Baca Online New Moon part 6
6.
TEMAN-TEMAN
KEDUA sepeda
motor itu tidak perlu disembunyikan di tempat yang jauh, cukup menyimpannya di
garasi Jacob. Kursi roda Billy tidak bisa bergerak di tanah tidak rata yang memisahkan
pondok dengan rumah.
Jacob mulai
membongkar motor pertama—yang berwarna merah, yang akan menjadi milikku—hingga
bagian-bagiannya terlepas. Ia membuka
pintu
Rabbit-nya supaya aku bisa duduk di jok. bukan di lantai. Sambil bekerja Jacob
mengobrol dengan gembira, hanya perlu kupancing sedikit untuk meneruskan
obrolan. Ia menceritakan sekolahnya, kelas-kelas yang ia ikuti, juga dua sahabatnya.
"Quil dan
Embry?" selaku. "Nama-nama yang tidak lazim.”
Jacob
terkekeh. "Quil itu nama turunan, sedang Embry nama bintang sinetron.
Pokoknya aku tidak bisa bilang apa-apa soal itu. Mereka bakal ngamuk kalau kau mulai
menyinggung nama mereka – mereka bakal mengeroyokmu."
“Itu kausebut
teman baik?" Aku mengangkat sebelah alis.
"Mereka
memang baik kok. Hanya saja jangan ejek nama mereka."
Saat itulah
terdengar seruan di kejauhan.
"Jacob?"
teriak seseorang.
"Itu
Billy, ya?" tanyaku.
"Bukan,"
Jacob menunduk, dan kelihatannya wajahnya memerah di balik kulitnya yang
cokelat.
"Baru
dibicarakan sudah nongol. Itu panjang umur namanya."
"Jake?
Kau di sini?" Teriakan itu kini semakin dekat.
"Yeah!"
Jacob menyahut, lalu mendesah. Kami menunggu sambil terdiam sebentar sampai dua
cowok jangkung berkulit gelap melenggang memasuki garasi.
Yang satu bertubuh
ramping, hampir setinggi Jacob. Rambut hitamnya sedagu dan dibelah tengah,
sebelah diselipkan di balik telinga kiri sementara yang kanan tergerai bebas.
Cowok satunya yang lebih pendek tubuhnya lebih gempal. Kaus putihnya ketat
menutupi dadanya yang berotot, dan tampaknya ia sadar dan bangga akan hal itu.
Rambutnya dipangkas pendek sekali hingga nyaris cepak.
Langkah keduanya
langsung terhenti begitu mereka melihatku. Si ceking melirikku dan Jacob bergantian,
sementara si gempal menatapku terus,
senyum
mengembang perlahan di wajahnya.
"Hei,
Buy," Jacob menyapa mereka setengah hati.
"Hei,
Jake," sahut si pendek tanpa mengalihkan tatapannya dariku. Aku terpaksa
membalas senyumnya, seringaiannya sangat jail. Melihatku
tersenyum, ia
mengedipkan mata. "Halo.”
"Quil, Embry—ini
temanku, Bella."
Quil dan
Embry, aku masih belum tahu yang mana
Quil dan yang mana Embry, bertukar pandang
dengan sorot penuh makna.
“Anak Charlie,
kan?" tanya si gempal, mengulurkan tangan.
"Benar,”
jawabku menjabat tangannya. Genggamannya mantap; kelihatannya ia seperti sedang
melenturkan otot-otot bisepsnya.
“Aku Quil Ateara,”
ia memperkenalkan diri dengan gagah sebelum melepaskan tanganku.
“Senang
berkenalan denganmu, Quil."
“Hai, Bella.
Aku Embry. Embry Call—mungkin kau sudah bisa menebaknya" Embry menyunggingkan
senyum malu-malu dan
melambai
dengan satu tangan, yang kemudian ia jejalkan ke saku jinsnya. Aku mengangguk.
"Senang berkenalan denganmu juga."
"Kalian
ngapain?” tanya Quil, masih terus memandangiku.
“Bella dan aku
ingin memperbaiki sepeda-sepeda motor ini," Jacob menjelaskan, meski itu
tak sepenuhnya tepat. Tapi sepeda motor sepertinya kata ajaib. Perhatian kedua
cowok itu langsung beralih ke proyek Jacob, mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan
terpelajar. Banyak dari kata-kata yang mereka gunakan tidak kumengerti, dan
kurasa aku harus memiliki kromosom Y untuk benar-benar memahami semangat mereka
yang meluap-luap.
Ketiganya
masih asyik mengobrol tentang onderdil dan bagian-bagian motor waktu aku memutuskan
untuk pulang sebelum Charlie muncul di sini. Sambil mendesah, aku merosot turun
dari Rabbit.
Jacob mendongak
lagi, ekspresinya seperti meminta maaf. “Kami membuatmu bosan, ya?"
“Tidak."
Dan aku memang tidak bohong. Aku merasa senang–benar-benar aneh. "Tapi aku
harus memasak makan malam untuk Charlie."
"Oh. Well, aku akan selesai membongkar
motor ini malam ini dan menentukan apa saja yang kita butuhkan untuk memperbaikinya.
Kapan kau ingin kita menggarapnya lagi?"
"Bisakah
aku kembali lagi besok?" Hari Minggu sudah menjadi kutukan dalam hidupku.
Tak pernah ada cukup PR untuk menyibukkanku.
Quil menyenggol
lengan Embry dan keduanya nyengir.
Jacob
tersenyum senang. "Wah, pasti asyik!"
"Kalau
kau bisa menyusun daftarnya, kita bisa pergi untuk membeli onderdil," aku
menyarankan. Wajah Jacob sedikit berkurang kegembiraannya.
"Aku
masih belum yakin apakah aku sebaiknya membiarkanmu membayar semuanya." Aku
menggeleng. "Tidak bisa. Pokoknya aku
akan mendanai
proyek ini. Kau tinggal menyumbang tenaga dan keahlian saja"
Embry memutar
bola matanya pada Quil.
"Tetap saja
rasanya kurang tepat," Jacob menggeleng.
"Jake,
kalau aku membawa sepeda-sepeda motor ini ke bengkel, berapa biaya yang akan
diminta montir padaku?" aku beralasan.
Jacob
tersenyum. "Oke, kalau begitu setuju."
"Belum lagi
kau nanti harus mengajariku mengendarainya, aku menambahkan. Quil nyengir lebar
pada Embry dan membisikkan
sesuatu yang tak
bisa kutangkap. Tangan Jacob melayang untuk menampar bagian belakang kepala Quil.
"Cukup sudah, keluar,” gerutunya.
"Tidak,
sungguh, aku harus pulang,” protesku, bergegas ke pintu. "Sampai ketemu
besok, Jacob.”
Begitu aku lenyap
dari pandangan, kudengar Quil dan Embry berseru berbarengan,
"Wuuuuuuu!"
Diikuti
sejurus kemudian dengan suara gradakgruduk, diselingi
dengan "Waduh!" dan "Hei!"
"Kalau kalian
berani-berani menjejakkan kaki lagi ke tanahku besok." Kudengar Jacob mengancam.
Suaranya lenyap waktu aku berjalan
melewati
pepohonan. Aku tertawa pelan. Suara itu membuat mataku
membelalak heran.
Aku tertawa, benar-benar tertawa, padahal tak ada yang memerhatikan. Aku merasa
sangat ringan hingga aku tertawa lagi,
hanya agar perasaan
itu bertahan lebih lama. Aku lebih dulu sampai di rumah ketimbang Charlie.
Waktu ia datang, aku baru saja mengangkat ayam goreng dari wajan dan meletakkannya
di atas tumpukan serbet kertas.
"Hai,
Dad." Aku nyengir padanya. Wajah ayahku tampak shock sesaat sebelum ia mengubah ekspresinya.
"Hai, Sayang," sapanya, suaranya terdengar tidak yakin. "Senang
bertemu Jacob?"
Aku mulai memindahkan
makanan ke meja. "Ya, senang."
"Well, baguslah kalau begitu."
Charlie masih berhati-hati. "Kalian ngapain?'
Sekarang giliranku
yang berhati-hati. "Aku nongkrong di garasinya dan menontonnya bekerja. Dad
tahu dia sedang memperbaiki Volkswagen?"
“Yeah, kalau
tidak salah Billy pernah menceritakannya."
Interogasi
harus terhenti saat Charlie mulai mengunyah, tapi ia terus mengamati wajahku
sambil makan. Usai makan malam aku menyibukkan diri, membersihkan dapur dua
kali, kemudian mengerjakan PR pelan-pelan di ruang depan sementara Charlie
menonton pertandingan hoki.
Aku menunggu
selama mungkin, tapi akhirnya Charlie mengatakan malam sudah larut. Ketika aku tidak menjawab, ia bangkit, meregangkan
otot, lalu pergi tidur, mematikan lampu. Dengan enggan aku mengikutinya.
Saat menaiki tangga,
aku merasakan sisa-sisa perasaan senang aneh yang kurasakan sore tadi menyusut
dari dalam diriku, digantikan perasaan takut memikirkan apa yang akan kuhadapi sekarang.
Aku tidak kebas
lagi. Malam ini akan, tak diragukan lagi, sama mengerikannya dengan semalam.
Aku berbaring di tempat tidur dan
bergelung
rapat-rapat, menanti datangnya serangan. Kupejamkan mataku erat-erat dan tahu-tahu,
hari sudah pagi.
Kupandangi
cahaya keperakan pucat yang menerobos jendela kamarku, terperangah. Untuk
pertama kali dalam empat bulan lebih, aku bisa tidur tanpa bermimpi. Bermimpi
atau menjerit. Entah emosi mana yang lebih kuat—lega ataukah shock. Aku berbaring diam di tempat
tidurku selama
beberapa menit,
menunggu perasaan itu datang kembali. Karena pasti ada yang datang. Kalau bukan
kepedihan, maka mati rasa. Aku menunggu, tapi tak terjadi apa-apa. Aku merasa
lebih bugar daripada yang kurasakan beberapa bulan belakangan ini.
Aku tak yakin
ini bakal bertahan. Rasanya seperti berdiri di tubir yang licin dan berbahaya, dan
bergerak sedikit saja pasti bakal membuatku
tergelincir.
Mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar dengan mata tiba-tiba
jernih—menyadari betapa aneh kelihatannya, terlalu resik, seolaholah aku tidak
tinggal di sini sama sekali—benarbenar
berbahaya. Kutepis
pikiran itu dari benakku, dan berkonsentrasi, sambil berpakaian, pada fakta bahwa
aku akan bertemu Jacob lagi hari ini.
Pikiran itu membuatku
nyaris merasa.., penuh harapan. Mungkin akan sama seperti kemarin. Mungkin aku
tak perlu mengingatkan diriku untuk
tampak tertarik
dan mengangguk atau tersenyum pada interval tertentu, seperti yang kulakukan pada
orang-orang lain. Mungkin. tapi aku tak
yakin ini akan
bertahan juga. Tidak yakin hari ini akan sama—begitu mudah—seperti kemarin. Aku
tidak akan menyiapkan diri untuk kekecewaan seperti itu.
Saat sarapan,
Charlie bersikap hati-hati. Ia berusaha menyembunyikan sikap penasarannya, mengarahkan
mata ke telurnya sampai yakin aku
tidak melihat.
"Apa yang
akan kaulakukan hari ini?" tanyanya, mengamati benang yang terlepas di pinggiran
mansetnya, seakan-akan tidak terlalu
memerhatikan
jawabanku.
"Aku mau
main ke rumah Jacob lagi"
Charlie mengangguk
tanpa mendongak. "Oh," ujarnya.
"Dad
keberatan?" Aku pura-pura khawatir. "Aku bisa tinggal di rumah."
Charlie buru-buru
mendongak, sorot panik terpancar dari wajahnya. "Tidak, tidak! Pergi saja.
Kebetulan Harry akan datang untuk nonton
pertandingan
denganku."
"Mungkin
Harry bisa menjemput Billy sekalian," aku menyarankan. Semakin sedikit
saksi mata, semakin baik.
"Wah, ide
bagus."
Aku tak yakin
apakah pertandingan itu hanya alasan untuk "mengusirku" dari rumah,
tapi Charlie tampak cukup bersemangat sekarang. Ia
langsung
menghampiri pesawat telepon sementara aku memakai jas hujan. Aku merasa sedikit
waswas dengan buku cek yang tersimpan di saku jaketku. Aku tak pernah
menggunakannya Di luar hujan turun seperti air ditumpahkan dari ember.
Aku harus
mengendarai trukku lebih pelan lagi; aku nyaris tak bisa melihat mobil lain di
depan trukku. Tapi akhirnya aku sampai juga di jalan berlumpur yang menuju ke
rumah Jacob. Sebelum aku sempat mematikan mesin, pintu depan sudah terbuka dan
Jacob berlari menyongsongku sambil membawa payung hitam besar. Ia memegangi
payung itu menaungi pintu trukku.
"Charlie
menelepon tadi—katanya kau sudah jalan ke sini," Jacob menjelaskan sambil
nyengir. Dengan enteng, tanpa harus dikomando lagi oleh otot-otot yang mengelilinginya,
bibirku merekah membentuk senyuman. Perasaan hangat yang aneh menggelegak
menaiki kerongkonganku, padahal air hujan yang memercik ke pipiku dingin
seperti es.
"Hai,
Jacob."
"Pintar
juga kau, mengusulkan supaya Billy dijemput," Jacob mengangkat tangannya
untuk ber-high five denganku.
Aku harus mengulurkan tangan tinggi-tinggi untuk membalasnya dan Jacob tertawa.
Harry datang
menjemput Billy beberapa menit kemudian. Jacob mengajakku melihat-lihat kamarnya
yang kecil sambil menunggu orangorang dewasa pergi.
"Jadi
kita ke mana, Pak Montir?" tanyaku begitu pintu depan ditutup Billy. Jacob
mengeluarkan kertas yang terlipat dari saku dan meluruskannya. "Kita mulai
dari tempat penimbunan barang bekas, siapa tahu kita beruntung. Proyek ini bisa
jadi agak mahal lho," ia mengingatkanku. "Kedua motor itu perlu
dipermak habis-habisan agar bisa berfungsi lagi." Karena wajahku tidak
tampak waswas, Jacob
menambahkan,
"Maksudku mungkin bisa habis lebih dari seratus dolar.”
Aku
mengeluarkan buku cek dan mengibasngibaskannya memutar bola mata seolah meremehkan
kekhawatirannya. “Itu sih enteng."
Hari ini lumayan
aneh. Aku menikmatinya. Bahkan saat di tempat penimbunan barang bekas sekalipun,
di bawah guyuran hujan dan berlepotan lumpur setinggi pergelangan kaki. Awalnya
aku penasaran apakah itu hanya aftershock
setelah kehilangan perasaan kebas, tapi menurutku itu bukan
penjelasan yang cukup masuk akal.
Aku mulai berpikir
penyebab terbesarnya adalah Jacob. Bukan hanya karena ia selalu senang bertemu
denganku, atau bahwa ia tidak diam-diam melirikku dari sudut matanya, menunggu
aku melakukan sesuatu yang bisa membuatku dikira gila atau depresi. Sama sekali
tak ada
hubungannya
denganku. Penyebabnya adalah Jacob sendiri. Pada dasarnya Jacob memang periang,
dan sifat periang itu terbawa dalam
dirinya
seperti aura, menularkannya pada siapa pun yang kebetulan di dekatnya. Seperti
bumi yang mengelilingi matahari, setiap kali ada orang dalam jangkauan gravitasinya,
Jacob membuat mereka merasa hangat. Hal yang alamiah, bagian dari dirinya yang
sesungguhnya. Tak heran aku begitu bersemangat ingin bertemu dengannya.
Bahkan saat ia
mengomentari lubang menganga di dasbor-ku, itu tak lantas membuatku panik seperti
seharusnya.
"Srereo-nya
rusak, ya?" tanyanya heran.
"Yeah,"
dustaku.
Jacob
merogoh-rogoh ke balik lubang itu. "Siapa yang mengeluarkannya? Kok sampai
rusak begini."
"Aku,"
jawabku mengakui.
Jacob
terbahak. "Mungkin sebaiknya kau nanti jangan
sering-sering menyentuh motor."
"Bukan
masalah."
Menurut Jacob,
kami beruntung dalam perburuan kami di tempat penimbunan barang bekas. Ia
sangat bersemangat melihat beberapa
logam penyok temuannya
yang menghitam karena oli; aku kagum karena ia bisa tahu kegunaan benda-benda
itu.
Dari sana kami
ke Checker Auto Parts di Hoquiam. Dengan trukku, perjalanan ke sana makan waktu
dua jam lebih ke arah selatan, menyusuri jalan bebas hambatan yang
berkelokkelok, tapi waktu berlalu tanpa terasa bila bersama Jacob. Ia mengobrol
tentang teman-teman dan sekolahnya, dan aku mendapati diriku mengajukan banyak
pertanyaan, bahkan tanpa berpura-pura, tapi karena benar-benar ingin mengetahui
jawabannya.
"Dari
tadi aku terus yang bicara," protes Jacob setelah selesai bercerita panjang-lebar
tentang Quil dan huru-hara yang ditimbulkannya gara-gara mengajak kencan pacar
murid senior. "Bagaimana kalau sekarang gantian? Apa saja yang sedang
terjadi di Forks? Di sana pasti jauh lebih seru daripada di La Push."
"Salah,"
aku mendesah. "Benar-benar tidak ada apa-apa di sana. Teman-temanmu jauh
lebih menarik daripada teman-temanku. Aku suka
teman-temanmu.
Si Quil itu lucu."
Kening Jacob
berkerut. "Kurasa Quil suka padamu."
Aku tertawa.
"Dia agak terlalu muda untukku."
Kerutan di
kening Jacob semakin dalam. "Dia tidak terlalu lebih muda darimu. Hanya
satu tahun beberapa bulan."
Aku merasa
kami tidak sedang membicarakan Quil lagi. Aku menjaga agar suaraku tetap
ringan, menggoda. “Tentu, tapi mengingat perbedaan kematangan antara cowok dan
cewek, bukankah menurutmu sebaiknya kita menghitungnya dalam usia anjing? Berapa
umurku dalam usia anjing, kira dua belas tahun lebih tua?”
Jacob tertawa,
memutar bola matanya. "Oke, tapi kalau kau mau sok pilih-pilih seperti
itu, kau juga harus membuat perhitungan rata-rata sesuai ukuran tubuh. Kau kan
kecil sekali, jadi sepuluh tahun harus dibuang dari total umurmu."
"Seratus
enam puluh senti kan tinggi rata-rata," dengusku. "Bukan salahku
kalau kau kelewat tinggi."
Kami saling
mengolok-olok seperti itu hingga mencapai Hoquiam, masih memperdebatkan formula
yang tepat untuk menentukan umur—aku
kehilangan dua
tahun karena tidak bisa mengganti ban, tapi mendapat satu tahun lagi karena ditugaskan
mengurus pembukuan di rumahku—
sampai kami
tiba di Checker, dan Jacob harus kembali berkonsentrasi. Kami menemukan semua yang
ada dalam daftarnya, dan Jacob yakin akan mencapai banyak kemajuan dengan
onderdil yang sudah kami beli.
Saat kami tiba
kembali di La Push, umurku 23 tahun dan dia 30—jelas ia menambahkan keahliannya
mengutak-atik mesin untuk mendongkrak umurnya.
Aku belum melupakan
alasanku melakukan ini. Dan, meski dalam prosesnya aku merasa lebih bahagia
daripada yang kuduga sebelumnya, tak ada alasan untuk mengubah keinginan
awalku.
Aku tetap
ingin berbuat curang. Tidak masuk akal memang, tapi aku benar-benar tak peduli.
Aku akan melakukan hal paling ceroboh yang bisa kulakukan di Forks. Jangan
harap aku akan tetap menepati janjiku sementara pihak lain sudah melanggarnya.
Menghabiskan waktu bersama Jacob ternyata jauh lebih mengasyikkan daripada yang
kuduga.
Billy belum
pulang, jadi kami tidak perlu sembunyi-sembunyi menurunkan barang-barang belanjaan
kami. Begitu semua sudah kami
hamparkan di
lantai plastik dekat kotak perkakas Jacob, Jacob langsung mulai bekerja sambil
terus bicara dan tertawa-tawa sementara jari-jarinya menyortir dengan ahli
berbagai onderdil logam di hadapannya.
Kepiawaian Jacob
bekerja dengan tangan sangat menakjubkan. Padahal tangannya tampak kelewat besar
untuk pekerjaan rumit yang harus dilakukan dengan cermat dan tepat. Saat sedang
bekerja, gerakannya nyaris terkesan anggun. Tidak seperti bila sedang berdiri;
tubuhnya yang jangkung dan kakinya yang besar membuatnya nyaris sama kikuknya
denganku.
Quil dan Embry
tidak muncul, jadi mungkin ancaman Jacob kemarin ditanggapi serius oleh mereka.
Hari berlalu kelewat cepat. Sebentar saja hari sudah gelap di mulut garasi,
kemudian kami mendengar Billy memanggil kami. Aku melompat dan membantu Jacob
menyimpan
semua
peralatan, ragu-ragu karena tak yakin apakah aku boleh menyentuh bagian-bagian sepeda
motor itu.
"Tinggalkan
saja," kata Jacob. "Aku akan bekerja lagi nanti malam."
"Jangan
lupakan tugas sekolahmu atau tugas lainnya," kataku, merasa sedikit
bersalah. Aku tak ingin Jacob mendapat masalah. Masalah itu hanya untukku.
"Bella?"
Kami sama-sama
tersentak waktu suara Charlie yang familier menyeruak di antara pepohonan, kedengarannya
dekat sekali.
"Sial,"
gerutuku. "Ya, sebentar!" teriakku ke arah rumah.
"Ayo
pergi." Jacob tersenyum, menikmati ketegangan. Ia mematikan lampu, dan
sesaat aku seolah-olah buta. Jacob menyambar tanganku dan menarikku keluar dari
garasi, menembus pepohonan, kakinya menemukan jalan setapak yang sudah sangat
dikenalnya dengan mudah.
Tangannya
kasar, dan sangat hangat. Meski ada jalan setapak, kami masih saja tersandung-sandung
dalam gelap. Jadi kami samasama tertawa waktu rumah mulai tampak. Tawanya tidak
terlalu dalam; ringan dan hanya di permukaan, tapi tetap menyenangkan. Aku
yakin Jacob tidak menyadari secercah histeria di dalamnya. Aku tidak biasa
tertawa, dan tawa itu terasa menyenangkan tapi sekaligus meresahkan. Charlie
berdiri di teras belakang yang kecil, bersama Billy yang duduk di ambang pintu
di belakangnya.
"Hai,
Dad," sapa kami berbarengan, dan itu membuat kami tertawa lagi.
Charlie memandangiku
dengan mata terbelalak lebar, lalu melirik sekilas ke bawah, melihat tangan Jacob
yang menggandeng tanganku.
"Billy
mengundang kita makan malam," kata Charlie dengan nada biasa-biasa saja.
"Resep
spageti super rahasiaku. Diwariskan turun-temurun ke beberapa generasi,"
kata Billy dengan suara serak.
Jacob mendengus.
"Kurasa Ragu belum ada selama itu."
Di dalam rumah
penuh orang. Ada Harry Clearwater bersama keluarganya—istrinya, Sue, yang
samar-samar masih kuingat dari liburan musim panas di Forks waktu aku masih
kecil dulu, dan kedua anaknya. Leah murid senior seperti aku, tapi usianya
setahun lebih tua. Kecantikannya eksotis—kulit tembaga indah, rambut hitam mengilat,
bulu mata tebal seperti bulu ayam—dan ia sibuk sendiri. Sejak kami datang, ia
terus asyik mengobrol di telepon rumah Billy, dan tidak
kunjung berhenti.
Seth berumur empat belas tahun; ia mendengarkan setiap kata yang keluar dari
mulut Jacob dengan sorot mata mengidolakan.
Karena tidak
semua orang bisa ditampung di meja dapur, Charlie dan Harry mengeluarkan kursi-kursi
ke halaman, dan kami makan spageti
dari piring yang
diletakkan di pangkuan, di keremangan cahaya lampu yang menyorot dari balik
pintu rumah Charlie yang terbuka. Kaum
lelaki mengobrolkan
pertandingan, lalu Harry dan Charlie menyusun rencana untuk memancing bersama-sama.
Sue menyindir suaminya tentang kolesterolnya dan berusaha, meski gagal, membuatnya
malu dan makan sesuatu yang berdaun dan berwarna hijau. Jacob mengobrol
denganku dan
Seth, yang sesekali menyela dengan penuh semangat setiap kali Jacob terlihat
seperti mau melupakannya. Charlie menatapku, berusaha agar tidak kentara,
dengan sorot mata senang namun waspada.
Berisik dan terkadang
membingungkan rasanya saat semua orang berlomba-lomba mengungguli yang lain
dalam bercerita, dan tawa dari satu lelucon diinterupsi dengan cerita tentang
lelucon lain. Aku tak perlu sering-sering bicara, tapi aku banyak tersenyum,
dan itu hanya karena aku merasa ingin. Rasanya aku tak ingin pulang.
Tapi, ini
Washington, dan akhirnya hujan membubarkan pertemuan kami; ruang tamu Billy kelewat
sempit untuk melanjutkan acara
Kumpulkumpul kami.
Charlie tadi naik mobil Harry, jadi kami pulang naik trukku. Charlie bertanya
tentang kegiatanku hari ini, dan sebagian besar yang kuceritakan benar—bahwa
aku pergi dengan Jacob mencari onderdil kemudian menontonnya bekerja di garasi.
"Menurutmu,
kau akan mengunjunginya lagi nanti?” tanya Charlie, berusaha menunjukkan sikap
biasa-biasa saja.
"Besok
sepulang sekolah,” aku mengakui. "Aku akan membawa PR-ku, jangan
khawatir."
"Pastikan
kau melakukannya," perintah Charlie, berusaha menutupi perasaan puasnya. Aku
merasa gelisah sesampai di rumah. Aku tidak ingin naik ke lantai atas.
Hangatnya kehadiran Jacob berangsur-angsur lenyap, dan sebagai gantinya,
perasaan resah semakin menjadijadi.
Aku yakin aku
tak mungkin tidur tenang dua malam berturut-turut.
Untuk menunda
tidur aku mengecek e-mail; ada pesan baru dari Renee.
Ia menulis
tentang kegiatannya hari itu, tentang klub buku yang mengisi waktu luang karena
ia keluar dari kelas meditasi, tentang pengalamannya minggu ini menjadi guru
pengganti di kelas dua, membuatnya merindukan murid-murid TK-nya. Ia juga menulis
tentang Phil yang menikmati pekerjaan barunya sebagai pelatih, dan bahwa
mereka
berencana berbulan madu kedua ke Disney World.
Dan aku membaca
semuanya seperti membaca buku harian, bukan surat yang ditujukan untuk orang
lain. Hatiku dilanda perasaan menyesal, membuat perasaanku tertusuk. Aku ini
bukan anak baik.
Aku membalas
e-mail-nya dengan cepat, mengomentari setiap bagian suratnya, dan menceritakan
aktivitasku juga—kuceritakan tentang pesta spageti di rumah Billy dan apa yang
kurasakan saat menonton Jacob membuat sesuatu yang berguna dari
potongan-potongan kecil logam—kagum dan sedikit iri. Aku sama sekali tidak
mengungkit tentang perubahan nyata dalam surat ini dibandingkan surat-surat
lain yang
diterima ibuku
dalam beberapa bulan terakhir. Aku bahkan nyaris tak ingat apa yang kutulis
seminggu yang lalu, tapi aku yakin isinya pasti sangat tidak responsif. Semakin
dipikir, semakin aku merasa bersalah; aku pasti benar-benar membuat ibuku khawatir.
Aku masih
bertahan sampai jauh malam sesudah itu, menyelesaikan PR lebih banyak daripada
yang seharusnya kukerjakan. Tapi meski kurang tidur dan sudah menghabiskan
hampir seharian bersama Jacob—merasa nyaris bahagia—ternyata itu tetap tak bisa
menjauhkan mimpi
buruk dari
tidurku selama dua malam berturutturut.
Saat bangun aku
gemetaran, teriakanku teredam bantal. Ketika cahaya pagi yang samar masuk melalui
jendelaku, aku diam tak bergerak di tempat tidur dan mencoba mengenyahkan mimpi
buruk itu. Tapi ada sedikit perbedaan dalam mimpi tadi malam, dan aku
berkonsentrasi mengingatnya. Semalam aku tidak sendirian di hutan. Sam Uley—lelaki
yang menemukanku di hutan pada malam yang tidak sanggup kupikirkan dalam keadaan
sadar itu—ada di sana. Perubahan yang
aneh dan tak terduga-duga.
Yang mengejutkan, mata gelapnya memancarkan sorot tidak ramah, sarat rahasia
yang sepertinya tak ingin ia bagikan padaku. Kupandangi dia sesering yang bisa dilakukan
mataku yang jelalatan mencari-cari; aku jadi gelisah, selain perasaan panik
yang biasa, karena ia ada di sana. Mungkin itu karena, bila aku tidak sedang
menatap langsung ke arahnya, bentuk badannya seolah menggeletar dan berubah dalam
tatapanku. Tapi ia tidak melakukan apa-apa kecuali
berdiri dan memandangiku. Tidak seperti waktu kami bertemu di dunia nyata, ia
tidak menawarkan bantuan.
Charlie
memandangiku selama sarapan, dan aku berusaha mengabaikannya. Kurasa aku pantas
menerimanya. Aku tak bisa berharap ayahku tidak mengkhawatirkan aku. Mungkin
butuh berminggu
Minggu baru ia
akan berhenti memandangiku seolah-olah menunggu aksi zombie-ku muncul kembali,
jadi aku harus berusaha untuk tidak
membiarkan itu
menggangguku. Bagaimanapun, aku sendiri juga akan mengawasi kemunculan lagi si
zombie itu. Dua hari belum cukup untuk
menganggap diriku
sudah benar-benar sembuh. Sekolah justru sebaliknya. Sekarang setelah aku memerhatikan,
kentara sekali tak ada yang memerhatikanku.
Aku ingat hari
pertama aku datang ke Forks High School—betapa aku sangat berharap bisa berubah
warna menjadi abu-abu dan menghilang
ke balik beton
trotoar yang basah seperti bunglon raksasa. Tampaknya permohonanku terkabul,
satu tahun terlambat.
Rasanya seolah-olah
aku tidak di sana. Bahkan mata guru-guru melewati kursiku seolah-olah kursi itu
kosong. Aku mendengar segalanya sepanjang pagi, sekali lagi mendengar suara-suara
orang di sekelilingku. Aku berusaha mengetahui apa yang terjadi, tapi obrolan
mereka terpotong-potong jadi akhirnya aku menyerah.
Jessica tidak
mendongak waktu aku duduk di sebelahnya di kelas Kalkulus.
"Hai,
Jess," sapaku sok biasa-biasa saja.
"Bagaimana
sisa akhir minggumu kemarin?"
Jessica menengadah
dengan sorot mata curiga. Mungkinkah ia masih marah? Atau hanya tidak sabar
menghadapi orang gila?
"Super,"
jawabnya, mengalihkan perhatian kembali ke bukunya.
"Bagus,"
gumamku.
Istilah
"menganggap sepi" sangat tepat menggambarkan sikap Jessica saat itu.
Aku bisa merasakan udara hangat berhembus dari kisi-kisi
di lantai, tapi
tetap saja aku kedinginan. Kuambil jaket yang tadi kusampirkan ke punggung
kursi, lalu memakainya lagi. Pelajaran keempatku berakhir terlambat, jadi meja
tempatku biasa makan siang sudah penuh waktu aku sampai di sana. Mike sudah ada
di sana, begitu juga Jessica dan Angela, Conner,
Tyler, Eric,
dan Lauren. Katie Marshall, murid junior berambut merah yang rumahnya dekat dengan
rumahku, duduk bersama Eric, dan Austin
Marks—kakak cowok
yang memberiku motor— duduk di sebelahnya. Aku bertanya-tanya dalam hati sejak
kapan mereka duduk di sini, tidak ingat apakah ini yang pertama kali atau sudah
menjadi kebiasaan.
Aku mulai kesal
pada diriku sendiri. Rasanya seolah-olah aku dimasukkan ke kardus dan dipendam
dalam biji-biji Styrofoam selama
semester lalu.
Tidak ada yang
mendongak waktu aku duduk di sebelah Mike, walaupun kursiku berderit nyaring menggores
lantai linoleum waktu aku menariknya. Aku berusaha mengikuti obrolan. Mike dan
Conner asyik mengobrol tentang olahraga, jadi aku langsung menyerah, tidak bisa
mengikuti obrolan mereka.
"Ke mana
Ben hari ini?" tanya Lauren pada Angela. Aku tergugah, tertarik. Aku
penasaran apakah itu berarti Angela dan Ben masih pacaran.
Aku nyaris
tidak mengenali Lauren. Rambut pirangnya yang halus seperti sutra dipotong pendek—sekarang rambutnya model pixic
superpendek, sampai-sampai
bagian belakangnya dicukur habis kayak cowok. Aneh sekali. Kalau saja aku tahu alasan
di baliknya. Mungkin ada permen karet yang menempel di rambutnya? Atau jangan-jangan
ia menjual rambutnya? Apakah orang-orang yang biasa diperlakukan tidak baik olehnya
memergokinya sendirian di belakang gym dan menggundulinya? Kuputuskan tidak
adil menilainya dari pendapatku dulu. Siapa tahu sekarang ia sudah berubah jadi
baik.
"Ben kena
flu perut," jawab Angela dengan suara pelan dan kalem. "Mudah-mudahan
tidak lama sakitnya. Semalam sakitnya parah sekali."
Angela juga
mengubah model rambutnya. Sekarang layer di rambutnya sudah dipanjangkan.
“Apa saja yang
kalian lakukan akhir minggu kemarin?" tanya Jessica. kedengarannya tidak terlalu
memedulikan jawabannya. Berani bertaruh,
itu pasti
hanya pancingan supaya ia bisa menceritakan ceritanya sendiri. Aku penasaran apakah
ia akan bercerita tentang Port Angeles sementara aku duduk hanya dua kursi
jauhnya dari dia? Apakah aku begitu tidak kasatmata, sehingga tidak ada yang
merasa tidak nyaman
membicarakan
aku padahal aku ada di sini?
"Sebenarnya
kami berniat piknik hari Sabtu, tapi. berubah pikiran," cerita Angela. Ada
sedikit ketegangan dalam suaranya yang menarik
perhatianku.
Kalau Jess, tetap
saja tidak peduli. "Sayang sekali," katanya, bersiap membeberkan
ceritanya sendiri. Tapi ternyata bukan hanya aku yang
memerhatikan.
"Apa yang
terjadi?" tanya Lauren ingin tahu.
“Well," jawab Angela, terkesan
lebih ragu-ragu daripada biasanya, walaupun ia memang selalu berhati-hati.
"Kami naik mobil ke utara, hampir sampai ke sumber air panas—di sana ada
tempat yang asyik untuk piknik, kira-kira satu setengah kilometer menyusuri
jalan setapak. Tapi baru separo jalan menuju ke sana. kami melihat sesuatu."
"Melihat
sesuatu? Apa?" Alis Lauren yang pucat bertaut. Bahkan Jess sepertinya
mendengarkan sekarang.
"Entahlah,"
jawab Angela. "Kami pikir itu beruang. Soalnya warnanya hitam, tapi sepertinya.
terlalu besar."
Lauren mendengus.
"Oh, masa kau juga!" Sorot matanya berubah mengejek, dan kuputuskan menarik
kembali keraguanku barusan. Jelas,
kepribadiannya
belum banyak berubah, tidak seperti rambutnya. "Tyler juga berusaha meyakinkanku
dengan cerita mengenai beruang minggu lalu."
"Tak
mungkin ada beruang berkeliaran sedekat itu dengan pemukiman penduduk,"
kata Jessica, berpihak pada Lauren.
"Sungguh,"
protes Angela dengan suara rendah, menunduk memandang meja. "Kami
benar-benar melihatnya."
Lauren tertawa
meremehkan. Mike masih asyik mengobrol dengan Conner, tidak memerhatikan mereka.
"Tidak,
dia benar," selaku tak sabar. "Hari Sabtu kemarin ada hiker yang
mengaku melihat beruang juga, Angela. Katanya, beruang itu besar dan
hitam, dan
tidak jauh di luar kota. Benar kan, Mike?"
Suasana langsung
sunyi. Setiap pasang mata di meja itu berpaling dan menatapku dengan shock. Si cewek baru, Katie, mulutnya ternganga seperti baru
saja menyaksikan ledakan. Tidak ada yang bergerak.
"Mike?"
gumamku, malu. "Ingat, tidak, orang yang
bercerita soal beruang itu?"
"T-tentu,"
jawab Mike terbata-bata sedetik kemudian. Entah mengapa ia memandangku seaneh
itu. Aku bicara dengannya di tempat kerja, kan? Benar, kan? Kalau tidak salah
sih begitu. Mike pulih dari kagetnya. "Yeah, tempo hari ada orang bilang
dia melihat beruang hitam besar di
ujung jalan
setapak lebih besar daripada grizzly."
"Hmph."
Lauren berpaling pada Jessica, bahunya mengejap lalu langsung mengubah topik.
"Sudah dapat
kabar dari USC?" tanyanya. Semua ikut berpaling, kecuali Mike dan Angela. Angela
tersenyum ragu-ragu padaku, dan aku
buru-buru
membalas senyumnya.
"Omong-omong,
apa saja kegiatanmu akhir pekan kemarin, Bella?" tanya Mike ingin tahu,
tapi anehnya waswas. Semua kecuali Lauren menoleh, menunggu jawabanku.
"Jumat
malam Jessica dan aku nonton film di Port Angeles, Sabtu siang dan hampir
sepanjang hari Minggu kuhabiskan di La Push.”
Beberapa pasang
mata menatapku dan Jessica berganti-ganti. Jessica tampak kesal. Aku jadi bertanya-tanya
dalam hati apakah itu karena ia tak ingin orang lain tahu ia pergi bersamaku,
atau karena ingin ia yang bercerita.
"Kalian
nonton film apa?" tanya Mike, mulai tersenyum.
"Dead
End—yang ada zombie-nya itu lho." Aku nyengir memberi semangat. Mungkin
sebagian kerusakan yang kubuat selama bulan-bulan zombie-ku kemarin masih bisa
diperbaiki.
"Dengar-dengar,
filmnya seram ya. Menurutmu begitu?" Mike bersemangat meneruskan obrolan.
"Bella
bahkan keluar di akhir film, saking ketakutannya," sela Jessica sambil
tersenyum licik.
Aku
mengangguk, berusaha menunjukkan wajah
malu.
"Seram abis." Mike tak henti-hentinya menanyaiku sampai
makan siang berakhir.
Berangsur-angsur, yang lain-lain bisa memulai obrolan lain, meski masih sering
memandangiku. Angela lebih sering
mengobrol dengan
Mike dan aku, dan, waktu aku berdiri untuk membuang sisa-sisa makanan dari nampan,
ia mengikuti.
"Trims
ya," katanya pelan setelah kami jauh dari meja.
"Untuk
apa?"
"Untuk
berbicara, membelaku tadi."
"Bukan
masalah."
Angela menatapku
prihatin, tapi bukan karena ia mengira aku sudah sinting. "Kau baik-baik saja?"
Inilah sebabnya
aku lebih memilih Jessica daripada Angela—walaupun aku lebih menyukai Angela—untuk
menemaniku jalan bareng. Karena
Angela terlalu
cepat mengerti.
"Tidak
sepenuhnya," aku mengakui. "Tapi sudah sedikit lebih baik."
"Aku
senang," ucapnya. "Aku kehilangan kau selama ini."
Saat itulah
Lauren dan Jessica melenggang melewati kami, dan aku mendengar Lauren berbisik
keras, "Aduh senangnya. Bella sudah
kembali."
Angela memutar
bola matanya pada mereka, dan tersenyum padaku dengan sikap menyemangati. Aku
mendesah. Rasanya seperti memulai dari awal lagi.
"Hari ini
tanggal berapa?" tanyaku tiba-tiba.
"Sembilan
belas Januari."
"Hmm."
"Memangnya
kenapa?" tanya Angela.
"Kemarin
tepat satu tahun aku memulai hari pertamaku di sini," kenangku.
“Tidak banyak
yang berubah," gumam Angela, memandang Lauren dan Jessica.
"Memang,"
sahutku sependapat. "Aku juga berpikir begitu.
0 komentar:
Post a Comment