
20.
VOLTERRA
KAMI memulai
pendakian yang terjal, dan jalanan makin lama makin sesak. Saat jalan berkelok
semakin tinggi, mobil-mobil berjajar
berimpitan
hingga sulit bagi Alice untuk menyelipnyelip di antara mereka. Laju mobil kami
melambat dan mulai merangkak di belakang Peugeot kecil cokelat.
"Alice,"
erangku. Jam di dasbor tampaknya bergerak semakin cepat.
Hanya ini satu-satunya
jalan masuk," Alice mencoba menenangkan. Tapi suaranya terlalu tegang
untuk bisa menenangkan. Mobil-mobil terus beringsut maju, setiap kali hanya
mampu bergerak beberapa puluh senti. Terik matahari begitu cemerlang, rasanya
sudah berada tepat di atas kepala.
Mobil-mobil
merayap satu per satu menuju kota. Setelah kami semakin dekat, aku bisa melihat
mobil-mobil diparkir * Pinggir jalan dan orangorang turun, berjalan kaki.
Mulanya kukira itu karena mereka tidak sabar – sesuatu yang bisa kupahami. Tapi
kemudian mobil melewati
tikungan, dan
aku bisa melihat lapangan parkir di luar tembok kota, serta kerumunan orang
berjalan melewati gerbang. Tak ada yang diizinkan masuk dengan mengendarai
mobil.
“Alice,”
bisikku mendesak.
“Aku
tahu," jawabnya. Wajahnya seperti pahatan es.
Sekarang setelah
aku menyadarinya, dan karena mobil merayap sangat lambat hingga aku bisa melihat
keadaan sekelilingku, ternyata hari sangat berangin. Orang-orang yang
berdesak-desakanmenuju pintu gerbang mencengkeram topi erat-erat dan menepis rambut
dari wajah mereka. Pakaian mereka berkibaran. Aku juga melihat warna merah
di mana-mana. Baju
merah, topi merah, bendera merah menjulur bagaikan pita-pita panjang di samping
gerbang, berkibar-kibar ditiup angin—tepat di depan mataku, syal merah terang
yang dililitkan seorang wanita di rambutnya mendadak terbang tertiup angin.
Syal itu terpilin ke udara, menggeliat-geliat seperti makhluk hidup. Wanita itu
meraih syalnya, melompat ke udara, tapi syal itu berkibar lebih tinggi, seutas
warna merah darah dengan latar belakang dinding tembok kuno yang
kusam.
"Bella"
Alice berkata dengan nada rendah dan mendesak. “Aku tidak bisa melihat apa yang
akan diputuskan penjaga itu di sini—kalau aku tidak bisa masuk, kau harus masuk
sendiri. Kau harus berlari. Tanya saja jalan menuju Palazzo dei Priori, dan
berlarilah ke arah yang mereka tunjukkan. Jangan sampai tersesat."
"Palazzo
dei Priori, Palazzo dei Priori," aku mengulang-ulang nama itu, berusaha menghafalnya.
"Atau
‘menara jam', kalau mereka bisa berbahasa Inggris. Aku akan memutar dan berusaha
mencari tempat sepi di belakang kota supaya bisa memanjat tembok.”
Aku mengangguk.
“Palazzo dei Priori.”
“Edward akan
berada di bawah menara jam, di utara alun-alun. Di sebelah kanannya ada gang sempit,
dan dia menunggu di sana, di bawah bayang-bayang. Kau harus menarik
perhatiannya sebelum dia keluar ke bawah terik matahari.” Aku mengangguk-angguk
cepat.
Alice sudah mendekati
bagian depan barisan. Tampak seorang lelaki berserat biru laut mengarahkan arus
lalu lintas, membelokkan mobil-mobil menjauhi lapangan parkir yang penuh. Mobil-mobil
itu berputar arah dan kembali untuk mencari tempat parkir di pinggir jalan.
Lalu tibalah giliran Alice.
Lelaki berseragam
itu menggerak-gerakkan tangannya dengan sikap ogah-ogahan, tidak memerhatikan.
Alice menekan pedal gas, menyusup di sampingnya, melaju menuju gerbang. Lelaki
itu meneriakkan sesuatu pada kami, tapi tetap
berdiri di tempat, melambai-lambaikan tangan kalang-kabut pada mobil berikut
agar tidak meniru kelakuan buruk kami.
Lelaki di pintu
gerbang mengenakan seragam yang sama. Saat kami mendekat, gerombolan turis melewati
kami, memenuhi trotoar, memandang dengan sikap ingin tahu Porsche mewah yang
memaksa masuk itu. Si penjaga berdiri tepat di tengah jalan. Alice memiringkan
mobil hati-hati sebelum berhenti. Sinar matahari menerpa jendelaku, dan Alice terlindung
oleh bayang-bayang. Dengan cekatan tangannya terulur ke belakang kursi dan menyambar
sesuatu dari dalam tasnya.
Penjaga itu
menghampiri mobil dengan ekspresi kesal, lalu dengan marah mengetuk kaca
jendela Alice.
Alice menurunkan
kaca jendelanya separo, dan kulihat penjaga itu terperangah sedikit begitu melihat
wajah yang menyembul di balik kaca mobil yang gelap.
"Maaf
hanya bus pariwisata yang diperkenankan masuk ke kota hari ini, Miss,"
kata penjaga itu dengan bahasa Inggris patah-patah yang berlogat kental.
Nadanya kini meminta maaf, seolah-olah menyesal harus menyampaikan kabar buruk
pada wanita yang sangat memesona.
“Ini tur
pribadi," sahut Alice, menyunggingkan senyum memikat. Ia mengulurkan
tangan ke luar jendela, ke terik matahari. Aku menegang, sebelum kemudian sadar
bahwa ia mengenakan sarung tangan warna kulit sebatas siku. Alice meraih tangan
si penjaga yang masih terangkat sehabis mengetuk kaca jendelanya tadi, lalu
menariknya ke dalam mobil. Alice meletakkan sesuatu ke telapak tangan si penjaga,
lalu menutup jari-jarinya. Wajah si penjaga tampak linglung waktu ia menarik
kembali tangannya dan memandangi gulungan tebal uang yang kini dipegangnya.
Yang terluar adalah lembaran seribu dolar.
"Apakah ini
lelucon?" gumam si penjaga. Senyum Alice membutakan. "Hanya bila Anda
menganggapnya lucu."
Penjaga itu menatap
Alice, matanya membelalak lebar. Dengan gugup kulirik jam di dasbor. Kalau Edward
tetap dengan rencana semula, kami hanya punya waktu lima menit.
"Aku agak
terburu-buru," ucap Alice, masih tersenyum.
Penjaga itu
mengerjap dua kali, kemudian menyurukkan uang itu ke dalam rompinya. Ia mundur
selangkah menjauhi jendela dan melambaikan tangan, menyilakan kami lewat. Tampaknya
tak ada yang menyadari perpindahan uang secara diam-diam tadi, Alice melaju memasuki
kota, dan kami sama-sama mengembuskan napas lega.
Jalanan sangat
sempit, dilapisi bebatuan yang warnanya sama dengan bangunan-bangunan cokelat
kayu manis pudar yang menutupi jalan
dengan bayang-bayangnya.
Rasanya seperti yang menutupi berada di gang. Bendera-bendera merah menghiasi
dinding, satu sama lain hanya berjarak beberapa meter, berkibar-kibar ditiup
angin yang melengking di jalan sempit itu. Jalanan penuh sesak, dan para
pejalan kaki membuat laju kami terhambar.
"Tidak jauh
lagi,” Alice menyemangatiku; tanganku mencengkeram pegangan pintu, siap meloncat
ke jalan begitu mendapat aba-aba dari
Alice. Alice
memacu mobil dengan cepat sambil sesekali mengerem mendadak, dan orang-orang di
jalan mengacungkan tinju mereka kepada kami dan meneriakkan kata-kata bernada
marah yang untungnya tidak kumengerti. Ia berbelok memasuki jalan kecil yang
tak mungkin diperuntukkan bagi mobil; orang-orang yang shock sampai harus menempelkan tubuh
rapat-rapat ke ambang pintu di pinggir jalan saat kami lewat.
Kami menemukan
jalan lain di ujungnya. Bangunan-bangunan di sini lebih tinggi; lantai teratas
condong ke jalan dan bertemu di tengah sehingga tak ada sinar matahari
menyentuh trotoar—bendera-bendera merah yang berkibar di tiap-tiap sisi nyaris
bersentuhan. Kerumunan
orang di sini
bahkan lebih padat daripada di tempat lain. Alice menghentikan mobil. Aku sudah
membuka pintu sebelum mobil sepenuhnya berhenti. Alice menuding ke jalan yang
melebar ke sepetak
ruang terbuka
yang terang benderang. "Di sana— kita sekarang di selatan alun-alun.
Larilah menyeberangi alun-alun, ke kanan menara jam. Aku akan mencari jalan
memutar—"
Napas Alice
mendadak terkesiap, dan saat ia bicara lagi; suaranya berupa desisan.
"Mereka ada di mana-mana!” Aku langsung tegang, tapi Alice mendorongku keluar
mobil. "Lupakan mereka. Waktumu tinggal
dua menit.
Lari, Bella, lari!" teriaknya, turun dari mobil sambil bicara.
Aku tak sempat
melihat Alice melebur dalam bayang-bayang. Aku juga tak sempat menutup pintu
mobil di belakangku. Kudorong seorang wanita yang menghalangi jalanku dan
berlari sekencang-kencangnya dengan kepala tertunduk, tidak menggubris apa pun
kecuali batu-batu tidak rata di bawah kakiku. Keluar dari lorong yang gelap,
mataku dibutakan cahaya matahari yang menyorot tajam ke alunalun utama. Angin
menderu menerpaku, menerbangkan rambut hingga menutupi mata dan semakin membutakan
mataku. Tidak heran aku tidak melihat pagar betis di depanku sampai aku menabraknya.
Tak ada ruang
lowong, tak ada celah sedikit pun di antara tubuh-tubuh yang saling berimpitan
itu. Kudorong mereka dengan marah, melawan tangan tangan yang balas
mendorongku. Kudengar seruan-seruan kesal dan bahkan jerit kesakitan saat aku
berjuang menerobos kerumunan, tapi tidak ada yang dilontarkan dalam bahasa yang
kukenal. Wajah-wajah kabur yang penuh amarah dan kekagetan, lagi-lagi
dikelilingi warna merah. Seorang wanita berambut pirang cemberut padaku,
dan syal merah
yang melilit lehernya tampak seperti luka mengerikan. Seorang anak yang dipanggul
di atas bahu seorang laki-laki, menunduk dan nyengir padaku, bibirnya terbuka, memamerkan
taring vampir dari plastik.
Kerumunan itu
mendesak-desakku, memutar badanku ke arah yang salah. Aku senang ada menara jam
yang bisa menjadi patokan, kalau
tidak aku
pasti sudah kehilangan arah. Tapi kedua jarum jam yang terpampang di sana
beringsutingsut mengarah ke matahari yang tak kenal belas kasihan, dan walaupun
aku mendorong kerumunan sekuat tenaga, aku tahu aku terlambat. Aku balikan
belum sampai setengah
jalan. Aku tidak
akan berhasil. Aku tolol, lamban, dan aku manusia, dalami semua akan mari karenanya.
Aku berharap Alice
bisa keluar. Aku berharap Alice akan melihatku dari balik bayang-bayang gelap
dan tahu aku telah gagal, supaya ia bisa
pulang ke
Jasper. Aku memasang telinga, berusaha mendengarkan
di balik
seruan-seruan bernada marah, suara yang akan menjadi pertanda bahwa hal yang kutakutkan
telah terjadi: napas tertahan, mungkin teriakan, saat seseorang melihat Edward.
Namun saat itu
ada celah di tengah kerumunan—aku bisa melihat ruang kosong di depan. Cepat-cepat
aku berlari menghampirinya, tidak menyadarinya sampai tulang keringku memar
menabrak bata. Rupanya ada kolam air mancur besar berbentuk segiempat, tepat di
tengah
alun-alun.
Aku nyaris
menangis lega saat mengayunkan kakiku ke pinggir kolam dan berlari mengarungi
air selutut. Air bercipratan di sekelilingku saat aku berlari melintasi air
kolam. Bahkan di bawah terik matahari, angin yang bertiup terasa sangat dingin,
dan basah membuat dingin itu menyakitkan. Tapi kolam air mancur itu sangat
lebar; aku jadi bisa menyeberangi pusat alun-alun hanya dalam beberapa detik. Aku
tidak berhenti saat mencapai sisi seberang—aku menggunakan dinding kolam yang
rendah sebagai tumpuan, dan melemparkan diri ke tengah kerumunan. Kini orang-orang
justru menghindariku, tak ingin terciprat air dingin yang menetes-netes dari bajuku
yang basah saat aku berlari. Aku
menengadah,
menatap jam lagi. Dentang lonceng yang dalam dan menggemuruh bergaung ke
segenap penjuru alun-alun.
Getarannya
terasa hingga ke batu-batu di bawah kakiku. Anak-anak menangis, menutup
telinga. Dan aku mulai berteriak sambil berlari,
"Edward!"
jeritku, tahu itu sia-sia. Kerumunan ini terlalu berisik, dan suaraku
terengah-engah karena lelah. Tapi aku tak bisa berhenti berteriak. Jam kembali
berdentang. Aku berlari melewati seorang anak dalam gendongan ibunya— rambutnya
nyaris putih di bawah cahaya matahari yang terik. Sekelompok lelaki jangkung,
semuanya mengenakan blazer merah, berteriak mengingatkan saat aku menghambur
menerobos mereka. Jam berdentang lagi.
Di balik para
lelaki berblazer itu, tampak celah di tengah kerumunan, ruang kosong di antara
para pengunjung yang berdesak-desakan di
sekelilingku.
Mataku menyapu lorong gelap di sebelah kanan alun-alun segiempat luas di bawah menara
jam. Aku tak bisa melihat jalan—terlalu
banyak orang yang
menghalangiku. Jam kembali berdentang.
Sulit melihat
sekarang. Tanpa kerumunan yang menahan angin, angin menampar wajahku dan membakar
mataku. Entah itukah yang membuat air mataku merebak, atau apakah aku menangis kalah
saat jam kembali berdentang.
Sebuah keluarga
kecil beranggotakan empat orang berdiri paling dekat dengan mulut gang. Dua gadis
mengenakan gaun merah, dengan pita
senada
menghiasi rambut gelap mereka yang diikat ke belakang. Sang ayah tidak tinggi.
Sepertinya aku bisa melihat sesuatu yang benderang di keteduhan, tepat di atas
bahunya. Aku menghambur ke arah mereka, berusaha melihat dari balik air mataku
yang pedih. Jam berdentang,
dan gadis
terkecil menutup telinganya rapat-rapat. Gadis yang lebih tua, tingginya hanya sepinggang
ibunya, merangkul kaki sang ibu dan memandang ke dalam bayang-bayang di
belakang mereka. Kulihat gadis itu menarik-narik siku ibunya dan menuding ke
keteduhan. Jam
berdentang,
dan aku sudah sangat dekat sekarang.
Aku sudah
cukup dekat sehingga bisa mendengar suara si sadis kecil yang melengking tinggi.
Ayahnya menatapku terperanjat saat aku
menghambur menghampiri
mereka, meneriakkan nama Edward berkali-kali dengan suara serak. Si gadis yang
lebih tua tertawa terkikik dan mengatakan sesuatu pada ibunya, menuding lagi ke
bayang-bayang dengan sikap tidak sabar. Aku meliuk melewati sang ayah—ia
buru-buru
berkelit,
mengamankan bayinya agar tidak tertabrak olehku—dan berlari sekencangkencangnya
ke ruang gelap di belakang mereka sementara jam berdentang nyaring di atas kepalaku.
“Edward,
jangan!" jeritku, tapi suaraku hilang ditelan gemuruh lonceng yang
bergaung. Aku bisa melihatnya sekarang. Dan bisa kulihat
bahwa ia tidak
melihatku. Itu benar-benar Edward, kali ini bukan
halusinasi. Dan
tahulah aku delusiku ternyata lebih kacau daripada yang kusadari; bayanganku tentang
Edward tak seindah aslinya. Edward berdiri, tak bergerak seperti patung, hanya
beberapa meter dari mulut gang. Matanya terpejam, lingkaran di bawahnya
berwarna ungu tua, kedua lengannya terkulai rileks di sisi tubuhnya, telapak
tangan mengarah ke atas. Ekspresinya sangat damai, seolah sedang membayangkan
hal-hal menyenangkan. Kulit dadanya yang seperti marmer telanjang—sehelai kain
putih teronggok dekat kakinya. Cahaya yang memantul dari jalan alun-alun yang
dilapisi batu gemerlap samar oleh kilau yang terpantul dari kulitnya.
Belum pernah
aku melihat pemandangan yang lebih indah daripada itu—bahkan saat aku berlari, terengah-engah
dan berteriak-teriak, tak urung aku terpesona. Dan tujuh bulan terakhir tak berarti
apa-apa. Kata-katanya di hutan dulu tak berarti apa-apa. Bukan masalah bila ia
tidak
menginginkanku.
Aku tidak akan pernah menginginkan hai lain selain dirinya, tak peduli betapa
pun lamanya aku hidup. Jam berdentang, dan Edward melangkah lebar menuju
cahaya.
"Tidak!"
jeritku. "Edward, lihat aku!"
Edward tidak
mendengarkan. Bibirnya tersenyum kecil. Ia mengangkat kakinya, siap mengambil
langkah yang akan membawanya langsung ke bawah sorotan matahari. Aku
menabraknya begitu keras hingga
kekuatannya
pasti akan membuatku tersungkur ke tanah seandainya kedua lengannya tidak menangkap
dan memegangiku. Benturan itu
membuatku kehabisan
napas dan menyentakkan kepalaku ke belakang.
Mata Edward yang
gelap perlahan-lahan terbuka sementara jam kembali berdentang. Ia menunduk,
menatapku dengan keterkejutan
tanpa suara.
"Luar
biasa," ucapnya, suaranya yang merdu itu terdengar takjub, sedikit geli.
"Carlisle benar."
"Edward,"
aku berusaha menarik napas, tapi tidak ada yang suara yang keluar. "Kau
harus kembali ke tempat teduh. Kau harus pindah!"
Edward tampak
terpesona. Tangannya membelai pipiku lembut. Sepertinya ia tidak sadar aku berusaha
memaksanya kembali. Rasanya seperti mendorong tembok. Jam berdentang tapi
Edward tidak bereaksi.
Aneh sekali,
padahal aku tahu saat itu kami berada dalam bahaya maut. Namun detik itu aku merasa
damai. Utuh. Aku bisa merasakan jantungku berpacu kencang di dadaku, darah mendesir
panas dan cepat mengisi pembuluh darahku lagi. Paru-paruku dipenuhi aroma harum
yang menguar
dari kulitnya. Seakan-akan tak pernah ada lubang di dadaku. Aku sempurna – bukan
sembuh, karena seolah-olah memang tak pernah ada luka di sana.
“Aku tidak percaya
prosesnya ternyata cepat sekali. Aku tidak merasa apa-apa, hebat sekali mereka," renung Edward, memejamkan
matanya
lagi dan menempelkan
bibirnya ke rambutku. Suaranya bagaikan madu dan beledu. "Kematian, yang
mengisap madu dari desah napasmu, tak
memiliki kuasa
terhadir kecantikanmu," bisiknya, dan aku mengenali sebaris kalimat yang
diucapkan Romeo di kuburan. Jam berdentang untuk terakhir kali. "Aroma
tubuhmu juga persis sama," sambung
Edward.
"Jadi mungkin inilah neraka. Aku tidak peduli. Aku akan menerimanya."
"Aku
belum mati," selaku. "Dan kau juga belum! Kumohon, Edward, kita harus
pindah. Mereka pasti tidak jauh dari sini!"
Aku memberontak
dalam pelukannya, dan alis Edward bertaut bingung.
"Apa?’
tanyanya sopan.
“Kita tidak
mati, belum! Tapi kita harus pindah dari sini sebelum keluarga Volturi—"
Pemahaman berkelebat
di wajahnya saat aku bicara. Belum lagi aku selesai bicara. Edward tibatiba menarikku
menjauhi tepi keteduhan,
membalikkan
badanku dengan mudah hingga punggungku menempel di dinding bata, dan ia memunggungiku
menghadap ke gang. Kedua
lengannya terbentang
lebar, melindungi, di depanku.
Aku mengintip
dari bawah lengannya dan melihat dua sosok hitam keluar dari balik bayangbayang.
"Salam,
Tuan-Tuan," suara Edward tenang dan ramah, di permukaan. "Kurasa aku
tidak membutuhkan layanan kalian hari ini. Aku akan
sangat berterima
kasih, bila kalian bersedia menyampaikan ucapan terima kasihku kepada tuan-tuan
kalian."
"Bagaimana
kalau kita pindahkan pembicaraan ke tempat lain yang lebih memadai?" suara
halus berbisik dengan nada mengancam.
"Menurutku
itu tidak perlu." Suara Edward lebih keras
sekarang. “Aku tahu instruksimu, Felix. Aku tidak
melanggar aturan apa pun."
"Felix hanya
bermaksud menegaskan keberadaan matahari," kata bayang-bayang lain dengan
nada menenangkan. Mereka tersembunyi
di balik jubah
abu-abu gelap yang panjangnya mencapai tanah dan mengembang tertiup angin.
"Mari
kita cari tempat yang lebih teduh."
"Aku akan
menyusul tepat di belakang kalian," ujar Edward kering. "Bella,
bagaimana kalau kau kembali ke alun-alun dan menikmati festival?"
"Tidak,
bawa gadis itu," bayang-bayang pertama berkata entah bagaimana bisa
memperdengarkan nada mengerling dalam bisikannya.
"Kurasa
tidak." Sikap pura-pura ramah yang ditunjukkan Edward langsung lenyap.
Suara Edward datar dan dingin. Ia sedikit mengubah
posisi
tubuhnya, dan bisa kulihat ia siap-siap bertarung.
"Tidak."
Aku hanya mampu menggerakkan mulut tanpa suara.
"Ssst,"
bisik Edward, ditujukan hanya padaku.
“Felix,"
bayang-bayang kedua, yang lebih bisa mengerti, mengingatkan. "Jangan di
sini." Ia berpaling kepada Edward. "Aro hanya ingin bicara
lagi denganmu,
kalau kau sudah memutuskan untuk tidak lagi memaksa kami menurun keinginanmu."
“Tentu
saja," Edward setuju. "Tapi biarkan gadis ini pergi.”
“Aku khawatir
itu tidak mungkin," bayangbayang sopan itu menyahut dengan sikap menyesal.
"Kami memiliki aturan yang harus ditaati.”
"Kalau
begitu aku khawatir tidak akan bisa menerima undangan Aro, Demetri."
"Baiklah
kalau begitu," dengkur Felix. Mataku sudah
bisa beradaptasi dengan keadaan yang remang-remang,
dan kulihat ternyata Felix
bertubuh
sangat besar, tinggi dan tebal di bagian pundak. Ukuran tubuhnya mengingatkanku
pada Emmett.
“Aro pasti
kecewa," desah Demetri.
"Aku
yakin dia pasti bisa mengatasi kekecewaannya," sahut Edward.
Felix dan Demetri
beringsut semakin dekat ke mulut gang sedikit demi sedikit memperlebar jarak di
antara mereka sehingga bisa menyerang Edward dari dua sisi. Mereka bermaksud
memaksanya masuk lebih dalam ke lorong, untuk menghindari keributan. Tak ada
pantulan cahaya bisa menyentuh kulit mereka; keduanya aman di balik jubah.
Edward tidak
bergerak sedikit pun. Ia menempatkan dirinya dalam bahaya karena melindungiku.
Tiba-tiba Edward
menolehkan kepalanya dengan cepat, ke arah kegelapan lorong yang berkelokkelok.
Demetri dan Felix melakukan hal yang sama, sebagai respons atas suara atau
gerakan yang terlalu halus untuk pancaindraku.
"Bagaimana
bila kita menjaga sikap?" sebuah suara merdu mengalun menyarankan.
"Ada wanita di sini."
Alice melenggang
ringan ke sisi Edward, pembawaannya tenang. Tak sedikit pun tandatanda ketegangan
dalam dirinya. Ia tampak begitu
mungil, sangat
rapuh. Kedua lengannya yang kecil bergoyang-goyang seperti kanak-kanak. Meski
begitu, baik Demetri maupun Felix langsung menegakkan badan, jubah mereka berputar
pelan saat angin berembus sepanjang lorong. Wajah Felix berubah masam. Rupanya mereka
tidak suka bila keadaan berimbang.
"Kita
tidak sendirian," Alice mengingatkan mereka.
Demetri menoleh
ke belakang. Beberapa meter ke arah alun-alun, keluarga kecil tadi, yang
anakanak perempuannya bergaun merah, memandangi kami. Si ibu berbicara dengan
nada mendesak pada suaminya, matanya tertuju pada kami berlima. Ia membuang
muka waktu Demetri melihat ke arahnya. Sang suami berjalan beberapa
langkah menuju
alun-alun, dan menepuk bahu salah seorang lelaki berblazer merah.
Demetri menggeleng.
"Kumohon, Edward, jangan mempersulit keadaan," ujarnya.
"Setuju,"
Edward menyetujui. "Dan kalau kita pergi dengan tenang sekarang, tidak
akan ada orang yang tahu.”
Demetri
mendesah frustrasi. "Setidaknya izinkan kami mendiskusikan masalah ini
secara lebih tertutup.”
Enam lelaki
berblazer merah sekarang bergabung dengan keluarga kecil tadi dan memandangi kami
dengan ekspresi waswas. Aku sangat khawatir dengan sikap protektif Edward di depanku—pasti
itulah yang memicu kecemasan orang-orang tadi. Ingin rasanya aku berteriak pada
mereka untuk
lari. Rahang Edward mengatup dengan suara keras.
“Tidak.” Felix
tersenyum.
“Cukup.” Suara
itu tinggi, tajam dan datang dari belakang kami. Aku mengintip dari bawah
lengan Edward dan melihat sosok lain yang kecil dan gelap, berjalan menghampiri
kami. Menilik jubahnya yang mengembang, aku tahu itu salah seorang dari mereka.
Siapa lagi?
Awalnya kukira
sosok itu bocah lelaki. Si pendatang baru itu semungil Alice, dengan rambut cokelat
pucat dan lemas yang dipangkas pendek.
Tubuh di balik
jubahnya—yang berwarna lebih gelap, nyaris hitam—ramping dan memiliki karakteristik
feminin sekaligus maskulin. Tapi
wajahnya
terlalu cantik untuk ukuran laki-laki. Wajahnya yang bermata lebar dan berbibir
penuh itu bakal membuat malaikat Botticelli terlihat
bagaikan
monster menyeramkan. Bahkan walaupun iris matanya merah pucat. Ukuran tubuhnya
sangat tidak signifikan sehingga reaksi para vampir lain begitu melihat kedatangannya
membuatku bingung. Ketegangan Felix dan Demetri langsung mencair, dan mereka mundur
selangkah dari posisi mereka yang siap menyerang melebur kembali dalam
keremangan bayang-bayang bangunan yang bagian atasnya
menjorok ke
jalan.
Edward juga
menurunkan kedua lengannya dan berubah rileks—tapi karena kalah.
“Jane,”
desahnya, nadanya mengenali bercampur menyerah.
Alice melipat
kedua lengannya di dada, ekspresinya datar.
“Ikuti aku,"
kata Jane lagi, suaranya yang kekanak-kanakan terdengar monoton. Ia berbalik dan
melenggang tanpa suara memasuki kegelapan. Felix melambaikan tangan pada kami,
menyuruh kami berjalan duluan sambil tersenyum mengejek. Alice langsung
berjalan mengikuti Jane. Edward merangkul pinggangku dan menarikku berjalan di sampingnya.
Lorong yang kami lewati menikung sedikit ke bawah dan semakin menyempit. Aku mendongak
memandang Edward dengan berbagai pertanyaan berkecamuk di mataku, tapi Edward hanya
menggeleng. Meskipun aku tak bisa mendengar yang lain-lain berjalan di belakang
kami, aku yakin mereka ada di sana.
"Well, Alice," kata Edward dengan
sikap seperti mengajak ngobrol
sementara kami berjalan.
"Kurasa seharusnya
aku tidak kaget melihatmu datang ke sini."
"Itu
salahku," Alice menyahut dengan nada yang sama. "Jadi sudah
kewajibanku pula untuk meluruskannya."
"Apa yang
sebenarnya terjadi?" Suara Edward sopan, seakan-akan tidak begitu
tertarik. Aku yakin pasti karena ada pihak-pihak lain yang ikut mendengarkan di
belakang kami.
"Ceritanya
panjang." Alice melirik sekilas ke arahku. "Singkatnya, dia memang
melompat dari tebing, tapi bukan karena mau bunuh diri.
Belakangan ini
Bella menyukai olahraga ekstrem."
Wajahku memerah
dan aku memandang lurus ke depan, menatap bayang-bayang gelap yang tak bisa
lagi kulihat. Bisa kubayangkan apa yang didengar Edward dalam pikiran Alice
sekarang. Nyaris tenggelam, diburu vampir-vampir, berteman dengan werewolf.
"Hm,"
ucap Edward pendek, dan nadanya tidak lagi terdengar biasa-biasa saja. Lorong
meliuk-liuk, masih terus menurun, jadi aku tidak melihat jalan itu buntu hingga
kami sampai di depan tembok bata yang datar dan tak berjendela. Vampir mungil
bernama Jane tadi tidak terlihat. Tanpa ragu dan tanpa menghentikan langkah sedikit
pun. Alice melenggang menuju dinding. Kemudian dengan tangkas ia menyelinap
masuk ke lubang yang menganga di jalan. Kelihatan seperti saluran limbah,
menjorok di titik terendah jalan yang berbatu. Aku tidak
menyadarinya
sampai Alice mendadak lenyap, tapi kisi-kisi penutupnya digeser separuh. Lubang
itu kecil dan gelap gulita.
Aku langsung
mogok.
"Tidak
apa-apa, Bella,” kara Edward pelan. Aliceakan menangkapmu.”
Kupandangi
lubang itu dengan sikap ragu. Kurasa Edward pasti akan turun lebih dulu, kalau saja
tidak ada Demetri dan Felix menunggu, sinis
dan diam, di
belakang kami. Aku berlutut dan meringkuk, mengayunkan
kedua kakiku
ke lubang yang sempit.
"Alice?"
bisikku, suaraku gemetar.
“Aku di sini, Bella,"
Alice meyakinkanku.
Suaranya
terdengar terlalu jauh di bawah hingga tak berhasil menenangkan hatiku. Edward
memegangi pergelangan tanganku—
tangannya
terasa seperti batu di musim dingin— lalu menurunkan aku ke kegelapan.
"Siap?"
tanyanya.
"Lepaskan
dia," seru Alice.
Aku memejamkan
mata sehingga tidak bisa melihat kegelapan, menutupnya rapat-rapat dengan penuh
ketakutan, mengatupkan mulut
agar tidak menjerit.
Edward menjatuhkanku. Aku jatuh tanpa suara, tak jauh dari atas lubang. Udara
mendesir melewatiku selama setengah detik, kemudian, tepat ketika aku mengembuskan
napas keras-keras, kedua lengan Alice yang sudah menunggu menangkapku.
Tubuhku pasti
bakal memar-memar; lengan Alice sangat keras. Ia membantuku berdiri tegak. Suasana
di dasar lubang remang-remang, tapi tidak gelap gulita. Cahaya dari lubang di
atas membiaskan kilauan samar, terpancar basah dari batu-batu di bawah kakiku.
Cahaya sempat hilang sedetik, dan sejurus kemudian wajah Edward yang putih samar-samar
muncul di sampingku. Ia merangkul pundakku, memelukku rapat di sisinya, dan
mulai menggiringku maju dengan cepat. Aku melingkarkan kedua lenganku di
pinggangnya yang dingin, berjalan
tersandung-sandung dan tersaruksaruk di permukaan batu yang tidak rata. Suara kisi-kisi
berat digeser menutupi saluran limbah di belakang kami, berdentang mantap dan
keras. Cahaya remang-remang dari jalan dengan cepat hilang ditelan kegelapan.
Suara langkah-langkah kakiku yang tersaruk-saruk bergaung di ruangan yang gelap
gulita; kedengarannya sangat lebar, tapi aku tak yakin. Tak ada suara apa-apa
selain debar jantungku yang berpacu cepat serta kakiku menginjak batu-batu
basah—kecuali satu kali, waktu aku mendengar desahan tidak sabar berbisik di
belakangku.
Edward memelukku
erat-erat. Dengan tangan satunya ia memegang wajahku, ibu jarinya yang halus
menyusuri bibirku. Sesekali aku merasa ia menempelkan wajahnya ke rambutku. Aku
sadar ini mungkin satu-satunya kesempatan kami, jadi aku merapatkan diriku
lebih dekat padanya. Saat ini rasanya seakan-akan ia menginginkanku, dan itu
sudah cukup untuk menghalau kengerian yang kurasakan, berada di
terowongan
bawah tanah, bersama para vampir di belakang kami. Mungkin itu tidak lebih
daripada perasaan bersalah – perasaan bersalah jugalah yang mendorong Edward
datang ke sini untuk mati karena ia yakin gara-gara dialah aku bunuh diri.
Tapi aku
merasakan bibirnya diam-diam menempel di keningku, dan aku tak peduli apa
motivasinya. Setidaknya aku bisa bersamanya lagi sebelum aku mati. Itu lebih
baik daripada umur panjang. Seandainya saja aku bisa menanyakan apa persisnya
yang terjadi sekarang. Aku ingin sekali tahu bagaimana kami akan mati –
seolah-olah keadaan bisa lebih baik dengan tahu lebih dulu.
Tapi aku tak
bisa bersuara meskipun dengan berbisik karena kami dikelilingi vampir lain.
Yang lain-lain bisa mendengar semuanya – setiap tarikan napasku, setiap detak
jantungku. Jalan setapak di bawah kaki kami terus menurun, membawa kami lebih
dalam ke perut bumi, dan itu membuatku merasa dicekam ketakutan pada ruang
sempit. Untung ada tangan Edward yang terasa menenangkan di wajahku, hingga aku
tidak menjerit. Aku tidak tahu dari mana cahaya itu berasal, tapi perlahan-lahan
suasana di sekelilingku mulai berwarna abu-abu gelap, tak lagi hitam pekat. Kami
berada di terowongan melengkung yang rendah. Cairan hitam pekat merembes keluar
dari batu-batu kelabu, seolah-olah mengeluarkan tinta. Tubuhku gemetar, dan
kurasa itu karena ketakutan. Baru setelah gigi-gigiku gemeletuk aku menyadari
itu karena aku kedinginan. Bajuku masih basah, dan suhu di bawah kota dingin
menusuk Begitu
pula kulit Edward. Edward menyadari hal itu pada saat yang bersamaan denganku,
lalu ia melepaskan pelukannya dan hanya menggandengku saja.
“T-t-tidak,” kataku dengan gigi gemeletuk, merangkul
pinggangnya lagi. Aku tak peduli meskipun tubuhku membeku. Siapa yang tahu berapa
lama lagi waktu yang tersisa? Tangan dingin Edward menggosok-gosok
lenganku,
berusaha menghangatkanku. Kami bergegas menyusuri terowongan, atau bagiku
rasanya seperti bergegas. Langkahlangkahku
yang lamban
membuat jengkel seseorang—kurasa pasti Felix—dan aku
mendengarnya
mendesah jengkel sesekali. Di ujung terowongan tampak kisi-kisi—batangbatang besinya
sudah berkarat, tapi setebal
lenganku.
Pintu kecil yang terbuat dari batangbatang besi yang lebih tipis dan saling
berkaitan terbuka lebar. Edward merunduk melewatinya dan bergegas memasuki
ruangan lain yang lebih besar dan terang. Pintu besi itu terbanting menutup dengan
suara berdentang nyaring, diikuti bunyi gerendel dipasang. Aku terlalu takut
untuk melihat
ke belakang.
Di sisi lain
ruangan terdapat pintu kayu rendah yang berat. Pintu itu sangat tebal—aku bisa melihatnya
karena pintu itu juga terbentang lebar. Kami melangkah melewati pintu itu, dan
aku memandang berkeliling dengan terkejut, dan otomatis langsung rileks. Di
sampingku Edward menegang, dagunya mengeras kaku.
0 komentar:
Post a Comment